Academia.eduAcademia.edu

Analisis Sosiologis dalam cerpen " Masa Jodoh "

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra, karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan soaialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya. Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga dan proses sosfekonimiial. Sosiologi mengkaji struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial. Agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat secara keseluruhan menurut Wellek dan Werren dapat diteliti melalui: 1. Sosiologi pengarang, yang di dalamnya menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang serta keterlibatan pengarang di luar karya sastra. 2. Sosiologi karya sastra, menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri. Dan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial.

Analisis Sosiologis dalam cerpen “Masa Jodoh” Miranti* Sosiologi Sastra Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra, karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan soaialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya. Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga dan proses sosfekonimiial. Sosiologi mengkaji struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial. Agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara--cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat secara keseluruhan menurut Wellek dan Werren dapat diteliti melalui: 1. Sosiologi pengarang, yang di dalamnya menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang serta keterlibatan pengarang di luar karya sastra. 2. Sosiologi karya sastra, menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri. Dan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. 3. Sosiologi pembaca, mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya. (Wellek dan Werren, 1990: 111). Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap suatu karya sastra dengan tidak meninggalkan ruang lingkup masyarakat termasuk di dalamnya latar belakang kehidupan pengarang serta latar belakang kehidupan masyarakat pembacanya. Analisis Sosiologis Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Karya sastra secara objektif dapat didefinisikan sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Seorang penulis bukan hanya seorang pengarang yang pandai mengarang dan merangkai cerita. Tetapi juga bisa membaca kondisi yang terjadi di masyarakat lalu menuliskannya, serta mampu menitipkan pesan ideologis di setiap karyanya. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, penulis merupakan pembaca yang ulung dalam memahami dan merealisasikan kegelisahan hatinya tentang kehidupan sosial di sekitarnya. Bukan hanya sekadar kritik sosial, namun juga sebagai sarana untuk menuangkan kreativitas. Penulis mampu menuangkan ide yang dapat memengaruhi pola pikir setiap pembacanya tanpa perlu bersusah payah bersuara keras. Pembaca yang baik, adalah pembaca yang mampu berpikir objektif dalam menikmati suatu karya sastra. Pun begitu dalam menyelami setiap makna ideologis yang disampaikan oleh si penulis. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang cerpen “Masa Jodoh” karya Mukodas Sinatrya. Analisis yang saya pilih adalah melalui pendekatan sosiologis sastra. Penulis berasal dari Sunda. Darah Jawa Barat yang kental dalam dirinya, dan filosofi alam yang menjadi falsafah hidup Sunda yang kental telah tertanam dalam sosok Mukodas Sinatrya. Karya yang dihasilkannya menyinggung permasalahan-permasalahan yang ada di sekitarnya. Selain itu, lingkungan pendidikan dan pergaulannya juga telah membentuk pola pikirnya menjadi sedemikian rupa. Cerpen “Masa Jodoh” merupakan salah satu dari delapan cerpen dalam antologi cerpen “Kambing Hitam Narcissus” yang diterbitkan tahun 2016. Dalam antologi cerpen tersebut, Mukodas Sinatrya mengangkat isu-isu yang sudah ada dengan sudut pandang yang berbeda. Dari katanya saja, “Masa Jodoh” ini terdengar sedikit ‘ nyeleneh’ , ka rena seperti plesetan dari frasa “masa bodoh”. Cerpen ini mengisahkan tentang seorang laki-laki muda yang terus diteror dengan pertanyaan ‘kapan menikah?’. Tidak hanya dari keluarga sendiri, tetapi juga dari rekan kerja, dan lingkungannya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kutipan berikut. “Seperti sore ini, setelah lelah mengajar mahasiswa kuliah. Atasan di tempat kerja bertanya tentang alasan mengapa aku masih melajang. Dia bilang, “Apa yang Akang tunggu lagi? Sudah lulus S2, jadi pegawai tetap, punya gaji layak. Nunggu apa lagi, Kang?” (Sinatrya, 2016:115). “Setelah hidangan kucicipi secukupnya, aku menghampiri pasangan pengantin tersebut dengan amplop yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Berbasa-basi sebelum pulang meninggalkan mereka. Di akhir, dia bertanya, “Kapan nyusul?” (Sinatrya, 2016:121). “Kalau seperti ini, istilahnya bukan lagi diskusi. Lebih mengarah pada intimidasi. Bapak kembali menceritakan kisah suksesnya, sembari mengejek. Dia telah membangun keluarga sebelum berusia dua puluh lima. Sedangkan aku, pacar saja tak punya. Begitu katanya. Kalau saja yang tengah berbicara ini orang lain, aku akan segera meninggalkannya. Kupingku pengang mendengar kalimat yang diulang-ulang, usang.” (Sinatrya, 2016:121). Penulis begitu peka untuk mengangkat realita sosial di masyarakat. Dari tinjauan sosiologis, masyarakat kita begitu mudahnya menyuruh untuk menikah. Usia belum mencapai usia kepala tiga saja, sudah ribut bicara tentang menikah. Terlebih pada perempuan, lewat dari usia 25 tahun masih belum menikah, yang ribut bergosip adalah tetangga. Kalimat-kalimat pragmatik yang mengarah untuk menyuruh segera menikah dengan mudahnya dilayangkan. “Seperti sore ini, setelah lelah mengajar mahasiswa kuliah. Atasan di tempat kerja bertanya tentang alasan mengapa aku masih melajang. Dia bilang, “Apa yang Akang tunggu lagi? Sudah lulus S2, jadi pegawai tetap, punya gaji layak. Nunggu apa lagi, Kang?” (Sinatrya, 2016:115). ‘ Nunggu apa lagi?’ adalah kalimat klise yang palingsering diucapkan oleh masyarakat kita. Menikah itu bukan hanya sekedar siap fisik dan finansial, tetapi juga siap mental. Ini memang hal yang wajar. Budaya di Indonesia memang mengharuskan seorang lelaki untuk memiliki pekerjaan tetap, berpendidikan, dan berasal dari keluarga baik-baik. Mencari jodoh juga bukan hal yang mudah. Banyak pertimbangan, seperti bibit, bebet, bobot, dan kesediaan lawan jenis yang dipilih. Belum lagi adat yang mengharuskan setiap keluarga menikahkan anaknya secara berurutan. Seorang adik tidak boleh melangkahi kakaknya menikah. Padahal jodoh itu merupakan rahasia Tuhan. Tetapi secara apik, penulis menjawab pertanyaan klise tersebut. “Berkali-kali pula, kujawab pertanyaan mereka dengan keyakinan sempurna. Bahwasanya calon pendamping itu sudah ada, bahkan sebelum kami sama-sama dilahirkan. Cukup dua pilihan yang memungkinkan: kami belum dipertemukan Tuhan, atau sebenarnya kami pernah berjumpa, hanya belum tersadarkan.” (Sinatrya, 2016:115). “Ada banyak bantahan sebenarnya. Pertama, urusan jodoh itu tidak seperti peserta lomba lari. Siapa yang pertama kali ke garis finish, dialah pemenangnya. Untuk apa buru-buru menikah jika tidak bahagia?” (Sinatrya, 2016:122). “Kuibaratkan menjemput jodoh itu seperti nelayan yang mendapatkan ikan. Mereka melempar pukat ke laut, berusaha menjaring ikan sebanyak-banyaknya. Ketika sudah dapat, tidak seluruhnya untuk diri sendiri. Sebagian dijual untuk pelanggan dan sisanya untuk keluarga. Saat ikan-ikan dimasak pun, masih perlu memilih dan memilah. Perut seorang nelayan hanya sanggup menghabiskan beberapa ikan. Dan itulah, yang Tuhan istilahkan dengan rezeki. Tuhan telah menuliskan rezeki tiap manusia sebelum mereka dilahirkan, sama halnya dengan jodoh.” (Sinatrya, 2016:122). Selain kalimat ‘ nunggu apa lagi’ , kalimat lain yangpaling sering diucapkan oleh masyarakat kita ketika orangtua menyuruh anaknya menikah adalah: “Cuma mau gendong cucu.” “Klise. Ini sudah bukan lagi zaman jodoh-jodohan. Usiaku saja baru dua puluh tujuh. Mending kalau anak kenalan bapak cantik, terus ternyata aku sudah kenal dia dari dahulu. Ah, tak mungkin. Itu hanya ada di FTV dan sinetron murahan. Ketidaksengajaan yang begitu disengaja. Kebetulan itu memang ada di dunia nyata, tetapi tidak seindah apa yang ada diceritakan roman picisan. “Bapak cuma pengen ngegendong cucu. Itu aja.” “Ia, Pak. Segera!” (Sinatrya, 2016:123) Begitu mudahnya mengatakan hal tersebut. Memiliki cucu bukan hal yang mudah, ketika calon menantu belum ada, ketika belum siap segalanya, tentu orang tua harus lebih bersabar. Karena setiap orang memiliki jodohnya tersendiri. Setelah menikah pun, tidak semua pasangan langsung diberi rezeki untuk segera memiliki anak. Hal ini juga menimbulkan permasalahan baru. Sebelum menikah selalu disinggung “Cuma mau gendong cucu”. Setelah menikah disindir lagi “Kapan mau ngasih cucu?”. Mengapa cucu menjadi kalimat yang terlalu mudah untuk diucapkan? Penulis juga teliti untuk memasukkan realita sosial pada karyanya. Seolah menjadi kebiasaan yang disepakati bersama, sebelum menikah itu harus pacaran dahulu. Padahal dari sudut pandang agama, hal tersebut tidak dibenarkan. Ada juga orang yang ingin menikah tanpa harus pacaran. “Jodoh juga bukan masalah pacaran. Banyak yang bertahun-tahun menjalin kisah asmara, namun kandas menjelang pernikahan. Banyak pula yang baru kenal kemudian membangun keluarga seumur hidup. Kemungkinan menemukan jodoh tanpa pacaran begitu besar. Terlebih aku malas untuk berkasih-kasih di luar nikah. Sudah mah dosa, gak bisa bebas pula. Yang aku inginkan hanya bertemu jodoh, lantas menikah.” (Sinatrya, 2016:122). “Ini prinsip, Pak. Maunya langsung nikah. Gak pacaran dulu.” “Tiga dara itu juga kan, pengennya langsung nikah. Cocok!” (Sinatrya, 2016:124). Mukodas Sinatrya juga mengkritik kebiasaan masyarakat yang dengan mudahnya menjajakan diri dalam rubrik jodoh di surat kabar. “Jaring yang kugunakan bukan seperti orang kebanyakan. Yang memasang iklan di rubrik jodoh koran-koran. Yang tinggal mencari target yang diinginkan. Cukup dituliskan bahwa Aku mencari wanita : Beragama islam. Belum menikah dan siap menikah. Usia 20-27 tahun. Sudah lulus kuliah. Itu terlalu mainstream. Caraku menjaring ya seperti ini. Dengan kisah yang aku tuliskan di atas. Para pembaca secara tidak langsung akan tahu kepribadianku seperti apa. Pemikiranku, juga pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi. Curhat adalah sarana mencari jodoh yang efektif.” (Sinatrya, 2016:131). Fungsi sosial sastra yaitu meniliti sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai sejauh mana nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Sebagai salah satu bagian dari masalah sosial, penulis sudah menuliskan realita yang terjadi dengan sangat apik. Ini hanyalah salah satu masalah kecil yang diangkat menjadi sebuah karya yang menarik. Sederhana, namun memiliki pesan ideologis yang mendalam tanpa harus menggurui. Masyarakat kita terlalu banyak ikut campur dalam mengikuti permasalahan orang lain. Padahal hidup, mati, rezeki, dan jodoh sudah diatur oleh Tuhan. Kita tidak perlu risau. Karena sebenarnya, ketika kita gusar dan takut akan satu hal remeh berarti kita telah menyepelekan Tuhan. Kita telah menghina Tuhan. Yakinlah, bahwa hidup ini sudah diatur sedemikian rupa. Dari analisis di atas, sebenarnya jodoh itu bukan hanya lawan jenis yang menjadi pasangan hidup. Tetapi sesungguhnya makna jodoh itu terlampau luas. Kita dengan raga ini, dengan orang tua kita, dengan teman-teman kita, bahkan dengan peniti yang kita miliki pun itu adalah jodoh. Karena jika tidak berjodoh, kita takkan berada di hidup ini dan tidak memiliki apa yang kita punyai saat ini. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Redaksi PM. 2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap. Depok : Pustaka Makmur. Sinatrya, Mukodas. 2016. Kambing Hitam Narcissus. Bogor : Penerbit Arbiter. Wellek, Rene & Austian Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. * Penulis adalah mahasiswa pecinta bacaan, mulai menggeluti dunia kritikus sastra.