Academia.eduAcademia.edu

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP EUTHANASIA

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP EUTHANASIA Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Masailul Fiqh Dosen Pengampu : Makmun, M.HI Oleh Nama : Rijal Imanullah NIM : 11.1201.0014 Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal As-Syakhsyiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda 2014 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, akidah, ekonomi, sosial, sandang pangan, kesehatan dan sebagainya sering kali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam keadaan demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang dinamakan Ilmu Masail al-Fiqhiyah. Studi yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyah terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum. Dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin modern yang telah muncul masalah euthanasia yang mendorong untuk mencari pemecahannya secara komprehensif dan utuh. Rumusan Masalah Melihat dari latar belakang masalah diatas, maka dalam makalah ini penulis akan membahas tentang : Pengertian Euthanasia ? Euthanasia ditinjau dari segi kedokteran ? Pandangan hukum islam tentang Euthanasia ? BAB II PEMBAHASAN Pengertian Euthanasia Euthanasia berasal dari Bahasa Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa penderitaan; sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Adapula yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita. Istilah untuk pertolongan medis adalah agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti memepercepat kematian seseorang yanga ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiaannya. M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, cet. 4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 132 Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda): “Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.” M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: EGC, 1999), hal. 105 Menurut Ratna Suprapti Samil, euthanasia diartikan perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk mengakhiri penderitaannya. Akan tetapi, ini sering diartikan pengakhiran kehidupan karena kasihan atau membiarkan orang mati. Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001), hal. 92 Euthanasia dari Segi Kedokteran Dalam dunia kedoteran lingkup dunia sendiri masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Yang tidak menyetujui berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan terselubung. Oleh karena itu, tindakan ini bertentangan dengan kehendak tuhan. Yang menyetujui menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Di Indonesia, menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, istilah euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu: Berpidah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir, Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit yang diringankan dengan memberikan obet penenang, Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, (Jakarta: EGC, 2006), hal. 189 Euthanasia pada dasarnya dapat dibedakan dam tiga macam, yaitu: Euthanasia aktif Tindakan ini dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia pasif Dokter atau tenaga kerja kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Auto-euthanasia Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. Ratna Suprapti Samil, Op. Cit, hal. 93 Dalam Pasal 9, Bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter senantiasa mengingat kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurur kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan: Menggugurkan kandungan (abortus provocatus), Mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Ibid, hal. 98 Sampai saat ini belum ada aturan hukum khusus di Indonesia yang mangatur baik euthanasia. Akan tetapi melihat dari beberapa pengertian dan pembagiannya, dapat kita hubungkan dengan pasal-pasal dalam KUHP, antara lain: Pasal 344 KUHP: Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiriri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien/keluarga pasien mangakhiri hidu atau memperpendek hidup pasien, ancama hukuman ini harus dihadapinya. M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Op. Cit. hal. 108 Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, Pasal 338 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamannya lima belas tahun. Pasal 340 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Pasal 359 KUHP: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun. Selanjutnya dibawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang menginginkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia. Pasal 345 KUHP: Barangsiapa dengan dengan sengaja menghasut orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri. Pasal ini mengingatkan dokter, jangankan melakukan euthanasia, menolong atau memberi harapan kearah perbuatan itu saja pun sudah mendapat ancaman. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Euthanasia Euthanasia atau tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan hingga kini masih dalam perbincangan para pakar. Dalam pandangan Islam, hidup adalah anugrah Allah. Dia yang menganugrahkannya dan hanya Dia pula yang mencabutnya, atau berhak memerintah untuk mencabutnya. Allah berfirman: Artinya : “Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 156) Departemen Agama, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Kathoda, 2005), hal. 89 Jangan mengakhiri hidup orang lain, mengakhiri hidup diri sendiri pun dilarang dan diancam oleh-Nya dengan sanksi berat. M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab: 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hal. 892 Allah berfirman: قَالَ اللّه تعالى: بَادَرَنِىْ عَبْدِىْ بِنَفْسِهِ, حَرَّمْت عَلَيْهِ الجَنَّةِ. Artinya: Allah berfirman: “Hambaku menyegerakan kepada-ku (mati) dengan dirinya, maka aku mengharamkan surga atasnya”.(HR. Bukhari). Al-Haditsu Juz Ula, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri, Kelengkapan Hadits Qudsi, (Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1985), hal. 444 Allah dan Rasulnya mengancam para pelaku bunuh diri yang membunuh dirinya, mempercepat hidupnya, dan menghilangkan nyawa dengan berbagai siksaan di akhirat, pada hari semua makhluk berdiri menghadap tuhan alam semesta. Dia menjadi orang yang dilaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah, dan surga haram baginya dia dikekalkan di neraka, dan siksaannya dengan menggunakan sesuatu yang digunakannya untuk membunuh dirinya dan menghilangkan nyawanya. Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah fil Islam, diterjemahkan oleh: Khikmawati, Maqashid Syariah, (Jakarta: AMZAH, 2009), hal. 29 Rasulullah bersabda: مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىءٍ عَذَّبَ بِهِ يَوْمَ القِيَامةِ Artinya: “Barang siapa membunuh dirinya dengan menggunakan sesuatu pada hari kiamat dia akan disiksa dengan menggunakan sesuatu tersebut. (HR. Bukhari) Allah berfirman: Terjemahnya: “Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. An-Nisa: 30) Departemen Agama, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Kathoda, 2005), hal. 108. Ayat ini memberikan peringatan kepada orang yang melanggar hak orang lain dan menganiayanya dengan memasukkannya ke dalam api neraka, yang demikian itu sangat mudah bagi Allah, karena tidak ada sesuatu yang dapat membantah, menentang dan menghalang-halanginya. Lihat, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Tafsirnya Jilid 2 juz 4, 5, 6. (Jakarta: 2009), hal. 154 Nash-nash diatas menunjukkan kepada kita betapa murkanya Allah dan Rasulnya kepada orang yang berlari menuju kepada bunuh diri dengan tujuan untuk membebaskan jiwanya dari kehidupan ini, memisahkannya dengan harta dunia, dan menjauhi segala sesuatu yang menyakiti. Hal ini disebabkan karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan mencabut ruh manusia. Padahal Allah sajalah sang pemberi kehidupan, dan Dia sajalah yang mematikannya. Dia sang pencipta kematian dan kehidupan. Oleh Karena itu, diantara Asma’ul Husna terdapat al-Muhyi (dzat yang menghidupkan) dan al-Mumit (dzat yang mematikan). Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Op. Cit. hal. 24 Allah berfirman: Terjemahnya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS. Al-Mulk: 2) Departemen Agama, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Kathoda, 2005), hal. 822 Maka, tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan atau kehancuran. Allah berfirman: . Terjemahnya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah:195) Ibid. hal. 37. kata ini bentuk masdar dari halaka, yahliku, halkan, tahlukatan, halukan. Artinya sesuatu yang membawa kepada kebinasaan, kehancuran, kematian dan sebagainya. Ayat ini mempunyai arti larangan bunuh diri atau melakukan hal-hal yang menyebabkan kematian. Lihat, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Tafsirnya Jilid 1 juz 1, 2, 3. (Jakarta: 2009), hal. 286-287 Dalam ayat lain Allah berfirman: Terjemahnya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29) Ibid. hal. 107. Allah melarang membunuh diri. Menurut bunyi ayat, yang dilarang dalam ayat ini adalah membunuh diri sendiri, tetapi yang dimaksud ialah membunuh diri sendiri dan orang lain. Membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, sebab setiap otang yang membunuh akan dibunuh sesuai dengan hukum qishas. Lihat, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Tafsirnya Jilid 2 juz 4, 5, 6. (Jakarta: 2009), hal. 154 Disisi lain, mengakhiri hidup seorang walaupun dengan alasan kemanusiaan, pada hakikatnya telah berputus asa dari rahmat Allah. Sementara itu, secara tegas al-Qur’an menyatakan : Terjemahnya : “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf: 87) Ibid. hal. 331. Orang-orang mukmin tidak akan berputus asa karena musibah yang menimpanya dan bahaya yang melanda. Meraka bersabar dan tabah menghadapi segala kesulitan yang dialaminya. Ia dengan rela penuh ikhlas menerima takdir dari Allah dengan keyakinan bahwa suatu saat nanti Allah akan menghilangkan semua kesulitan itu. Lihat, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Tafsirnya Jilid 5 juz 13, 14, 15. (Jakarta: 2009), hal. 32-33 Orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara demikian, berarti dia telah mendahului atau melanggar kehendak Allah dan wewenangnya. Seharusnya orang harus bersikap sabar dan tawakal menghadapi musibah dan berdoa kepada Allah semoga berkenaan memberi ampunan kepadanya dan memberi kesehatan kembali. M. Ali Hasan, Op. Cit, hal. 133 Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakit demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati ditangan Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien. Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 106 BAB III PENUTUP Kesimpulan Euthanasia diartikan perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk mengakhiri penderitaannya. Juga berarti memepercepat kematian seseorang yanga ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiaannya. Di Indonesia sendiri tindakan euthanasia di larang, dalam Pasal 9, Bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter senantiasa mengingat kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani. Walapun di Indonesia tidak ada perturan khusus yang mengatur tentang euthanasia, akan tetapi dapat di kaitkan dengan KUHP pasal 338, 340, 344, 345, 359. Dalam pandangan Islam, hidup adalah anugrah Allah. Dia yang menganugrahkannya dan hanya Dia pula yang mencabutnya, atau berhak memerintah untuk mencabutnya. Oleh karena itu, euthanasia dalam islam dilarang dan terdapat sanksi berat bagi pelakunya. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah, Bogor: Kencana, 2003. Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah fil Islam, diterjemahkan oleh: Khikmawati, Maqashid Syariah, Jakarta: AMZAH, 2009. Al-Haditsu Juz Ula, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri, Kelengkapan Hadits Qudsi, Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1985. Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Jakarta: EGC, 2006. Departemen Agama, Al-qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Kathoda, 2005. , Al-qur’an dan Tafsirnya Jilid 1 juz 1, 2, 3. Jakarta: 2009. , Al-qur’an dan Tafsirnya Jilid 2 juz 4, 5, 6. Jakarta: 2009. , Al-qur’an dan Tafsirnya Jilid 5 juz 13, 14, 15. Jakarta: 2009. M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, cet. 4, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC, 1999. M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab: 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2008. Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001. 12