Mendidik Pendidikan
Oleh: Bayu Atletiko Yanida Putera
Dipublikasikan pada 13 November 2012
Pendidikan. Sebuah kata yang tak asing lagi di telinga kita. Suatu proses yang tak dapat
dipisahkan dari hidup manusia. Proses dimana kualitas setiap individu yang menjalaninya dapat
ditingkatkan. Proses yang masa depan setiap bangsa bergantung kepadanya, tak terkecuali Indonesia
tercinta. Pendidikan berperan aktif dalam membentuk insan – i sa terdidik ya g a ti ya aka
menjadi penentu masa depan Indonesia. Sedemikian pentingnya pendidikan sampai - sampai negara
kita mengharuskan setiap warga negaranya untuk mengenyam pendidikan, sebagaimana tertera
dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Masih dalam pasal yang sama ayat 3, setiap tahun pemerintah
diwajibkan untuk mengalokasikan setidaknya dua puluh persen dari APBN dan APBD untuk
pendidikan. Pada tahun 2013 mendatang, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran
pendidikan sebesar Rp. 331,8 trilliun, naik 6,7 persen dari APBN-P 2012. Kita perlu berbesar hati
karena pendidikan telah menjadi salah satu prioritas utama di negara yang kita cintai ini.
Namun, kita masih sering bertanya – tanya mengapa pendidikan berpuluh – puluh tahun
yang dijalani para anggota dewan masih belum mampu menyadarkan mereka bahwa menggerogoti
uang rakyat sekaligus menjadikan negaranya sebagai negara terkorup kedua di dunia adalah sebuah
hal yang hina. Dalam semester pertama tahun ini saja, tercatat 285 kasus korupsi dengan total
kerugian mencapai 1,22 triliun rupiah. Uang sebanyak ini cukup untuk membeli 244 juta nasi pecel
untuk dibagikan kepada seluruh warga Indonesia, kecuali para koruptor dan tentunya mereka yang
tidak suka nasi pecel.
Tak hanya itu, sekolah - sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar beralih fungsi
menjadi ladang pertumpahan darah. Menurut www.liputan6.com, sejak Januari hingga September
2012, terjadi setidaknya 127 kasus tawuran antar pelajar dengan 26 korban jiwa. Dengan asumsi
jumlah hari antara bulan Januari dan September 2012 adalah 270 hari, dapat dirata – rata bahwa
ritual tawura terjadi setiap dua atau tiga hari sekali. Tak berhenti di situ, setiap sepuluh atau
sebelas hari selalu ada satu siswa yang mati sia – sia di eda tempur sekolah.
Kenyataan memprihatinkan ini harus kita tangani bersama. Banyak komponen – komponen
pendidikan yang harus kita benahi; kualitas guru, kurikulum, serta sarana dan prasarana. Jika kita
ingin meningkatkan kualitas produk pendidikan, kita lebih dahulu harus membenahi sistem
pendidikan itu sendiri. Layaknya sebuah gitar, untuk mendapatkan nada yang sempurna kita harus
memilih rangka kayu yang kokoh dan senar yang tak mudah putus. Lalu, barulah kita rangkai senar
dan kayu itu menjadi suatu kesatuan, kita atur nada senar berturut – turut dari nada E rendah hingga
E tinggi. Barulah kita bisa mendapatkan nada yang sempurna dari gitar yang telah kita buat.
Demikian pula dengan pendidikan, untuk mendapatkan hasil didik yang maksimal, yang pertama
harus kita benahi adalah sistem pendidikan itu sendiri. Kita harus e didik pe didika sebelum
pendidikan yang telah kita didik itu dengan sendirinya akan melahirkan insan – insan terdidik yang
dapat mengangkat martabat negara ini, bukan malah menghancurkannya.
Substansi paling esensial dalam pendidikan adalah guru. Guru adalah nyawa dari proses
belajar yang dilalui siswa. Guru adalah panutan, bagaikan sebuah kompas bagi mereka yang sedang
mencari arah dalam hidup. Namun, ternyata masih banyak guru yang justru menjadi contoh buruk.
Dalam wilayah DKI Jakarta saja pada tahun 2011 tercatat 168 kasus kekerasan oleh guru kepada
siswanya dengan beberapa kasus berakhir kematian. Ironis memang, namun begitulah
kenyataannya. Seharusnya, guru tak hanya mengajarkan materi pembelajaran kepada siswa. Adalah
tanggung jawab mereka untuk membentuk moral siswa agar tak gelap mata di kemudian hari.
Contohlah Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan terbaik sedunia. Di Finlandia, guru
adalah pekerjaan yang sangat terhormat dan hanya orang – orang yang cerdas baik otak maupun
hatinya yang dilegalisasi Pemerintah Finlandia untuk menjadi guru. Hasilnya, proses pendidikan
berjalan mulus. Ada kasih sayang antara yang mendidik dan yang dididik. Peran guru dan murid
berjalan seiring, saling mengisi.
Pemerintah perlu mengatur ulang kriteria penerimaan guru di negeri ini, sehingga tak akan
ada lagi tukang pukul di kelas - kelas. Selain itu, perlu ada pengawasan terhadap kinerja guru, agar
hilang kesenjangan antara guru dan siswa. Diharapkan kedepannya guru dapat menjalankan tugas
sebagaimana mestinya, menjadi teladan dan inspirasi, supaya terbentuk produk – produk pendidikan
yang dapat membawa negeri ini menuju sebuah kejayaan di hari kelak.
Selain guru, komponen penting lainnya adalah kurikulum. Suatu standar yang menjadi
landasan bagi sebuah aktivitas pendidikan. Sebuah riset UNESCO menunjukkan bahwa kurikulum
pendidikan di I do esia adalah kurikulu pali g berat kedua di du ia, setelah Bela da. Berat
untuk dijalani oleh si pelajar, apalagi dinikmati. Maklum, di Indonesia, siswa dituntut untuk
menguasai sedikitnya 16 mata pelajaran di sekolah tanpa terkecuali. Tak berhenti di situ, saat
mereka sampai di rumah, setumpuk tugas – tugas sekolah telah menanti.
Akibatnya, siswa tertekan. Dampaknya, mereka terpaksa melampiaskan tekanan yang
mereka alami dengan hal – hal negatif seperti tawuran, meminum minuman keras, dan sejenisnya.
Tak hanya itu, untuk mengatasi tugas – tugas setumpuk dan ulangan yang berat, siswa - siswi
terpaksa harus mengambil jalan pintas, sebut saja mencontek. Bagaimana mungkin kita
memberantas korupsi sedangkan sejak kecil siswa – siswi terbiasa berbuat curang dalam
mengerjakan tugas - tugas dan ujian yang melelahkan?
Mari kita lirik Amerika Serikat, salah satu kiblat pendidikan dunia. Di Negeri Paman Sam itu,
hanya ada tiga pelajaran wajib; Matematika, Bahasa Inggris, dan Sejarah Kebangsaan. Selebihnya,
siswa dibebaskan untuk memilih studi yang ingin mereka tekuni. Hasilnya, pembelajaran berjalan
efektif karena siswa benar – benar bersemangat untuk mendalami bidang yang mereka sukai.
Mereka belajar tanpa paksaan dan penuh motivasi.
Kita tentunya yakin bahwa seandainya para pelajar hanya menggeluti bidang yang mereka
sukai dan menikmatinya, tak akan ada lagi kenakalan – kenakalan yang diakibatkan oleh ulah pelajar.
Wajar saja, mereka akan lebih termotivasi untuk menjawab keingintahuan mereka terhadap studi
yang mereka pilih sendiri, dan tak akan ada lagi waktu serta alasan bagi mereka untuk membuat
onar, karena mereka sadar bahwa hal semacam itu hanya akan membuang tenaga dan nyawa.
Dari uraian di atas, kita bisa menarik sebuah simpulan bahwa inti dari proses belajar adalah
kebebasan yang akan berujung pada penghayatan penuh sang pelajar terhadap apa yang
dipelajarinya. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Indonesia berbenah. Kualitas dan fokus jauh
lebih berharga ketimbang kuantitas. Maka akan lebih baik jika siswa diberi kesempatan untuk
memilih bidang tertentu yang ingin mereka pelajari. Dengan demikian, siswa tak akan lagi
merasakan tekanan akibat beratnya beban studi yang harus dijalani. Sebaliknya, mereka justru akan
secara lepas menggali bakat yang mereka miliki, dan pada akhirnya akan menjadi ahli di bidang
mereka masing – masing dengan kekuatan fokus yang telah lama mereka pegang teguh.
Untuk mendukung implementasi kurikulum dan peningkatan kualitas Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM), diperlukan fasilitas berupa sarana dan prasarana pendidikan. Di Indonesia, sarana –
prasarana untuk pendidikan masih sangat minim; umumnya hanya ruang kelas, papan tulis, spidol
(marker) atau kapur, meja, dan kursi. Tak banyak berubah dari waktu ke waktu. Padahal, zaman
terus bergulir dan kita harus mengikuti perkembangannya. Banyak hal yang dapat membantu proses
pembelajaran. Sebut saja internet. Kita bisa mempelajari apa pun dengan internet. Namun sangat
disayangkan, pemanfaatannya dalam pendidikan di Indonesia masih belum maksimal. Hanya
segelintir guru yang menggunakan sarana serba guna ini sebagai sebuah media pembelajaran.
Intensifikasi dan ekstensifikasi sarana – prasarana pendidikan di Indonesia sangat perlu
dilakukan, agar proses belajar - mengajar yang tadinya membosankan dapat berubah menjadi lebih
hidup dan menyenangkan. Kalaupun fasilitas pembelajaran masih kurang lengkap, kita masih
memiliki alam. Ya, alam. Tak terhitung berapa banyak ilmu yang bisa kita dapatkan dari alam. Contoh
kecil adalah pelajaran biologi. Dalam biologi, kita belajar tentang tanaman, baik jenis maupun bagian
– bagiannya. Maka, daripada repot – repot membaca buku dan menghafal, seharusnya siswa diajak
keluar kelas dan mengobservasi. Ilmu yang mereka dapatkan dari mengamati langsung tentunya
lebih mendalam dan kompleks ketimbang hanya dengan membaca buku. Alam adalah sarana
pembelajaran gratis yang dapat kita temukan dimanapun kita berada.
Selain jumlahnya yang harus terus ditambah, penggunaan sarana – prasarana pendidikan
harus dimaksimalkan agar keberadaannya tidak sia – sia. Jika pemaksimalan ini telah tercapai, maka
kualitas proses belajar – mengajar akan meningkat. Peningkatan ini linier dengan peningkatan
kualitas pendidikan yang selama ini kita idam – idamkan.
Demikianlah berbagai problematika pendidikan di negeri kita tercinta. Marilah bersama –
sama kita kontribusikan tenaga, materi, dan pikiran kita demi peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia. Dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk dapat memperbaiki sistem dan meningkatkan
mutu pendidikan demi kejayaan Indonesia di masa datang. Marilah bersama – sama mendidik
pendidikan.
Salam.