DISKURSUS PENELITIAN AL-QUR’AN DAN HADIS DENGAN ILMU PENGETAHUAN
MODERN
Muhammad Akmaluddin1)
UIN Walisongo Semarang, Awardee LPDP
Email:
[email protected]
1)
ABSTRACT
Kajian al-Qur’an dan Hadis yang berkembang pada masa sekarang banyak yang
mengalami persoalan epistemologi maupun metodologi. Persoalan ini harus segera
diselesaikan sebelum melakukan dialog dan rekonsiliasi dengan ilmu sosial dan ilmu alam
modern. Tidak adanya inovasi dalam kajian keagamaan menyebabkan munculnya
berbagai pemikiran yang repetitif, statis dan tertinggal jauh dari kajian keilmuan yang
lain. Dominasi epistemologi bay nī dan ‘irf nī atas epistemologi burh nī dalam kajian alQur’an dan Hadis menyebabkan tidak adanya inovasi dalam ilmu keagamaan. Dalam
diskursus al-Qur’an dan Hadis dengan ilmu sosial modern, terdapat banyak perdebatan
dan perbedaan dalam aplikasi dan teorinya. Di sisi yang lain, al-Qur’an dan Hadis
dengan ilmu alam modern mendapatkan tempat yang baik walaupun terdapat berbagai
persoalan di dalamnya. Ada empat pendekatan dalam dialog dan rekonsiliasi al-Qur’an
dan Hadis dengan ilmu sosial dan ilmu alam modern, yaitu pendekatan konflik, kontras,
kontak dan konfirmasi. Pendekatan yang lebih cocok dan sesuai dengan watak
pengetahuan modern adalah pendekatan konfirmasi. Langkah untuk melakukan
pendekatan konfirmasi adalah studi historisitas dan lokalitas agama, filsafat ilmu,
pemahaman yang komprehensif dan terbuka serta melakukan kajian empiris dan
eksperimental.
Keywords: epistemologi, ilmu, dialog, rekonsiliasi, konfirmasi
ABSTRACT
Recent developing studies in Qur’an and Hadith face epistemology and methodology
problems. These problems have to be solved before doing dialogue and reconciliation with
modern social and natural sciences. Absence of scientific innovation in religious studies
causes repetitive, static and old thoughts than other studies. Epistemology of bay nī and
‘irf nī dominating burh nī in Qur’an and Hadith studies causes the absence of that
innovation. In the studies of Qur’an and Hadith with modern social sciences, there are
controversies and differences in applications and theories. On other hands, the studies of
Qur’an and Hadith with modern natural sciences get best place with its problems. There
are four approaches in making dialogue and reconciliation of Qur’an and Hadith with
modern sciences. The best and finest approach is confirmation. The ways for confirmation
approach are study of historicity and locality in religion, philosophy of science,
comprehensive and open understanding and also doing empirical and experimental
studies.
Keywords: epistemology, science, dialogue, reconciliation, approaches
266
PENDAHULUAN
Kualitas dan kemajuan dunia
pengetahuan ditandai dengan kualitas
publikasi dari hasil karya-karyanya.
Sayangnya puluhan penerbit teratas
dunia ditempati oleh berturut-turut oleh
UK, Kanada, Netherland, Jerman,
China, Perancis, Amerika Serikat,
Spanyol, Swedia, Singapura, Jepang,
Denmark, Korea, Italia, Belgia, Rusia
dan Siprus (“The World’s 52 Largest
Book Publishers, 2016,” 2016).
Keadaan ini tentu berbeda dengan
angan-angan sosial masyarakat Islam
yang mendambakan, dan bahkan
terbius, dengan masa kejayaan dan
keemasan
bangsa
Islam
abad
pertengahan. Tidak adanya satu pun
negara Islam dalam daftar puluhan
penerbit itu mempertanyakan kembali
gagasan tentang adanya dialog atau
rekonsiliasi
antara
agama
dan
pengetahuan modern.
Survei terbaru yang dirilis oleh
Scimago Lab juga tidak berbeda jauh
dengan laporan penerbit terbesar di
dunia. Ranking negara dan jurnal yang
kredibel
lagi-lagi
menunjukkan
ketertinggalan negara Islam dalam
bidang pengetahuan. Rangking jurnal
negara Islam tertinggi adalah Turki
yang menempati urutan ke-20 (434.806
dokumen dan kutipan per dokumen
8.07), disusul rangking ke-22 oleh Iran
(333.474 dokumen dan kutipan per
dokumen 5.86) dan Malaysia di
rangking ke-35 (181.251 dokumen dan
kutipan per dokumen 4.90). Adapun
Indonesia, negara dengan penduduk
mayoritas Islam terbesar di dunia,
berada di urutan ke-57 (39.719
dokumen dan kutipan per dokumen
7.12) dari sebanyak 236 negara yang
dirilis (“SJR - International Science
Ranking,” 2016).
Dalam usaha mendamaikan
diskursus agama dan ilmu pengetahuan
yang seakan-akan saling bertentangan,
banyak yang menganggap bahwa hal
tersebut hanya terjadi dalam agama
267
Islam saja. Sebenarnya permasalahan
antara agama dan ilmu pengetahuan
juga terjadi pada agama lain,
khususnya
agama
monoteisme
(Ambasciano, 2016; Boulding, 1986;
Carpenter, 2016; Ferkiss, 1975; Lim,
2016; Moscicke, 2016; Pailin, 2000;
Peacocke,
2000;
Reich,
2000;
Ristuccia, 2016; Rogińska, 2016;
Samuelson, 2000; von Stuckrad, 2016).
Memang kajian ilmu pengetahuan
selain Islam sudah begitu maju, dan
sedikit
sekali
yang
melakukan
konfrontasi dengan agama mereka.
Dalam banyak tradisi pemikir Muslim,
kajian agama dan ilmu pengetahuan
belum begitu banyak diperhatikan,
bahkan relasi agama dan politik (dīn
wa daulah) ikut memperkeruh kedua
kajian tersebut. Di beberapa negara
dengan penduduk Muslim terbesar,
baik
negara
teokrasi
maupun
demokrasi, dengan mengecualikan Iran,
dialog dan rekonsiliasi agama dan ilmu
pengetahuan jauh dari harapan (Nasiri
et al., 2016).
Keadaan yang tidak sesuai
antara das sein dan das sollen
masyarakat Islam kontemporer lagi-lagi
harus membuka kembali kajian-kajian
yang sempat diasingkan, terutama dan
sisi metodologi dan filsafat keilmuan.
Makalah ini akan membahas persoalan
epistemologi ilmu-ilmu keislaman,
khususnya al-Qur’an dan Hadis. Kajian
epistemologi ini bertujuan untuk
membuka tabir permasalahan relasi
kuasa agama dan pengetahuan di
masyarakat Muslim. Selanjutnya akan
diarahkan kepada metodologi ilmuilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif, dengan studi pustaka (library
research) dan deskriptif analitik.
Epistemologi al-Qur’an dan Hadis
Modern: Kajian Pemikiran Arab
Muslim
Kajian al-Qur’an dan Hadis
yang berkembang pada masa sekarang
banyak yang mengalami persoalan
epistemologi maupun metodologi. Dari
sisi epistemologi, kedua kajian tersebut
dianggap final dan tidak lagi bisa
diperdebatkan. Kriteria kebenaran,
validitas keilmuan, logika berfikir dan
lainnya dianggap taken for granted
sehingga tidak bisa lagi dikritisi,
dipertanyakan atau diuji coba kembali.
Dari sisi metodologi, kajian al-Qur’an
dan Hadis terkesan monoton, normatif,
statis dan repetitif. Padahal ulama masa
klasik sudah memberikan pandangan
ke depan bahwa nantinya kajian alQur’an dan Hadis akan selalu
berkembang dari masa ke masa.
Misalnya jumlah kajian ‘ulūm alQur’ n dan ‘ulūm al- adī yang selalu
bertambah dari masa awal sahabat dan
tabi’in hingga masa al-Zarkasyī (w.
749 H) (1957) dan al-Suyū ī (w. 911 H)
(1996).1 Mereka melihat bahwa
keilmuan Islam, khususnya al-Qur’an
dan Hadis, harus menyesuaikan situasi
dan kondisi masyarakat. Namun
semangat ini kemudian memudar
hingga akhir abad ke-20.
Kelesuan pemikiran para ulama
Muslim, yang mayoritas berdomisili di
Jazirah Arab, secara tidak langsung
mempengaruhi
pemikiran
sarjana
Muslim di beberapa negara dengan
penduduk
mayoritas
Muslim.
Mu ammad
‘ bid
al-J birī
mengatakan bahwa pemikiran Arab (alfikr al-‘arabī) merupakan sekumpulan
pendapat
dan
pemikiran
yang
digunakan oleh orang Arab tentang
berbagai permasalahan dan perhatian
tentang ideologi tertentu seperti akhlak,
akidah, mazhab, politik, sosial dan juga
pandangan terhadap manusia dan alam.
Hal ini juga berlaku pada pemikiran
Yunani, Persia, Hindu dan lainnya (al1 Bahkan dalam diskursus hadis misalnya,
setelah kajian Ibn al- al al-Syahrazūrī (w. 643 H), para
penerusnya tidak melakukan pembaharuan apapun selain
menulis ringkasan (mukhtaṣar), pemurnian (tahżīb) dan
komentar (syar ). Lihat misalnya dalam al-Naw wī
(1985); al-Sakh wī (2003); dan al-Suyū ī, 1996.
J birī, 1990). Pemikiran ini bukan
sebagai konten semata, tapi juga
sebagai instrumen (al-fikr al- dah)
untuk memproduksi nalar, baik secara
ideologis maupun ilmiah.2 Alat
diartikan sebagai sekumpulan prinsip,
konsep dan mekanisme yang mengatur
dan mengakar di dalam diri seseorang
sejak kecil. Sekumpulan prinsip,
konsep dan mekanisme ini bukanlah
alami, tetapi diperoleh manusia sebagai
hasil
percampuran
dengan
lingkungannya, baik lingkungan alam,
sosial maupun budaya (al-J birī, 1990).
Oleh karena itu, pemikiran
Arab dan berbagai hasil karyanya,
merupakan produk dari kebudayaan
dan setting sosial historis masyarakat di
sana. Berbagai macam aliran teologis,
yuridis dan ideologis adalah produk
lokal, yang secara khusus berlaku di
kawasan Arab, Jaringan pengetahuan
ilmu-ilmu keislaman yang kemudian
tersebar di berbagai daerah di penjuru
dunia tidak lain adalah hasil produk
pemikiran
Arab
lokal,
bukan
pengetahuan yang universal. Memang
ada
nilai-nilai
universal
yang
terkandung
dalam
pengetahuan
tersebut, namun yang kemudian
diambil –meminjam bahasa Fazlur
Rahman- bentuk legal formalnya, buka
ide-ide moral yang ada di dalamnya.
Dengan demikian, produk pengetahuan
yang ada, khususnya kajian al-Qur’an
dan Hadis, hanya kajian yang repetitif
dan statis, tanpa ada pengembangan
dengan budaya lokal, realitas sosial,
perkembangan pengetahuan dan lain
sebagainya.3
2 Adapun pemikiran sebagai konten (al-fikr almaḍmūn) diartikan sebagai formasi imajinasi, baik berupa
pandangan, pemikiran maupun teori. Menurut al-J birī,
pemikiran Arab diartikan sebagai konten dan instrumen,
atau formasi ideologis dan formasi nalar (bunyah
īdiyūlūjiy wa bunyah ‘aqliyyah). Lihat al-J birī (1990).
3 Kegelisahan beberapa sarjana Muslim dalam
hal ini hampir sama: tidak adanya pemikiran yang
berkembang dan cenderung kembali ke masa lalu guna
mengobati kemunduran keilmuan dalam Islam.
268
Menanggapi
stagnasi
pemikiran ilmu-ilmu keislaman, alJ birī kemudian menawarkan konsep
ibd ‘ (inovasi) pengetahuan. Dalam
area epistemik seperti seni, filsafat dan
ilmu, ibd ‘ (inovasi) adalah penciptaan
suatu yang baru yang berasal dari
interaksi jenis tertentu dengan yang lain
atau yang lama. Interaksi ini mungkin
istilah dari pembangunan, penyusunan
kembali
atau
menafikan
dan
melewatinya. Inovasi seni dan filsafat
berkaitan dengan dua hal, yaitu aljaddah (kebaruan) dan al-aṣ lah
(orisinalitas) (al-J birī, 1990). Adapun
yang membedakan inovasi dalam
lapangan pengetahuan ilmiah ( aql alma‘rifah
al-‘ilmiyyah)
adalah
penemuan (iktisy f; discovery) dan
dapat diverifikasi (q bil li al-ta aqquq)
di mana keduanya menjadi dasar
sebuah inovasi. Menurut al-J birī, aljaddah dalam seni dan filsafat sama
dengan iktisy f, sedangkan al-as lah
sama dengan q bil li al-ta aqquq, baik
secara
empiris,
logis
maupun
eksperimen.
Dengan demikian, tidak adanya
kedua unsur tersebut dalam seni,
filsafat maupun pengetahuan ilmiah
menyebabkan krisis inovasi berupa
kemandekan dan kemunduran, baik
secara material maupun intelektual.
Krisis inovasi ini merupakan kondisi di
mana
ada
kemandekan
dan
kemunduran dalam al-jaddah dan alaṣ lah sebagai buntut dari repetisi,
duplikasi dan daur ulang (al-J birī,
1990). Krisis ini melanda pemikiran
Arab secara global, baik sebagai
instrumen maupun konten (ad h wa
mu taw ) (al-J birī, 1990). Hal ini
nantinya akan berdampak kepada
diskursus ilmu keislaman pada masa
modern, utamanya kepada kajian alQur’an dan Hadis.
Pemikiran Arab modern belum
memberikan kontribusi dan kemajuan
secara hakiki dalam berbagai aspek
sejak pertengahan abad yang lalu.
269
Menurut al-J birī, yang ada hanyalah
pengulangan dan membawa hal yang
ada pada masa lalu pada masa
sekarang. Konsep yang ditetapkan pada
pemikiran
Arab
modern
dan
kontemporer semuanya didapatkan dari
masa lalu Arab Islam atau masa depan
Eropa. Terputusnya hubungan antara
pemikiran Arab dan obyeknya adalah
realitas Arab. Dengan demikian,
hakikat dari konflik ideologi dalam
pemikiran
Arab
modern
dan
kontemporer menyebabkan perbedaan
dalam beberapa kuasa referensial.
Pertama diskursus yang membuang
semua hubungan yang aṣl dan faṣl-nya
dari contoh/pendahulu (namūẓaj/salaf)
atas nama realitas Arab. Kuasa ini
melihat bahwa masa lalu Arab,
termasuk kajian ilmu keislaman klasik,
harus
disingkirkan.
Atas
nama
peradaban, masa depan Eropa harus
dicangkokkan dalam pengetahuan
Islam. Kedua konsep ideologis yang
mengambil dari masa lalu Arab Islam
atau Barat, konsep yang berfungsi
sebagai kamuflase dan delusi bahwa
hal tersebut akan menutupi kekurangan
dalam sisi epistemik diskursus Arab
kontemporer (al-J birī, 1990). Perasaan
akan kejayaan masa lalu dan mengobati
kemunduran intelektual modern tidak
akan
memberikan
jalan
bagi
pengembangan pengetahuan. Dua
kuasa referensial tersebut tidak
menyediakan tempat bagi dialog antara
agama dan pengetahuan.
Menurut al-J birī, hal di atas
menunjukkan sterilnya pemikiran Arab
dan diskursus tersebut berada di
persimpangan jalan. Ia kemudian
menawarkan
wacana
untuk
membangun
kembali
secara
komprehensif pemikiran Arab, sebagai
instrumen maupun konten, yang
basisnya adalah masa kodifikasi baru
(‘aṣr tadwīn jadīd) dengan metode
yang diperlakukan dengan kasus
kebangkitan sejak abad lalu, yang
esensi dan substansinya diperluas pada
gaya pemikiran klasik mundur kepada
pemikiran Arab dari ‘aṣr tadwīn awal
era ‘Abb siyyah dan yang mengalami
dekadensi dan kelesuan selama masa
taklid dan jumud (al-J birī, 1990).
Krisis Struktural: Krisis Nalar dan
Budaya
Pemikiran
Arab
sebagai
instrumen, atau nalar (‘aql) dan sebagai
konten berkaitan dengan lingkungan
sosial budaya yang mempengaruhinya.
Pendahuluannya antara lain warisan
budaya, lingkungan sosial serta
pandangan ke depan (view of future)
atau pandangan dunia (worldview)
tentang alam dan manusia. Nalar Arab
(al-‘aql al-‘arabī) artinya pemikiran
yang dipengaruhi lingkungan sosial
tersebut atau kuasa pemikiran sebagai
instrumen untuk memproduksi teori,
seni dan ilmu dalam budaya tertentu
dengan karakteristiknya. Budaya Arab
secara esensinya, yang membawa
sejarah kultur Arab secara umum serta
merefleksikan realitas mereka atau
mengindikasikan ambisi masa depan
mereka, di masa tersebut yang
mendahului rintangan-rintangan dan
didahului sebab-sebab pada masa
sekarang (al-J birī, 1990). Dengan
demikian, ada relasi antara nalar dan
budaya Arab di mana nalar tersebut
berkembang di dalamnya, yang
memproduksi serta mereproduksi nalar
tersebut.
Kaitannya dengan al-nuẓum alma‘rifiyyah (epistemologi) di Arab,
menurut al-J birī ada tiga macam.
Ketiga macam ini masing berbeda dan
saling berbenturan dalam budaya Arab
sejak terbentuk serta masa kodifikasi
dan terjemah pada masa ‘Abb siyyah
awal. Tiga epistemologi tersebut
mempunyai
pandangan
spesifik
terhadap dunia serta menempatkan
konsep-konsep dan mekanisme tertentu
dalam memproduksi pengetahuan
tertentu. Ada tiga macam epistemologi
menurut (al-J birī, 1990). Pertama
270
epistemologi bay nī (diagrammatic
epistemology) yang memuat bahasa
Arab. Epistemologi ini satu-satunya
yang membentuk area sirkulasi dan
lapangan
pengetahuan
terhadap
pemikiran Arab pada masa Rasulullah,
Khulaf ’ al-R syidūn dan dinasti
Umawiyyah.
Epistemologi
ini
memberikan
legislasi
terhadap
pandangan, konsep dan metode pada
kemunculan dan pertumbuhan ilmu
Arab Islam murni seperti na wu,
bahasa, fikih, kalam dan bal gah.
Epistemologi
ini
menyediakan
worldview berdasarkan penarikan diri
(infiṣ l) dan tanpa kausalitas (l
sababiyyah) dengan qiy s al-g ’ib ‘ala
al-sy hid aw al-far‘ ‘ala al-aṣl.
Kedua adalah epistemologi
‘irf nī
(gnostic
epistemology).
Epistemologi ini masuk ke Arab
melalui warisan budaya sebelum Islam
sejak awal dinasti ‘Abb siyyah ketika
situasi politik mulai masuk dalam
budaya Arab, yaitu pemikiran Syī‘ah,
falsafah
Ism ‘īliyyah
khususnya,
ditambah tasawuf dan filsafat emanasi
(falsafah
faiḍīyyah)
serta
kecenderungan
segala
iluminasi
(isyr qiyyah) dan ilmu-ilmu rahasia
seperti kimia, nujum, sihir, tenung dan
lainnya. Epistemologi ini berdasarkan
ittiṣ l (komunikasi) dan ta‘ ṭuf
(simpati).
Metodenya
adalah
memproduksi pengetahuan dengan
‘irf n atau komunikasi ruhani langsung
dengan obyek dan melebur bersamanya
bersatu dalam nurani dan pemikiran.
Terakhir adalah epistemologi
burh nī (demonstrative epistemology)
yang masuk ke Arab melalui proses
penerjemahan pada era al-Makmūn.
Epistemologi ini berdasarkan filsafat
Yunani
rumusan
Aristoteles.
Worldview epistemologi ini adalah
hukum kausalitas dan metodenya
berdasarkan transformasi dari premispremis yang diproses nalar kepada
kesimpulan/hasil yang diterima secara
logis. Ketiga epistemologi tersebut
hidup dalam satu kerangka intervensi
dan konflik dalam budaya Arab Islam
sejak masa kodifikasi.
Pertarungan tiga epistemologi
ini diakhiri dengan kemenangan ‘irf n,
tidak sebagai epistemologi yang
mendasari ideologi politik atau agama,
namun mengganti semua epistemologi
lain. Kemudian tiap ideologi ingin
memberikan justifikasi politik atau
menyediakan realitas politis tertentu.
‘Irf n yang dimaksud adalah tasawuf
yang menyapu bersih semua lapangan
ideologi,
khususnya
Sunni.
Perpindahan diskursus irasional ini
tidak hanya pada wilayah bay n dan
burh n saja, atu naqlī dan ‘aqlī saja,
tapi kepada wilayah umum berupa
taklid dan persetujuan (taqlīd wa
taslīm). Beberapa ribath sufi, aturan
para syaikh serta tarekat merupakan
kerangka sosial budaya dan politik.
Kerangka ini kemudian menuangkan
irasionalitasnya dengan kedok agama
pada kekuatan materi. Hasilnya adalah
penghentian semua observasi terkait
kebangkitan nalar atau gerakan
reformasi. Hal ini menyebabkan nalar
bay nī dan burh nī berhenti dalam
pemikiran Arab (al-J birī, 2009a,
2009b, 1990: 60).
Berhentinya dua epistemologi
tersebut akhirnya berpengaruh kepada
epistemologi al-Qur’an dan Hadis dan
menyebabkannya jauh dari inovasi dan
revolusi pengetahuan. Hal ini berimbas
pada diskursus kajian al-Qur’an dan
Hadis
dengan
ilmu
sosial
(Geisteswissenschaften) dan juga ilmu
alam modern (Naturwissenschaften).
271
Diskursus al-Qur’an dan Hadis
dengan Ilmu Sosial Modern
Persinggungan kajian antara alQur’an dan Hadis dengan ilmu sosial
modern antara lain dilakukan oleh
Mohammed Arkoun (1988, 1994a,
1996, 1999, 2002). Dalam studinya,
kajian atas teks al-Qur’an adalah untuk
mencari makna lain yang tersembunyi.
Maka, untuk menuju rekonstruksi
(konteks), harus ada dekonstruksi
(teks). Arkoun dengan pemikirannya
berusaha memperkenalkan pendekatan
pemikiran
hermeneutika
sebagai
metodologi
kritis
yang
akan
memunculkan informasi, makna dan
pemahaman baru ketika suatu teks dan
aturan di dekati dengan cara pandang
baru, terutama dengan menggunakan
metode
hermeneutika
historieskontekstual. Karena sikap dari setiap
pengarang, teks dan pembaca tidaklah
lepas dari konteks sosial, politis,
psikologis, teologis dan konteks
lainnya dalam ruang dan waktu
tertentu, maka dalam memahami
sejarah yang di perlukan bukan hanya
transfer makna, melainkan juga
transformasi makna (Arkoun, 1994b).
Pemahaman tradisi Islam selalu
terbuka dan tidak pernah selesai, dalam
istilah lain bahwa pintu ijtihad
belumlah tertutup karena pemaknaan
dan pemahamannya selalu berkembang
seiring dengan perkembangan ummat
Islam yang selalu terlibat dalam
penafsiran ulang dari zaman ke zaman.
Dengan begitu, tidak semua doktrin
dan pemahaman agama berlaku
sepanjang zaman. Gagasan universal
Islam tidak semua tertampung oleh
bahasa Arab yang bersifat lokal
kultural, serta terungkap melalui tradisi
kenabian saat itu. Itulah sebabnya dari
zaman ke zaman selalu muncul ulama’
tafsir
yang
berusaha
mengaktualisasikan pesan al-Qur’an
dan Hadis dan tataran tradisi keislaman
yang tidak mengenal batas akhir waktu.
Ketika mendekati (membaca
dan memahami) al-Qur’an dan tradisi
keislaman muncul tiga kesimpulan
(Hidayat, 1996). Pertama sebagian
kebenaran pernyataan al-Qur’an baru
akan kelihatan di masa depan. Kedua
kebenaran yang ada pada al-Qur’an
berlapis-lapis
atau
berdimensi
majemuk, sehingga potensi pluralitas
pemahaman terhadap kandungan alQur’an adalah hal yang sangat wajar
dan lumrah atau bahkan di kehendaki
oleh Qur’an sendiri. Ketiga terdapat
doktrin dan tradisi keislaman historisaksidental sehingga tidak ada salahnya
jika doktrin dan tradisi keislaman itu di
pahami ulang dan di ciptakan tradisi
baru. Kesimpulan yang terakhir ini bisa
menyangkut ayat-ayat soal pembagian
harta waris, posisi wanita dalam
masyarakat, dan hubungan ummat
Islam dengan agama lain.
Dalam mengangkat makna, hal
yang paling pertama dijauhi oleh
Arkoun
adalah
pretensi
untuk
menetapkan “makna sebenarnya” dari
al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin
membakukan makna al-Qur’an dengan
cara tertentu, kecuali menghadirkansebisa
mungkin-aneka
ragam
maknanya. Untuk itu, pembacaan
mencakup tiga saat (moment) (Arkoun,
1997). Pertama suatu saat linguistik
yang memungkinkan kita untuk
menemukan keteraturan dasar di bawah
keteraturan yang tampak. Dalam
pendekatan linguistik ini, Arkoun
menawarkan
teks
harus
dipertimbangkan
dalam
keseluruhannya
sebagai
sistem
hubungan-hubungan intern. Analisis
teks harus dilakukan dalam diri bahasa
Arab untuk menunjukkan bagaimana
fisiologi, akustik, psikologi, sosiologi,
sejarah dan lain sebagainya saling
membangun dan berhasil membentuk
jaringan pemaknaan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Semisal
dalam
konsep m l, kit b dan j hil, maka
untuk bisa mencapai makna, semua
272
pembacaan
sederhana
yang
mengutamakan penerimaan yang lazim
dan logika gramatikal mesti ditolak.
Kedua suatu saat antropologi,
mengenali dalam al-Qur’an bahasanya
yang bersusunan mitis. Semua ciri yang
menjadi ciri bahasa mitis Alkitab dan
Perjanjian Baru memiliki kesamaan
dalam al-Qur’an. Gaya bahasa tersebut
adalah benar, efektif, spontan dan
simbolis. Terakhir suatu saat historis
yang di dalamnya akan ditetapkan
jangkauan dan batas-batas tafsir logikoleksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif
yang sampai hari ini dicoba oleh kaum
muslim. Dalam hal ini, Arkoun
menjelaskan bahwa Kalam Allah yang
terlibat secara mendalam dalam
sejarah, dari kenyataan bahwa ia
terdengar dalam suatu bahasa manusia,
telah segera dieksploitasi dalam semua
wilayah pengetahuan dan keberadaan
sehari-hari sesuai dengan cara-cara
pemahaman dan penafsiran yang lazim
dalam masyarakat terpelajar di Timur
Tengah.
Dilihat dari berbagai pemikiran
yang ditawarkannya, Arkon banyak
dipengaruhi oleh Jacques Lacan
(psikologi) Paul Ricoeur (mitologi),
Derrida
(grammatology
dan
dekonstruksi), Ferdinand De Saussure
(linguistik),
Roland
Barthes
(semiologi)
Northrop
Frye
(kesusastraan),
Michel
Foucault
(epistemologi),
Jack
Goody
(antropologi),
Pierre
Bourdieu
(sosiologi) dan lainnya (Arkoun and
Hidayat, 1994). Hal ini juga dilakukan
oleh Fazlur Rahman (2009, 2002, 1999,
1994, 1967), Abdulkarim Soroush
(2002a, 2002b), Mu ammad al-Ghaz lī
(1992, 1989), Yūsuf al-Qaraḍ wī
(1997, 1990), Na r amīd Abū Zaid
(2005) dan lainnya. Adapun yang
berkaitan dengan modernitas dan isuisu kontemporer seperti kemanusiaan,
hak asasi manusia, dan lainnya
dilakukan oleh
h J bir al-‘Alw nī
(2006, 1991) dan Abdullahi Ahmed an-
Na’im (1994; 2010; Campbell and AnNa’im, 1990).
Pendekatan antara kajian alQur’an dan Hadis dengan ilmu-ilmu
sosial ini dilakukan untuk tujuan
pengembangan kajian yang menjadi
dasar umat Islam, terutama dalam
menghadapi persoalan kontemporer
yang semakin kompleks. Sahiron
Syamsuddin (2006) membagi tipe
pemikir kajian al-Qur’an dan Hadis
dengan ilmu-ilmu sosial menjadi dua
bagian.
Pertama
quasi-obyektivis
modernis memandang makna asal
(bersifat historis) hanya sebagai pijakan
awal bagi pembacaan al-Qur’an di
masa kini; makna asal literal tidak lagi
dipandang sebagai pesan utama AlQur’an. Tokohnya antara lain Arkoun,
Rahman,
Na r
amīd.
Kedua
subyektivis seperti M. Sya rūr (1997)
yang menegaskan bahwa setiap
penafsiran sepenuhnya merupakan
subyektivitas penafsir, dan karena itu
kebenaran interpretatif bersifat relatif.
Atas dasar ini, setiap generasi
mempunyai hak untuk menafsirkan AlQur’an sesuai dengan perkembangan
ilmu dan pengalaman pada saat AlQur’an ditafsirkan.
Namun
sayangnya,
para
pemikir tersebut dianggap merusak
kesucian dan kesakralan kajian alQur’an dan Hadis. Bahkan sebagian
dituduh murtad, kafir dan musuh Islam
(Brown, 1996; Salihu, 2006; Suryadi,
2008; Wild, 2006). Kajian yang sering
diperdebatkan dan dipermasalahkan
adalah hermeneutika di mana sebagian
melakukan konfrontasi dengan tafsir
(Akbar, 2015; Fanani, 2014; Hadi,
2014; Soleh, 2011) dan sebagian
menerimanya sebagai salah satu
metode penafsiran (Attamimi, 2012;
Lowry, 2004; Machasin, 2003;
Muchtar, 2016; Mufid, 2013; Mumisa,
2002; Rahmah, 2013; Ulya, 2013;
Wijaya, 2011). Kemenangan bay nī
dan ‘irf nī atas burh nī sebagaimana
diramalkan al-J birī terwujud dalam
273
usaha rekonsiliasi al-Qur’an dan Hadis
dengan ilmu sosial modern.
Diskursus al-Qur’an dan Hadis
dengan Ilmu Alam Modern
Tidak
seperti
kajian
rekonsiliasi dengan ilmu-ilmu sosial,
ilmu-ilmu
alam
tidak
begitu
diperdebatkan dan dipermasalahkan.
Tantangan yang besar justru berasal
dari ateisme yang menarik dari asumsi
metafisik yang bukan berasal dari sains
sendiri, tapi menjatuhkan sains itu
sendiri seperti menentang tujuan
penciptaan alam atau membatasi dunia
hanya pada dunia materi saja. Mehdi
Golshani mengatakan bahwa seseorang
dapat menarik kesimpulan dari alQur’an dan Hadis serta alat untuk
mempelajari
alam
adalah
eksperimentasi, kerja teoritis dan intuisi
dari wahyu (Golshani, 2014, 2003).
Tokoh yang melakukan dialog
antara al-Qur’an dan Hadis dengan
ilmu alam modern atau sains modern
antara lain Syed Muhammad Naquib
al-Attas (1989), Isma’il Raji al-Faruqi,
penggagas islamization of knowledge,
Ziauddin Sardar, Mehdi Golshani,
Maurice Bucaille (2015), Zaghlul alNajj r (2007) Seyyed Hussein Nasr,
dan
lainnya.
Ziauddin
Sardar,
sebagaimana dikutip oleh Guessoum
(2011) membagi para pemikir modern
Islam dan posisinya vis-à-vis sains
modern ke dalam tiga kelompok.
Pertama
tradisionalis
yang
menggunakan
ṭarīqah
(metode
pendakian
spiritual)
yang
mengantarkan pada Tuhan dengan
kontemplasi
alam
sebagaimana
dilakukan Seyyed Hussein Nasr,
Isma’il Raji al-Faruqi dan para
pengikutnya.
Kelompok
ini
mengabaikan peran sains dalam
menyelesaikan
permasalahan
masyarakat, alam, dan penyalahgunaan
sains. Kedua saintis konvensional yang
dididik di Barat atau menggunakan
metode Barat dalam pengetahuannya.
Kelompok ini mempunyai sedikit atau
tidak tahu tentang filsafat ilmu dan
menganggap ilmu bersifat netral,
obyektif dan universal sebagaimana
Abdus Salam dan pengikutnya. Ketiga
kelompok i‘j z yang mendasarkan pada
fakta saintifik menakjubkan dari alQur’an dan Hadis seperti Maurice
Bucaille.
Menurut
Guessoum,
kelompok ini yang akan berdampak
besar terhadap berbagai legitimasi dan
klaim kebenaran wahyu atas sains.
Terlepas
dari
berbagai
klasifikasi dan permasalahan masingmasing
kelompok,
Guessoum
mengatakan bahwa teks keagamaan,
termasuk al-Qur’an dan Hadis, akan
terbukti dengan sendirinya dengan
penelitian sains. Dialog, interaksi dan
konfirmasi diperlukan dalam kajian
pengetahuan dengan agama. Oleh
karena itu, maka agama tidak diarahkan
agar sains tunduk kepadanya, dan sains
juga tidak memaksa agama agar
mengikutinya (Guessoum, 2011, 2010).
Permasalahan lain yang diidentifikasi
Guessom adalah ternyata banyak ayat
al-Qur’an atau hadis yang berkaitan
dengan alam (kauniyyah), yang
“dibajak” dan dijadikan legitimasi atas
penemuan mutakhir sains dan teknologi
(Guessoum, 2011). “Pembajakan” dan
legitimasi
tersebut
akhirnya
menimbulkan sikap skeptis, apologis
dan statis atas perkembangan teknologi
(Guessoum, 2011). Oleh karena itu,
ayat al-Qur’an atau hadis harus menjadi
dasar metodologis dan epistemologis
sains dan teknologi, bukan menjadi alat
legitimasi dan pengakuan.
Pemaksaan hadis-hadis alam
terhadap perkembangan sains dan
teknologi
hanya
menyediakan
romantisisme masa lalu dan tidak
visioner atas berbagai permasalahan
umat.
Guessoum
menawarkan
pendekatan filsafat ilmu dan sejarah
pengetahuan,
metodologi
dan
sistematika pengetahuan, diskusi antara
ilmuwan agama dan alam, serta
kolaborasi pemikir Islam dan agama
monoteis lain, utamanya Kristen dalam
mengkaji
pengetahuan
(theistic
science) (Guessoum, 2011).4 Dalam
kajian
epistemologi
al-J birī,
permasalahan dalam diskursus alQur’an dan Hadis dengan ilmu alam
modern adalah penyerahan tradisi
bay nī dan ‘irf nī kepada tradisi
burh nī.
Membangun
Jembatan
Lintas
Agama dan Ilmu Pengetahuan
Dalam lingkup masyarakat
Islam, terdapat relasi kuasa dan
pengetahuan. Relasi ini merupakan
relasi yang tidak terbatas sepanjang
waktu. Menurut Michel Foucault,
kuasa adalah adanya dominasi antara
subyek dan obyek kekuasaan di mana
kekuasaan bersifat mekanis, bukan
milik. Konsep kekuasaan ini berbeda
dengan pandangan tradisional yang
mengatakan bahwa kekuasaan bersifat
represif. Kekuasaan menurut Foucault
malah bersifat positif dan produktif.
Kuasa ini menyebar dalam berbagai
lapisan masyarakat sehingga mengakar
dalam berbagai hubungan sosial oleh
individu manapun dalam relasi
pengetahuan dan lembaga yang ada.5
Lalu kuasa apa yang ada dalam
masyarakat Muslim? Kuasa ini tidak
lain adalah kuasa agama, yang
didominasi oleh para yuris dan teolog
sejak
abad
pertengahan
yang
menyebabkan kajian normatif terus
berkembang. Kuasa agama memang
produktif untuk membentuk wacana
keagamaan, namun tidak untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan
modern.
4
Theistic science mempunyai kemiripan dengan
pernyataan Golshani (2014) bahwa agama monoteis punya
persamaan prinsip tentang relasi agama dan pengetahuan,
begitu juga dengan studi fenomena alam
5 Konsep ini berbeda dengan kuasa tradisional
menurut Freud, Hegel dan Marxist yang menganggap
kuasa sebagai milik dan sifatnya otoritatif Lihat Foucault
(2008, 1977); Haryatmoko (2002); Prado (2006);
Scheurich and McKenzie (2011); dan Shiner (1982)
274
Kuasa
agama
dalam
pengetahuan
akan
menyebabkan
pendekatan konflik dan kontras
terhadap suatu ilmu pengetahuan.
Menurut John F. Haught, pendekatan
konflik menganggap bahwa suatu
keyakinan
agama
dan
ilmu
pengetahuan tidak dapat didialogkan.
Sedangkan
pendekatan
kontras
menganggap
bawa
tidak
ada
pertentangan yang sungguh-sungguh
karena agama dan ilmu pengetahuan
memberi tanggapan terhadap suatu
masalah yang berbeda. Artinya, ada
pemisahan ruang lingkup penyelidikan
dan kajian antara agama dan ilmu
pengetahuan, dari sisi pertanyaan
maupun jawaban (Haught, 1995). Lalu
bagaimana seharusnya pendekatan
yang dilakukan dalam menjembatani
agama dan ilmu pengetahuan?
Haught (1995) menawarkan
pendekatan kontak dan konfirmasi.
Pendekatan kontak adalah pendekatan
yang mengusahakan dialog, interaksi
dan kemungkinan adanya penyesuaian
antara agama dan ilmu pengetahuan.
Pendekatan ini juga mengusahakan
cara agar ilmu pengetahuan ikut
mempengaruhi pemahaman agama dan
teologi. Pendekatan ini mengupayakan
dialog terbuka antara para ilmuwan dan
teolog tanpa harus melebur menjadi
satu.
Sedangkan
pendekatan
konfirmasi, yang melangkah lebih jauh
dari
pendekatan
kontak,
menggarisbawahi
cara
agama
mendukung dan menghidupkan seluruh
aktivitas ilmiah. Menurut Haught,
agama memperkuat dorongan yang
memunculkan sains yang melangkah
lebih jauh.
Menurut penulis, pendekatan
konfirmasi yang ditawarkan Haught
menjadi mediator atas berbagai
pendekatan yang ada.
Sayangnya
Haught tidak memerinci bagaimana
pendekatan konfirmasi dalam diskursus
agama dan ilmu pengetahuan. Ia hanya
mengatakan kalau agama menyatakan
275
bahwa alam semesta adalah suatu
totalitas yang terbatas, koheren,
rasional dan tertata yang berdasarkan
pada kasih dan janji tertinggi.
Pernyataan agama ini memberi
deskripsi umum tentang segala sesuatu
yang secara konsisten mendorong
pencarian ilmiah akan pengetahuan dan
membebaskan ilmu pengetahuan dari
keterkaitan
ideologi
yang
membelenggu (Haught, 1995). Menurut
al-Ghaz lī, pendekatan konfirmasi ini
harus memperhatikan aspek filsafat
keilmuannya, dari segi epistemologi,
ontologi dan aksiologinya (Muhaya,
2014).
Langkah
pendekatan
konfirmasi ini sebenarnya sudah
banyak dibahas oleh para pemikir
Islam, namun kurang sistematis.
Pertama adalah studi historisitas dan
lokalitas agama. Normativitas kajian
agama
memang
penting
untuk
mengetahui dan mendalami maksud
fundamental
ajarannya.
Namun
normativitas ini harus dibarengi dengan
historisitas agar bisa melampaui waktu
dan tempat (Abdullah, 2015; A.
Soroush, 2002a). Studi agama yang
historis diharapkan dapat memberikan
kontekstualisasi
dan
aktualisasi
ajarannya di segala tempat dan waktu,
khususnya budaya lokal. Dalam kajian
al-Qur’an dan Hadis, sudah ada
pengembangan dengan budaya lokal
seperti kajian living (Mansyur et al.,
2007). Kajian ini mengedepankan
resepsi masyarakat atas realitas sosial,
sejarah, budaya dan fenomena terhadap
kajian al-Qur’an dan Hadis. Lokalitas
pengetahuan masyarakat dan juga
kearifan mereka menurut Seyyed
Hossein Nasr Nasr (1996) ikut
berkontribusi dalam menjaga alam dan
lingkungan dari dampak negatif
perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan..
Kedua pengetahuan ilmu-ilmu
keislaman, sebagaimana keilmuan yang
lain, harus dikaji dengan filsafat ilmu
dengan tujuan untuk pengujian
penalaran ilmiah, menghindarkan diri
dari yang paling benar (truth claim),
merefleksikan, menguji dan mengkritik
asumsi serta metode dan sistematika
keilmuan dan memberikan pendasaran
logis-rasional
terhadap
metode
keilmuan tersebut (Mustansyir and
Munir, 2015). Di samping itu, relasi
antar
pengetahuan
juga
perlu
diperhatikan agar ilmu keislaman dapat
didialogkan dengan keilmuan lain, baik
ilmu-ilmu sosial dan alam. Ilmu
keislaman memang tidak terkait dengan
ideologi tertentu, namun pemikiran
ilmu tersebut tidak terlepas dari
lingkungan dan masyarakat tertentu.
Pemikiran ilmu keislaman adalah hasil
metode atau gaya menalar yang
berkontribusi dalam pembentukan
sejumlah informasi atas realitas suatu
masyarakat tertentu. Oleh karena itu,
pemikiran
Arab,
Eropa,
Asia,
khususnya Indonesia tentang ilmu
keislaman tentunya berbeda dengan
memperhatikan falsafah masyarakatnya
masing-masing daerah (Mustansyir and
Munir, 2015).
Sebagai masyarakat dengan
kebudayaan teks, menurut Na r amīd,
maka harus ada pemahaman yang
komprehensif,
terbuka,
sungguhsungguh, jujur dan tidak terbawa oleh
ideologi dan kepentingan pribadi atau
kelompok. Langkah ketiga ini sangat
diperlukan, terutama ketika menyikapi
realitas kontemporer dan global.
Banyaknya fatwa dan putusan lembaga
agama yang justru menegasikan ilmu
pengetahuan, bahkan realitas dan
kondisi masyarakat (El Fadl, 2003;
Qureshi dan Padela, 2016). Kajian teks
ini sifatnya masih teoritis, sehingga
dibutuhkan langkah keempat berupa
kajian empiris dan eksperimental.
Kajian teoritis dan pemahaman banyak
ada dalam ilmu sosial, sedangkan
kajian empiris dan eksperimental
banyak terdapat pada ilmu alam.
Keduanya, baik dari ilmu itu sendiri
maupun ilmuwan, harus saling
melengkapi, mengisi, mengkritik dan
mengkoreksi guna memperkuat kajian
keagamaan dan sebaliknya, kajian
agama memperkuat ilmu sosial dan
alam (Sy hīn, 1998; Sya rūr, 1997).6
Dalam bahasa al-J birī, epistemologi
bay nī dan ‘irf nī didasarkan atas
epistemologi burh nī
Upaya ke arah dialog dan
rekonsiliasi
agama
dan
ilmu
pengetahuan sosial maupun alam di
kampus Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN) sudah agak
menggembirakan pada 2012-2014.
Walaupun rasio kajian antara agama
dan ilmu pengetahuan sosial maupun
alam belum ideal, namun ini adalah
awal langkah untuk menuju rekonsiliasi
dan dialog. Imam Taufiq (2015)
mengatakan bahwa yang perlu dibenahi
di PTKIN adalah kualitas sumber daya
manusia, kurikulum yang tertata,
evaluasi, pengembangan epistemologi
dan metodologi dan publikasi. Namun
sebaliknya, Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) non agama belum begitu
mengarah
kepada
dialog
dan
rekonsiliasi
agama
pengetahuan
(Abdullah, 2012, 2006).
Kesimpulan
Diskursus penelitian al-Qur’an
dan Hadis dengan ilmu pengetahuan
modern menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan. Hal ini ditandai
dengan konversi Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (PTKIN) dari
sebelumnya hanya mempunyai fakultas
keagamaan ditambah dengan fakultas
sosial dan alam. Dalam interaksi antara
kajian keagamaan dengan ilmu sosial,
banyak perdebatan dan perbedaan di
6
Misalnya kajian teroris yang banyak
mengandalkan ilmu sosial dengan studi pustaka, tanpa
kajian empiris dan eksperimental, belum banyak
memberikan solusi atas terorisme. Berbagai hard
approach seperti deradikalisasi, perburuan teroris,
hukuman pidana, dan lainnya belum banyak berkontribusi
pada penanggulangan terorisme. Lihat misalnya
(Akmaluddin, 2016; Milla, 2010; Milla and Hafiz, 2016)
276
kalangan pemikir Muslim. Sebaliknya,
interaksi dengan ilmu alam tidak begitu
menunjukkan konflik, bahkan ada
kecenderungan untuk menerimanya
sebagai alat legitimasi dan justifikasi
atas wahyu dalam al-Qur’an dan Hadis.
Dialog dan rekonsiliasi lintas
keilmuan,
begitu
juga
dengan
ilmuwannya, tidak hanya dalam diskusi
proses dan hasilnya saja. Kajian
epistemologis, metodologis, filosofis,
empiris dan eksperimental perlu
dilakukan bersamaan guna menghindari
pengambilalihan atau dominasi satu
keilmuan atas keilmuan yang lain.
Ucapan Terimakasih
Terima kasih penulis ucapkan
kepada Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan
(LPDP)
Kementerian
Keuangan Republik Indonesia yang
telah memberikan beasiswa untuk studi
dan penelitian ini.
REFERENSI
Abdullah, M.A., 2015. Studi Agama:
Normativitas
atau
Historisitas?
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Abdullah, M.A., 2012. Bangunan Baru
Epistemologi Keilmuan Studi Hukum
Islam dalam Merespon Globalisasi.
Rekonstruksi dan Paradigma Keilmuan
dalam
Pengembangan
Keilmuan
Fakultas Syari’ah dan Hukum. UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Abdullah, M.A., 2006. Islamic Studies di
Perguruan
Tinggi:
Pendekatan
Integratif-Interkonektif.
Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Akbar, A.K., 2015. Hermeneutika Versus
Ta’wil (Studi Komparatif). Kalimah
13, 49–70.
Akmaluddin, M., 2016. Terrorism Treatments
in Indonesia through Religious
Approach.
Presented
at
the
Contribution of Islamic Higher
Education for Global Peace, UIN
Walisongo, Semarang.
al-‘Alw nī, h J bir, 2006. L Ikr ha fī alDīn. Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah,
Kairo.
al-‘Alw nī, h J bir, 1991. The Qur’an and
the Sunnah: The Time-Space Factor.
International Institute of Islamic
Thought, USA.
al-Ghaz lī, M., 1992. Kaifa Nata‘ mal ma‘a alQur’ n. al-Ma‘had al-‘ lamī li al-Fikr
al-Isl mī, USA.
al-Ghaz lī, M., 1989. Al-Sunnah alNabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl
al- adī . D r al-Syurūq, Kairo.
al-J birī, M. ‘ bid, 2009a. Bunyah al-‘Aql al‘Arabī: Dir sah Ta līliyyah Naqiyyah
li Nuẓum al-Ma‘rifah fi al- aq fah al‘Arabiyyah. Markaz Dir s t al-Wa dah
al-‘Arabiyyah, Beirut.
al-J birī, M. ‘ bid, 2009b. Takwīn al-‘Aql al‘Arabī. Markaz Dir s t al-Wa dah al‘Arabiyyah, Beirut.
al-J birī, M. ‘ bid, 1990. Isyk liyy t al-Fikr
al-‘Arabī al-Mu‘ ṣir. Markaz Dir s t
al-Wa dah al-‘Arabiyyah, Beirut.
al-Najj r, Z., 2007. Tafsīr al- y t al-Kauniyyah
fī al-Qur’ n al-Karīm. D r al-Syurūq
al-Dauliyyah, Kairo.
al-Naw wī, Y. bin S., 1985. Al-Taqrīb wa alTaisīr li Ma‘rifah Sunan al-Basyīr wa
al-Nażīr. D r al-Kit b al-‘Arabī,
Beirut.
al-Qaraḍ wī, Y., 1997. Kaifa Nata‘ mal ma‘a
al-Qur’ n. D r al-Syurūq, Kairo.
al-Qaraḍ wī, Y., 1990. Kaifa Nata‘ mal ma‘a
al-Sunnah. al-Ma‘had al-‘ lamī li alFikr al-Isl mī, USA.
al-Sakh wī, M. bin ‘Abd al-Ra m n, 2003.
Fat al-Mughī bi Syar Alfiyyah aladī . Maktabah al-Sunnah, Mesir.
al-Suyū ī, ‘Abd al-Ra m n bin Abī Bakr, 1996.
Tadrīb al-R wī fī Syar Taqrīb alNaw wī. D r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Beirut.
al-Zarkasyī, M. bin ‘Abd A. bin B., 1957. alBurh n fī ‘Ulūm al-Qur’ n. D r alMa‘rifah, Beirut.
Ambasciano, L., 2016. (Pseudo)science,
religious beliefs, and historiography:
assessing
the
scientification
of
religion’s method and theory: with
277
Leonardo
Ambasciano,
“(Pseudo)science, Religious Beliefs,
and Historiography: Assessing The
Scientification of Religion’s Method
and Theory”; Zygon. 51, 1062–1066
an-Na’im, A.A., 1994. Dekonstruksi Syari’ah:
Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi
Manusia dan Hubungan Internasional
dalam Islam. LKiS, Yogyakarta.
An-Na’im, A.A., 2010. Human Rights in CrossCultural Perspectives: A Quest for
Consensus. University of Pennsylvania
Press.
Arkoun, M., 2002. The Unthought in
Contemporary Islamic Thought. Saqi,
London.
Arkoun, M., 1999. Kajian Kontemporer AlQur’an. Penerbit Pustaka, Bandung.
Arkoun, M., 1997. Berbagai Pembacaan
Quran. INIS, Jakarta.
Arkoun, M., 1996. al-Fikr al-Isl mī: Qir ’ah
‘Ilmiyyah. al-Markaz al-Ṡaq fī al‘Arabī, Casablanca.
Arkoun, M., 1994a. Rethinking Islam: Common
Questions,
Uncommon
Answers.
Oneworld, Oxford.
Arkoun, M., 1994b. Pengantar, in: Meuleman,
J.H. (Ed.), Hidayat, R.S. (Tran.), Nalar
Islam Dan Nalar Modern Berbagai
Tantangan Dan Jalan Baru. INIS,
Jakarta.
Arkoun, M., 1988. The Notion of Revelation:
From Ahl al-Kitab to the Societies of
the Book. Welt Islams 28, 62.
Arkoun, M., Hidayat, R.S., 1994. Nalar Islam
dan
Nalar
Modern
Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru. INIS,
Jakarta.
Attamimi, F., 2012. Hermeneutika gadamer
dalam studi teologi politik. Hunafa. 9,
319–341.
Attas, M. al-Naquib al-, 1989. Isl m and the
Philosophy of Science. ISTAC.
Boulding, E., 1986. Two cultures of religion as
obstacles to peace. Zygon 21, 501–518.
Brown, D.W., 1996. Rethinking Tradition in
Modern Islamic Thought. Cambridge
University Press, New York, NY.
Bucaille, M., 2015. The Bible, the Qur’an and
Science. CreateSpace Independent
Publishing Platform.
Campbell, J.C., An-Na’im, A.A., 1990. Toward
an
Islamic
Reformation:
Civil
Liberties,
Human
Rights,
and
International Law. Foreign Affairs. 69,
196.
Carpenter, C.M., 2016. Enfolding violence,
unfolding hope: emerging clouds of
possibility for women in roman
catholicism: with Kirk WegterMcNelly, “Religious Hypotheses and
the Apophatic, Relational Theology of
Catherine Keller”; Carol Wayne White,
“Aporetic Possibilitie. Zygon 51, 797–
808
El Fadl, K.A., 2003. Speaking in God’s Name.
Oneworld, Oxford.
Fanani, A., 2014. U ūl al-Fiqh versus
Hermeneutika tentang Pengembangan
Pemikiran Hukum Islam Kontemporer.
Islamica. 4, 194–209.
Ferkiss, V., 1975. Christianity and the fear of
the future. Zygon 10, 250–262
Foucault, M., 2008. Ingin Tahu Sejarah
Seksualitas. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Foucault, M., 1977. Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings
1972-1977. Pantheon Books, New
York, NY.
Golshani, M., 2014. Some Clarifications
Concerning My Views about Science
and Religion. Social Epistemology.
Review and Reply Collective. 3, 90–91.
Golshani, M., 2003. The Holy Qur’an and the
Sciences of Nature. Global Scholarly
Publications, New York.
Guessoum, N., 2011. Islam’s Quantum
Question:
Reconciling
Muslim
Tradition and Modern Science. Tuaris,
London.
Guessoum, N., 2010. Science, religion, and the
quest for knowledge and truth: an
Islamic perspective. Cultural Studies of
Science Education. 5, 55–69.
Hadi, A., 2014. Hermeneutika Qur’âni dan
Perbedaan
Pemahaman
dalam
278
Menafsirkan al-Qur’ n. Islamica. 6,
37–50.
Haryatmoko, 2002. Kekuasaan Melahirkan
Anti-Kekuasaan. Basis 51, 8–21.
Haught, J.F., 1995. Science and Religion: From
Conflict to Conversation. Paulist Press,
New York, NY.
Hidayat, K., 1996. Arkoun dan Tradisi
Hermeneutika, in: Meuleman, J.H.
(Ed.), Tradisi, Kemodernan Dan
Metamodernisme. LKiS, Yogyakarta.
Lim, D., 2016. Cognitive science of religion
and folk theistic belief: with Daniel
Lim, “Cognitive Science of Religion
and Folk Theistic Belief”; and Hans
van Eyghen, “Two Types of
“Explaining Away” Arguments in the
Cogni. Zygon 51, 949–965.
Lowry, J.E., 2004. The Legal Hermeneutics of
al-Sh fiʿī and Ibn Qutayba: A
Reconsideration. Islamic Law and
Society. 11, 1–41.
Machasin, 2003. Sumbangan Hermeneutika
tehadap Ilmu Tafsir. Gebang 14, 122–
130.
Mansyur, M., Chirzin, M., Yusuf, M.,
Mustaqim, A., Suryadi, Suryadilaga,
M.A., Najwah, N., 2007. Metodologi
Living Qur’an dan Hadis. Teras,
Yogyakarta.
Milla, M.N., 2010. Mengapa Memilih Jalan
Teror: Analisis Psikologis Pelaku
Teror. UGM Press, Yogyakarta.
Milla, M.N., Hafiz, S.E., 2016. The living
virtue of jihad from Islamic radical
group. Presented at the Temu Ilmiah
Nasional Ikatan Psikologi Sosial,
Ikatan Psikologi Sosial, Bandung.
Moscicke, H., 2016. The scientific allegory of
john Augustine Zahm: Zahm’s
theological method with insight from
Marie-Joseph Lagrange. Zygon 51,
925–948.
Muchtar, M.I., 2016. Analisis konsep
hermeneutika dalam tafsir alquran.
Hunafa. 13, 67–89.
Mufid, F., 2013. Pendekatan Filsafat
Hermeneutika dalam Penafsiran AlQuran: Transformasi Global Tafsir alQuran. Ulul Albab. 1-21
Muhaya, A., 2014. Konsep Wahdat al-Ulum
Menurut al-Ghazali (w. 1111 M).
LP2M IAIN Walisongo, Semarang.
Mumisa, M., 2002. Towards an African
Qur’anic Hermeneutics. Journal of
Qur'anic Studies. 61–76.
Mustansyir, R., Munir, M., 2015. Filsafat Ilmu.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nasiri, M., Azkia, M., Mahdavi, S.M.S., 2016.
Technology and Muslims: a field study
of Iranian scholars. Zygon 51, 883–903.
Nasr, S.H., 1996. Religion and the Order of
Nature. Oxford University Press,
Oxford.
Pailin, D.A., 2000. What Game Is Being
Played? The Need for Clarity about the
Relationships Between Scientific and
Theological Understanding. Zygon 35,
141–163.
Peacocke, A., 2000. Science and the Future of
Theology: Critical Issues. Zygon 35,
119–140.
Prado, C.., 2006. Searle and Foucault on Truth.
Cambridge
University
Press,
Cambridge, Mass.
Qureshi, O., Padela, A.I., 2016. When must a
patient seek healthcare? Bringing the
perspectives of Islamic jurists and
clinicians into dialogue. Zygon 51,
592–625.
Rahmah, A.M., 2013. Hermeneutika hukum
sebagai alternatif metode penemuan
hukum bagi hakim untuk menunjang
keadilan gender. Jurnal Dinamika
Hukum. 13, 293-306
Rahman, F., 2009. Major Themes of the
Qur’an: Second Edition. University Of
Chicago Press, Chicago.
Rahman, F., 2002. Islam & Modernity:
Transformation of an Intellectual
Tradition. Univ. of Chicago Press,
Chicago London.
Rahman, F., 1999. Revival and Reform in
Islam:
A
Study
of
Islamic
Fundamentalism.
Oneworld
Publications, Oxford.
Rahman, F., 1994. Islamic methodology in
history. Adam Publishers.
279
Rahman, F., 1967. The Qur’ nic Concept of
God, the Universe and Man. Islamic
Studies. 6, 1–19.
Reich, K.H., 2000. The Dialogue between
Religion and Science: Which God?
Zygon 35, 99–113.
Ristuccia, N.J., 2016. Peter Harrison, Ludwig
Wittgenstein, and the problem of premodern religion: with Peter C.
Kjaergaard, “Why We Should Care
about Evolution and Natural History”;
Kaspar von Greyerz, “Early Modern
Protestant Virtuosos and Scientis.
Zygon 51, 718–728.
Rogińska, M., 2016. Science, religion, and the
meaning of life and the universe:
“amalgam” narratives of polish natural
scientists. Zygon. 51, 904–924.
doi:10.1111/zygo.12298
Salihu, A.K.H., 2006. Mohammad Arkoun’s
Theory of Qur’ nic Hermeneutics: A
Critique. Intellectual Discourse 14, 19–
32.
Samuelson, N.M., 2000. On the Symbiosis of
Science and Religion: A Jewish
Perspective. Zygon 35, 83–97.
Scheurich, J.., McKenzie, K.B., 2011.
Metodologi Foucault: Arkeologi dan
Genealogi, in: Denzin, K., Yvonna,
S.L. (Eds.), Dariyatno (Tran.), The
Sage
Handbook
of
Qualitative
Research Edisi Ketiga. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Shiner, L., 1982. Reading Foucault: AntiMethod and the Genealogy of PowerKnowledge. History and Theory 21,
382–398.
SJR - International Science Ranking [WWW
Document],
2016.
URL
http://www.scimagojr.com/countryrank
.php (accessed 2.8.17).
Soleh,
A.K.,
2011.
Membandingkan
Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir.
Tsaqafah 7, 31–50.
Soroush, A., 2002a. Reason, freedom, and
democracy in Islam: Essential writings
of Abdolkarim Soroush. Oxford
University Press, Oxford.
Soroush, A., 2002b. Menggugat Otoritas dan
Tradisi Agama. Mizan Pustaka,
Bandung.
Suryadi,
2008.
Metode
Kontemporer
Memahami Hadis Nabi: Perspektif
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf alQaradhawi. Teras, Yogyakarta.
Sy hīn, ‘Abd al- abūr, 1998. Kit b Abī dam:
Qiṣṣah al-Khalīqah baina al-Usṭūrah
wa al- aqīqah. al-Raw fid alṠaq fiyyah, Kairo.
Sya rūr, M., 1997. al-Kit b wa al-Qur’ n:
Qir ’ah Mu‘ ṣirah. al-Ah lī li al-Nayr
wa al-Tauzī‘, Damaskus.
Syamsuddin, S., 2006. Integrasi Hermeneutika
Hans George Gadamer ke dalam Ilmu
Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan
Metode Pembacaan al-Qur’an pada
Masa Kontemporer. Presented at the
Annual Conference Kajian Islam,
Dipertais Depag RI, Bandung.
Taufiq, I., 2015. Qur’anic Interpretation
Research in Indonesia (Case Study:
Undergraduate Theses at Islamic
Higher Education in Indonesia).
International Journal of Education and
Research. 3, 547–558.
The World’s 52 Largest Book Publishers, 2016
[WWW
Document],
2016.
.
PublishersWeekly.com. URL /pw/bytopic/international/international-booknews/article/71268-the-world-s-52largest-book-publishers-2016.html
(accessed 2.8.17).
Ulya, U., 2013. Hermeneutika double
movement Fazlur Rahman: Menuju
Penetapan Hukum Bervisi Etis. Ulul
Albab.
von Stuckrad, K., 2016. The hybridity of
scientific knowledge: a response to
Leonardo Ambasciano: with Leonardo
Ambasciano,
“(Pseudo)science,
Religious Beliefs, and Historiography:
Assessing The Scientification of
Religion’s Method and Theory”. Zygon
51, 1067–1071.
Wijaya, A., 2011. Hermeneutika al-Qur’an:
memburu pesan manusiawi dalam alQur’an. Ulumuna 15, 205–228.
280
Wild, S., 2006. Political Interpretation of the
Qur’ n, in: McAuliffe, J.D. (Ed.), The
Cambridge Companion to the Qur’ n.
Cambridge
University
Press,
Cambridge, pp. 273–290.
Zaid, N.
mid A., 2005. Mafhūm al-Naṣṣ:
Dir sah fī ‘Ulūm al-Qur’ n. al-Markaz
al-Ṡaq fī al-‘Arabī, Casablanca.
281