Academia.eduAcademia.edu

Budaya lokal sebagai upaya pemberdayaan gizi masyarakat

MAKALAH PEMBERDAYAAN GIZI MASYARAKAT “Budaya Lokal Tingkeban sebagai Upaya Perbaikan Masalah Gizi di Masyarakat” Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat Semester 6 Dosen Pengampu : Dr. Waryana, SKM, M.Kes Oleh : RINA AMBARWATI P07131213061 DIV GIZI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA JURUSAN GIZI 2016 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosialekonomi, budaya dan politik (Unicef, 1990). Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah kekurangan gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi kurang sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa dan seringkali tidak cepat ditanggulangi, padahal dapat memunculkan masalah besar. Selain gizi kurang, secara bersamaan Indonesia juga mulai menghadapi masalah gizi lebih dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dapat dilihat bahwa masalah pangan, gizi dan kesehatan bukanlah masalah yang berdimensi tunggal, namun merupakan permasalahan yang  sangat kompleks terkait dengan berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, pertanian, lingkungan,  sosial, budaya, dan juga politik. Isu spesifik dan bahkan mungkin juga kontroversial tentang   pangan,  gizi dan kesehatan penting untuk digali terus menerus. Unsur-unsur kebudayaan adalah meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat, yang merupakan hasil budi atau akal manusia. Dalam mengatasi masalah-masalah lebih berorientasi pada adaptasi dan pelaksanaan strategi terhadap keadaan social (Koentjaraningrat, 2002) Kebiasaan makan - sebagaimana halnya dengan kebiasaan-kebiasaan lain - hanya dapat dimengerti  dalam konteks budaya secara menyeluruh. Oleh karena itu,    program-program pendidikan gizi   efektif  yang memungkinkan untuk menuju  pada perbaikan  kebiasaan makan harus didasarkan  atas pengertian  tentang makanan  sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang yaitu lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, dimana lingkungan sosial ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Manusia sebagai makhluk sosial yang saling ketergantungan satu sama lain dengan lingkungannya sangat membutuhkan pertolongan dari orang lain, dalam memecahkan berbagai masalah individu maupun masalah-masalah sosial yang terjadi dalam lingkungan sekitar manusia. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan adat istiadat yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang termasuk dalam perilaku kesehatan, sehingga petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang mempunyai latar belakang suku, adat istiadat dan budaya yang berbeda, harus mampu memahami budaya masyarakat yang dilayaninya. Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut Tujuan Umum Untuk mengetahui peran budaya dimasyarakat dalam upaya perbaikan gizi Tujuan Khusus Untuk mengetahui aspek budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan dan status kesehatan Untuk mengetahui masalah kesehatan yang berkaitan dengan sosial budaya Untuk mengetahui tradisi dan budaya di masyarakat yang mempengaruhi perilaku kesehatan dan gizi Manfaat Manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut Dapat memberikan tambahan wawasan dan informasi dalam ilmu gizi masyarakat Dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan instansi terkait dalam menentukan kebijakan dan perencanaan program penanggulangan masalah gizi dengan memperhatikan aspek budaya di masyarakat BAB II PEMBAHASAN Aspek Budaya Koentjaraningrat, (2002) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek sosial budaya yang mempengaruhi status kesehatan antara lain adalah : Umur Jika dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola penyakit berdasarkan golongan umur. Misalnya balita lebiha banyak menderita penyakit infeksi, sedangkan golongan usila lebih banyak menderita penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker, dan lain-lain. Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin akan menghasilkan penyakit yang berbeda pula. Misalnya dikalangan wanita lebih banyak menderita kanker payudara, sedangkan laki-laki banyak menderita kanker prostat. Pekerjaan Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Misalnya dikalangan petani banyak yang menderita penyakit cacing akibat kerja yang banyak dilakukan disawah dengan lingkungan yang banyak cacing. Sebaliknya buruh yang bekerja diindustri , misal dipabrik tekstil banyak yang menderita penyakit saluran pernapasan karena banyak terpapar dengan debu. Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh pada pola penyakit. Misalnya penderita obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi, dan  sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan dikalangan masyarakat yang status ekonominya rendah. Menurut H.Ray Elling (1970) ada 2 faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan : Self concept Self concept kita ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang kita rasakan terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain. Apabila orang lain melihat kita positip dan menerima apa yang kita lakukan, kita akan meneruskan perilaku kita, begitu pula sebaliknya. Image kelompok Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai contoh, anak  seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-orang dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar dengan lingkungan medis, dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk menjadi dokter. Menurut G.M. Foster (1973) , aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan adalah: Pengaruh tradisi Ada beberapa tradisi dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat, misalnya di New Guinea, pernah terjadi wabah penyakit kuru.penyakit ini menyerang susunan saraf otak dan penyebabnya adalah virus.penderita hamya terbatas pada anak-anak dan wanita.setelah dilakukan penelitaian ternyata penyakit ini menyebar karena adanya tadisi kanibalisme Sikap fatalistis Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan.  Contoh : Beberapa anggota masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang beragama islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit pengobatan bagi anaknya yang sakit,atau menyelamatkan seseorang dari kematian. Sikap ethnosentris Sikap ethnosentrime adalah sikap yang memandang bahwa kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain. Oleh karena itu, sebagai petugas kesehatan kita harus menghindari sikap yang menganggap bahwa petugas adalah orang yang paling pandai, paling mengetahui tentang masalah kesehatan karena pendidikan petugas lebih tinggi dari pendidikan masyarakat setempat sehingga tidak perlu mengikut sertakan masyarakat tersebut dalam masalah kesehatan masyarakat.dalam hal ini memang petugas lebih menguasai tentang masalah kesehatan,tetapi masyarakat dimana  mereka bekerja lebih mengetahui keadaan di masyarakatnya sendiri. Pengaruh nilai Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh : masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daipada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi diberas merah daripada diberas putih. Meskipun masyarakat mengetahiu bahwa beras merah lebih banyak mengandung vitamin B1 jika dibandingkan dengan beras putih,masyarakat ini memberikan nilai bahwa beras putih lebih enak dan lebih bersih. Contoh lain adalah masih banyak petugas kesehatan yang merokok meskipun mereka mengetahui bagaimana  bahaya merokok terhadap kesehatan. Masalah Kesehatan Indonesia saat ini masih memiliki empat masalah gizi utama. Menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Kementerian (Kemenkes) RI, Andry Harmany, masalah gizi di Indonesia yaitu kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), dan Kurang vitamin A. Untuk menurunkan masalah gizi di Indonesia diperlukan progam gizi dari pemerintah melalui Pemberdayaan Masyarakat dengan memperhatikan aspek budaya. Tradisi Tingkeban Tingkeban atau Mitoni sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Yogyakarta, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Yogyakarta. Dahulu masyarakat Yogyakarta mengenal tiga tradisi yang harus dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Tingkeban atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap  ritual tetap disediakan. Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu  genap dan jumlahnya 12 atau 16. Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari sumuanya memiliki werdi atau makna sendiri-sendiri. Tabel 1. Piranti Ritual Tingkeban No NamaRitual Waktu Seharusnya Piranti 1 Neloni Tiga bulan dari masa mengandung Takir plontang 4 buah Golong 7 buah Jajan pasar Jenang abang Jenang putih Jenangkuning Jenang ireng Jenang sengkolo 2 Tingkeban Enam bulan dari masa kehamilan Woh-wohan Punar 2 buah Kembang setaman Sesaji dakripin(Suro ganep) Daun dadap srep Daun beringin Daun andong Janur Mayang Jenang abang Jenang putih Jenang kuning Jenang ireng Jenang waras Jenang sengkolo 3 Procotan Delapan bulan dari masa kehamilan Jenang abang Jenang putih Jenang kuning Jenang ireng Jenang waras Jenang sengkolo Jenang inthil-inthil Jenang sewu (dawet) Jenang sempuro Jenang kembo Jenang procot Jenang arang-arang kambang Ketupat lepet Upacara tersebut dimulai dengan acara kenduri telon-telon yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan berjonggo atau sesepuh desa ngujubne yaitu menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan menjelaskan makna satu per satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan undangan dengan kata-kata nggeh disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh berjonggo. Satu per satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan do’a, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah tersedia. Selesai upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon, dengan menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban inilah yang penulis anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya diyentukan dan tidak boleh dilanngar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarit batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sabitr besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunngu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak.Setelah semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jari yang telah tertata. Kaitan Tingkeban dengan Gizi Dibalik ritual kenduri atau selamatan yang diselenggarakan oleh suatu keluarga tidak hanya sekedar sebagai sarana memanjatkan doa kepada seorang calon ibu yang sedang mengandung, tetapi juga merupakan bentuk sedekah kepada sesama warga dari keluarga yang sedang mempunyai hajat. Keluarga yang mempunyai hajat menyiapkan beberapa sajian makanan yang ditempatkan di suatu wadah atau besek untuk nantinya dibagikan kepada undangan. Besek ini berisi nasi, lauk (biasanya ayam), kerupuk, gudangan, pisang/salak/kokosan, dan telur. Doa yang dibaca untuk memanjatkan keselamatan dan berisi permintaan kemudahan dalam menghadapi masa kehamilan dan kelahiran. Begitu doa selesai, besek dibagikan ke tetangga yang datang. Selain berbagai jenis makan yang ditempatkan di besek, ada berbagai jenis makanan yang dipersiapkan sebagai pelengkap pelaksanaan selamatan. Makanan berupa nasi beserta lauk pauk yang diperoleh melalui kenduri atau selamatan dibawa pulang untuk dikonsumsi bersama anggota keluarganya istri termasuk anak-anak berserta atau anggota keluarga yang lain. Bahkan tetangga yang tidak sempat hadir saat penyelenggaraan kenduri atau selamatan berlangsung akan dikirim makanan berupa nasi beserta lauk pauk yang sudah dikemas dalam wadah berupa besek (Jawa: berkat). Pola kebiasaan tersebut tentunya akan menunjang perbaikan gizi keluarga yang bersangkutan. Makanan yang disertakan dalam kenduri dapat dikatakan cukup bergizi karena terdiri dari nasi disertai lauk pauk berupa daging ditambah sayur khusus yang tidak setiap hari dimasak dan dikonsumsi oleh warga masyarakat pada umumnya di daerah pedesaan. Bagi warga desa khususnya keluarga miskin atau keluarga kurang mampu hal ini merupakan tambahan menu yang istimewa, karena belum tentu dalam kesehariannya keluarga tersebut mengkonsumsi makanan seperti itu. Demikian pula adanya sistem weh-wehan akan menambah asupan gizi keluarga sesama tetangga atau warga desa. Dalam keluarga masyarakat Jawa biasanya anak-anak akan selalu memperoleh prioritas dalam pembagian lauk berupa daging dalam keluarga. Anak-anak khusus-nya yang masih balita selalu diutamakan untuk mendapatkan bagian makanan terlebih dahulu dalam keluarga. Melalui berbagai cara demikian pemerataan konsumsi kebutuhan akan asupan makanan yang bergizi untuk anak-anak akan terpenuhi. Oleh karena itu bagi keluarga yang kurang mampu cara-cara pembagian makanan melalui berbagai tradisi sosial baik kenduri atau selamatan, sistem weh-wehan akan sangat menguntung-kan karena mereka sebagai warga desa terutama mereka yang kurang mampu akan memperoleh makanan beserta lauk pauknya yang dapat menambah asupan gizi yang mereka perlukan. Menurut Vatuk S, kebiasaan tukar-menukar sesuatu kebutuhan primer antar tetangga dalam kehidupan bermasyarakat mempunyai pengaruh pada status kesehatan masyarakat khususnya status kesehatan bayi di masyarakat pedesaan. Adanya pangan yang cukup dan merata menciptakan kondisi untuk perbaikan gizi anggota masyarakat. Sedang gizi yang mencukupi akan mendorong naiknya status kesehatan masyarakat BAB III PENUTUP Kesimpulan Aspek budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang antara lain adalah Tradisi, Sikap fatalism, Nilai, dan Ethnocentrisme Masalah gizi di Indonesia yaitu kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), dan Kurang vitamin A Tradisi Mitoni atau tingkeban adalah selametan calon ibu mengandung menginjak usia kandungan tujuh bulan. Dalam tingkeban dibagikan besek atau berkat yang terdapat nasi, lauk pauk, buah dan sayur kepada tetangga sekitar yang mempunyai hajat. Cara-cara pembagian makanan melalui berbagai tradisi sosial baik kenduri atau selamatan, sistem weh-wehan akan sangat menguntung-kan karena mereka sebagai warga desa terutama mereka yang kurang mampu akan memperoleh makanan beserta lauk pauknya yang dapat menambah asupan gizi dan kesehatan meningkat Saran Tetap di lakukan dan berlangsung dalam kehidupan sosial masyarakat, karena kenduri merupakan tradisi yang didasari rasa solidaritas dan toleransi yang tinggi sesama warga desa. Sehingga pemberian makanan berkat turut serta menunjang gizi keluarga untuk meningkatkan status kesehatan. DAFTAR PUSTAKA http://pinky_saptandari-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-67565-antropologi%20kesehatan-Gizi%20&%20Budaya.html diakses pada 05 Mei 2016 https://rhyerhiathy.wordpress.com/2012/12/14/bina-gizi-melalui-program-nice-dalam-pembangunan-sektor-kesehatan/ diakses pada 05 Mei 2016 http://ellyaniabadi.blogspot.co.id/2014/10/peran-sosial-budaya-terhadap-upaya.html diakses pada 07 Mei 2016 Koentjaraningrat.2002.Pengantar Anthropologi.Nuha Medika:Yogyakarta Kasnodihardjo dan Angkasawati, Juni.2014.Jurnal: Nilai-nilai Budaya Yang Mendasari Pemerataan Makanan Yang Dapat Menunjang Gizi Keluarga Vol. 42. Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan