Academia.eduAcademia.edu

PIARA Indonesia: Kondisi Faktual Muslim Rohingya Miyanmar

KONDISI FAKTUAL ROHINGYA DI INDONESIA Heri Aryanto, SH Direktur PIARA Indonesia menjadi salah satu tujuan orang Rohingya karena Indonesia merupakan negara mayoritas muslim yang diharapkan dapat menjadi tempat berlindung yang aman untuk Rohingya. Persebaran kedatangan Rohingya di Indonesia memang semuanya tidak langsung melalui Myanmar menuju Indonesia. Dari wawancara yang dilakukan oleh Penulis kepada beberapa orang Rohingya yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi Belawan, Medan dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yaitu Pertama Rohingya sampai di Indonesia melalui Malaysia (setelah bertahun-tahun menetap di Malaysia), dimana alasannya hijrah ke Indonesia karena di Malaysia tidak bisa mendapatkan pendidikan dan berharap mendapatkan penghidupan yang lebih baik serta berharap bisa menjadi WNI dengan jalan menikahi wanita Indonesia. Kedua, Perahu Rohingya terdampar di Indonesia dari Myanmar karena tujuan sebenarnya adalah negara Malaysia atau Australia (berlayar dengan cara tradisional). Ketiga, Rohingya dibohongi oleh Tekong yang menjanjikan akan memberangkatkan ke Australia (dari Malaysia atau Myanmar). Dalam persebaran kedatangan di Indonesia, Rohingya terdampar di beberapa wilayah di Indonesia baik karena ditangkap maupun sengaja menyerahkan diri kepada pihak Imigrasi Indonesia yang wilayahnya dekat dengan Malaysia atau Myanmar, yaitu antara lain di Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Batam (Kepulauan Riau), dan ada juga yang ditemukan dan ditangkap di Kupang – NTT, Serang- Banten, dan Banyuwangi – Jawa Timur. Kondisi Rohingya yang kelaparan memang membuat mereka akhirnya sengaja menyerahkan diri ke pihak imigrasi dengan harapan bisa mendapatkan makanan dari pihak Imigrasi Indonesia, meskipun beberapa imigran Rohingya yang hijrah ke Indonesia dengan harapan mendapatkan perlindungan dan kondisi yang lebih aman serta penghidupan yang lebih baik. Nanggroe Aceh Darussalam Aceh merupakan daerah utama hadirnya Rohingya di Indonesia karena secara geografis wilayahnya paling dekat dengan Myanmar, Malaysia dan juga Thailand. Menurut hasil data yang didapatkan dari Kanwil Kemenhukham Aceh dan Komnas HAM Aceh bahwa daerah-daerah tempat kehadiran Rohingya di Aceh yaitu antara lain di Pulau Sabang, Louksemawe, dan Idi Rayeuk, Aceh Timur. Pulau Sabang sebagai bagian dari wilayah Aceh merupakan tempat dimana Rohingya banyak ditemukan dan ditangkap oleh pihak Imigrasi. Tercatat berdasarkan keterangan pihak Kanwil Kemenhukham Aceh, beberapa gelombang perahu/boat orang Rohingya ditemukan dan ditangkap di Sabang. Dari data Komnas HAM Aceh sebanyak 193 Rohingya yang ditangkap di Sabang. Selain di Sabang, Rohingya juga ditemukan dan ditangkap di Louksemawe sebanyak 55 orang yang kesemuanya laki-laki. Yang tertua berusia 47 tahun bernama Abdul Majid dan yang termuda berusia 10 tahun bernama Nurul Hafez. Sedangkan di Idi Rayeuk menurut Komnas HAM Aceh ditemukan dan ditangkap sebanyak 173 orang Rohingya. Mereka ditampung sementara di kantor Camat Idi Rayeuk. Di Idi Rayeuk, selain Rohingya juga ada imigran Bangladesh sebanyak 58 orang. Ketika di wawancara oleh Komnas HAM, imigran Bangladesh bersedia dipulangkan ke negara asalnya sedangkan Rohingya tidak bersedia karena alasan keamanan dan kondisi mencekam di negaranya. Sedangkan di Kabupaten Nagan Raya, yang jaraknya kurang lebih 300 km dari Banda Aceh ditemukan imigran gelap yang setelah diklarifikasi langsung ke kantor imigrasi Meulaboh ternyata imigran tersebut asal Srilangka sebanyak 55 orang yang telah dipulangkan ke negara asalnya. Secara formal pada tanggal 28 Januari 2013, di Aceh sudah tidak ada lagi Rohingya yang ditampung karena sudah dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) terdekat antara lain Rudenim Medan- Belawan, Sumatera Utara dan Rudenim Tanjung Pinang di Kepulauan Riau. Namun, secara factual ada beberapa Rohingya yang kemudian melarikan diri atau berbaur dengan penduduk setempat. Pada bulan Januari 2013, di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Timur ditemukan dan ditangkap seorang Rohingya bernama Mohamed Khan bin Roshid Ahmad, yang telah memegang kartu pengungsi UNHCR dari Malaysia. Alasan kaburnya Mohamed Khan dari Malaysia karena ingin bergabung dan tinggal dengan anggota keluarganya (isterinya WNI), berharap dapat diakui sebagai WNI, ingin menyekolahkan anak-anaknya, tekanan politis dan ekonomis dari Negara yang ditinggalkannya, ingin mencari penghidupan yang lebih baik dan bermartabat, dan ingin alih status pengungsi dari pengungsi UNHCR Malaysia menjadi Pengungsi UNHCR Indonesia. Namun, kondisi aktual pada riset kedua di Aceh pada tanggal 1- 4 Maret 2013 sebanyak 121 Rohingya yang terdiri dari 99 laki-laki, 6 perempuan, 14 anak-anak, dari total 131 orang (12 orang tewas tertembak), ditampung di Keimigrasian Louksemawe. Di Langsa – Aceh, Rohingya yang ditampung sebanyak 63 orang yang terdiri dari 1 balita dan 13 anak-anak, 10 perempuan, dan 39 laki-laki. Kondisi mereka sangat memprihatinkan terutama anak-anak. Menurut pengakuan Farid Alam (Pengungsi Rohingya di Penampungan Imigrasi Louksemawe) dan Abdul Hakim (52) (Pengungsi Rohingya di penampungan Langsa), mereka menempuh perjalanan laut yg berbahaya dari Myanmar selama 23 hari dengan perahu “butut” dan makanan yg tidak mencukupi. Satu perahu “butut” tersebut dinaiki oleh 121 orang (Louksemawe) dan 63 orang (Langsa). Dan akhirnya mereka pun banyak yang meninggal di tengah laut. Tidak hanya itu, mereka juga ditembaki ketika mereka melewati perairan Thailand. Banyak yang selamat, tapi tidak sedikit yang tewas tertembak (10 orang tewas tertembak). Mereka pun “digiring” ke sebuah pulau yang tidak berpenghuni, mesin-mesin boat dicopot, makanan dan minuman diambil, dan akhirnya dilepas kembali ke tengah laut dengan minuman dan makanan yang sangat sedikit. Perjalanan laut yg berbahaya tersebut membuat mereka akhirnya sampai di tengah perairan Indonesia. Menurut Jamaludin dan Azwar, Nelayan yang menyelamatkan Rohingya di perairan selat malaka, kapal boat Rohinya ditarik ke daratan terdekat selama 12 jam. Mereka dalam keadaan kelaparan berhari-hari, sehingga nelayan Indonesia tersebut memasakkan nasi dan ikan untuk Rohingya. Bahkang, “saking” laparnya, anak-anak Rohingya memunguti dan memakan butiran-butiran beras yang ada kapal nelayan. Kedua kapal yang ditemukan di perairan selat malaka dibawa ke daratan dan Rohingya (121 orang) dibawa ke Louksemawe dan Rohingya (63 orang) dibawa ke Idi Rayeuk kemudian dibawa ke Langsa. Hasil temuan lanjutan di Ladong, Aceh besar pada tanggal 11 April 2013, ditampung sebanyak 74 Rohingya yang sebelumnya terdampar di Pulau Aceh. Dari 74 tersebut, 5 diantaranya perempuan, 5 anak-anak, dan 64 laki-laki. Menurut pengakuan Musa, satu-satunya Rohingya yang bisa berbahasa Inggris, mereka menempuh perjalanan laut selama 10 hari dan mereka tidak mempunyai tujuan, mereka hanya ingin keluar dan menyelematkan diri dari Myanmar. Medan, Sumatera Utara Di Medan, Sumatera Utara, Rohingya yang ditampung di Rudenim Medan sebagian besar merupakan Rohingya yang sebelumnya ditampung di Aceh. Mereka dipindahkan dari penampungan sementara di Aceh ke Rudenim Medan, Sumatera Utara dan Rudenim Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Saat dilakukan pencarian fakta ke Rudenim Medan, terdapat 84 deteni asal Myanmar, 45 rohingya dan 39 Myanmar non Rohingya. Dari 45 Rohingya, 31 orang laki-laki dewasa dan 5 anak laki-laki, 5 perempuan dewasa dan 4 perempuan anak-anak. Yang paling muda berusia 8 (delapan) bulan bernama Nur Elhan. Nur Elhan merupakan anak kedua dari pasangan Nazirudin dan Lily Jan. Nazirudin sendiri telah lama tinggal di Malaysia selama lebih kurang 23 tahun. Mereka menikah di Malaysia dan telah mempunyai kartu pengungsi dari UNHCR Malaysia. Nazirudin memutuskan meninggalkan Malaysia dan menuju Indonesia karena di Malaysia anak-anak Nazirudin yaitu Nur Elhan (8 bulan) dan Nur Bibi Jan (4 tahun) tidak bisa bersekolah sehingga Nazirudin memutuskan ke Indonesia dengan harapan anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan di Indonesia. Kondisi ruangan penampungan di Rudenim Medan memang secara fisik seperti Rutan dengan ruang-ruang sempit dan dilengkapi jeruji besi. Kamar yang berukuran lebih kurang 2 x 4 meter itu sedianya ditempati 3 orang, namun karena terbatasnya ruangan, maka satu karena kamar ditempati 6 orang deteni. Bahkan jumlah deteni 266 orang sudah melebihi kapasitas Rudenim, bahkan rumah dinas kepala Rudenim yang berada disebelah kamar-kamar deteni akhirnya ditempati oleh keluarga Nazirudin dan anak-anaknya yang masih sangat kecil. Secara operasional Rudenim Medan memiliki anggaran yang terbatas untuk penanganan deteni. Oleh karenanya, pelaksanaan operasional harian Rudenim Medan dibantu oleh lembaga intergovernmental IOM (International Organization for Migration). IOM dan UNHCR pula yang melakukan assestment terhadap para imigran Rohingya mengenai pemberian status pengungsi internasional. Di Medan, bagi Rohingya yang sudah mendapatkan status Pengungsi Internasional dari UNHCR dapat tinggal di luar Rudenim. Mereka tinggal di Jalan Cempaka, di Hotel Melati dan Hotel Pelangi di Padang Bulan. Setiap bulannya mereka mendapatkan “uang saku” dari IOM yang besarannya kira-kira 1,2 juta perorang per bulan. Mereka yang tinggal di luar Rudenim bisa beraktifitas seperti warga biasa lainnya sambil menunggu kepastian penempatan ke Negara ketiga. Sedangkan bagi mereka yang berada di dalam Rudenim, mereka menunggu assestment dari UNHCR dan IOM. Selama di Rudenim mereka mendapatkan fasilitas makan, kesehatan, konsultasi dari IOM dan UNHCR. Namun, dalam prakteknya proses assestment dan penempatan ke Negara ketiga tidaklah mudah. Ada deteni Rohingya yang telah 3 tahun sebagai deteni Rudenim Medan dan belum mendapatkan status pengungsi dari UNHCR, bahkan ada deteni Bangladesh yang telah 7 tahun berada di Rudenim Medan. Tanjung Pinang, Kepulauan Riau Pencarian fakta di Rudenim Tanjung Pinang dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2013. PIARA diterima baik oleh Kepala Rudenim Tanjung Pinang Bapak Surya Pranata, SH, MH. Di Rudenim Tanjung Pinang, jumlah imigran Myanmar pada saat PIARA mengunjungi Rudenim Tanjung Pinang tercatat berjumlah 92 orang, laki-laki dewasa 86 orang dan anak laki-laki 4 orang. Dari 92 orang Imigran Myanmar 73 di antaranya adalah Rohingya, yang kesemuanya adalah laki-laki. 55 orang diantaranya adalah deteni yang pindahan dari Louksemawe, 9 orang dari Imigrasi Batam dan 9 orang dari Imigrasi Serang, dimana 21 orang Rohingya telah mendapatkan status pengungsi dari UNHCR Indonesia. Bedanya dengan Rudenim Medan, Rohingya yang telah mendapatkan status pengungsi tetap berada di dalam Rudenim dan tidak diizinkan keluar Rudenim atau tinggal di luar Rudenim. Mereka menunggu penempatan ke negara ketiga di dalam Rudenim, dimana di dalam Rudenim Tanjung Pinang disediakan fasilitas makan, olahraga, dan hiburan yang semuanya didanai oleh IOM. Secara fisik Rudenim Tanjung Pinang sama dengan Rudenim Medan. Ruangan Detensi dibatasi jeruji besi sehingga secara kasat mata Rudenim yang terlihat seperti penjara, meskipun kekebasan bergerak para deteni tidak dibatasi di dalam Rudenim tersebut. Deteni bisa berolahraga dengan bebas di dalam Rudenim bersama deteni lainnya. Makan yang disediakan menurut penuturan pegawai Rudenim Tanjung Pinang adalah berasal dari IOM. Deteni Rohingya yang paling muda bernama Mohammed Zakir berusia 10 Tahun. Dia keluar dari Myanmar bersama orang sekampungnya. Sedangkan orang tuanya masih berada di Myanmar. Dia tidak bisa berbahasa Inggris maupun Melayu dan telah tinggal di Rudenim selama 1 tahun. Dia ditangkap bersama 55 orang Rohingya lainnya di Louksemawe dan mulai ditampung Rudenim sejak 23 Februari 2012. Sedangkan Amir Hussin (16 Tahun) dan Hamidul Rahman (22 tahun) yang ditangkap oleh pihak imigrasi Batam, telah berada di Rudenim Tanjung Pinang sejak 08 Maret 2012. Keduanya bisa berbahasa Melayu meskipun tidak secara jelas karena sebelum ke Indonesia, keduanya telah tinggal di Malaysia dan mendapatkan status Pengungsi dari UNHCR Malaysia. Alasan mereka meninggalkan Malaysia adalah karena ingin mendapatkan penghidupan lebih baik di Indonesia. Indonesia sebagai Negara mayoritas muslim diharapkan bisa membantu mereka dan memberikan rasa aman bagi mereka. Sedangkan alasan mereka meninggalkan Myanmar menuju Malaysia adalah karena kondisi mencekam dan tidak aman di Myanmar. Mereka berlayar menggunakan perahu/boat sebanyak 30 orang lebih satu perahu dan berlayar selama 8 (delapan) hari. Sebelum berangkat mereka telah “patungan” untuk membeli bahan makanan dan bahan bakar mesin boat. Permasalahan Rohingya di Indonesia Permasalahan yang dapat dielaborasi dari data-data hasil pencarian fakta tentang kondisi aktual Pengungsi Rohingya di Aceh, Medan, dan Tanjung Pinang antara lain muncul dari dalam maupun dari luar. Pertama, permasalahan yang muncul dari dalam antara lain bahwa Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki regulasi yang jelas mengenai penanganan pengungsi internasional dan Indonesia bukan termasuk Negara anggota peratifikasi Konvensi Wina tahun 1951 dan Protokolnya tahun 1967 tentang Status Pengungsi sehingga Indonesia tidak mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk mengambil tindakan internasional terhadap Imigran Rohingya yang masuk ke Indonesia. Implikasinya, Indonesia hanya bisa menampung para imigran tersebut sampai batas waktu maksimal 10 (sepuluh) tahun tanpa bisa dan tidak mempunyai hak melakukan tindakan lebih lanjut terkait status imigran Rohingya yang masuk ke wilayah Indonesia tersebut. Terlebih lagi Indonesia tidak mengenal istilah pencari suaka maupun pengungsi, dimana orang asing yang undocumented yang masuk ke wilayah Indonesia dikategorikan sebagai illegal imigrant. Dapat dipahami mengapa Indonesia sampai dengan saat ini belum mau meratifikasi Konvensi tersebut. Prinsip yang dianut keimigrasian Indonesia adalah bahwa orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia harus memberikan manfaat buat Indonesia, bukan sebaliknya “menyusahkan Indonesia”. Indonesia khawatir apabila meratifikasi konvensi tersebut akan berdampak pada stabilitas keamanan dan tanggung jawab Indonesia mengurus warga Negara lain yang datang untuk mencari suaka (asylum seeker). Para Imigran akan “berbondong-bondong” datang ke Indonesia untuk mencari suaka apabila Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina tersebut. Namun, demikian meskipun Indonesia bukan sebagai Negara anggota peratifikasi Konvensi Wina 1951, tetapi sebagai masyarakat internasional Indonesia tidak bisa menolak secara sewenang-wenang imigran yang datang meminta suaka, terlebih apabila kondisi keamanan di Negara asalnya tidak memungkinkan para imigran tersebut untuk kembali ke Negara asalnya. Inilah yang kemudian menjadi dilema Indonesia dalam menangani imigran yang masuk ke Indonesia. Karenanya kemudian, para imigran yang ditampung dan ditahan di Rudenim bisa sampai bertahun-tahun tinggal di Rudenim karena lamanya proses assestment yang dilakukan oleh UNHCR terhadap imigran Rohingya untuk mendapatkan status sebagai pengungsi internasional. Di samping itu pula, kedatangan orang Rohingya ke Indonesia tidak serta merta di kualifikasikan sebagai Pengungsi, karena seseorang dikategorikan sebagai pengungsi internasional harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Wina tahun 1951 tersebut. Orang Rohingya yang ada di Indonesia dikategorikan sebagai Imigran Pencari Suaka. Statusnya sebagai imigran pencari suaka tentunya berbeda dengan status sebagai pengungsi internasional baik secara hak maupun kewajiban. Ketidakjelasan status imigran Rohingya yang masuk ke Indonesia berkontribusi terhadap lamanya proses assestment terhadap Rohingya untuk mendapat status sebagai Pengungsi Internasional. Dalam prakteknya, meskipun tidak meratifikasi Konvensi Wina 1951, Indonesia mengimplementasikan dalam beberapa peraturan administratifnya mengenai penanganan pengungsi secara subtansial yaitu antara lain Surat Edaran Perdana Menteri No. 11/RI/1956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik, Keputusan Presiden No. 38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam, Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, dan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor : M.05.H.02.01 Tahun 2006 tentang Rumah Detensi Imigrasi. Namun peraturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, kondisi Rudenim yang dibatasi dengan jeruji besi dan kawat-kawat besi di atas pagar seperti halnya sebuah lembaga pemasyarakatan (LP) sehingga terlihat dan sangat dirasakan oleh Rohingya sebagai bentuk perlakuan yang melanggar HAM. Padahal mereka datang ke Indonesia untuk tujuan mencari suaka dan bukan karena melakukan tindakan kriminal. Seharusnya dibentuk dan ditetapkan sebuah altenative detention seperti kawasan khusus (Pulau Galang di Kepri pernah dijadikan kawasan khusus sementara bagi pengungsi vietnam) yang lebih manusiawi dan pengungsi bisa menjalankan aktivitasnya seperti bekerja dan bersosialisasi sebagaimana manusia pada umumnya. Selain permasalahan dari dalam, permasalahan juga muncul dari luar yaitu antara lain : Sulitnya proses pemulangan atau repatriasi imigran Rohingya ke Myanmar karena kondisi keamanan yang makin memburuk; Kedutaan Myanmar di Indonesia sama sekali acuh dan tidak mengakui Rohingya sebagai warga Negara Myanmar; Rohignya tidak mempunyai paspor sehingga menjadi kendala dalam proses assestment untuk menjadi pengungsi internasional; Rohingya tidak mau di pulangkan karena kondisi keamanan di Myanmar; Belum ada Negara ketiga yang mau menampung pengungsi Rohingya; Rohingya bukanlah imigran yang menjadi prioritas IOM sehingga memperlambat proses penilaian status sebagai pengungsi; Lamanya Rohingya ditampung di Indonesia menjadi beban Negara; Rohingya banyak yang menikah dengan wanita Indonesia dan mempunyai anak dan berharap bisa menjadi WNI; Banyak Rohingya yang memiliki kartu pengungsi UNHCR palsu; Di dalam Rudenim, Imigran Rohingya termasuk Deteni yang malas dan suka menumpahkan makanan apabila tidak menyukainya; Pengungsi Rohingya yang tinggal di luar Rudenim kerap membuat masalah; Imigran Rohingya tidak bisa berbahasa Melayu maupun Inggris sehingga sulit dalam melakukan tindakan keimigrasian. Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut tentunya menjadi permasalahan seluruh bangsa Indonesia yang harus segera ditindaklanjuti dan diselesaikan. Tidak membiarkan permasalahan mengenai Rohingya di Indonesia ini berlarut-larut. Tindak lanjut dan penyelesaian dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal tentunya perbaikan penanganan imigran Rohingya di Indonesia baik dari aspek regulasi maupun kebijakan. Secara eksternal tentunya membantu dan berkontribusi dalam penyelesaian akar konflik di Myanmar sehingga Rohingnya bisa kembali ke Myanmar dan diakui sebagai bagian dari bangsa Myanmar. REKOMENDASI Permasalahan penanganan pengungsi muslim Rohingya belum dilaksanakan secara terpadu. Perbedaan penanganan tersebut dapat dilihat dari dua penampungan di Langsa dan di Louksemawe serta dari dua Rudenim di Medan dan Tanjung Pinang. Di Louksemawe penanganan muslim Rohingya dikoordinasi oleh pihak imigrasi, sedangkan di Langsa dikoordinasi oleh pemerintah daerah sehingga melibatkan kanwil kemensos, pemda, dan juga imigrasi, oleh karenanya pelayanannya lebih manusiawi dan ada pos-pos yang dibentuk seperti pos kesehatan dan dapur umum. Di Medan, Rohingya yang sudah memiliki status pengungsi dapat tinggal di community house di beberapa hotel melati di Medan, sedangkan di Tanjung Pinang semua pengungsi, baik yang sudah mendapatkan status maupun yang dalam proses, tidak boleh keluar dari Rudenim. Segala kegiatan dilaksanakan di dalam Rudenim Pusat Tanjung Pinang tersebut. Kondisi pengungsi Rohingya memang sangat memprihatinkan dan masih terjadi beberapa masalah dalam penanganannya. Hal ini disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Penyelesaian permasalahan Rohingya dapat ditempuh dengan mengubah kebijakan penanganan pengungsi di Indonesia dan juga membantu mengkampanyekan perdamaian di Arakan. Selama akar masalah di Arakan tidak terselesaikan, maka Indonesia akan tetap kedatangan Rohingya dalam jumlah yang lebih besar. Rekomendasi Rekomendasi yang diberikan PIARA dalam kaitan dengan penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia, antara lain : Pemerintah harus membuat undang-undang yang jelas yang mengatur mengenai penanganan pencari suaka dan pengungsi internasional. Hal ini dimaksudkan agar memberi kepastian hukum terhadap para pengungsi yang didetensi di Indonesia dan memberi keseragaman penanganan pencari suaka, khususnya Rohingya yang terdampar di Indonesia; Pembuatan tempat penampungan yang terintegerasi dalam satu wilayah atau satu tempat untuk memudahkan dalam melakukan tindakan dan pengawasan dengan mengedepankan konsep alternative detention yang lebih manusiawi; Pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1951 dan Protokolnya tahun 1967 tentang Status Pengungsi; Pemerintah berperan secara aktif dalam penyelesaian akar masalah di Arakan melalui mekanisme bilateral maupun multilateral (ASEAN, OKI, PBB); Semua pihak berperan aktif mengkampanyekan perdamaian di Arakan melalui media massa, tulisan, demonstrasi, dan hal lainnya yang dibenarkan oleh undang-undang