Academia.eduAcademia.edu

Ketahanan Struktur dan Konstruksi Bangunan Sunda.pdf

Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan budaya dan tradisi. Keanekaragaman budaya dan tradisi ini tercermin dalam realitas peradaban yang disebut arsitektur tradisional. Namun, di sisi lain Indonesia, seperti halnya negara-negara lain di Asia Tenggara adalah negara yang rawan akan bencana alam khususnya gempa bumi. Namun, masyarakat tradisional memiliki sebuah nilai kearifan lokal dalam menyikapi gempa bumi. Ada yang sifatnya tangible ada pula yang intangible knowledge. Semua nilai-nilai kearifan lokal itu apabila dikaji ternyata juga mewakili nilai-nilai yang sering diterapkan pada isu arsitektur berkelanjutan. Hidup bersama-sama dengan alam, bukan di atas alam adalah sebuah pemahaman sederhana tentang bagaimana masyarakat setempat bisa hidup dengan lebih bersahaja.

Sapta Maulida 2017 KETAHANAN STRUKTUR & KONSTRUKSI BANGUNAN PRA-MODERN SUNDA TERHADAP GEMPA BUMI Adam Sapta Maulida1 Jurusan Arsitektur - Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Abstrak : Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan budaya dan tradisi. Keanekaragaman budaya dan tradisi ini tercermin dalam realitas peradaban yang disebut arsitektur tradisional. Namun, di sisi lain Indonesia, seperti halnya negara-negara lain di Asia Tenggara adalah negara yang rawan akan bencana alam khususnya gempa bumi. Namun, masyarakat tradisional memiliki sebuah nilai kearifan lokal dalam menyikapi gempa bumi. Ada yang sifatnya tangible ada pula yang intangible knowledge. Semua nilai-nilai kearifan lokal itu apabila dikaji ternyata juga mewakili nilai-nilai yang sering diterapkan pada isu arsitektur berkelanjutan. Hidup bersama-sama dengan alam, bukan di atas alam adalah sebuah pemahaman sederhana tentang bagaimana masyarakat setempat bisa hidup dengan lebih bersahaja. Kata kunci : gempa bumi, arsitektur Sunda, struktur dan konstruksi arsitektur tradisional Sunda. PENDAHULUAN Indonesia, seperti halnya negara-negara lain yang berada di Asia-Tenggara adalah negara-negara yang rawan akan bencana alam khususnya gempa bumi. Ini dikarenakan secara geografis, wilayah Indonesia terletak diantara tiga lempeng tektonik di dunia, yaitu : lempeng Australia di selatan, lempeng Euro-Asia di barat dan lempeng Samudera Pasifik di timur. Dalam keadaan diam, sebuah bangunan pada dasarnya hanya menanggung beban gravitasi dan beban hidup (bila ada). Ketika terjadi gempa bumi, maka tanah akan bergetar dan pengaruh getaran ini akan diterima oleh bangunan mulai dari bagian paling bawah bangunan (pondasi) sampai ke bagian paling atas sebuah bangunan (atap). Jika suatu bangunan sangat kaku, maka bangunan itu akan sepenuhnya mengikuti gerakan dari permukaan tanah. Percepatan permukaan gempa bumi setempat adalah yang langsung memepengaruhi konstruksi bangunan dan mengakibatkan gaya horisontal maksimum pada konstruksi bangunan tersebut dan besarnya adalah sama dengan massanya dikalikan dengan percepatan permukaan tanah. (Canadian Wood Council, 2003). Pada hakikatnya, gempa bumi adalah getaran atau serentetan getaran dari kulit bumi yang bersifat tidak abadi / sementara dan kemudian menyebar ke segala arah (Howel, 1969). Para ahli menganggap bahwa setidaknya terdapat 4 sebab yang menimbulkan gempa bumi, diantaranya : 1. Runtuhan lubang-lubang interior bumi 2. Tabrakan / impact 3. Letusan gunung api 4. Kegiatan tektonik Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah menetapkan sebuah peraturan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang bisa diakibatkan oleh gempa bumi melalui SNI-1762002 mengenai Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung. Namun, seringkali ketika gempa terjadi cukup besar tidak semua bangunan mampu menahan getaran yang diakibatkan oleh gempa sehingga bangunan-bangunan menjadi rusak dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Namun, masyarakat lokal pada suatu daerah, misalnya di tanah Sunda memiliki sebuah kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam. Nilai-nilai kearifan lokal itu banyak diaplikasikan kepada bangunan-bangunan rumah tinggal dan terbukti mampu merespon gempa bumi dengan baik. Hal ini didukung oleh bukti bahwa pada saat terjadi gempa bumi tahun 2009, tidak ada satupun bangunan tradisional sunda yang runtuh akibat gempa bumi tersebut. Kearifan lokal ini yang tercermin dalam realitas struktur dan konstruksi bangunan yang ringan dan fleksibel, melalui penelitian yang dilakukan oleh Nuryanto dkk.juga membuktikan bahwa konstruksi bangunan tradisional Sunda telah memenuhi persyaratan sebagai bangunan yang ramah terhadap bencana alam, khususnya gempa bumi. PERTANYAAN KAJIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur dan konstruksi dari arsitektur pra-modern Sunda dan ketahanannya dalam merespon gempa bumi yang sering terjadi di Indonesia, yang secara rinci dapat dirumuskan melalui pertanyaan-pertanyaan berikut : 1. Apa itu gempa bumi dan bagaimana dampak yang ditimbulkan terhadap bangunan ? 2. Apa itu arsitektur pra-modern Sunda ? 3. Bagaimana struktur dan konstruksi arsitektur pra-modern Sunda mampu merespon bencana alam seperti gempa bumi ? METODE PENULISAN Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan evaluatif dengan pendekatan teori kritis. Hal pertama yang dilakukan adalah membaca berbagai artikel dan jurnal ilmiah mengenai gempa bumi dan arsitektur vernakular Sunda serta struktur dan konstruksi dari bangunannya. Setelah struktur dan konstruksi bangunan pra-modern Sunda mampu didefinisikan, langkah selanjutnya adalah membandingkannya dengan persyaratan konstruksi bangunan sederhana tahan gempa. PEMBAHASAN 1. Gempa Bumi Gempa bumi adalah getaran yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Bumi ini walaupun padat tetapi selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. (Henny Pratiwi Adi, dkk.) Pada umumnya gempa bumi disebabkan oleh pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu akan semakin membesar dan akhirnya mencapai keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi. Gambar 1.1 Tumbukan dua lempeng a) subduksi, b) obduksi Sumber : Henny Pratiwi Adi, dkk. Dalam beberapa kasus, gempa bumi juga bisa terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung berapi atau lebih dikenal juga dengan istilah gempa vulkanik. Gempa ini bisa menjadi gejalan akan terjadinya letusan gunung berapi. Dari pengertian di atas, maka gempa bumi dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu : A. Gempa bumi tektonik Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang disebabkan oleh pelepasan tenaga yang dihasilkan oleh geseran batuan pada retakan yang memanjang di sepanjang batuan yang merupakan bagian dari plat tekotinik. Tenaga ini dihasilkan oleh tekanan antara batuan yang dikenal sebagai rekahan tektonik. Untuk mempermudah pemahamannya, fenomena ini bisa dianalogikan seperti gelang karet yang ditarik kemudian dilepaskan secara tiba-tiba. B. Gempa bumi vulkanik Gempa bumi ini biasanya terjadi di wilayah yang dekat dengan gunung merapi dan memiliki cara retakan memanjang yang sama dengan gempa bumi tektonik. Gempa ini disebabkan oleh pergerakan magka ke atas gunung berapi, dimana geseran batubatuan akan menghasilkan gempa bumi. Ketika gempa bumi besar terjadi di Tasikmalaya pada tahun 2009, ini menimbulkn goncangan tanah yang telah menyebabkan dampak yang bersifat destruktif baik terhadap bangunan maupun infrastruktur bangunan. Beberapa jenis dampak yang ditimbulkan akibat goncangan gempa yang teramati antara lain : - Keretakan tanah dan potensi kelongsoran - Semburan lumpur dingin - Kerusakan bangunan Dampak gempa bumi lainnya seperti kerusakan infrastruktur jalan, jaringan telepon, listrik, dan air minum relatif kecil kerusakannya, walau di beberapa lokasi listrik mengalami pemadaman. Gambar 1.2 Keretakan tanah dan potensi longsor di kawasan bahu dan lereng jalan dari Bandung menuju Pangalengan. Sumber : Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempa Bumi Tasik Jawa Barat, ITB. Selain tempat tinggal, warga setempat juga kehilangan banyak fasilitas umum akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Bangunan-bangunan publik seperti sekolah, Gedung Olahraga, dan masjid mengalami kerusakan fisik yang cukup serius. . Gambar 1.3 Kerusakan Bangunan Masjid di Desa Cigalontang Sumber : Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempa Bumi Tasik Jawa Barat, ITB. Gambar 1.4 Kerusakan Bangunan GOR PGRI di Desa Sodong Hilir Sumber : Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempa Bumi Tasik Jawa Barat, ITB. Gambar 1.5 Kerusakan Bangunan Sekolah di Desa Raksajaya Sumber : Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempa Bumi Tasik Jawa Barat, ITB. Dari ini dapat terlihat bahwa bangunan yang terbuat dari konstruksi semen dan beton bertulang mengalami kerusakan yang cukup parah dan disaat yang sama juga membahayakan penggunanya karena bisa tertimpa oleh reruntuhan bangunan. 2. Arsitektur Pra-modern Sunda Saat isu mengenai sustainable architecture atau arsitektur berkelanjutan ramai dibahas dewasa ini, sebenarnya para leluhur sudah menerapkan nilai-nilai tentang arsitektur berkelanjutan sejak dulu melalui sebuah pengelolaan alam yang seimbang. “Hidup bersama alam”, bukan “hidup di alam”, adalah sebuah manifestasi yang menunjukkan kesejajaran posisi antara manusia dan alam. Eksploitasi yang dibarengi dengan usaha konservasi yang selaras, memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam alam dengan bijak hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari, itu semua dilakukan semata-mata agar keseimbangan alam terjaga. Karena jika alam rusak, maka manusia juga yang akan merugi. Salah satu bukti kearifan lokal ini dapat dilihat pada arsitektur pra-modern khas Sunda. Secara eksplisit arsitektur tradisional Sunda yang paling khas terlihat adalah imah panggung atau rumah panggung yang memiliki ketinggian antara 40 – 60 cm. Panggung berasal dari kata pang dan agung yang artinya dilettakan paling tinggi atau tertinggi. Bentuk panggung yang mendominasi tipologi arsitektur di tanah Sunda memiliki fungsi simbolik dan teknik. Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi, yaitu : sebagai area retensi air ; kolong sebagai media pengkondisian ruang dan ventilasi silang untuk kehangatan dan kesejukan; juga sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. (Adimihardja, 2008). Secara simbolik, didasarkan pada kosmologi masyarakat tatar Sunda dimana masyarakat setempat percaya bahwa dunia itu terbagi ke dalam tiga bagian : ambu handap, ambu luhur, dan ambu tengah. Ambu handap atau bagian bawah adalah tempat dimana rohroh halus dan jahat tinggal, oleh karena itu manusia tidak boleh tinggal langsung bersentuhan dengan tanah. Ini juga sebabnya tiang / kolom bangunan tidak boleh langsung bersentuhan dengan tanah, harus diberi alas yang berfungsi untuk memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang disebut dengan umpak. Ambu tengah adalah pusat alam semesta dan tempat dimana manusia tinggal. Kemudian ambu luhur atau dunia atas adalah tempat dimana roh-roh suci tinggal, oleh karena itu manusia tidak boleh tinggal di ambu luhur yang merupakan bagian atap bangunan. Gambar 2.1 Ilustrasi Kosmologi Bangunan Pra-Modern Sunda Sumber : Dokumentasi Penulis Secara garis besar, masyarakat kampung adat Sunda juga biasanya membagi wilayah tempat tinggal mereka ke dalam tiga bagian. Seperti yang bisa ditemukan di Kampung Naga, Tasikmalaya. Tiga wilayah itu adalah : hutan larangan; peternakan, perkebunan, perikanan, dan sawah; dan hunian atau tempat tinggal warga. Pada hutan larangan, warga atau orang asing dilarang memasuki hutan tersebut secara sembarangan. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah pamali. Pamali adalah sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat Sunda pada umumnya untuk melarang warganya dari melakukan hal-hal tertentu karena akan berakibat fatal / membawa malapetaka. Namun, dengan adanya hutan larangan ini juga membuktikan bahwa secara ekologi kampung adat Sunda sangat lestari. Selain itu, masyarakat adat Sunda juga memiliki peternakan, perkebunan, perikanan dan persawahan yang membuktikan mereka sangat mandiri dan mampu merespon isu-isu ketahanan pangan. Padi-padi yang sudah dipanen biasanya disimpan di bagian kolong rumah untuk persediaan sampai panen selanjutnya. Kemudian ada hunian atau tempat tinggal warga yang semuanya menggunakan konstruksi panggung yang sangat ringan dan fleksibel. Di Kampung Naga, Tasikmalaya, terdapat lebih dari 100 unit hunian rumah panggung. 3. Struktur dan Konstruksi Rumah Adat Sunda Bangunan adat Sunda dibuat dengan konstruksi dan konstruksi yang ringan dan sederhana.Yang paling khas dan dapat dilihat adalah konstruksi rumah panggung dengan ketinggian 40 – 60 cm. Materialnya terbuat dari material yang bisa ditemukan di sekitar lingkungan seperti batu belah yang langsung diambil dari sungai, bukit, atau gunung; seperti bambu, kayu, dan ijuk. Pembangunan rumah panggung dengan material-material alami seperti kayu, bambu, serta atap ijuk adalah sebuah bentuk penyesuaian masyarakat adat Sunda dengan lingkungan alamnya yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan kemiringan lahan yang curam yang juga berada pada jalur vulkanik dan tektonik yang mana merupakan daerah rawan gempa. Contohnya bisa ditemukan di Kampung Naga, Tasikmalaya. Kampung ini berdiri di wilayah perbukitan yang cukup curam. Gambar 3.1 Kampung Naga, Tasikmalaya Sumber : Dokumentasi Penulis Selain mampu merespon gempa, rumah dengan bahan bangunan tersebut akan lebih ringan dibanding rumah yang terbuat dari dinding tembok / beton dimana kondisi ini akan berpengaruh terhadap daya dukung bangunan terhadap potensi longsor. Ini dapat terlihat di Kampung Naga, meskipun berada di lahan dengan kemiringan yang cukup tinggi tapi tidak pernah terjadi longsor. Rumah adat Sunda, seperti yang bisa ditemukan di Kampung Naga secara struktur terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu struktur handap atau bawah dan struktur luhur atau bagian atas bangunan. A. Struktur bawah bangunan Struktur handap atau bawah bangunan terdiri dari lelemah atau tanah dasar dan tatapakan atau pondasi. Rumah tradisional Sunda menggunakan pondasi yang disebut dengan umpak. Umpak adalah jenis pondasi yang terbuat dari batu yang di atasnya diletakkan tihang atau kolom yang terbuat dari kayu. Umpak sendiri, terbagi ke dalam tiga jenis yaitu : buleud, lisung dan balok. Buleud dalam bahasa Sunda berarti bundar atau lingkaran. Sesuai namanya, pondasi buleud adalah pondasi berbentuk lingkaran dengan diameter 35 – 40 cm dan tinggi 35 – 40 cm. Pondasi balok berbentuk kebus dengan ukuran panjang dan lebar 35-40 cm dan tinggi 60 cm. Pondasi lisung adalah pondasi berbentuk trapesium dengan ukuran panjang dan lebar sekitar 35-40 cm dan tinggi 60 cm. Gambar 3.2 Aneka jenis pondasi pada rumah adat Sunda Sumber : Dokumentasi Penulis Namun, di Kampung Naga Tasikmalaya, jenis pondasi yang paling sering ditemui adalah pondasi berbentuk balok dan lisung. Pondasi ini biasanya disimpan di atas permukaan tanah atau ditanam sebagian ke dalam tanah. Selain itu, karena rumah / pondasinya berbentuk panggung, sehingga menciptakan sebuah ruang dibawah lantai yang disebut sebagai kolong. Ruang ini, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya adalah simbolisasi dari kehidupan bawah dimana manusia tidak boleh tinggal disana kecuali yang sudah meninggal (dikubur), atau sebagai kandang hewan ternak seperti ayam / itik dan sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. Gambar 3.3 Pemanfaatan ruang kolong pada rumah adat Sunda. Sumber : Dokumentasi Penulis Jika pada bangunan modern kita mengenal istilah balok sloof sebagai sistem pengikat antar pondasi batu kali, maka pada bangunan adat Sunda menggunakan istilah balok panaggeuy. Ini adalah balok kayu berukuran 10/12 yang digunakan untuk mengikat pondasi satu dengan yang lainnya. Gambar 3.4 Sistem pengikat pada pondasi rumah adat Sunda Sumber : Dokumentasi Penulis Semua material yang digunakan pada bagian handap bangunan adalah material lokal yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar warga. Menurut kepercayaan masyarakat adat Sunda, material berat seperti batu tidak boleh digunakan untuk konstruksi bangunan bagian luhur karena dapat membahayakan. Pernyataan ini menjadi masuk akal karena ketika terjadi gempa dan ada potensi keruntuhan bangunan, material berat seperti batu atau beton akan membuat reruntuhan yang akan membahayakan pengguna. Gambar 3.5 Batu kali sebagai tangga dan dinding penahan tanah di kampong adat Sunda Naga di Tasikmalaya Sumber : Dokumentasi Penulis Penggunaan batu tidak hanya terbatas untuk pondasi rumah saja, pada level kawasan, batu yang diambil dari kali /sungai juga digunakan sebagai tangga dan dinding penahan tanah untuk pengaturan terasering. Selain mudah dan murah, penggunaan batu dengan tekstur dan ukuran yang beragam juga menjadi keunikan dan keindahan tersendiri. B. Struktur atas bangunan Struktur luhur atau struktur bagian atas bangunan dibedakan ke dalam dua bagian : pangadeg, lalangit, dan rarangka. Struktur pangadeg pada dasarnya adalah kerangka rumah yang disusun berdasarkan dua komponen yaitu dinding dan lantai. Gambar 3.6 Struktur lantai pada rumah adat Sunda Sumber : Ilustrasi ulang penulis berdasarkna Nuryanto (2006) Gambar 3.7 Struktur lantai pada rumah adat Sunda (2) Sumber : Ilustrasi ulang penulis berdasarkna Nuryanto (2006) Gambar 3.8 Struktur lantai papan kayu pada rumah adat Sunda di Kampung Naga, Tasikmalaya Sumber : Dokumentasi Penulis Struktur dinding dibagi ke dalam tiga komponen utama, yaitu : tihang adeg, pananggeuy dan tihang nu dibagi. Penutup dinding terbuat dari bilik bambu. Sistem ikatannya menggunakan pasak dan tali, namun pada contoh di rumah adat Sunda yang ada di Kampung Naga, beberapa rumah sudah menggunakan sambungan paku. Alasannya, selain lebih cepat, penggunakan paku juga cenderung lebih murah dan praktis daripada pasak dan tali. Pada struktur lantai, masyarakat adat Sunda biasanya menggunakan tiga jenis lantai, yaitu : talupuh; papan dan bilik. Talupuh sendiri adalah lantai yang terbuat dari material bambu yang dirajam dengan ukuran tertentu sesuai kebutuhan (Nuryanto dkk.,2015). Jenis bambu yang digunakan biasanya dari jenis gombong dengan diameter 15-20 cm dan ketebalan 12-15 mm. Alasan menggunakan bambu ini adalah karena ketika bambu ini dirajam lebarnya bisa mencapai kurang lebih 30 cm. Pada struktur atap, struktur lalangit dan rarangka pada dasarnya terbagi berdasarkan dua komponen : kuda-kuda dan langit-langit. Kuda-kuda terdiri dari dua komponen : nu mikul atau dalam bahasa Indonesia berarti yang menopang dan nu dipikul atau yang ditopang. Oleh sebab itu, ukuran kayu untuk struktur nu mikul lebih besar dan tebal dibanding struktru nu dipikul yang ukurannya lebih kecil dan lebih ringan. Pada dasarnya, struktur atapnya hampir sama dengan struktur atap kayu yang kita ketahui pada bangunan modern, hanya istilahnya saja yang berbeda. Selain itu, sambungan yang digunakan juga tidak menggunakan plat bajat dan paku, tapi menggunakan ikatan tali ijuk / rotan dan teknik sambungan bibir lurus-berkait, miring-berkait, dan pen-lubang. Gambar 3.9 Konstruksi atap pada rumah adat Sunda Sumber : Ilustrasi ulang penulis berdasarka Nuryanto (2006) Untuk material penutup atap, masyarakat kampung adat Sunda biasanya menggunakan ijuk yang ditumpuk-tumpuk dan diikat. Ijuk ini memiliki usia yang cukup panjang. Menurut keterangan salah satu warga di Kampung Naga, ijuk ini baru diganti minimal 30 tahun sekali. Bahkan ada yang lebih. Selain itu, di Kampung Naga dalam dilarang menggunakan penutup atap yang terbuat dari genteng / saripati tanah. Karena, dalam kepercayaan mereka menggunakan penutup atap dari genteng sama dengan mengubur diri hidup-hidup, karena hanya orang yang sudah mati yang tinggal di bawah tanah. (Nuryanto dkk.,2015) 4. Ketahanan Terhadap Gempa Dari sisi material bangunan, rumah adat Sunda sudah memenuhi salah satu syarat bangunan tahan gempa, yaitu terbuat dari material yang ringan seperti kayu dan bambu. Menurut Brostow dkk. (2010) keunggulan kayu sebagai material bangunan bahwa kayu terdiri dari dua bagian, bagian tengah dapat melawan kompresi dan bagian luar dapat melawan tensi / tegangan. Kayu juga memiliki kadar air yang lebih rendah yang membuatnya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melawan kompresi. Gambar 4.1 Tree trunk regions in compression and tension Sumber : Nuryanto dkk melalui Brostow dkk. (2010) Material lokal lain yang sering digunakan adalah bambu. Menurut Sharma dkk. (2015) sebagai bahan konstruksi bangunan, bambu memiliki sebuah keunggulan karena cepat dan mudah diperbaharui serta memiliki karakteristik mekanik seperti kayu. Kemudian Tomas (2014) menyatakan bambu merupakan sumber daya yang sangat fleksibel dan banyak tersedia. Sehingga perlu dilestarikan dan digunakan sebagai bahan pembangunan rumah dan bangunan-bangunan lainnya. Untuk sistem ikatan rumah panggung,masyarakat adat Sunda menggunakan ikatan pasak. Pada rangka lantai, dinding, kuda-kuda, dan balok disambung dengan sambungan pen and hole. Walaupun pada beberapa contoh rumah di kampung Naga sudah ada yang menggunakan paku untuk sambungan, tapi sebagian besar masih menggunakan teknik ikatan tradisional. Selanjutnya menurut Felix (1999) melalui Nuryanto (2015) sambungna pasak memiliki tingkat efisiensi hingga 60% lebih baik dibandingan dengan sambungan baut yang memiliki tingkat efisiensi hanya 30% saja. KESIMPULAN Masyarakat adat Sunda adalah masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Bukan di atas alam. Dengan pemahaman sederhana ini, mereka berusaha untuk terus memuliakan dan menjaga alam dari kerusakan. Menurut Pak Saria, warga kampung naga, ia mengatakan leuweung mah teu kudu dijagaan,tapi di antepkeun. Mun dijagaan justru matak ngarusak. Yang artinya bahwa hutan tidak perlu dijaga, tapi cukup didiamkan. Karena ketika dijaga, nanti justru akan merusak. Karena bagi mereka, alam bukanlah sesuatu yang bisa dieksploitasi sepuasnya. Nilai-nilai kearfian lokal ini yang juga tercermin dalam realitas struktur dan konstruksi rumah adat mereka. Dengan rumah adat panggung, tidak ada satupun rumah warga yang hancur akibat gempa. Justru sebaliknya, berdasarkan wawancara penulis dengan Pak Saria (warga kampung naga), ketika terjadi gempa bumi warga khususnya anak-anak justru bergegas masuk ke dalam rumah dan menunggu datangnya gempa. Dan anak-anak merasa senang ketika terjadi gempa karena mereka seperti sedang enjot-enjotan atau seperti sedang melompat-melompat di dalam bangunan. Bagi mereka, gempa hanyalah sebuah fenomena alam yang wajar, bukan sebuah bencana alam yang perlu ditakuti. Nilai kearifan lokal inilah yang perlu terus ada dan diaplikasikan pada bangunanbangunan modern. Pemahaman untuk hidup bersama-sama dengan alam, bukan di atas alam, tapi merasa menjadi bagian dari alam, seperti yang masyarakat adat Sunda lakukan terbukti membuat hidup mereaka tetap bersahaja, mengikuti ajraan dan tuntunan yang diwariskan leluhur mereka secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hasil penelitian yang dilakukan Triyadi dan Harapan (2008) membuktikan bahwa bangunan vernakular di Jawa Barat bagian Selatan, adalah contoh konkrit bangunan tahan gempa. Bangunan tersebut mampu bertahan dari goncangan gempa sebesar 7,3 SR. Tidak seperti bangunan non-vernakular lainnya yang justru banyak yang roboh. Berbagai macam tipologi rumah vernakular Sunda Gambar 5 Triyadi dan Harapan. (2008) DAFTAR PUSTAKA [1] Nuryanto. Maknun, Johar. Busono, Tjahyani. (2015). Konstruksi bangunan Tradisional Sunda Ramah Bencana. Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur, FPTK UPI. [2] Adimihardja, Kusnaka dan Purnama Salura (2004). Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan. Cetakan Pertama. Bandung: CV. Architecture&Communication, Forish Publishing. [3] Adimihardja, K. (2008). Dinamika Budaya Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB. [4] Brostow, W., Datashvili, T., and Miller, H. (2010). Wood and Wood Derived Materials. Journal of Materials Education Vol. 32 (3-4): 125 – 138. [5] Canadian Wood Council. (2003). wood frame construction - meeting the challenges of Earthquakes, building performance series No.5. Canada; CWC [6] Dep. PU. (2002). Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung: SNI-1726-2002. Bandung: Puslitbangkim PU. [7] Nuryanto (2006): Kontinuitas dan Perubahan Pola Kampung dan Rumah Tinggal dari Kasepuhan Ciptarasa ke Ciptagelar, di Kab. Sukabumi (selatan), Jawa Barat. Tesis Riset Magister Arsitektur, Program Studi Arsitektur SAPPK-ITB, Bandung (tidak untuk diterbitkan); [8] Nuryanto (2015): Arsitektur Nusantara, Seri Arsitektur Tradisional Sunda: Arsitektur Tradisional Sunda dalam Bingkai Arsitektur Nusantara: Pengantar Arsitektur Kampung dan Rumah Panggung. Buku Ajar Arsitektur Nusantara Program Studi Teknik Arsitektur, Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur FPTK Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada. [9] Sharma, B., Gatoo, A., Bock, M., dan Remage, M. (2015). Engineered bamboo for structural applications. Construction and Building Materials 81 (2015) 66–73 [10] Thomas and Ganiron. (2014). Investigation on the Physical Properties and Use of Lumampao Bamboo Species as Wood Construction Material . International Journal of Advanced Science and Technology Vol.72 (2014), pp.49-62 [11] Triyadi, S dan Harapan, A. (2008). Kearifan Lokal Rumah Vernakular Di Jawa Barat Bagian Selatan dalam Merespon Gempa. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Vol. 18, No. 2, Mei 2008 [12] Institut Teknologi Bandung (2009). Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempabumi Tasik Jawa Barat. [13] Hermawan, Iwan. Bangunan Tradisional Kampung Naga : Bentuk Kearifan Warisan Leluhur Masyarakat Sunda. Balai Arekologi Bandung. [14] Adimihardja, Kusnaka. (1992). Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh. Bandung : Tarsito.