HIMPSI
ISSN: 0853-3098
•
•
•
•
•
•
•
JURNAL
PSIKOLOGI
INDONESIA
2017, Juni, Vol XII, No 1, h. 1-117
CONTRIBUTING FACTORS TO PORNOGRAPHY DISTRESS IN PORNOGRAPHY
USERS’ WIVES (h. 1-18)
Inez Kristanti and Dinastuti
Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING PROGRAM TO INCREASE TEACHERS’ SELF
EFFICACY IN TEACHING CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS (h. 19-30)
Amitya Kumara, Dian Mufitasari, Krysna Yudy Nusantari, and Iga Serpianing Aroma
Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK DEWASA MUDA
DENGAN ACROPHOBIA (h. 31- 40)
Garvin
Universitas Bunda Mulia
Monty Satiadarma dan Denrich Suryadi
Universitas Tarumanagara
EMOSI POSITIF PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN
SPEKTRUM AUTIS (h. 41- 62)
Nurussakinah Daulay
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
BENARKAH UKURAN SAMPEL MINIMAL = 30 ? (h. 63-84)
Agung Santoso
Universitas Sanata Dharma
PRAKTEK KESELAMATAN KERJA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG
KARYAWAN (h. 85-104)
Raden Siti Ayunda Nurita dan Rayini Dahesihsari
Magister Psikologi Profesi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
ART THERAPY BERBASIS CBT UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS ANAK
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (h. 105-117)
Yustisia Anugrah Septiani dan Maria Goretti Adiyanti
Universitas Gadjah Mada
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab
Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia
Ketua Dewan Redaksi
Dr. Tjipto Susana, M.Si., Psikolog
Sekretaris Dewan Redaksi
Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.
Anggota Dewan Redaksi
Prof. Dr. Faturochman, M.A.
Prof. A Supratiknya, Ph.D., Psikolog
Dr. Moordiningsih, M.Si., Psikolog
J. Seno Aditya Utama, S.Psi., M.Si.
Mitra Bestari
FENDY SUHARIADI
HERA LESTARI
Penerbit
Himpunan Psikologi Indonesia
Alamat Redaksi
Sekretariat Himpunan Psikologi Indonesia
Jl. Kebayoran Baru No. 85 B, Kebayoran Lama, Velbak
Jakarta 12240
Telp/Fax: 021-72801625
Situs web: http://jurnal.himpsi.or.id ;
https://independentscholar.academia.edu/JurnalPsikologiIndonesia
Surat elektronik:
[email protected]
Media Sosial:
http://twitter.com/himpsipusat ;
http://instagram.com/himpsipusat
http://facebook.com/himpsi
H
Jurnal Psikologi Indonesia terbit dua kali dalam setahun, pada bulan Juni dan Desember. Redaksi
menerima tulisan berupa laporan hasil penelitian dalam bidang psikologi yang dilakukan oleh para ahli atau
pemerhati psikologi. Tulisan dikirimkan dalam bentuk soft copy (DOC/DOCX) melalui surat elektronik.
Jurnal Psikologi Indonesia
PORNOGRAPHY DISTRESS
2017, Vol. XII, No. 1, 1-18, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
1
CONTRIBUTING FACTORS TO
PORNOGRAPHY DISTRESS IN
PORNOGRAPHY USERS’ WIVES
(FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG
PORNOGRAPHY DISTRESS PADA ISTRI
PENGGUNA PORNOGRAFI)
Inez Kristanti and Dinastuti
Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Some women react negatively to their husbands’ habit of using pornographic materials and this reaction is
called pornography distress which can potentially bring damage to a marriage such as lowering the quality of
sexual activities and marital satisfaction. To help solve the issue, the differentiating factors between women
who experienced pornography distress and those who did not were identified. Seven contributing factors to
pornography distress were proposed: perceived frequency of husband’s pornography use, the duration of
knowledge about husband’s pornography use, the way of knowing about husband’s pornography use, attitude
towards pornography use, and exposure to sexual content from the media, religious salience, and
differentiation of self. This research aimed to discuss factors that significantly contribute to pornography
distress. Data from 161 women who are married to pornography users were obtained through accidental
sampling. All participants were currently residing in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, or Bekasi. Multiple
linear regression analysis found four significant contributing factors: the way the subjects found out about their
husbands’ pornography use, attitude towards pornography, religious salience, and differentiation of self.
Results showed that contributing factors to pornography distress came from various sources. Each spouse
should work together to achieve some sort of agreement and understanding to solve pornography distress
issues. Several suggestions regarding the issue are discussed.
Keywords: marriage, pornography, pornography distress, sexuality, wives
Sebagian perempuan menunjukkan reaksi negatif terhadap kebiasaan suami menggunakan pornografi.
Reaksi ini disebut sebagai pornography distress. Pornography distress dapat mendatangkan dampak buruk
dalam pernikahan, misalnya menurunkan kualitas hubungan seksual dan kepuasan pernikahan. Untungnya,
tidak semua perempuan menunjukkan tanda-tanda pornography distress. Untuk membantu penyelesaian
masalah ini, faktor yang membedakan antara perempuan yang mengalami dan tidak mengalami pornography
distress perlu diidentifikasi. Terdapat tujuh faktor yang diduga berkontribusi terhadap pornography distress;
persepsi tentang frekuensi penggunaan pornografi suami, lama mengetahui penggunaan pornografi suami,
cara mengetahui penggunaan pornografi suami, sikap terhadap pornografi secara umum, keterapaparan
terhadap konten seksual dalam media, religious salience, dan diferensiasi diri. Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan faktor-faktor yang berkontribusi secara signifikan terhadap pornography distress. Data dari 161
istri pengguna pornografi diperoleh dengan accidental sampling. Semua partisipan tinggal di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, atau Bekasi pada saat pengambilan data. Analisis menggunakan multiple linear
regression menunjukkan adanya empat faktor yang berkontribusi secara sgnifikan: cara mengetahui
penggunaan pornografi suami, sikap terhadap pornografi, religious salience, dan diferensiasi diri. Hasil
1
2
KRISTANTI & DINASTUTI
penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berkontribusi terhadap pornography distress datang dari
sumber yang beragam. Oleh karena itu, masing-masing pihak dalam pernikahan perlu bekerjasama untuk
memperoleh kesepakatan dan pemahaman satu sama lain yang dapat menyelesaikan masalah pornography
distress. Beberapa langkah praktis akan didiskusikan dalam artikel ini.
Kata kunci: pernikahan, pornography, pornography distress, seksualitas, istri
Pornography is “any sexually oriented
material that is created simply for the
purpose of arousing viewer” (Carroll, 2010).
Pornography materials are easily accessed
from almost all kinds of media-internet, in
particular (Copper et al., as cited in Stewart
& Szymanski, 2012; P.M. Markey &
Markey, 2012). It is hard to tell the exact
number of pornography users in Indonesia,
however most people agree that this
country shows high usage of pornography
materials, occupying first to fifth rank in the
world (“Kominfo sebut”, 2012; Olivia, 2013;
Pitoyo, 2012; Suryanto, 2009).
Research on pornography in Indonesia
is largely emphasized on teenage
population (Ramadhan, 2013; Roviana,
2011; “Sebagian besar”, 2013), when there
are plenty of married individuals actively
seeking pleasure from pornography
materials. A pilot study conducted to 98
married individuals in Jabodetabek (an
acronym referring to five big cities in West
Java: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi) shows that 81.63% of them uses
pornography. Thirty percent of them uses
pornography once to seven times a week.
Large proportion (83.33%) of married
women admit the tendency to use
pornography with their partners while more
men (56.82%) prefer to do it alone. Men
tend to use pornography as a mean to
achieve sexual pleasure without their
partners while women tend to use it to
elevate sexual pleasure before having
sexual intercourse. These findings are
consistent with Hald (as cited in Carroll,
2010) and Strager (2003) that most of men
use pornography to achieve sexual
pleasure, by masturbating.
The primary purpose of men’s
pornography use as sexual gratification
leads to further question about how the
usage might psychologically affect their
wives. There has not been a single study
that addresses this issue in the context of
marriage; however, there are at least two
United States studies (Bergner & Bridges,
2002; Bridges, Bergner, & Hesson-McInnis,
2003) that question the impact of men’s
pornography use towards women who are
involved with them romantically. The first
study conducted by analyzing online
messages written by 100 women in four
internet message boards about their
partners’ heavy pornography usage
(Bergner & Bridges, 2002). This study
concluded that men’s pornography use can
potentially alter their partners’ view about
themselves: they tend to view themselves
more negatively; they tend to feel less
worthy or attractive, they tend to feel weak
and stupid because their male partners
have treated them inappropriately. These
negative conceptions are not only
developed towards themselves, but also
PORNOGRAPHY DISTRESS
their partners. They tend to view their
partners as perverts or sex addicts. Men’s
pornography use might also affect their
partners’ view on their relationships.
Women in these relationships tend to feel
betrayed, as if their partners have
“cheated”. Bridges, et al. (2003) summed
up these negative responses with one term:
pornography
distress,
or
negative
experience/condition that is felt by an
individual as a response to her partner’s
pornography use.
These findings by Bergner and Bridges
(2002) serve as empirical evidence that
women might be significantly affected by
their
partners’
pornography
use.
Meanwhile, men’s pornography use is
proved to correlate significantly with the
overall relationship satisfaction (Poulsen,
Busby, & Galovan, 2013). Moreover, a
survey
by
American
Academy
of
Matrimonial Lawyers in Chicago (as cited in
Manning, 2006) shows that 56% of divorce
cases
in
2002
involved
internet
pornography usage issue by one of the
spouses. The presence of this long-term
effect makes pornography distress as an
issue that needs to be addressed. One
thing to keep in mind is that not all women
who are married to pornography users
actually experience pornography distress.
Bergner and Bridges (2002) acknowledged
that the data that they gathered for their
first study was obtained from a highly
distressed
population
(women
who
deliberately complained and sought help
regarding their partners’ pornography use).
They then conducted a quantitative study to
100 women who were involved in romantic
relationships with pornography users
3
(Bridges et al., 2003). In general, this group
of women showed neutral to positive
reactions
towards
their
partners’
pornography use. This same kind of
variation was also found to the
Jabodetabek pilot study (conducted by the
authors). Sixteen percent out of 33 women
also
supported
their
husbands’
pornography use, 63.16% of them had
neutral attitude, while only 21.05% if them
felt surprised or uncomfortable.
The presence of these women who
shows more positive reactions towards
their husbands’ pornography use may
serve as the key to solve pornography
distress problems. The next critical step is
to identify factors that differentiate between
women who experience pornography
distress and those who do not. In
identifying these differentiation factors, we
took account both empirical and theoretical
supporting
evidence
from
several
perspectives. Based on extensive review of
literatures which focus on how pornography
impacts marriage, we found seven factors
which have been proven empirically to be
related to pornography distress, or, at least
have been expected to be theoretically
related (Bergner & Bridges, 2002; Bridges
et al., 2003; Cavaglion & Rashty, 2010;
Ford, Durtschi, & Franklin, 2012; W. Maltz
& Maltz, 2009; Ogas & Gaddam, 2011;
Schneider, Weiss, & Samenow, 2012;
Sessoms, 2011; Stewart & Szymanski,
2012; Ward & Friedman, 2006; Zitzman &
Butler, 2009). These seven factors are: (1)
perceived frequency of pornography use,
(2) the duration of knowledge about
pornography use, (3) the way of knowing
about husband’s pornography use, (4)
4
KRISTANTI & DINASTUTI
attitude towards pornography use, (5)
exposure to sexual content from the media,
(6) religious salience, and (7) differentiation
of self. Their relations to pornography
distress will be discussed below.
The inclusion of first factor (perceived
frequency of pornography use) was
supported by Bridges et al.’s (2003) study,
which concluded that perceived frequency
of husbands’ pornography use was
positively correlated with pornography
distress.
Husbands’
frequency
of
pornography use-as reported by their
wives-was negatively correlated with
relationship quality, sexual satisfaction, and
self-esteem (Stewart & Szymansky, 2012).
The second factor (duration of
knowledge about pornography use) were
supported by findings that women showed
fluctuated
responses
towards
their
partners’ pornography use from time to
time
(Cavaglion
&
Rashty,
2010;
Schneider, Weiss, & Samenow, 2012;
Zitzman & Butler, 2009). W. Maltz and
Maltz (2009) discussed several stages that
women experiences during their discovery
of partners’ pornography use. They
explained that women in general would feel
surprised and hurt right after the discovery
of partners’ pornography use. However,
over time they would be expected to show
a more accepting attitude towards this
situation.
Third, feelings of surprise and hurt
might not be experienced universally by all
women in this situation. We suspected that
how women responding to their partners’
pornography use would be partially
determined by how they discover the
usage. There has not been found a single
literature that specifically addresses this
issue, however, from case descriptions
found in Ford, Durtschi, and Franklin (2012)
and Ogas and Gaddam (2011) we can
conclude that the reaction of distressed as
feelings of being cheated or sense of
worthlessness tended to be found in
women who discover their partners’
pornography use by catching their partners
on their acts or finding the evidence of their
usage (such as internet histories or
VCD/DVD materials). Meanwhile, we have
not found any distress with the same level
of intensity on women whose husbands
honestly disclosed their pornography habit.
This pattern of response would seem
logical as study successfully concluded that
some women felt that the heart of the
problem did not lie on the usage per se, but
on the dishonesty and deceit performed by
their partners (Zitzman & Butler, 2009).
These findings set a good foundation to
include the third factor (the way of knowing
about husband’s pornography use) into our
hypothesis.
Fourth, Bergner and Bridges (2002)
found
women
who
experienced
pornography distress developed a more
negative view towards their partners as
individuals, such as seeing their partners
as perverts or degraded in terms of
sexuality. This finding raised further
question: “are those negative conceptions
emerged simply because it was their
partners who used the pornography
materials or these women had actually
possessed those negative attitudes,
regardless of the subjects who were using
the materials?” The logic was to suspect
that if women have been indeed holding
PORNOGRAPHY DISTRESS
negative attitudes towards pornography
usage in general, it would be more likely for
them to show high pornography distress
when their partners were also users.
Therefore, it was reasonable to suspect
that
women’s
general
attitude
to
pornography
use
also
served
as
determinant for their pornography distress.
Fifth, it is also important to address that
pornography was never a sole provider of
sexual contents, as people may also find
them in other forms of media, such as
movies, TV series, music videos, or
internet. While all kinds of information from
media have strong influence to individual’s
opinions and beliefs, sexual content seen
from media is also potential to alter
individual opinions and beliefs regarding
sexual matter. Moreover, Ward and
Friedman (2006) also found that the habit
of viewing sexual content from television
had significant and positive correlation with
individual support towards recreational
sexual behavior, including pornography.
Therefore, women who are exposed daily
to sexual content from numbers of media
are expected to show less rejection
towards husbands’ pornography habit. In
the other words, it is less likely that those
women would experience pornography
distress compared to their counterparts.
Therefore, it was safe to conclude that fifth
factor (exposure to sexual content from the
media) might contribute to women’s
experience of pornography distress.
Sixth, the authors would also like to
raise a religious factor as a contributor to
pornography distress. Pornography is
usually seen as something that goes
against religious values. Several studies
5
showed that there was negative correlation
between
religiosity
and
individual
acceptance to pornography materials
(Carroll; Woodrum; Lambe; Nelson et al.,
as cited in Sessoms, 2011). It is probably
safe as well to expect that the higher
religious salience, the harder it is for her to
accept if one of their significant others (e.g.
spouse) is actively involved in pornography.
Hypothetically, it is logical enough to expect
that this acceptance difficult might result in
high pornography distress.
Last, a focus to individual internal factor
might also beneficial in determining the
contributing
factors
to
pornography
distress. In this regard, the authors
proposed differentiation of self-the degree
to which one is able to balance (a)
emotional and intellectual functioning and
(b) intimacy and autonomy in relationships
as another possible contributing factor.
Highly differentiated individual is able to
regulate her emotion under stressful
situation. In contrast, a poorly differentiated
person tends to experience more difficulties
to remain calm in response to the
emotionality of others and tends to be
easily affected by their close ones’
behavior. The authors argue that these
tendencies might serve as one possible
explanation
underlying
pornography
distressed individuals’ behavior.
The purpose of this study is to examine
whether those seven factors-as a wholecontribute to pornography distress. If those
seven factors together had shown
significant contribution, it would be
examined further which factors that show
significant contribution individually.
The importance of this study lay
6
KRISTANTI & DINASTUTI
primarily on the significance of pornography
distress issue in marital context, while at
the same time there had not been a single
study intending to address this issue in
Indonesia. Despite of the low number of
women admitting their disapproval towards
their husbands’ pornography use in the
pilot study, almost half of them (42.42%)
further admitted that they intend to
eliminate or at least alleviate the usage.
This slight inconsistency between the two
data might be mediated by the nature of
collectivistic culture in Indonesia which
shows less favor on the expression of
negative emotions (Eisenberg, Pidada, &
Liew, 2001; Markus & Kitayama, 1991;
Oyserman, 1993). It is highly possible that
women who showed support or ignorance
towards their husbands’ pornography use
might secretly feel the negative emotion or
pornography distress. It is important to take
this possibility into account as an indication
that the pornography distress problem in
Jabodetabek might be more serious than it
looks on the raw data. This study then
might become the first ever culturally
sensitive reference for treating the problem
and anticipating its negative consequences
in marital context.
Based on the above, this research
aimed to test one hypothesis and answer
one question: H1: Perceived frequency of
husband’s pornography use, the duration of
knowledge about husband’s pornography
use, the way of knowing about husband’s
pornography
use,
attitude
towards
pornography use, exposure to sexual
content from the media, religious salience,
and differentiation of self, contributed
together and significantly to pornography
distress.
R1: Which factors among the seven
proposed
contribute
individually
to
pornography distress?
Methods
Participants
Participants were 161 Indonesian
women who met the following criteria: (1)
married; (2) were aware of their husbands’
pornography use; (3) resided in Greater
Jakarta which include Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, or Bekasi. There was
no age limitation for participation as one of
most important part of this study is the
variation of its subjects (participants aged
from 19-57 years). Mean age of
participants was 35.81 years (SD = 9.77).
City of residence were check against the
estimated population of married women
living in Jabodetabek (estimated through
the number of household within the five
areas; Badan Pusat Statistik Jawa Barat,
2010; Badan Pusat Statistik Kota Depok,
2010; Badan Pusat Statistik Kota
Tangerang, 2011; “Provinsi DKI”, 2010).
Participants
were
found
to
be
representative in terms of domicile.
Procedure
Online and hard copy questionnaires
were administered to 565 married women
living in Jabodetabek with the help from 8
enumerators (second year students of
psychology undergraduate program in
Atma
Jaya
Catholic
University
of
Indonesia). 167 out of the 565 did not
manage to finish all the questions and 237
did not aware of their husbands’
PORNOGRAPHY DISTRESS
pornography use. Complete responses
were
obtained
from
161
eligible
participants.
Measures
The instrument consisted of 120 items
and was divided into seven parts. Part one
consisted of a short instruction and items
related
to
socio-demographic
characteristics (age, sex, city of residence,
education, religion, ethnicity, economic
status, occupation, marriage status, age of
spouse, and age of marriage). To preserve
confidentiality, participants were allowed to
provide initials instead of their real names.
To avoid misinterpretation, participants
were informed about the definition of
pornography use: the act of seeing,
reading, or hearing pornographic materials
(e.g. pictures, sketches, illustrations,
photos, narrations, sounds, moving images,
animations,
conversations)
with
the
purpose of obtaining sexual pleasure. Any
kinds of sexual contact with real persons
are not considered as pornography here.
Part two, three, four, five, and six consisted
items to measure our research variable:
Pornography distress: Pornography
Distress Scale-Short Form (32-PDS). 32PDS was constructed by Bridges et al.
(2003) measuring the extent of negative
feelings experienced by women as the
response to their partners’ pornography
use. This measure was adapted to
Indonesian version for the purpose of this
study (Cronbach’s alpha= .96).
Perceived frequency of husbands’
pornography use. This variable was
measured by asking participants with the
following question: “To your knowledge,
7
how often does your husband use
pornography?” with the following options: 1)
less than once a month; 2) two to four
times a month; 3) one to two times a week;
4) three to five times a week; 5) once a
day; 6) several times a day.
Duration
of
knowledge
about
husband’s pornography use. This
variable was measured by asking
participants with the following question:
“How long have you known about your
husband’s pornography use? (please give
your best estimate)” Participants were
asked to respond in year and month (___
year(s) and ___ month(s)).
The
way
of
knowing
about
husband’s pornography use. This
variable was measured by asking
participants with the following question:
“How did you first find out about your
husband’s pornography use?” with the
following options: 1) had been asked by
husband to join his pornography use; 2)
had been told by husband about his
pornography use; 3) had found proof of his
pornography use; 4) had caught him in his
pornography using act; 5) others (please
specify).
Exposure to sexual content from the
media. This variable was measured by a
method of measuring exposure to a specific
content from media introduced by Bleakley,
Fishbein, Hennessy, Jordan, Chernin, and
Stevens (2008), with slight adjustment to fit
this research context. First, participants
were asked to mention three television
shows,
three
internet
sites,
three
newspapers or magazines, and three music
artists that they watch, access, read, or
listen to the most. They then were asked to
8
KRISTANTI & DINASTUTI
rate: 1) the frequency of their consumption
to those media from the last 12 months
(from the scale of 1 to 4; 1 = “rarely”; 2 =
“sometimes”; 3 = most of the time”; 4 =
“always”); 2) the intensity of sexual content
involved in those media (from the scale of 1
to 4: 1 = “no sexual content”; 2 = “a little
sexual content”; 3 = “some sexual content”;
4 = “a lot of sexual content”). Because the
scale of 1 refers to no sexual content at all,
for analytical purpose the intensity of
sexual content scale of 1 to 4 would be
converted to 0 to 3. For each television
show, internet site, newspaper, and
magazine, the frequency score would then
be multiplied by the intensity score, and
finally the result of those multiplications
would be added to produce the final
exposure to sexual content from the media
score.
Attitude towards pornography use:
Attitude towards Pornography Use
Scale (APUS). APUS was constructed
originally for the purpose of this study,
measuring
individual
psychological
tendency to give favorable or unfavorable
evaluation towards pornography use (e.g.
how individual thinks, feels, or reacts to
pornography use). Cronbach’s alpha on
this scale was .92.
Religious
salience:
Religious
Salience Scale (RSS). RSS was
constructed originally for the purpose of this
study, measuring the extent which religious
belief influences individual’s thoughts and
feelings in his daily lives. Cronbach’s alpha
on this scale was .96.
Differentiation of self: Differentiation
of Self Inventory (DSI). DSI was
constructed by Skowron and Friedlander
(1998) measuring the degree to which one
is able to balance (a) emotional and
intellectual functioning and (b) intimacy and
autonomy in relationships (Bowen, as cited
in Skowron & Friedlander, 1998). This
measure originally consists of four
subscales (Skowron & Friedlander, 1998):
Emotional Reactivity (ER; “the degree to
which a person responds to environmental
stimuli with emotional flooding”, I Position
(IP; “reflects a clearly defined sense of self
and the ability to thoughtfully adhere to his
convictions when pressured to do
otherwise”), Emotional Cutoff (EC; “reflects
feeling threatened by intimacy and feeling
excessive vulnerability in relations with
others”), and Fusion with Others (FO;
“reflects emotional over involvement with
others, including triangulation and over
identification with parents”). Based on
personal correspondence with the original
author, only ER, IP, and EC subscales
were adapted to Indonesian version for the
purpose of this study, as these three
subscales translate better across culture.
Cronbach’s alpha on full scale and three
subscales (ER, IP, and EC) were .84, .76,
.77, and .77 respectively.
Results
Considering
the
range
of
the
instruments and the actual median
obtained from the research data (Table 1),
the authors made conclusion about each
research variables. We present the data in
median because it is less susceptible to
extreme scores (Gravetter & Wallnau,
2013). Considering that the lowest possible
score was 7 and the highest possible score
9
PORNOGRAPHY DISTRESS
Table 1
Descriptive Statistics of Continuously-Scaled Research Variables
Pornography distress
Duration of
knowledge about
husband’s
pornography use
Attitude towards
pornography use
Exposure to sexual
content from the
media
Religious salience
Differentiation of self
Mean
Median
Score range of
the instruments
Score range of the
obtained data
92.7343
88.0000
7-224
34-189
8.535
(years)
5.000
(years)
-
1 (week)-40
(years)
38.8137
39.0000
6-84
12-79
17.2422
16.0000
0-144*
0-80
29.4886
127.4846
31.0000
127.0000
7-35
6-204
13-35
83-180
Table 2
Hypothesis Testing using Multiple Regression Analysis (Enter Method)
225.504
Standard
of error
20.687
1.190
2.292
-6.646
B
Constant
Perceived frequency of
husband’s pornography use
Way of knowing about
husband’s pornography use
Had been told by husband
about his pornography use*
Had found proof of his
pornography use*
Had caught him in his
pornography using act*
Others*
Duration of knowledge about
husband’s pornography use
Attitude towards pornography
use
Exposure to sexual content from
the media
Religious salience
Differentiation of self
* Dummy variable
β
t
p
10.901
.000
.034
.519
.604
6.298
-.078
-1.055
.293
15.796
6.445
.190
2.451
.015
44.647
9.758
.315
4.575
.000
21.687
15.935
.088
1.361
.176
.102
.298
.021
.344
.731
-.862
.178
-.333
-4.846
.000
.097
.159
.039
.613
.541
-1.717
.425
-.262
-4.036
.000
225.504
1.190
20.687
2.292
.034
10.901
.519
.000
.604
was 224, it can be concluded that the
10
KRISTANTI & DINASTUTI
Table 3
Hypothesis Testing using Multiple Regression Analysis (Stepwise Method)
228.285
Standard
of error
20.052
47.693
9.010
-.833
-.497
-1.672
17.881
B
Constant
Way of knowing about husband’s
pornography use:
Had caught him in his
pornography using act*
Attitude towards pornography use
Differentiation of self
Religious salience
Way of knowing about husband’s
pornography use:
Had found proof of his
pornography use*
* Dummy variable
research participants tended to show low
pornography distress (median = 88). The
data also showed that the participants tend
to
acknowledge
their
husbands’
pornography use for quite short time (5
years). Considering the possible range of
6-84, the data also showed that participants
tended to hold normal to negative attitude
towards pornography use (median = 39).
The median of 16 (compared to 0-144 of
range) showed that participants tended to
be exposed to little amount of sexual
content from media. On the other hand,
median of 31 (compared to 7-35 of range)
and 127 (compared to 6-204 of range) also
showed that research participants tended
to have high religious salience and
differentiation of self.
The descriptive statistics also showed
that the majority of participant perceived
very
low
frequency
of
husbands’
pornography use (over 44% of them
reported less than once a month usage).
β
t
p
11.385
.000
.337
5.294
.000
.166
.123
.419
-.322
-.250
-.255
-5.024
-4.033
-3.993
.000
.000
.000
5.303
.215
3.372
.001
Another descriptive statistics showed a
diverse figure on participants’ ways of
knowing
about
their
husbands’
pornography use. However, it might be
concluded that the majority of participants
acknowledged their husbands’ pornography
use by finding proof of their husbands’
pornography use themselves (31.06%),
through their husbands’ invitation to join
them (29.19%), or through their husbands’
disclosure (29.19%).
Hypothesis testing
Hypothesis 1: Perceived frequency of
husband’s pornography use, the duration of
knowledge about husband’s pornography
use, the way of knowing about husband’s
pornography
use,
attitude
towards
pornography use, exposure to sexual
content from the media, religious salience,
and differentiation of self, contribute
together and significantly to pornography
PORNOGRAPHY DISTRESS
distress.
To test this hypothesis, we made use of
multiple regression analysis, using Enter
method (Table 2). One variable (way of
knowing about husband’s pornography
use) was measured in nominal scale, and
for this case we made use of dummy
variables to include it on the regression
analysis.
The result showed that perceived
frequency of husband’s pornography use,
the duration of knowledge about husband’s
pornography use, the way of knowing about
husband’s pornography use, attitude
towards pornography use, exposure to
sexual content from the media, religious
salience, and differentiation of self,
contributed together and significantly to
pornography distress (F (10,150) = 12.200, p <
0.05). However, this analysis had not yet
determined which of the seven factors
individually contributed to pornography
distress. This issue will be addressed on
next research question.
Answering research question
Research question 1: Which factors
among the seven proposed contribute
individually to pornography distress?
Using the Stepwise method of multiple
regression analysis (Table 3) it was found
that not all of the seven proposed factors
actually
contributed
individually
to
pornography distress. Only four of them
were: the way of knowing about husband’s
pornography use (significant only on two
dummy variables: had caught him in his
pornography using act and had found proof
of his pornography use), attitude towards
pornography use, differentiation of self, and
11
religious salience (F (5,155) = 23.456, p <
0.05). This regression model contributed for
41.20%
of
the
variation
among
pornography distress.
The direction of each contribution may
also be concluded. The biggest contributor
(way of knowing about husband’s
pornography use, dummy variable: 1) had
caught him in his pornography using act (t
= 5.294, p < .05); 2) had found the proof of
his usage (t = 3.372, p < .05)) contributed
in positive direction. In other words, if a
woman
discovered
her
husband’s
pornography use by one of those two
modes, her pornography distress would be
increased. This finding confirmed the initial
notion that women who find out about their
husbands’ pornography use in a way that
does not suggest their husbands’ openness
about the issue to them, would then
experience higher pornography distress.
On the other hand, attitude towards
pornography use (t = -5.024, p < .05),
religious salience (t = -4.033, p < .05), and
differentiation of self (t = -3.993, p < .05) all
contributed in negative directions. In other
words, the higher women’s attitude towards
pornography use, religious salience, or
differentiation
of
self,
the
lower
pornography
distress
she
would
experience. Variable regarding women’s
attitude towards pornography use showed
a consistent direction with the initial idea
that a positive attitude would help women
to accept their husbands’ habits. A high
differentiation of self-orthe ability to balance
intimacy and autonomy function in a
relationship-also seemed to be helpful in
acceptinghusband’s pornography habit
without showing any exaggerated feelings.
12
KRISTANTI & DINASTUTI
An interesting result was shown by
religious salience variable. The research
data showed that this variable contributed
to pornography distress negatively, that the
higher religious salience, the lower
pornography distress would be. This result
was not consistent with the initial
expectation. This interesting inconsistency
would be further discussed in discussion.
using pornography tended to show lower
level of distress compared to women who
were not involved in pornography (U = 931,
p < .05). Moreover, women whose
husbands’ usually used pornography with
their
friends
experienced
more
pornography distress compared to women
whose husbands’ had usually used the
pornography with them (U = 321, p < .167).
Additional Findings
This research also addressed several
other aspects that may be related to
pornography distress in marital context.
Some additional information was gathered
regarding participants’ religion, marital age,
their own pornography use (whether they
themselves actively use pornography),
frequency of their own pornography use,
pattern of husbands’ pornography habits
(whether their husbands use pornography
in a solitary way, with the wives’
companion,
or
with
their
friends’
companion), and when the discovery of
their husbands’ pornography use took
place (was it before or after marriage).
Due to the unevenness of the
distributions, analysis for these additional
variables was conducted using nonparametric statistics. The results indicated
that some of the variables (participants’
religion, their own pornography use, and
pattern of husbands’ pornography habits)
might add more information to our
understanding of pornography distress. It
was found that Buddhist women tended to
show lower level of distress in regards of
husbands’ pornography use, compared to
Christian women (U = 145.5, p < .125).
Also, women who themselves were actively
Discussion
This study found that the regression
model consisting seven proposed variables
contributed significantly to pornography
distress in pornography users’ wives.
However, this was actually not the best
model to predict the level of distress they
are experiencing. It was also found that the
better model consists of only four
contributors: way of knowing about
husband’s pornography use, attitude
towards pornography use, differentiation of
self, and religious salience. While there
was at least a factor outside women’s
control that determine her pornography
distress (i.e. the way of knowing about their
husbands’ pornography use), there were
also factors related to women’s own
psychological aspect (i.e. their own attitude
towards
pornography
use,
their
differentiation of self, and their religious
salience). Looking at this result, we are
convinced that the nature of pornography
consumption issue in marital context
cannot be attributed solely to one party
within the marriage. Therefore, counselors
and individuals who are dealing with this
problem should be aware that each party in
the marriage needs to work together to
PORNOGRAPHY DISTRESS
achieve some sort of agreement and
understanding to solve pornography
distress issues.
This finding also showed that despite of
the absence of similar study conducted in
Indonesia, the present study was
successful on giving valuable information.
This study also showed an interesting
result in regards to religious salience
variable. This particular variable actually
showed significant contribution in the
opposite direction compared to the initial
hypothesis. It was expected that high
identification to religious values might
prevent women to accept their husbands’
pornography use. In other words, the
higher religious salience, the higher
pornography distress.
This unconfirmed hypothesis might be
explained by revisiting the role of religious
salience in woman’s dynamic of emotion
and distress while facing this issue. A
couple of findings showed that religiosity
can play a vital card in helping individual to
be more resilient and adaptable while
facing difficult situation (Van Dyke,
Glenwick, Cecero, & Kim, 2009; Jang &
Johnson, 2004; Marks, 2005; Roemer,
2010; Salsman & Carlson, 2005).
Moreover, some findings showed that
religiosity has become one of the main
coping strategy for Indonesian individuals
(Fathi, Nasae, & Thiangchanya, 2010;
Ismail & Basuki, 2012; Safaria, Othman,
&Wahab, 2010). Findings by Permatasari
(2006) and Felicia (2005) also showed that
one of the most popular coping strategies
used by married women in Indonesia was
turning to religion. With this notion in mind,
we might see this present finding in
13
different light, that high religious salience
may provide women to evaluate her
husband pornography use more positively.
Hence, she experiences lower pornography
distress.
Despite delivering interesting results,
this study also met some limitations. One of
them was low participation rate. Large
number of participants (at total of 237
people)
refused
to
continue
their
participation in this study. This might be
explained by several factors: 1) lengthy
questionnaire and 2) the nature of talking
about sexuality in Indonesia, which is still
considered taboo.
The
second
limitation
was
generalization. Most of the samples were
women with low pornography distress. This
is an important matter to be addressed as
these research findings may not be
applicable to the more varied sample of
women. The conception of sexual taboo in
Indonesia may explain the low pornography
distress showed by the majority of sample.
It is very possible that women who agree to
participate fully in this research are the
ones who no longer hold negative attitude
towards sexual discussion. Therefore, it
seems logical if they also showed positive
reactions
towards
their
husbands’
pornography use.
Third, we want to address three
variables
(perceived
frequency
of
husband’s pornography use, duration of
knowledge about husband’s pornography
use, and exposure to sexual content from
the media) which were expected to
contribute significantly to pornography
distress, but the research data failed to
confirm this hypothesis. There are several
14
KRISTANTI & DINASTUTI
possible explanations why the first variable
failed to show its contribution. Firstly, most
of data (44.72%) were skewed on the
lowest
frequency
(most
participants
perceived their husband pornography use
to be less than once a month). This
homogenous data might lower statistical
power of rejecting null hypothesis. Despite
this methodological limitation, it is possible
that this result reflected the real relationship
between perceived frequency of husband’s
pornography use and pornography distress,
that this variable was not a contributor to
pornography distress. In this case, the
heart of the problem may not lie on how
frequent the pornography use is, it is
actually about the honesty of partners in
disclosing their habits. This notion is
supported by one of this research finding
that the way of finding out about husband’s
pornography use significantly contributed to
participants’
pornography
distress,
especially if this revelation came from
catching husbands’ act firsthand or finding
proof of their husbands’ behavior. Hence, it
is possible that the perceived frequency of
pornography use doesn’t play a significant
role in building the problem, as long as the
husbands are not being secretive about
their usage.
The reason why the second variable
(duration of knowledge about husband’s
pornography use) did not show significant
contribution might also be due to the
skewed data (most participants had just
found
out
about
their
husbands’
pornography use) and this condition might
also lower the statistical power of rejecting
null hypothesis. The second possibility is
related to memory bias. Asking about when
approximately did the participants find out
about their husbands’ pornography use
might force participants to retrieve old
memories (almost half of the participants
have been married for 15 years).
Participants’ limitation on remembering
such information might produce inaccurate
data.
There might also another interesting
way to interpret this particular finding. The
reason why this variable was included in
this research model and became subject to
be hypothetically tested was the notion
from W. Maltz and Maltz (2009) about
stages that women experienced while
discovering
about
their
partners’
pornography use. We translated these
stages to the variable of duration. The idea
was: if stages were seen as a reflection of
women’s acceptance from time to time,
then their duration of knowing about their
husbands’ pornography use would also
play part on their experience of
pornography distress. However, this
research finding raised the need of
revisiting this translation. It is possible that
each woman goes through these stages
differently: there might be women who
quickly moved between stages, but there
might also be women who need longer time
to move between stages. Therefore, their
duration of knowing their husbands’
pornography use does not always reflect
their current and advanced stages.
The last variable to be discussed is
exposure to sexual content from the media.
This variable’s failure to show significant
contribution might be explained by its
measurement method. As explained
before, this variable was measured by
PORNOGRAPHY DISTRESS
asking the participants to judge the degree
of sexual content contained in their each of
media consumption. This self-report
method was actually supported by Bleakley
et al. (2008), as the impact that a sexual
media has on an individual is determined
largely by how he/she perceived it rather
than the actual content it has. However,
there is a possibility that participants who
frequently exposed to sexual contents had
actually get used to the exposure and
experience less awareness on what they
receive. Without this awareness, the
subjective report would no longer give an
accurate
description
on
what
the
participants actually perceived. Therefore,
we suggest that future researcher may
consider using judges in determining the
degree of sexual content.
To end this discussion, we would like to
address one more important thing that the
readers should keep in mind related to the
interpretation of research findings. This
research was designed from women’s point
of view to capture the overall trend of
pornography distress in Indonesia. While
the research had been successful on its
part, it had only covered one side of the
story. Therefore, it is strongly suggested
that future researcher would address this
issue from the husband or couple’s
perspective and also make use of
qualitative designs to get more in-depth
data.
References
Badan Pusat Statistik Kota Depok (2010).
Hasil sensus penduduk 2010: Data
agregat per Kecamatan di Kota Depok.
Depok: BPS.
15
Badan Pusat Statistik Kota Tangerang
(2011). Kota Tangerang dalam angka
2011. Tangerang: BPS.
Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat
(2010). Jawa Barat dalam angka 2010.
Bandung: BPS.
Bergner, R., & Bridges, A. (2002). The
significance of heavy pornography
involvement for romantic partners:
Research and clinical implications.
Journal of Sex & Marital Therapy, 28,
193-206.
Bishara, A. J., & Hittner, J. B. (2012).
Testing the significance of a correlation
with non-normal data: Comparison of
Pearson, Spearman, transformation,
and
resampling
approaches.
Psychological Methods, 17, 399-417.
Blaine, B., & Crocker, J. (1995).
Religiousness, race, and psychological
well-being:
Exploring
social
psychological mediators. Personality
and Social Psychology Bulletin, 21(10),
1031-1041.
Bleakley, A., Fishbein, M., Hennessy, M.,
Jordan, A., Chernin, A., & Stevens, R.
(2008). Developing respondent based
multi-media measures of exposure to
sexual content. Common Methods of
Measurement, 2(1-2), 43-64.
Bridges, A., Bergner, R., & HessonMcInnis, M. (2003). Romantic partner’s
use of pornography: Its significance for
women. Journal of Sex and Marital
Therapy, 29, 1-14.
Carroll, J. L. (2010). Sexuality now:
Embracing diversity (3th ed.). Belmont:
Wadsworth.
Cavaglion, G., & Rashty, E. (2010).
Narratives of suffering among Italian
16
KRISTANTI & DINASTUTI
female partners of cybersex and cyberporn dependents. Sexual Addiction and
Compulsivity, 17, 270-287.
Eisenberg, N., Pidada, S., & Liew, J.
(2001). The relations of regulation and
negative emotionality to Indonesian
children’s social functioning. Child
Development, 72(6), 1747-1763.
Fathi, A., Nasae, T., & Thiangchanya, P.
(2010, April). Workplace stressors and
coping strategies among public hospital
nurses in Medan, Indonesia. Presented
in
International
Conference
of
Humanities and Social Sciences,
Songkhla, 10 April 2010.
Felicia, J. P. (2005). Stress dan coping
stress perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga yang tetap
mempertahankan pernikahannya: Studi
pada perempuan berpendidikan tinggi
dan bekerja dan menjadi korban oleh
suaminya. Unpublished undergraduate
thesis. Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya, Jakarta.
Ford, J. J., Durtschi, J. A., & Franklin, D. L.
(2012). Structural therapy with a couple
battling pornography addiction. The
American Journal of Family Therapy,
40, 336-348.
Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2013).
Statistics for the behavioral sciences.
Belmont, CA: Wadsworth/Cengage
Learning.
Ismail, R. I., & Basuki, B. (2012). Coping
strategies related to total stress score
among post gradual medical students
and residents. Health Science Journal
of Indonesia, 3(2), 1-5.
Jang, S. J., & Johnson, B. R. (2004).
Explaining religious effects on distress
among African Americans. Journal for
the Scientific Study of Religion, 43(2),
239-260.
Kominfo Sebut Indonesia Pengakses Situs
Porno Terbesar di Dunia (2012, 16
Juni). Seruu.com. Retrieved from
http://utama.seruu.com/read/2012/06/1
6/103621/kominfo-sebut-indonesiapengakses-situs-porno-terbesar-didunia.
Maltz, W., & Maltz, L. (2009). The porn
trap:
The
essentials
guide
to
overcoming problems caused by
pornography. New York City, NY:
William Morrow Paperbacks.
Manning, J. C. (2006). The impact of
internet pornography on marriage and
the family: A review of the research.
Sexual Addiction and Compulsivity, 13,
131-165.
Markey, P. M., & Markey, C. N. (2012).
Online pornography seeking behaviors.
In Zheng, Y. (Ed.), Encyclopedia of
cyber
behavior.
(pp.
837-847).
Hershey, PA: IGI Global Snippet.
Marks, L. (2005). Reljgion and bio-psychosocial health: A review and conceptual
model. Journal of Religion and Health,
44, 173-186.
Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991).
Culture and the self: Implications for
cognition, emotion, and motivation.
Psychological Review, 98(2), 224-253.
Ogas, O., & Gaddam, S. (2011). A billion
wicked thoughts: What the internet tells
us about sexual relationships. New
York City, NY: Penguin Group.
Olivia, I. (2013, 28 March). Netty Heryawan
Sesalkan Tingginya Pengakses Konten
Pornografi. Indonesia Raya News.
PORNOGRAPHY DISTRESS
Retrieved
from
http://indonesiarayanews.com/news/na
sional/03-28-2013-15-48/nettyheryawan-sesalkan-tingginyapengakses-konten-pornografi.
Oyserman, D. (1993). The lens of
personhood: Viewing the self and
others in multicultural society. Journal
of Personality and Social Psychology,
65(5), 993-1009.
Permatasari, P. (2006). Stress dan Coping
Stresspada
Perempuan
Hamil
Pengidap
HIV.
Unpublished
undergraduate
thesis.
Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Pitoyo, A. (2012, 22 March). Akses Situs
Porno: RI Masih Duduki Peringkat 1.
Bisnis.com.
Retrieved
from
http://archive.bisnis.com/articles/aksessitus-porno-ri-masih-duduki-peringkat1.
Poulsen, F. O., Busby, D. M., & Galovan,
A. M. (2013). Pornography use: Who
uses it and how it is associated with
couple outcomes. Journal of Sex
Research, 50(1), 72-83.
Provinsi DKI Jakarta Per Kab/Kota Tahun
2010. (2010). Badan Pusat Statistik
Provinsi DKI Jakarta. Retrieved from
http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWV
udT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9
MDQmaWQ9MTE=.
Ramadhan, M. (2013, 14 January). Tekan
Pornografi, Pelajar di Tangerang
Dibatasi Gunakan HP. Merdeka.com.
Retrieved
from
http://www.merdeka.com/peristiwa/teka
n-pornografi-pelajar-di-tangerangdibatasi-gunakan-hp.html.
Roemer, M. K. (2010). Religion and
17
psychological distress in Japan. Social
Forces, 89(2), 559-583.
Roviana, A. F. (2011). Perilaku seks bebas
pranikah dan penggunaan media
pornografi atau sexual explicit material
(sem) pada mahasiswa Universitas
Diponegoro.
Unpublished
undergraduate
thesis.
Universitas
Diponegoro, Semarang.
Safaria, T., Othman, A. B., & Wahab, M.
N.A. (2010). Religious coping, job
insecurity, and job stress among
Javanese academic staff: A moderated
regression
analysis.
International
Journal of Psychological Studies, 2(2),
159-169.
Salsman, J. M., & Carlson, C. R. (2005).
Religious orientation, mature faith, and
psychological distress: Elements of
positive and negative associations.
Journal for the Scientific Study of
Religion, 44(2), 201-209.
Schneider, J. P., Weiss, R., & Samenow,
C. (2012). Is it really cheating?
Understanding the emotional reactions
and clinical treatment of spouses and
partners affected by cybersex infidelity.
Sexual Addiction and Compulsivity, 19,
123-139.
Sebagian Besar Pengguna Internet Buka
Film Porno (2013, February 18).
Poskotanews.com. Retrieved from
http://m.poskotanews.com/2013/02/18/
sebagian-besar-pengguna-internetbuka-film-porno/.
Sessoms,
J.
(2011).
The
cyber
pornography use inventory: Comparing
a religious and secular sample.
Unpublished master thesis. Liberty
University, Lynchburg.
18
KRISTANTI & DINASTUTI
Stewart, D. N., & Szymanski, D. M. (2012).
Young adult women’s reports of their
male romantic partner’s pornography
use as a correlate of their self-esteem,
relationship
quality,
and
sexual
satisfaction. Sex Roles, 67, 257-271.
Strager, S. (2003). What men watch when
they watch pornography. Sexuality &
Culture, 7, 50-61.
Suryanto
(2009,
November
4).
Menkominfo: Indonesia Pengakses
Situs Porno Terbesar di Dunia. Antara
News.
Retrieved
from
http://www.antaranews.com/berita/1257
335727/menkominfo-indonesiapengakses-situs-porno-terbesar-dunia.
Van Dyke, C. J., Glenwick, D. S., Cecero,
J. J., & Kim, S. K. (2009). The
relationship of religious coping and
spirituality
to
adjustment
and
psychological distress in urban early
adolescents. Mental Health, Religion &
Culture, 12(4), 369-383.
Ward, L. M., & Friedman, K. (2006). Using
TV as guide: Associations between
television viewing and adolescents’
sexual attitudes and behavior. Journal
of Research on Adolescence, 16(1),
133-156.
Zitzman, S. T., & Butler, M. H. (2009).
Wives’ experience of husbands’
pornography use and concomitant
deception as an attachment threat in
the adult pair-bond relationship. Sexual
Addiction and Compulsivity, 16, 210240.
Alamat surel:
[email protected];
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
2017, Vol. XII, No. 1, 19-30, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
19
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING PROGRAM TO
INCREASE TEACHERS’ SELF EFFICACY IN
TEACHING CHILDREN WITH SPECIAL
NEEDS
(PROGRAM PELATIHAN GURU ‘AKTIF’
UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIVITAS GURU
DALAM MENGAJAR ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS)
Amitya Kumara, Dian Mufitasari,
Krysna Yudy Nusantari, and Iga Serpianing Aroma
Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
The purpose of this research is to examine the effectiveness of AKTIF Teacher training program to
increase the teachers’ self-efficacy in teaching children with special needs. Untreated Control Group Design
with Dependent pre-test and post-test sample method was used. 17 teachers were selected through
purposive sampling method as experiment group and 5 teachers as control group. One-Way ANOVA test
showed the three methods (case discussion, roleplay, and simulation) indicatedno fundamental difference
in improving self-efficacy (F = 2.852, p = .091). Data analysis using the Mann Whitney U Test showed that
the case discussion method significantly increased self-efficacy (z case discussion = -2.410, p = .016; z simulation = 0.754, p = .451; z role play = -1.916, p = .055). Wilcoxon-signed rank test showed that case discussion (p =
0.043) and roleplay (p = 0.035) were significant to improve self-efficacy, as opposed to simulation method
which was not (p = 0.063).
Keywords: teacher training program, children with special needs, teacher’s self efficacy
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas program pelatihan Guru AKTIF (Asih Kreatif
Terampil InspiratiF) guna meningkatkan efikasi diri guru dalam mengajar anak berkebutuhan khusus.
Desain penelitian menggunakan metode untreated control group with dependent pre-test and post-test.
Subjek penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling melibatkan 17 guru sebagai kelompok
eksperimen dan 5 guru sebagai kelompok kontrol. Berdasarkan uji One Way ANOVA diketahui bahwa
diantara ketiga metode (diskusi kasus, roleplay, dan simulasi), tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dalam meningkatkan efikasi diri (F = 2.852, p = .091). Hasil uji statistika dengan Mann Whitney U Test
menunjukkan metode diskusi kasus signifikan meningkatkan efikasi diri (z diskusi kasus = -2,410, p = 0,016;
z simulasi = -0,754, p = 0,451, z role play = -1,916, p = 0,055). Uji Wilcoxon signed rank menunjukkan metode
diskusi kasus (p = 0,043) dan role play (0,035) signifikan meningkatkan efikasi diri. Sedangkan metode
simulasi tidak signifikan untuk meningkatkan efikasi diri guru (p = 0,063).
Kata kunci: pelatihan guru, anak berkebutuhan khusus, efikasi diri guru
19
20
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
Survey results from a research about
Children
with
Special
Needs
in
Gunungkidul DIY performed by Kumara
(2015) showed that during the four years of
implementation of inclusive education
(2011-2015), continuous training for
teachers was still underdeveloped. Only 1
to 2 persons from each school were ever
trained about the basic of inclusive
education and how to attend to children
with special needs. Teachers with seminars
and
workshops
experiences
still
encountered problems in understanding the
training materials, and therefore impeding
the implementation of said system.
Teachers were not confident enough of
their ability, for the training was not
continual and was limited. In addition to
that, seminars and workshops they ever
attended only covered the pedagogical side
of their job, but overlooked the
psychological one. This speaks about how
the seminars and workshops were lacking
both in quantity and quality.
The lack of knowledge and skills of the
staff and its inclusion makes teachers feel
less able to teach children with special
needs. Teachers are considered to have
low self-efficacy. Regular school teachers
feel they have difficulty in meeting the
needs
of
students
with
special
circumstances although they have been
supported with a special education
program. Gallis and Tanner (1995) stated
that regular teachers usually have low
confidence in their ability to implement
inclusive education system in regular
classrooms. Research conducted by
Hofman and Kilimo (2014) later also
discovered that teachers faced many
problems
in
implementing
inclusive
education, especially in dealing with
students of various disabilities, shortage of
teaching
and
learning
materials,
inadequate training, and unfavorable
working environment. Teachers with low
self-efficacy tend to face more problems in
implementing
inclusive
education
compared to teachers with high selfefficacy. Clearly, self-efficacy is a variable
that is consistently correlated with positive
teaching and student learning outcomes
(Penrose, Perry, & Ball, 2007).
The statement was further reinforced
by Logan and Wimer (2012) who found that
the factor of belief in the ability of teaching
children with special needs has a
significant effect on teachers’ attitude
towards inclusive education. The concept
of self-efficacy was initially developed by
Bandura (1997) as a part of social cognitive
theory. Bandura’s self-efficacy is based on
one’s belief about his or her abilities that
affects confidence in completing tasks as
well as in performing optimally. In terms of
educational setting, teachers’ self-efficacy
will affect the students’ learning outcome in
a positive way. This affirms the importance
of studying the concept of self-efficacy of
teachers as it has direct impact on the
implementation of inclusive education at
school. Research conducted by Hofman &
Kilimo (2014) found that teachers who have
low self-efficacy face more problems in
implementing
inclusive
education.
Teachers’ self-efficacy becomes a very
important factor in education, both in
general education system and the inclusive
one. It influences how teachers teach
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
students, how they conduct classroom
management, and get everyone in the
classroom involved. It also affects student
achievement in the classroom.Teachers
with high self-efficacy can affect into
increased motivation, self-esteem, selfdirection, and positive attitudes toward
school.
According to Hofman and Kilimo
(2014), teachers with high level of selfefficacy are as follows: (a) Able to use
teaching methods adequately to promote
independence of students with special
needs; (b) Equipped with adequate
classroom management skills and are able
to handle problems in class; (c) Innovative;
and (d) Able to get all students engaged in
classroom activities.
A study done by Bandura (TschannenMoran & Hoy, 2001) revealed three aspects
of teachers’ self-efficacy:
a. Student engagement
It refers to how confident teachers feel
in establishing relationship with students,
including motivating and resolving students’
issues. Some of the indicators shown are
signs of friendliness towards students,
helping them overcome problems, and
knowing the way to face difficult students.
b. Instructional strategies.
This refers to how teachers believe in
their ability to help students score
academic achievement. The indicators are:
(1)the
presence
of
confidence
in
addressing questions from the students,
(2)possessing a comprehensive approach
in explaining study materials, and (3) being
well-informed about students’ level of
understanding.
c. Classroom management.
21
It refers to teachers’ competency in
managing the class in a purposeful and
orderly way. The indicators are: (1)
teachers are able to handle problems that
arise in the classroom and ensure the
teaching plan is implemented well.
This study developed a teacher training
program called AKTIF, an acronym for
Asih Kreatif Terampil Inspiratif”
(Caring,
Creative, Skillful, Inspirative). This program
was manifested into a training that did not
only cover the pedagogical side, but also
the psychological one. This training module
was modified from Teacher Effectiveness
Training (TET), a moduledeveloped by
Gordon (1986) and the Teacher Training in
Handling Children with Special Needs
module compiled by Haifani (2011). Based
on TET, there are six skills that should be
delivered by teachers: being open, active
listening,
observing
and
identifying
problems, confrontation, resolving conflicts
of values, and problem-solving. The
materials of the training consist of inclusive
education,
basic
knowledge
and
identification of children with special needs,
as well as various teaching strategies. This
program was given to inclusive elementary
school teachers who had no previous
training experience in related field and
organized by the Department of Education
in Gunungkidul. Specification in elementary
school teachers was brought out on these
following reasons; (a) teachers tend to
occupy morenegative perspectives when
they teach children with special needs
compared to adolescents with the same
situation (Hastings &Oakford, 2003), (b)
teaching children require more interaction
and more intense help (Ratcliff, 2009), and
22
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
(c) teachers need more varied instructional
strategies to teach elementary school
children with special needs compared to
ones in the secondary education level
(Cipkin & Rizza, 2000).
The basic theory used in producing
Teacher Effectiveness Training module by
Thomas Gordon (1986) is one belonging to
Carl Rogers. Carl Roger’s theory of
learning is one among other humanistic
learning theories that emphasizes mutual
respect and no prejudice in helping people
to tackle life problems. Rogers (Schunk,
2012) also said that a teacher needs to pay
attention to the class atmosphere by way of
emotional approach to the students. A
teacher must be responsive to the needs of
students, in terms of both learning
materials and the emotional needs.
Teachers should also create a comfortable
learning environment so that students feel
comfortable in class. According to Rogers,
a teacher should also have a congruent
attitude, unconditional acceptance, and
empathy.
The
AKTIF
teacher
training
programused
experiential
learning
approach. According to Beard & Wilson
(2006), experiential learning is a process in
which it involves active engagement
between one and outside environment.
Experiential learning was conceptualized
by Kolb (1984) and contains five cycles of
learning:
experiencing,
publishing,
processing, generalizing, and applying. The
AKTIF program is divided into three
delivery methods, there are role play
method, case discussion method, and
simulation methods. Guru AKTIF program
will be given at 4 inclusive primary schools
that have been designated as samples on
the coast. Through the case method, the
teacher will be honed to get an overview of
the case and the solution (Gibson, 1998);
Bridging the gap between theory and
practice and develop the skills of reflection
and analysis (Darling-Hammond, 2006);
and explore and apply new ideas and
solutions under the supervision of
professionals (Lengyel & Vernon-Dotson,
2010). Kauffman (2005) also confirmed that
the case method allows learners to
understand the material more vividly by
assessing the real situation rather than just
by reading textbooks.
Roleplay methods help teachers to
produce a different perspective about
things to develop empathy (Fry, Ketteridge,
& Marshall, 1999). Learners will acquire
direct experience, participate actively and
associate experiences so that it can be
categorized as a constructive way of
learning (Joyner & Young, 2006). As such,
an active and constructive learning process
will be more memorable than apassive one.
By doing role plays, learners can create a
new attitude in accordance with the
interpretation of the experience that they
feel (Sotto, 2007). Role play also proves
useful to prepare teachers in addressing
learning problems in class (Crow & Nelson,
2014).
Simulation method has been proven to
help teachers engage more actively, as if
they are living the experience for real.
According to Pant (2009), the advantages
of using simulation method in training are
as follows; (1) it allows real life interaction,
social processes and behaviors in
situations
that
are
relatively
non-
23
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
threatening, (2) it allows for complex social
processes to be experienced and
understood
throughout
the
learning
process, (3) it is completely dependent
upon individual’slearning ability, (4) it
involves universal participation, (5) the
learning takes place at the level of
consciousness.
Case discussions, role play and
simulations are all part of the experiential
learning method that allows individuals to
be actively involved in the learning process
(Kolb, 1984). In the study, individuals
receive
information
or
experience
(experiencing) on inclusive education and
children with special needs through case
discussions, role play, and then share their
simulated experiences. Individuals then
publish what they have been given to other
participants.
Individual
review
the
experience (processing) and then make an
abstract of the experience and draw
conclusions
(generalizing)
regarding
inclusive education and teaching children
with special needs. Individuals become
more knowledgeable and confidence (selfefficacy). The last cycle involves individuals
to apply this knowledge to the real world
(applying). The self-efficacy of each
teacher increased while teaching students
with special needs.
The objective of this umbrella research
isto examine
the
effectivenessof
AKTIFteacher training programto improve
teachers’ self-efficacy in teaching children
with special needs. The research held in
inclusive primary schools in the coastal
areas of Gunungkidul. The major
hypothesis proposed by this research is
that the AKTIF program significantly
increases teachers’ self-efficacy in teaching
children with special needs. While the
minor hypotheses proposed by this
research are: (1) Role-play method works
significantly to improve the teachers’ self
efficacy in teaching children with special
needs; (2) Case-based method works
significantly to improve the teachers’
efficacy in teaching children with special
needs; and (3) Simulation method works
significantly increases the efficacy of
teachers in teaching children with special
needs.
Methods
Participants and Design
The independent variable in the study
is AKTIF teacher training program, while
teachers’ self-efficacy in teaching children
with special needs serves as the
dependent variable. The study consists of
three
stages:
research
preparation,
preparation of modules and implementation
of pilot research module.
Experimental
method
Untreated
Control Group Design with Dependent PreTest and Post-Test Samples design was
applied as shown in the Diagram 1.
A total of 32 inclusive elementary
school teachers around Purwosari were
invited to attend the training. Participants
were divided into three experimental
groups, and each group was subjected to
three alternate delivery methods which
were case discussion method, role play
method, and simulation method. There
were 5 others placed into a control group
and were not given any treatment. Criteria
24
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
for research subjects include some of the
following: (1) Regular teachers from
inclusive elementary schools around
Purwosari and Panggang Gunungkidul, and
(2) Homeroom teachers or subject teachers
in the elementary schools
The program was held for two
consecutive days and delivered by trainers
with the following qualifications: (1)
Psychologist, (2) Experienced in inclusive
education and issues alike, and (3) Have
good communication skills in Indonesian&
Javanese language.
Measurement and Procedure
Research instruments: First, Basic
knowledge inventory for teachers. It refers
to an inventory used to measure the extent
of the accuracy of teachers in responding
to information obtained during the training
about inclusive education and children with
special needs. This test was a modification
of the knowledge test prepared byHaifani
(2011), consistingof 18 itemswith item
discrimination index rangingfrom0.407 to
0.848 and item difficulty index rangingfrom
0.320 to 0.973.
Second,
Teachers’
Self-Efficacy
inventory. The said scale used in this study
derived from Krisnindita (2013). The selfefficacy scale was adapted from Teacher’s
Sense of Efficacy Scale that originally
belonged to Tschannen-Moran & Hoy
(2001) based on Bandura’s theory of selfefficacy. Teachers’ self-efficacy in dealing
with students include three aspects, namely
student
engagement,
instructional
strategies, and classroom management.
The scale consists of 32 statements with 19
favorable itemsand 13 unfavorable items.
Favorable items were weighed 0-3, as were
the unfavorable ones. The scale of teacher
efficacy obtained alpha reliability coefficient
of 0.893.
This umbrella research consists of
three studies with three different methods
program that are AKTIF Teacher Training
with case discussion method, role play, and
simulation. Each research data from all
three studies will be analyzed using Mann
Whitney and Wilcoxong Signed Rank
analysis. After which, the data analysis of
this research umbrella will be analyzed
quantitatively using analysis of variance F
Test. F-test analysis is used to compare
scores obtained by the three research
groups, which are groups who received
training using case discussion method, role
play, and simulation. Then, based on the
statistical analysis result, we can acquire
the most proven effective method in
increasing teachers’ self efficacy when
teaching students with special needs.
Results
The AKTIF program for experimental
group was held on Thursday and Friday (34 December 2015). Thirty two participants
were invited to attend the training, but only
28 attended it. On the second day of the
training, participants were divided into three
groups randomly. Each group consisted of
9-10 participants.Within the group of case
discussion method, the number of
participants who stayed until the end of
training was five in total, with four
participants disqualified for permission to
leave early with a variety of reasons.
Meanwhile, in the simulation group, only
25
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
Diagram 1. Research Design
Notes:
NR
O1
X
O2
: Non Random Assignment;
: Teachers’ self-efficacy before training
: AKTIF training
: Teachers’ self-efficacy after training
PRE TEST
Graphic 1. Changes of Self-Efficacy Score in Case Discussion Group
Pre‐Test
Post‐Test
Graphic 2. Changes of Self-Efficacy Score in Role Play Group
pretes
postes
four out of nineGraphic
people
stayed throughout
3. Changes of Self-Efficacy Score in Simulation Group
26
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
the two days training. There was no
absenteeism found in the role play group.
Through normality test, it was safe to
say that all data gathered from three
groups
had
a
normal
distribution
(z casediscussion = -0.468; p = 0.981, z role play =
0.579; p = 0.890, and z simulation = 0.614; p =
0.846). Advanced data analysis was
brought out by F-test to find outthe
differences between the three experimental
groups. Based One Way ANOVA test, the
three methods did not share any significant
differences in improving self-efficacy (F =
2.852, p = 0.091 by 0.091 > 0.05 ).
The Mann Whitney U test compared
the score of pre-test and post-test, later
revealing a higher increase in self-efficacy
in the case discussion experimental group
compared to the control group (z = -2.410,
p = 0.016), while participants that were
trained with simulation method did not
exhibit any escalation in self-efficacy
between the experimental group and the
control group (z = -0.754, p = 0,451 with
0.451 > 0.05). Likewise, participants who
received training with roleplay method also
shared similar outcome (z = -1.916, p =
0.055, with 0.055 > 0.05). This evidence
confirms the minor hypothesis which states
that case discussion method significantly
increases teachers’ self-efficacy in teaching
children with special needs. Two other
hypotheses were adverse and therefore to
be denied.
Further tests with Wilcoxon Signed
Rank were conducted to examine the
differences in the level of self-efficacy of
teachers before and after training in each
group. The simulation method was reported
to be less significant in improving self-
efficacy compared to case discussion and
roleplay method. The value of case
discussion method added up to z = -2.023,
p = 0.043 (0.043 < 0.05), role play method
was of z = -2.103 and p = 0.035 (0.035 <
0.05). On the other hand, the simulation
method obtained a value of only z = -1.857
and p = 0.063 (0.063 > 0.05).
Significant changes of self-efficacy
score took place within the experimental
group with case discussion method. All
participants showed a maximum increase
of self-efficacy score (100%) as shown by
the Graphic 1, both before and after
training.
The Graphic 2 comparison of the
pretest and posttest scores of trainee with
role play method showed a significant
change. The number of participants
whoactively displayedan increase in selfefficacy was five out of eight (62.5%). The
mean obtained on the pretest was 94, while
that of the posttest was 103.
Self efficacy score of participants using
the simulation method showed insignificant
difference (Graphic 3). All participants
experienced a decrease in self efficacy
score before and after training. Based on
observation, decrease in the score was
caused by uncondusive environment during
post-test. Subjects seemed to conduct the
self efficacy scale hastily because
participants of other groups have finished
training. A condusive training delivery
affects the training result.
There was no significant difference of
self-efficacy scores from the simulation
group. All participants exhibited a decline in
self-efficacy scores before and after the
training. A couple of external factors were
27
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
suspected as the cause, such as
unconducive atmosphere that occurred
during the post-test and the likes.
This study highlights the importance of
conducting research on self-efficacy of
inclusive
primary
school
teachers,
especially in the coastal areas of
Gunungkidul. The results showed there
was no significant difference between the
three methods in terms of increasing selfefficacy (F = 2.852, p = 0.091 (0.091 >
0.05). One among other possible reasons
behind this was because the training
materials that were delivered to the
participants in all three groups were the
same. The difference lied only in the
delivery methods. Further analysis using
the Wilcoxon Signed Rank indicated that
case discussion method could significantly
increase self-efficacy in the experimental
group (z = -2.023, p = 0.043 (0.043 < 0.05).
The level of self-efficacy on the subjects
that belonged to the case discussion group
increased after training in comparison with
subjects in the control group (z = -2.410, p
= 0.016 (0.016 < 0.05). Role play method
was known to increase self-efficacy in the
experimental group (z = -2.103, p = 0.035
(0.035 <0.05), but the increase in efficacy
itself was quite insignificant compared to
the control group (z = -1.916, p = 0.055,
with 0.055 > 0.05). Simulation method was
found to be effective in improving selfefficacy in the experimental group (z = 1.857 and p = 0.063 (0.063 > 0.05), and
there was no increase in self-efficacy when
compared with the control group (z = 0.754, p = 0.451, 0.451 > 0.05). Based on
these results, we can conclude that case
discussion is the most effective method to
increase self-efficacy.
Discussion
The finding about the effectiveness of
case discussion method was in line with
that of Lengyel and Vernon-Dotson (2010),
which revealed that the use of methods
based on case provided an opportunity for
learners to engage in discussion and
receivefeedback, further developing their
collaborative
skills
as
professional
teachers. Individuals were also trained to
understand the concept of a case through
understanding the alternatives and a
variety of assumptions. Moreover, case
discussion method also helps the
development of the disposition of teachers
to understand inclusive education better
and improve their knowledge about
theneeds of students with disability. The
increased knowledge of teachers regarding
students
with
special
needs
will
simultaneously affect their confidence in
teaching. Pendergast, Garvis, and Keogh
(2011), also highlighted some key points in
the development of teachers’ self-efficacy
which were mastery experience, vicarious
experience, verbal feedback and emotional
support. Through case discussions,
teachers were allowed some space to gain
experience
that
would
help
them
successfully interact with children with
special needs and at the same time boost
their confidence.
The results of training with simulation
methods and role play were not significant
due to several factors, just like the study
done by Sanjeevkumar&Yanan (2011);
suggesting several factors that might affect
28
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
the effectiveness of training that come from
both internal and external factors. Most
participants seemed to be in a hurry and
the condition at the end of training was
already far from conducive. Internal factors
consist of personal characteristics of the
trainees, namely age, gender, educational
level, cognitive abilities, learning styles, and
other psychological characteristics such as
confidence in the ability already possessed.
External factors consist of circumstances
beyond the control of individuals such as
environmental conditions (conducive or
boisterous), training facilities (refreshment,
training aids), and training materials.
According to observational result, almost all
subjects in each group showed enthusiasm
and were passionate during the training.
However, self-efficacy score declined in the
simulation method group as a result from
the no-more conducive situation near the
end of training. Participants were doing
self-efficacy scale hastily asit was getting
late and people in other groups had
completed the whole training.
Logan and Wimer (2013) found that the
belief on the ability in teaching children with
special needs had a significant effect on
the attitudes of teachers about inclusive
education. Teachers with high self-efficacy
would be able to increase pupils’
motivation, self-esteem, self-direction, and
positive attitudes toward school. In addition,
according to Hofman and Kilimo (2014)
teachers equipped with high self-efficacy
would be adequate in using variedteaching
methods to alleviate the independence of
students with special needs, able to
manage class amiably, handleproblems in
the
classroom,
implement
didactic
innovations in class, and encourage
students to do their tasks. All being said,
training modules delivered by means of
case discussion method can be used to
train teachers of inclusive schools that
require increased efficacy in teaching
children with special needs. The stronger
sense of self-efficacy a teacher has, the
more effectivethe implementation of
inclusive education will be.
Conclusion and Suggestion
The results showed that among the
three methods of case discussions, role
plays and simulations, there was no
significant difference in increasing selfefficacy. However, the three different
groups have proven that the case
discussion is the most effective method to
increase self-efficacy than the method of
simulation and role play.
Based on the results of the research
and discussion, a couple of advices that
can be listed down are: First, for
Psychologists: Case discussion method
can be used as a way to improve selfefficacy of teachers in teaching children
with special needs in inclusive schools. The
use of the training modules of course
needs to be adapted beforehand to the
respective conditions of participants and be
improved based on criticism and advice
given after the study has been carried out.
Second, for Inclusive Elementary
School Teachers (Trainees): The trainees
are expected to apply their knowledge and
skills in dealing with children with special
needs that have been acquired during the
training consistently and continuously.
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
Implications
for
forthcoming
researchers: (a) Implementation of training
for future researchers should be carried out
with the same time discipline among the
three methods so that a constructive
atmosphere could be easily managed
within three places, (b) Researchers also
need to further consider personal
characteristics of participants such as age
gap, (c) The training module should better
undergo some adjustment in accordance
with the criticism and advice given after the
implementation of this study.
References
Bandura, A. (1997). Self efficacy: The
exercise of control. New York: W.H
Freeman and Company
Beard, C., & Wilson, J. P. (2006).
Experiential learning: A best practice
handbook for educators and trainers
(2nd ed.). London: Thomson-Shore,
Inc.
Cipkin, G., & Rizza, F. (2000). The attitude
of teacher on inclusion. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publicatio
n/260302863_THE_ATTITUDE_OF_T
EACHERS_ON_INCLUSION
Crow, M. L., & Nelson, L. P. (2014). Do
active-learning
strategies
improve
students’ critical thinking? Do activelearning strategies improve students’
critical thinking?. Higher Education
Studies, 4(2), 77-90.
Darling-Hammond, L. (2006). Powerful
teacher education: Lessons from
exemplary programs. San Francisco:
Jossey-Bass
29
Fry, H., Ketteridge, S., & Marshall, S.
(1999). A handbook for teaching and
learning in higher education: Enhancing
academic practice (2nd ed.). London:
RoutledgeFalmer
Galis, S.
A., & Tanner, C.K. (1995).
Inclusion in elementary school: A
survey and policy analysis. Education
Analysis Archieve, 3(15), 1-24.
Gibson, J. T. (1998). Discussion teaching
through case methods. Education,
118(3), 345-348.
Gordon, T. (1986). Guru yang efektif
(translated). Jakarta: Penerbit Rajawali
Haifani, A. (2011). Pengaruh pelatihan
“Guru peduli anak berkebutuhan
khusus (ABK)” pada pengetahuan dan
sikap penerimaan guru terhadap anak
berkebutuhan khusus di sekolah dasar
inklusi. (Unpublished thesis), Fakultas
Psikologi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia.
Hastings R. P., & Oakford, S. (2003).
Student teachers’ attitudes towards the
inclusion of children with special needs.
Educational Psychology, 23(1), 87-94.
Hofman, R. H., & Kilimo, J. S. (2014).
Teachers’ attitudes and self efficacy
towards inclusion of pupils with
disabilities in Tanzanian schools.
Journal of Education and Training, 1(2),
177-198.
Joyner, B., & Young, L. (2006). Teaching
medical students using role play:
Twelve tips for successful role plays.
Medical Teacher, 28(3), 225-229.
Kauffman, J. M. (2005). Cases in emotional
and behavioral disorders of children
and youth. Upper Saddle River, NJ:
Pearson Education.
30
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
Kolb, D. A. (1984). Experiential learning:
Experience as the source of learning
and
development.
New
Jersey:
Prentice Hall
Krisnindita, R. W. (2013). Program “teacher
effectiveness
training”
untuk
meningkatkan
efikasi
guru
(Unpublished
thesis).
Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
Kumara, A. (2015). Survey kebutuhan
pendampingan anak berkebutuhan
khusus di pesisir Daerah Istimewa
Yogyakarta
(Unpublished
article).
Yayasan Edukasi Anak Nusantara,
Yogyakarta, Indonesia.
Lengyel, L., & Vernon-Dotson, L. (2010).
Preparing special education teacher
candidates: extending case method to
practice. Teacher Education and
Special Education, 33(3), 248-256.
doi:10.1177/0888406409357371.
Logan, B. E., & Wimer, G. (2012). Tracing
inclusion:
determining
teacher
attitudes.
Research
in
Higher
Education Journal.
Pant, M. (2009). Participatory training
methodology
and
materials.
Participatory
Adult
Learning,
Documentation
and
Information
Networking
(PALDIN).
UNESCO.
Retrieved
from
http://www.unesco.org/education/aladin
/paldin/pdf/course_01.pdf
Pendergast, D., Garvis, S., & Keogh, J.
(2011). Pre-service student-teacher
self-efficacy beliefs: an insight into the
making of teachers. Australian Journal
of Teacher Education, 36(12), 46-58.
Penrose, A., Perry, C., & Ball, I. (2007).
Emotional intelligence and teacher self
efficacy: the contribution of teacher
status and length of experience.
Journal of Educational Psychology,
17(1). 100-125
Ratcliff, O. Y. M. (2009). Voices of
classrooms managers: their realities of
full inclusion. Electronic journal for
inclusive education, 2(4), Art.6, 1-15.
Sanjeevkumar, V., & Yanan, Hu. (2011). A
study on training factors and its impact
on training effectiveness in kedah state
development corporation. International
Journal of Human Resource Studies,
1(2),
136-156.
doi:10.5296/ijhrs.v1i2.1130
Schunk, D. H. (2011). Learning Theories:
An Educational Perspectives Sixth
Edition. Boston: Pearson Education
Inc.
Sotto, E. (2007). When teaching becomes
learning: A theory and practice of
teaching. London: Continuum.
Tschannen-Moran, M., & Hoy, A. W.
(2001). Teacher efficacy: Capturing an
elusive construct. Teaching and
Teacher Education, 17, 783-805.
Alamat
surel:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
EFEKTIVITAS CBT
2017, Vol. XII, No. 1, 31-40, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
31
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOR
THERAPY UNTUK DEWASA MUDA DENGAN
ACROPHOBIA
(THE EFFECTIVITY OF COGNITIVE
BEHAVIOR THERAPY FOR YOUNG ADULTS
WITH ACROPHOBIA)
Garvin1, Monty Satiadarma2, dan Denrich Suryadi2
1
2
Universitas Bunda Mulia
Universitas Tarumanagara
Acrophobia is one of anxiety disorders characterized by irrational fear and anxiety, resulting in the
impedance of one's daily activity. The fear and anxiety are based on irrational thoughts and appear in
behavior, so Cognitive Behavior Therapy is believed to be effective in treating acrophobia. The study
involves three participants in the young adult stage. Each of the participants underwent seven sessions,
consist of functional analysis, understanding irrational belief, cognitive restructuring, systematic
desensitization, and in vivo exposure. Pretest-posttest design was used in this research, using
measurement of heart rate for quantitative data and observation for qualitative data. The heart rate
measurement was used and observation was conducted before and after intervention, when the subject
was dealing with height phobia. The result of paired sample t-test showed that there was a significant
decrease in heart rate when subject was exposed back to the height after therapy. Through observation,
researchers found changes in behavior when dealing with fear of height after participating the therapy
sessions.
Keywords: acrophobia, cognitive behavior therapy, young adult
Acrophobia merupakan gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut dan kecemasan yang tidak
beralasan terhadap ketinggian sehingga mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Ketakutan dan kecemasan
tersebut didasari oleh pemikiran yang tidak rasional dan muncul dalam bentuk perilaku, sehingga diprediksi
Cognitive Behavior Therapy efektif untuk menangani acrophobia. Penelitian melibatkan tiga partisipan yang
berada pada tahap usia dewasa muda. Masing-masing dari partisipan menjalani tujuh sesi terapi, terdiri
dari functional analysis, memahami irrational belief, restrukturisasi kognitif, systematic desensitization, dan
in vivo exposure. Desain yang digunakan adalah pretest-posttest design, menggunakan data kuantatif
melalui pengukuran denyut jantung dan data kualitatif melalui observasi. Pengukuran denyut jantung dan
observasi dilakukan sebelum dan sesudah menjalani intervensi, saat subjek berhadapan dengan objek
ketinggian. Hasil paired sample t-test menunjukkan bahwa adanya penurunan denyut jantung yang
signifikan ketika subjek dihadapkan kembali pada ketinggian setelah mendapatkan terapi. Melalui
observasi, ditemukan juga adanya perubahan perilaku pada ketiga subjek terhadap objek ketinggian
setelah melalui terapi.
Kata kunci: acrophobia, cognitive behavior therapy, dewasa muda
31
32
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Specific phobia merupakan salah satu
gangguan
psikologis
yang
memiliki
prevalensi paling lebar dalam kehidupan
manusia (Depla, Have, Balkom, & Graaf;
2008). Data menggambarkan bahwa
sekitar 12% dari populasi dunia memiliki
specific phobia (Taylor & Vaidya, 2009).
Penderita specific phobia merasakan
kecemasan yang intens ketika harus
menghadapi objek fobia tersebut, namun
dalam kehidupan sehari-hari mereka
terkadang harus berhadapan dengan objek
tersebut sehingga membuat penderita
specific phobia harus menjauhkan diri atau
bahkan melarikan diri dari objek fobia
tersebut (Halgin & Whitbourne, 2009).
Bahkan, penderita fobia juga merasakan
kecemasan yang intens dan cepat ketika
mereka juga mempercayai bahwa ada
kemungkinan mereka akan menghadapi
objek fobia tersebut (Nolen-Hoeksema,
2004). Williams (2003) menyatakan bahwa
penderita phobia sebenarnya secara logis
mengetahui bahwa situasi objek tersebut
tidak akan menyakiti, namun rasa
kecemasan tersebut tetap muncul.
Kring, Johnson, Davison, dan Neale
(2010) menyatakan bahwa terkadang
specific phobia dapat mengganggu tujuan
hidup seseorang. Hal ini dikarenakan
penderita specific phobia akan berusaha
untuk menghindari atau bahkan melarikan
diri dari objek yang ditakuti dengan
kecemasan yang intens (Halgin &
Whitbourne, 2009). Sebagian besar
penderita specific phobia tidak mencari
penanganan fobia atau tidak mendapatkan
penanganan yang efektif (Adler & CookNobles, 2011).
Salah satu specific phobia yang umum
dimiliki oleh individu adalah fobia
ketinggian atau acrophobia (Taylor &
Vaidya, 2009). Depla et al (2008)
menemukan bahwa acrophobia merupakan
specific phobia dengan prevalensi paling
lebar. Penderita acrophobia merasakan
kecemasan dan ketakutan terhadap
lingkungan
yang
berkaitan
dengan
ketinggian, termasuk tangga, teras balkon,
apartemen, dan kantor yang berlokasi di
gedung-gedung tinggi, dan terkadang juga
termasuk jembatan dan lift (Coelho &
Wallis, 2010).
Pada individu dewasa awal, beberapa
tugas perkembangan yang penting adalah
bekerja dan menjalin relasi dengan orang
lain (Kail & Cavanaugh, 2010; Papalia &
Feldman,
2012).
Tugas-tugas
perkembangan tersebut, dapat terganggu
jika seseorang mengalami phobia. Bourne
dan Garano (2003) menyatakan bahwa
rasa takut dan kecemasan pada phobia
cukup kuat untuk menganggu rutinitas
normal, pekerjaan, atau relasi dan
menyebabkan distress yang signifikan.
Individu
dengan
acrophobia,
jika
dipertemukan dengan ketinggian, akan
berusaha menghindar dengan kecemasan
tinggi. Namun, dalam kehidupan saat ini,
sulit untuk menghindari aktivitas yang
berkaitan dengan ketinggian. Hal ini tentu
menyulitkan individu dengan acrophobia
untuk melakukan beberapa aktivitas yang
terkait
dengan
ketinggian,
seperti
menumpangi pesawat untuk kepentingan
pekerjaan, menaiki lift, bekerja pada kantor
dalam gedung tinggi, atau hanya sekadar
menyeberangi jembatan yang tinggi. Hal ini
bisa menyebabkan distress. Tentu saja,
diperlukan penanganan untuk acrophobia
33
EFEKTIVITAS CBT
agar individu dapat melakukan aktivitasaktivitas tersebut tanpa harus melewati
kecemasan yang intens.
Terdapat beberapa penanganan untuk
acrophobia. Studi menemukan bahwa
virtual reality exposure, yakni mengajak
penyandang fobia untuk berhadapan
dengan objek fobia dalam kehidupan nyata,
mampu mengatasi acrophobia. (Coelho,
Santos, Silverio, & Silva; 2006; Quervain et
al., 2010; Emmelkamp, Bruynzeel, Drost, &
Der Mast 2001). Selain psikoterapi, terapi
fisik yakni vestibular physical therapy juga
ditemukan mampu mengatasi acrophobia
yang terkait dengan vertigo (Whitney et al.,
2005). Antony dan Barlow (dalam Kring et
al (2010) menemukan bahwa exposure
therapy lebih efektif dibandingkan dengan
cognitive therapy. Wilding dan Milne (2008)
berpendapat bahwa cognitive behavior
therapy dapat memberikan hasil untuk
specific phobia. Adler dan Cook-Nobles
(2011) menemukan bahwa penanganan
spesific
phobia
dengan
cognitivebehavioral therapy dengan penekanan
pada in vivo exposure memberikan hasil
yang efektif.
Cognitive-behavioral therapy efektif
dalam menangani specific phobia karena
selain mengubah pemikiran individu
terhadap objek fobia, juga mengubah
perilaku individu jika terpapar oleh objek
fobia tersebut. Hal ini dikarenakan
cognitive-behavioral therapy mengatasi
kognisi dan perilaku individu. Asumsi dasar
CBT adalah perilaku didasari oleh pikiran
(Hofmann, Asnaani, Vonk, Sawyer, & Fang,
2012; Sudak, 2006). Namun, hingga saat
ini, penulis belum menemukan penelitian
yang meneliti efektivitas cognitive behavior
therapy terhadap acrophobia pada dewasa
muda di Indonesia.
Berdasarkan
pertimbanganpertimbangan di atas, maka penulis
bermaksud untuk melakukan penelitian
berjudul “Efektivitas Cognitive Behavior
Therapy untuk Dewasa Muda dengan
Acrophobia”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui
bagaimana
efektivitas
penerapan cognitive behavior therapy
dalam mengatasi acrophobia pada dewasa
muda.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen, dengan pengumpulan data
secara kuantitatif dan kualitatif. Pada data
kuantitatif, teknik analisis yang digunakan
adalah paired sample t-test. Kriteria dari
subjek penelitian ini adalah berusia 20-40
tahun
(masa
dewasa
muda)
dan
menyandang acrophobia. Tidak ada
pembatasan jenis kelamin, suku budaya,
maupun agama dalam penentuan subjek
penelitian.
Metode
sampling
yang
digunakan adalah purposive sampling.
Pengukuran kecemasan pada subjek
acrophobia dilakukan dengan mengukur
denyut jantung, menggunakan alat Omron.
Peneliti juga melakukan observasi terhadap
perilaku subyek ketika dihadapkan dengan
objek
ketinggian.
Pengukuran
dan
observasi dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian intervensi (pre-test dan posttest) agar peneliti bisa melihat efektivitas
dari intervensi yang diberikan kepada
subjek. Intervensi yang digunakan adalah
cognitive behavior therapy, yang diberikan
dalam 7 sesi, dengan rincian sebagaimana
tercantum pada Tabel 1.
34
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Tabel 1
Rincian Rancangan Intervensi
Pertemuan
Rancangan Kegiatan
Initial interview Perkenalan dan penjelasan mengenai penelitian yang peneliti
lakukan, identifikasi keluhan, konfirmasi komitmen untuk
(screening)
berpartisipasi dalam penelitian.
Sesi 1
Sesi 2
Sesi 3
Sesi 4
Sesi 5
Sesi 6
Sesi 7
Pre-test dengan pengukuran denyut jantung untuk mengukur
kecemasan, penjelasan rancangan terapi kepada partispan,
psikoedukasi mengenai CBT dan fobia.
Analisis fungsional
Relaksasi
Memahami irrational beliefs
Systematic desensitization, cognitive restructuring
In-vivo exposure, cognitive restructuring
Post-test, terminasi
Tabel 2
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada IH
Situasi yang Memunculkan Acrophobia
Membayangkan berada di dalam gedung
tinggi dan memandang dari jendela
Melihat pemandangan dari jendela gedung
lantai 5
Melihat pemandangan dari jendela gedung
lantai 7
Melihat pemandangan dari jendela gedung
lantai 9
Melihat pemandangan dari jendela gedung
lantai 11
Melihat pemandangan dari jendela gedung
lantai 13
Jumlah Denyut
Jantung Sebelum
Intervensi
93 kali/menit
Jumlah Denyut
Jantung Setelah
Intervensi
80 kali/menit
102 kali/menit
88 kali/menit
98 kali/menit
83 kali/menit
102 kali/menit
86 kali/menit
124 kali/menit
93 kali/menit
128 kali/menit
91 kali/menit
Tabel 3
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DO
Situasi yang Memunculkan Acrophobia
Membayangkan berada di tepi gedung
mall lantai 5 dan melihat ke bawah
Melihat pemandangan lantai dasar mall
dari tepi mall lantai 3
Melihat pemandangan lantai dasar mall
dari tepi mall lantai 4
Melihat pemandangan lantai dasar mall
dariInitial
tepi mallinterview
lantai 5
bertujuan
untuk
Jumlah Denyut
Jantung Sebelum
Intervensi
96 kali/menit
Jumlah Denyut
Jantung Setelah
Intervensi
73 kali/menit
92 kali/menit
72 kali/menit
96 kali/menit
74 kali/menit
98 kali/menit
75 kali/menit
EFEKTIVITAS CBT
melakukan screening. Pada sesi ini, calon
subjek
akan
menjalani
wawancara,
observasi, serta psikotes. Wawancara
dilakukan
secara
tidak
terstruktur,
mengenai acrophobia serta keluhankeluhan yang terjadi akibat acrophobia
tersebut, guna memastikan peneliti bahwa
calon subjek memang benar mengalami
masalah acrophobia. Melalui tahapan ini,
terpilihlah 3 subjek yang memenuhi kriteria.
Partisipan penelitian berjumlah 3
orang. Subjek 1 berusia 23 tahun dengan
keluhan acrophobia, sehingga merasakan
kecemasan yang berlebih ketika menaiki
eskalator di dalam pusat perbelanjaan dan
menaiki pesawat terbang. Subjek 2 berusia
25 tahun datang dengan keluhan
mengalami acrophobia sehingga selalu
menghindari ketinggian, termasuk ketika
harus berada di pusat perbelanjaan dengan
jumlah
lantai
banyak
maupun
menyeberangi jembatan. Subjek 3 berusia
36 tahun, datang dengan keluhan
acrophobia sehingga sering mengalami
kecemasan berlebihan dan menghindari
berada di ujung ruangan ketika harus
berada di dalam gedung tinggi.
Subjek 1 berinisial IH, seorang laki-laki
berusia 23 tahun. Saat ini menetap di
rumah orang tuanya di daerah Serpong,
beragama Katolik, dan bersuku Jawa,
dengan pendidikan terakhir S1 Akuntansi.
Saat ini IH belum menikah. Ia merupakan
anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya
saat ini berusia 47 tahun dan bekerja
sebagai karyawan swasta, sedangkan
ibunya berusia 43 tahun dan saat ini
beraktivitas sebagai ibu rumah tangga.
Saat ini, IH baru menyelesaikan pendidikan
sarjananya dan sedang mencari pekerjaan.
35
IH mengaku pertama kali menyadari
mengalami acrophobia ketika ia berada
pada usia 4 tahun. Saat itu, ia berada di
eskalator mall dan berloncat-loncat di sana.
Karena tidak seimbang, ia pun terjatuh
dengan posisi kepala berada di bawah dan
melihat ke lantai bawah secara langsung.
Hal ini membuat ia sejak itu merasa cemas
dan takut dengan ketinggian, dan selalu
menghindari ketinggian.
Subjek 2 berinisial DO, berjenis
kelamin perempuan dan berusia 26 tahun.
Saat ini tinggal di sebuah kamar kost di
kawasan Jakarta Barat, beragama Kristen,
dan bersuku Tionghoa, dengan pendidikan
terakhir SMA. Saat ini DO belum menikah.
Dalam keluarganya, DO adalah anak ke-4
dari empat bersaudara. Kedua orangtuanya
masih hidup dan saat ini ia bekerja sebagai
karyawan di sebuah perusahaan swasta.
DO mengaku tidak dapat mengingat
kejadian pertama kali yang menyebabkan
ia mengalami acrophobia. Namun ia
mengingat pertama kali ia menyadari
bahwa ia menyandang acrophobia pada
saat ia masih duduk di bangku sekolah
dasar kelas 4. Saat itu ia sedang mengikuti
program karyawisata, dan di sana ia selalu
merasa takut serta ingin menghindar ketika
didekatkan dengan ketinggian.
Subjek 3 berinisial DD, seorang lakilaki berusia 39 tahun. Saat ini tinggal di
Jakarta Selatan di sebuah kamar kost,
beragama Islam, dan bersuku Jawa,
dengan pendidikan terakhir S1 Arsitektur.
Saat ini DD belum menikah. Ia merupakan
anak 3 dari 5 bersaudara. Saat ini, DD
bekerja sebagai freelancer yang bekerja di
dalam mall.
DD mengaku pertama kali mengalami
36
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Tabel 4
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DD
Situasi yang Memunculkan Acrophobia
Membayangkan berada di tepi gedung mall
lantai 5 dan melihat ke bawah
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari
tepi mall lantai 3
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari
tepi mall lantai 4
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari
tepi mall lantai 5
Jumlah Denyut
Jantung Sebelum
Intervensi
105 kali/menit
Jumlah Denyut
Jantung Setelah
Intervensi
73 kali/menit
103 kali/menit
71 kali/menit
106 kali/menit
78 kali/menit
109 kali/menit
73 kali/menit
Tabel 5
Hasil Intervensi Ketiga Subyek Berdasarkan Respon Fisiologis (Denyut Jantung)
Keterangan
Rata-rata denyut jantung dalam kondisi
normal
Rata-rata skor pre-test ketika dihadapkan
dengan objek ketinggian
Rata-rata skor post-test ketika dihadapkan
dengan objek ketinggian
Subjek 1
(IH)
Subjek 2
(DO)
Subjek 3
(DD)
83
70,13
71,5
107,83
93,5
103,25
86,83
72,5
73
Tabel 6
Hasil Paired Sample t-test dari Denyut Jantung Ketiga Subjek
Denyut jantung
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
T
df
Sig.
24,08333
5,34049
3,08333
7,811
2
0,016
Tabel 7
Hasil Intervensi Ketiga Subyek berdasarkan Perilaku
Subyek
IH
DO
DD
Sebelum
berani menaiki
1. Tidak
eskalator
sendirian
2. Tidak berani melihat pemandangan
ke bawah dari dalam gedung bertingkat
1. Tidak berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall.
2. Tidak berani menyeberangi jembatan
penyeberangan. Bila terpaksa, dilakukan
dengan berjalan cepat dan berlari.
1. Tidak berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall.
2. Tidak berani melihat pemandangan
dari balkon kost.
acrophobia ketika ia masih duduk di
Sesudah
berani menaiki
1. Sudah
eskalator
sendirian.
2. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari dalam gedung bertingkat.
1. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall.
2. Sudah berani menyeberangi jembatan
penyeberangan tanpa harus berlari.
1. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall.
2. Sudah berani melihat pemandangan
dari balkon kost.
EFEKTIVITAS CBT
bangku SMP. Saat itu, rumahnya belum
selesai direnovasi. Pada saat itu, ia datang
melihat-lihat rumahnya yang sedang
diperbaiki dan menaiki tangga rumahnya
yang belum memiliki pegangan. Tiba-tiba,
ia terpeleset dan terjatuh dari tangga
tersebut, sehingga badannya terjatuh dan
menghantam lantai. Ia sangat terkejut,
meski tidak mengalami luka fisik yang
serius. Sejak saat itu, ia selalu berpikir
bahwa ketinggian adalah hal yang
berbahaya dan harus ia jauhi.
Hasil
Berdasarkan
pengukuran
denyut
jantung, ditemukan adanya penurunan
frekuensi
denyut
jantung
yang
mengindikasikan turunnya kecemasan
pada ketiga subjek. IH mengaku, setelah
mengikuti program intervensi, ia merasa
lebih tenang ketika menghadapi ketinggian.
Ia sudah mampu menaiki eskalator tanpa
harus berpegangan pada pundak atau baju
temannya lagi, sehingga ia tidak lagi
ditertawakan oleh teman-temannya. Selain
itu, ia juga sudah berani untuk menatap
pemandangan dari dalam jendela gedung
bertingkat.
Ia
mengaku
mengalami
penurunan gejala acrophobia. Hasil pretest dan post-test pada IH dapat dilihat
pada Tabel 2.
Pada DO, ia mengaku mengalami
peningkatan yang cukup baik setelah
mengikuti program intervensi. Ia mengaku
sudah mampu mengabaikan pemikiran
negatifnya ketika berada di tepi mall. Hal ini
membuat ia lebih nyaman ketika sedang
berada di dalam mall. Selain itu, ia juga
mengaku merasakan adanya penurunan
37
gejala acrophobia. Hasil pre-test dan posttest pada DO dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada DD, ia mengaku lebih tenang
dalam menghadapi ketinggian setelah
mengikuti program intervensi. Ia mengaku
tidak memiliki pemikiran negatif lagi
terhadap ketinggian, sehingga ketika ia
menatap dari tepi mall ke lantai dasar, ia
sudah
mampu
memahami
bahwa
ketakutan tersebut tidak rasional. Hal ini
memudahkannya karena ia seringkali
bekerja di dalam mall. Hasil pre-test dan
post-test DD dapat dilihat pada Tabel 4.
Ketiga subjek mengalami penurunan
denyut jantung ketika dihadapkan pada
objek ketinggian, hal ini mengindikasikan
bahwa kecemasan pun menurun ketika
ketiga subjek dipaparkan pada objek
fobianya, dan mendekati rata-rata jumlah
denyut jantung dalam kondisi normal. Hal
ini terangkum dalam Tabel 5.
Kemudian, peneliti juga melakukan
analisis
data
kuantitatif
dengan
menggunakan paired sample t-test untuk
mengetahui apakah perubahan jumlah
denyut jantung antara pre-test dan posttest menurun secara signifikan. Hasil
paired
sample
t-test
menunjukkan
signifikansi p = 0,016 < 0,05; yang berarti
ada perubahan jumlah denyut jantung
secara signifikan pada ketiga subjek
setelah menjalani sesi intervensi.
Selain melalui pengukuran denyut
jantung, evaluasi juga dilakukan melalui
observasi. IH pada awalnya tidak berani
menaiki eskalator sendirian, sehingga
seringkali memegang pundak temannya
untuk menenangkan diri ketika menaiki
eskalator. Kini, IH sudah berani untuk
menaiki eskalator sendirian. Selain itu, IH
38
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
yang sebelumnya tidak berani melihat
pemandangan dari jendela gedung tinggi,
kini sudah berani. Demikian juga dengan
DO, yang awalnya selalu menjauhi tepi
mall karena takut melihat ke bawah, kini
sudah berani melakukannya. DO juga
sudah berani menyeberangi jembatan
penyeberangan setelah mengikuti program
intervensi. DD, yang sebelumnya juga
selalu menjauhi tepi mall karena takut
melihat ke bawah, kini sudah berani
mendekati tepi mall ketika berada di dalam
mall. DD juga sudah tidak merasa cemas
lagi ketika berada di balkon kostnya yang
berada di lantai 3. Hasil intervensi dalam
bentuk observasi perilaku terangkum dalam
Tabel 7.
Diskusi
Acrophobia merupakan salah satu jenis
specific phobia. IH mengalami acrophobia
sehingga tidak berani menaiki eskalator
sendirian, selalu merasa cemas berlebihan
ketika menaiki pesawat, dan tidak berani
menyeberangi jembatan gantung. DO
menyandang acrophobia sehingga tidak
berani menaiki tangga untuk mengganti
lampu, merasa cemas ketika menaiki
pesawat, dan tidak berani melihat ke
bawah ketika berada di tepi mall. Demikian
juga DD yang merasa terganggu dengan
acrophobia yang ia sandang sehingga ia
kerapkali menjauhi tepi mall agar tidak
perlu melihat ke bawah. Baik ketiganya
merasakan gangguan dari acrophobia
tersebut ke dalam kehidupannya, baik
secara sosial maupun pekerjaan. Baik
ketiganya juga memiliki irrational belief atau
keyakinan yang tidak rasional terhadap
ketinggian. Baik IH, DO, maupun DD;
selalu meyakini bahwa jika mereka dekat
dengan
ketinggian,
mereka
dapat
terjungkal
dan
terjatuh
hingga
menyebabkan luka berat atau kematian.
Selain itu, mereka juga selalu meyakini
bahwa ada temannya yang akan iseng dan
mendorong mereka hingga jatuh bila
mereka berada dekat dengan ketinggian.
Hal ini yang kemudian membuat mereka
merasa cemas dan menjauhi ketinggian.
Baik pada ketiga subyek, keyakinan yang
tidak rasional tersebut berasal dari
pengalaman traumatis di masa kecil yang
berkaitan dengan ketinggian.
Kesadaran subjek bahwa acrophobia
yang ia alami berasal dari keyakinannya
yang tidak rasional mulai muncul pada sesi
keempat, yakni sesi memahami irrational
belief. Pada sesi ini, peneliti menjelaskan
bahwa acrophobia muncul dari keyakinan
yang salah, dan subjek memiliki keyakinan
yang salah ini sehingga memunculkan
gejala kecemasan dan ketakutan yang
intens
ketika
didekatkan
dengan
ketinggian. Ketiga subjek, IH, DO, dan DD
mengaku mulai memiliki perubahan
pandangan terhadap ketinggian setelah
melewati sesi keempat ini, namun masih
belum mampu mengatasi acrophobia.
Pada akhirnya, ketiga subjek mengaku
mengalami
penurunan
intensitas
acrophobia setelah mengikuti program
Cognitive Behavior Therapy dengan
lengkap, baik yang berjenis kelamin lakilaki maupun perempuan. Hal ini berarti
bahwa
program
Cognitive
Behavior
Therapy untuk acrophobia tidak dibatasi
oleh jenis kelamin. Namun IH dan DO
menyatakan bahwa tujuh sesi yang dijalani
39
EFEKTIVITAS CBT
terlalu
lama,
sehingga
terkadang
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan
waktu antara jam pulang kerja dan sesi.
Kesimpulan, Implikasi, dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada ketiga partisipan dengan
gangguan acrophobia, dapat disimpulkan
bahwa Cognitive Behavior Therapy efektif
untuk mengatasi acrophobia pada dewasa
awal, yang berada pada rentang usia 20
sampai dengan 40 tahun, baik pada jenis
kelamin perempuan maupun laki-laki. Hal
ini dapat dilihat dari penurunan denyut
jantung serta perubahan perilaku pada
ketiga partisipan setelah mengikuti program
terapi, masing-masing sebanyak tujuh sesi
selama sekitar 2 bulan atau 8 hingga 10
minggu. Hal ini mengimplikasikan bahwa
Cognitive
Behavior
Therapy
dapat
digunakan untuk mengatasi acrophobia
pada dewasa muda dalam jangka waktu
kurang lebih 2 bulan, sehingga dapat
membantu dewasa muda penyandang
acrophobia agar dapat beraktivitas sesuai
perannya
tanpa
harus
mengalami
kecemasan terhadap ketinggian.
Pada penelitian selanjutnya, dapat
disarankan untuk menambah jumlah
partisipan dengan latar belakang yang lebih
beragam, misalnya dari bidang pekerjaan
dan usia yang berbeda-beda. Selain itu,
disarankan untuk menambah partisipan
dengan jenis acrophobia yang lebih
beragam juga. Dalam penelitian ini, lebih
ditekankan pada ketinggian dari dalam
gedung, sedangkan masih banyak jenis
acrophobia lainnya seperti jembatan,
tangga, atau menaiki pesawat.
Selain itu, dua dari tiga subjek
mengeluhkan bahwa program intervensi
yang cukup lama. Pada penelitian
selanjutnya, disarankan untuk dapat
mencari
dan
merumuskan
program
intervensi acrophobia yang lebih singkat,
sehingga dapat menghemat waktu, tanpa
mengurangi efektivitas dari terapi tersebut.
Referensi
Adler, J. M., & Cook-Nob les, R. (2011).
The successful treatment of spesific
phobia in a college counseling center.
Journal
of
College
Student
Psychotherapy, 25(1), 56-66.
Bourne, E. J., & Garano, L. (2003). Coping
with anxiety: 10 simple ways to relieve
anxiety, fear, and worry. CA: New
Harbinger Publications.
Coelho, C. M., Santos, J. A., Silverio, J., &
Silva, C.F. (2006). Virtual reality and
acrophobia: One-year follow-up and
case study. Cyberpsychology &
Behavior, 9(3), 336-341.
Coelho, C. M., & Wallis, G. (2010).
Deconstructing
acrophobia:
Physiological
and
psychological
precursors to developing a fear of
heights. Depression and Anxiety, 27,
864-870.
Depla, M., Have, M. T., Balkom, A. J., &
Graaf, R. (2008). Specific fears and
phobias in the general population:
Results from the Netherlands Mental
Health Survey and Incidence Study
(NEMESIS). Psychiatry Epidemiology,
43, 200-208.
Emmelkamp, P. M. G., Bruynzeel, M.,
40
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Drost, L., & Van Der Mast, C. A.
(2001). Virtual reality treatment in
acrophobia:
A
comparison
with
exposure in vivo. Cyberpsychology &
Behavior, 4(3), 335-339.
Halgin, R. P., & Whitbourne, S. K. (2009).
Abnormal
psychology:
Clinical
perspective on psychological disorders
(6th ed.). NY: McGraw-Hill.
Hofmann, S. G., Asnaani, A., Vonk, I. J.,
Sawyer, A. T., & Fang, A. (2012). The
efficacy of cognitive behavioral therapy:
A review of meta-analyses. Cognitive
Therapy and Research, 36(5), 427-440.
Kail, R. V., & Cavanaugh, J. C. (2010).
Human development: A life-span view
(5th ed.). NY: McGraw-Hill.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G.
C., & Neale, J.M. (2010). Abnormal
psychology (11th ed.). NY: McGrawHill.
Nolen-Hoeksema, S. (2004). Abnormal
psychology (3rd ed.). NY: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2012).
Experience human development (12th
ed.). NY: McGraw-Hill.
Quervain, D. J., Bentz, D., Michael, T., Bolt,
O. C., Wiederhold, B. K., Margraf, J., &
Wilhelm, F. H. (2010). Glucoticoids
enhance
extinction-based
psychotherapy. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the
United States of America, 108(16),
6621-6625.
Sudak, D. M. (2006). Cognitive behavioral
therapy for clinicians. PN: Lippincott
Williams & Wilkins.
Taylor, M. A., & Vaidya, N. A. (2009).
Descriptive
psychopathology:
The
signs and symptoms of behavioral
disorders. UK: Cambridge University
Press.
Whitney, S. L., Jacob, R. G., Sparto, P. J.,
Olshanky, E. F., Detweiler-Shostak, G.,
Brown, E. L., & Furman, J. M. (2005).
Acrophobia and pathological height
vertigo: Indications for vestibular
physical therapy? Physical Therapy,
8(5), 443-458.
Wilding, C., & Milne, A. (2008). Cognitive
behavioural therapy. UK: Bookpoint.
Williams, C. (2003). Overcoming anxiety: A
five areas approach. NY: Oxford
University Press.
Alamat
surel:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
EMOSI POSITIF
2017, Vol. XII, No. 1, 41-62, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
41
EMOSI POSITIF PADA IBU YANG MEMILIKI
ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM
AUTIS
(POSITIVE EMOTIONS IN MOTHERS OF
CHILDREN WITH AUTISM SPECTRUM
DISORDER)
Nurussakinah Daulay
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
This research is an empirical study aims to explore the positive emotions felt during the maternal care of
autistic children. Participants in this study involves 58 mothers of children with autism in the city of Medan.
Sampling was done by purposive sampling. Subjects were asked to complete a questionnaire open
questions related to positive emotions felt by the mother. The results showed that positive emotions in
mothers of children with autism will appear after the mother is able to accept her condition. The admission
process against her mother influenced by social support, knowledge mother, religious coping, and symptom
severity of the child. Displayed positive emotions such as compassion mothers, quiet, relieved, happy.
Positive emotions make people more open to new experiences that expand the personal resources, both
physical resources, cognitive, and social.
Keywords: positive emotions, parenting, mothers, children with autism
Penelitian ini merupakan penelitian empiris, bertujuan untuk mengeksplorasi emosi positif yang ibu rasakan
selama mengasuh anak autis. Partisipan dalam penelitian ini melibatkan 58 ibu-ibu yang memiliki anak
autis di kota Medan. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Subjek diminta untuk
mengisi angket terbuka dengan pertanyaan yang berkaitan dengan emosi positif dirasakan ibu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa emosi positif pada ibu yang memiliki anak autis akan muncul setelah ibu
mampu menerima kondisi anaknya. Proses penerimaan ibu terhadap anaknya dipengaruhi oleh dukungan
sosial, pengetahuan ibu, koping religius, dan gejala tingkat keparahan anak. Emosi positif yang ditampilkan
ibu seperti kasih sayang, tenang, merasa lega, dan bahagia. Emosi positif membuat individu lebih terbuka
pada pengalaman baru sehingga memperluas sumber daya pribadi, baik sumber daya fisik, kognitif,
maupun sosial.
Kata kunci: emosi positif, pengasuhan, ibu, anak autis
Kehadiran anak bagi orang tua sendiri
merupakan
upaya
untuk
memenuhi
kebutuhan
dasar
orang
tua
akan
kedekatan,
rasa
pencapaian
dan
kedewasaannya dalam kehidupan. Orang
tua sebagai individu yang mengasuh,
melindungi, dan membimbing anaknya dari
bayi hingga tahapan dewasanya, berupaya
41
42
DAULAY
untuk memberikan tanggung jawab dengan
penuh kasih sayang pada setiap tahapan
perkembangan anak. Setiap orang tua
(khususnya ibu) juga berharap bahwa anak
yang dilahirkannya dalam keadaan sehat,
cerdas dan normal layaknya anak-anak
lain. Ibu adalah sosok individu yang telah
mengandung, melahirkan dan merawat
anak sesuai tahapan perkembangan anak.
Setiap ibu memiliki gambaran ideal tentang
anaknya sendiri, namun ketika anaknya
lahir dalam keadaan tidak normal ataupun
mengalami
penurunan
perkembangan
dalam dua tahun pertama kehidupan anak,
maka
hal
ini
akan
memunculkan
kekecewaan yang mendalam pada diri ibu.
Memiliki anak berkebutuhan khusus
terutama autis menjadi pengalaman
tersendiri buat ibu. Gangguan spektrum
autis adalah gangguan perkembangan
yang ditandai dengan penurunan dalam
bahasa dan komunikasi, interaksi sosial,
dan bermain serta imajinasi, dengan
terbatasnya perhatian akan minat dan
perilaku yang berulang-ulang (American
Psychiatric Association [APA], 2013). Pada
DSM-IV-TR (APA, 2000), autis masuk
dalam payung gangguan perkembangan
pervasif bersama dengan gangguan
asperger, gangguan disintegratif masa
kanak-kanak
(childhood
disintegrative
disorder), gangguan rett (rett’s disorder),
dan gangguan perkembangan pervasif
yang tidak dapat dikategorikan (pervasive
developmental
disorder-not
otherwise
specified atau PDD-NOS). Pada DSM-5
(APA, 2013), autis dipandang sebagai
entitas tunggal dan diubah menjadi sebuah
spektrum yang meliputi seluruh gangguan
perkembangan pervasif kecuali gangguan
rett.
Istilah spektrum menunjukkan bahwa
gejala gangguan ini bervariasi antara anak
yang satu dengan anak lainnya. Ada anak
yang gejalanya ringan sehingga sedikit
membutuhkan bantuan dari lingkungan,
namun terdapat juga anak yang gejalanya
sangat berat dan membutuhkan dukungan
yang intens dari lingkungan, seperti
perilaku tantrum dan menyakiti dirinya
sendiri. Mash dan Wolfe (1999) juga
menekankan bahwa beberapa individu
didiagnosa autis terlibat dalam perilaku
yang sangat agresif dan merugikan diri
sendiri. Secara keseluruhan, derajat tingkat
keparahan
setiap
anak
dan
area
gangguannya sangat berbeda satu dengan
lainnya.
Wing (1997) mengungkapkan bahwa
gangguan spekrum autis adalah kondisi
neurodevelopmental sepanjang kehidupan
yang dikarakteristikkan dengan penurunan
dalam komunikasi sosial, hubungan timbal
balik sosial, dan perilaku stereotipe dan
minat yang berulang. Gangguan spektrum
autis didiagnosa selama masa anak-anak
awal menggunakan observasi perilaku
dan/atau interview klinis (Lord et al., 1994,
2000, dalam Ecker, 2016)).
Perkiraan
prevalensi berkisar 1% dalam populasi
umum (Baird et al., 2006, dalam Ecker,
2016).
Bailey, Phillips & Rutter (1996, dalam
Zillmer, Spiers & Culbertson, 2008)
menjelaskan bahwa dalam perilakunya,
anak dengan gangguan spektrum autis
menunjukkan diskoneksi sosial dengan
karakteristik sebagai berikut: (1) Kesadaran
terbatas, ketertarikan, hasrat, kebutuhan,
tekanan atau kehadiran orang lain, (2)
EMOSI POSITIF
Keterpurukan emosi dan sikap acuh tak
acuh, (3) Kegagalan berbagi aktivitas,
kesenangan, dan menjalin hubungan
dengan orang lain, (4) Kurang memahami
pada konvensi sosial, (5) Kerusakan dalam
perspektif sosial dan peran empati, (6)
Kemampuan sosial terbatas, seperti
perilaku pemberian salam, dan (7)
Canggung dalam merespon orang lain.
Ibu yang memiliki anak autis umumnya
reaksi pertama kali ketika mengetahui
anaknya terdiagnosa autis akan merasa
kaget, mengalami goncangan batin, takut,
sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak
atau marah terhadap diri sendiri maupun
marah terhadap Tuhan. Kondisi tersebut
memicu tekanan dan kesedihan terhadap
orangtua, khususnya ibu sebagai figur
terdekat dan umumnya lebih banyak
berinteraksi secara langsung dengan anak.
Adapun ibu yang mengalami depresi
cenderung (1) menyembunyikan anak dari
orang lain; (2) meminimalkan tanggung
jawab dalam pengasuhan dan perawatan
anak; dan (3) membatasi interaksi dengan
anak yang terbelakang mental tersebut
(Larsson et al., 2005).
Ibu yang memiliki anak autis memiliki
ciri-ciri profil stres (Koegel et al., 1992,
dalam Weiss, 2002). Profil ini menunjukkan
fokus berlebih pada ketergantungan anak
dan terbatasnya kesempatan keluarga
dianggap
menjadi
kontributor
stres
pengasuhan ibu. Senada dengan itu,
Abbeduto et al. (2004) juga menjelaskan
bahwa ibu yang memiliki anak dengan
gangguan spektrum autis secara umum
dilaporkan memiliki tingkat stres yang lebih
tinggi dibandingkan ibu yang memiliki anak
dengan gangguan lain. Donovan (1988)
43
juga menekankan bahwa ibu dengan anak
autis akan lebih stres dibandingkan ibu
dengan anak mental retardasi, atau anak
dengan cystic fibrosis, penyakit fisik kronik
(Bouma & Schweitzer, 1990, dalam Weiss,
(2002; Baker-Ericzen et al., 2005; Bromley
et al., 2004; Eisenhower et al., 2005; Estes
et al. 2009; Pisula & Kossakowska, 2010;
dalam McStay et al., 2014).
Ibu adalah orang yang terlibat langsung
dalam kepengasuhan anak sepanjang hari.
Ibu merasakan beban dan stres dalam
mengasuh dan merawat anak autis. Ibu
mengalami emosi-emosi negatif seperti
menolak, menyalahkan diri sendiri, cemas,
malu, takut, sehingga ibu tidak optimal
dalam mengasuh anaknya, sedangkan di
sisi lain anak autis sangat membutuhkan
perhatian dan kasih sayang dari orangorang terdekat. Hal ini akan berakibat
buruk dalam pengasuhan karena stres dan
emosi negatif yang sering dialami membuat
ibu berperilaku tidak sehat, tidak positif dan
akan memperparah keadaan anak autis,
seperti menelantarkan anaknya bahkan
berperilaku kasar terhadap anaknya.
Pada awal diagnosa anak, ternyata
tidak semua ibu dapat menerima kondisi
anaknya, sebab mengasuh anak autis
membutuhkan kerja keras serta berbagai
permasalahan
yang
muncul
seperti
besarnya
biaya
untuk
terapi
dan
pengobatan anak, pandangan negatif dari
masyarakat yang belum mengetahui akan
kondisi anak autis, perhatian dan
pengasuhan
yang
intens
dilakukan
sepanjang kehidupan anak, rendahnya
waktu luang yang dimiliki ibu untuk dirinya
sendiri, ibu juga tidak mempunyai
keyakinan akan kemampuan pada anaknya
44
DAULAY
untuk menghadapi kehidupannya sendiri,
bahkan ada beberapa diantara ibu-ibu yang
memberikan pengasuhan anak sepanjang
hari di sekolah-sekolah autis (boarding)
dan membiarkan mereka diasuh orang lain
tanpa pengasuhan ibunya langsung. Ibu
yang kurang mampu menerima kondisi
anaknya tentu dapat berpengaruh terhadap
munculnya emosi-emosi negatif dalam diri
ibu, sikap ibu yang kurang sabar dalam
merawat anak, hal ini akan berdampak ibu
menjadi kurang tangguh dalam mengasuh
sepanjang kehidupan anak. Disinilah letak
pentingnya memiliki emosi positif sebagai
kekuatan internal ibu agar tetap sehat di
bawah tekanan permasalahan anak.
Mengingat peran emosi positif memiliki
pengaruh yang kuat dalam menumbuhkan
ketangguhan dan proses pengasuhan
positif pada ibu, maka penelitian ini
merupakan studi awal dalam menjelaskan
emosi positif pada ibu yang memiliki anak
autis.
Menurut Wade dan Tavris (2007),
emosi merupakan suatu stimulus yang
melibatkan perubahan pada tubuh dan
wajah, aktivasi pada otak, penilaian
kognitif,
perasaan
subjektif,
dan
kecenderungan melakukan suatu tindakan,
yang dibentuk seluruhnya oleh peraturanperaturan
yang
terdapat
di
suatu
kebudayaan. Penelitian mengenai aspekaspek fisiologis dari emosi menunjukkan
bahwa manusia, dimanapun berada, telah
memiliki dasar-dasar emosi atau telah
memiliki emosi primer semenjak mereka
dilahirkan. Emosi primer umumnya meliputi
rasa takut (fear), marah (anger), sedih
(sadness), senang (joy), terkejut (surprise),
jijik (disgust), dan sebal (comptempt).
Sebaliknya, emosi sekunder meliputi
semua variasi dan campuran berbagai
emosi yang bervariasi antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan lainnya
serta berkembang secara bertahap sesuai
dengan tingkat kebudayaan kognitif. Hardy
dan Heyes (1985) menjelaskan bahwa
emosi dapat dikategorikan sebagai yang
positif (misal kesenangan, keriangan, cinta)
dan yang negatif (misal benci, marah,
takut). Hampir semua orang secara aktif
mencari perasaan emosional yang positif
serta berusaha menolak perasaan yang
negatif.
Emosi positif merupakan salah satu
faktor
yang
mempercepat
recovery
(penyembuhan) yang adaptif terhadap
stres (Sholichatun, 2008). Menurut Zautra
(dalam Sholichtun, 2008) dalam teori
dynamic model of affect (DMA) dalam
keadaan normal atau keadaan biasa,
emosi positif dan emosi negatif merupakan
emosi yang berdiri sendiri/independen.
Namun pada saat individu mengalami
stres, emosi positif dan emosi negatif
mempunyai hubungan yang berbeda.
Berkurangnya emosi positif pada masa
stres akan meningkatkan kepekaan
individu terhadap efek negatif stres.
Dengan
kata
lain,
jika
individu
mengembangkan emosi positif dalam
kondisi stres, maka emosi positif akan
menyumbang
resistensi
stres
dan
penyesuaian terhadap stres melalui
terganggunya pengalaman emosi negatif
yang terjadi stres berlangsung.
Menurut Frederickson (2000, dalam
Yeni 2013), emosi positif dapat berfungsi
sebagai koping dalam tiga hal. Pertama,
45
EMOSI POSITIF
Tabel 1
Karakteristik Demografi pada Ibu dan Anak Autis
No
Variabel
Kategori
Freku
Persen
SD
Mean
ensi
1.
Usia ibu
2.
Suku
3.
Status pernikahan
4.
Hidup bersama
5.
Status pekerjaan
6.
Pendidikan
7.
Jumlah anak
8.
Pendapatan
9.
Jenis autis
10.
Usia anak
11.
Jenis
anak
kelamin
20 – 30 tahun
30 – 40 tahun
40 - 50 tahun
> 50 tahun
Jawa
Batak
Tionghoa
Minang
Melayu
Bali
Menikah
Janda (suami meninggal)
Janda (bercerai)
Hidup
bersama
anak,
orang dewasa lain
Hidup
bersama
anak,
suami
Hidup
bersama
anak,
suami dan orang dewasa
lain
Wiraswasta
PNS
Guru
Dokter
Pegawai swasta
Ibu rumah tangga
Tamatan SD
Tamatan SMP
Tamatan SMA
Tamatan S1
1
2
3
>3
< Rp. 1.000.000
Rp. 1.000.000 –
2.000.000
Rp. 2.000.000 –
3.000.000
Rp. 3.000.000 4.000.000
>Rp. 4.000.000
Autis mild
Autis moderate
Autis severe
2-5 tahun
5-10 tahun
10-15 tahun
15-20 tahun
Laki-laki
Perempuan
8
31
18
1
22
16
10
5
4
1
50
4
4
8
13.7%
53.4%
31.03%
1.7%
37.9%
27.5%
17.2%
8.6%
6.8%
1.7%
86.2%
6.8%
6.8%
13.7%
46.8
49
48.2
53
49.7
48.6
48.4
49
46
49
48.8
51
47.2
49.6
4.9
3.9
4.7
5.01
30
51.7%
49.2
4.3
20
34.4%
48
5.5
10
9
3
4
4
28
17.2%
15.5%
5.1%
6.8%
6.8%
48.2%
48.5
49.3
52
47
51.5
48.4
5.3
6.1
7
5.2
3.5
4.1
0
0
12.06%
87.9%
18.9%
43.1%
27.5%
10.3%
1.7%
13.7%
0
0
47.3
49.1
48.9
48.8
49.8
47.8
50
47.5
0
0
3.9
4.9
3.8
5.7
4.01
4.8
Rp.
0
0
7
51
11
25
16
6
1
8
Rp.
9
15.5%
47.8
4.8
Rp
16
27.5%
50.4
3.7
24
36
17
5
9
31
12
6
41.3%
63.8%
27.5%
8.6%
15.5%
53.4%
22.4%
8.6%
48.6
48.9
48.9
48.2
45.7
49.1
50.5
48.8
5.1
4.4
5.7
5.4
4.4
3.8
6.2
5.9
46
12
79.3%
20.6%
49.3
47
4.8
4.5
5.6
4.4
5.6
5.3
5.1
4.5
3.3
4
6.02
46
DAULAY
bahwa emosi positif akan membantu
seseorang menghadapi permasalahan
karena emosi positif membantu seseorang
agar lebih berpikir objektif. Kedua, emosi
positif dan dukungan sosial sangat
berhubungan, dimana dukungan sosial
akan sangat membantu meningkatkan
keadaan kestabilan emosi seseorang.
Ketiga, emosi positif akan meningkatkan
kemampuan dalam menangani dampak
fisik karena stress. Koping dapat diartikan
sebagai mekanisme penyesuaian diri
secara psikologis terhadap stimulus yang
dinilai
sebagai
ancaman
ataupun
tantangan. Menurut Lucas, Diener, dan
Larsen (2006), emosi positif merupakan
pengalaman
emosional
yang
menyenangkan atau menggembirakan.
Menurut Frederickson (2000, dalam
Yeni, 2013), pola pikir yang menyertai
emosi positif pada gilirannya membawa
keuntungan adaptif jangka panjang karena
memperluas sumber daya pribadi. Sumber
daya ini mencakup; sumber daya fisik,
misalnya perbaikan kesehatan, umur
panjang; sumber daya sosial, misalnya
persahabatan, dukungan sosial; sumber
intelektual,
misalnya
menguasai
pengetahuan; dan sumber daya psikologis,
misalnya resiliensi, optimis dan kreatif.
Sumber daya ini bertahan lama, efeknya
adalah peningkatan sumber daya pribadi
seseorang. Sumber daya ini dapat
digunakan dalam keadaan emosi yang
berbeda. Menurut Tugade, Frederickson,
dan Barret (2004), melalui pengalaman
emosi positif maka individu dapat
mengubah diri, menjadi lebih kreatif,
berpengalaman, ulet, sosial dan menjadi
individu yang sehat.
Pada ibu yang memiliki anak autis akan
sering mengalami stres jika ibu memaknai
pengasuhan terhadap anak autis lebih
banyak dipengaruhi emosi negatif. Sanders
dan Morgan (1997) melaporkan bahwa
pada ibu yang memiliki anak autis akan
mengalami stres yang lebih tinggi
dibandingkan ibu dengan anak yang
mengalami
gangguan
perkembangan
lainnya (seperti down syndrome). Menurut
Sharpley, Bitsika, dan Efremidis (1997),
terdapat tiga faktor terpenting stres
berhubungan dengan pengasuhan anak
autis, yaitu (a) konsentrasi penuh pada
kondisi
ketidakmampuan
anak;
(b)
penerimaan lingkungan yang rendah akan
perilaku anak autis; juga dari anggota
keluarga; (c) rendahnya dukungan sosial
yang diterima dari orang tua.
Pengambilan data pada penelitian ini
menggunakan angket terbuka, berdasarkan
angket terbuka menjelaskan bahwa hampir
keseluruhan ibu-ibu yang memiliki anak
autis pada awalnya mengalami emosi
negatif dalam dirinya, seperti stres, sedih,
menyalahkan diri, mengeluh, marah,
depresi, menolak anak. Emosi negatif ini
yang mempengaruhi ibu menjadi terhambat
dalam menerima kondisi anak. Proses
penerimaan terhadap anak autis pada
setiap ibu akan berbeda-beda, tergantung
dari tingkat gejala keparahan anak,
dukungan sosial yang ibu terima, dan
pengetahuan yang ibu miliki. Hal ini selaras
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mashita (2015) tentang penerimaan orang
tua terhadap anak penderita autis. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa (1)
permasalahan awal yang dihadapi orang
tua adalah orang tua merasa sedih saat
47
EMOSI POSITIF
mengetahui anaknya mengalami autis,
bingung apa yang harus dilakukan oleh
orang tua, biaya terapi serta kebutuhan
anak, tipe suami yang kurang perhatian,
membutuhkan waktu yang ekstra untuk
memperhatikan
anak;
(2)
proses
penerimaan orang tua pada anak autis
diawali
dengan
proses
penolakan
ditunjukkan dengan ketidakpercayaan serta
kebingungan orang tua atas kondisi anak,
selain itu orang tua merasa sedih, shock.
Kemudian proses kemarahan terhadap diri
sendiri, anak dan orang lain. Selanjutnya
proses tawar menawar, diwujudkan dengan
cara berbicara dalam hati dan melakukan
pembenaran serta pembelaan sebagai
wujud untuk bisa menentramkan hati orang
tua. Kemudian proses depresi, yang
ditunjukkan orang tua dengan perasaan
bersalah, kecewa atas kondisi yang terjadi
pada anak, kemudian proses terakhir yaitu
penerimaan, ditunjukkan dengan sikap
pasrah orang tua atas kondisi anaknya
serta memperhatikan perkembangan anak
selama proses terapi dan belajar di rumah
serta memasrahkan kesembuhan anak
pada Tuhan.
Penelitian mengenai efek emosi positif
dalam menghadapi kesulitan pernah
dilakukan oleh Rick Snyder (dalam
Lazarus,
2005).
Hasil
penelitiannya
menunjukkan
bahwa
orang
yang
mempunyai emosi positif mampu bertahan
dalam
menghadapi
kesulitan
dan
melakukan langkah pencegahan terhadap
masalah-masalah
yang
sedang
dihadapinya.
Lazarus
(2005)
juga
mengungkapkan lebih banyak lagi manfaat
emosi positif bagi individu, seperti
memperluas dan membangun intelektual,
membangun
sumber
daya
fisik,
meningkatkan
produktivitas,
dan
membangun sumber daya sosial.
Penelitian ini merupakan studi awal
untuk mengeksplorasi peran emosi positif
dalam mempengaruhi pengasuhan ibu
terhadap anak autis. Penelitian ini
bertujuan untuk menggali emosi positif
yang ibu rasakan dan ibu alami selama
mengasuh anak, maka penelitian ini
menarik sekali dikaji lebih lanjut untuk
memperkaya ilmu pengetahuan khususnya
dalam bidang psikologi positif, psikologi
perkembangan, psikologi klinis dengan
menjelaskan emosi-emosi positif pada ibu
yang memiliki anak dengan gangguan
spektrum autis.
Metode
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan fenomenologi (Moustakas,
1994). Penelitian fenomenologi umumnya
membahas
pertanyaan
tentang
pengalaman manusia sehari-hari yang
diyakini sebagai fenomena penting di
lapangan ilmu sosial. Ibu-ibu yang memiliki
anak autis merupakan komunitas khas
tersendiri yang perlu digali pengalamannya
selama mengasuh anak autis. Subjek
penelitian berjumlah 58 orang ibu yang
memiliki anak autis dan berdomisili di kota
Medan Sumatera Utara (Tabel 1). Peneliti
bekerjasama dengan 2 sekolah dan 6
terapi anak autis di kota Medan, dari
sekolah dan terapi tersebut didapatkan 58
orang subjek penelitian.
Selanjutnya subjek diminta untuk
mengisi angket terbuka dengan pertanyaan
sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa yang
membuat ibu mampu bertahan dalam
48
DAULAY
mengasuh anak autis?, (2) Ceritakan
bagaimana emosi positif yang ibu rasakan
selama memiliki anak autis?, (3) Usahausaha apa saja yang ibu lakukan untuk
dapat membangkitkan emosi positif dalam
diri ibu?, (4) Bagaimana peran emosi positif
dalam mempengaruhi pengasuhan ibu
terhadap anak?, dan (5) Bagaimana
perasaan ibu sekarang?
Data yang diperoleh pada tahap ini
kemudian dianalisis dengan menggunakan
teknik koding (Strauss & Corbin, 2003)
yang terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) open
coding,
dimana
peneliti
mulai
mengidentifikasi kategori-kategori tema
yang muncul, (2) axial coding, dimana
peneliti berusaha melihat hubunganhubungan antara kategori satu dengan
yang lainnya, dan (3) selective coding,
dimana peneliti menyeleksi kategori yang
paling
mendasar,
secara
sistematis
menghubungkannya
dengan
kategorikategori lain dan memvalidasi hubungan
tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian ini akan
menghasilkan faktor-faktor yang membuat
ibu mampu bertahan dan salah satunya
adalah peran emosi positif ibu, kondisi
emosi ibu selama mengasuh anak pada
saat sebelum terdiagnosa autis dan setelah
terdiagnosa autis, perasaan ibu sekarang
mengasuh anak autis.
Hasil dan Diskusi
Hasil dari penelitian ini adalah
berupaya untuk menggali perasaan positif
ibu selama mengasuh anak autis hingga
sekarang.
Faktor-faktor yang Membuat Ibu Mampu
Bertahan Dalam Mengasuh Anak Autis
Jika dilihat dari sisi anak autis sendiri
yang mengalami gangguan perkembangan
dan terjadi sepanjang rentang kehidupan
anak, dengan ciri-ciri memiliki perilaku
excessive (berlebihan) ditandai dengan
hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa
menjerit, menggigit, memukul diri sendiri,
mencakar, serta perilaku yang deficit
(berkekurangan)
ditandai
dengan
gangguan bicara, senang menyendiri,
tatapan mata kosong, perilaku sosial
rendah. Bagi ibu, bukanlah hal yang mudah
untuk mengasuh anak autis. Oleh karena
itu dibutuhkan pertanyaan awal yang
penting diajukan adalah faktor apa yang
membuat ibu mampu bertahan dalam
mengasuh anak autis. Berdasarkan analisis
koding terhadap angket terbuka, diperoleh
faktor-faktor yang membuat ibu mampu
bertahan yaitu peran agama, dukungan,
pengetahuan tentang anak autis, emosi
positif, dan naluri ibu.
Salah satu faktor yang membuat ibu
mampu bertahan adalah adanya emosi
positif yang ibu rasakan selama mengasuh
anak autis, yaitu kasih sayang, perduli,
tenang, bersyukur, bahagia. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lazarus (1991), terdapat
empat aspek emosi positif yaitu bahagia
(happy), bangga (pride), kasih sayang
(love/affection), dan lega (relief). Bahagia
muncul pada saat ibu merasa bahwa ibu
telah berbuat dan berjuang demi kemajuan
yang berarti untuk anak, biasanya ini terkait
dengan tujuan jangka panjang, seperti ibu
berusaha untuk membawa anak ke terapi,
ke sekolah autis, berkonsultasi dengan
49
EMOSI POSITIF
Tabel 2
Gambaran emosi positif ibu berdasarkan teori Frederickson (1998)
Aspek
Emosi
Positif
Joy
Interest
Verbatim
Wujud Emosi Positif
“Rasanya luar biasa banget kalau melihat anak sudah Subjek merasa senang
bisa makan sendiri, pakai baju sendiri...meskipun
ketika anak mampu
awalnya berat...” (Subjek 3)
menunjukkan
“Saya menyadari peran saya sebagai ibu..jadi saya
kemajuan
dalam
harus bertanggung jawab untuk bisa mandiri” (Subjek
perilaku.
7)
“Perasaan saya lebih baik, setelah sekian lama saya
terapi anak sekarang mulai mandiri” (Subjek 11)
“Dulu saya harus berjuang lebih keras.. membawa anak Subjek merasa bahagia
ke terapi.. sekarang anak sudah bisa diajak karena anak mampu
bicara...sekali-kali ada kontak mata juga...” (subjek 14)
berinteraksi
sosial,
“Alhamdulillah..melihat kemajuan yang dialami anak sudah
mulai
ada
kami sudah membuat kami bahagia dan bangga, sedikit hubungan timbal balik
demi ucapan yang keluar dari bibirnya, dan saat ini
anak kami sudah mulai memahami apa yang
diperintahkan.Cuma saja terkadang emosi yang muncul
tiba-tiba membuatnya marah dan menangis” (subjek 4)
“Kalau diingat-ingat.. dulu parah tantrumnya, sampai Subjek merasa bahagia
kepala dibentur ke dinding.. tapi dengan kesabaran kita karena
berkurangnya
mengatasi perilaku anak...syukurlah tantrumnya sudah perilaku tantrum anak
sangat berkurang..” (Subjek 23)
“Saya berharap anak saya bisa berbicara dan
berinteraksi dengan orang lain seperti anak normal
lainnya. Anak saya bisa mengenal saya sebagai
mamanya dan mengenal papanya.” (Subjek 31)
“Perasaan saya sekarang lebih tenang dan sabar
dalam menghadapi permasalahan yang ada pada R,
berusaha terus melakukan segala hal untuk kemajuan
perkembangan R anak saya dan tentunya saya harus
kuat dan sehat, harus membagi waktu dan melihat dan
memantau terus perkembangan abangnya R juga”.
(subjek 37).
“Saat saya melihat tingkah lakunya berbeda dengan Subjek
berkeinginan
abangnya dan anak-anak pada umumnya, saya
untuk
mencari
mengalami ketakutan dan kesedihan yang laur biasa,
informasi
tentang
gimana masa depan anak Saya berusaha terus bawa
pengasuhan
positif
ke beberapa psikolog, konsul dengan beberapa dokter,
terhadap anak
THT, dr spesialis anak & tingkah laku, segala macam
cara saya lakukan, tes darah, urin, diet makan organik,
gutenfree, logam berat yang tidak boleh anak saya
konsumsi.”(subjek 7)
“Bagi saya dengan membawa K ke mall, ke tempat Subjek
berkeinginan
undangan merupakan pengalaman yang berarti, karena
berbagi
pengalaman
banyak orang memperhatikan dan bertanya-tanya akan
dalam mengasuh anak
kondisi anak...ya jadi harus saya jelaskan..” (subjek 29).
“Saya sangat bersemangat ketika ada kegiatan di terapi Subjek
bersedia
autis ini dalam rangka meningkatkan kemampuan
mengikuti
kegiatan
motorik anak” (subjek 45)
terkait
pengasuhan
“Pemerintah sekarang sudah mulai mensosialisasikan
anak autis
kondisi anak autis, seperti dengan adanya Hari Anak
Autis Nasional” (subjek 34).
50
DAULAY
Tabel 2 (lanjutan)
Gambaran emosi positif ibu berdasarkan teori Frederickson (1998)
Aspek
Emosi
Positif
Content
ment
Love
Verbatim
Wujud Emosi Positif
“Saya memiliki keyakinan bahwa tidak akan ada usaha Subjek merasa puas
yang sia-sia dengan keikhlasan dan kesabaran pasti J
dan
bangga
bisa
bisa melewati semua ini”
memberikan pelayanan
“Meskipun perjalanan ke tempat terapi sangat jauh..
terbaik untuk anak
karena kita tinggal di kota kecil.. bisa dua jam
perjalanan, saya gak putus asa.. pasti usaha yang
dilakukan akan berbuah manis.” (subjek 30).
“Saya tidak merasa berkecil hati atas kondisi anak Subjek
bersyukur
saya, justru saya banyak diberi pengalaman, anugerah,
dianugerahi anak autis
rezeki yang lumayan dan hikmah yang tidak terhingga
dengan
segala
besarnya sejak saya memiliki L...” (Subjek 2)
kelebihan
dan
“Apapun yang terjadi pada anak saya tetap saya terima
kekurangannya
karena anak adalah anugerah” (subjek 11)
“Saya merasa banyak kemudahan dalam rezeki juga Subjek bersyukur anak
dengan kehadiran R dalam kehidupan keluarga kami”
anugerah
bagi
(subjek 42)
keluarga,
sehingga
banyak
hal
yang
dimudahkan
dalam
urusan
“Sudah 17 tahun usia T sekarang.. banyak sekali yang
saya rasakan perubahan dalam diri saya..menjadi lebih
bersabar, lebih dewasa dalam menyikapi masalah”
(Subjek 56)
“Saya yakin dengan kasih sayang yang kami berikan,
anak saya dapat merasakannya” (subjek 14)
“Setiap orang tua pasti menyayangi anaknya, kasih
sayang ini yang sangat mempengaruhi dalam
menerima anak kita.” (subjek 19)
“Terkadang saya sering ditanyain juga yang
berhubungan dengan pengalaman selama memiliki
anak autis...bagi saya hal ini positif karena memberikan
informasi yang baik” (subjek 26)
“Terkadang saya membawa anak ke mall, ke
restauran.. dia sangat senang sekali...” (subjek 55)
“Meskipun ada saja orang yang mencemoh anak, saya
tidak perduli.. ini demi kebaikan U juga” (subjek 40).
dokter atau psikolog untuk tumbuh
kembang anak, ibu juga berupaya
mengajarkan anak agar mampu mandiri.
Bangga muncul ketika anak sudah
menampakkan kemajuan yang signifikan
akan kemampuannya. Keberhasilan ini
Subjek menjadi lebih
positif
Subjek
sangat
menyayangi anaknya
Subjek
senang
bisa
berbagi
pengalaman
dengan orang lain
Subjek membawa anak
ke masyarakat agar
anak dapat mengenal
lingkungannya
disebabkan karena upaya yang optimal,
kerja keras dan ikhtiar dari ibu. Kasih
sayang tidak akan muncul jika ibu belum
bisa menerima anaknya, di awal diagnosa
anak biasanya emosi yang muncul adalah
emosi negatif seperti sedih, menyalahkan
51
EMOSI POSITIF
diri, takut, cemas, marah, dibarengi dengan
perasaan kasihan akan kondisi anak. Pada
setiap ibu prosesnya berbeda dalam
menerima keterbatasan anak. Ketika ibu
sudah mampu menerima anaknya maka
rasa kasihan ini akan berubah menjadi
kasih sayang, dan akan diwujudkan ibu
dalam bentuk sikap yang sabar, jarang
marah, jarang mengeluh, dan berusaha
melakukan yang terbaik untuk anak. Lega
akan muncul pada saat tujuan yang semula
dinilai tidak sesuai menjadi kebutuhan yang
penting dan terjadi penurunan emosi yang
negatif. Ketika anak mulai menunjukkan
kemajuan perilaku, emosi, dan komunikasi,
ibu akan mengalami penurunan emosi
yang negatif yaitu berkurangnya rasa
cemas, takut akan masa depan, sedih, ada
kelegaan yang ibu rasakan. Ibu juga
merasa lega karena cukup menerima
dukungan informal (keluarga, pasangan)
dan dukungan formal (sekolah, terapi).
Faktor-faktor yang membuat ibu
mampu bertahan dalam mengasuh anak
autis dapat terlihat pada ungkapan
pengalaman berikut ini.
Dukungan
suami
dan
keluarga,
dukungan lingkungan sekitar (subjek 3)
Seorang ibu mempunyai tanggung
jawab
besar
terhadap
anakanaknya, mempunyai doa dan
harapan besar buat aak-anaknya,
ingin anak mandiri nantinya, yang
pasti dukungan keluarga membuat
saya mampu bertaha (subjek 12)
Anak saya membutuhkan saya,
merasa bangga dan menyayangi
anak saya (subjek 19)
Informasi yang jauh lebih banyak
mengenai autisme dan bakat yang
ada di dalam anak saya (subjek 27)
Anak adalah titipan Tuhan yang
amat berharga. Tuhan menitipkan
anak autis karena orang tuanya
mampu merawatnya (subjek 34)
Suatu ujian dari Tuhan dan melatih
kesabaran orang tua (subjek 36)
Untuk
membuktikan
pada
lingkungan bahwa seorang anak
autis sama dengan anak biasa pada
umumnya,
dan
mereka
juga
mempunyai kelebihan (subjek 42)
Dukungan keluarga, beribadah dan
berdoa (subjek 47)
Rasa
sayang,
dukungan
dari
keluarga, suami, pemahaman saya
yang sudah lebih meningkat tentang
anak autisme (subjek 51)
Selain
dukungan
pasangan,
dukungan
dari
ibu-ibu
yang
mempunyai anak yang autis juga
penting (subjek 53).
Emosi yang Ibu
Memiliki Anak Autis
Rasakan
dengan
Pada dasarnya individu memiliki dua
macam emosi, yaitu emosi positif dan
emosi negatif. Emosi merupakan reaksi
menyenangkan atau tidak menyenangkan
terhadap suatu peristiwa tertentu (Mashar,
2008). Emosi positif merupakan emosi
yang menimbulkan dampak atau reaksi
menyenangkan
pada
orang
yang
merasakannya. Contoh emosi positif
seperti senang, santai, tenang. Sedangkan
emosi negatif merupakan emosi yang
menimbulkan dampak atau reaksi yang
52
DAULAY
tidak menyenangkan bagi orang yang
merasakannya (Safaria & Nofrans, 2012).
Contoh emosi negatif adalah sedih, marah,
depresi.
Ketika
seorang
individu
merasakan emosi negatif, maka individu
tersebut akan merasakan suasana yang
tidak menyenangkan.
Ekawati
(dalam
Fitroh,
2011)
menyatakan bahwa individu yang matang
emosi akan memiliki kemampuan untuk
menilai situasi secara kritis sebelum
bertindak dan kemampuan mengontrol
emosi dengan baik sehingga memberikan
hasil pada penyesuaian diri yang baik.
Memperkuat juga teori Sheridan &
Radmacher (1992) yang menyatakan
bahwa individu yang mampu melakukan
penyesuaian diri dengan baik terhadap
kehidupannya karena memiliki karakteristik
kepribadian yang sehat yaitu ketangguhan.
Menurut Frederickson (1998), emosi
positif mempunyai empat aspek. Pertama,
Joy (kegembiraan). Joy merupakan bagian
dari kegembiraan yang berperan dalam
pengembangan intelektual seseorang.
Dalam beberapa kasus, joy dianggap
sebagai sebuah peristiwa atau keadaan
menuju pencapaian sebuah tujuan. Joy
dapat berupa happiness (kebahagiaan),
amusement
(keceriaan),
elation
(kegirangan hati), gladness (kesenangan
hati) sebagai kondisi yang muncul
berkaitan dengan kecenderungan yang
berupa aktivitas bebas seperti melompat,
berlari, bermain Sebagai contoh, ibu akan
mengajak anak untuk belajar di tempattempat terapi serta berjalan-jalan keluar
rumah agar pengetahuan anak akan
lingkungan juga berkembang.
Kedua, Interest (ketertarikan). Interest
berperan dalam mengeksplorasi dan
meningkatkan pengetahuan yang dimiliki
seseorang. Menurut Frederickson (1998),
kecenderungan individu untuk melakukan
tindakan dipicu oleh ketertarikan. Interest
dapat
berupa
perasaan
curosity
(keingintahuan), intrigue (minat), excitment
(gairah),
wonder
(heran),
intrinsic
motivation (motivasi intrinsik). Sebagai
contoh agar ibu memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang anak autis, maka ibu
akan lebih aktif untuk terus belajar
menggali informasi tentang pengasuhan
positif terhadap anak autis.
Ketiga, Contentment (kepuasan hati).
Mashar (2008), contentment merupakan
sebuah
perasaan
tenang.
Menurut
Frederickson, de Rivera, dan Izard (dalam
Frederickson,
1998)
menjelaskan
contentment mendorong individu untuk
menikmati hidup mereka pada saat ini dan
keberhasilan
yang
baru
saja
didapatkannya. Contohnya ibu akan
merasakan kebahagiaan ketika anak
mengalami
kemajuan
dalam
perkembangannya, misal anak sudah
mampu untuk makan sendiri.
Keempat, Love (cinta). Love lebih
berperan dalam menguatkan ikatan sosial
dan kelekatan. Love sendiri merupakan
gabungan dari berbagai emosi positif yang
mencakup joy, interest, dan contentment
dengan orang lain dalam mendukung
interaksi sosial dan kelekatan pada setiap
pembentukan
sebuah
hubungan.
Contohnya Ibu akan mengajar dan
mengasuh anak dengan kasih sayang, ibu
merasa sangat bertanggung jawab atas
kehidupan anak.
Berdasarkan teori Frederickson (1998),
EMOSI POSITIF
maka dapat terlihat emosi positif pada ibu
yang
memiliki
anak
autis
adalah
sebagaimana nampak pada .
Emosi positif dalam diri seseorang
tentu tidak akan muncul dengan begitu
saja. Emosi positif yang dirasakan
seseorang
sangat
tergantung
pada
interpretasi orang tersebut terhadap
peristiwa yang terjadi (Safaria & Nofrans,
2012). Emosi positif dalam diri ibu, seperti
menerima keterbatasan anak, rasa sayang,
lebih tenang, lega, bersyukur dengan
kehadiran anak, sehingga membuat ibu
sekarang
menjadi
tangguh
dalam
mengasuh anak autis, juga tidak akan
muncul dengan begitu saja. Selain
dukungan sosial yang ibu terima dalam
menerima anak, faktor kepribadian ibu
sendiri juga berperan penting dalam
memunculkan emosi positif ibu. Ketika ibu
menginterpretasikan anak autis sebagai
sesuatu
yang
positif,
seperti
ibu
menganggap bahwa anak adalah anugerah
Tuhan dan anak adalah sebagai ladang
ibadah
ibu
dengan
harapan
ibu
mendapatkan keberkahan hidup dari
Tuhan.
Sedangkan
ibu
yang
menginterpretasikan anak autis sebagai
sesuatu yang buruk maka akan timbul
emosi negatif dalam diri ibu, seperti ibu
akan terus mengalami stres pengasuhan,
cemas, sedih dan menolak kehadiran anak.
Seligman (2005) menjelaskan bahwa
ada beberapa hal yang mempengaruhi
emosi positif. Pertama, Keluarga dan
lingkungan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi ketangguhan ibu sekarang
adalah dengan bergabungnya ibu ke dalam
komunitas ibu yang memiliki anak autis, ibu
menjadi lebih tenang dengan saling berbagi
53
akan permasalahan dalam mengasuh
anak. Faktor dukungan dari keluarga dan
suami juga sangat mempengaruhi ibu.
Orang tua dengan anak berkebutuhan
memiliki stres yang tinggi dan rasa ketidak
seimbangan dalam sistem keluarga (Burrel,
Thompson & Sexton, 1994). Ini penting
bahwa orang tua mampu memaknai koping
terhadap stres, dan satu faktor yang
mengurangi stres orang tua adalah
dukungan sosial (Bristol, 1984; Dyson,
1997; Sharpley, Bitsika & Efremidis, 1997,
dalam Boyd, 2002). Seligman (2005) juga
menjelaskan individu yang terbuka dan
banyak melakukan sosialisasi dengan
orang
lain
akan
meningkatkan
kebahagiaan. Keterbukaan dan banyaknya
relasi yang dimiliki membuat hubungan
sosial yang kaya sehingga mampu
mendatangkan dukungan secara sosial.
Kedua, rasa syukur. Ketangguhan ibu
dalam mengasuh anak autis karena ibu
telah menerima kondisi anak dan ibu
bersyukur dengan kehadiran anak dalam
kehidupannya. Ibu sangat merasakan
perubahan dalam dirinya sekarang menjadi
lebih bijaksana dalam menyelesaikan
permasalahan hidup, ibu menjadi lebih
tenang karena ibu menganggap anak
merupakan anugerah yang telah dititipkan
Tuhan kepadanya, ada keyakinan bahwa
anak sebagai penolong (syafa’at) bagi ibu
agar ibu mendapatkan tempat yang terbaik
di Hari Akhirat. Sesuai dengan penelitian
Seligman (2005) bahwa rasa syukur dalam
diri
individu
akan
meningkatkan
kesejahteraan individu tersebut. Selain itu
mengekspresikan rasa syukur atas apa
yang diperoleh dalam kehidupan akan
meningkatkan perasaan positif pada diri
54
DAULAY
Tabel 3
Hal-hal yang mempengaruhi emosi positif ibu berdasarkan teori Seligman (2005)
Faktor
Rasa syukur
Religi
Lingkungan
Keluarga
Verbatim
“Ikhlas terhadap ketentuan Yang Maha Kuasa”
(subjek 2)
“Perasaan saya sekarang menerima dengan
ikhlas kondisi anak saya yang terpenting berusaha
terbaik buat anak, saya percaya ada kekurangan
pasti ada kelebihan” (subjek 24)
“Apapun yang terjadi pada anak saya tetap saya
terima karena anak adalah anugerah” (subjek 11)
“Saya merasa banyak kemudahan dalam rezeki
juga dengan kehadiran R dalam kehidupan
keluarga kami” (subjek 42)
“Sudah 17 tahun usia T sekarang..banyak sekali
yang saya rasakan perubahan dalam diri
saya..menjadi lebih bersabar, lebih dewasa dalam
menyikapi masalah” (Subjek 56)
“Kehadirran D membuat saya semakin yakin akan
kekuasaan Tuhan, bahwa tidak ada yang tidak
mungkin bagiNya, ini merupakan cobaan buat
keluarga kami..saya banyak berdoa agar
dimudahkan segala permasalahan yang sedang
dihadapi”.(subjek 11).
“Kehidupan di dunia ini hanya sementara,
kehadiran anak seperti H ini mudah-mudahan
menjadi penolong bagi saya di hari Akhirat..saya
mendapatkan amal ibadah yang banyak dengan
merawat H.” (subjek 16)
“Saya akhirnya dapat menerima kondisi anak saya
berkat dukungan atasan tempat saya bekerja,
teman-teman dan juga keluarga yang mengatakan
bahwa anak saya itu anak yang istimewa dan
memiliki kelebihan dari anak-anak lain.Akhirnya
saya pun sadar bahwa itu adalah titipan Tuhan
yang harus saya jaga dengan sebaik-baiknya”
(subjek 57).
“Memasukkan anak ke sekolah yang tepat
merupakan salah satu cara dalam meminimalisir
perilaku anak yang bermasalah..di sini saya
mendapatkan motivasi yang membuat saya
semakin kuat”. (subjek 29)
“Saling berbagi dengan sesama ibu-ibu yang
memilik anak autis akan membuat kita menjadi
termotivasi” (subjek 8)
“Syukurnya....suami saya mengerti dengan kondisi
anaknya..dan mau membantu juga menyiapkan
makanan anak” (subjek 53)”
“Suami biasanya memberikan biaya buat
kebutuhan R..meskipun ayahnya sibuk”. (subjek
46).
Keterangan
Subjek
bersyukur
dianugerahi anak autis
dengan segala kelebihan
dan kekurangannya
Subjek bersyukur anak
anugerah bagi keluarga,
sehingga banyak hal
yang dimudahkan dalam
urusan
Subjek menjadi lebih
positif
Subjek menjadi lebih rajin
dalam beribadah
Subjek
memasrahkan
segala
permasalahan
hanya kepada Tuhan
Subjek
mendapat
dukungan baik secara
emosional
maupun
material dari lingkungan
tempat tinggal
Subjek
mendapat
dukungan
dari
sekolah/terapi autis
Subjek
mendapat
dukungan dari komunitas
ibu yang memiliki anak
autis
Subjek
mendapat
dukungan dari suami
Subjek
mendapat
dukungan dari keluarga
pihak suami dan keluarga
besarnya sendiri.
EMOSI POSITIF
seseorang (Sheldon & Sonja, 2006).
Ketiga, Religi. Ibu adalah individu yang
kuat, sehingga Tuhan menitipkan anak
autis dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Ibu meyakini bahwa
semua yang ibu lakukan untuk kebaikan
anak adalah karena ibu semata-mata
mengharapkan ridho dari Tuhan agar
mendapatkan keberkahan hidup. Hal ini
yang membuat ibu menjadi lebih bijaksana
dalam hidup, ketika ibu mendapati masalah
ataupun
cobaan
maka
ibu
akan
mengembalikan permasalahan tersebut
dengan
mengadu
dan
meminta
pertolongan kepada Tuhan. Seligman
(2005) mengungkapkan bahwa Individu
yang religius lebih bahagia dan lebih puas
terhadap
kehidupannya
dibandingkan
individu yang tidak religius. Agama mengisi
manusia dengan harapan akan masa
depan dan menciptakan makna dalam
kehidupan. Hubungan antara harapan akan
masa depan dan keyakinan beragama
merupakan landasan mengapa keimanan
sangat efektif melawan keputusasaan dan
meningkatkan kebahagiaan. Berdasarkan
pendapat Seligman di atas, dapat
disimpulkan
bahwa
hal-hal
yang
mempengaruhi emosi positif diantaranya
adalah keluarga dan lingkungan, rasa
syukur, religi. Berdasarkan hasil penelitian
ini, maka peneliti menambahkan hal yang
mempengaruhi emosi positif khususnya
pada ibu yang memiliki anak autis adalah
adanya rasa ikhlas, bersyukur, yakin, dan
kasih sayang dalam pengasuhan positif ibu
(lihat Tabel 3).
Usaha-usaha yang Ibu Lakukan Untuk
Dapat Membangkitkan Emosi Positif
55
Berdasarkan hasil angket terbuka pada
penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa
emosi positif pada ibu akan muncul seiring
dengan kemajuan perkembangan anak dan
dukungan sosial yang ibu dapatkan. Ibu
akan lebih bahagia, senang, dan lebih
tenang ketika melihat anaknya sudah
mampu menunjukkan perkembangan yang
signifikan, seperti berbicara, cukup mandiri,
berkurangnya
perilaku
tantrum
dan
menyakiti diri sendiri. Namun terkadang,
emosi positif ini sifatnya tidak menetap,
artinya
meskipun
ibu
merasakan
kebahagiaan namun ibu terkadang juga
merasa sedih dan cemas mengingat akan
masa depan anak. Usaha-usaha yang ibu
lakukan untuk membangkitkan emosi positif
diantaranya seperti ibu tetap menjalin
komunikasi dan saling berbagi pengalaman
bersama komunitas ibu-ibu yang memiliki
anak autis, ibu berdoa dan mengadu akan
masalah yang dihadapi hanya kepada
Tuhan, ibu dapat melakukan aktivitas yang
membantu pemulihan kondisi fisik dan
psikologisnya,
seperti
memenuhi
kebutuhan pribadi, menyalurkan hobi,
bercanda dan bersosialisasi dengan
teman-teman. Menurut Frederickson (2000)
bahwa emosi positif akan sangat
membantu
mengatasi
stres
dalam
beberapa hal. Pertama, bahwa emosi
positif
akan
membantu
seseorang
menghadapi permasalahan karena emosi
positif membantu seseorang agar lebih
berpikir objektif. Kedua, emosi positif dan
dukungan sosial sangat berhubungan,
karena dukungan sosial sangat membantu
meningkatkan keadaan kestabilan emosi
seseorang. Ketiga, emosi positif akan
56
DAULAY
Tabel 4
Ungkapan Emosi Positif
Peran
Secara
kognitif
Secara sosial
Secara fisik
Verbatim
Keterangan
“Saya mengubah pemikiran saya dari anak yang
saya menimbulkan masalah menjadi punya
pemikiran bahwa anak adalah anugerh” (subjek 5)
“Dengan kehadiran anak..membuat hidup saya
menjadi menantang..hari ini dan besok adalah
sebuah peristiwa yang menyenangkan dlam
mengasuh anak”. (subjek 12)
“Awalnya saya sering uring-uringan dan stres ketika
menghadapi anak saya..bingung..tapi semakin kita
stres akan semakin memperburuk hubungan saya
denga anak...semakin lama saya mulai menerima
kehadiran
F..dan
ini
sangat
membantu
saya..menjadi
lebih
tenang..ditambah
lagi
berkumpul dengan komunitas ibu..ini sangat
membantu” (subjek 9)
“Saya
selalu
berusaha
menjaga
kondisi
tubuh..jangan sampai sakit..karena kalau saya
sakit..siapa yang akan merawat D..kalau bukan
saya...”
“Ketika kita ibunya bersemangat..anak pasti akan
merasakannya..dan dia juga senang...tentu dengan
selalu
bersemangat
dalam
hidup
akan
mempengaruhi kondisi tubuh juga baik.
Gambar 1. Dinamika Emosi Positif
Berpikir
positif
atas
kehadiran
anak
Memiliki
emosi positif
akan mudah
menjalin
hubungan
sosial
dengan
orang lain.
Meskipun
lelah, namun
ibu
tetap
bahagia
Jarang sakit
EMOSI POSITIF
57
Tabel 5
Ungkapan Perasaan Ibu
Perasaan
Bahagia
(bangga,
lega,
lebih
baik,
lebih
tenang)
Verbatim
Perasaan saat ini lebih baik meskipun selalu lelah menghadapi anak saya (subjek 3)
Alhamdulillah melihat kemajuan yang dialami anak kami sudah membuat kami bahagia
dan bangga, sedikit ucapan yang keluar dari bibirnya merupakan kebahagiaan yang
sangat luar biasa bagi kami, dan saat ini anak kami sudah mulai memahami apa yang
kami inginkan atau perintahkan, cuma saja terkadang emosi yang muncul tiba-tiba dan
membuatnya marah dan menangis (subjek 6 )
Lebih tenang dan sabar dalam menghadapi permasalahan yang ada pada anak,
berusaha terus melakukan segala hal untuk kemajuan perkembangan anak saya dan
tentunya saya harus kuat dan sehat, harus membagi waktu dan melihat dan memantau
terus perkembangan abang-abangnya juga (subjek 12)
Merasa lega, karena anak autisme bisa dididik dan bisa menjadi kebanggaan buat saya,
karena anak saya banyak kemajuan (subjek 20)
Sudah lebih nyaman dan lebih enjoy, yakin kalau anak saya hebat (subjek 26)
Optimis
(antusias,
terus
berusaha,
bersemangat
, tetap sabar,
berdoa,
tabah)
Lega dan bersyukur (subjek 35)
Saya merasa bangga dengan anak saya (subjek 38)
Sangat bahagia (subjek 43)
Bahagia, bersemangat, antusias (subjek 1)
Optimisme untuk membantu anak, ikhlas dan berusaha (subjek 5 )
Optimis bahwa anak saya bisa sembuh walaupun tidk seperti anak-anak normal lainnya
(subjek 10 )
Saya harus berusaha sekuat tenaga, berdoa, dan tetap sabar, kuat, dan tabah dalam
menerima cobaan ini (subjek 19 )
Saya harus berusaha sekuat tenaga, berdoa, dan tetap sabar, kuat, dan tabah dalam
menerima cobaan ini (subjek 25 )
Lebih
menerima
(lebih ikhlas,
pasrah)
Berusaha mencari cara mengajarinya supaya mengerti, bisa mengerjakan apapun
sendiri, berusaha mencari tahu cara mengatasi kesulitan belajarnya (subjek 29 )
Sudah bisa menerima kondisi anak dan saya sangat menyayanginya (subjek 4)
Sudah bisa menerima keadaan yang ditentukan Tuhan (subjek 14 )
Menerima dengan ikhlas kondisi anak saya yang terpenting berusaha terbaik buat anak,
saya percaya ada kekurangan pasti ada kelemahan (subjek 23)
Menerima dan terus bertekad bahwa anak kami akan diperjuangkan (subjek 27)
Saya sekarang sudah bisa menerimanya, setiap saya putus asa berusaha untuk berdoa
dan berkata Tuhan pasti tidak tutup mata untuk pengorbanan saya untuk anak-anak saya
(subjek 33)
Lebih sayang
Sedih
(cemas,
takut)
Lebih tenang, sabar, ikhlas (subjek 43)
Saya lebih menyayanginya (subjek 11)
Kadang ngerasa lebih sayang ke J daripada ke kakaknya juga, mungkin karena J masih
butuh perhatian lebih (subjek 17)
Masih sedih tetapi lebih berniat dan berusaha untuk mengusaha lebih baik (subjek 18)
Sedih, takut, berpasrah pada Tuhan (subjek 23)
Sedih jika melihat kondisi anak saya karena sangat berbeda dengan teman2 sebayanya
(subjek 54)
58
DAULAY
meningkatkan
kemampuan
dalam
menangani dampak fisik karena stres.
Usaha-usaha yang ibu lakukan untuk
dapat membangkitkan emosi positif dapat
terlihat pada ungkapan pengalaman di
bawah ini:
Berusaha positive thinking, meskipun
orang lain sering menghina dan
mencemoh anak saya.. akan jauh lebih
baik saya diam aja dan berpikir positif
aja (subjek 9 )
Ketika anak mulai tantrum dan
Ketika anak mulai tantrum dan
bermasalah perilakunya...ibu harus
kuat dan harus tenang dulu..sehingga
ini akan berpengaruh ke pengasuhan
positif (subjek 11)
Dengan rajin membaca, cari info di
google, dan sharing ke teman-teman
tentang pengasuhan anak autis dapat
membantu saya untuk lebih tenang dan
tidak panik mengasuh K (subjek 14).
Peran Emosi Positif Pada Diri Ibu
Pada awal anak terdiagnosa autis, ibu
cenderung menunjukkan emosi negatif
seperti
sedih,
menolak,
marah,
menyalahkan diri, cemas. Mengingat
beratnya hambatan yang dialami anak autis
dan kompleksnya penanganan yang
mereka butuhkan. Ada beberapa cara yang
ibu lakukan untuk mengatasi masalah
dengan menggunakan strategi koping yaitu
mengubah kognitif dan perilakunya agar
dapat mengatasi tekanan atau masalah
yang ibu rasakan. Pada ibu, strategi koping
yang tepat akan membantu ibu tidak
mudah mengalami stres selama mengasuh
anak. Emosi positif juga dapat dianggap
sebagai salah satu strategi koping yang
baik. Hal ini senada dengan pendapat
Frederickson (2000) bahwa emosi positif
berfungsi sebagai koping karena emosi
positif membantu seseorang agar lebih
berpikir
objektif
dalam
menghadapi
permasalahan. Pola pikir yang mneyertai
emosi positif pada gilirannya membawa
keuntungan adaptif jangka panjang karena
memperluas sumber daya pribadi. Sumber
daya ini mencakup : a) sumber daya fisik,
misalnya perbaikan kesehatan, umur
panjang; b) sumber daya sosial, misalnya
persahabatan, dukungan sosial; c) sumber
intelektual,
misalnya
menguasai
pengetahuan, dan d) sumber daya
psikologis, misalnya resiliensi, optimis dan
kreatif.
Peran emosi positif berdasarkan
pendapat Frederickson (1998) adalah
sebagai berikut. Pertama, secara kognitif.
Ibu mengakui bahwa dengan memiliki anak
autis membuat ibu menjadi lebih dewasa
dan
bijaksana
dalam
memecahkan
masalah. Permasalahan perilaku anak
autis membuat ibu lebih bersabar dalam
mengasuh anak, kesabaran dan dibarengi
dengan berpikir positif dapat membuat ibu
menjadi lebih tenang dan mampu bertahan.
Secara kognitif, emosi positif berperan
dalam membantu individu untuk berprestasi
dan melakukan coping yang lebih fleksibel
sebagai upaya pemecahan masalah
(Mashar, 2008). Selain itu, Isen (dalam
Frederickson, 1998) berspekulasi bahwa
emosi
positif
mampu
memperluas
kemampuan kognitif individu dalam hal ide
atau konsep sehingga emosi positif akan
meningkatkan kreativitas yang dimiliki
seseorang.
Kedua, secara sosial. Kesabaran,
EMOSI POSITIF
ketenangan selama mengasuh anak autis
dapat berdampak positif pada diri ibu.
Emosi positif membantu individu dalam hal
kelekatan atau kedekatan dengan individu
lain. Ketika seseorang sedang berada
dalam emosi positif, hubungan pertemanan
dan hubungan sosial lain akan lebih mudah
terjalin. Hal ini disebabkan karena pada
saat individu merasakan emosi positif,
keadaan mental seseorang bersifat lebih
fleksibel, toleran, dan kreatif sehingga lebih
terbuka
terhadap
pengalaman
baru
(Seligman, 2005).
Ketiga, secara fisik. Individu yang sehat
akan mampu melihat lingkungannya secara
objektif dan cerdas. Atas dasar pandangan
inilah, ibu-ibu akan mengambil manfaat dari
berbagai karunia dan cobaan Tuhan
dengan penuh rasa tanggung jawab akan
perannya sebagai seorang ibu. Ibu akan
memberikan usaha yang terbaik buat anak,
agar
tumbuh
kembangnya
optimal.
Menjalani hidup degan penuh keikhlasan,
kesabaran, bersyukur dan berpikir positif
akan membuat ibu lebih bahagia secara
bathin dan tampil dalam fisik yang sehat.
Seligman (2005) menyatakan bahwa
kesehatan dan umur yang panjang
merupakan suatu indikator yang digunakan
untuk mengukur daya tahan fisik.
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat
bukti langsung bahwa emosi positif mampu
mempengaruhi kesehatan dan umur
panjang. Emosi positif mempunyai energi
yang tinggi, misalnya saja keceriaan.
Emosi positif juga melindungi individu dari
kondisi buruk yang biasanya mengiringi
proses penuaan, dan memiliki sistem
kekebalan tubuh yang lebih kuat daripada
individu yang tidak merasakan emosi
59
positif. Emosi positif yang ibu rasakan
terlihat pada ungkapan pengalaman
sebagaimana nampak pada Tabel 4.
Kondisi Perasaan Ibu Sekarang
Fungsi emosi positif bagi ibu adalah
mampu
meningkatkan
kesejahteraan
psikologis ibu dan ibu lebih menerima
kondisi anaknya, meskipun masih saja
terdapat ibu-ibu yang memiliki emosi
negatif, seperti sedih, cemas, takut. Emosi
positif tersebut selanjutnya diperkaya
dengan pengalaman ibu. Menurut Folkman
dan Moskowitz (2000), seseorang dapat
mengalami emosi positif, bahkan di saat
situasi yang penuh stres. Hasil penelitian
semakin menunjukkan bahwa emosi positif
dapat memiliki pengaruh yang unik pada
kesehatan, bebas dari pengaruh negatif.
Fredrickson (2004) juga mengungkapkan
fungsi emosi positif antara lain adalah
emosi positif mengatur emosi negatif, yang
pada akhirnya menghasilkan konsekuensi
yang menguntungkan bagi kesejahteraan
psikologis dan fisiologis. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, emosi
positif memiliki beberapa keuntungan
seperti
emosi
positif
memperluas
pemikiran,
emosi
positif
dapat
membatalkan emosi negatif, emosi positif
menjadi energi untuk resiliensi psikologis,
emosi positif membangun sumber daya
individu, dan emosi positif menjadi energi
untuk kesejahteraan fisik dan psikologis.
Berdasarkan analisis koding terhadap
angket terbuka, diperoleh kategori tematema tentang emosi positif yang ibu
rasakan sekarang. Perasaan yang ibu
60
DAULAY
rasakan sekarang akan
ungkapan
pengalaman
nampak pada Tabel 5.
terlihat pada
sebagaimana
Kesimpulan dan Saran
Penelitian ini bertujuan untuk menggali
emosi positif yang ibu rasakan selama
mengasuh anak autis. Emosi positif sangat
tergantung
pada
penilaian
individu
terhadap suatu keadaan atau peristiwa,
dan dapat memberi pengaruh pada seluruh
aspek kehidupan, baik aspek fisik, kognitif,
dan
sosial
individu.
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
awal
untuk
memahami peran emosi positif dalam
mempengaruhi ketangguhan ibu mengasuh
anak dengan gangguan spektrum autis.
Penelitian ini memiliki keterbatasan
yaitu
pengambilan
data
hanya
menggunakan angket terbuka sehingga
disarankan untuk melakukan wawancara
mendalam agar dapat tergali informasi
mengenai perasaan ibu dalam mengasuh
anak autis dan ketangguhan ibu yang
dipengaruhi oleh emosi positif.
Referensi
Abbeduto, L., Seltzer, M. M., Shattuck, P.,
Krauss, M. W., Orsmond, G., &
Murphy, M. M. (2004). Psychological
well being and coping in mothers of
youths with autism, down syndrome, or
fragile X syndrome. American Journal
on Mental Retardation, 109, 237-254.
American Psychiatric Association. (2000).
Diagnostic and statistical manual of
mental disorders, 4th edition, Text
Revision (DSM-IV-TR). Washington,
DC : American Psychiatric Association.
American Psychiatric Association. (2013).
Diagnostic and statistical manual of
mental disorders, 5th edition. (DSM-5
TM). Washington, DC: American
Psychiatric Association.
Boyd, B. A. (2002). Examining the
relationship between stress and lack of
social support in mothers of children
with autism. Focus on Autism and
Other
Developmental
Disabilities,
17(4).
doi:
10.1177/10883576020170040301
Burrel, B., Thompson, B., Sexton, D.
(1994). Predicting child abuse potential
across family types. Child Abuse and
Neglect, 18, 1039-1049.
Donovan, A. M. (1988). Family stress and
ways of coping with adolescents who
have handicaps: Maternal perceptions.
American
Journal
of
Mental
Retardation, 92, 502-509.
Ecker, C. (2017). The neuroanatomy of
autism spectrum disorder: An overview
of structural neuroimaging findings and
their translatability to the clinical
setting.
Autism,
21(1).
doi:
10.1177/1362361315627136
Frederickson, B. L. (1998). What good are
positive emotions? Review of General
Psychology, 2(3), 300-319.
Frederickson, B. L. (2000). Cultivating
positive emotion to optimize health and
well being. Prevention & Treatment,
3(1), 1a.
Frederickson, B. L. (2004). The broadenand-build theory of positive emotion.
Philosophical Transactions of the Royal
Society
B:
Biological
Sciences,
359(1449), 1367.
EMOSI POSITIF
Fitroh, S. F. (2011). Hubungan antara
kematangan emosi dan hardiness
dengan penyesuaian diri menantu
perempuan yang tinggal di rumah ibu
mertua. Psikoislamika, 8(1), 83-89.
Folkman, S., & Moskowitz, J. T. (2000).
Positive emotion, and coping. American
Psychological Society, 9(4), 115-118.
Hardy, M., & Heyes, S. (1985). Pengantar
psikologi
(Soenardji,
Trans.).
Yogyakarta: Erlangga.
Larsson, H., Eaton, W., Madsen, K.,
Vestergaard, M., Olesen, A., Agerbo,
E., & Mortensen, P. (2005). Risk
factors for autism: Perinatal factors,
parental psychiatric history, and
socioeconomic
status.
American
Journal of Epidemiology, 161(10), 916925.
Lazarus, R. S. (1991). Progress on a
cognitive-motivational-relational theory
of emotion. American Psychologist,
46(8), 819-834. doi:10.1037/0003066X.46.8.819
Lazarus, R.S.
(2005). Emotion &
adaptation.
New
York:
Oxford
University Press.
Lucas, R. E., Diener, E., & Larsen, R. J.
(2006). Measuring positive emotion. In
S. J. Lopez & C. R. Snyder (Eds.),
Positive psychological assessment: A
handbook of models and measure.
Washington: American Psychological
Association.
Mashar, R. (2008). Pengaruh stimulasi
“Aku anak ceria” terhadap peningkatan
emosi positif anak usia dini. Humanitas,
5(2), 149-164.
Mashita, P. (2015). Penerimaan orang tua
terhadap anak penderita autis di
61
Surakarta (Unpublished bachelor’s
thesis). Universitas Muhammadiyah.
Surakarta.
McStay, R., Dissanayake, C., Scheeren, A.,
Koot, H., Begeer, S. (2014). Parenting
stress and autism: The role of age,
autism severity, quality of life and
problem behaviour of children and
adolescents with autism. Autism, 18(5),
502-510.
doi:10.1177/1362361313485163
Mash, E.J., & Wolfe, D.A. (1999). Abnormal
child
psychology.
Belmont,
CA:
Wadsworth Publishing Company.
Moustakas, C. (1994). Phenomenological
research methods. London: SAGE Pub.
Safaria, T., & Nofrans, E. S. (2012).
Manajemen emosi: Sebuah panduan
cerdas bagaimana mengelola emosi
positif dalam hidup. Jakarta: Bumi
Aksara.
Sanders, J. L., & Morgan, S. B. (1997).
Family stress and management as
perceived by parents of children with
autism or down syndorme: Implications
for intervention. Child and Family
Behavior Therapy, 19, 15-32.
Seligman, M. E. P. (2005). Authentic
happiness: Menciptakan kebahagiaan
dengan psikologi positif. Bandung:
Mizan Pustaka.
Sharpley, C. F., Bitsika, V., & Efremidis, B.
(1997). Influence of gender, parental
health, and perceived expertise of
assistance upon stress, anxiety, and
depression among parents of children
with autism. Journal of Intellectual and
Developmental Disability, 22, 19-28.
Subandi. (2011). Sabar: Sebuah konsep
psikologi. Jurnal Psikologi, 38(2), 215-
62
DAULAY
227.
Sheldon, K. M., Sonja, L. (2006). How to
increase and sustain positive emotion:
The effect of expressing gratitude and
visualizing best possible selves. The
Journal of Positive Psychology, 1(2),
73-82.
Sholichatun, Y. (2008). Hidup setelah
menikah, mengurai emosi positif dan
resiliensi pada wanita tanpa pasangan.
Egalita,
3(1).
Retrieved
from
http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/egalita/article/vi
ew/1969/pdf
Sheridan, C. L & Radmacher, S. A. (1992).
Health psychology: Challenging the
biomedical model. Oxford, England:
John Wiley & Sons.
Strauss, A., & Corbin, J. (2003). Dasardasar penelitian kualitatif (Muhammad
Shodiq & Imam Muttaqien, Trans.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tugade, M. M., Fredrickson, B. L. & Barrett,
L. F. (2004). Psychological resilience
and positive emotional granularity:
examining the benefits of positive
emotion on coping and health. Journal
of Personality, 72(6), 1175-1182.
Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi.
(Padang Mursalin & Dinastuti, Tans.).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Weiss, M. J. (2002). Hardiness and social
support as predictors of stress in
mother of typical, children with autism,
and children with mental retardation.
Autism, 6(1), 115-130.
Wing, L. (1997). The autistic spectrum. The
Lancet, 350(9093), 1761-1766.
Yeni, F. (2013). Hubungan emosi positif
dan kepuasan hidup pada lanjut usia
(Lansia) di kota Padang Provinsi
Sumatera
Barat.
Ners
Jurnal
Keperawatan, 9(1), 10-21.
Zillmer, E., Spiers, M., Culbertson, W.
(2008). Principles of neuropsychology.
USA: Thomson Higher Education.
Alamat surel:
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
UKURAN SAMPEL
2017, Vol. XII, No. 1, 63-84, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
63
BENARKAH UKURAN SAMPEL MINIMAL = 30 ?
(IS IT TRUE THAT THE MINIMUM SAMPLE SIZE IS 30 ?)
Agung Santoso
Universitas Sanata Dharma
The current article is written as an effort to answer the question about the sample size needed in a
research. First, the article examines two arguments that have been referred to by many researchers
supporting the opinion that the minimum sample size is 30. The two arguments are as follow: (a) sample
size of 30 well represents the population characteristics; (b) the sample size tends to provide data that
follow normal distribution. Three simulations were conducted; One for testing the first argument and two for
testing the second argument. The results did not support the two arguments. Samples that are larger than
30 still have a large increase of precision. The sample size is not the determinant of the sample to pass the
normality test or the statistics, the mean in this study, to follow normal distribution, particularly when the
distribution in the population considerably deviates from the normal distribution. Then, the article offers to
use power analysis as a way to determine the sample size.
Keywords: sample size, power analysis, effect size, type I error, type II error
Artikel ini ditulis sebagai usaha penulis untuk menjawab pertanyaan mengenai banyaknya jumlah partisipan
yang perlu dilibatkan dalam penelitian. Terlebih dahulu, penulis menguji dua argumen yang sering diacu
banyak peneliti yang mendasari pendapat bahwa besarnya ukuran sampel minimal adalah 30 orang. Kedua
argumen tersebut adalah: (a) sampel dengan ukuran 30 cukup mewakili karakteristik populasi dan, (b)
sampel dengan ukuran 30 cenderung menghasilkan data yang berdistribusi normal . Penulis melakukan
satu simulasi untuk menguji argumen pertama dan dua simulasi untuk menguji argumen kedua. Hasil
simulasi tidak menunjukkan dukungan memadai pada kedua argumen. Sampel dengan ukuran lebih dari 30
masih mengalami peningkatan presisi yang besar. Ukuran sampel yang makin besar juga bukan
merupakan determinan dari lolosnya uji normalitas dari sampel. Ukuran sampel sebesar 30 juga tidak
menjamin sebaran statistik, dalam hal ini mean, mengikuti distribusi normal khususnya ketika distribusi di
populasi sangat jauh dari distribusi normal. Penulis menawarkan penggunaan analisis power sebagai salah
satu cara untuk menentukan ukuran sampel.
Kata kunci: ukuran sampel, analisis power, ukuran efek, kesalahan tipe 1, kesalahan tipe 2
Penentuan ukuran sampel merupakan
salah satu masalah yang sering muncul
dalam penelitian di bidang Psikologi di
Indonesia. Pertanyaan mengenai ukuran
sampel minimal, seringkali diajukan tidak
hanya oleh mahasiswa S1 dalam proses
penyusunan skripsi mereka, tetapi juga
oleh para dosen dan peneliti yang lebih
mapan di bidang Psikologi. Pertanyaan ini
penting untuk dijawab karena ukuran
sampel, sebagai bagian dari desain
penelitian, merupakan salah satu faktor yang
menentukan mutu penelitian (Burmeister &
Aitken, 2012; Columb & Stevens, 2008;
63
64
SANTOSO
(a)
Data dari semua responden
(b) Data dari pengajar rutin statistik
Gambar 1. Pilihan Responden Terhadap Pernyataan 1
(a) Data dari semua responden
(b) Data dari pengajar rutin statistik
Gambar 2. Pilihan Responden Terhadap Pernyataan 2
Gambar
3.
Grafik
Mean,
IK
dan
Range
dari
Mean
Hasil
Simulasi
A
UKURAN SAMPEL
Stokes L, 2014).
Sampel sebesar 30 merupakan
jawaban yang paling sering diberikan
sebagai persyaratan minimal ukuran
sampel dalam penelitian. Hal ini dapat
dilihat dari hasil survey kecil yang
dilakukan penulis mengenai ukuran
sampel minimal yang dibutuhkan dalam
suatu penelitian. Dua pertanyaan diajukan
dalam survey tersebut terkait dengan isu
mengenai ukuran sampel ini: (1) Besarnya
sampel minimal untuk analisis statistik
parametrik
adalah
30
SECARA
KESELURUHAN, dan; (2) Besarnya
sampel minimal untuk analisis statistik
parametrik adalah 30 TIAP KELOMPOK.
Dua grafik pie dalam Gambar 1
menunjukkan
persentase
responden
survey yang menyatakan “Benar”, “Salah”
dan “Tidak Tahu” terkait dengan
pernyataan 1. Kurang lebih 30% (n=17)
responden menjawab “Benar” pada
pernyataan tersebut (lihat Gambar 1a).
Dari
keseluruhan
responden
yang
menjawab “Benar” tersebut, dua di
antaranya adalah pengajar rutin statistik
(lihat Gambar1b).
Persentase
menjawab
“Benar”
menjadi
lebih
banyak
lagi
pada
pernyataan 2 yaitu 60% (lihat Gambar 2a).
Pengajar statistik yang menjawab “Benar”
dan “Salah” pada pernyataan ini memiliki
jumlah yang sama yaitu 2 responden (lihat
Gambar 2b).
Sayangnya, sejauh yang dapat
diketahui penulis, tidak ada kajian dan /
atau publikasi yang memadai yang
menyebutkan asal dari nilai sebesar 30 ini
dan dasar pertimbangannya. Beberapa
pertimbangan yang diketahui oleh penulis
65
didapatkan secara lisan yang mencakup (a)
keterwakilan karakteristik populasi dan (b)
pemenuhan asumsi yang terkait dengan
bentuk distribusi data
Argumen yang diajukan terkait dengan
pertimbangan (a) adalah bahwa sampel
sebesar 30 subjek dianggap sudah cukup
baik untuk mewakili karakteristik populasi.
Sayangnya, tidak cukup jelas apa yang
dimaksud dengan mewakili karakteristik
populasi ini. Saat ini, penulis baru dapat
memikirkan dua kemungkinan maksud yang
dikandung dalam “mewakili karakteristik
populasi” ini. Pertama, estimasi parameter
populasi yang diperoleh dari sampel sebesar
30 amatan, memiliki akurasi yang memadai.
Akurasi berarti estimasi parameter populasi
dari sampel tidak mengalami bias (Casella &
Berger, 2001). Kedua, estimasi parameter
dari sampel sebesar 30 dianggap sudah
memiliki tingkat presisi yang baik. Presisi di
sini berarti estimasi parameter populasi
memiliki fluktuasi (variasi) yang kecil dari
sampel satu ke sampel yang lain (Casella &
Berger, 2001). Ukuran sampel lebih dari 30
dianggap tidak membuat estimasi memiliki
presisi yang jauh lebih baik, sehingga
ukuran sampel 30 ini ditentukan sebagai
ukuran sampel minimal.
Sampel sebesar 30 juga dianggap
mencukupi untuk menghasilkan data yang
mengikuti distribusi normal. Pertimbangan ini
memiliki dua kemungkinan makna:(a) Data
dari sampel sebesar 30 amatan itu sendiri
yang mengikuti distribusi normal atau (b)
Distribusi
estimasi
parameter
yang
dihasilkan dari sampel sebesar 30 lah yang
mengikuti distribusi normal. Tidak jarang
pertimbangan ini muncul dalam pernyataan
yang kurang lebih berbunyi, “Jika jumlah
66
SANTOSO
Gambar 4. Gambaran Fluktuasi Mean-mean Sampel dari Replikasi Pertama hingga
ke-1000
67
UKURAN SAMPEL
subjek minimal 30, kita bisa menggunakan
statistik parametrik tanpa pengecekan
asumsi”,
atau
bahkan,
“meskipun
pengecekan asumsi menunjukkan data
tidak mengikuti distribusi normal”.
Artikel ini ditulis untuk menguji
pendapat “ukuran sampel minimal 30
amatan” ini beserta kedua argumen yang
mendukungnya,
sekaligus
memperkenalkan pendapat lain mengenai
penetapan ukuran sampel dalam suatu
penelitian. Pendapat lain ini didasarkan
pada studi dan tulisan yang sebenarnya
sudah lama ada dalam literatur metode
penelitian di Psikologi seperti Cohen
(1988); Dattalo (2008); Hsu (1993); dll,
yang tampaknya tidak terlalu dikenal
dalam penelitian Psikologi di Indonesia.
Ukuran sampel, dalam pandangan ini,
ditetapkan untuk memperoleh besarnya
power yang diinginkan dari analisis.
Penulis menyusun artikel ini dalam
beberapa
bagian
sebagai
berikut.
Pertama, penulis akan mengkaji pendapat
“ukuran sampel minimal 30” beserta
kedua argumen yang pendukungnya,
dengan menggunakan studi simulasi.
Pada bagian berikutnya, penulis akan
memberikan perkenalan dan paparan
sekilas mengenai penetapan ukuran
sampel yang didasarkan pada analisis
power. Paparan yang menyeluruh akan
sulit dilakukan karena ruang lingkup topik
mengenai analisis power ini sangat luas,
karena setiap teknik analisis memiliki
fungsi power -nya sendiri-sendiri. Paparan
penulis akan dibatasi pada gambaran
umum mengenai analisis power dan
aplikasinya pada teknik analisis yang
sederhana.
Penulis berharap artikel ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi
peningkatan mutu penelitian Psikologi di
Indonesia
khususnya
terkait
dengan
penetapan ukuran sampel penelitian.
Studi Simulasi A
Tujuan
Simulasi ini dirancang untuk menguji
argumen bahwa sampel sebesar 30 akan
memberikan hasil estimasi parameter
populasi yang memiliki akurasi dan presisi
yang baik.
Rancangan Simulasi
Simulasi dilakukan dengan membuat
(generate) data dari sebuah populasi yang
memiliki distribusi normal dengan µ = 100
dan σ = 15 yang disebut sebagai variabel X.
Penulis membuat data yang memiliki ukuran
sampel yang bervariasi dari n = 10 hingga n
= 500 dengan interval 10. Untuk setiap
ukuran sampel, penulis mengambil sampel
sebanyak NR = 1000 dan menghitung mean
aritmatik dari setiap sampel yang kemudian
disimpan sebagai data. Penulis kemudian
menghitung mean aritmatik, standard
deviasi, batas atas (U), batas bawah (L) dan
jarak dari interval kepercayaan 95% (IK) dan
nilai minimum (Min), maksimum (Max) dan
range (R) dari mean-mean sampel tersebut,
untuk setiap ukuran sampel.
Nilai-nilai ini akan digunakan untuk
melihat apakah sampel dengan ukuran
tertentu
dapat
memberikan
estimasi
parameter populasi dengan akurasi dan
presisi yang baik. Akurasi akan ditunjukkan
oleh kecilnya bias atau dekatnya nilai mean
dari mean-mean sampel ( ), dari nilai µ;
68
SANTOSO
semakin dekat dari µ, berarti mean yang
berasal dari sampel dengan ukuran
tertentu semakin akurat.
Perlu dicatat di sini bahwa bias tidak
mengacu pada hasil estimasi dari satu
sampel saja, melainkan mean dari hasil
estimasi dari banyak sampel jika sampel
terus menerus diambil sampai tak
terhingga (Casella & Berger, 2001). Dalam
simulasi ini “tak terhingga” didekati
dengan jumlah replikasi sebanyak 1000.
Presisi
akan
ditunjukkan
oleh
seberapa besar fluktuasi nilai mean-mean
sampel dari 1000 replikasi yang dilakukan.
Semakin kecil fluktuasi, semakin tinggi
presisi hasil estimasi parameter populasi.
Dalam penelitian ini, presisi dikuantifikasi
dengan menggunakan IK dan range. Ini
berarti makin kecil IK atau range yang
dihasilkan dari suatu ukuran sampel,
makin tinggi presisi estimasi yang
dihasilkan dari ukuran sampel tersebut.
Untuk memudahkan penilaian, hasil
simulasi akan dipaparkan dalam bentuk
grafik.
Grafik
pertama
akan
menggambarkan nilai mean, IK 95%, nilai
maksimum dan minimum dan range.
Penilaian dapat diberikan terhadap
performansi dari estimasi parameter
populasi jika menggunakan ukuran
sampel tertentu dengan menggunakan
grafik tersebut.
Grafik kedua akan menunjukkan
mean-mean sampel dari replikasi pertama
hingga replikasi ke-1000 untuk empat
ukuran sampel: 30, 100, 250, 500. Empat
ukuran sampel dipilih sebagai contoh
untuk memberikan gambaran seberapa
besar fluktuasi nilai mean-mean sampel.
Hasil Simulasi
Hasil simulasi A dapat dilihat dalam
Gambar 3 dan Gambar 4. Untuk semua
ukuran sampel, mean dari mean-mean
sampel mendekati nilai µ = 100 (lihat
Gambar 3). Ini berarti dalam simulasi ini,
ukuran sampel tidak mempengaruhi bias
yang dialami oleh mean sampel. Hal ini
diakibatkan estimator yang digunakan,
yaitu memang tidak bias, terlepas dari
ukuran sampel yang digunakan.
Presisi dari mean yang dihitung dari
sampel dengan ukuran yang lebih besar
lebih baik daripada presisi dari mean
sampel dengan ukuran yang lebih kecil.
Hal ini ditunjukkan oleh area berwarna
abu-abu yang mengecil ketika mean
dihitung dari sampel dengan ukuran yang
lebih besar. Area berwarna abu-abu ini
dibatasi oleh dua garis merah yang
merupakan nilai maksimum dan minimum
mean sampel yang merupakan nilai mean
terbesar dan terkecil dari mean yang
dihitung berdasarkan sampel-sampel hasil
replikasi. Garis berwarna hijau merupakan
perhitungan IK 95% dengan standard error
(SE) yang dihitung berdasarkan data meanmean sampel dari hasil replikasi.
Penulis juga menghitung range dan
interval antara batas atas dan batas bawah
IK 95% dari 4 ukuran sampel untuk dijadikan
gambaran mengenai seberapa baik presisi
dari mean yang dihitung dari sampel dengan
ukuran tertentu. Mean dari sampel dengan
ukuran 30 memiliki range sebesar 16.94
dan IK 95% sebesar 10.81. Ini berarti
ketika seorang peneliti menghitung mean
dari sampel dengan ukuran 30, untuk
mengestimasi µ populasi sebesar 100,
ia akan memperoleh nilai mean sampel
UKURAN SAMPEL
69
Gambar 5. Persentase Sampel yang Lolos Paling Tidak Satu Uji Normalitas
Gambar 6. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30, 100,
250,
500
yang
Diambil
dari
Populasi
Berdistribusi
Normal
70
SANTOSO
yang dapat bergerak antara 91.87
hingga 108.81. Dengan menggunakan
IK 95%, nilai mean dari sampel
dengan ukuran 30 memiliki probabilitas
95% untuk berada di antara 94.73
hingga 105.54. Dalam simulasi ini, range
dan IK ini menjadi paling kecil ketika
mean dihitung dari sampel dengan
ukuran 500 (range=4.26, interval=2.55).
Fluktuasi nilai mean dari sampel
dengan ukuran 30, 100, 250, dan 500
juga dapat dilihat lebih jelas dalam
Gambar 4. Ketika sampel dengan
ukuran 30 digunakan, nilai mean yang
diperoleh memiliki fluktuasi yang sangat
lebar dari sampel yang satu ke sampel
yang lain, sementara ketika menggunakan
sampel dengan ukuran 500, kisaran nilai
mean sampel tidak terlalu lebar.
Kedua gambar ini menunjukkan
bahwa penggunaan sampel dengan
ukuran kecil memperbesar kemungkinan
untuk memperoleh estimasi yang nilainya
jauh berbeda dari parameter di populasi.
Melibatkan sampel dengan ukuran yang
lebih
besar
akan
memperkecil
kemungkinan ini. Dalam simulasi ini,
menambah ukuran sampel menjadi 100
akan membuat range menjadi 40% lebih
kecil daripada jika ukuran sampel
30.
Sementara,
sebesar
menggunakan ukuran sampel sebesar
250 dan 500 mengurangi range hingga
60% dan 75% dari ukuran sampel 30.
Ukuran sampel sedikit lebih besar dari
30 juga masih menunjukkan peningkatan
presisi yang tajam sehingga argumen
bahwa peningkatan presisi menjadi tidak
terlalu besar setelah ukuran sampel
mencapai 30 tidak didukung oleh hasil
simulasi ini.
Simulasi B
Tujuan
Simulasi ini dilakukan untuk menguji
apakah sampel dengan n = 30 akan
menghasilkan data yang mengikuti
distribusi normal.
Rancangan Simulasi
Simulasi dilakukan dengan cara
membuat data sampel dengan ukuran
yang berbeda-beda dari 10 hingga 500
dengan interval 10. Data sampel
tersebut diambil dari populasi dengan
distribusi yang berbeda: distribusi normal,
distribusi t dengan db = 5, dan distribusi
F dengan db 1 = 2, db 2 = 50. Dua
distribusi selain distribusi normal dipilih
untuk menggambarkan kondisi ketika
populasi tempat sampel diambil itu
sendiri tidak mengikuti distribusi normal.
Distribusi t dengan db = 5 dipilih untuk
menggambarkan distribusi yang heavytailed tetapi simetris, sementara distribusi
F dengan db 1 = 2, db 2 = 50 dipilih untuk
menggambarkan distribusi yang juling.
Untuk setiap ukuran sampel, penulis
melakukan replikasi sebanyak 1000,
kemudian melakukan uji normalitas
menggunakan enam teknik pada tiap
sampel dan menghitung persentase
sampel yang lolos paling tidak satu uji
normalitas yang dilakukan. Enam uji
normalitas yang digunakan dalam studi
ini adalah uji Anderson-Darling, Shapiro
Wilk, Cramer-von Mises, KolmogorovSmirnof dengan koreksi dari Lilliefors, Chi
Square dari Pearson, dan Shapiro-
71
UKURAN SAMPEL
Francia dengan menggunakan salah
satu paket dari R bernama nortest
(Gross & Ligges, 2015).
Hasil Simulasi
Hasil simulasi ditampilkan dalam
Gambar 5. Ketika populasi memiliki
distribusi
normal,
semua
ukuran
sampel memiliki persentase sampel
yang lolos paling tidak satu uji asumsi
hampir 100%. Ini berarti ukuran sampel
tidak
berpengaruh
terhadap
kenormalan data jika diambil dari
populasi yang memiliki distribusi
normal.
Hal ini berbeda dengan sampel
yang diambil dari populasi dengan
distribusi
heavy-tailed.
Besarnya
persentase sampel yang lolos paling
tidak satu uji normalitas semakin kecil
ketika ukuran sampel membesar.
Ketika sampel berukuran n = 30,
persentase banyaknya sampel yang
lolos paling tidak satu uji normalitas
adalah sekitar 95%, dan menjadi
sekitar 80% ketika ukuran sampel
sebesar 100 amatan, 70% ketika
ukuran sampel sebesar 250, dan
hanya sekitar 40% ketika sampel
berukuran 500. Ini berarti semakin
besar ukuran sampel, makin besar
kemungkinan data dari sampel tidak
lolos uji asumsi normalitas ketika
populasi tidak
mengikuti
distribusi
normal.
Persentase sampel yang lolos
paling tidak satu uji asumsi normalitas
makin kecil ketika populasi memiliki
distribusi yang juling. Ketika n = 10,
persentase
sampel
yang
lolos
mencapai kurang lebih 75%, dan menjadi
sekitar 20% ketika n = 30. Persentase ini
mendekati nol ketika sampel memiliki
ukuran sebesar 70 atau lebih. Ini berarti
makin besar sampel, makin kecil
kemungkinan sampel tersebut lolos uji
normalitas ketika populasi memiliki
distribusi yang juling.
Berdasarkan hasil simulasi di atas,
dapat disimpulkan bahwa besarnya
ukuran sampel tidak dapat memberikan
jaminan untuk memperoleh data sampel
normalitas. Ukuran
yang lolos tes
sampel yang makin besar justru makin
memperbesar kemungkinan sampel
tidak lolos uji normalitas ketika populasi
tempat sampel itu berasal, tidak
berdistribusi normal.
Ketika sampel berasal dari populasi
yang berdistribusi normal, ukuran
sampel sebesar 30 tidak menunjukkan
perbedaan
persentase
lolos
uji
normalitas yang mencolok dengan
ukuran sampel lain. Semua ukuran
sampel, bahkan dengan n = 10
sekalipun, memiliki persentase lolos uji
normalitas
mendekati
100%. Oleh
karena itu argumen yang menyatakan
bahwa besar sampel 30 cenderung
akan menghasilkan data yang memenuhi
asumsi normalitas tidak didukung oleh
hasil simulasi ini. Distribusi di populasi lah
yang merupakan determinan dari lolos
tidaknya uji normalitas data di sampel.
Simulasi C
Tujuan
Simulasi ini dirancang untuk menguji
argumen bahwa dengan ukuran sampel
72
SANTOSO
Gambar 7. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30,
100, 250, 500 yang Diambil dari Populasi Heavy-tailed.
Gambar 8. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30, 100,
250, 500 yang Diambil dari Populasi Berdistribusi Juling
73
UKURAN SAMPEL
Gambar 9. Ilustrasi Besarnya Power
Tabel 1
Hasil Uji Normalitas Sampel dari Populasi Berdistribusi Normal
n=10
n=30
n=100
n=250
n=500
AndersonDarling
(A)
Shapiro
-Wilk
(W)
Cramer
-von Mises
(W)
Lilliefors-KS
(D)
Pearson
Chi Square
(P)
Shapiro
-Francis
(W)
0.343
0.998
0.054
0.018
21.952
0.999
( p = 0.49 )
( p = 0.54 )
( p = 0.46 )
( p = 0.63 )
( p = 0.82 )
( p = 0.56 )
0.499
0.997
0.066
0.022
29.248
0.997
( p = 0.21 )
( p = 0.08 )
( p = 0.31 )
( p = 0.27 )
( p = 0.45 )
( p = 0.12 )
0.232
0.999
0.036
0.022
28.608
0.999
( p = 0.8 )
( p = 0.75 )
( p = 0.75 )
( p = 0.3 )
( p = 0.49 )
( p = 0.67 )
0.317
0.999
0.04
0.017
41.536
0.999
( p = 0.54 )
( p = 0.72 )
( p = 0.68 )
( p = 0.73 )
( p = 0.06 )
( p = 0.61 )
0.245
0.998
0.031
0.017
23.04
0.998
( p = 0.76 )
( p = 0.43 )
( p = 0.84 )
( p = 0.69 )
( p = 0.77 )
( p = 0.25 )
Shapiro
-Francis
(W)
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas Sampel dari Populasi Heavy-tailed
n = 10
n = 30
n = 100
n = 250
n = 500
AndersonDarling
(A)
Shapiro
-Wilk
(W)
Cramer
-von Mises
(W)
Lilliefors-KS
(D)
Pearson
Chi Square
(P)
0.913
0.996
0.139
0.029
34.816
0.996
( p = 0.02 )
( p = 0.02 )
( p = 0.03 )
( p = 0.05 )
( p = 0.21 )
( p = 0.02 )
0.214
0.996
0.028
0.014
24
0.995
( p = 0.85 )
( p = 0.01 )
( p = 0.87 )
( p = 0.88 )
( p = 0.73 )
( p = 0.00 )
0.241
0.999
0.034
0.017
25.92
0.999
( p = 0.77 )
( p = 0.84 )
( p = 0.79 )
( p = 0.69 )
( p = 0.63 )
( p = 0.67 )
0.218
0.999
0.035
0.017
30.72
0.999
( p = 0.84 )
( p = 0.8 )
( p = 0.76 )
( p = 0.71 )
( p = 0.38 )
( p = 0.77 )
0.6
0.998
0.096
0.023
28.736
0.998
( p = 0.12 )
( p = 0.14 )
( p = 0.13 )
( p = 0.25 )
( p = 0.48 )
( p = 0.25 )
74
SANTOSO
sebesar 30, estimasi parameter akan
mengikuti distribusi normal.
Rancangan Simulasi
Simulasi ini dilakukan dengan
menarik sampel dari tiga populasi yang
memiliki distribusi
yang
berbeda
seperti pada simulasi B: distribusi
normal, distribusi t dengan df = 5
(distribusi heavy-tailed) dan distribusi F
dengan df 1 = 2, df 2 = 50 (distribusi
sampel
yang
juling).
Ukuran
digunakan juga dipilih dari 10 hingga
500 dengan interval 10. Untuk setiap
ukuran sampel, penulis menarik 1000
sampel yang kemudian dihitung nilai
meannya dan disimpan sebagai data.
penulis kemudian mengecek apakah
distribusi dari mean-mean sampel
untuk tiap ukuran sampel ini mengikuti
distribusi normal. Distribusi dari meanini
dilihat
mean
sampel
kesesuaiannya
dengan
distribusi
normal dengan menggunakan grafik
garis dan 6 uji normalitas yang
digunakan pada simulasi B.
Hasil Simulasi
Hasil simulasi ini dijabarkan dalam
tiga grafik dan tiga tabel. Masingmasing grafik dan tabel menampilkan
distribusi dari mean-mean sampel
yang berasal dari tiga populasi
dengan distribusi yang berbeda.
Gambar 6 menampilkan sebaran
mean dari sampel-sampel dengan
ukuran 10, 30, 100, 250 dan 500 yang
diambil dari populasi berdistribusi
normal. Dengan pengamatan subjektif
dapat dilihat bahwa semua ukuran
sampel menghasilkan distribusi mean
sampel yang mengikuti distribusi normal
dengan standard deviasi yang berbeda.
Tabel 1 juga menunjukkan hal yang
sama. Tidak satupun uji normalitas
memiliki statistik yang signifikan yang
sampel yang
berarti
data mean
dihasilkan dari semua ukuran sampel
mengikuti distribusi normal.
Gambar 7 memberikan gambaran
sebaran mean dari sampel-sampel
yang diambil dari populasi berdistribusi
heavy-tailed. Kita dapat melihat bahwa
dari gambar tersebut, ketika n = 10 dan
n = 30, bentuk distribusi mean sampel
terlihat agak juling, sementara ukuran
sampel yang lebih besar cenderung
menghasilkan data mean sampel yang
mengikuti distribusi normal. Tabel 2
memberikan informasi yang mendekati
hasil pengamatan ini. Untuk n = 10
dan n = 30, ada beberapa uji asumsi
normalitas yang memberikan hasil
yang signifikan. Misalnya untuk n = 10,
hanya uji normalitas menggunakan
Pearson-Chi Square yang melaporkan
nilai p > 0.05. Sementara untuk n = 30,
dua uji normalitas memberikan hasil
yang signifikan. Ini berarti sampel
sebesar 10 dan 30 masih dapat
menghasilkan data mean sampel yang
tidak berdistribusi normal. Dalam simulasi
ini, hanya sampel sebesar 100 atau
lebih besar yang memiliki hasil uji
normalitas yang tidak signifikan untuk
semua uji.
ketidaknormalan
Ketika
tingkat
semakin parah di populasi, yang diwakili
75
UKURAN SAMPEL
Tabel 3
Hasil Uji Normalitas dari Sampel yang Diambil dari Populasi Berdistribusi
Juling
n = 10
n = 30
AndersonDarling
(A)
Shapiro
-Wilk
(W)
Cramer
-von Mises
(W)
Lilliefors-KS
4.877
0.977
0.785
(D)
Pearson
Chi Square
(P)
Shapiro
-Francis
(W)
0.053
73.216
0.978
( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
2.064
0.029
69.248
0.987
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
0.039
42.688
0.988
( p = 0.05 )
( p = 0.05 )
( p = 0.00 )
0.025
29.248
0.998
( p = 0.15 )
( p = 0.45 )
( p = 0.16 )
0.026
33.216
0.998
( p = 0.11 )
( p = 0.27 )
( p = 0.44 )
0.987
0.228
( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )( p = 0.05 )
n = 100 2.291
0.988
0.377
( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )
n = 250 0.532
0.998
0.083
( p = 0.17 ) ( p = 0.24 ) ( p = 0.19 )
n = 500 0.478
0.998
0.07
( p = 0.24 ) ( p = 0.49 ) ( p = 0.28 )
dengan distribusi
juling, distribusi
sampel mean juga semakin sulit
untuk mengikuti distribusi normal. Hal
ini dapat terlihat pada Gambar 8 dan
Tabel 3 . Dibutuhkan sampel yang
makin besar agar bentuk distribusi
mean
sampel
dapat
mengikuti
distribusi normal. Dalam simulasi ini,
dibutuhkan n = 250 atau lebih besar
agar distribusi mean sampel dapat
lolos
semua
uji
normalitas.
Sementara jika sampel berukuran 100
atau lebih kecil, bentuk distribusi dari
mean sampel akan cenderung tidak
mengikuti distribusi normal.
Kesimpulan Hasil Simulasi
Tiga simulasi telah dilakukan untuk
menguji argumen yang mendasari
klaim bahwa ukuran sampel minimal
dalam sebuah penelitian adalah 30.
Hasil
ketiga
simulasi
tersebut
menunjukkan bahwa argumen yang
mendasari klaim tersebut tidak didukung
oleh data simulasi dalam studi ini. Akurasi
estimasi parameter di populasi tidak
terkait langsung dengan ukuran sampel,
yang ditunjukkan oleh kecilnya bias
estimasi meskipun ukuran sampel
bahkan lebih kecil daripada 30. Hal ini
menunjukkan bahwa penentu bias
estimasi parameter bukanlah ukuran
sampel melainkan pilihan estimatornya.
Ukuran sampel sebesar 30 memiliki
masalah dalam hal presisi. Peningkatan
presisi pada ukuran sampel lebih besar
dari 30 juga masih cukup besar. Ini
berarti argumen bahwa presisi dari
ukuran sampel sebesar 30 sudah baik
dan ukuran sampel lebih besar dari 30
tidak mengalami banyak peningkatan
tidak didukung oleh studi simulasi ini.
Simulasi juga menunjukkan bahwa
argumen yang menyatakan bahwa
ukuran sampel sebesar 30 cenderung
76
SANTOSO
menghasilkan data yang mengikuti
normalitas tidak didukung oleh data.
Distribusi data di sampel lebih banyak
dipengaruhi oleh bentuk distribusi data
di populasinya. Bahkan, ukuran sampel
sebesar 30 cenderung memberikan
informasi yang keliru mengenai bentuk
distribusi
di populasi mengingat
persentase sampel dengan ukuran
30 yang lolos paling tidak satu uji
normalitas ketika distribusi di populasi
tidak mengikuti distribusi normal masih
tinggi: (a) Lebih dari 90% ketika
distribusi
di
populasi
mengikuti
distribusi heavy-tailed, (b) Sekitar 20%
ketika distribusi di populasi mengikuti
distribusi juling.
Hasil simulasi juga menunjukkan
bahwa ukuran sampel sebesar 30
cenderung
tidak
menghasilkan
distribusi mean sampel yang mengikuti
distribusi normal ketika populasi tidak
mengikuti distribusi normal. Hanya
ketika populasi mengikuti distribusi
normal saja, ukuran sampel sebesar 30
menghasilkan mean sampel yang
berdistribusi normal.
Dari
paparan
di
atas
dapat
disimpulkan bahwa penggunaan ukuran
sampel minimal sebesar 30 memiliki
beberapa kelemahan. Pertama, statistik
yang dihasilkan dari ukuran sampel
lebih besar dari 30 memiliki tingkat
presisi yang masih jauh lebih baik
dibandingkan statistik dari sampel
dengan ukuran 30. Oleh karena itu
menjadikan ukuran sampel sebesar
30 sebagai ukuran minimal, akan
meningkatkan
besarnya
kemungkinan memperoleh estimasi
di sampel yang tidak menggambarkan
keadaan populasinya. Kedua, ukuran
sampel tidak dapat digunakan sebagai
cara untuk mengatasi ketidaknormalan
data di sampel, karena bentuk distribusi
di populasi lah yang merupakan
determinan yang berpengaruh. Ketiga,
ketika distribusi populasi sangat jauh
dari distribusi normal, ukuran sampel
yang dibutuhkan untuk menghasilkan
statistik,
misalnya
mean,
yang
berdistribusi normal juga semakin
besar. Ukuran sampel sebesar 30 tidak
memadai untuk menghasilkan distribusi
statistik yang mengikuti kurve normal
dalam kondisi ini.
Lebih jauh lagi, kedua kriteria yang
digunakan untuk menetapkan besarnya
sampel memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan pertama terkait dengan
subjektivitas yang terlalu besar yang
dilibatkan dalam penentuan besarnya
Misalnya
apa
batasan
sampel.
besarnya sampel memberikan presisi
estimasi yang baik? Kelemahan kedua
terkait dengan informasi yag dapat
disajikan oleh kriteria tersebut. Misalnya
jika besarnya sampel tertentu dianggap
mewakili populasi, seberapa mewakili?
Selain itu, kedua kriteria tersebut lebih
banyak terkait dengan bentuk distribusi di
populasi daripada besarnya sampel.
Misalnya, dari hasil simulasi juga dapat
kita lihat bahwa bentuk distribusi sampel
atau mean sampel lebih ditentukan oleh
bentuk populasinya. Oleh karena itu,
penting
untuk
mempertimbangkan
kriteria atau pendekatan lain untuk
menetapkan besarnya sampel yang
dapat
mengatasi
kelemahan-
UKURAN SAMPEL
kelemahan ini.
Analisis Power: Alternatif Penentuan
Ukuran Sampel
Power adalah probabilitas menolak
H0 ketika H0 salah di populasi, yang
dilambangkan dengan (1 − β) (Cohen,
1988; Dattalo, 2008; Murphy et al.,
2003). Untuk memahami power ini, perlu
kiranya penulis membahas terlebih
dahulu mengenai dua tipe kesalahan
yang mungkin terjadi ketika seorang
peneliti mengambil keputusan untuk
menolak atau gagal menolak hipotesis
nul (H 0 ). Tipe kesalahan 1 merupakan
kesalahan yang dilakukan peneliti ketika
memutuskan untuk menolak H 0 ketika H 0
benar. Probabilitas melakukan kesalahan
tipe 1 ini dilambangkan dengan α. Tipe
kesalahan 2 merupakan kesalahan
pengambilan keputusan ‘gagal menolak‘
H 0 ketika H 0 salah. Probabilitas
melakukan
kesalahan
tipe
2
ini
dilambangkan dengan . Besarnya
hanya dapat diketahui jika besarnya efek
di populasi juga diketahui. Oleh karena
peneliti biasanya tidak mengetahui
besarnya efek di populasi, maka
besarnya juga tidak diketahui secara
pasti. Peneliti hanya dapat mengestimasi
besarnya efek di populasi berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya, sehingga
yang diperoleh juga hanya berupa
perkiraan. Power didefinisikan sebagai (1
- ) atau probabilitas menolak H 0 ketika
H 0 salah.
Ilustrasi
power
ada
dalam
Gambar 9. Misalnya seorang peneliti
hendak menguji H 0 yang menyatakan
tidak ada korelasi antara X dan Y. Ia
77
menetapkan α sebesar 0.05. Jika ternyata,
korelasi antara X dan Y sama dengan nol di
populasi (tidak ada korelasi atau H 0 benar),
maka besarnya kemungkinan peneliti
menolak H 0 tersebut (atau memperoleh
hasil yang signifikan) adalah 0.05. Jika
ternyata, korelasi antara X dan Y sama
dengan 0.5 (atau nilai lain yang tidak sama
dengan nol, atau H 0 salah), maka besarnya
probabilitas ‘gagal menolak’ H 0 (atau
memperoleh hasil yang tidak signifikan)
adalah sebesar dan probabilitas menolak
H 0 sebesar (1 - ) atau sama dengan
besarnya power.
Besarnya power dipengaruhi oleh,
paling tidak, tiga komponen; yaitu:
Pertama, Besarnya kesalahan tipe 1
atau α yang diijinkan dalam uji hipotesis
nul. Dalam penelitian di Psikologi, α
biasanya ditetapkan sebesar 0.05
dengan
beberapa
pertimbangan
(Howell,
2009;
Santoso,
2009).
Besarnya α ini berbanding lurus dengan
power; semakin kecil α yang digunakan,
semakin kecil power dari uji yang
dijalankan.
Kedua, Standard error (SE) dari
estimasi parameter atau oleh Cohen
(1988) disebut sebagai reliabilitas hasil
yang diperoleh dari sampel. SE dari
estimasi
parameter
yang
diuji
berbanding terbalik dengan power;
semakin besar SE semakin kecil power
dari uji yang dijalankan. SE sendiri
dipengaruhi oleh karakteristik dari teknik
estimasi yang digunakan. Misalnya
estimasi koefisien regresi dengan
menggunakan metode Least Squares
(LS) dianggap memiliki SE terkecil
dibandingkan metode lain.
78
SANTOSO
Besarnya sampel merupakan
faktor lain yang mempengaruhi SE;
semakin besar sampel, SE dari
estimasi parameter akan menjadi
semakin kecil. Hal ini dapat dilihat,
misalnya, dalam rumus SE untuk mean
sampel berikut:
(1)
σ
merupakan standard deviasi
dari X di populasi dan n adalah
besarnya sampel. Semakin besar n
akan
membuat
nilai
menjadi
semakin kecil.
Ketiga, besaran efek (effect size).
Ada beberapa besaran efek yang
diperkenalkan oleh Cohen (1988), dan
sering digunakan dalam penelitian
psikologi, misalnya d, f2 , dan r. Ketiga
besaran
efek
ini dapat saling
ditransformasi ke nilai yang lain.
Besaran efek ini berbanding lurus
dengan power; semakin besar efek
dalam suatu penelitian, semakin besar
power dari uji yang dilakukan terhadap
efek tersebut.
Analisis power merupakan analisis
yang digunakan untuk menghitung
besarnya power dari suatu analisis
statistik dalam suatu penelitian. Ada
dua tujuan dilakukannya analisis
power ini (Cohen, 1988; Dattalo,
2008; Murphy et al., 2003):
Pertama, Mengetahui besarnya
power dari suatu analisis yang telah
dilakukan. Misalnya apakah analisis
yang telah dijalankan memiliki power
yang memadai untuk mengidentifikasi
efek variabel independen pada variabel
dependen.
Kedua,
mengetahui
besarnya
yang
dibutuhkan
untuk
sampel
mengidentifikasi efek dengan besaran
tertentu. Pengetahuan ini biasanya
berguna dalam tahap perencanaan,
yaitu untuk menentukan besarnya
akan diambil dalam
sampel yang
penelitian.
Analisis power ini memiliki prosedur
yang sangat beragam, masing-masing
bergantung pada teknik analisis yang
digunakan dan bentuk distribusi dari
statistik yang diujikan, misalnya t, F, χ2 ,
dll. Oleh karena itu, dalam artikel ini,
penulis hanya akan memberikan contoh
aplikasi
analisis
power
pada
uji
perbedaan
mean
dua
kelompok
independen dengan menggunakan uji t
untuk menentukan besarnya sampel.
Contoh ilustrasi
Seorang penulis hendak mempelajari
efek dari tritmen yang dirancangnya
untuk meningkatkan motivasi belajar
memasukkan
partisipansiswa. Ia
partisipan penelitiannya ke dalam dua
kelompok secara random, satu kelompok
eksperimen dan satu kelompok kontrol.
Banyaknya
partisipan yang
terlibat
sebesar 15 untuk
tiap kelompok.
Besarnya mean dan standard deviasi
yang diperoleh dari setiap kelompok
ditunjukkan dalam tabel 4 . Hasil analisis
menggunakan uji t sampel independen
memberikan hasil yang tidak signifikan
(t(df = 28) = 1.0531, p = 0.301). Berapakah
besarnya power dalam analisis tersebut?
Jika besarnya efek dalam penelitian ini
79
UKURAN SAMPEL
dianggap
sebagai
efek
dalam
populasi, berapakah ukuran sampel
yang seharusnya diambil agar analisis
ini memiliki power sebesar 80%?
Tabel 4
Mean dan Standard Deviasi untuk
Setiap Kelompok
Kelompok
Mean
SD
Kontrol
100.064 4.740
Eksperimen 100.786 4.200
Perhitungan power dalam kasus ini
dimulai dengan menghitung besarnya
besaran efek (effect size) d dalam
analisis tersebut. Untuk menghitung
besarnya d ini perlu dihitung lebih dulu
merupakan standard
spool yang
deviasi dari gabungan standard deviasi
kedua kelompok, yang dihitung sebagai
berikut:
Besarnya d
dihitung
sebagai
1988):
kemudian dapat
berikut
(Cohen,
ditemukan dengan melihat tabel 2.3.5
yang disediakan Cohen (1988, h.36).
Dalam tabel tersebut, tidak ditemukan
angka d = 0.385. Oleh karena itu
digunakan nilai yang terdekat yaitu 0.4.
Dengan n = 15 untuk tiap kelompok dan
d = 0.4, power dari analisis yang
dilakukan
adalah
sebesar
18%.
Besarnya power dapat juga ditemukan
dengan
menggunakan
perintah
pwr.t.test dari paket pwr (Champely,
2015) dalam program R (R Core Team,
2015). Dengan menggunakan perintah
ini, ditemukan power dari analisis ini
sebesar 17.47%, mendekati nilai yang
ditemukan dalam tabel Cohen (1988). Ini
berarti, jika hipotesis nul di populasi
salah, besarnya probabilitas ditemukan
hasil yang signifikan dalam analisis ini
hanya sebesar 18%.
Untuk menjawab pertanyaan kedua,
tabel 2.4.1 yang disediakan Cohen
(1988, h.55) dapat digunakan. Dalam
tabel tersebut, dengan d = 0.4, α =
0.05, dan power = 0.8, besarnya n yang
dibutuhkan untuk tiap kelompok adalah
99 orang. Besarnya n ini juga dapat
dihitung menggunakan perintah yang
pwr.t.test. Besarnya n yang ditemukan
adalah 106.87, sedikit berbeda dari
tabel 2.4.1 Cohen (1988). Ini berarti
dibutuhkan
sampel
dengan
total
partisipan sebesar kurang lebih 214
orang agar probabilitas memperoleh
hasil signifikan dalam analisis ketika
hipotesis nul salah adalah 80%.
Pembahasan
Besarnya
power
dapat
Artikel ini ditulis untuk mencapai
80
SANTOSO
dua tujuan: (a) menguji argumen
yang mendasari pendapat bahwa
ukuran
sampel
minimal
dalam
penelitian sebesar 30, dan (b)
memperkenalkan pendekatan lain
dalam menentukan besar sampel
yang didasarkan pada analisis power.
Hasil simulasi dalam penelitian ini
tidak
menunjukkan
dukungan
terhadap argumen yang mendasari
penentuan ukuran sampel sebesar
30. Ukuran sampel sebesar 30 tidak
memiliki presisi yang memadai untuk
mewakili
karakteristik
populasi.
Statistik yang diperoleh dari sampel
dengan ukuran lebih besar dari 30
masih mengalami peningkatan besar.
Ukuran sampel sebesar 30 tidak
menjamin data di sampel akan lolos
uji asumsi normalitas. Faktor penentu
dari lolos uji asumsi ini adalah bentuk
distribusi di populasi, bukan ukuran
sampel. Distribusi statistik tidak
ditentukan oleh ukuran sampel,
melainkan oleh bentuk distribusi di
populasi. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa argumen yang
mendukung pendapat ukuran sampel
sebesar
30
tidak
memperoleh
dukungan dalam penelitian ini.
Lebih jauh lagi, kriteria yang
digunakan dalam kedua argumen
tidak dapat digunakan sebagai cara
menentukan
besarnya
sampel.
Penentuan
besarnya
sampel
berdasarkan
presisi
memiliki
kelemahan dalam hal tidak adanya
kriteria yang dapat diberlakukan
secara universal. Hal ini dikarenakan
SE sebagai ukuran presisi tergantung
pada unit pengukuran dari data yang
diperoleh. Misalnya data yang berasal
dari tes yang terdiri dari 20 item akan
memiliki unit pengukuran yang berbeda
dari tes yang terdiri dari 40 item.
Sementara itu, bentuk distribusi data di
sampel dan distribusi statistik lebih
banyak
ditentukan
oleh
bentuk
distribusi populasi, bukan ukuran
sampel. Oleh karena itu dibutuhkan
kriteria lain yang dapat mengatasi
kedua kelemahan tersebut.
Penggunaan
ukuran
sampel
sebesar 30 ini dapat menurunkan
kualitas
penelitian
Psikologi
di
Indonesia. Kemampuan peneliti untuk
mengidentifikasi
parameter
yang
memiliki nilai kecil di populasi akan
menjadi makin kecil dikarenakan power
yang rendah. Ukuran sampel sebesar
30 akan cenderung memberikan hasil
estimasi yang memiliki presisi yang
rendah. Presisi yang rendah ini berarti
hasil
estimasi
di
sampel
akan
cenderung
memiliki
penyimpangan
yang lebar dari parameter yang
diestimasi, atau memberikan gambaran
yang tidak sebenarnya dari kondisi di
populasi.
Pendekatan analisis power dapat
mengatasi
kedua
kelemahan
pendekatan
sebelumnya.
Dalam
analisis power, kriteria yang digunakan
untuk menentukan besarnya sampel
adalah power yang bergerak dari 0
hingga 1. Power ini tidak dipengaruhi
oleh unit pengukuran dari data yang
diperoleh, sehingga nilainya dapat
diberlakukan
secara
universal.
Meskipun besarnya power ditentukan
81
UKURAN SAMPEL
secara subjektif, saat ini ada
kesepakatan mengenai nilai power
yang dianggap memadai yaitu satu
dikurangi empat kali besarnya α yang
ditentukan (1 – 4*α) (Dattalo, 2008).
Oleh
karena
itu,
jika
peneliti
menentukan α sebesar 5% maka
besarnya power yang memadai
adalah 80%.
Ukuran
sampel
dalam
pendekatan
sebelumnya
bukan
merupakan penentu bentuk distribusi
di sampel atau bentuk distribusi
statistik. Hal ini berbeda dengan
analisis
power:
ukuran
sampel
merupakan salah satu faktor yang
menentukan besarnya power. Power
ditentukan oleh α, besaran efek dan
SE
yang
dipengaruhi
secara
langsung oleh ukuran sampel. Oleh
karena itu, dengan mengendalikan α
dan besaran efek, power dapat dicari
berdasarkan ukuran sampel tertentu
dan sebaliknya ukuran sampel yang
diharapkan dapat dicari berdasarkan
power yang dianggap memadai.
Penentuan
besarnya
sampel
dengan pendekatan analisis power juga
memberikan manfaat yang lebih besar
dibandingkan
dengan
pendekatan
sebelumnya. Dengan menggunakan
pendekatan
ini,
peneliti
dapat
menggunakan informasi yang diperoleh
melalui
analisis
power
untuk
mengevaluasi hasil analisis yang telah
dijalankan atau menentukan besarnya
sampel yang dapat mengidentifikasi
efek dengan kuantitas yang berbeda.
Jika peneliti mengantisipasi ukuran efek
yang kecil, maka analisis power ini
dapat digunakan untuk menentukan
ukuran sampel agar analisis memiliki
probabilitas memperoleh hasil yang
signifikan
dengan
besaran
yang
diharapkan peneliti.
karena
itu,
penulis
Oleh
merekomendasikan
penggunaan
analisis power untuk
menentukan
besarnya
sampel.
Pemahaman
peneliti
psikologi
di
Indonesia
mengenai ukuran sampel minimal
sebesar 30 perlu diluruskan, baik
melalui
jalur
pendidikan
formal,
seminar atau workshop agar dampak
dari penggunaan ukuran sampel
terhadap kualitas penelitian psikologi
di Indonesia dapat diatasi.
Referensi
Burmeister, E. & Aitken, L. M. (2012).
Sample size: How many is enough?
Australian Critical Care, 25(4), 271–
274.
Casella, G. & Berger, R. L. (2001).
Statistical inference
( 2nd ed.).
Pacific Grove, CA: Duxbury Press.
Champely, S. (2015). pwr: Basic functions
for power analysis. R package version
1.1-3. Retrieved from http://CRAN.Rproject.org/package=pwr
Cohen, J. (1988). Statistical power
analysis for the behavioral sciences.
Hillsdale, N.J: Routledge.
Columb, M. O. & Stevens, A. (2008).
Power analysis and sample size
calculations. Current Anaesthesia &
Critical Care, 19(1), 12–14.
Dattalo, P. (2008). Determining sample size
balancing power, precision, and
82
SANTOSO
practicality. New York, NY: Oxford
University Press.
Gross, J. & Ligges, U. (2015). nortest:
Tests for normality. R package
version 1.0-3.
Retrieved
from
http://CRAN.Rproject.org/package=nortest
Howell, D. C. (2009). Statistical
methods for psychology (7th ed.).
Belmont, CA: Cengage Learning.
Hsu, L. M. (1993). Using Cohen’s tables
to determine the maximum power
attainable in two-sample tests
when one sample is limited in size.
Journal of Applied Psychology,
78(2), 303–305.
Murphy, K. R., Myers, B., Murphy, K., &
Wolach, A. (2003). Statistical power
analysis: A simple and general
model for traditional and modern
hypothesis
tests
(2nd
ed.).
Mahwah, N.J: Routledge.
R Core Team. (2015). R: A language
and environment for statistical
computing.
R
Foundation
for
Statistical
Computing,
Vienna,
Austria.
Retrieved
from
http://www.R-project.org/.
Santoso, A. (2009). Menyoal taraf
signifikansi: Tanggapan terhadap
artikel "Aplikasi llmu statistika di
Fakultas Psikologi" (Hadi, 2005).
MANASA, 3(2), 129 – 139.
Stokes
L
(2014).
Sample
size
calculation for a hypothesis test.
JAMA, 312(2), 180–181.
Alamat surel:
[email protected]
Apendiks A
Skrip R Untuk Menjalankan Simulasi
untuk Menguji Keterwakilan Populasi
####################################
## Simulasi Mean dari Satu Sampel ##
####################################
X<-NULL
seqn<-seq(10,500,10)
for(j in seqn){
x.col<-NULL
for(i in 1:1000){
x<-rnorm(j,100,15)
x.col<-cbind(x.col,x)
}
X<-cbind(X,colMeans(x.col))
}
mean.X<-colMeans(X)
sd.X<-apply(X,2,sd)
minx<-apply(X,2,min)
maxx<-apply(X,2,max)
CIx.L<-mean.X-1.96*sd.X
CIx.U<-mean.X+1.96*sd.X
### plotting mean and 95%CI ##
#drawing shade 95%
plot(seqn,mean.X,type='n',ylim=c(85,115),yla
b="X",xlab="n",xlim=c(0,max(seqn)+10))
xx<-c(seqn,rev(seqn))
yy<-c(minx,rev(maxx))
#yy<-c(CIx.U,rev(CIx.L))
polygon(xx,yy,col='lightgrey',border='white'
)
#plotting mean and 95% CI
lines(seqn,mean.X,ylim=c(90,110),lty=3,ylab=
"X",xlab="n",xlim=c(0,max(seqn)+10),lwd=2)
lines(seqn,minx,type='l',col='red')
lines(seqn,maxx,type='l',col='red')
lines(seqn,CIx.L,type='l',col='green')
lines(seqn,CIx.U,type='l',col='green')
texting<-function(n){
x<-which(seqn==n)
abline(v=seqn[x],col='blue',lty=3)
text(x=seqn[x],y=85,label=paste("n=",
seqn[x]),col='blue')
text(x=seqn[x],y=minx[x],label=paste(
"Min=",round(minx[x],digits=2)),pos=1)
text(x=seqn[x],y=maxx[x],label=paste(
"Max=",round(maxx[x],digits=2)),pos=3)
83
UKURAN SAMPEL
text(x=seqn[x],y=101,label=paste("R
=",round(maxx[x]-minx[x],
digits=2)))
text(x=seqn[x],y=CIx.L[x],label=pas
te("L=",round(CIx.L[x],digits=2)),pos=1,of
fset=0.1)
text(x=seqn[x],y=CIx.U[x],label=pas
te("U=",round(CIx.U[x],digits=2)),pos=3,of
fset=0.1)
text(x=seqn[x],y=99.2,label=paste("
CI=",round(CIx.U[x]-CIx.L[x],
digits=2)))
}
texting(30)
texting(100)
texting(250)
texting(500)
legend("topright",legend=c("MaksimumMinimum","95%
Confidence
Interval","Mean"),
col=c('red','green','black'),lty=c(
1,1,3),lwd=c(1,1,2),bg='white')
### plotting fluctuations ###
layout(matrix(1:5, ncol = 1), widths = 1,
heights = c(1,4,4,4,5), respect =
FALSE)
par(mar=c(0, 4, 0, 0))
plot(1, type = 'n', axes = FALSE, bty =
'n', ylab = '')
par(mar=c(0, 4, 2, 1), bty = 'o')
plot(X[,3],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max(
X[,3])),main="n=30",xaxt='n',ylab="")
plot(X[,10],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max
(X[,3])),main="n=100",xaxt='n',ylab="")
plot(X[,25],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max
(X[,3])),main="n=250",xaxt='n',ylab="")
par(mar=c(4, 4, 2, 1))
plot(X[,50],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max
(X[,3])),main="n=500",xaxt='n',ylab="",xla
b="Nomor Replikasi")
mtext("Kecerdasan",side=2,at=135,line=2.5,
cex=1.1)
axis(1, 1:1000, cex.axis = 1.5)
Apendiks B
Skrip R Untuk Menjalankan Simulasi
untuk Menguji Normalitas Data Sampel
dengan n = 30
###################################
# n=30, distribusi sampel normal?
###################################
library(nortest)
#
nr<-1000
ave.f<-ave.normal<-ave.t<-NULL
for(j in seqn){
y1<-0
y2<-0
y3<-0
for(i in 1:nr){
normal<-rnorm(j)
f<-rf(j,2,50)
t<-rt(j,5)
y1<-y1+ifelse((ad.test(normal)$p.value>.05
|shapiro.test(normal)$p.value>.05
|cvm.test(normal)$p.value>.05
|lillie.test(normal)$p.value>.05
|pearson.test(normal)$p.value>.05
|sf.test(normal)$p.value>.05),1,0)
y2<-y2+ifelse((ad.test(t)$p.value>.05
|shapiro.test(t)$p.value>.05
|cvm.test(t)$p.value>.05
|lillie.test(t)$p.value>.05
|pearson.test(t)$p.value>.05
|sf.test(t)$p.value>.05),1,0)
y3<-y3+ifelse((ad.test(f)$p.value>.05
|shapiro.test(f)$p.value>.05
|cvm.test(f)$p.value>.05
|lillie.test(f)$p.value>.05
|pearson.test(f)$p.value>.05
|sf.test(f)$p.value>.05),1,0)
}
ave.normal<-c(ave.normal,sum(y1)/nr)
ave.t<-c(ave.t,sum(y2)/nr)
ave.f<-c(ave.f,sum(y3)/nr)
}
plot(ave.normal,type='l',ylim=c(0,1),xaxt='n
',col='blue',ylab="%",xlab="Ukuran Sampel")
axis(1,1:50,labels=seqn)
lines(ave.t,lty=2,lwd=2,col='red')
lines(ave.f,lty=3,lwd=2,col='green')
abline(v=3,lty=3)
text(3,0.03,label='n=30',pos=2,offset=0.1)
abline(v=10,lty=3)
text(10,0.03,label='n=100',pos=2,offset=0.1)
abline(v=25,lty=3)
text(25,0.03,label='n=250',pos=2,offset=0.1)
abline(v=50,lty=3)
84
SANTOSO
text(50,0.03,label='n=500',pos=2,offset=0.
1)
legend(26,0.3,legend=c('Distribusi
Normal','Distribusi t (df=5)',
'Distribusi
F
(df1=2,df2=50)'),lty=c(1,2,3),lwd=c(1,2,2)
,
col=c('blue','red','green'),bg='whi
te')
###################################
# n=30 distribusi mean sampel normal?
#
###################################
set.seed(8888)
dat.z<-NULL
for(j in c(10,30,100,250,500)){
mean.z<-NULL
for(i in 1:1000){
z<-rnorm(j)
#z<-rt(j,5)
#z<-rf(j,2,50)
mean.z<-c(mean.z,mean(z))
}
dat.z<-cbind(dat.z,mean.z)
}
colnames(dat.z)<c('n=10','n=30','n=100','n=250','n=500')
###Plots
plot(density(dat.z[,5]),xlim=c(1.2,1.2),lty=6,lwd=2,xlab="X",ylab="",main
="")
lines(density(dat.z[,4]),lty=4,lwd=2)
lines(density(dat.z[,3]),lty=3,lwd=2)
lines(density(dat.z[,2]),lty=2,lwd=2)
lines(density(dat.z[,1]))
legend('topright',legend=c('n=10','n
=
30','n = 100','n = 250','n = 500'),
lty=c(1,2,3,4,6),lwd=c(1,2,2,2,2))
###Tests
colm<-1:5
test<-matrix(NA,ncol=6,nrow=10)
for(j in colm){
test[2*(j-1)+1,1]<paste(round(ad.test(dat.z[,j])$statistic,d
igits=3))
test[2*(j-1)+2,1]<-paste("(
p=",round(ad.test(dat.z[,j])$p.value,digit
s=2),")")
test[2*(j-1)+1,2]<paste(round(shapiro.test(dat.z[,j])$statis
tic,digits=3))
test[2*(j-1)+2,2]<-paste("(
p=",round(shapiro.test(dat.z[,j])$p.value,di
gits=2),")")
test[2*(j-1)+1,3]<paste(round(cvm.test(dat.z[,j])$statistic,di
gits=3))
test[2*(j-1)+2,3]<-paste("(
p=",round(cvm.test(dat.z[,j])$p.value,digits
=2),")")
test[2*(j-1)+1,4]<paste(round(lillie.test(dat.z[,j])$statistic
,digits=3))
test[2*(j-1)+2,4]<-paste("(
p=",round(lillie.test(dat.z[,j])$p.value,dig
its=2),")")
test[2*(j-1)+1,5]<paste(round(pearson.test(dat.z[,j])$statisti
c,digits=3))
test[2*(j-1)+2,5]<-paste("(
p=",round(pearson.test(dat.z[,j])$p.value,di
gits=2),")")
test[2*(j-1)+1,6]<paste(round(sf.test(dat.z[,j])$statistic,dig
its=3))
test[2*(j-1)+2,6]<-paste("(
p=",round(sf.test(dat.z[,j])$p.value,digits=
2),")")
}
colnames(test)<-c("Anderson-Darling
(A)","Shapiro-Wilk (W)",
"Cramer-von
Mises
(W)","Lilliefors-KS (D)",
"Pearson
chisquare
(P)","Shapiro-Francis (W)")
rownames(test)<c("n=10","","n=30","","n=100","","n=250","",
"n=500","")
xtable(test)
Jurnal Psikologi Indonesia
2017, Vol. XII, No. 1, 85-104, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
PRAKTEK KESELAMATAN KERJA DITINJAU
DARI SUDUT PANDANG KARYAWAN
(WORK SAFETY PRACTICES FROM
EMPLOYEES PERSPECTIVES)
Raden Siti Ayunda Nurita dan Rayini Dahesihsari
Magister Psikologi Profesi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
In Indonesia, there are still high levels of workplace accidents and safety rule violations with human error as
the main factor. It is assumed that this condition happened because of lack of employees' involvement.
Effective employees' involvement can only be done when there is focus on understanding the employees'
perspective. This research aims to describe safety practices from the employees' perspective. In-depth
interviews are conducted to three mechanics from a workshop in a heavy equipment distribution company
in Jakarta, which is considered as a high risk workplace. Participants are selected by using typical case
sampling. Results show that participants view that there are many safety practices conducted by their
immediate supervisor, but with no strict disciplinary action. Participants also perceive a conflict between
priority given to work productivity and safety. According to participants, safety departement has not involved
them when implementing the practices. As a consequence, safety is not perceived as a priority. Individual
factors such as unsafe behaviors habits, minimal job experience, and fatique could also inhibit the display of
safety behaviors, which lead to high levels of accidents and unsafe behaviors in the workshop. Results of
this study could be used as a feedback for the management, not only in implementing safety practices, but
also in planning efforts to achieve greater acceptance and support from their employees.
Keywords: safety practices, unsafe behavior, employee involvement, employee perception
Tingkat kecelakaan dan pelanggaran aturan keselamatan kerja di Indonesia masih tergolong tinggi dengan
kelalaian manusia sebagai penyebab utama. Hal ini diasumsikan terjadi akibat kebijakan praktek
keselamatan kerja yang bersifat searah dari manajemen dan kurang melibatkan karyawan sebagai
pelaksana dari kebijakan tersebut. Pelibatan karyawan secara efektif hanya dapat dilakukan apabila sudut
pandang karyawan menjadi perhatian dalam perancangan kebijakan keselamatan kerja. Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan praktek keselamatan kerja perusahaan yang ditinjau dari sudut pandang
karyawan. Wawancara mendalam dilakukan kepada tiga orang mekanik workshop yang merupakan area
dengan risiko kecelakaan tinggi di suatu perusahaan distribusi alat berat di Jakarta. Responden dipilih
berdasarkan kasus tipikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden memandang atasan langsung
sudah berupaya melakukan berbagai praktek keselamatan kerja, namun belum dalam bentuk sanksi yang
tegas. Di sisi lain responden juga melihat adanya inkonsistensi atasan langsung dalam menerapkan
prioritas antara produktivitas kerja dengan keselamatan kerja yang seringkali saling bertolak belakang.
Prioritas pada produktivitas kerja terkadang membuat pengabaian pada keselamatan kerja. Menurut
responden, divisi keselamatan kerja kurang melibatkan karyawan dalam melakukan praktek keselamatan
kerja. Akibatnya, keselamatan kerja tidak dianggap prioritas oleh karyawan. Faktor individual seperti
kebiasaan melakukan perilaku tidak aman, minimnya pengalaman kerja dan kondisi fisik yang kurang
optimal juga dapat menghambat diterapkannya perilaku aman oleh karyawan. Sebagai dampaknya, masih
banyak terjadi kecelakaan kerja dan perilaku tidak aman di workshop. Hasil penelitian diharapkan dapat
85
86
NURITA & DAHESIHSARI
menjadi masukan bagi organisasi, tidak hanya dalam menetapkan kebijakan praktek keselamatan kerja,
namun juga dalam merancang upaya pendekatan yang tepat kepada karyawan agar mereka dapat
menerima dan menjalankan praktek tersebut secara optimal.
Kata kunci: praktek keselamatan kerja, perilaku tidak aman, kecelakaan kerja, pelibatan karyawan, sudut
pandang karyawan
Di Indonesia, isu keselamatan kerja
sudah mendapatkan perhatian sejak lama
dari
pemerintah.
Untuk
mencegah
terjadinya kecelakaan kerja, pemerintah
menetapkan
sejumlah
peraturan,
diantaranya Undang-Undang No. 1 tahun
1970 dan Peraturan Pemerintah No. 50
tahun 2012 yang mewajibkan setiap
perusahaan
untuk
memastikan
keselamatan kerja karyawannya. Sebagian
besar perusahaan juga pada umumnya
sudah mempunyai sistem pengelolaan
keselamatan kerja yang tidak hanya
mematuhi standar nasional (SMK3) namun
juga standar internasional (ISO 14001,
OHSAS 18001). Beberapa perusahaan
bahkan memiliki divisi tersendiri yang
bertanggung jawab untuk menetapkan
kebijakan dan prosedur serta mengelola
program-program
keselamatan
kerja
karyawan.
Adanya upaya-upaya yang dilakukan
oleh pemerintah dan pihak manajemen
perusahaan diharapkan dapat menekan
tingkat kecelakaan kerja di Indonesia,
namun pada kenyataannya kecelakaan
kerja masih sering terjadi. Data PT.
Jamsostek menunjukkan total kecelakaan
kerja mencapai 103.000 kasus pada tahun
2012, dengan sembilan pekerja yang
meninggal dunia setiap harinya akibat
kecelakaan kerja (“Jamsostek: Setiap hari”,
2013).
Banyaknya
kecelakaan
menunjukkan masih belum tercapainya
target perusahaan terkait keselamatan
kerja karyawan yaitu zero accident (tidak
adanya kecelakaan sama sekali) (Jeffries,
2011). Kecelakaan kerja tidak hanya
menyebabkan kerugian bagi karyawan
namun juga menyebabkan kerugian
finansial bagi perusahaan. Data ILO
menunjukkan
kerugian
yang
harus
ditanggung akibat kecelakaan kerja di
negara-negara berkembang mencapai 4%
dari Produk Nasional Bruto (“Kecelakaan
Kerja”, 2013). Data yang ada menunjukkan
bahwa upaya-upaya yang dilakukan belum
efektif
untuk
meminimalisir
tingkat
kecelakaan kerja.
Menurut National Safety Council (dalam
Zohar, 2002), perilaku manusia memainkan
peranan besar dalam menyebabkan
kecelakaan kerja. Hal ini didukung oleh
pendapat
Desmukh
(2006)
bahwa
kecelakaan kerja umumnya disebabkan
oleh kelalaian manusia yang menciptakan
kondisi-kondisi atau situasi yang tidak
aman, baik secara sengaja atau tidak. Hal
ini menunjukkan bahwa untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja, hal yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah mengubah
perilaku karyawan dari perilaku tidak aman
menjadi perilaku yang aman.
Setiap bentuk perubahan, termasuk
perubahan perilaku, merupakan hal yang
sulit untuk dilakukan oleh karyawan.
87
KESELAMATAN KERJA
Adanya perubahan menuntut karyawan
untuk melepaskan diri dari apa yang
mereka ketahui dan memasuki wilayah
yang asing bagi mereka (Cummings &
Worley, 2009). Karyawan juga umumnya
merasa tidak yakin akan kemampuan yang
dimiliki, kontribusi yang dapat dilakukan,
dan manfaat dari perubahan yang terjadi
untuk mereka sendiri. Hal-hal ini dapat
menyebabkan kecemasan dan penolakan
dari pihak karyawan untuk berubah
(resistance to change) (Cummings &
Worley, 2009).
Praktek
keselamatan
kerja
yang
dilakukan
oleh
pihak
manajemen
perusahaan umumnya bertujuan untuk
mengubah perilaku karyawan menjadi lebih
aman, namun sejauh ini kurang efektif
dalam mencapai tujuan tersebut. Kurang
efektifnya praktek keselamatan kerja dapat
disebabkan oleh diberlakukannya suatu
kebijakan
tanpa
terlebih
dahulu
memastikan bahwa orang-orang yang
terlibat bersedia dan terdorong untuk
mengubah perilakunya. Proses ini oleh
Bartlett dan Ghoshal (dalam Miltersen,
2009) disebut dengan traditional change
process.
Karyawan juga seringkali dihadapkan
pada sejumlah praktek kerja yang tidak
konsisten atau bertolak belakang. Dalam
kondisi
ini,
karyawan
mencoba
memahaminya dengan menyimpulkan pola
yang menunjukkan prioritas sebenarnya di
tempat kerja (Zohar & Luria, 2005). Jika
karyawan
menyimpulkan
bahwa
keselamatan kerja sebenarnya bukanlah
prioritas dari pihak manajemen, maka akan
semakin menghambat munculnya perilaku
aman.
Menurut Bartlett dan Ghoshal (dalam
Miltersen,
2009)
proses
perubahan
sebaiknya mengikuti emerging change
process, yaitu perubahan sikap dan
mentalitas individu untuk mempersiapkan
mereka menghadapi perubahan proses
dan struktur. Upaya ini akan memperbesar
peluang sukses perubahan yang dilakukan.
Peningkatan kemungkinan karyawan untuk
menerima dan melakukan perubahan juga
dapat dilakukan dengan menunjukkan rasa
empati dan dukungan kepada karyawan,
mengomunikasikan perubahan beserta
manfaatnya bagi karyawan, dan melibatkan
karyawan dalam merencanakan dan
melakukan perubahan (Cummings &
Worley, 2009).
Pelibatan
karyawan
dalam
merencanakan
dan
melaksanakan
perubahan juga penting untuk dilakukan
pihak manajemen perusahaan. Menurut
Zohar dan Luria (2010), gaya manajemen
yang partisipatif atau melibatkan karyawan
lebih dapat memrediksikan keselamatan
kerja dibandingkan manajemen yang
otoritatif.
Pelibatan
karyawan
dapat
meningkatkan kepatuhan dan partisipasi
karyawan dalam menjaga keselamatan
kerja, dan juga meningkatkan kepuasan
kerja dan produktivitas (O’Creevy dalam
Ariss, 2003; Borbidge, 2007).
Salah satu pendekatan yang berkaitan
erat dengan pelibatan karyawan adalah
Behavior-Based Safety (BBS) (Blair, 1999).
Dalam BBS, keselamatan kerja dikelola
sendiri oleh karyawan. Karyawan juga
diharapkan
untuk
terus
berupaya
mengembangkan perilaku-perilaku mereka
untuk menjamin terjadinya keselamatan di
tempat kerja. Karyawan akan memiliki rasa
88
NURITA & DAHESIHSARI
kebanggaan dan kepemilikan jika mereka
mengembangkan dan mengelola sendiri
proses perilaku pribadi mereka (Blair,
1999). Program-program keselamatan
kerja pada umumnya masih bersifat searah
dan ditentukan secara sepihak oleh
manajemen, sehingga diasumsikan kurang
efektif
karena
tidak
menggunakan
pendekatan BBS. Untuk menggunakan
pendekatan BBS, perlu diketahui terlebih
dahulu pandangan karyawan mengenai
semua program yang sudah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pandangan karyawan tersebut.
Salah satu konstruk yang dapat
digunakan untuk mengeksplor sudut
pandang
karyawan
adalah
iklim
keselamatan kerja (safety climate), yaitu
persepsi karyawan mengenai keselamatan
kerja (Yule, Flin, & Murdy, 2007). Zohar
dan Luria (2002) mendefinisikan iklim
keselamatan kerja sebagai persepsi yang
dimiliki oleh seluruh karyawan terhadap
kebijakan, prosedur, dan praktek kerja
yang
mengindikasikan
kepedulian
perusahaan terhadap keselamatan dan
kesehatan karyawan. Zohar (dalam Cooper
& Phillips, 2004) menambahkan iklim
keselamatan
kerja
sebagai
tingkat
kepercayaan
karyawan
bahwa
keselamatan kerja merupakan prioritas
sebenarnya
dari
organisasi.
Jika
keselamatan kerja tidak dipersepsikan
karyawan sebagai prioritas perusahaan,
maka
karyawan
juga
tidak
akan
memrioritaskan keselamatan kerja dan
menghambat dilakukannya perilaku aman
(Zohar & Luria, 2005).
Zohar dan Luria (2005) membagi iklim
keselamatan kerja dalam dua tingkatan,
yaitu tingkat organisasi dan kelompok.
Hasil penelitian Tomas, Melia, dan Oliver
(dalam Yule dkk., 2007) juga menunjang
adanya dua tingkatan analisis tersebut,
dimana dijelaskan bahwa manajemen
memiliki pengaruh
terhadap kondisi
keselamatan kerja, namun kepatuhan
tenaga kerja terhadap aturan dan regulasi
keselamatan kerja juga dipengaruhi oleh
persepsi
terhadap
keadilan
yang
ditunjukkan Supervisor. O’Dea (dalam
Yule, Flin & Murdy, 2007) juga menemukan
bahwa komitmen Supervisor terhadap
keselamatan kerja memrediksi dorongan
yang dimiliki karyawan untuk mengambil
inisiatif keselamatan kerja dan mematuhi
aturan.
Selain tingkat organisasi dan kelompok,
Robbins (2005) menambahkan satu
tingkatan analisa dalam menjelaskan
perilaku dalam organisasi, yaitu tingkat
individual.
Setiap
individu
memiliki
keunikan yang mempengaruhi perilaku
mereka dalam bekerja, diantaranya sikap
dan pembelajaran yang sudah dilakukan.
Tingkat analisa ini dapat digunakan untuk
melihat aspek-aspek individual yang
mempengaruhi cara pandang karyawan
terhadap praktek keselamatan kerja dalam
suatu organisasi. Dengan demikian dalam
penelitian ini, praktek keselamatan kerja
akan dianalisa pada tingkat organisasi,
kelompok, dan individu.
Penelitian dilakukan di PT. X, sebuah
perusahaan distribusi alat berat yang
berlokasi di Jakarta. PT. X dipilih karena
sejak pertama kali berdiri, keselamatan
kerja karyawan sudah menjadi perhatian
pihak manajemen. PT. X bahkan memiliki
departemen khusus, yaitu departemen
89
KESELAMATAN KERJA
Environment, Health and Safety (EHS),
yang menangani pengelolaan lingkungan,
kesehatan, dan keselamatan kerja. Upaya
mencegah terjadinya kecelakaan dilakukan
dengan menciptakan lingkungan kerja yang
aman misalnya dengan menyediakan
rambu-rambu keselamatan kerja dan
pengolahan serta pembuangan limbah
menggunakan prosedur dan sarana yang
aman
bagi
karyawan.
Selain
itu,
dicanangkan pula sejumlah program untuk
menciptakan kesadaran berperilaku aman,
misalnya
program
induksi
untuk
keselamatan di tempat kerja, diskusi rutin
tentang keselamatan kerja serta analisis
terhadap kondisi keselamatan kerja.
Meskipun berbagai program keselamatan
kerja telah dilakukan, namun data
perusahaan menunjukkan bahwa walaupun
tingkat kecelakaan memang cenderung
menurun, namun masih sering terjadi
perilaku-perilaku tidak aman. Pengambilan
data khususnya dilakukan di bagian
Workshop sebagai lokasi kerja yang rawan
terhadap
kecelakaan.
Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
mendapatkan
gambaran mengenai praktek keselamatan
kerja dari sudut pandang karyawan
Workshop PT. X. Cabang Jakarta.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif untuk mengeksplorasi secara
mendalam pandangan-pandangan yang
dimiliki karyawan mengenai praktek
keselamatan kerja. Metode pengambilan
data
dilakukan
dengan
wawancara
mendalam (Patton, 2002), sehingga
panduan wawancara dirancang secara
terbuka, diawali dengan pertanyaan umum
seputar sistem dan kebijakan keselamatan
kerja yang diterapkan, dan kemudian
secara
bertahap
mengelaborasi
pandangan,
penghayatan
serta
pengalaman personal terkait praktekpraktek keselamatan kerja. Data dianalisis
secara induktif, melalui proses pemaknaan
data-data yang ada secara sistematis untuk
menghasilkan tema-tema yang dapat
menjelaskan pandangan partisipan tentang
praktek keselamatan kerja (Patton, 2002).
Kredibilitas
penelitian
ini
dijaga
menggunakan teknik argumentatif, dimana
hasil
penelitian
dianalisis
berdasar
kerangka teori yang ada serta hasil studi
lain yang terkait, serta didukung oleh bukti
yang didapatkan dari hasil wawancara
(Poerwandari, 2001).
Responden adalah para mekanik yang
bekerja di Workshop PT. X Cabang Jakarta
dan berstatus sebagai karyawan tetap.
Responden yang dipilih berjumlah tiga
orang
dengan
menggunakan
teknik
pengambilan sampel berdasarkan kasus
tipikal, yaitu responden yang dianggap
memiliki karakteristik dan pengalaman
yang mewakili kelompok yang diteliti
(Poerwandari,
2001).
Dengan
penggunakan teknik sampling tersebut
maka tiga orang responden diasumsikan
memadai untuk mendapatkan pandangan
yang kaya mengenai kebijakan dan praktek
keselamatan kerja yang dialami. Kekayaan
dan kedalaman informasi lebih ditekankan
dalam disain penelitian ini dibanding variasi
berbagai pengalaman dari sumber data
yang meluas (Patton, 2002).
Metode
pengumpulan
data
yang
digunakan adalah wawancara, untuk dapat
menggali pengalaman yang kaya dari
90
NURITA & DAHESIHSARI
Tabel 1
Gambaran Responden
Responden 1
Inisial
AN
Jabatan
Mekanik
Jenis Kelamin
Pria
Usia
33 tahun
Lama Bekerja di 6 tahun
Workshop
Pengalaman
Terjatuh dari
Kecelakaan Kerja
excavator
setiap responden terkait pandangan
mereka tentang kebijakan dan praktek
keselamatan kerja yang dijalani dalam
tugas sehari-hari. Panduan wawancara
disusun berdasar konsep yang dibangun
oleh Zohar dan Luria (2005) yang membagi
iklim keselamatan kerja dalam dua
tingkatan, yaitu tingkat organisasi dan
kelompok. Pertanyaan umum disusun
untuk menggali pandangan terhadap
kebijakan dan praktek keselamatan kerja di
kedua tingkatan tersebut, baik di tingkat
organisasi maupun kelompok. Aspek
organisasi yang digali meliputi antara lain
tentang sistim pengelolaan, kebijakan,
pengawasam dan penegakan aturan, serta
implementasi keputusan di lapangan terkait
dengan keselamatan kerja. Pada aspek
kelompok, digali data tentang perilaku dan
interaksi dengan atasan langsung dan
rekan kerja dalam kelompok yang terkait
dengan keselamatan kerja. Disamping itu
ditambahkan pula tingkatan individu
sebagai aspek yang dipandang juga
berperan dalam pandangan responden
(Robbins, 2005). Aspek individu yang digali
meliputi nilai-nilai yang diyakini karyawan
Responden 2
AS
Mekanik
Pria
24 tahun
3 tahun
Responden 3
GA
Mekanik
Pria
26 tahun
8 tahun
Rekan kerja terkena Terkena
ledakan
piston semburan oli
(responden
terlibat
dalam kegiatan yang
menyebabkan
kecelakaan)
terkait dengan pentingnya memperhatikan
keselamatan kerja, kebutuhan mereka
akan keselamatan kerja, dan kebiasaan
bekerja mereka yang terkait dengan
keselamatan kerja. Di samping itu dalam
wawancara yang dilakukan juga digali halhal lain yang muncul dan bermakna dalam
pandangan responden terkait pengalaman
mereka dalam topik keselamatan kerja
tanpa membatasi hanya secara khusus
pada acuan teori di atas.
Untuk memastikan hasil penelitian yang
akurat dan dapat dipercaya maka dilakukan
beberapa
strategi
dalam
menjaga
kredibilitas
penelitian.
Kredibilitas
komunikatif
dilakukan
dengan
mengkonfirmasi hasil wawancara yang
telah dicatat oleh peneliti (data verbatim)
dengan
masing-masing
responden.
Konfirmasi tersebut dimaksudkan untuk
memastikan bahwa apa yang dicatat oleh
peneliti
sama
dengan
apa
yang
disampaikan
langsung
oleh
setiap
responden. Dengan demikian bukti hasil
wawancara
yang
digunakan
untuk
membangun interpretasi hasil penelitian
dapat
dipertanggungjawabkan
91
KESELAMATAN KERJA
keakuratannya. Di samping itu juga
kredibilitas argumentatif digunakan untuk
memastikan bahwa alur penelitian dapat
dipertanggungjawabkan
berdasarkan
acuan teori dari Zaher dan Luria (2005)
serta Robbins (2005) dan disertai dengan
bukti hasil wawancara yang mendukung
(Patton, 2002).
Hasil
Gambaran responden tampak dalam
Tabel 1.
Iklim Keselamatan Kerja Kelompok.
Berkaitan dengan pelaksanaan praktek
keselamatan kerja dalam tingkat kelompok,
yaitu pada Workshop Cabang Jakarta PT.
X, pandangan karyawan yang menonjol
meliputi hal-hal berikut:
Atasan langsung memberikan perhatian
pada keselamatan kerja di workshop.
Supervisor sebagai atasan langsung
dipandang responden telah memberikan
perhatian
pada
keselamatan
kerja
karyawan di workshop melalui program
seperti briefing pagi harian, mempercepat
diperolehnya peralatan keselamatan kerja,
serta
pengembangan
kemampuan
karyawan terkait keselamatan kerja. Dalam
briefing pagi harian, Supervisor tidak hanya
mengulas pekerjaan yang telah dan akan
dilakukan namun juga mengingatkan
karyawan akan risiko pekerjaan dan
pentingnya keselamatan kerja.
“…sebelum memulai aktivitas aja kita
tiap hari rutin melakukan briefing
pagi…Supervisor
itu
selalu
mengingatkan tentang safety sebelum
melakukan aktivitas pekerjaan. (AS,
Mekanik)
Supervisor
juga berperan dalam
mengupayakan secara cepat tersedianya
peralatan kerja dan alat pelindung diri yang
layak bagi karyawan.
“Kalo misalkan kita mengajukan BAK
[Berita Acara Kerusakan] itu kan kalo ga
berdasarkan
atas
rekomendasi
Supervisor itu kan proses turunnya
lama…kita
masukkan
dalam
briefing…“Pak ini kacamata udah rusak,
tolong di-pushkan lagi biar BAK-nya
cepet keluar”. (AS, Mekanik)
Pengembangan kemampuan karyawan
yang berhubungan dengan keselamatan
kerja, juga dilakukan atasan langsung
misalnya dengan mewajibkan karyawan
mengikuti pelatihan dan lomba tanggap
darurat.
“Disini kan diadakan perlombaan TKTD.
Itu kan tujuannya kan untuk kita
seberapa tanggap kita terhadap terjadi
kecelakaan…Sebelum
perlombaan
pasti
diadakan
training
TKTD
dulu…Supervisor tuh melibatkan semua
karyawan yang disini bisa dapet
kesempatan untuk mengikuti.” (AS,
Mekanik)
Pelibatan karyawan dalam menjaga
keselamatan kerja.
Karyawan juga melihat adanya upaya
Supervisor untuk melibatkan mereka dalam
menjaga keselamatan kerja. Semua
masukan dan pendapat yang diberikan
karyawan terkait upaya mengoptimalkan
keselamatan kerja segera ditanggapi oleh
Supervisor sehingga proses berjalan
dengan cepat.
“Kalo
masukan
sering
banget
92
NURITA & DAHESIHSARI
banyak…Pasti
pertanyaan
gimana
caranya supaya cepet. Cepet selesai,
aman. Kan dari kita masukannya kan.
Karena kita yang mengerjakan.” (AN,
Mekanik)
Tidak adanya sanksi tegas untuk
pelanggar aturan.
Meskipun sudah berupaya untuk
melakukan praktek keselamatan kerja,
Supervisor belum memberikan sanksi yang
tegas dan cenderung hanya menegur dan
mengingatkan karyawan yang berperilaku
tidak aman.
“Di PT. X ini..misalkan kaya kesalahankesalahan kaya itu, ga adanya
hukuman sih Mba.” (AS, Mekanik)
Responden
berpandangan
bahwa
peringatan yang diberikan Supervisor
kurang efektif karena mereka seringkali
tetap lupa akan aturan yang ada.
“..untuk itu, hal yang lupa itu ya. Ngga
efektif, kan sering kita diingatkan, tapi
jika sudah bekerja sering lupa juga…”
(GA, Mekanik)
Menurut karyawan, pemberian sanksi
yang tegas oleh Supervisor perlu dilakukan
agar karyawan lebih disiplin dalam bekerja
dan meminimalisir terjadinya perilaku tidak
aman.
“…mungkin kalo Supervisor lebih ketat
lagi, lebih menegakkan aturan. Jadi kan
orang mungkin berfikir bisa lebih
disiplin. Dan mungkin risiko untuk
terjadinya
pelanggaran-pelanggaran
kan mungkin bisa di-minimize.”(AS,
Mekanik)
Inkonsistensi Prioritas
Kerja oleh Supervisor.
Keselamatan
Di
satu
sisi,
Supervisor
telah
mengupayakan terjadinya perilaku aman
oleh
karyawan
misalnya
dengan
melakukan pemantauan atau inspeksi
keliling di area Workshop secara intensif.
Menurut karyawan, adanya upaya terus
menerus
dari
Supervisor
dalam
mengingatkan tentang keselamatan kerja
dapat mencegah mereka untuk melakukan
perilaku tidak aman.
“Supervisor setiap saat dia bisa ngasih
tau, bukan cuma pagi. Misalnya lagi
keliling Workshop, liat ada yang ga
safety, dia ngasih tau juga. Setiap jam
juga bisa” (AN, Mekanik)
Namun di sisi lain, Supervisor
terkadang mengizinkan dan bahkan
memerintahkan
karyawan
untuk
mengabaikan
perilaku
aman
agar
pekerjaan
terselesaikan,
misalnya
penggunaan alat kerja yang tidak layak
pakai sementara alat baru belum
didapatkan.
“Semacam serabut-serabut kabel-kabel
listrik...dr audit itu kan ga bole
dipake…untuk fasilitas emang stoknya
blum ada. Jadi karena pekerjaan
dituntut lebih cepet, kita tetep
pake…kan
kita
juga
bekerja
berdasarkan aturan Supervisor kan.
Kalo Supervisor mengijinkan ya udah
pake dulu…” (AS, Mekanik)
Supervisor juga terkadang mengetahui
atau bahkan memberikan perintah kepada
karyawan untuk mengoperasikan alat berat
meskipun karyawan tersebut tidak memiliki
ijin. Hal tersebut menyebabkan karyawan
merasa tidak masalah dengan perilaku
tersebut.
“…kita ngga punya SIO [ijin]. Tapi kalo
93
KESELAMATAN KERJA
emang Supervisor membikinkan memo
untuk kita mengoperasikan unit, berarti
kan…udah ada yang nyuruh, ada yang
mau bertanggung jawab…kan ga
disebut kaya inisiatif lagi kan, itu emang
udah perintah.” (AS, Mekanik)
Pelanggaran lain yang dilakukan atas
perintah atasan adalah penempatan lebih
satu unit dalam satu base. Hal tersebut
dapat menyebabkan risiko kecelakaan
akibat area kerja yang sempit, namun tetap
dilakukan karena keterbatasan mekanik
dan
tuntutan
untuk
menyelesaikan
pekerjaan yang diminta oleh pelanggan.
“Ya karena kita juga…keterbatasan
mekanik,
terus
kerjaan
lagi
banyak…dari
customer
banyak
problem…mau ngga mau ya kita harus
nanganin secara langsung untuk
kepuasan customer juga sih.“ (AS,
Mekanik)
Pemberian perintah untuk bekerja tidak
sesuai aturan menurut karyawan dilakukan
Supervisor dengan menimbang risiko.
Keselamatan tetap diprioritaskan dalam
bekerja, namun ada situasi dimana
Supervisor mempertimbangkan besarnya
risiko suatu pekerjaan untuk menentukan
apakah pekerjaan tetap bisa dilakukan
meskipun tidak sesuai aturan.
“…Supervisor juga melihat, dia bisa
melihat seberapa sih risiko bahaya yang
terjadi? Kalo emang ini risikonya besar,
pasti
Supervisor
juga
lebih
bijaksana…Kalo menurut dia emang
bisa, mekanik saya bisa, Supervisor
pasti mereka akan menyuruh untuk
menjalankannya…” (AS, Mekanik)
Selain yang berhubungan dengan
atasan langsung, bagaimana rekan kerja
menjalankan praktek keselamatan kerja
dalam kelompok kerja juga memengaruhi
perilaku aman karyawan.
Perilaku tidak aman rekan kerja.
Terkadang, karyawan sudah mematuhi
aturan keselamatan kerja namun tetap
mengalami kecelakaan akibat perilaku tidak
aman yang ditunjukkan oleh rekan
kerjanya.
“…dia sebenernya bekerja udah
aman…jarak 3 meter itu ada teman
membersihkan
pake
gerinda.
Percikannya itu lari..tau-tau dikira
mungkin apa kotorannya masuk mata,
dia kucek matanya, tau-tau berdarah”
(AS, Mekanik)
Rasa segan karyawan yunior untuk
menegur karyawan senior.
Menurut responden, terdapat pula
perasaan segan yang menghambat
karyawan yunior ketika ingin menegur
karyawan senior yang melakukan perilaku
tidak aman. Terkadang karyawan senior
marah ketika ditegur oleh karyawan junior.
“…Ada yang gampang emosi, ada
yang..kalo diperingatin tuh kaya malah
ngga mau… yunior sama senior untuk
peringati hal safety kan harusnya kan
ga memandang itu. Tapi kan ada aja
orang yang diingetin malah marah.”
(AS, Mekanik)
Iklim Keselamatan Kerja Organisasi
Untuk praktek keselamatan kerja yang
diberlakukan di seluruh perusahaan, halhal yang dipandang menonjol oleh
karyawan adalah:
94
NURITA & DAHESIHSARI
Kepedulian
manajemen
akan
keselamatan karyawan di tempat kerja.
Berbagai program yang dicanangkan
manajemen seperti program induksi
keselamatan kerja bagi karyawan baru,
diskusi rutin tentang keselamatan kerja,
serta pengisian analisis keselamatan kerja
sebelum
memulai
suatu
pekerjaan
dipandang
responden
menunjukkan
kepedulian
manajemen
terhadap
keselamatan kerja mereka.
“Mulai saya awal masuk itu udah
pertama kita induction… disitu kita
pelajari apa sih bahayanya yang ada di
site ini? Kita harus mengenali
lingkungan...itu lebih basic lah.“ (AS,
Mekanik)
“Kemaren dikasih tau kalo ini kita pake
sembarangan kan bahaya nih…Terus
kita bisa langsung ngelakuin, “Oh
kemaren dia perintahin kalo gini dari
EHS harus kaya gini”. Kan jadi tau,
yang aman seperti ini. Tapi jika lebih
sering akan lebih bagus lagi” (AN,
Mekanik)
“…sebelum mengerjakan sesuatu, itu
bikin JSA-nya, Job Safety Analysis-nya
…apa sih risikonya, ataukah terjepit,
terjatuh,
atau
tertimpa…sebelum
pekerjaan dilakukan, JSA itu harus dishare terlebih dahulu.” (AS, Mekanik)
Pelaporan
kecelakaan
yang
tidak
lengkap.
Salah satu upaya lain yang dilakukan
untuk mengurangi tingkat kecelakaan
adalah dengan mewajibkan pelaporan
kecelakaan yang terjadi di Workshop,
khususnya yang menyebabkan hilangnya
jam kerja (Loss Time Injury/LTI), yang
didokumentasikan. Sayangnya kecelakaan
minor yang lebih sering terjadi justru tidak
dilaporkan dan hanya dibahas pada saat
briefing pagi oleh Supervisor. Penilaian
perlu atau tidaknya sebuah kecelakaan
dilaporkan dilakukan oleh manajemen
Workshop.
“Sebenernya sih kalo emang terjadi
banyak
banget
ya,
kaya
kejepit…terpeleset karena penggunaan
alat. Itu kan yang ga ter-record-terrecord itu kan cuman kita masukin di
briefing pagi.” (AS, Mekanik)
Menurut responden, kecelakaan ringan
seharusnya dilaporkan untuk diketahui
penyebabnya dan agar karyawan lebih
waspada terhadap risiko di area kerja.
“…sekecil apapun kecelakaan itu kan
harus dilaporkan…ya lebih untuk
mengantisipasi lagi...lebih kita lebih
waspada lagi ya.” (GA, Mekanik)
Terdapat
juga
kecelakaan
yang
seharusnya
dilaporkan
tetapi
tidak
dilakukan atas keputusan Supervisor.
Kecelakaan yang terjadi juga tidak selalu
dilaporkan karyawan kepada Supervisor,
khususnya untuk kecelakaan minor.
“Kalo pas Supervisor lagi mo kesitu, lagi
inspeksi kesitu bisa tau. Kalo lagi…pas
ngga di tempatnya itu mungkin kalo dia
ngga ada laporan ya jadi ngga tau.”
(GA, Mekanik)
Pengawasan yang kurang intensif.
Para karyawan menilai pengawasan
keselamatan kerja yang dilakukan tidak
intensif.
“Kenyataan aktualnya belum terjadi
disini setiap waktu ada Safety Officer
(SO). Jadi cuman SO mungkin
95
KESELAMATAN KERJA
berkeliling pagi, memantau keadaan,
udah. Cuma kan pagi, siang, sore, itu
kan keadaan berbeda-beda kan…Dan
kecelakaan itu kan ga melihat waktu
kan, kapanpun bisa terjadi.” (AS,
Mekanik)
Supervisor memiliki banyak tanggung
jawab sehingga tidak bisa fokus hanya
pada keselamatan karyawan. Untuk
mengurangi resiko kecelakaan, responden
mengharapkan
karyawan
bagian
keselamatan kerja dapat melakukan
pengawasan
dengan
lebih
intensif,
termasuk dalam menegur karyawan yang
berperilaku tidak aman.
“…Supervisor mungkin ngga cuman ke
safety-nya doang. Karena pekerjaannya
kan banyak banget yang mesti
diurusin…harusnya kan yang lebih
condong ke safety disini kan SO, dia
bisa meng-keep, dalam arti menjaga
supaya keadaan tuh tetep aman. Kalo
misalkan Supervisor lagi ngga ada di
tempat gitu kan.” (AS, Mekanik)
Sayangnya justru menurut responden,
karyawan bagian keselamatan kerja jarang
berada di area Workshop. Selain tidak
intensif dalam pengawasan, jarangnya
mereka berada di workshop membuat
karyawan berpandangan bahwa mereka
kurang
memahami
pekerjaan
yang
dilakukan karyawan Workshop, sehingga
keamanan
kerja
ditekankan
tanpa
mempertimbangkan karakteristik dan target
pekerjaan yang ada.
“…SO kan ga setiap saat. Kalo yang
disini kan dia bisa tau lagi ngerjain apa,
kasarannya gitu lebih tau situasinya
lah.”(AN, Mekanik)
“SO nya tetep safety aja. Ga ada
pandangan..gimana sih cara supaya
bisa kerja lebih cepet? Selesai lebih
cepet? Ga ada. Ini mesti aman, ya
udah. Pokoknya aman aja dia. Kaya
gitu.” (AN, Mekanik)
Terkadang, karyawan merasa kecewa
karena pekerjaan mereka terhenti akibat
keputusan karyawan bagian keselamatan
kerja yang menurut mereka tidak
mempertimbangkan aspek teknis pekerjaan
dan lebih berfokus ada aspek pelaksanaan
kerja secara aman.
“..Kita dituntut pekerjaan selesai. Tapi
menurut SO ngga, ga usah dilakukan.
Itu kan menghambat.” (AS, Mekanik)
Melarang tanpa ada penjelasan.
Kondisi lain yang terjadi adalah perilaku
karyawan bagian keselamatan kerja yang
menurut
karyawan
terkadang
lebih
berfokus pada dokumentasi perilaku aman
dan hanya melarang karyawan untuk
melakukan perilaku tersebut. Perilaku
tersebut tidak diharapkan oleh karyawan,
karena mereka menginginkan karyawan
bagian keselamatan kerja berupaya
menjelaskan kepada mereka mengenai
cara bekerja yang lebih aman.
“Biasanya dia langsung netapkan.
Langsung nge-judge, wah ini ga boleh.
Ini harusnya begini, gitu. Ga ada
timbang-timbang lagi, ga ada.” (AN,
Mekanik)
“Kan image-nya tuh kadang dia suka
maen foto aja kan. Dengan dia
datengin, dia kasih ilmu kita, informasi
kita kan, “Oh itu bakal terjadi ini kalo
kerja ngga safe. ini ngga safe, posisi
ngga safe. Kaya gini. Harusnya seperti
ini kan” Jangan udah foto terus, “Mas itu
96
NURITA & DAHESIHSARI
ntar diganti yah”, jalan, gitu kan. Jangan
sekedar gitu. “Itu ngga aman ini.” Gitu.”
(AN, Mekanik)
Intensitas keterlibatan dalam kebijakan
maupun praktek keselamatan kerja juga
diharapkan oleh para karyawan Workshop.
Hal ini dirasa bermanfaat agar terjadi
pertukaran ilmu antara karyawan bagian
keselamatan kerja dengan karyawan
Workshop. Dengan proses tersebut
diharapkan karyawan bagian keselamatan
kerja dapat lebih memahami mengenai
aspek teknis dari pekerjaan karyawan
Workshop, sementara karyawan dapat
lebih memahami aspek keselamatan kerja.
“..dia kan tau tentang teori, secara
teknisnya dia kan ngga menguasai.
Kalo dia lebih sering disini, dia kan lebih
cenderung terbuka, lebih cenderung
bisa share bareng-bareng belajar. Kita
belajar teorinya, dia belajar teknisnya.”
(AS, Mekanik)
Saling memahami posisi pekerjaan
masing-masing juga dipandang perlu untuk
menghindari adanya perdebatan yang tidak
perlu antara karyawan Workshop dengan
karyawan bagian keselamatan kerja.
“Kalo udah sharing itu kan bisa
menghindari miscommunication ato halhal perdebatan yang ngga perlu
didebatin…” (AS, Mekanik)
Perilaku karyawan bagian keselamatan
kerja yang sekedar melarang karyawan
untuk berperilaku aman tanpa memberikan
solusi pada karyawan memberikan kesan
bahwa mereka hanya menjadi pengawas
dan penindak karyawan yang melakukan
perilaku tidak aman. Akibatnya, karyawan
berperilaku aman karena merasa takut
terhadap karyawan bagian keselamatan
kerja,
bukan
karena
menghindari
kecelakaan.
“Ya kaya polisi aja jadinya...Jadi kita
ntar takutnya pas ada dia doang...” (AN,
Mekanik)
Inkonsistensi Keputusan yang Diberikan
Atasan
Langsung
dengan
yang
diberikan oleh Divisi Keselamatan Kerja.
Inkonsistensi terjadi antara keputusan
yang diberikan oleh Supervisor dengan
karyawan bagian keselamatan kerja terkait
pekerjaan yang dilakukan karyawan.
Supervisor menginstruksikan karyawan
untuk menyelesaikan pekerjaan, sementara
karyawan bagian keselamatan kerja
meminta karyawan untuk menghentikan
pekerjaan karena dianggap tidak aman.
Kondisi ini menyebabkan kebingungan
pada karyawan. Jika menghadapi kondisi
ini, karyawan mengacu pada keputusan
yang diambil oleh Supervisor.
“…Supervisor dia juga menyuruh kita
supaya pekerjaannya selesai...menurut
SO ini ngga aman. Jadi kita kan memilih
kita mau lanjutkan pekerjaan tapi
menurut SO kita ga aman, kita berhenti
itu juga dituntut selesai. Serba salah
mekaniknya kan. Ya kita kembali ke
keputusan
Supervisor
lagi.
Apa
Supervisor mengizinkan ini ato ada cara
lain untuk menyelesaikan kerjaan.” (AS,
Mekanik)
Faktor Individu yang Mempengaruhi
Cara Pandang Karyawan terhadap
Praktek Keselamatan Kerja.
Selain iklim keselamatan kerja pada
tingkat
kelompok
dan
organisasi,
ditemukan sejumlah faktor individual yang
97
KESELAMATAN KERJA
juga
mempengaruhi
cara
pandang
karyawan terhadap praktek keselamatan
kerja.
Kesadaran
akan
pentingnya
keselamatan dalam bekerja.
Para karyawan menyadari pentingnya
keselamatan saat bekerja serta dampak
negatif perilaku tidak aman terhadap
karyawan
secara
pribadi,
misalnya
terjadinya kecelakaan yang menyebabkan
cacat fisik. Perilaku tidak aman juga
disadari dapat berdampak negatif terhadap
pekerjaan mereka, misalnya terhambatnya
pencapaian target akibat kehilangan jam
kerja.
“Ya itu, karena sering denger banyak
terjadi
kecelakaan
karena
ngga
memakai APD, ngga memakai earplug,
melihat banyak sekali orang-orang yang
bekerja itu menjadi cacat karena faktor
accident, kelalaian.” (AS, Mekanik)
Meskipun mementingkan keselamatan
bekerja,
karyawan
juga
merasakan
perlunya
menyeimbangkan
antara
keselamatan
dengan
pelaksanaan
pekerjaan mereka.
“Karena segala sesuatu mau pekerjaan
model apa kan selain hasil maksimal,
kualitas, waktu dicapai, kosong hasilnya
kalo ada sedikit kecelakaan. Karena
memang factor utama safety itu. Tapi
bukan berarti gara-gara safety kerjaan
ketahan. Kan kita mesti tau gimana
caranya, prosedurnya ada.” (AN,
Mekanik)
Prioritas karyawan terkadang lebih pada
produktivitas kerja.
Meskipun telah menyadari pentingnya
menjaga keselamatan kerja, karyawan juga
mengakui bahwa terkadang mereka
menomorduakan keselamatan kerja karena
lebih memprioritaskan produktivitas. Hal ini
disebabkan adanya kebutuhan pribadi
untuk menyelesaikan pekerjaan.
“…saya
lebih
mementingkan
ke
produktivitas. Dalam arti saya lebih
mementingkan pekerjaan ketimbang
saya berfikir tentang safety saya
sendiri.” (AS, Mekanik)
“ Sebenarnya sih kita ingin kerjaan itu
cepet kelar Mba.” (AS, Mekanik)
Kebiasaan berperilaku tidak aman.
Perilaku tidak aman pada umumnya
merupakan kebiasaan yang dimiliki oleh
karyawan, sehingga sulit untuk diubah.
Perilaku tersebut juga belum menyebabkan
terjadinya kecelakaan sehingga dirasa
aman untuk terus dilakukan.
“Ya kebiasaan itu, “Ah kemarin ga papa
kok”,
gitu
kan.
Udah
pernah
pengalaman dia.” (AN, Mekanik)
Terdapat pula anggapan karyawan
bahwa
pelaksanaan
perilaku
aman
menghambat produktivitas kerja, sehingga
mereka memilih untuk berperilaku tidak
aman.
“Saya ngga mau buang [limbah pada
tempatnya]. Karena load kerjaan saya
kan juga banyak.” (GA, Mekanik)
Pengalaman kerja karyawan.
Kecelakaan kerja umumnya terjadi pada
karyawan yang belum menyadari bahaya
yang ada di lingkungannya dan melakukan
suatu tindakan atas inisiatif sendiri tanpa
mempertimbangkan risiko yang ada.
98
NURITA & DAHESIHSARI
Kelelahan fisik karyawan.
Selain adanya keyakinan dan sikap
terhadap perilaku aman, kelelahan yang
dialami oleh karyawan juga dapat
memengaruhi
kinerja
dan
juga
menyebabkan kecelakaan.
“Sebetulnya
sih
kebanyakan
kecelakaan terjadi itu karena faktor
kelelahan… terus badan kondisi yang
ga fit, diem…Ngga tau pas mungkin
disuruh ngangkat berat, dia lagi sakit,
keadaan kondisi yang ga fit kan.
Ngangkat, jatoh, banyak sih kaya
gitu.(AS, Mekanik)
Para karyawan khususnya mekanik
banyak mengunakan tenaga fisik saat
bekerja. Lokasi tempat mereka bekerja
juga cenderung sempit dan alat yang
digunakan banyak yang menghasilkan
panas, sehingga kelelahan mudah untuk
dialami karyawan.
Masih Tingginya Tingkat Kecelakaan
dan Perilaku Tidak Aman di Area
Workshop
Dengan
adanya
praktek-praktek
keselamatan kerja yang diupayakan oleh
pihak
manajemen,
ternyata
masih
ditemukan adanya kecelakaan-kecelakaan
di area Workshop. Kecelakaan yang terjadi
diantaranya
terbentur,
terjatuh
dari
ketinggian, dan terpeleset.
“...yang sering saya alami..kepukul.
Kepukul sama kejedot.” (GA, Mekanik)
Selain kecelakaan, karyawan juga
masih melihat dan melakukan sejumlah
perilaku tidak aman di area Workshop.
Contoh pelanggaran yang dilakukan adalah
merokok di area Workshop, tidak
menggunakan alat pelindung diri, dan
membuang limbah tidak pada tempatnya.
“Sebenernya menurut saya mah ga
boleh
karena
masih
lingkungan
Workshop.
…Cuman
saya
juga
ngerokok disitu…” (AN, Mekanik)
Diskusi
Hasil
penelitian
secara
umum
menunjukkan bahwa aspek-aspek yang
dinyatakan dalam iklim keselamatan kerja
dari Yule, Flin dan Murdy (2007) muncul
pula secara menonjol dalam penelitian ini.
Dengan demikian hasil penelitian selaras
dengan hasil dari studi-studi pada topik
yang sama yang menunjukkan bahwa
peran faktor organisasi, kelompok dan
individu sama-sama penting. Misalnya,
dalam iklim kerja kelompok ditemukan
bahwa walaupun ada perhatian melalui
pertemuan rutin dan fasilitasi yang
dibutuhkan untuk keselamatan kerja,
namun di sisi lain pelanggaran di lapangan
tidak diberikan sanksi yang tegas. Hal ini
yang menyebabkan responden tidak
memandang penting untuk berperilaku
aman di tempat kerja. Pandangan
responden tersebut selaras dengan hasil
studi lain yang menyatakan bahwa belum
adanya sanksi yang tegas bagi karyawan
yang berperilaku tidak aman dapat
menyebabkan karyawan kurang memiliki
dorongan untuk mengubah perilakunya,
dan dapat mengurangi efektivitas praktek
keselamatan kerja. Pendisiplinan karyawan
secara tegas dapat mengurangi tingkat
kecelakaan kerja (Brahmasrene & Smith,
2009).
Temuan lain dalam penelitian ini
99
KESELAMATAN KERJA
menunjukkan bahwa Supervisor selalu
menekankan keselamatan kerja sebagai
prioritas, namun terdapat tindakan dan
keputusan
yang
menunjukkan
lebih
diprioritaskannya produktivitas daripada
keselamatan kerja. Hal ini selaras dengan
hasil studi lain yang menunjukkan bahwa
meskipun
banyak
perusahaan
memromosikan keselamatan kerja dalam
bentuk aturan dan kebijakan formal
organisasi, pada aktivitas sehari-hari
umumnya produksi lebih diutamakan
dibandingkan keselamatan kerja (Zohar
dalam Wallace & Chen, 2006). Jika
karyawan memersepsikan bahwa pihak
manajemen
lebih
memrioritaskan
produktivitas dibandingkan keselamatan
kerja, maka karyawan dapat berasumsi
bahwa mereka lebih baik memiliki prioritas
yang sama (Fleming, Flin, Mearns &
Gordon dalam Diaz & Resnick, 2000).
Inkonsistensi pemberian prioritas dapat
melemahkan iklim keselamatan kerja
kelompok
yang
dipersepsikan
oleh
karyawan (Zohar dalam Zohar, 2002).
Pandangan
responden
tentang
inkonsistensi lain yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah inkonsistensi kebijakan
di tingkat organisasi dan di tingkat
kelompok. Aturan dan larangan di tingkat
organisasi seringkali dipandang oleh
responden kurang memfasilitasi kebutuhan
produktivitas dan kendala yang dihadapi
unit kerja di lapangan. Lemahnya
pemahaman dan perhatian pengambil
kebijakan tentang bagaimana penerapan
aturan keselamatan kerja di dalam kondisi
lapangan yang ada dipandang responden
sebagai
penyebab
dari
terjadinya
inkonsistensi tersebut, yang kemudian
berdampak pada iklim keselamatan kerja
yang dipersepsikan oleh responden. Iklim
keselamatan
kerja
yang
demikian
berdampak pada kurangnya kesadaran
karyawan untuk berperilaku aman dan
memperbesar kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa Karyawan Workshop sudah memiliki
kemauan
untuk
mematuhi
aturan
keselamatan kerja dan menegur rekannya
yang berperilaku tidak aman, yang
berpengaruh terhadap munculnya perilaku
aman. Meskipun begitu, sikap senior yang
tidak mau ditegur dapat mengurangi
perilaku peneguran oleh karyawan yunior
karena mereka merasa bahwa perilaku
tersebut tidak diharapkan. Akibatnya,
perilaku tidak aman dapat terus dilakukan
oleh para karyawan Workshop. Temuan ini
sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
yang menunjukkan bahwa interaksi dengan
rekan kerja membentuk pemahaman
individu mengenai apa yang diharapkan
dari mereka dalam bekerja (Chiaburu &
Harrison dalam Lingard, Cooke, & Blismas,
2011; Hoffman & Stetzer dalam Lingard,
Cooke, & Blismas, 2011).
Temuan tentang pandangan responden
terhadap pelaporan kecelakaan kerja yang
belum menyeluruh juga sesuai dengan
hasil
studi
sebelumnya.
Pelaporan
kecelakaan merupakan salah satu elemen
utama dalam pengelolaan kesehatan dan
keselamatan kerja (Bhattacharya, 2012).
Pelaporan memungkinkan organisasi untuk
belajar dari kecelakaan yang terjadi dengan
menganalisa faktor-faktor penyebab untuk
mencegah terjadinya kecelakaan serupa di
masa depan. Menurut responden, di
100
NURITA & DAHESIHSARI
Workshop tempatnya bekerja, pelaporan
dan pendokumentasian kecelakaan hanya
difokuskan pada lost time injury sementara
insiden yang lebih sering terjadi yaitu
kecelakaan minor dan near miss (kondisi
yang hampir menyebabkan kecelakaan)
tidak terdokumentasi dan terlaporkan
dengan lengkap. Padahal kegagalan untuk
mengenali dan mempelajari tanda-tanda
awal tersebut seringkali menyebabkan
terjadinya kecelakaan yang sifatnya lebih
besar (Sanne dalam Littlejohn, Margaryan,
& Lukic, 2010). Near miss juga umumnya
lebih sering terjadi daripada kecelakaan
besar sehingga lebih banyak kasus yang
bisa dipelajari (Wright & van der Schaaf
dalam Bhattacharya, 2012). Pembelajaran
dari near miss juga menunjukkan sikap
preventif
terhadap
upaya
menjaga
keselamatan dan kesehatan karyawan.
Menurut Lauver, Lester, dan Le (2009),
salah satu alasan karyawan tidak
melaporkan kecelakaan adalah asumsi
bahwa pihak manajemen tidak melakukan
perubahan atau tidak merespon adanya
pelaporan kecelakaan. Kurangnya respon
Supervisor terhadap terjadinya kecelakaan
minor juga dapat menyebabkan karyawan
merasa tidak perlu melaporkan kecelakaan
minor yang dialami.
Di tingkat individu, kepercayaan dan
evaluasi seseorang terhadap konsekuensi
dari suatu perilaku akan menentukan sikap
terhadap perilaku tersebut (Fishbein &
Ajzen, 1975). Para karyawan memiliki sikap
positif terhadap perilaku aman karena
mengetahui dampak negatif yang dapat
dialami jika perilaku tersebut tidak
dilakukan. Meskipun begitu, terdapat aspek
lain yang dapat mengurangi sikap positif
tersebut, yaitu pemberian prioritas pada
produktivitas kerja. Pemberian prioritas
kerja berasal dari kebutuhan pribadi untuk
menyelesaikan pekerjaan, namun juga
dapat dipengaruhi pemberian prioritas oleh
atasan langsung. Sementara itu, perilaku
aman dianggap menghambat produktivitas
kerja. Ditambah lagi, terdapat pandangan
bahwa perilaku tidak aman yang biasa
dilakukan tidak menyebabkan dampak
negatif sehingga aman untuk dilakukan.
Pandangan-pandangan
ini
dapat
menyebabkan menurunnya sikap positif
karyawan terhadap pelaksanaan perilaku
aman sehingga dilakukan pengabaian
terhadap perilaku tersebut. Sikap terhadap
suatu perilaku dapat menurunkan atau
meningkatkan tingkat intensi seseorang
untuk
melakukan
perilaku
tersebut
(Fishbein & Ajzen, 1975). Sikap yang
kurang positif terhadap perilaku aman
dapat menyebabkan karyawan kurang
termotivasi untuk melaksanakan perilaku
tersebut.
Terkait dengan hasil penelitian yang
terkait dengan pengalaman kerja, hal ini
sesuai dengan penelitian Chi dan Wu
(dalam Diaz & Resnick, 2000) yang
menyatakan bahwa risiko terjadinya
kecelakaan
lebih
dipengaruhi
oleh
pengalaman dibandingkan dengan usia.
Karyawan yang baru memiliki pengalaman
kerja kurang dari satu tahun memiliki
tingkat risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami kecelakaan.
Di samping keselarasan dengan hasil
studi sebelumnya di area iklim keselamatan
kerja, penelitian ini menunjukkan bahwa
perspektif pengelolaan perubahan yang
juga
digunakan
sebagai
kerangka
101
KESELAMATAN KERJA
konseptual ternyata dapat diterapkan
dalam menelaah tentang keselamatan
kerja. Perubahan perilaku karyawan dari
perilaku berisiko menjadi perilaku aman
adalah bagian dari perubahan yang perlu
dikelola oleh perusahaan. Tidak hanya
mengandalkan kesiapan di aspek individu
karyawan semata sebagai hal yang
umumnya menjadi perhatian banyak studi
psikologi
tentang
kesehatan
dan
keselamatan
kerja,
sudut
pandang
pengelolaan perubahan yang digunakan
membantu untuk memahami adanya upaya
sistemik yang penting dilakukan. Kebijakan
dan aturan keselamatan kerja, walaupun
dengan
tujuan
yang
baik,
yang
disampaikan pihak manajemen secara
sepihak tanpa melibatkan karyawan
menyebabkan karyawan tidak melihat
manfaat positif dari kebijakan tersebut.
Konsekuensinya, dalam situasi kerja yang
tanpa
pengawasan,
karyawan
tidak
tergerak untuk mengubah perilaku berisiko
mereka
menjadi
perilaku
aman.
Mengundang keterlibatan karyawan dalam
bentuk diskusi tentang aturan dan
kesesuaiannya dengan tantangan serta
kendala di lapangan bisa berdampak positif
yang
mendorong
karyawan
untuk
mengusahakan perilaku aman di tempat
kerja.
Simpulan
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendapatkan gambaran mengenai praktek
keselamatan kerja dari sudut pandang
karyawan Workshop PT. X Cabang
Jakarta. Walaupun berbagai program
sudah diterapkan baik di tingkat kelompok
kerja
maupun
organisasi
yang
menunjukkan
kepedulian
manajemen
terhadap keselamatan kerja karyawan,
namun dalam prakteknya kurangnya
pelibatan karyawan dalam programprogram tersebut, konflik prioritas antara
produktivitas dan keselamatan kerja yang
diterapkan, serta lemahnya pengawasan,
pelaporan yang kurang lengkap dan sanksi
membuat
karyawan
masih
belum
memberikan perhatian yang serius untuk
menjaga perilaku aman di tempat kerja.
Akibatnya, kecelakaan dan perilaku tidak
aman masih sering terjadi.
Mengacu pada pendekatan behavior
based safety dan change management,
kurangnya
keterlibatan
karyawan
menyebabkan mereka lebih ditempatkan
dalam posisi pasif penerima program.
Kesadaran pribadi untuk menjalankan
praktek keselamatan kerja cenderung
minimal dan kedisiplinan hanya terjadi
pada saat dilakukan pengawasan yang
intensif.
Saran
Penelitian ini membahas topik yang
cukup sensitif yang menuntut keterbukaan
responden dalam wawancara. Pendekatan
yang baik membutuhkan waktu yang cukup
panjang sehingga terbangun hubungan
yang terbuka dan saling percaya antara
peneliti dan responden. Keberadaan
peneliti selama beberapa bulan proses
magang
di
perusahaan
tersebut
menyebabkan
ruang
membangun
kedekatan dan keterbukaan tersedia dan
dapat dioptimalkan dalam pengambilan
data penelitian ini. Keterbukaan yang
terjadi membantu peneliti untuk menggali
data yang kaya di lapangan.
102
NURITA & DAHESIHSARI
Namun di samping kekayaan data
karena keterbukaan responden, kekayaan
data sebenarnya juga akan lebih optimal
apabila
pendekatan
peneliti
dalam
wawancara
lebih
berorientasi
pada
eksplorasi pengalaman di lapangan
dibandingkan dengan wawancara yang
mengacu sepenuhnya pada kerangka teori
yang digunakan. Panduan wawancara
yang mengacu sepenuhnya pada kerangka
teori agak membatasi peneliti untuk
menggali data lapangan secara lebih
komprehensif. Walaupun sudah diperoleh
data-data di luar apa yang telah dibahas
dalam teori, namun pengalaman di
lapangan masih memiliki ruang yang lebih
untuk
dieksplorasi
apabila
panduan
wawancara
lebih
diarahkan
pada
pengalaman responden di lapangan secara
nyata dibanding kerangka teoritis.
Di samping itu, mengingat cukup
banyak pandangan responden yang
mengacu pada kebijakan dan aturan
tertentu yang ada di perusahaan terkait
dengan keselamatan kerja, maka penelitian
ini akan lebih komprehensif apabila
dilakukan triangulasi metode dengan studi
dokumen tentang kebijakan, aturan dan
pelaporan keselamatan kerja yang ada.
Triangulasi metode juga bisa dilakukan
dengan pengambilan data menggunakan
metode observasi untuk mengamati
praktek keselamatan kerja dan perilaku
aman karyawan di workshop. Namun
observasi langsung di lapangan memang
mendapatkan kendala mengingat kegiatan
di workshop yang sangat berisiko dari sisi
keselamatan sehingga tidak semua orang
bisa masuk dan melakukan pengamatan di
sana dengan leluasa. Iklim keselamatan
kerja kelompok dan organisasi juga
sebaiknya dilengkapi dengan data yang
bersumber dari atasan dan petugas
keselamatan kerja untuk mendapatkan
sudut pandang yang lebih komprehensif.
Di
luar
hal-hal
yang
perlu
dipertimbangkan dan diperbaiki dalam
penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini
cukup tajam untuk digunakan sebagai
dasar
pengambilan
kebijakan
oleh
manajemen. Kebijakan dan program
keselamatan
kerja
pada
umumnya
menuntut perubahan perilaku karyawan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk
mempermudah
pelaksanaan
perubahan adalah peningkatan pelibatan
karyawan
dalam
program-program
keselamatan
kerja
yang
sudah
dikembangkan. Di samping itu konsistensi
kebijakan di tingkat organisasi dan praktek
pelaksanaannya di lapangan melalui
instruksi atasan langsung perlu dijaga.
Pelaporan seluruh jenis kecelakaan dan
near miss yang dialami di lapangan berikut
sanksi yang lebih tegas yang diberikan
kepada karyawan yang tidak melaporkan
kecelakaan atau berulang kali melakukan
perilaku tidak aman di area kerja perlu
diupayakan untuk menunjukkan komitmen
dalam upaya menjaga keselamatan kerja
karyawan.
Referensi
Ariss, S. (2003). Employee involvement to
improve safety in the workplace: An
ethical
imperative.
Mid-American
Journal of Business, 18 (2), 9.
Bhattacharya, S. (2012). Sociological
factors influencing the practice of
103
KESELAMATAN KERJA
incident reporting: The case of the
shipping industry. Employee Relations,
34 (1), 4-21.
Blair, E. (1999). Behavior-based safety:
Myths, magic & reality. Professional
Safety, 44 (8), 25-29.
Borbidge, D. J. (2007). Fostering
participation in behavior-based safety:
Trust is needed throughout your
organization. ISHN, 41 (1), 58-59.
Brahmasrene, T., & Smith, S. S. (2009).
The influence of training, safety audits,
and disciplinary action on safety
management. Journal of Organization
Culture, Communications and Conflict,
13 (1), 9-19.
Cooper, M. D., & Phillips, R. A. (2004).
Exploratory analysis of the safety
climate and safety behavior relationship.
Journal of Safety Research, 35 (5), 497512.
Cummings, T. G., & Worley, C. G. (2010).
Organizational
development
and
change (9th ed). Canada: SouthWestern.
Desmukh, L. M. (2006). Industrial safety
management: Hazard identification and
risk control. Delhi: Tata McGraw-Hill.
Diaz, Y. F., & Resnick, M. L. (2000). A
model to predict employee compliance
with employee corporates’s safety
regulations factoring risk perception.
Proceedings of the Human Factors and
Ergonomics Society Annual Meeting, 4.
Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief,
attitude, intention and behavior: An
introduction to theory and research.
Massachusetts: Addison-Wesley.
Jamsostek: setiap hari 9 meninggal karena
kecelakaan kerja. (2013). ANTARA
News. Diakses pada 24 April 2013 dari
www.antaranews.com/berita/360749/ja
msostek-setiap-hari-9-meninggalkarena-kecelakaan-kerja
Jeffries, F. L. (2011). Predicting safety
related attitudes in the workplace: The
influence of moral maturity and
emotional intelligence. Journal of
Behavioral and Applied Management,
12(3), 200-216.
Kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi.
(2013, 15 Januari). Metro TV News.
Diakses pada 12 Mei 2013 dari
www.metrotvnews.com/metronews/read
/2013/01/15/2/122976/KecelakaanKerja-di-Indonesia-masih-Tinggi
Lauver, K. J, Lester, S., & Le, H. (2009).
Supervisor support and risk perception:
Their relationship with unreported
injuries and near misses. Journal of
Managerial Issues, 21(3), 327-343.
Lingard, H., Cooke, T., & Blismas, N.
(2011).
Coworkers’
response
to
occupational
health
and
safety.
Engineering,
Construction
and
Architectural Management, 18(2), 159175.
Littlejohn, A., Margaryan, A., & Lukic, D.
(2010). How organizations learn from
safety
incidents:
A
multifaceted
problem. The Journal of Workplace
Learning, 22 (7), 428-460.
Miltersen, M. S. (2009). The relationship
between international management and
organizational behaviour: A comparative
study of the theories and ideas of Geert
Hofstede, and Christopher A. Bartlett
and Sumantra Ghoshal. Tesis, tidak
diterbitkan. Aarhus School of Business,
Aarhus University, Aarhus.
104
NURITA & DAHESIHSARI
Patton, M. Q. (2002). Qualitative research
and evaluation methods. (3rd.ed).
Thousand Oaks: Sage Publications.
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Robbins, S. P. (2005). Organizational
Behavior (11th ed.). New Jersey:
Prentice Hall.
Yule, S., Flin, R., & Murdy, A. (2007). The
role of management and safety climate
in preventing risk-taking at work. [Versi
elektronik]. International Journal of Risk
Assessment and Management, 7 (2),
137-151.
Wallace, C., & Chen, G. (2006). A
multilevel integration of personality,
climate,
self-regulation,
and
performance. Personnel Psychology,
59(3), 529-557.
Zohar, D. (2002). The effects of leadership
dimensions,
safety
climate,
and
assigned priorities on minor injuries in
work groups. Journal of Organizational
Behavior, 23(1), 75-92.
Zohar, D., & Luria, G. (2005). A multilevel
model of safety climate: Cross-level
relationships between organization and
group-level cimates. Journal of Applied
Psychology, 90(4), 616-628.
Zohar, D., & Luria, G. (2010). Group
leaders as gatekeepers: Testing safety
climate variations across levels of
analysis. Apllied Psychology: An
International Review, 59 (4), 647-673.
Alamat surel:
[email protected],
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
2017, Vol. XII, No. 1, 105-117, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
ART THERAPY BERBASIS CBT UNTUK
MENURUNKAN AGRESIVITAS ANAK
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
(ART THERAPY BASED ON CBT TO REDUCE
AGGRESSIVENESS OF CHILD VICTIMS OF
DOMESTIC VIOLENCE)
Yustisia Anugrah Septiani dan Maria Goretti Adiyanti
Universitas Gadjah Mada
Children who had experienced domestic violence will loose affection and coping behaviour other than
violence. They have difficultiesin understanding how to express their emotion. One of them is aggresion.
Aggresive behaviour derived from the result of modelling domestic violence. Art therapy as a means of
children to learn to feel their emotions and cope with their aggressive behaviour through alternative thinking.
The aim of this study is to see the effectiveness art therapy based on Cognitive Behaviour Therapy (CBT) to
lower aggressive behavior in children victims of domestic violence. Research method used was the single
case ABA ad givenin 8 sessions. Subjects are 2 children who had aggresive behaviour and domestic
violence. They lived in a orphanage. Manipultion check used Buss-Perry aggresive scale to measure
intention of child aggresive behaviour. The result showed a decrease in intention of aggression after
treatment. Effect of intervention is measured by visual inspection. The result shows that art therapy can
lower the aggressiveness of the behavior of children in the orphanage. Art therapy could lower the
aggressiveness of the behavior of children.
Keywords: domestic violence, art therapy, CBT
KDRT mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak. Anak terpapar KDRT sehingga kurang mendapat
afeksi dan alternatif perilaku selain kekerasan. Anak menjadi sulit memahami dan mengekspresikan
emosinya. Salah satu bentuk coping dari sulit memahami dan mengekspresikan emosi yaitu agresivitas.
Perilaku agresif berasal dari hasil modeling anak dari kekerasan yang diterima. Art therapy menjadi sarana
anak untuk belajar merasakan emosinya dan mengubah coping agresifnya melalui berpikir alternatif.
Tujuan penelitian untuk melihat keefektivan modul Art therapy berbasis CBT terhadap penurunan perilaku
agresif anak korban KDRT. Penelitian ini dilakukan dengan single-case ABA dan diberikan dalam 8 sesi
selama 1,5-2 jam kepada 2 anak yang tinggal di Panti Sosial Asuh Anak dengan kecenderungan agresif
korban kdrt. Cek manipulasi menggunakan skala agresivitas Buss-Perry untuk mengukur intensi agresivitas
anak. Hasilnya menunjukan adanya penurunan intensi agresi setelah tritmen. Pengaruh intervensi diukur
dengan visual inspection. Hasilnya menunjukan bahwa art therapy dapat menurunkan perilaku agresivitas
anak di dalam panti asuhan.
Kata kunci: KDRT, art therapy, CBT
105
106
SEPTIANI & ADIYANTI
Kekerasan menurut World Health
Organization (WHO) adalah intensi perilaku
yang menggunakan kekuatan fisik atau
kekuasaan
dalam
bentuk
ancaman
terhadap diri sendiri, orang lain, atau
terhadap kelompok yang mengakibatkan
cedera, kematian, kerugian psikologis,
gangguan
perkembangan
atau
perampasan (Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi,
& Lozano, 2002). Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) merupakan hal yang
sensitif dan sering terjadi dalam sebuah
hubungan keluarga. Setiap tahun kasus
KDRT diperkirakan meningkat, namun
masih banyak masyarakat yang tidak mau
melapor
(Gandhi,
2013).
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
mencatat bahwa jumlah kekerasan anak
paling banyak terjadi di dalam lingkungan
keluarga. Mulai dari Januari – Agustus
KPAI 2012 mencatat ada 3.332 kasus.
Wilayah DIY dan sekitarnya juga memiliki
catatan
terhadap
kekerasan
anak.
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Rifka
Annisa (RA) mencatat kekerasan yang
dilakukan oleh anak di bawah umur 18
tahun tahun 2010-2013 sejumlah 42 pelaku
kekerasan usia anak. Tahun 2009 RA
mencatat 209 kasus dengan 6 orang
remaja sebagai korban langsung, 2010 ada
236 kasus, 2011 ada 228 kasus dengan 5
remaja korban langsung, 2012 ada 239
kasus dengan 3 remaja sebagai korban
langsung, 2013 ada 256 kasus, dan 2014
ada 185 kasus. LPA Yogyakarta mencatat
tahun 2013 terdapat 6 kasus KDRT
terhadap anak, tahun 2014 terdapat 11
kasus kekerasan pada anak. Hal ini
menunjukan bahwa setiap tahun terjadi
kasus kekerasan terhadap anak, apabila
tidak
diberikan
penanganan
akan
berdampak pada anak tersebut dan
lingkungan sekitar.
Anak yang mengalami atau sekedar
menyaksikan tindak kekerasan dalam
keluarga menjadi rentan berbuat agresif,
apatis terhadap orang lain, kecemasan
tinggi, sulit untuk bersosialisasi dan tidak
merasa nyaman di dalam rumah (Ah Yoo &
Huang, 2012; Jeevasuthan & Hatta, 2013;
Holmes, 2013; Sim Doh et al., 2012). Pada
anak laki-laki khususnya berpotensi
menumbuhkan perilaku agresif dalam fase
perkembangannya hingga masa dewasa
(Bergen, dalam Hidayat, 2009; Burk, 2008;
Choi & Goo, 2012; Tachie, 2010).
Seseorang yang mengalami kejadian
stressful, panca inderanya menangkap
kejadian
tersebut
kemudian
otak
memprosesnya
lewat
memori
dan
mengirimkan impuls ke seluruh tubuh.
Proses
kognitif
berjalan
bagaimana
seseorang mempersepsikan kejadian itu
sehingga berpengaruh pada regulasi emosi
dan kondisi fisik. Saat anak mendapat
kekerasan baik fisik maupusn psikis yang
berulang kali dari orang terdekatnya maka
ia akan mempersepsikan kejadian tersebut
menjadi peristiwa traumatik dan stresful.
Anak perlu melakukan coping untuk
memulihkan kembali kondisi emosinya jika
kejadianya berulang. Untuk itu anak
menyalurkan
energi-energi
negatifnya
melalui perilaku seperti bertindak agresif
dan jika tidak maka akan menganggu
aspek kehidupan anak seperti prestasi
sekolah menurun, kondisi psikis yang
terganggu, dll.
Agresivitas
adalah
cara
untuk
melampiaskan rasa frustasi dan sarana
107
ART THERAPY
mencapai tujuan untuk sengaja menyakiti,
membahayakan serta mengancam orang
lain (Baron & Byrne, 1991; Berkowitz,
2003). Perilaku agresif merupakan bentuk
simptom dari dampak anak mengalami
kekerasan baik fisik maupun psikis (Hemsi,
2006; Sprinkle, 2007). Rasa frustasi
terhadap figure lekat, penolakan orang tua,
perilaku kekerasan, dan penganiayaan
menyebabkan agresivitas anak muncul
(Berkowitz, 2003). Menurut perspektif
belajar sosial oleh Bandura, perilaku
agresif merupakan perilaku yang dipelajari
dari pengalaman lalu melalui imitasi serta
me-modeling. Proses imitasi membutuhkan
kerja kognitif dalam menangkap informasi
yang masuk dan mempersepsikannya
sehingga anak dapat dapat menyikapi
suatu perilaku (Fantuzzo & Mohr, 1999).
Anak-anak belajar perilaku dari informasi
yang terlihat di hadapan mereka, lalu
mereka menginternalisasi perilaku tersebut
untuk digunakan di lingkungan sosialnya
(Berkowitz, 2003; Simmons., Starsworth, &
Wentzel, 1999). Proses kerja kognitif juga
berkaitan dengan emosi dan perilaku,
sehingga apabila anak melihat kekerasan
sebagai suatu hal yang biasa maka ia
mengalami kesulitan dalam problem
solving.
Art therapy dapat menjadi sarana yang
tepat bagi proses intervensi anak yang
mengalami KDRT. Proses art making
dianggap
sebagai
cara
untuk
berkomunikasi yang menekankan pada
gambar, lukisan, dan ekspresi-seni lainnya
(Farokhi, 2011; Waller, 2006). Anak-anak
dapat
mengkomunikasikan
dan
mengekspresikan perasaan lewat proses
art making seperti: menggambar, melukis,
dan membuat clay (Bishop, 2012; Cristina
& Aneta, 2012; Eaton, Dorhetty, & Widrick,
2007; Farokhi, 2011; Riley, 2001). Art
therapy memfasilitasi klien menggunakan
media seni, proses berpikir kreatif dan hasil
karya seni untuk mengekslorasi perasaan,
mendamaikan konflik emosional, lebih
membuat seseorang aware terhadap
dirinya,
mengelola
perilaku,
mengembangkan
keterampilan
sosial,
meningkatkan
orientasi
realitas,
mengurangi
kecemasan,
dan
meningkatkan harga diri. Art therapy efektif
dalam menangani para pasien disorder
yang memiliki kecenderungan bertindak
kekerasan (Broek, De Vos, & Bernstein,
2011; Malchiodi, 2003). Penelitian lain juga
menunjukan bahwa Art therapy bisa
menjadi sarana belajar anak yang tidak
membosankan untuk menurunkan perilaku
agresif, meningkatkan regulasi emosi dan
sangat efektif bagi anak yang mengalami
peristiwa traumatis karena art therapy bisa
memfasilitasi ekspresi emosi dalam setting
yang aman (Atkinson & Robson, 2012;
Aviv, Regev, & Guttmann, 2014; Bishop,
2012; Brown & Sack, 2013; Samadzadeh,
Abbasi, & Shahbazzadegan, 2013; Khadar,
Bapaour, & Sabourimoghaddam, 2013).
Pemanfaatan seni dapat membantu anak
untuk
mengamplifikasi
hubungan
interpersonal yang belum terselesaikan dan
memungkinkan terapis untuk menyadari
pengalaman
anak
terlepas
dari
kemampuan verbal (Malchiodi, 2003;
Rankanen, 2014).
Anak korban KDRT mengalami banyak
emosi
negatif
sehingga
hal
ini
mempengaruhi
proses
perkembangan
emosi serta kognitifnya. Mereka banyak
108
SEPTIANI & ADIYANTI
Tabel 1
Metode Single-case ABA
Baseline (A)
Tritmen (B)
Baseline (A)
O 1 -O 2 - O 3 - O 4 - O 5 O6- O7
O 1 -O 2 -O 3 -O 4 -O 5 -O 6 O 7 -O 8
O1- O2- O3- O4- O5O 6 -O 7
Tabel 2
Hasil Analisis Interclass Correlation Coefficient Reliabilitas antar Rater Modul
Art Therapy
Intraclass
Correlationa
Single Measures
Average Measures
.662a
.979b
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
.445
.951
.893
.995
Gambar 1. Grafik Perilaku Agresivitas Subjek IK
Gambar 2. Grafik Perilaku Agresivitas Subjek SA
F test with True Value
Value
df1
df2
47.932
47.932
7
7
161
161
109
ART THERAPY
terpapar
pola
perilaku
kekerasan
orangtunya, sehingga mereka memiliki
sedikit alternatif dalam mengelola dan
mengontrol
emosinya.
Anak
pun
mengimitasi perilaku itu dan masuk ke
dalam
belief-nya.
Hambatan
dalam
meregulasi emosi dan belief agresif tadi
memunculkan
pikiran
atau
ide-ide
melakukan perilaku kekerasan dalam
menghadapi stressor. Maka dari itu coping
yang terjadi adalah perilaku agresif, sikap
bermusuhan, dan menghindar.
Art therapy dengan pendekatan CBT
adalah bentuk terapi seni dimana klien
terlibat dalam cara berpikir tentang
masalah
mereka.
Klien
dapat
mempersepsikan masalah mereka dari
perspektif baru melalui gambar dan sadar
terhadap
perasaan
dan
pikiranya
(Alavinezhad, Mousavi, & Sohrabi, 2014;
Malchiodi, 2003). Art therapy CBT
menekankan anak untuk aware terhadap
perasaan dan pikiranya. Proses ini penting
agar anak belajar untuk menerima
pengalaman stresornya lewat habituasi
agar terbentuk coping skill yang baik
(Alavinezhad et al., 2014; Samadzadeh et
al., 2013).
Proses
art
therapy
dalam
mengintervensi anak terletak pada mediasi
ekspresi emosi lewat gambar kemudian
dari gambar tersebut anak diminta untuk
bercerita. Dalam menggambar terdapat
proses ekspresi yang membutuhkan ide
kreatif sehingga melibatkan proses otak
visual cortex, dan keterlibatan fisiologis
seperti
gerakan
tangan.
Ketika
menuangkan
gambar,
anak
dapat
mereduksi tegangan (Malchiody, 2003),
membingkai ulang apa yang mereka
rasakan, menanggapi suatu peristiwa atau
pengalaman, dan bekerja pada perubahan
emosi dan perilaku. Setelah proses
mereduksi tegangan, terapis membimbing
anak untuk merekonstruksi belief system
atau pikiran negatifnya terhadap kekerasan
lewat gambar. Cerita yang keluar dari anak
dapat
melihat
bagaimana
anak
mempersepsi stressor tersebut. Terapis
dapat membantu anak dalam mengubah
distorsi kognitifnya dengan visual coping
seperti bertanya “what if” dan feedback.
Tujuan penelitian ini untuk melihat
kefektifan art therapy terhadap dampak
penurunan agresivitas anak korban KDRT.
Metode
Prosedur dalam penelitian ini yaitu
melakukan preliminary study dengan
mewawancari significant other dan study
literature data sekunder laporan hasil
pemeriksaan psikologis sebelumnya dari
masing-masing subjek.
Desain penelitian menggunakan singlecase A-B-A (Tabel 1). Dasar penelitian
single-case terletak pada pengukuran
observasi yang berulang untuk melihat
keefektifan tritmen setelahnya (Kazdin,
2011).
Metode rating scale dalam
penelitian ini menjadi pengukur jumlah
periaku agresivitas subjek.
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari
dua
orang
anak
laki-laki
memiliki
pengalaman KDRT dengan kecenderungan
perilakua agresif. Instrumen penelitian
adalah: skala agresivitas Buss-Perry
(1992), modul art therapy, dan lembar
observasi perilaku agresivitas. Hasil data
110
SEPTIANI & ADIYANTI
Gambar 3. Grafik Pengukuran Skala Agresivitas Kedua Subjek
skor skala agresivitas dan observasi
perilaku agresivitas kedua subjek diolah
dalam visual inspection. . Validasi
instrumen skala agresivitas menggunakan
profesional judgement dan ujicoba skala.
Analisa hasil profesional judgement
menggunakan aiken’s v. Peneliti juga
melakukan telaah observasi perilaku,
gambar dan perspektif anak selama proses
art therapy.
Modul art therapy berisi 8 sesi
(Alavinezhad et al., 2014) antara lain: sesi
Free drawing, sesi Egg Drawing, Sesi Cave
Drawing, Sesi Family drawing, Sesi Human
Figure, Sesi Best and Worst Self, sesi Bad
Situatuion, dan sesi terminasi. Setiap sesi
dilakukan selama 1,5 - 2 jam pertemuan.
Validasi modul menggunakan beberapa
pengukuran
antara
lain:
profesional
judgement dianalisis dengan Intraclass
Correlation Coefficient dan ujicoba modul
dengan menggunakan kesepakatan antar
rater.
Hasil
validasi
modul
(24
butir)
menggunakan
Intraclass
Correlation
Coefficient (ICC) menunjukan α = 0,979,
artinya ada kesepakatan yang tinggi antar
rater bahwa modul sesuai dengan tujuan.
Analisa hasil profesional judgement
skala agresivitas Buss-Perry (1992)
menggunakan aiken’s V. Aitem skala yang
memiliki v < 0,5 ada dua dan dinyatakan
gugur. Skor daya beda ujicoba skala < 0,25
dengan α = 0,779 (n of items = 31). Rerata
skor total = 59,56 dengan standard
deviation 16,407. Kategorisasi skor empirik
adalah SR sebanyak 3 (5.9%), R sebanyak
13 (25.5%), S sebanyak 18 (35.3%), T
sebanyak 13 (25.5%), dan ST sebanyak 3
(5.9%). Ada 1 (2%) missing.
Grafik
visual
inspection
terlihat
penurunan yang terjadi pada fase baseline,
intervensi dan baseline (setelah intervensi)
(Gambar 1). Pada baseline jumlah rata-rata
perilaku agresivitas subjek IK adalah 3 kali
muncul perperilaku agresif per hari,
sedangkan
saat
intervensi
rata-rata
perilaku yang muncul per hari sebanyak 1
kali, dan setelah intervensi hanya muncul
sekali pada hari ke-4 saja selama 7 hari.
Grafik
visual
inspection
perilaku
agresivitas subjek SA menunjukan adanya
penurunan (Gambar 2). Pada baseline
jumlah rata-rata perilaku agresivitas SA
111
ART THERAPY
adalah 3 kali muncul per hari, sedangkan
pada intervensi rata-rata perilaku yang
muncul per hari sebanyak 2 kali, dan
setelah intervensi muncul 1-2 kali.
Di akhir sesi, terapis selalu memberikan
feedback sebagai penguat apa yang telah
didapat anak selesai sesi. Perubahan
distorsi kognitif terjadi setelah diberikan art
therapy. Hal itu dibuktikan dari cek
manipulasi terhadap kedua subjek dengan
mengisi skala agresivitas Buss-Perry
(1992).
Peneliti
mengukur
intensi
agresivitas kedua subjek pada pre-test I
sebelum
pengukuran
fase
baseline
kemudian pre-test II setelah fase baseline.
Tujuanya untuk mengetahui apakah terjadi
maturitas sebelum diberikan tritmen.
Kemudian post-test dilakukan setelah
proses tritmen selesai. Hasilnya terjadi
penurunan skor skala agresivitas kedua
subjek pada pre-test II dengan post -test.
Subjek SA mengalami penurunan skor
skala Buss-Perry (1992) sebanyak 26 poin
dari pre-test II ke post-test (Gambar 3).
Pada pre-test I dan pre-test II intensitas
agresivitas subjek SA naik 6 poin dan
masih berada dalam kategori sedang ke
tinggi. Pada pre-test II ke post-test intensi
agresivitas subjek SA turun ke dalam
kategori rendah. Subjek IK pada pre-test I
ke pre-test II mengalami penurunan skor
skala agresivitas sebanyak 3 poin,
sedangkan dari pre-test II ke post-test turun
sebanyak 8 poin. Keduanya masih dalam
tarah sedang.
Diskusi
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
art therapy dengan pendekatan CBT dapat
menurunkan agresivitas anak korban
KDRT. Berdasarkan hasil visual inspection
perilaku agresivitas kedua subjek menurun.
Hasil tersebut dikuatkan dengan cek
manipulasi perspektif intensi agresivitas
kedua subjek yang menurun. Pengukuran
cek manipulasi yang berulang tersebut
bertujuan untuk melihat perubahan subjek
terjadi akibat art therapy atau maturitas.
Perubahan intensi agresivitas tersebut
tidak diikuti oleh penurunan perilaku agresif
anak. Hasil visual inspection masingmasing
subjek
menunjukan
bahwa
penurunan perilaku agresif tidak terlalu
tampak.
Harapanya dalam penelitian ini, apabila
intensi
agresivitas
menurun
maka
perilakunya ikut menurun. Peneliti melihat
ada dua aspek yang mempengaruhi
perubahan perilaku yaitu afeksi dan kontrol
modeling anak. Perubahan perilaku terjadi
apabila individu mengalami suatu kejadian
yang dipersepsikan ke dalam kognitif dan
ia rasakan sebagai emosi tertentu. Pada
tritmen art therapy ini masih mengajak
anak untuk menyadari perasaan dan
pikiran yang muncul saat mengingat
kejadian tertentu. Penelitian ini masih
berfokus pada perubahan distorsi kognitif
agar anak mendapat alternatif ide selain
kekerasan Tritmen ini masih sebatas
memfasilitasi pada ekspresi emosi dalam
gambar. Anak belum dapat memaknai
emosi pada setiap peristiwa. Pemaknaan
emosi dalam suatu peristiwa dibutuhkan
proses yang panjang dan dalam,
sedangkan proses art therapy berlangsung
sedikitnya 8 sesi dengan 8 pertemuan.
Selain itu perubahan perilaku biasanya
112
SEPTIANI & ADIYANTI
tidak terjadi dalam waktu yang singkat dan
membutuhkan range waktu 18-265 hari.
Setiap orang memiliki waktu yang berbeda.
Untuk membentuk perilaku menjadi habit
dibutuhkan pula reward eksternal. Semakin
pendek range waktu yang dibutuhkan,
semakin besar pula motivasi dalam diri dan
faktor eksternal yang mendukung (Lally,
Pots, Van Jaarsveld, & Wardle, 2010). Hal
ini tidak dapat terlepas dari faktor eksternal
subjek. Sehari-hari para subjek tinggal
dengan teman-temannya yang memiliki
rendahnya kontrol dari orang dewasa.
Menurut Duru, Redzuan, Hamsan, dan
Sharimin (2015) ada tingkat moderat dari
kelekatan peer grup untuk mempengaruhi
intensi perilaku agresif yang menghasilkan
perilaku. Mereka belum memiliki kontrol
pada diri sendiri atas konsekuensi yang
akan dialami, sehingga apa yang dilihatnya
akan dilakukannya di situasi lainnya.
Rendahnya kontrol dari orang dewasa
membuat mereka tidak tahu apa yang
semestinya dilakukan dan tidak saat
menghadapi situasi-situasi yang kurang
menyenangkan.
Selama proses art therapy dengan
pendekatan CBT, anak diajak untuk
memikirkan
risiko-risiko
intensi
agresivitasnya terhadap lingkungan dan
dirinya melalui proses menggambar. Anakanak yang mengalami KDRT akan
menimbulkan perasaan kurang nyaman
saat menceritakan kembali keluarganya.
Kekerasan
dalam
keluarganya
diidentifikasikan
sebagai
sesuatu
pengalaman
yang
menakutkan
dan
mengecewakan,
serta
menimbulkan
kemarahan pada diri anak. Emosi yang
dirasakan termanifestasi ke dalam perilaku.
Dengan
menggambar,
anak
dapat
mempersepsikan masalah mereka dari
perspektif baru dan menekankan anak
untuk aware terhadap perasaan dan
pikiranya (Alavinezhad et al., 2014;
Malchiodi, 2003). Hal ini terlihat dari sesi
family drawing pada kedua subjek karena
menolak menggambar figur keluarga.
Mereka mengalami kebingungan dalam
merasakan atau menyikapi suatu peristiwa.
Hal ini terjadi karena tidak adanya figur
dewasa yang mengajarkan anak. Hasil art
therapy menunjukan bahwa mereka tidak
paham mengenai emosi yang dirasakan,
hanya tahu peristiwa yang menyertai emosi
tersebut atau perilaku yang tampak,
misalkan emosi sedih disebut sebagai
orang menangis, marah disebut dengan
jika ada orang yang nakal dengan kita, dll.
Mereka akan sulit untuk mengatakan nama
emosi tersebut kecuali jika terapis
memberikan gambar emoticon.
Proses menggambar memunculkan
emosi tertentu pada anak. Gambar dapat
digunakan sebagai media ekspresi. Proses
tersebut dianggap sebagai cara untuk
berkomunikasi yang menekankan pada
gambar dan memfasilitasi proses berpikir
untuk
mengekslorasi
perasaan,
mendamaikan konflik emosional, lebih
membuat seseorang aware terhadap
dirinya,
mengelola
perilaku,
mengembangkan
keterampilan
sosial,
meningkatkan
orientasi
realitas,
mengurangi
kecemasan,
serta
meningkatkan harga diri (Broek et al.,
2011; Farokhi, 2011; Malchiodi, 2003;
Waller, 2006). Cerita yang muncul dari
gambar
merupakan
persepsi
anak
terhadap suatu kejadian. Persepsi anak
113
ART THERAPY
merupakan proses berpikir, sehingga cerita
yang disampaikan anak merupakan media
proses kognitif pada art therapy. Dalam art
therapy teknik pertanyaan “what if”
membantu anak merestruktur distorsi
kognitif, sehingga anak dapat mencari
alternatif
solusi
selain
melakukan
kekerasan. Teknik pertanyaan what if
adalah
teknik
bertanya
dengan
memprobing kalimat yang diucapkan anak
dengan
membalikan
situasi
yang
bertentangan.
Keberhasilan tritmen art therapy ini tidak
terlepas dari kerjasama terapis, peneliti
dengan subjek. Keberhasilan tersebut
terbagi menjadi beberapa aspek yaitu:
minat anak terhadap gambar, perasaan
anak setelah menggambar per sesi,
pemahaman anak mengenai materi baru
yang diperoleh anak, dan anak masih
mempertahankan aktivitas menggambar
meskipun tritmen sudah selesai.
Peneliti melakukan cek minat gambar
sebelum memberikan tritmen art therapy
dengan bertanyan kepada subjek. Hasilnya
para subjek mengatakan tidak keberatan
dengan aktivitas menggambar. Maka dari
itu terapis melanjutkan untuk member
tritmen art therapy. Peneliti juga melakukan
cek emosi subjek sebelum dan setelah
menggambar. Hal ini untuk mengetahui
perbedaan yang diberikan art therapy pada
afeksi anak. Hasilnya anak mengalami
perubahan emosi sebelum dan setelah
menggambar. Perbedaan emosi tidak
hanya emosi senang namun juga emosi
yang kurang nyaman.
Peneliti
perlu
mempertimbangkan
intervensi dari faktor lingkungan anak
sebagai penyebab KDRT. Faktor penyebab
KDRT yang dialami anak berasal dari
berbagai faktor antara lain: faktor internal
yaitu tingkat menghargai antar anggota
keluarga, karakter orangtua atau pelaku
kekerasan yang memiliki coping sosial skiil
yang rendah; dari faktor eksternal seperti
rendahnya
tingkat
sosial
ekonomi,
pendapatan
keluarga;
dari
faktor
situasional ada seperti interaksi dengan
anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut
apabila
tidak
dihilangkan
akan
mengembalikan
perilaku
kekerasan
terhadap anak lagi. Untuk itu peneliti perlu
mempertimbangkan
pula
melakukan
intervensi di keluarga minimal orangtua,
seperti memberikan konseling terhadap ibu
yang dinilai sebagai korban, memberikan
psikoedukasi dalam mengasuh anak, dsb.
Tujuannya untuk mempersiapkan anak
apabila kembali dalam lingkungan keluarga
sehingga orangtua tahu bagaimana
memperlakukan anak tanpa adanya
kekerasan. Penelitian ini masih berfokus
dalam melakukan tritmen terhadap anak.
Secara kode etik psikologi selain
melakukan tritmen terhadap seorang klien,
psikolog
perlu
mempertimbangkan
pemberian tritmen di lingkungan klien agar
tercapai keberhasilan terapi secara holistik.
Keterbatasan
Perilaku agresif dapat menjadi salah
satu alternatif perilaku yang muncul di
lingkungan panti saat berhadapan dengan
situasi
yang
tidak
menyenangkan.
Lingkungan
tempat
tinggal
anak
mempengaruhi perilakunya. Anak-anak
yang tinggal di panti bersama teman-teman
sebaya, teman-teman yang lebih tua serta
jauh dari orang tua membuat anak akan
memodelling perilaku yang tampak.
114
SEPTIANI & ADIYANTI
Perilaku agresif dapat menjadi salah satu
alternatif perilaku yang muncul di
lingkungan panti saat berhadapan dengan
situasi yang tidak menyenangkan. Subjek
melihatnya sebagai cara bertahan hidup
jauh dari figur pelindung (keluarga,
orangtua,
dll).
Untuk
itu
anak
membutuhkan rasa aman dari seorang
figur dewasa, sehingga kedatangan terapis
kepada dapat memenuhi kebutuhan afeksi
dan rasa amanya. Perubahan intensi
agresivitasnya menurun karena attachment
dengan terapis. Hasil tritmen art therapy
tersebut belum dapat digeneralisasikan
pada kasus anak lainnya
Pengukuran perilaku agresif dengan
metode observasi rating scale tidak dapat
melihat perilaku anak pada situasi tertentu.
Subjektivitas observer dalam mencatat
perilaku agresif dan saat mencatat hasil
tritmen setiap sesi masih ada. Untuk
meminimalisir
subjektivitas
tersebut,
peneliti membuat indikator keberhasilan
untuk sesi art therapy dan indikator perilaku
agresif. Namun subjektivitas masih tetap
ada karena masinng-masing observer
mengukur subjek yang berbeda. Peneliti
belum mengukur kesamaan pandangan
antar observer dalam melihat perilaku
agresif.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa penelitian Art therapy
dapat menurunkan perilaku agresivitas
anak korban KDRT. Hal ini terlihat dari
intensitas agresivitas kedua subjek yang
menurun dari hasil skor skala agresivitas.
Hal tersebut terlihat dalam visual inspection
perilaku agresivitas kedua subjek meskipun
tidak banyak penurunan perilakunya.
Art therapy dengan pendekatan CBT
dapat membantu anak merekonstruksi
pikiran yang sebelumnya berpikiran bahwa
kekerasan membuat lega dan dapat
menyelesaikan
masalah
menjadi
kekerasan itu tidak membuat puas dan jika
takut itu berarti banci menjadi harus tetap
berani meskipun takut.
Teknik feedback dan teknik pertanyaan
“what if” dari terapis dapat membimbing
anak menemukan cara lain dalam
mengatasi
situasi
yang
tidak
menyenangkan
selain
melakukan
kekerasan. Maka dari itu Art therapy dapat
membantu anak menemukan alternatif
berpikir bahwa ada cara lain menghadapi
peristiwa yang menimbulkan emosi negatif
selain dengan permusuhan atau kekerasan
yaitu dengan menggambar, bermain bola,
bermain dengan teman yang lain, berbicara
dengan orang yang mengganggu, dan
sholat.
Art therapy membantu anak yang
tadinya sulit mengatakan emosinya ke
dalam kata-kata menjadi lebih sadar
terhadap perasaan dan pikirannya. Cek
emosi dalam yang dilakukan sebelum dan
setelah tritmen membantu terapis mengerti
seberapa
emosionalkan
pengalaman
tersebut bagi anak. Bagi anak sendiri, cek
emosi membantunya untuk lebih sadar
terhadap perasaan dan pikiran saat
menceritakan suatu peristiwa.
Saran
Kehadiran peneliti dan terapis dapat
menjadi supportive grup bagi anak yang
tinggal di panti, yang menjadi bahan
pertimbangan hasil anak dalam art therapy.
Selain itu subjektivitas antar observer dapat
115
ART THERAPY
diminimalisir dengan melakukan cek
kesepakatan antar dua observer pada dua
anak. Peneliti perlu menambah jumlah sesi
atau memperpanjang tritmen art therapy
agar tercapai penurunan intensi dan
perilaku agresivitas yang optimal.
Anak dengan KDRT memiliki regulasi
emosi yang kurang baik sehingga
berdampak pada coping perilakunya. Untuk
itu sangat penting dan disarankan
memberikan psikoedukasi emosi. Psikolog
dengan dibantu oleh pekerja sosial dapat
mengajak
anak
untuk
menyadari
perasaannya dengan menanyakan pada
anak. Gambar emoticon sangat berguna
bagi anak yang sedang dalam tahap
menentukan emosi yang dirasakanya.
Pemberian checking emotion sebaiknya
dilakukan setiap sesi agar anak terbiasa
dengan nama-nama emosi.
Referensi
Ah Yoo, J., & Huang, C. C. (2012). The
effects of domestic violence on children's
behavior problems: Assessing the
moderating roles of poverty and marital
status. Children and Youth Services
Review, 34(12), 2464-2473.
Alavinezhad, R., Mousavi, M., & Sohrabi,
N. (2014). Effects of art therapy on anger
and self-esteem in aggressive. Social
and Behavioural Science, 113, 111-117.
Atkinson, S., & Robson, M. (2012). Arts
and health as a practice of liminality:
Managing the spaces. Health & Place,
18(6), 1348-1355.
Aviv, T. P., Regev, D., & Guttmann, J.
(2014). The unique therapeutic effect of
differen art materials on psychological
aspects. The Arts in Psychotherapy, 41,
293-301.
Baron, R. A., & Byrne, D. E. (1991). Social
psychology:
Understanding
human
interaction. (6th ed). Boston: Allyn &
Bacon.
Berkowitz, L. (2003). Aggression: Its
causes, consequence, and control. New
York: McGraw-Hill.
Bishop, K. (2012). The role of art in a
paediatric healthcare environment from.
Asia Pacific International Conference on
Environment-Behaviour Studies (pp. 8188). Kuching: Social and Behavioural
Science 38.
Broek, E. V., De Vos, M. K., & Bernstein, D.
P. (2011). Arts therapies and Schema
Focused therapy: A pilot study. The Arts
in Psychotherapy, 38, 325-332.
Brown, E. D., & Sack, K. L. (2013). Arts
enrichment and preschool emotions for
low-income children at risk. Early
Childhood Research Quarterly, 28, 337346.
Burk, L. R. (2008). Identification of early
child and family risk factors for
aggressive victim status in the first
grade. Abnormal Child Psychology, 36,
513-526.
Buss, A.H., & Perry, M. (1992). The
aggression questionnaire. Journal of
Personlity and Social Psychology, 63,
452-459.
Choi, S., & Goo, K. (2012). Holding
environment: The effects of group art
therapy on mother–child. The Arts in
Psychotherapy, 39, 19-24.
Cristina, C., & Aneta, F. (2012). How can
we improve the existing assessments
used in art therapy. A meta-analysis on
116
SEPTIANI & ADIYANTI
art therapy assesments. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 33, 358-362.
Duru, C. K., Redzuan, M., Hamsan, H., &
Sharimin, M. I. (2015). Peer attachment
and intention of aggressive behavior
among school children. Journal of
Humanities and Social Science, 20(1),
66-72.
Eaton, L. G., Dorhetty, K., & Widrick, R. M.
(2007). A review of research and
methods used to establish art therapy.
The Arts in Psychotherapy, 34, 256-262.
Fantuzzo, J., & Mohr, W. (1999).
Prevalence and effects of child exposure
to domestic violence. The Future of
Children, 9(2), 21-32.
Farokhi, M. (2011). Art therapy in
humanistic psychiatry. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 30, 2088 2092.
Gandhi, T. (2013, Februari). Dianggap aib
dan makan biaya, korban kekerasan
enggan melapor. Pusat Pelayanan
Terpadu Perempuan dan Anak “Rekso
Diah
Utami”.
Retrieved
from
http://reksodyahutami.blogspot.co.id/201
3/02/dianggap-aib-dan-makan-biayakorban.html
Hemsi, M. H. (2006). What is art therapy.
Journal of Mental Health, 6 (2 & 3), 7870.
Hidayat, R. (2009). Wajah kekerasan:
Analisis atas data kasus kekerasan
terhadap perempuan di Rifka Annisa
Tahun 2000 – 2006. Yogyakarta: Rifka
Annisa Woman Crisis Centre.
Holmes, M. (2013). Aggressive behavior of
children exposed to intimate partner
violence: An examination of maternal
mental health, maternal warmth and
child maltreatment. Child Abuse Neglect,
37,
8,
520-530.
DOI: 10.1016/j.chiabu.2012.12.006.
Jeevasuthan, S., & Hatta, Z. A. (2013).
Behavioural Problems of Children
Exposed to Domestic Violence in Rural
Villages: A Micro Social Work Inquiry in
Piranpattru
Village
at
Chankanai
Divisional Secretariat, Jaffna, Sri Lanka.
Procedia-Social
and
Behavioral
Sciences, 91, 201-207.
Kazdin, A. E. (2011). Single-case research
designs: Method for clinical and applied
setting (2nd ed.). New York: Oxford
University Press.
Khadar,
M.
G.,
Bapaour,
J.,
&
Sabourimoghaddam, H. (2013). The
effect of Art therapy based on painting
therapy in reducing symptoms of
separation anxiety disorder (SAD) in
elementary school boys. Social and
Behavioural Sciences, 84, 1872-1878.
Krug, E. G., Dahlberg, L. L., Mercy, J. A.,
Zwi, A. B., & Lozano, R. (2002). World
report on violence and health. World
Health Organization. Ganeva.
Lally, P., Pots, H. W. W., Van Jaarsveld, C.
H. M., & Wardle, J. (2010). How are
habits form: Modelling habits formation
in real world. European Journal of Social
Psychology,
40,
998-1009.
doi:10/1002/ejsp.614.
Malchiodi, C.A. (2003). Handbook of art
therapy. New York: The Guilford Press.
Rankanen, M. (2014). Clients’ positive and
negative experiences of experiential art
therapy group process. The Arts in
Psychotherapy, 41(2), 193-204.
Riley, S. (2001). Art therapy with
adolescence. Western Journal of
117
ART THERAPY
Medicine, 175(1), 54.
Samadzadeh,
M.,
Abbasi,
M.,
&
Shahbazzadegan, B. (2013). The effect
of visual arts on education of coping
strategies in annoyed children. ProcediaSocial and Behavioral Sciences, 83,
771-775.
Sim Doh, H., Shin, N., Kim, M. J., Hong, J.
S., Choi, M. K., & Kim, S. (2012).
Influence of marital conflict on young
children's aggressive behavior in South
Korea: The mediating role of child
maltreatment. Children and Youth
Services Review, 34(9), 1742-1748.
Simmons, B. J., Starsworth, K., & Wentzel,
H. (1999). Television Violence and Its
Effects on Young Children. Early
Childhood Education Journal, 26(3),
149-153.
Sprinkle, J. E. (2007). Domestic Violence,
Gun
Ownership,
and
Parental
Educational Attainment: How do They
Affect the Aggressive Beliefs and
Behaviors of Children?. Child and
Adolescent Social Work Journal, 24(2),
133.
Tachie, R. M. (2010). Aggression in siblings
exposed
to
domestic
violence
(Unpublished thesis). Department of
Family Social Sciences University of
Manitoba Winnipeg, Ottawa. Retrieved
from
http://mspace.lib.umanitoba.ca/bitstream
/1993/4233/1/Tachie_Rose-Marie.pdf.
Waller, D. (2006). Art therapy for children:
How it leadsto change. Clinical Child
Psychology and Psychiatry, 11(2), 271282. doi: 10.1177/1359104506061419.
Alamat surel:
[email protected]
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
PETUNJUK BAGI PENULIS
1. Artikel dapat berbahasa Indonesia atau berbahasa Inggris.
2. Judul artikel harus spesifik dan efektif, serta tidak boleh lebih dari 14 kata dalam
tulisan berbahasa Indonesia atau 10 kata bahasa Inggris.
3. Artikel harus dilengkapi dengan nama penulis, nama lembaga tempat kegiatan
penelitian dilakukan (universitas, lembaga atau pusat penelitian, atau organisasi
lain), dan alamat korespondensi termasuk alamat e‐mail yang jelas.
4. Artikel harus dilengkapi dengan satu paragraf abstrak berbahasa Indonesia dan
terjemahannya dalam bahasa Inggris. Abstrak harus ditulis secara gamblang, utuh,
dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan.
5. Artikel belum pernah diterbitkan dalam bentuk artikel jurnal, artikel dalam buku,
atau artikel dalam prosiding lengkap.
6. Artikel harus berupa laporan penelitian empiris, kecuali artikel atas undangan
Redaksi (dapat berupa paparan gagasan atau kajian teoritis). Topik artikel harus
dalam bidang psikologi serta relevan dengan perkembangan zaman.
7. Artikel harus dilengkapi dengan kata kunci yang dipilih secara cermat sehingga
mampu mencerminkan konsep yang terkandung di dalamnya.
8. Artikel ditulis dengan sistematika dan pembaban yang baik mengikuti sistem
American Psychological Association (APA). Pembaban tidak boleh menyerupai
penulisan skripsi dengan mencantumkan kerangka teori, perumusan masalah,
manfaat penelitian, saran, dan sejenisnya.
9. Artikel dilengkapi dengan daftar acuan, bukan bibliografi. Perujukan daftar acuan
dalam naskah dan penyusunan daftar acuan mengikuti sistem APA.
10. Diutamakan artikel yang mengedepankan keuniversalan, bukan kenasionalan
apalagi kelokalan.
11. Diutamakan artikel dengan sumber‐sumber acuan yang terbit dalam 10 tahun
terakhir. Pengacuan terhadap karya sendiri yang terlalu banyak dalam satu artikel
seyogyanya dihindari.
12. Khusus untuk penelitian kuantitatif‐survey (non‐psikometri, non‐eksperimen),
penelitian harus melibatkan minimal 3 (tiga) variabel.
13. Penulis membuat pernyataan bahwa artikelnya merupakan hasil karya sendiri, dan
jika didasarkan pada karya lain yang melibatkan penulis/peneliti lain (skripsi, tesis,
disertasi, penelitian kelompok), penulis harus menyertakan pengakuan tentang
kontribusi para penulis lain dan surat izin dari peneliti/penulis lain yang terkait.
14. Penulis akan menerima hasil review dalam waktu maksimal 1 (satu) bulan, dengan
kategori hasil review: (1) Diterima tanpa perbaikan, (2) Diterima dengan perbaikan
(disertai catatan tentang hal‐hal yang harus diperbaiki), (3) Ditolak (disertai alasan
penolakan). Apabila naskah diterima dengan perbaikan, maka penulis wajib
merevisi tulisannya sesuai dengan hasil review maksimal 1 (satu) bulan.
15. Sistematika dan format penulisan artikel (Template dapat diunduh melalui
media sosial Himpsi).
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
JUDUL
(Center)
[Maksimum 14 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul sebaiknya ringkas dan
lugas menggambarkan isi tulisan. Kata pengaruh, hubungan, dan studi kasus sebaiknya tidak
digunakan sebagai judul. Lokasi penelitian dipaparkan di bagian metode, tidak disebut di judul]
Penulis1, Penulis2, Penulis3
[Tuliskan nama lengkap penulis tanpa gelar, instansi tempat penulis bekerja/ belajar, dan alamat
korespondesi (e-mail) penulis]
1,2
Institusi/afiliasi; alamat, telp/fax of institusi/afiliasi
e-mail: *
[email protected],
[email protected],
[email protected]
(Center, Garamond 12 spasi 1)
Abstrak
Kata Kunci
Abstract
Keywords
Abstrak/abstract. Maksimal 150 kata, spasi 1. Abstrak harus jelas, deskriptif dan harus
memberikan gambaran singkat masalah yang diteliti. Abstrak meliputi alasan pemilihan topik
atau pentingnya topik penelitian, hipotesis/tujuan penelitian, metode penelitian (rancangan
penelitian, subjek, alat pengumpul data, dan cara analisis data), ringkasan hasil, dan implikasi hasil
penelitian.
Kata kunci: (dicetak miring, ditulis secara alfabetis) 3-5 kata
Pengantar
(Memuat latar belakang dan rumusan masalah/hipotesis)
Uraikan tentang latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian teori, dan
diakhiri dengan hipotesis (untuk penelitian kuantitatif) atau pertanyaan penelitian (untuk
penelitian kualitatif. Jumlah halaman maksimal bagian pengantar 20% dari keseluruhan halaman
naskah. Bagian Pengantar berisi antara lain: (a) paparan perkembangan terkini bidang ilmu yang
diteliti yang argumentasinya didukung oleh hasil kajian pustaka primer dan mutakhir; (b) paparan
kesenjangan; (c) argumentasi peneliti dalam menutup kesenjangan tersebut sebagai janji
kontribusi penelitian bagi perkembangan ilmu; dan (d) paparan tujuan penelitian.
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
Metode
Memuat rancangan penelitian, subjek/sampel, instrumen/teknik pengambilan data disertai
pertanggungjawaban mutu berupa validitas dan reliabilitas instrumen, dan rancangan analisis data
yang dilengkapi dengan informasi uji asumsi. Untuk penelitian kualitatif, ditambah dengan
pertanggungjawaban refleksivitas
Hasil Penelitian
Hasil penelitian merupakan pemaparan tentang hasil analisis dan pemaknaan dari hasil analisis
data. Untuk studi kuantitatif, selain hasil uji hipotesis, perlu juga mencantumkan statistik
deskriptif. Sementara itu untuk studi kualitatif selain mencantumkan hasil analisis data perlu
dilengkapi dengan kredibilitas data. Jumlah halaman maksimal adalah 20 % dari jumlah halaman
keseluruhan naskah.
Diskusi
Penjelasan mengenai hasil penelitiaan, merupakan pemaknaan secara substansial terhadap hasil
analisis serta telaah kritis terhadap hasil penelitian-penelitian sebelumnya dan literatur terkini
yang relevan (jumlah halaman maksimal 30-40% dari keseluruhan halaman naskah). Berdasarkan
telaah kritis tersebut, peneliti memaparkan potensi kontribusi penelitiannya bagi pengembangan
ilmu atau aplikasi Psikologi.
Kesimpulan dan Implikasi
Kesimpulan berisi rumusan jawaban atas pertanyaan penelitian, keterbatasan penelitian,
kontribusi penelitian atau implikasi dari penelitian ini. dan saran bagi peneliti lain atau praktisi.
Saran
Saran sebaiknya dirumuskan secara kongrit, ringkas dan padat. Saran dirumuskan berdasarkan
hasil penelitian yang sudah diintegrasikan dengan kajian kritis terhadap literatur yang relevan,
konteks penelitian, dan penelitian-penelitian sebelumnya. Saran bisa ditujukan kepada peneliti
lain, praktisi, atau pengambil kebijakan.
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
Daftar Acuan
16. Contoh penyusunan daftar acuan (Semua sitasi di badan naskah harus tercantum di
dalam Daftar Acuan ini):
Buku (urut abjad):
Gibbs, J. T., & Huang, L. N. (Ed.). (1991). Children of color: Psychological interventions with minority
youth. San Fransisco: Jossey‐Bass.
Mitchell, T. R., & Larson, J. R., Jr. (1987). People in organizations: An introduction to organizational
behavior (ed. ke‐3). New York: McGraw‐Hill.
Naskah dalam Buku Suntingan (urut abjad):
Beiser, M. (1985). A study of depression among traditional Africans, Urban North Americans, and
Southeast Asian Refugees. Dalam Kleinman, A. & Good, B. (Eds.), Culture and Depression
(hh.272‐298). London: University of California Press.
Jurnal tanpa Digital Object Identifier (doi) (urut abjad):
Bjrok, R. A. (1989). Retrieval inhibition as an adaptive mechanism in human memory. Dalam H. L.
Roediger III & F. I. M. Craik (Ed.), Varieties of memory & consciousness (hh. 309‐330).
Kandel, E. R., & Squire, L. R. (2000, 10 November). Neuroscience: Breaking down scientific barriers to
the study of brain and mind. Science, 290, 1113‐1120.
Mellers, B. A. (2000). Choice and the relative pleasure of consequences. Psychological Bulletin, 126,
910‐924.
VandenBos, G., Knapp, S., & Doe, J. (2001). Role of reference elements in the selection of resources
by psychology undergraduates. Journal of Bibliographic Research, 5, 117‐123.
Jurnal dengan Digital Object Identifier (doi) (urut abjad):
Herbst‐Damm, K. L., & Kulik, J. A. (2005). Volunteer support, marital status, and the survival times of
terminally ill patients. Health Psychology, 24(1), 225‐229. http://dx.doi.org/10.1037/0278‐
6133.24.2.225
Naskah dari harian/mingguan/bulanan (urut abjad):
a. Ada penulis
Yossihara, A. (2008, 17 Mei). Banten lama, tak sekadar wisata ziarah. KOMPAS, h. 27.
b. Tidak ada penulis
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
Sektor industri mulai menggeliat. (2008, 17 Mei). KOMPAS, h. 21.
Naskah dari majalah online (urut abjad):
Clay, R. (2008, June). Science vs. ideology: Psychologists fight back about the misuse of research.
Monitor on Psychology, 39(6). Diunduh dari: http://www.apa.org/monitor/ tanggal 10 Agustus
2012.
Naskah dari Internet (urut abjad):
Rinholm, J. (2001). Classroom behavior strategies: Helping children stay on task. Diakses pada
tanggal 28 Maret 2001 dari http://members.home.net/jrinholm/Tidbits/offtask.htm.
Skripsi, Tesis atau disertasi yang tidak dipublikasikan (urut abjad):
Wilfley, D. E. (1989). Interpersonal analyses of bulimia: Normal‐weight obese. Disertasi doktor yang
tidak diterbitkan, University of Missouri, Columbia.
Naskah dari universitas yang tidak dipublikasikan (urut abjad):
Nuryati, A., & Indati, A. (1993). Faktor‐faktor yang memengaruhi prestasi belajar. Naskah tidak
dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Naskah yang disajikan dalam pertemuan ilmiah(urut abjad):
Ruby, J., & Fulton, C. (1993, Juni). Beyond redlining: Editing software that works. Sesi poster disajikan
dalam pertemuan tahunan the Society for Scholarly Publishing, Washington, DC.
Ryder, A. G., Yang, J., Yao, S., Zhu, X., Yi, J., & Bagby, R. M., (2006, July). Depression in China and
Canada: Does alexithymia modify cross‐cultural presentation of symptoms?. Paper disajikan
dalam konvensi dua tahunan the International Association for Cross‐Cultural Psychology ke‐18,
Spetses, Yunani.
Naskah dalam proses publikasi (urut abjad):
Zuckerman, M., & Kieffer, S. C. (dalam proses penerbitan). Race differences in faceism: Does facial
prominence imply dominance? Journal of Personality and Social Psychology.
Sumber dari media massa (urut abjad):
Hillsdale, NJ: Erlbaum.Crystal, L. (Produser Pelaksana). (1993, 11 Oktober). The MacNeil/Lehrer news
hour [Tayangan televisi]. New York dan Washington, DC: Public Broadcasting Service.
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
Scorsese, M. (Produser), & Lonergan, K. (Penulis/Sutradara). (2000). You count on me [Film].United
States: Paramount Pictures.
Shocked, M. (1992). Over the waterfall. Dalam Arkansas traveler [CD]. New York: PolyGram Music.
Diunduh 13 Oktober 2001, dari http://jbr.org/articles.html