Academia.eduAcademia.edu

Mochtar Naim dan Studi Kebudayaan Minangkabau

Pak Mochtar Naim dan Studi Kebudayaan Minangkabau Oleh: Abdurrahman Mahasiswa Program Pascasarjana jurusan Sejarah UGM, dan sedang menulis tesis dengan topik “Mochtar Naim dan Kehidupan Intelektual di Sumatera Barat pada Paruh Kedua Abad ke-20”. Tepat pada tanggal 25 Desember 2012 ini (Pak) Mochtar Naim genap berusia 80 tahun. Pak Mochtar Naim sedikit di antara Intelektual yang hadir di Sumatera Barat pada paruh kedua abad ke-20. Satu segi saja misalnya, bagaimana kepedulian beliau terhadap nasib kebudayaan daerah ini (Baca: Kebudayaan Minangkabau). Bahkan nama Mochtar Naim dan dunia Minangkabau, seolah bagaikan dua sisi mata uang yang sulit untuk terpisahkan. Sejarah telah mencatat dalam jejak rekam Pak Mochtar Naim hampir sejak setengah abad silam, ia menekuni dan menaruh kepedulian yang tinggi terhadap dunia Minangkabau. Sebut sajalah misalnya ketika di tahun 1968 interest beliau untuk mendirikan center for minangkabau studies (CMS) yang langsung dipimpinnya. Setelah berdirinya, CMS meneruskan usaha penggalian unsur-unsur kebudayaan Minangkabau dengan mengadakan berbagai kegiatan penelitian, studi dan seminar. Di antaranya Pada bulan Juli 1969, bekerja sama dengan IAIN Imam Bonjol beserta instansi pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat lainnya, diselenggarakan seminar dengan mengambil tema: Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau. Topik seminar Islam di Minangkabau ini mempunyai dua aspek pokok, yaitu historis dan aspek sosiologis kultural. Aspek historis menyangkut masuknya dan berkembangnya agama Islam di Minangkabau dan menyangkut sejarah perjuangan Paderi. Aspek sosiologis kultural menyangkut gerakan-gerakan pembaharuan (modern reform movement) sesudah tahun 1900; mengenai pembenturan dan penyesuaian (conflicts and approachment) antara agama, adat dan pengaruh Barat; peranan kaum ulama dan madrasah serta surau dsb; korelasi antara penyebaran Islam dengan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan penduduk Minangkabau (Antara, 21 mei 1969). Gambar 1: Suasana Pembukaan Seminar “Islam di Minangkabau” (Sumber: Koran Abadi, Agustus, 1969) . Setahun berikutnya, diadakan seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau, yang berlansung dari tanggal 1 s/d 8 Agustus 1970 di Batu Sangkar. Panitia seminar “Sedjarah dan kebudayaan Minangkabau ini, yaitu Prof. Dr. Bahder Johan sebagai ketua umummya, sebagai ketua kehormatan diangkat Gubernur Sumatera Barat Drs. Haruan zain. Sebagai pelindungnya Dr. Mohammad Hatta, Mentri P&K Mashuri SH dan Muspida Tingkat I Sumatera Barat. Dewan penasehat terdiri dari Prof. Dr. Koentjaraningrat dari LIPI, Prof.Dr. Hamka, Dokter Rasjidin dan Rektor Universitas Andalas, IKIP dan IAIN di Padang. Susunan pengurus selanjutnya: Major Drs. Safruddin bahar (Ketua I), Drs. Sjarif Usman (Ketua II), Drs. M.D Mansur (Ketua III), Mochtar Naim M.A (Ketua IV) dan Saifullah Alimin (Ketua V). Sekretaris Umum Walikota Padang Drs. Achirul Jahja, Drs. Hadji Amura (Sekretaris I), Sofjan Thalib SH (Sekretaris II) Anwar Idris (Sekretaris III) dan Drs Hawari Siddik (Sekretaris IV). Bendahara Drs. Akmal Usman, Saifullah Alimin (Bendahara I) dan Asma Naim SH (Bendahara II), Dewan Pemyantun terdiri dari Ir. M.O. Parlindungan dan Drs. Sidi Gazalba. Adapun masalah-masalah yang dibahas dalam Seminar ini yaitu sumber penulisan sejarah Minangkabau, Periodesasi sejarah, penjelajahan terhadap tiap periode, dan sejarah kerajaan pagaruyung. Pada bidang kebudayaan dibahas bahasa, sastra dan kesenian Minangkabau, kepribadian dan karakter Minang, adat bersandi Syara’, dan problematik sosial-budaya dalam pembangunan masa kini Minangkabau (Antara, 13 Februari 1970). Tujuan utama seminar dengan mengumpulkan data pada bidang sejarah dan kebudayaan, diyakini akan besar mamfaatnya bagi kepentingan pembangunan, karena tanpa data yang cukup dalam bidang ini, sesuatu rencana pembangunan tidak akan mungkin terlaksana dengan baik. Seminar sejarah Minangkabau ini tecatat sebagai Pionir dalam wacana dan diskusi yang dimaksudkan untuk “Mambangkik batang tarandam”, Setelah pergolakan PRRI. Pada periode ini juga lahir buku Hukum Waris dan Tanah di Minangkabau, buku ini merupakan kumpulan makalah pada seminar di tahun 1968 tentang hukum waris dan tanah di Minangkabau, yang Pak Mochtar Naim menjadi editor pada buku ini. Pada tahun 1973 beliau bersama istrinya Asma Mochtar Naim menyelesaikan menyusun buku tentang Bibliografi Minangkabau. Pada tahun 1973 buku ini diterbitkan oleh CMS, kemudian edisi lengkapnya diterbitkan oleh National University of Singapura Press pada tahun 1975. Pada tahun 1974 selesai studi yang dilakukan oleh Pak Mochtar Naim tentang Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Kemudian studi ini diterbitkan oleh Gadjah mada University Press pada tahun 1979, dengan cetak ulang yang kedua pada tahun 1984. Dan sekarang (2012) beliau sedang menyiapkan edisi cetakan ketiga dari studi Merantau ini dengan tambahan bab khusus di bagian akhirnya yang memuat tentang dinamika perubahan yang terjadi kemari atas fenomena merantaunya etnik Minangkabau. Mulai akhir 1975, beliau peduli dengan konsep pembangunan dari dasar dalam Konteks Sumatera Barat yang disebut Nagari yaitu teritorial yang sangat Vital, jikalau ini dimainkan perannya akan diyakini membawa perubahan besar dalam pembangunan. Sebenarnya, pada tahun 1974, Gubernur Sumatera Barat Harun Zain mengambil langkah untuk melanjutkan ciri demokratis nagari, membuat Kepala Nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) sebagai badan legislatif pada tingkat paling bawah dari pemerintahan setempat. Nah, pada masa ini minimal ada 4 tulisan Mochtar Naim dari tahun 1975 hingga 1976 mengenai Nagari. Empat tulisan Pak Mochtar Naim tersebut adalah: (1) Mochtar Naim, Membangun Nagari dari Bawah. Bukittinggi, 31 Oktober 1975. (2) Mochtar Naim, Memantapkan Kedudukan Wali Nagari. Bukittinggi, 14 Januari 1976. (3) Mochtar Naim, Usang-Usang diperbaharui: Kembali ke Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat. Bukittinggi, 2 Februari 1976. (4) Mochtar Naim, Bersatu Teguh dalam Membangun Nagari. Taluk, 12 Maret 1976. Tulisan ini bahagian dari suasana saat itu yaitu suasana penguatan dari ide yang mulai digulirkan dalam rangka pembangunan di Sumatera Barat yaitu dari Nagari (Lihat SK Gubernur Sumatera Barat No 155, 156,dan 157). Tulisan Mochtar Naim tersebut berisi tentang masalah dasar kenapa Nagari perlu direvitalisasi, kemudian apa masalah yang dasar di Nagari itu juga yang menjadi pertimbangan dalam pembangunan nagari yaitu masalah kepemimpinan nagari, dan jalan keluar apa yang mesti dilakukan. Apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini oleh Gubernur Harun Zain dan didukung oleh segenap komponen masyarakat termasuk Mochtar Naim untuk melakukan usaha penguatan eksistensi nagari agaknya menjadi sia-sia ketika ‘Jakarta’ mengeluarkan UU No. 5 tahun 1979, yang dimaksud untuk menyeragamkan struktur administrasi pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Undang-undang itu membuat fungsi dan nama (desa) yang seragam untuk satuan yang paling bawah dari pemerintahan, dan mengatur organisasi internalnya, fungsinya dan pregroratifnya- dengan pola struktur keseluruhannya berdasarkan model desa di Jawa. Unit desa yang seragam dan kecil memberikan pemerintah kontrol yang lebih besar, terutama ketika kepala Nagari yang dulu dipilih diganti dengan pegawai sipil yang diangkat oleh gubernur berdasarkan undang-undang ini, dan prosedur pemilihan untuk pegawai desa yang lain diawasi dari atas oleh hierarki pemerintahan (Adrey Kahin, 2005). Sebagai bagian dari pemerintahan pusat, kenyataannya pemerintah daerah Sumatera Barat melaksanakan isi UU No. 5 tahun 1979 tersebut. Dalam melaksanakan Undang-Undang Desa 1979 tersebut, pemerintahan Gubernur Azwar Anas mulanya cendrung untuk memutuskan nagari sebagai kesatuan administrasi desa yang baru. Diakui bahwa keputusan seperti itu akan mempertahankan keserasian antara fungsi administrasi, ekonomi dan budaya dari unit teritorial tradisional, kendatipun namanya bertukar. Tetapi nagari menggabungkan wilayah yang lebih luas dan lebih banyak penduduknya dari unit administrasi desa di Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Ini berarti bahwa jika unit desa tetap nagari, Sumatera Barat akan kehilangan dana pembangunan desa yang besar yang disalurkan Jakarta ke desa. Pada awal masa jabatannya yang kedua tahun 1983, Gubernur Azwar Anas memberlakukan undang-undang yang menetapkan bagian dari nagari, yakni jorong, bukan nagari, yang menjadi unit desa. Tetapi, pemecahan nagari juga menghancurkan institusi lokal tradisional yang sudah beratus tahun- lembaga yang mengatur tidak hanya tingkah laku sosial dan kultural dari rakyat di pedalaman, tetapi juga basis ekonomi masyarakat dalam hal tanah, warisan, dan pengolahan sawah. Nagari tidak hanya unit teritorial yang sederhana, tetapi sesuatu yang didasarkan kepada kelompok garis turunan dan fungsi-fungsi yang luas. Nah, Pak Mochtar Naim pun bersuara. Bila pikiran Pak Mochtar Naim yang di tahun 1970-an itu sudah mulai melihatkan pendirian akan perlunya Pembenahan dan kemandirian nagari dalam rangka memfokuskan konsep pembangunan dari yang paling dasar, dalam Konteks Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1980-an hingga 1990-an ini, pemikiran Pak Mochtar Naim tentang Nagari dalam kaitan sprit perjuangan otonomi ini tampak semakin jelas. Sebelumnya sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1979, sebuah UU No.5 tahun 1979 diterbitkan yang berisi tentang pemerintahan desa yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia, tidak terkecuali Sumatera Barat yang notabene dinilai mempunyai kekhasan kultur di pemerintahan paling dasar yaitu nagari. Beliau tak segan-segan menyatakan jika Nagari diubah dengan sistem desa maka sebuah kerancuan struktural lah yang terjadi. Bahkan, Pak Mochtar Naim menyuarakan: Perpindahan dari nagari ke desa tak ayal telah merupakan sebuah “culture shock” (kegoncangan budaya) yang dampaknya berkelanjutan, karena perubahan yang dialami tidaklah hanya sekedar perubahan struktural tapi sekaligus juga perubahan orientasi dan filosofinya (Mochtar Naim, 1989). Lebih lanjut beliau menuturkan ‘Dengan Nagari, dia adalah lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih luas. Dalam dirinya ada sistem yang memenuhi persyaratan embrional dari sebuah "negara." Oleh karena itu Nagari adalah juga "negara" dalam artian miniatur, sehingga tak salah jika penulis-penulis asing suka menjuluki sistem tatanan di tingkat nagari ini sebagai "republik-republik kecil" yang sifatnya self-contained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri. Bukan saja bahwa ketiga unsur utama dari perangkat pemerintahan ada di dalam tatanan nagari, --yakni unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif--, tetapi juga dia merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-budaya lainnya. Ikatan bernagari di Minangkabau, dahulunya, bukan saja primordial-konsangui-nal (ikatan darah dan kekerabatan adat) sifatnya tetapi juga struktural-fungsional dalam artian teritorial-pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu kaitannya ke atas, ke Luhak dan ke Alam, dan ke samping antara sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional tetapi tidak struktural-fungsional. (Mochtar Naim, 1989). Dalam bahasa yang lain, Pak Mochtar naim juga mengatakan “Nagari sendiri patut diperlakukan sebagai sebuah korporasi dengan sistem manajemen yang modern, efisien dan transparan, dengan partisipasi aktif dari rakyat serta kendali kontrol ada di tangan rakyat di Nagari”. Kepedulian Pak Mochtar Naim tentang pembangunan Nagari terus berlanjut, seiring dengan era reformasi pada tahun 1998 dan keluarnya UU no 22 dan 25 tahun 1999, yang memberi kesempatan untuk dikembalikannya pemerintahan Desa di Sumatera Barat kembali ke Nagari. Beliau kemudian merumuskan empat fungsi dasar nagari, Yaitu: Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan, Nagari sebagai unit kesatuan keamanan dan pengamanan dalam Nagari, Nagari sebagai unit kesatuan ekonomi anak Nagari, dan Nagari sebagai unit kesatuan adat dan sosial-budaya. Pada tahun 1980 bersama cendikiawan di Yayasan Ilmu-ilmu Sosial yang diketuai oleh Dr. Selo sumarjan, dibicarakan untuk mendirikan fakultas sastra dan Fisip di Unand. Dan Pak Mochtar Naim ditunjuk sebagai ketua panitia persiapan pendirian fakultas tersebut. Di saat sedang sibuk-sibuk persiapan mendirikan fakultas Sastra dan Fisip Unand ini, terselip dalam sebuah seminar Pada bulan September 1980, gagasan yang untuk pertama kali dilontarkan oleh Pak Mochtar Naim tentang Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara. Konsep dialektika kebudayaan nusantara yang digagas oleh Pak Mochtar Naim ini, agaknya jika ditilik dari sosiologi pengetahuan (Peter L. Berger & Thomas Luckmann, 1966) ia murni merupakan perspektif Minangkabau sebagai simbol dan akumulasi dari konstruksi pemikiran yang dimiliki oleh Pak Mochtar Naim. Beliau menuturkan bahwa kebudayaan Nusantara ini sesungguhnya adalah ’perbenturan’ dua kekuatan budaya yang membentuk kebudayaan Nusantara ini. Dua kekuatan budaya Nusantara tersebut adalah pola budaya J (Jawa) dan pola kebudayaan M (Minangkabau/Melayu), sedangkan kebudayaan Nusantara lainnya berada bertebaran antara kedua kutub tersebut (Mochtar Naim, 1980). Gambar 2: Suasana Pembukaan Seminar Internasional “Kesusastraan, Kemasyarakatan dan Kebudayaan Minangkabau (Sumber: Koran Haluan 5 September 1980). Pada tahun 1983, beliau bersama beberapa wartawan muda pada saat itu, yang saat ini (2011) telah menjadi pucuk pimpinan di surat kabar masing-masing yaitu diantaranya Zaili Asril dan Fachrul Rasyid. Beliau bersama melakukan penelitian tentang restoran Minang. Mochtar Naim melihat potensi menarik dari penelitian tentang restoran Minang ini, sebagai orang yang telah melakukan penelitian panjang tentang budaya Minangkabau. Bagi Mochtar Naim mempelajari sistem manajemen restoran Minang merupakan “bukan hanya sekedar olahraga otak atau latihan akademi atau pun mempelajari bagaimana restoran Minang dari segi manajemen dikelola secara sama atau berbeda dengan restoran-restoran lainnya, dan bahkan dengan usaha-usaha perdagangan lainnya, tapi ada tujuan yang lebih besar yang tersembunyi di belakangnya. Bahwa dalam landasan Konstitusional negara ini, terkandung rujukan tentang sistem perekonomian yang seharusnya di perkembangkan dalam negara RI ini, yaitu seperti yang tercantum dalam fasal 33 ayat 1, bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”. Studi “sistem manajemen restoran Minang” ini, bagaimanapun sederhananya adalah satu upaya untuk menjawab tantangan itu. karena itu studi ini pada akhirnya bukanlah sekedar analisis sistematis dan struktural-fungsional tentang suatu bentuk kelembagaan sosial-ekonomis yang kebetulan berasal dari suatu daerah budaya tertentu ditanah air kita ini. Studi ini sekaligus mencoba menjawab tantangan itu dan menunjukan contoh bagaimana suatu sistem perekonomian tradisional telah sejak lama memiliki ciri-ciri serta unsur yang dikehendaki dalam sistem ekonomi bersamaisme atas asas kekeluargaan itu (Mochtar Naim, 1987). Pada tahun 1985 beliau mendirikan Yayasan amal saleh, yang kemudian mengkristal menjadi apa yang beliau istilahkan dengan ‘Surau mahasiswa’. Konsep surau mahasiswa tersebut adalah “asrama, wisma, rumah kos, pondokan, dsb, yang ditempati oleh mahasiswa dikelola dengan semangat dan ruh Surau kedalamnya. Dalam arti, para penghuni secara kolegial dan bersama-sama mengelolakan surau Mahasiswa itu dengan semangat surau. Dalam surau mahasiswa yang ditekankan adalah semangat kebersamaan, hidup bersama dalam suasana persaudaraan yang akrab dan harmonis, dan kerjasama saling tolong menolong, yang esensinya juga didapatkan dalam kehidupan bersurau dahulu. Dengan asrama-asrama atau pondokan yang berfungsi sebagai surau itu maka harus diciptakan berbagai aktivitas, keluar maupun ke dalam, yang berusaha diciptakan adalah hubungan segitiga kegiatan: Kampus, Mesjid dan Pondokan. Serta yang terpenting adalah sebagian besar kegiatan tersebut dilakukan dari, oleh, serta untuk mahasiswa tersebut” (Mochtar Naim, 2002). Konsep surau mahasiswa ini sudah berjalan lebih kurang 27 tahun (2012), tentu apa yang dicita-citakan mulai terasa dengan konsep surau mahasiswa ini dalam rangka peningkatan Sumber daya Mahasiswa, di antaranya kelincahan berfikir, kematangan beremosional, kesantunan dalam bertindak. Walaupun tidak seluruhnya yang pernah tinggal di Surau mahasiswa, mengalami peningkatan sumber daya itu namun sebagian besar dari yang pernah merasakan mengalami peningkatan sumber daya itu. Konsep surau mahasiswa sangat dibutuhkan apalagi terhadap daerah-daerah yang belum banyak institusi sosial yang mengadakan kegiatan-kegiatan untuk menyongsong pertumbuhan mahasiswa disamping dia berkegiatan di kampusnya, maka jelas mutlak surau mahasiswa itu sangat penting dan harus diciptakan sebagai intitusi sosial yang melatih dan mendorong percepatan sumber daya mahasiswa itu. Serangkaian kajian dan realisasi tentang nilai luhur dari kebudayaan Minangkabau yang telah diuraikan di atas tersebut, terkerjakan oleh beliau karena sedari awal dari lubuk hatinya yang terdalam tersimpan prinsip yang juga sering beliau tandaskan dalam beberapa kesempatan bahwa maju tidaknya bangsa Indonesia, tergantung sejauh mana berkontribusi kebudayaan Minangkabau. Yogyakarta, 24 November 2012. 6