MAKALAH
PERMASALAHAN SOSIAL KEPENDIDIKAN DI INDONESIA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia
di Universitas Negeri Yogyakarta
Dosen Pengampu :
Dra. Sriadi Setyawati, M.Si
Penulis
Disusun oleh :
Aisyah Nurul Lathifah
15405241014
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan judul Permasalahan Sosial Kependidikan di Indonesia dengan baik.
Untuk menyelesaikan makalah ini penulis mendapatkan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
Ibu Dra. Sriadi Setyawati, M.Si selaku dosen pengampu.
Teman-teman Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membantu dalam penyusunan laporan praktikum ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh sebab itu penulis berharap kepada berbagai pihak untuk memberikan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Terimakasih.
Yogyakarta, 23 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
Hakikat dan Definisi Pendidikan 3
Permasalahan Pendidikan di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya 4
Kualitas Pendidikan Indonesia Saat ini dan Penyebab Rendahnya Mutu Pendidikan di Indonesia 7
Pengaruh dari Perkembangan IPTEK, Pertumbuhan Penduduk, dan Aspirasi Masyarakat Terhadap Perkembangan Masalah Pendidikan 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................ 16
Saran............................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia saat ini memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama pembangunan, untuk memenuhi hal tersebut, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, dijelaskan bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan dengan sistematis. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pembangunan. Langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Pendidikan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi dunia pendidikan itu demikian luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia, kedua karena usaha pendidikan sangat menentukan masa depan yang tidak dapat diketahui oleh manusia.
Pembangunan pendidikan yang kita rasakan hingga saat ini tentu sudah sangat baik, dibandingkan dengan dulu saat sebelum merdeka. Bangsa kita Indonesia sudah mengalami banyak perubahan baik secara mental maupun sarana, media dan intfratruktur. Tetapi tentu jika kita membandingkannya dengan negara-negara Se-ASEAN, yang kita saksikan masih ketinggalan jauh oleh mereka. Oleh karena itu, upaya yang efektif perlu adanya penanganan yang lebih serius lagi terhadap dunia pendidikan kita di Indonesia. Pertama-tama dimulai dari upaya untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relatif ringan. Hal ini di sebabkan dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadapi sejumlah masalah yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera diatasi karena sangat berpengaruh terhadap pendidikan selanjutnya
Oleh karena itu, untuk mengetahui permasalahan kependidikan di Indonesia seperti penyebab rendahnya pendidikan di Indonesia, masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Maka dari itu, penulis membuat sebuah makalah dengan judul Permasalahan Sosial Kependidikan di Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
Apa hakikat dan definisi pendidikan ?
Apa saja permasalahan pendidikan di Indonesia dan upaya penanggulangannya ?
Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dan apa penyebabnya ?
Bagaimana pengaruh dari perkembangan iptek, pertumbuhan penduduk, dan aspirasi masyarakat terhadap perkembangan masalah pendidikan ?
TUJUAN
Mengetahui hakikat dan definisi pendidikan.
Mengetahui permasalahan pendidikan di Indonesia dan upaya penanggulangannya.
Mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dan penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Mengetahui pengaruh dari perkembangan iptek, pertumbuhan penduduk, dan aspirasi masyarakat terhadap perkembangan masalah pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
HAKIKAT DAN DEFINISI PENDIDIKAN
Istilah pendidikan dan bentukan-bentukannya dalam Amirin, dkk (2015: 1) dalam Bahasa Indonesia saat ini mulai agak carut-marut. Untuk menyebut guru digunakan istilah pendidik, sementara orang lainnya yang berkecimpung secara langsung dalam dunia pendidikan (laboran, pustakawan, sekolah, pengembang media pendidikan, administrator pendidikan, dll). Untuk menyebut orang yang melakukan kegiatan belajar, selain istilah murid atau siswa dan mahasiswa, pada mulanya digunakan istilah anak didik, kemudian subjek didik, dan selanjutnya disebut peserta didik. Bahkan sekarang dimunculkan pula istilah pebelajar (orang yang melakukan kegiatan belajar).
Untuk kegiatan didik-mendidik (pengajaran atau perkuliahan) dalam Amirin, dkk (2015: 1) pada mulanya digunakan istilah kegiatan belajar mengajar (KBM) atau proses belajar mengakar (PBM). Sekarang digunakan istilah pembelajaran. Orang yang melakukan kegiatan dimaksud sendiri masih disebut pengajar (konkritnya guru atau dosen), belum lazim menggantinya dengan pembelajar (sebagai “mitra” pebelajar). Dengan tidak bermaksud menambah carur marut istilah “kependidikan” (yang berkaitan dengan kegiatan atau proses didik-mendidik), dalam buku ini akan digunakan beberapaistilah yang “belum Lazim” tetapi jauh lebih pas dengan hakikatnya masing-masing, satu diantaranya adalah didik-mendidik (pengganti istilah belajar-mengajar).
Pendidikan dalam Sugihartono, dkk (2015: 3) berasal dari dari kata didik, mendidik berartimemelihara dan membentuk latihan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang dan sekelompok orang dalam usaha mendewasakan menusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut Poerbakawatja dan Harahap dalam Muhibbin Syah (2001) dalam Sugihartono, dkk (2015: 3) mengatakan bahwa pendidikan merupakan usaha secara sengaja dar orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya.
Dari definisi-definisi tersebut dalam Sugihartono, dkk (2015: 3-4) dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan dalam Anonim (2015) akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Berdasarkan sudut pandang sosiologi interaksi dalam bidang pendidikan seharusnya menguntungkan satu sama lain baik pendidik dengan pendidik, pendidik dengan murid, maupun murid dengan murid.
Menurut Anonim (2015) masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistempendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru (Anonim, 2015).
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikangaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa (Anonim, 2015).
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita (Anonim, 2015).
Menurut Junida (2016) Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini identik dengan ciri-ciri kemiskinan. Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek. Selain itu, endahnya efisiensi internal karena lamanya masa studi melampaui waktu standar yang sudah ditentukan. Rendahnya juga efisiensi eksternal sistem pendidikan yang disebut dengan relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang cenderung terus meningkat. Secara empiris kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih di dominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebuh kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
Terjadi kecenderungan menurunnya akhlak dan moral yang menyebabkan lunturnya tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial, seperti terjadinya tawuran pelajar dan kenakalan remaja. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting menjadi landasan akhlak dan moral serta budi pekerti yang luhur perlu diberikan kepada peserta didik sejak dini. Dengan demikian, hal itu akan menjadi landasan yang kuat bagi kekokohan moral dan etika setelah terjun ke masyarakat. Berbagai masalah diatas erat kaitanya dengan kendala seperti keadaan geografis, demografis, serta sosio-ekonomi besarnya jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah geografis Indinesia cukup luas. Kemiskinan juga merupakan salah satu kendala yang memiliki hubungan erat dengan masalah pendidikan. Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan tidak hanya disebabkan oleh adanya kelemahan menejemen pendidikan tingkat mikro lembaga pendidikan, tetapi karena juga menejemen pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan sistem pendidikan. Sistem dan dan tata kehidupan masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan rendahnya mutu sistem pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya mutu peserta didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan progran yang ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik karena fenomena dan penyebab timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia (Junida, 2016).
Sistem pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai supra sistem. Pembanguan sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak singkron dengan pembanguanan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sistem sosial budaya sebagai supra sistem tersebut, dimana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya suatu permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat disekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya diluar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut (Junida, 2016).
KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA SAAT INI DAN PENYEBAB RENDAHNYA MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dalam Musyaddad (2013, 51-52) yang dirilis pada tanggal 5 Oktober 2009 Indonesia berada pada kategori Pembangunan Manusia Menengah dengan Indeks IPM 0,734, dan berada di urutan ke-111 dari 180 negara. Posisi ini kalah jauh dari negara tetangga kita, Malaysia, yang berada pada kategori Pembangunan Manusia Tinggi dengan indeks IPM 0,829, dan berada pada urutan ke-66. IPM merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Terlihat jelas bagaimana kondisi pendidikan bangsa kita dewasa ini. Pada kenyataanya pendidikan belum sepenuhnya memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui nilai dan manfaat pendidikan itu sendiri. Rendahnya kualitas lulusan merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan di Indonesia belum secara optimal dikembangkan. Relevansi pendidikan dalam hal substansi dengan kebutuhan masyarakat dinilai masih rendah. Parahnya lagi, pendidikan menjadi kawasan politisasi dari para pejabat. Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita (Musyaddad (2013, 51-52).
Berdasarkn konsep sejarah, dunia pendidikan dapat mengalami kemajuan dan kemunduran pada waktu tertentu dengan berbagai sebab akibat yang ada. Dunia pendidikan di Indonesia saat ini menurut Yuhandono (2016) masih memiliki beberapa kendala yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Beberapa diantaranya adalah jumlah guru yang belum merata, keterbatasan akses pada pendidikan, serta kualitas guru itu sendiri yang dinilai masih kurang. Terbatasnya akses pendidikan di Indonesia, terlebih di daerah mengakibatkan meningkatnya arus urbanisasi dengan tujuan untuk mendapatkan akses ilmu yang lebih baik di perkotaan.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu (Anonim, 2015) :
Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini, interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana, masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek daripendidikan.
Pendidikan di Indonesia sangatlah rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Kini kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal tersebut bisa dilihat dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru sekarang banyak sekali guru-guru yang hanya sebatas mengajar, kecuali bagi guru-guru lama yang yang sudah berdedikasi di dunia pendidikan. Gaji guru menjadi permasalahan saat ini, banyak sekali guru yang resign mengajar dan lebih menjadi buruh pabrik hal ini karena gaji guru yang begitu rendah. Selain staf pengajar, masalah sarana belajar perlu diperhatikan agar proses belajar mengajar lebih berkuallitas.
Menurut Anonim penyebab rendahya mutu pendidikan di Indonesia, diantaranya (Anonim, 2016) :
Efektifitas Pendidikan di Indonesia Sangat Rendah
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah kurangnya efektifnya pendidikan di Indonesia. Misalnya tidak adanya sasaran ketika mengajar sehingga mengakibatkan peserta didik tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai proses pendidikannya. Masyarakat masih beranggapan bahwa pendidikan atau sekolah yang lebih tinggi modal utama untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan yang diambil tidak sesuai bakat dan minat murid, dan masih banyak staf pengajar yang mengajar tidak sesuai dengan jurusannya. Hal tersebut menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan.
Efisiensi Pendidikan Di Indonesia
Masalah efisiensi pendidikan di Indonesia yang sering terjadi yaitu mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pengajaran, dan kualitas staf pengajar. Di Indonesia mahalnya biaya pendidikan masih sempat dikeluhkan oleh sebagian masyarakat, walaupun harga pendidikan di Indonesia relative rendah dibandingkan negara-negara lain.
Standardisasi Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Undonesia diukur oleh standard dan kompetensi, salah satunya Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). kadang kala standardisasi dan kompetensi ini memiliki bahaya yang tersembunyi yaitu seperti hanya memikirkan bagaimana caranya agar mencapai standar pendidikan saja, sehingga lupa akan pendidikan efektif dan dapat digunakan. Sayang sekali hal ini menjadi pendidikan seperti kehilangan makna dikarenakan terlalu menuntun standar kompetensi
PENGARUH DARI PERKEMBANGAN IPTEK, PERTUMBUHAN PENDUDUK, DAN ASPIRASI MASYARAKAT TERHADAP PERKEMBANGAN MASALAH PENDIDIKAN
Permasalahan pokok pendidikan sebagaimana telah di atas merupakan masalah pembangunan mikro, yaitu masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan sendiri. Masalah mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan, yaitu masalah di luar system pendidikan, sehingga juga harus diperhatikan di dalam memecahkan masalah mikro pendidikan. Masalah makro ini berupa antara lain masalah perkembangan internasoinal, masalah demografi, masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta masalah perkembangan regional.
Uraian selanjutnya akan mengemukakan masalah-masalah makro yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan, yaitu (Mardijah, dkk, 2012: 9-14) :
Perkembangan IPTEK dan seni
Perkembangan IPTEK
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dengan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam semesta, dan teknologi, adalah penerapan yang direncanankan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Sebagai contoh betapa eratnya hubungan antara pendidikan dengan iptek itu, misalnya seiring suatu teknologi baru yang digunakan dalam suatu proses produksi menimbulkan kondisi ekonomi social baru lantaran perubahan persyaratan kerja, dan mungkin juga penguraian jumlah tenaga kerja atau jam kerja, kebutuhanbahan-bahan baru, sistem pelayanan baru, sampai kepada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersuebut minimal dapat mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tunjangan pendidikan, otomatis juga sarana juga sarana penunjangnya seperti searana laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu membawa masalah dalam skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Hal ini disinggung dalam butir 3 masalah efisiensi pendidikan tentang perubahan kurikulum.
Contoh di atas memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan. Di samping pengaruh tidak langsung, juga banyak pengaruh yang langsung terhadap sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan gurudan gedung sekolah seperti system pamong dan SMP terbuka, pengadaan guru relatif cepat seperti dengan program diploma, pengadaan guru dan perlindungan terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Selain itu diadakan juga program menghemat waktu belajar (RIT: Reduce Instructional Time), memperluas jangkauan peserta didik denga biaya relatif murah seperti sistem belajar jarak jauh (BIJ), efektifitas proses belajar dan kualitas hasil seperti CBSA dengan pemanfaatan tenaga non-guru antara lain konselor, teknisi sumber belajar,dan lain-lain.
Hampir setiap inovasi mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti membawa hasil. Kita sudah banyak mendapatkan pengalamandalam hal ini. Kedua, orang merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru. Umumnya lebih suka mengerjakan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan rutin dan ragu menerima hal baru yang belum dikenal.
Masalahnya adalah bagaimana cara memperkenalkan suartu inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengandung dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan prinsip-prinsip) dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya). Kepada masyarakat sasaran perlu diperkenalkan aspek konsepsionalnya sehingga memahami tujuan dan manfaatnya serta motif yang mendasarinya.
Lazimnya suatu inovasi baru disebarluaskan setelah lebih dahulu diujicobakan dalam ruang lingkup terbatas. Masalah pertama muncul pada tahap uji coba, karena biasanya memerlukan biaya (contoh PPSP: Proyek Perintis Sekolah Pembangunan pada 8 IKIP sekitar tahun 80-an).
Selanjutnya masalah muncul pada tahap penyebarluasan pelaksanaan hasil uji coba (diseminasi). Pada tahap ini masalah mencakup banyak hal. Seperti dana, penyediaan prasarana dan sarana, ketenagaan, kurikulum beserta perangkat penunjangnya, dan seterusnya yang merupakan faktor –faktor yang dapat menimbulkan masalah. Bahkan jika seandainya suatu inovasi berhasil, mungkin saja menimbulkan masalah baru, misalnya antara lajn kurang cermatnya rancangan yang dibuat. Contoh program diploma yang berhasil dan dapat memproduksi tenaga baru yang diharapkan, tetapi berakibat alumni S1 tidak terangkat karena ketiadaan jatah.
Perkembangan seni
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang mengahasilkan sesuatu yang indah. Berkesenian menjadi kebutuhan hidup manusia. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan. Seni membutuhkan pengembangan.
Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan afektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan di samping kognitif yang sudah digarap melalui program/bidang studi yang lain.
Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah mengalami perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat. Dengan memperhatikan alasan-alasan di atas maka sudah seyogianya jika dunia seni dikembangkan melalui sistem pendidikan secara terstruktur dan terprogram. Pengembangan kualitas seni secara terprogram menuntut tersedianya sarana pendidikan tersendiri di samping program-program yang lain dalam sistem pendidikan. Di sinilah timbulnya masalah pendidikan kesenian yang mempunyai fungsi begitu penting tetapi di sekolah-sekolah saat ini menduduki kelas dua. Pendidikan kesenian baru terlayani setelah program studi yang lain terpenuhi pelayanannya. Itulah sebabnya mengapa kesenian tidak termasuk Ebtsnas, di samping juga sulit menyediaakan tenaga pendidiknya. Lagipula sarana penunjang umumnya tidak tersedia secara memadai karena mahal.
Laju Pertumbuhan Penduduk
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu :
Pertambahan penduduk.
Menurut Emil Salim (Conny R. Semiawan, 1991: 18) gambaran pertambahan penduduk adalah sebagai berikut: dari sekarang hingga abad XXI, terus menerus bahan pendudukan akan terjadi pertambahan jumlah penduduk meskipun gerakan KB berhasil. Sebabnya karena tingkat kematian menurun lebih cepat yaitu sebesar 4,5% dari turunnya tingkat kelahiran, yaitu sebesar 3,5%. Hal tersebut juga mengakibatkan berubahnya susunan umur penduduk. Tentang pertumbuhan penduduk itu Bank Dunia memperkirakan gambaran seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Dengan berkembangnya jumlah penduduk, maka penyedian prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang pembangunan nasional menjadi bertambah. Pertambahan penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja, dan penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi pergeseran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cenderung lebih meningkat dibanding dengan permintaaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan, permintaan untuk lanjut ke perguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk usia tua yang yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan nonformal.
Penyebaran penduduk
Penyebaran penduduk di seluruh pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat penduduk, terutama di kota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu di daerah pedalaman khususnya di daerah terpencil yang berlokasi di pegunungan dan di pulau-pulau. Sebaran penduduk seperti digambarkan itu menimbulkan kesultan dalam penyediaan sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunnya SD kecil untuk melayani kebutuhan akanpendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di samping SD regular. Belum lagi kesulitan dalam hal penyediaan dan penempatan guru. Disamping sebaran penduduk seperti digambarkan itu denganpola yang statis (di kota padat, di desa jarang) juga perlu diperhitungkan adanya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) yang terus menerus terjadi. Peristiwa ini menimbulkan pola yang dinamis dan labil yang lebih menyulitkan perncanaan penyediaan sarana pendidikan. Pola yang labil ini juga merusak pola pasaran kerja yang seharusnya menjadi acuan dalam pengadaan tenaga kerja.
Aspirasi masyarakat
Dalam dua darsa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Orang mulai melihat bahwa untuk dapat hidup yang lebih layak dan sehat harus ada pekerjaan tetap yang menopang, dan pendidikan memberi jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan menetap itu. Pendidikan dianggap memberikan jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian ditangga social. Sebagai akibat dari meningkatnya aspirasi terhadap pendidikan maka orang tua mendorong anaknya untuk bersekolah, agar nantinya anak-anaknya memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada orang tuanya sendiri. Dorongan yang kuat ini juga terdapat pada anak-anak sendiri. Mereka (orang tua dan anak-anak) merasa susah jika mendapat rintangan dalam bersekolah dan melanjutkan studi. Mungkin ini dapat dipandang sebagai indicator tentang betapa besarnya aspirasi orang tua dan anak terhadap pendidikan itu.
Apa akibat yang timbul dari perubahan social tersebut? Gejala yang timbul ialah membanjirnya pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota, di samping pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan nonformal. Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah murid dan siswa perkelas melebihi yang semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak, diadakannya kesempatan belajar bergilir pagi dan sore dengan penguranganjam belajar, kekurangan sarana belajar, kekurangan guru, dan seterusnya. Dampak langsung dan tidak langsung dari kondisi sebagaimana digambarkan itu ialah terjadinya penurunan kadar efektifitas. Dengan kata lain, massalisasi pendidikan menghambat upaya pemecahan masalah mutu pendidikan. Massalisasi pendidikan ibarat perusahaan konveksi pakaian yang hanya melayani tiga macam ukuran (large, medium, small). Kebutuhan individual yang khusus tidak terlayani. Namun demikian tidaklah berarti bahwa aspirasi terhadap pendidikan harus diredam, justru sebaliknya harus tetap dibangkitkan dan ditingkatkan, utamanya pada masyarakat yang belum maju dan masyarakat di daerah terpencil, sebab aspirasi menjadi motor penggerak roda kemajuan.
Keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan
Keterbelakangan budaya adalah suatu istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaanya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik. Terlepas dari kenyataan apakah kebudayaannya tersebut tradisional atau sudah ketinggalan zaman. Karena itu penilaian dari masyarakat luar ini dianggap subjektif. Semestinya masyarakat luar itu bukan harus menilainya melainkan hanya melihat bagaimana kesesuaian kebudayaan tersebut dengan tuntutan zaman. Jika sesuai dikatakan maju dan jika tidak sesuai lalu dikatakan terbelakang.
Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, apalagi mandeg, tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya berubah. Berubahnya unsur-unsur kebudayaan tersebut tidak selalu bersamaan satu dengan yang lain. Ada unsur yang lebih cepat dan ada yang lambat laun brubah, namu yang jelas terjadinya perubahan tidak pernah terhenti sepanjang masa, bahkan meskipun perubahan yang baru itu kea rah negative.apalagi pada abad ke-20 ini, dimana perkembangan iptek demikian pesat dan merambah ke seluruh bidang kehidupan.
Khususnya dengan munculnya penemuan-penemuan baru di bidang telekomunikasi/televise dan transportasi yang menimbulkan revolusi informasi yang menembus batas-batas antarnegara dan bangsa danmembuat bumi menjadi terasa kecil yang dikenal dengan era globalisasi, maka mudah terjadi pertukaran kebudayaan antarbangsa. Jika terjadi pertautan antara unsur kebudayaan baru dari luar dengan unsur kebudayaan lama yang lambat berubah maka terjadilah apa yang disebut kesenjangan kebudayaan (cultural lag).
Perubahan kebudayaan terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material seperti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi, dan yang bersifat nonmaterial seperti paham atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi karena:
Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misalnya terpencil).
Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsure budaya baru karena tidak dipahami atau karena dikhawatirkan akan merusak sendi masyarakat.
Ketidakampuan masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
Masyaakat daerah terpencil.
Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
Masyarakat yang kurang terdidik.
Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang kebudayaanya tidak ikut berperan serta dalam pembangunan, sebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan mereka. Bukankah pendidikan mempunyai misi sebagai transformasi budaya (dalam hal ini adalah kebudayaan nasional). Sebab system pendidikan yang tangguh adalah yang bertumpu pada kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional selalu berkembang dengan bertumpu pada intinya sehingga tidak pernah ketinggalan zaman. Jika sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat terbelakang kebudayaannya berarti melibatkan mereka untuk berperan serta dalam pembangunan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Permasalahan pendidikan di Indonesia yaitu menghasilkan “manusia robot”, sistem pendidikan yang top-down, model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya, rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity), menurunnya akhlak dan moral, serta sistem pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai supra system. Kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia adalah faktor internal dan eksternal. Faktor lain yaitu efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, standardisasi pendidikan di Indonesia, perkembangan iptek dan seni, laju pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat, dan keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan
SARAN
Sebaiknya perubahan sistem pendidikan nasional harus terus dilakukan agar pendidikan di Indonesia memiliki kualitas yang lebih baik mengingat kemajuan Indonesia sangat ditentukan oleh pendidikan. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan, ini akan meningkatkan pula sumber daya manusia yang memiliki kualitas baik juga sehingga mampu bersaing secara sehat dengan negara-negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang M, dkk. 2015. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Anonim. 2015. Makalah Permasalahan Pendidikan di Indonesia. Diakses pada tanggal 23
Oktober 2016 di www.teoripendidikan.com
Anonim. 2016. Makalah tentang Rendahnya Pendidikan di Indonesia. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2016 di www.sarungpreneur.com
Junida, Dwi Surti. 2016. Masalah Pendidikan di Indonesia Part 2. Diakses pada tanggal 23
Oktober 2016 di www.anak.ependidikan.com
Mardijah, dkk. 2012. Makalah Permasalahan Pendidikan. Diakses pada tanggal 23 Oktober
2016 di www.academiaedu.com
Musyaddad, Kholid. 2013. Problematika Pendidikan di Indonesia. Jurnal : Edu-Bio, Vol. 4,
51-57.
Sugihartono, dkk. 2015. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Yuhandono, Insan. 2016. Makalah tentang Pendidikan. Diakses pada tanggal 23 Oktober
2016 di www.masukuniversitas.com
20