Academia.eduAcademia.edu

Resiko Likuiditas dan Pembiayaan

Likuiditas adalah kemampuan Manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi kewajibannya setiap saat. Dalam kewajiban diatas termasuk penarikan yang tidak dapat diduga seperti Commitment Loan maupun penarikan-penarikan tidak terduga lainnya. 1 Tetapi pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut passive, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas. 2 Secara garis besar manajememen likuiditas terdiri dari dua bagian, yaitu:

Risiko Likuiditas dan Risiko pembiayaan Pengertian Likuiditas Likuiditas adalah kemampuan Manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi kewajibannya setiap saat. Dalam kewajiban diatas termasuk penarikan yang tidak dapat diduga seperti Commitment Loan maupun penarikan-penarikan tidak terduga lainnya. Rivai, veithzal, Bank And Financial Institution Management, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.386 Tetapi pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut passive, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas. Ktut Silvanita, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, 2009 hal. 62 Secara garis besar manajememen likuiditas terdiri dari dua bagian, yaitu: Memperkirakan kebutuhan dana, yang berasal dari penghimpun dana (deposit inflow) dan untuk penyaluran dana (fund out flow) dan berbagai komitmen pembiayaan (finance commitments). Bagaimana cara bank mampu memenuhi kebutuhan likuiditasnya dan mengidentifikasikan karakteristik setiap produk di bbamk baik sisi aktiva maupun passiva serta factor-faktor yang mempengaruhinya. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDITAS Secara garis besar, baik buruknya likuiditas bank dipengaruhi banyak factor. Namun yang paling dominan dapat dikelompokkan menjadi factor eksternal dan factor internal. Dr.H. Veithzal Rivai, Arviyan Arifin, Islamic Banking, jakarta: Bumi aksara, 2010, hal. 149 Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah uncontrollable faktor antara lain kondisi ekonomi dan moneter, karakteristik deposan, kondisi pasar uang, peraturan, dan lain-lain. Factor eksternal yang mempengaruhi kondisi likuiditas bank syariah dapat diidentifikasikan sebagai berikut: Karakteristik Penabung Secara spesifik para deposan bank syariah memiliki pola prilaku menabung sebagai berikut: Menyimpan dalam instrument tabungan jangka pendek sehingga bisa dicairkan kapan saja baik dengan penalty atau tanpa penalty. Untuk kepentingan jangka pendek dan lebih mengutamakan keuntungan. Persainagan antar Lembaga Keuangan Persaingan antar lembaga keuangan juga mempengaruhi likuidiras bank syariah. Pada saat bank syariah memberikan return yang rendah, para pemilik dana terutama pemilik dana rasional akan mencari alternative lain untuk mengoptimalkan return mereka. Berbagai lemaga keuangan seperti Bank Konvesional, Lembaga Keuangan Bukan Bank, Pasar Uang dan Pasar Modal merupakan persaingan yang harus diperhitungkan di dalam memperebutkan dana masyarakat. Koran Tempo, terbitan Selasa 6 April 2010, hlm. A17, kolom1-3 Faktor Internal Faktor internal pada umumnya adalah yang bisa dikendalikan oleh bank dan sangat tergantung kepada kemampuan manajemen mengatur setiap instrument likuiditas bank. Contonya: Pemilihan strategi penerapan asset-liablities manajemen. Factor internal yang mempengaruhi kondisi likuiditas bank syariah dapat diidentifikasikan sebagai berikut: Manajemen Risiko Likuiditas Risiko adalah potensi terjadinya suatu pristiwa yang dapat menimbulkan kerugian. Manajemen resiko adalah serangkaian prosedur dan teknologi yang digunakan untuk mengidentifikasikan, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan bank. Peratura Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Risiko likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan aktiva yang berjangka panjang. Besar kecilnya likuiditas ditentukan antara lain: Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan pertumbuhan dana termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana. Ketetapan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non Profit Loss Sharing (PLS) Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, maka diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas. Bahsan, Giro dan Bilyet Giro Perbankan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005, hal. 127 Dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, aktivitas manajemen resiko yang umumnya ditetapkan oleh bank antara lain adalah: Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan dari kliring maupun penarikan tunai. Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah. Membuat analisis penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini. Dari analisis tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas bank. Selanjutnya bank menetapkan secondary reserve untuk menjaga posisi likuiditas bank, antara lain menempatkan kelebihan dana dalam instrumen keuangan yang likuid. Menetapkan kebijakan cash holding limit pada kantor-kantor cabang bank. Melaksanakan fungsi ALCO (A sset-Liability Committee) untuk mengatur tingkat return dan likuiditas bank. Mengatur strukur portofolio dana. Mengadakan perjanjian credit line dengan lembaga keuangan lain. Pengelolaan Likuiditas Pengelolaan likuiditas bank dimaksudkan untuk memenuhi tujuan dan terbentuknya likuiditas yang sehat dengan kondisi sebagai berikut. Tujuan manajemn likuiditas adalah untuk: Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari Memenuhi kebutuhan dana mendesak Memuaskan permintaan nasabah akan pembiayaan Memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan. Menjaga posisi likuiditas bank agar mampu memenuhi rasio yang ditentukan bank sentral Meminimalkanidle fund (dana mengendap) Ciri-ciri bank yang memiliki likuiditas sehat Memiliki sejumlah alat likuid Memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan menjadi kas tanpa mengalami kerugian baik sebelum atau sesudah jatuh tempo. Memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara mencipakan uang, misalnya dengan menjual surat berharga dengan repurchase agreement. Memenuhi ratio pengukuran likuiditas yang sehat Perencanaan Likuiditas Dalam hal bank syariah melakukan perencanaan likuiditas, maka perencanaan likuiditas dapat dilakukan melalui analisis perencanaan likuiditas yaitu mengidentifikasikan kebutuhan utama terhadap likuiditas kemudian membandingkan kebutuhan tersebut dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank pada saat itu. Untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah likuiditas dikaitkan dengan upaya pengembangan bank syariah, tuntutan deposan, profesionalitas, tingkat profitabilitas dan kepatuhan terhadap system syariah, bank syariah harus melakukan hal-hal sebagai berikut: Menggiatkan pendidikan dan sosialisa bank syariah khususnya menjelaskan tentang aspek-aspek ekonomi dan system nilai keislaman kepada masyarakat. Terus memperbaiki dan meningkatkan kinerja bank syariah. Mengintensifikasikan dan focus pada equity based financing dari pada debt based financing akan menyebabkan meningkatnya profit jangka pendek dan jangka panjang. Menawarkan return tinggi dan kompetitif adalah salah satu cara memelihara loyalitas segmen deposan rasional juga untuk menarik deposan baru. Memperkuat koordinasi, komunikasi dan pengertian dengan deposan/investor dan partner bisnis. Terkait dengan pendekatan syariah terhadap risiko likuiditas, proses mobilisasi dana dan proses penyaluran dana menyangkut tiga komponen penting, yaitu: Tingkah laku masyarakat karena karena oprasional bank syariah didasarkan pada amanah dan berbagi risiko dengan partner bisnis. Harmonisasi asset dan liability Pengukuran dan monitoring dana Mengidentifikasi berapa banyak deposan rational yang dimiliki bank. Salah satunya dengan mengamati berapa banyak dari mereka yang menarik dananya dan memindahkan ke bank konvensional ketika suku bunga dari bank konvensional lebih tinggi dari return yang dihasilkan Bank Syariah. Membentuk tim khusus untuk memonitor, mengevaluasi dan mendeteksi kemungkinan terjadinya kesulitan likuiditas yang akan menimpa bank. Hal pertama yang dilakukan adalah meneliti aliran dana untuk mengantisipasi mismatch asset-likuiditas, menetapkan kebijakan internal mengenai ukuran default dari partner bisnis, mendesain strategi mengahadapi masalah likuiditas sekaligus struktur birokrasi pengambilan keputusan di dalam memenuhi kebutuhan likuiditas yang mendesak. Menyiapkan kas dan cadangan likuiditas untuk kondisi tertentu. Bank membutujkan likuiditas untuk transaksi regular maupun irregular. Transaksi regular adalah operasional sehari-hari, sementara transaksi irregular terdiri dari dua hal : Reguler tapi dapat diprediksi Irregular dan tidak dapat diprediksi Mendisain portofolio bank termasuk instrumen yang likuid. Likuid instrument tersebut siap setiap saat untuk dicairkan kapanpun dibutuhkan. Risiko Pembiayaan Pembiayaan adalah penyediaan dana dan/atau tagihan berdasarkan akad Mudharabah dan/atau Musyarakah dan/atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil. Mudharabah Pembiayaan mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara dua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2014, hal.310 Aplikasi: pembiayaan modal kerja, pembiayaan proyek, pembiayaan ekspor Musyarakah Pembiayaan musyarakah adalah perjanjian di antara para pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, degan pembagian keuntungandiantara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Aplikasi: pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan ekspor Sebab-Sebab Terjadinya Risiko Pembiayaan Dari pengalaman dan pengamatan penulis dapat disimpulkan bahwa secara umum penyebab terjadinya kredit bermasalah pada bank konvensional dapat saja terjadi pada bank syariah. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, kredit bermasalah karena nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank, karena faktor-faktor intern nasabah, faktor-faktor intern bank, dan atau karena faktor-faktor ekstern bank dan nasabah. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: Sutan Remy Sjahdeini, Faktor-faktor Penyebab Kredit Bermasalah, makalah mata kuliah Hukum Perbankan pada program pascasarjana al.di UI, Ubaya, LPPI. Faktor-faktor intern bank Faktor-faktor intern bank yang dapat menyebabkan kredit bermasalah antara lain sebagai berikut: Kemampuan dan naluri bisnis Analis Kredit belum memadai Analis Kredit tidak memiliki integritas yang baik Para Anggota Komite Kredit tidak mandiri Pemutus kredit “takluk” terhadap tekanan yang datang dari pihak eksternal Pengawasan bank setelah kredit diberikan tidak memadai Pemberian kredit yang kurang cukup atau berlebihan jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Bank tidak memiliki sistem dan prosedur pemberian dan pengawasan kredit yang baik. Bank tidak memiliki perencanaan kredit yang baik. Pejabat bank, baik yang melakukan analis kredit maupun yang terlibat dalam pemutusan kredit, mempunyai kepentingan pribadi terhadap usaha/proyek yang dimintakan kredit oleh calon nasabah. Bank tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai watak calon debitur. Faktor-faktor intern nasabah Faktor-faktor intern nasabah yang dapat menyebabkan kredit bermasalah antara lain: Penyalahgunaan kredit oleh nasabah yang tidak sesuai dengan tujuan perolehannya. Pemecahan diantara para pemilik/pemegang saham. Key Person dari perusahaan sakit atau meninggal dunia yang tidak dapat digantikan oleh orang lain dengan segera. Tenaga ahli yang menjadi tumpuan proyek/perusahaan meninggalkan perusahaan. Perusahaan tidak efisien, yang terlihat dari Overhead Cost yang tinggi sebagai akibat pemborosan. Faktor-faktor ekstern bank dan nasabah Faktor-faktor ekstern bank dan nasabah yang dapat menyebabkan kredit bermasalah: Feasibility study yang dibuat konsultan, yang menjadi dasar bank untuk mempertimbangkan pemberian kredit, telah dibuat tidak benar. Laporan yang dibuat oleh akuntan publik yang menjadi dasar bank untuk mempertimbangkan pemberian kredit, tidak benar. Kondisi ekonomi/bisnis yang menjadi asumsi pada waktu kredit diberikan berubah. Terjadi perubahan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku menyangkut proyek atau sektor ekonimi nasabah. Terjadi perubahan politik di dalam negeri. Terjadi perubahan di negara tujuan ekspor dari nasabah. Perubahan teknologi dari proyek yang dibiayai dan nasabah tidak menyadari terjadinya perubahan tersebut atau nasabah tidak segera melakukan penyesuaian. Munculnya produk pengganti yang dihasilkan oleh perusahaan lain yang lebih baik dan murah Terjadinya musibah terhadap proyek nasabah karena keadaan kahar (Force Majeure). Kurang kooperatifnya pihak perusahaan asuransi, yang tidak cepat memenuhi tuntutan ganti rugi nasabah yang mengalami musibah. Upaya-Upaya Untuk Mengantisipasi Risiko Pembiayaan Bank syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan/atau UUS serta kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya. Pasal 35 dan pasal 36 UU Perbankan Syariah. Untuk mengantisipasi risiko penyaluran dana nasabah tersebut maka bank syariah harus memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu. Penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a PBI No. 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Penyaluran dana oleh bank syariah mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Perbankan Syariah. Untuk mengurangi risiko pembiayaan yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor tersebut diatas, maka penanggulangan pembiayaan bermasalah dapat dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat preventif dan upaya-upaya yang bersifat represif. Upaya-upaya yang bersifat Preventif Memelihara Kesehatan dan Meningkatkan Daya Tahan Bank Dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Perbankan Syariah ditegaskan bahwa untuk memeihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan maka bank syariah diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan atapun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada satu nasabah penerimaan fasilitas atau kelompok nasabah penerima fasilitas tertentu. Kelayakan Penyaluran Dana Untuk mengantisipasi risiko dan mengeliminasi kerugian yang mungkin terjadi, sejak dini bank syariah harus menerapkan manajemen risiko sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, melaksanakan prinsip kehati-hatian dan asas-asas pembiayaan yang sehat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 UU Perbankan Syariah yang menegaskan bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Pasal 35 UU Perbankan Syariah menegaskan kembali bahwa bank syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehat-hatian. Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Upaya yang bersifat preventif untuk menanggulangi resiko pembiayaan tersebut wajib dilakukan oleh bank syariah sebelum memberikan pembiayaan, yaitu bank syariah harus mempunyai keyakinan atau kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunai seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum bank syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima failitas. Pasal 23 UU Perbankan Syariah dan penjelasannya. Untuk memperoleh keyakinan mengenai kelayakan penyaluran dana maka bank syariah dan/atau UUS: Harus mempunyai keyakinan atas “kemauan” dan “kemampuan” calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum bank syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. “kemauan” berkaitan dengan iktikad baik dari nasabah penerim fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah dan/atau UUS. “Kemampuan” berkaitan dengan keadaan dan/atau aset nasabah penerima fasilitas sehingga mampu membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah dan/atau UUS. Wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha (condition of economic) dari calon nasabah penerima fasilitas. Kelima faktor tersebut dalam perbankan dikenal dengan istilah “fuve C’s”. Penilaian watak calon nasabah penerima fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank syariah dan/atau UUS dan nasabah atau calon nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga bank syariah dan/atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak menyulitkan bank syariah dan/atau UUS di kemudian hari. Dalam penilaian kemampuan calon nasabah penerima fasilitas, bank harus meneliti keahlian nasabah penerima fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau kemampuan manajemen calon nasabah sehingga bank syariah dan/atu UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat. Dalam penilaian terhadap modal yang dimiliki calon nasabah penerima fasilitas, bank syariah dan/atau UUS harus melakukan analisis terhadap pososo keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah penerim fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon nasabah yang bersangkutan. Dalam melakukan penilaian terhadap agunan, bank syariah dan/atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan tersebut dapat digunakan untuk menangung pembayaran kembali pembiayaan dari bank syariah dan/atau UUS yang bersangkutan. Dalam penilaian terhadap proyek usaha calon nasabah penerima fasilitas, bank syariah harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan. Analisis (penilaian) terhadap faktor “five C’s” dilakukan oleh petugas analisis pembiayaan suatu bank syariah sebelum pembiayaan diberikan, meliputi aspek yuridis dan nonyuridis (aspek financial) yang terkait dengan factor “five C’s” tersebut. Untuk itu, dalam praktik bank perlu meminta data yang terkait dengan “five C’s”, antara lain data keuangan dan data yuridis. Data keuangan seperti neraca dan rugi laba perusahaan, fotokopi rekening koran yang memuat aktivitas keungan dalam suatu periode tertentu. Data yuridis antara lain identitas perusahaan dan pengurus, izin-izin dari pihak yang berwenang, bukti kepemilikan agunan, dan sebagainya. Data mengenai calon nasabah penerima fasilitas juga dapat diminta oleh bank syariah kepada Biro Informasi Kredit di Bank Indonesia. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang menyediakan informasi mengenai debitur/nasabah penerima fasilitas yang merupakan hasil olahan dari Laporan Debitur yang diterima Bank Indonesia dari bank-bank pelapor. Biro Informasi Kredit bertugas menghimpun dan menyimpan data perkreditan yang hasil olahannya akan didistribusikan kepada bank-bank anggotanya. Dengan sistem tersebut, debitor/nasabah penerima fasilitas akan mendapatkan Debor Identification Number (DIN) yang merupakan identitas debitur/ nasabah penerima fasilitas yang akan digunakan oleh semua bank dapat mengakses informasi debitur penerima fasilitas tertentu lengkap dengan detail fasilitas dari bank lain yang tercatat di Sistem Informasi Debitor. Tersedianya informasi debitur penerima fasilitas akan mmbantu perbankan mempercepat pengambilan keputusan pembiayaan sehingga penyaluran pembiayaan berjalan lancar. Tujuan pengadaan Sistem Informasi Debitur adalah untuk memperlancar proses penyediaan dana, penerapan manajemen resiko, dan identifikasi kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku, serta meningkatkan disiplin pasar. Bank-bank wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada Bank Indonesia setiap bulan, meliputi antara lain informasi mengenai debitur, pengurus dan pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan dan penjamin, serta keuangan debitur. PBI No. 9/14/PBI/2007 tanggal 30 November 2001 tentang Sistem Informasi Debitur dan SEBI No.10/47/DPNP tanggal 23 Desember 2008. Dari penjelasan pasal 23 ayat (2) UU Perbankan Syariah, khususnya paragraf empat, yaitu terkait dengan penilaian agunan pembiayaan : Pertama, agunan berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan. Dalam perbankan, agunan yang berasal dari pembiayaan seperti itu disebut “agunan pokok”. Kedua, adalah berupa barang lain, surat berharga, atau garansi risiko yang tiak bersumber dari pembiayaan. Agunan yang tidak bersumber dari pembiayaan itu disebut “agunan tambahan”. Lazimnya dalam praktik perbankan, apabila nilai agunan pokok sudah mencukupi nilai pembiayaan yang diberikan, maka agunan tambahan tidak diperlukan. Agunan harus marketable (mudah dijual) dan harus diikat secara sempurna sesuai jenis agunannya. Barang tetap berupa tanah dan bangunan yang telah bersertifikat misalnya, diikat dengan Hak Tanggungan, barang bergerak diikat secara fidusia atau gadai tergantung barang agunannya. Karena itu, untuk mengurangi resiko dan melaksanakan prinsip kehati-hatian tersebut, bank syariah mengupayakan agar faktor-faktor internal bank sebagaimana dikemukaan di atas agar dihindari, memintakan agunan yang markatable dan nilainya dapat mencukupi pembiayaan yang diberikan serta melakukan pengikatan agunan yang sempurna. Untuk pembiayaan kepada usaha kecil menengah dan koperasi, bank juga dapat memintakan jaminan dari lembaga penjamin, misalnya PT Askrindo dan PT Jamkrindo sesuai ketentuan yang berlaku bagi lembaga tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 PBI No.11/3/PBI/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang Bank Umum Syariah, ditegaskan bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan bank termasuk pemenuhan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah. Pengelolaan bank oleh direksi dilaksanakan dengan berpedoman antara lain pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan good corporate governance yang berlaku bagi bank. Di samping itu, dalam pelaksanaan prinsip syariah oleh bank syariah, dilakukan pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) bank yang bersang.kutan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 35 PBI tersebut diatas: DPS bertugas dan bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Agar dapat melaksanakan tugas tersebut secara efektif, anggota DPS yang bersangkutan harus lebih dulu memahami dengan baik jenis-jenis kegiatan usaha dari bank yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan UU Perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia, dan ketentuan perundang-undanga yang terkait lainnya, berikut feature product-nya. Sehingga ia dapat mengetahui, misalnya, apakah dalam menetapkan formulasi/rumus atau tata cara besarnya imbalan bank syariah yang bersangkutan sudah sesuai dengan prinsip syariah dan tidak menggunakan formulasi yang identik dengan angka bunga sebagaimana halnya bank konvensional yang dianggap sebagai riba nasiah. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS tersebut meliputi antara lain : Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedioman operasional dan produk yang dikeluarkan bank; Mengawasi proses pengembangan produk baru bank; Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru bank yang belum ada fatwanya. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan Meminta data dan informasi terkait aspek syariah dari satuan kerja bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Dari penilaian terhadap faktor “five C’s “ yang dilakukan sebelum pembiayaan diberikan, bank syariah dan/atau UUS diharapkan dapat menyimpulkan bahwa penyaluran dana kepada calon nasabah penerima fasilitas tersebut layak untuk disalurkan atau tidak. Pasal 23 UU Perbankan Syariah. Upaya-Upaya Preventif Setelah Permohonan Pembiayaan Disetujui Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis sebagai praktisi perbankan dan praktisi hukum, maka upaya-upaya yang bersifat preventif juga dilakukan setelah permohonan pembiayaan disetujui oleh bank syariah dan/atau UUS, antara lain sebagai berikut : Akad pembiayaan harus dibuat secara baik sehingga menjamin kepentingan bank dan nasabah; Akad pembiayaan memuat klausul adanya jaminan pembiayaan (collateral) Jaminan pembiayaan bersifat kebendaan dan/atau bersifat perorangan; Jaminan kebendaan harus diikat secara sempurna sesuai dengan jenis jaminan ( Hak Tanggungan, Hipotek, Gadai, Fidusia, Resi Gudang); Jaminan mudah dicairkan dan/atau mudah dijual (markatable); Nilai jaminan dapat menjamin (mencukupi) seluruh kewajiban nasabah penerima fasilitas kepada bank; Nilai pengikatan agunan menjamin kepentingan bank; Penutupan asuransi dengan syarat banker’s clause; Pemantauan atau pengawasan terhadap penggunaan fasilitas pembiayaan yang telah diberikan apakah terjadi penyimpangan (side streaming) dari rencana semula. 2. Upaya-Uapaya Yang Bersifat Represif / Kuratif Upaya-upaya penanggulangan yang bersifat represif adalah upaya-upaya penanggulangan yang bersifat penyelamatan dan penyelesaian terhadap pembiayaan bermasalah (non-performing /NPF). Penggolongan Kualitas Pembiayaan Bermasalah Kriteria komponen-komponen dari aspek untuk penetapan penggolongan kualitas pembiayaan diadakan pembedaan pengaturan mengenai penggolongan kualitas pembiayaan berdasarkan pengelompokan produk pembiayaan, yaitu sebagai berikut: Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/10/DPbS tanggal 13 April 2011 Perihal Penilaian Kualitas Aktiva bagi mum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Penggolongan kualitas mudharabah dan musyarakan Penggolongan kualitas mudharabah, istisna, qard, dan transaksi multijasa. Penggolongan kualitas ijarah atau ijarah mumtahiyah bi tamlik, dan Penggolongan kualitas salam. Dalam ketentuan tersebut masing-masing aspek yang dinilai diuraikan dalam komponen-komponen, antara lain aspek prospek usaha meliputi komponen-komponen potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalah tenaga kerja, dukungan dari grup atau afiliasi, serta upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup (bagi nasabah berskala besar yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup). Pasal 9 ayat (1) PBI No. 13/13/PBI/2011. Untuk menetapkan golongan kualitas pembiayaan pada masing-masing komponen ditetapkan kriteria-kriteria tertentu sebagaimana diuraikan dalam lampiran I SEBI No. 13/10/DPbS tanggal 13 April 2011 tersebut. Khusus menyangkut NPF (nasabah penerima fasilitas), ditinjau dari kriteria kemampuan membayar kembali pembiayaan, dapat digolongkan sebagai berikut: Kualitas mudharabah dan musyarakah Pembiayaan kurang lancar (golongan III) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok telah melampaui 3 (tiga) bulan, namun belum melampaui 4 (empat) bulan atau terdapat tunggakan pelunasan pokok melampaui 1 (satu) bulan namun belum melampaui 2(dua) bulan setelah jatuh tempo. Pembiayaan diragukan (golongan IV) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok telah melampaui 3 (tiga) bulan, namun belum melampaui 4 (empat) bulan, namun belum melampaui 6 (enam) bulan atau terdapat tunggakan pelunasan pokok melampaui 2 (dua) bulan, namun belum melampaui 3 (bulan) bulan setelah jatuh tempo. Pembiayaan Macet (golongan V) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok telah melampaui 6 (enam) bulan atau terdapat tunggakan pelunasan pokok melampaui 3 (tiga) bulan setelah jatuh tempo. Kualitas Mudharabah, Istisna, Qard, Dan Multijasa. Pembiayaan kurang lancar (golongan III) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau margin telah melampaui 3 (tiga) bulan, namun belum melampaui 6 (enam) bulan. Pembiayaan diragukan (golongan IV) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau margin telah melampaui 6 (enam) bulan, namun belum melampaui 9 (sembilan) bulan. Pembiayaan macet (golongan V) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau margin telah melampaui 9 (sembilan) bulan. Kualitas Ijarah Atau Ijarah Muntahiyah Bi Tamlik Pembiayaan kurang lancar (golongan III) Terdapat tunggakan pembayaran sewa telah melampaui 3 (tiga) bulan, namun belum melampaui 6 (enam) bulan. Pembiayaan diragukan (golongan IV) Terdapat tunggakan pembayaran sewa telah melampaui 6 (enam) bulan, namun belum melampaui 9 (sembilan) bulan. Pembiayaan macet (golongan V) Terdapat tunggakan pembayaran sewa telah melampaui 9 (sembilan) bulan. Kualitas Salam Penggolongan kualitas pembiayaan bermasalah untuk pembiayaan salam antara lain dapat dinilai dari kemampuan menyerahkan barang pesanan sebagai berikut: Pembiayaan kurang lancar (golongan III) Piutang salam telah jatuh tempo sampai dengan 2 (dua) bulan. Pembiayaan diragukan (golongan IV) Piutang salam telah jatuh tempo sampai dengan 3 (tiga) bulan. Pembiayaan macet (golongan V) Piutang salam telah jatuh tempo lebih dari 3 (tiga) bulan. 13