NARATIF
“MELAWAN TIDAK KEADILAN AGRARIA DI BUMI PASUNDAN”
Cerita Perjalanan Jakarta-Tasikmalaya !
Pada tanggal 4 Sepetember 2016, waktu, Pukul 13:00 sore, tim penyelenggara bersama tim pembelah HAM angkatan ke-IV, berkumpul di ruang kelas belajar. Perlu dan penting membahas proses kegiatan LIVE IN di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Tim penyelenggra Mbah Diany dan Janine, mengulas sedikit terkatit tujuan LIVE IN. Ungkap, Mbah Dianyi terkatit sejarah SPP dan bagimana tim menggali informasi seputar SPP itu sendiri. Motode yang digunakan 5 W 1+H, dan mengembangkan pertanyaan jika perlu digali informasi lebih lanjut. Ajakanya.
Usai kegiatan kami dipisahkan dengan doa. Sementara kami meyiapkan diri, kebetulan di halaman Kantor ELSAM ternyata ada kendaraan BUS beroda 4. Saat cuaca pun tidak mendukung dan hujan deras. Walaupun demikian, pihak ELSAM juga berjuang dan berusaha keras. Guna melengkapi kami dengan berbagai alat recorder, makanan, minuman, dan dimanfaatkan selama berada diatas kendaraan maupun dilapangan.
Pada jam pukul 13;25, mulai star menuju Tasikmalalaya. Di dalam BUS kamipun bercanda dan tawa dengan teman-teman sambil makan dan minum snek. Namun di sela-sela itu, satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah bahwa “ketika kami tiba disana, baik itu di Tasik maupun kampung Cieceng, apakah mereka layani kami dengan baik atau tidak”. Karena saya dan kawan-kawan belum pernah mengunjungi.
Dan sama sekali tidak paham tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama di Kab.Tasikmalaya termasuk kampung Cieceng. Perjalanan kami diatas BUS kurang lebih 8 jam antara Jakarta-Tasikmalaya. Saya, mengamati pemandangan dan keindahan alam di sepanjang jalan raya maupun sebelah meyebela jalan raya.
Pada jam pukul 08:15, malam tiba di sekertariat SPP dengan keadaan yang begitu bahagia. Karena pikiran pertanyaan saya tadi, kembali pada diriku. Hal itu terjadi ketika menemui kawan-kawan aktivis SPP dan FPMR, yang dimana menerima dan menyambut kami dengan baik di sanggar SPP Tasikmalaya.
Kami diarahkan masuk dalam rumah tradisional, yang terpampang dengan nama Sanggar Pasundan. Didalamnya telah hadir 20-an pemuda dan pemudi yang terlihat seumur dengan saya dan kawan-kawan. Kamipun saling menyapa dan memperkenalkan diri, nama organisasi, kinerja lembaga dan peran, bersama kawan-kawan aktivist HAM, SPP dan FPMR (forum pemuda mahasiwa rakyat).
Mereka yang sudah mengetahui maksud dan tujuan kedatangan kami. Sehingga menunjuk seorang wanita yang bernama Erni untuk menjelaskan keadaan penduduk di kampung tujuan kami. Setelah itu barulah saya mengetahui bahwa wanita yang bernama Erni itu, adalah wakil ketua harian dari SPP Tasikmalaya. Kemudian Erni menjelaskan secara singat tentang kronologis SPP.
Kronologis Serikat Petani Pasundan (SPP)
SPP sendiri adalah organisasi gerakan masyarakat yang terbesar di Jawa Barat, karena berada di tiga kabupaten, antara lain; Garut,Tasikmalaya, dan Ciamis. Basis anggota SPP adalah petani-petani di pelosok-pelosok. Salah satu kampung di Taskimalaya bernama Cieceng adalah kampung tujuan kami berdua.
Dalam penjelasan sejarahnya, dengan senior kami dengan bendera FPPMG (forum pemuda mahasiswa garut), itu telah melakukan pengorganisasian dizaman Suharto. Di Kabupaten Garut, pada tahun 1988 dan 1998, oleh pemuda dan mahasiswa garut. Dan pada tahun 1989 itu, belum deklir SPP. Namanya masih serikat petani kecamatan apa begitu.
Jadi, belum serikat petani pasundan kerena basisnya masih baru satu atau dua kecamatan Kabupaten Garut saja. Dan yang pendampinginya pun masih FPPMG namanya dan YAPEMAS (yayasan pengembangan masyarakat). Mereka melakukan advokasi perjuangan tanah di zaman Soeharto. Dadulu memang sangat berat sekali pada tahun 1980 an-1990, bahkan Agustiana sendiri ketika melakukan advokasi di Tanah Garut, mengalami 5-9 kali dipenjara.
Dan dijajah oleh Bin, Preman, Kodim, Kopassus, Polres, Polda maupun Mabes Polri. Mengapa karena dizaman Suharto sangat kuat rezimnya. Baru berkumpul saja itu sudah ditangkap. Jika berdomostrasi di penjara sampai seminggu di interogasi baru dikeluarkan. Terus rapat lagi sama ditangkap. Dibebasin 24 jam itu oleh tentara dan polisi paling sering militer, karean zaman Suharto ada di militer. Kemudian kurang lebih ada 2 desa di 2 kecamatan. Nah pada tahun 1994-1995 itu bertambah.
Pada tahun 1996 Agustiana di tanggap oleh Suharto, dan di sebut sebagai dalam kerusuhan Kabupaten Tasikmalaya. Pada hal beliau pulang dari Korea, ini lebih triknya ke Suharto saja. Karena Agustinana dulu bergerak diserikat buruh dan petani pada tahun 1980-1990. Sehingga Prabowo di instruksikan oleh Suharto untuk bagaimana mempropokasikan Agustiana dan menagkap.
Pada tahun itulah Agustiana melakukan pengorganisasian diburuh dan tani. Karena Agustiana, ditangkap dituntut untuk 12 tahun dipenjara disidang. Dan pada saat itu, loyernya Bangdayang Undung Supiyon (alm), juga saksi untuk persidangan. Untuk meringankan Gusdur dan Sri Bintang Pamongkas. Tahun 1996 terjadi persidangan, karena pada saat itu masa transisi reformasi Suharto turun dan Habibie yang naik jadi presiden.
Nah, pada saat Habibie menjadi presiden, Agustiana di kenakan amnesti. Jadi, semula di tuntut jadi penjarah. Kemudian difonis delapan tahun dipenjara. Disaat melakukan menjalani hukuman, baru 2 tahun beliau kemudian mendapatkan amnesti. Jadi, tdk jadi menjalani 8 tahun fonis. Itu keburuh ada amnesti dari presiden Habibie dan tahanan politik di bebaskan. Sehingga Agustiana pada tahun 1998, sudah bisa menghirup udara segar.
Kenapa Agustiana dituntut 12 tahun, karena memang pada saat itu tuduhannya makar. Jadi, melakukan perlawanan terhadap negara, salah satu aktivis Jawa Barat. Dulu Agustiana bergerak di Jakarta juga dengan senior ELSAM ada Hakim Harusdan dan Agus Moniaga, itu teman-teman aktivist mereka. Tetapi Agustiana lebih banyak bergerak di lokal disaat itu. Ketika mahasiswa bergerak di jakarta, setelah 8 atau 9 tahun barulah kembali ke Jawa Barat dan fikir bahwa saya harus melakukan pengorganisasian kepada rakyat untuk melakukan perubahan pada saat itu.
Hingga pada tahun 2000, Agustiana di bantu oleh para pemuda. Khususnya pada tahun 1998, Agustiana mau bebas. Agustiana banyak di tengok oleh gerakan pemuda dan mahasiswa. Misalnya, HMI, PMI dan elemen liga mahasiswa, GMNI dll. Disaat Agustiana bebas dari penjara itu langsung syukuran FPMR, karena pada saat 70 an Agustiana juga mendeklarasikan FPMR. FPMR adalah organisasi para mahasiswa yang akan melakukan pengorganisasian advokasi terhadap masyarakat Taksimalaya.
Untuk FPPMG itu di deklarasikan pada tahun 1988. Kalau di Tasik itu forum pemuda mahasiswa pada tahun 1998 dan Ciamis ada FARMACI. Mereka adalah kader-kader Agustiana FPMR, FPMRC pendamping juga sebagai organisiannya para petani buruh dan kaum miskin kota saat itu. Nah barulah tahun 2000, karena banyak dijorak gerakan reklamin oknum pasilaha, gerakan rakyat serentak yang telah disadarkan oleh kaum pemuda dan mahasiswa bangkit perjuangan dari petani di Garut, Tasik Ciamis. Dan tahun 2000 deklarasilah nama SPP (serikat petani pasundan). Ini dideklarasikan oleh para petani,ustat,ulama, dan oleh pemuda dan mahasiswa yang terdiri dari FPMG, FPMR dan FARMACI. Berkumpulah SPP.
Jadi SPP, dilahirkan oleh organ pemuda dan mahasiswa. Para pemuda dan mahasiswa ini mereka meyakini bahawa, gerakan organisasi rakyat ini lahir dari rakyat itu sendiri. Sehingga kelas tengan hanya sebagai pelopor saja begitu. Dan harus ada gerakan rakyat, karena rakyatlah yang dipindah dan rakyat juga yang pemimpin untuk menjadi pemimpin perubahan. Mahasiswa hanya untuk melakukan penyadaran dan bersama-sama. Pada saat itu petani, tahun 2000 yang bergabung itu kurang lebih 5.000 petani sejak itu. Di 3 kabupaten yakni; Garut, Ciamis dan Tasik. Kurang lebih yang bergabung sekitar 65 kecamatan untuk 5.000 orang ini.
Nah, di Tasik sejak 2000, berkembanglah 2001, 2002 sampai akhir 2016. Anggota SPP sekarang 70 ribu orang KK. 70.000 kk kali rata-rata 3 kuarang lebih 200.000 orang di 4 kabupaten. Ada Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan Pangandaran. Jadi, dari 3 kabupaten tambah satu kabupaten. Sengaja kita tidak melakukan ekspasi kabupaten lain, karena kami menganggap semakin besar wilayah semakin banyak anggota semakin sulit juga urusnya. Jadi, kita ingin fokus beberapa kabupaten. Tetapi juga kita ingin fokus mengurus rakyat juga dengan serius.
Menuju Distrik Cikatomas Kampung Cieceng
Pada pukul 09:25 pagi, sekertaris SPP Tasik (Erni), mengumpulkan kami guna melakukan acara pepisahan dan menyampaikan beberapa hal penting. Salah satunya adalah pembagian pendamping sebelum turun lapangan. Sehingga kami berkumpul bersama berkeliling dan Erni menunjukkan pendamping lapangan diantara kawan-kawan aktifis FPMR dan SPP. Pendamping Lian dan Kori adalah seorang wanita yang bernama Iwa. Iwa juga adalah seorang mahasiswi dan aktivist SPP berasal dari kampung tujuan Lian dan Kory, di Cieceng, untuk menemani selama melakukan LIVE IN 4 hari.
Seusainya, kami memulai melangkah menemui kendaraan di jalan umum. Berjarak 3 km, dari sanggar SPP ke terminal Tasik. Tiba dimata jalan menunggu taksi selama 2 stengah jam. Saat itu aku jadi lelah dan berbosan menunggu taksi begitu lama. Datanglah taksi berwarna biru dan menempati dalam taksi, dan akupun menduduki depan.
Idahnya pesona alam tertampak didepan jalan, dan mengamati sejuta kendaraan bermodel-model. Demiakian pula manusia berwajah-wajih berjalan disamping kiri kanan jalan raya maupun di depan perumahan sekitarnya. Seindah ku memandang jauh berbiru-biru gunung bergelombang, kuhapiri hati dan pikiranku jatuh menangis. Renungan hangat menyamakan alamku papua yang penuh misteri kekayaan alam di zona-zona. Pinggiran jalan, kali, bukit, lereng dan kaki gunung menaiki asap membakar kebun.
Senang sekali, karena belakangan ini kutak menempuh membayangi kehangatan angin sepoi-poin menabrak saya. Angin segarlah jadi saksi di seluruh wajahku akan kenikmatan kesegaran jasmani. Tiba-tiba aku jadi bisu. Wahai kau alam Jawa Barat memberikan aku kehiburan diselah-sela siang. Mata haripun meredam diri selama perjalanan di atas mobil taksi itu. Teman sejati sepanjang hari hanyalah tiupan angin memberikan kekuatan dan kesemangatan mendaki isi hati kala itu.
Pukul 17.00 kami masuk ke sebuah kecamatan, Cikatomas. Kesuburan hati masih tetap semangat memandang lingkungan alam setempat. Menghampiri di sebuah rumah pondok depan pemasaran sebagai wadah perhentian manusia, ketika menginjaki dilokasi Citakatomas. Kami bertiga menempati melepaskan pikulan dan melaping mandi keringat dibadani. Sejam berlanjut, aku menjalani areal kecamatan sambil melihat kinerja dan sarana-saran publik, yakni; Posyandu, Kantror Distrik, lapangan bola, Masjid dan penginapan warga setempat. Memandang jauh kesana manaiki gunung Pangendaran menutupi dengan awan berkilau-kilauan. Tetesan air mata jatuh di tanah, karean hati dan pikiran ku melayang-layang di atas awan-awan teringatnya alamku papua jauh di sana. Burung-burung pun bernyayi di tengah-tengah hutan mengakiri hari dan menjeput kegelapan malamnya.
Iwa mengomfirmasi lebih dahulu dikampung Cieceng menjemput kami di lokasi itu. Sambil mananti kedatangannya, Iwa menceritakan letak kampung, jalan, kehidupan sosial, lokasi, sistem kehidupan ekonomi, dan penginapan disana. Kuyakini dan menyadari soal jalan, akan sama sepertinya lalui. Demikian pun kebandingan dengan topografis dan kehidupan sosial di Papua karena mengalami sama hal dengan SPP.
Siang telah berlalu, terik mentari telah berubah sejuk, ditutupi awan oleh hembusan angin. Jalan yang berliku-liku, tebing yang curam, hanya dipagari pepohonan, sangatlah indah, namun terkadang menjadi menakutkan, ketika laju motor berada persis pada setiap belokan jalan. Sekitarnya terlihat bukit-bukit hijau mempesona, dihiasi pemetahan sawah yang tersusun berderap-derap. Padi telah menghijauh, dijaga orang-orangan setianya. Semakin jauh mata memandang, terlihat gunung-gunung yang membiru, mulai menghitam, menyatu dengan langit sore, semakin menyempurnakan keindahan alam disana.
Menemui dan Mengenali Cieceng
Sesampainya di kampung Cieceng, kami di ajak oleh Iwa, menuju rumah koordinator OTL, yang berjarak kurang lebih 200 m. Kami menaruh barang kami dan memperkenalkan diri pada beliau. Koordinator OTL sangat ramah, sehingga menzicinkan kami untuk tidur sejenak sampai menunggu makan malam, yang dibuat oleh istri dan anaknya. Tanpa merasa malu, karena sudah sangat kelelahan saya membaringkan diri. Kira-kira waktu itu adalah pukul 17.00 malam. Saya dibangunkan untuk makan pukul 19.00 saya tidur cukup lama karena sangat letih menempuh perjalanan ini.
Kini kampung Cieceng telah mendapat izin pengelolaan tempat tinggal dengan peraturan desa. Sehingga warga kampung berkewajiban membayar pajak kepada Pemerintah Desa, untuk pembangunan kampung-kampung lainnya di wilayah disktrik Cikatomas. Sampai hari ini masyarakat masih menunggu SK Bupati untuk kepemilikan tanah. Karena wilayah yang di organisir SPP seperti Ciamis dan Garut, telah ada SK Bupati untuk pengelolaan tanah masyarakat. SPP membangun sekolah pada tahun 2004, SD dan SMP/MI dicipaku dan sekarang sudah berpindah tempat dan di bangun masjid. Sekarang sudah di bagun sekolah satu atap SD, SMP, dan SMK.
Kesadaran tentang pentingnya pendidikan, telah mendorong berbagai upaya dan perhatian seluruh lapisan masyarakat terhadap setiap gerak langkah dan perkembangan dunia pendidikan. Karena pendidikan merupakan satu upaya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih baik.
Petani tidak bertanah di pedesaan pegunungan Jawa Barat selatan yang menghadapi kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal. Penyebabnya selain dari persoalan ekonomi adalah persoalan pengadaan layanan pemerintah akan pendidikan formal yang belum menyentuh daerah pedalaman wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya. Yang mana tidak sedikit anak usia sekolah dasar (SD) terpaksa tidak menikmati bangku sekolah sama sekali dikarenakan persoalan wilayah jangkauan ke Sekolah Dasar (SD) terdekat yang berkisar 2 km dari perkampungan tempat tinggalnya yang terletak di Kabupaten Ciamis dan itupun mereka harus melewati sungai perbatasan yang memisahkan antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.
Sehingga apabila musim penghujan tiba mereka terpaksa harus menginap di sekolah atau tidak bisa mengikuti kegiatan belajar sama sekali dikarenakan sungai yang biasa dilalui mereka pada saat berangkat ke sekolah sering mengalami banjir/tidak bisa dilalui. Adapun tingkat usia sekolah lanjutan pertama yang mampu menikmati bangku pembelajaran tidak sampai 5 persen dari lulusan sekolah dasar yang mampu disekolahkan orang tuanya ke sekolah menengah pertama. Penyebabnya sederhana yakni biaya untuk sekolah anak yang tidak terjangkau, baik biaya transportasi maupun biaya yang dibayarkan orang tua ke sekolah, dibandingkan dengan
pendapatan mereka.
Pendapatan keluarga petani-petani tak betanah ini hanya cukup untuk mereka melanjutkan hidup.di tahun 2004 lalu, upah kerja petani seharian sejak matahari terbit hingga siang hari adalah 8.000 rupiah untuk laki-laki dan 6.500 rupiah untuk perempuan. Penyebab utuma yang mendasari kemiskinan ini adalah akses atas tanah yang tidak merata karena konsentrasi penguasaan tanah besar-besaran, rendahnya produktivitas pertanian dan mutu layanan alam yang semakin merosot. Kemiskinan struktural seperti ini seakan seperti “ lingkaran setan” yang terus berjalan dan tidak diketahui ujung dan pangkalnya lagi.
Berawal dari kondisi diatas, munculah keinginan dan niat dari masyarakat yang cukup kuat dalam hal pendirian sekolah formal demi harapan kedepan anak-anaknya. Hal itu terbukti pada tahun ajaran 2004/2005 dengan berdirinya Sekolah Dasar Islam Darul Hikmah Cieceng dan SMP islam Darul Hikmah Cieceng dalam kondisi dan fasilitas sealakadarnya.
Sebagai sekolah komunitas yang berdiri berdasarkan kondisi dan dorongan kebutuhan masyarakat sekitar akan pendidikan dalan rangka menuntaskan wajar dikdas 9 tahun. Tentulah kondisi social ekonomi tidak menjadikan masyarakat petani miskim serta tokoh masyarakat organisasi petani disekitar melupakan akan kebutuhan pendidikan formal.
Dengan segala keterbatasan ekonomi serta persoalan keterbatasan SDM sebagai penggagas/pendiri sekaligus pelaku pelaksanaan pendidikan formal yang meliputi tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama tersebut yang berbasis pedesaan yang berciri khas Islami akhirnya berlangsung sampai sekarang. Walaupun dalam pelaksanaanya banyak menghadapi kendala dan persoalan yang sifatnya teknis/oprasional terutama pemenuhan kelayakan penyadiaan fasilitas sarana dan prasarana sebagai penyokong keberlangsungan pendidikan formal.
Dan pada tahun ajaran 2005/2006 turunlah Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya tentang penberian izin pendirian sekolah. Usaha dan perjuangan masyarakat dan tokoh organisasi sekolah/petani dalam legalisasi pengakuan hokum dari Dinas Pendidikan merupakan salah satu keberhasilan dan keseriusan dalam pengelolaan sekolah komunitas tersebut demi kenerlangsungan lulusan tingkatan sekolah selanjutnya.
Kasaksian Warga: Tragedy Cieceng
Menurut mereka, kehidupan warga kampung dahulu jauh dari kata layak. Sebab ratusan warga dan anak-anak hanya hidup dipinggiran sungai Ciharuman. Hampir 800 hektar tanah adalah milik perkebunan PTPN Nusantara 8. Warga yang notaben hanya hidup di 300 hektar lahan. Tempat tingga mereka pun rawan ancaman banjir dan lonsor. Bahkan lahan makanan untuk ternak saja tidak ada sama sekali. Terpaksa selama 25 tahun sebagian warga bekerja sebagai buruh perkebunan tersebut yang hanya di bayar Rp.250,- Rp 1.500,- perhari, pada tahun 2000 naik menjadi Rp. 7.000 perhari. Itu sama sekali tidak mencukupi. Tidak jarng buruh dan keluarga di perkebunan mendapat pelecehan oleh preman yang menjaga perusahaan.
Hingga pada akhirnya masyarakat memutuskan melawan balik pihak perusahaan. Puncaknya ketika seorang warga kampung di pukul dan siksa hanya karena ternaknya memasuki wilayah perkebunuan. Kejadian itu terjadi pada tahun 2000. Masyarakat bergerak cepat membangun jaringan dan komunikasi dengan aktivis SPP di Garut dan Tasikmalaya. Sehingga perjuangan rakyat itu lebih terorganisir dan terarah. Walaupun ratusan masyarakat selama periode 2001 hiingga 2002 menjadi buronan. Beberapa di jadikan tersangka (kriminalisasi), mendekam di penjarah selama 3 bulan, tetapi masyarakat telah bertekat untuk merebut 800 ha tanah mereka itu. Menurut warga kampung, preman dan polisi bekerja sama untuk melakukan terror dan intimidasi kepada mereka. Hingga pada tahun 2009 terjadi saing serang antara masyarakat dengan preman bersama polisi. 1 Buah mobil di bakar masyarakat, dan delapan lainnya di rusak, hanya untuk melawan balik polisi. Banyak warga yang dimintai keterangan tetapi semua lolos dari hukum karena tidak ada satu saksi yang memberatkan.
Konflik terus saja terjadi hingga pada akhirnya pihak perusahaan dan pemerintah menyerah menghadapi gerakan rakyat yang terorganisir baik itu. Kini kampung Cieceng telah mendapat izin pengelolaan tempat tinggal dengan peraturan desa. Sehingga warga kampung berkewajiban membayar pajak kepada Pemerintah Desa, untuk pembangunan kampung-kampung lainnya di wilayah disktrik Cikatomas. Sampai hari ini masyarakat masih menunggu SK Bupati untuk kepemilikan tanah. Karena wilayah yang di organisir SPP seperti Ciamir dan Garut, telah ada SK Bupati untuk pengelolaan tanah masyarakat.
Masyarakat kampung selalu bersyukur setiap saat jika mengenang nasib mereka dan perjuangannya. Kata Bapa Tatang yang juga adalah mantan kepala kampung sejak 2001 hingga 2008 itu. Baginya, kehidupan mereka yang baik sekarang tidak pernah lepas dari perjuangan mereka, dan peran SPP selama ini. Buktinya ada sekolah di kampung ini, sudah ada listrik. Bagi masyarakat Cieceng SPP adalah organisasi untuk perjuangan setiap generasi di tanah Pasundan.
Pelanggaran HAM
Menurut tokoh agama Bapak Tatang, untuk pelanggaran HAM, seperti; Hak untuk hidup (Dulham pasal 3), Hak untuk berpendapat (Sipol pasal 19 ayat 1), Hak untuk hidup (SIPOL pasal 6 ayat 1), Hak untuk berkumpul (DULHAM pasal 22 ayat 1), Hak untuk jaminan sosial (dulham pasal pasal 23 ayat1). Saya sebelum turun memeperhatikan tentang pelanggaran HAM, awalnya terjadi karena kesenjangan ekonomi. Dan orang-orang disana pertama jadi orang-orang tenaga buruh. Tanah ini pun, sebelum Indonesia merdeka dikelolah oleh Belanda yang disebut perkebunan karet. Pertama saya berpendidikan di Pesantren didaerah jauh maka, saya rasakan kesenjangan dari ekonomi disana, bagaimana masyarakat bisa mengabdi agamanya dan bisa mendapatkan mata pencaharian yang baik.
Untuk memperjuangkan tanah ini, pertama saya bicara dengan Bapa Farman, saya mengajarkan tentang bagaimana generasi kedepan akan mempertahankan perjuangan tanah ini kedepan. Pada tahu 1999 saya sendri masuk pengajian di Bapa Farman untuk merebut tanah dan mengorganisir masyarakt tetap memperjuangkan haknya mereka. Dan saya dengan Bapa Farman berdiskusi untuk perjuangan ini dan saya pun mengumpulkan tokoh-tokoh dan saya mendisikusikan awal dengan 40 orang. Saya berbicara tentang kesenjangan ekonomi. Selain itu bagaimana anak-anak kita kedepan bisa berpendidikan dan pada saat itu jumlah pekerja buruh 40 orang, sehingga hasilnya mendapat banyak dan upahnya kurang di buruh itu.
Akhirnya saya mengambil inisiatif ini kearena, saya menjadi penegmbala disana dan saya mengorganisisr masyarakt yang mengembala rumput jangan di cabut dan tanah dapat harus di gerap kembali. Sementara menajalani proses itu saya pun kehidupnya tidak aman, mungkin saya mengambil informasi disana, kesini tentang tanah yang di bagkrut itu dan mata pencaharian masyarakat disaat itu paling minim karena tanah sebagian besar sdh di ambil oleh kelompok perhutani dan buruh.
Kemudian disaat itu Agustiana menjelaskan tetang tanah petani jadi tanah negara itu. Kata agustiana tanah ini bukan milik negara tapi di pinjam dulu dipihak perusahan, tapi di negara kita belum ada hukum yang mengatur tentang hal itu maka masyarkat sepakat kita harus melawan. Dengan kata itulah yang menjadi ideologi pemerintah juga belum berpihakan maka kita berjuang, melawan ketiodak adilan itu. Setelah masyarakat melekukan perlawannan maka tanah jadi kaplen-kaplen semuan masyarakt dapat menjadi pintu keluar masuk kehidupan mereka disana. Hingga kini desa cieceng masih bertahan hidup tanpa masalah dengan pihak pemodal atau Perusahan.
Jakarta, 25 September 2016
Bay:Lian Gobay
Kursus Pembela HAM Angkatan ke- IV