Academia.eduAcademia.edu

Tugas Ulum al Hadis

Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis TAKHRIJ HADIS; TEORI DAN PRAKTIK Dosen Pengampu: Dr. ABDUL QUDDUS, MA. Oleh: HIDAYAT JONI MURSYID NIM. 150 4232 296 ARIES KURNIAWAN NIM. PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 2015 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hadis Penulisan kata atau istilah hadis (dalam tulisan arabnya حديث) yang biasa ditemukan diberbagai buku berbahasa Indonesia adalah hadis, dengan akhiran “ts” untuk huruf “ث”. Namun dalam makalah ini penulis menggunakan huruf “s” untuk huruf “ث” karena kebiasaan lidah kita menyebut hadis (menggunakan huruf “s”) dalam berbahasa Indonesia. adalah seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW, atau menurut yang lain adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir)-nya. Lihat H. Mudasir, Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.13-14 Hadis dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Berbeda dengan Al-Qur’an yang semua ayat-ayatnya diterima oleh para sahabat dari Rasulullah Nabi Muhammad SAW secara mutawatir dan telah ditulis dan dikumpulkan sejak zaman beliau masih hidup, baik fi as-suthur maupun fi ash-shudur, serta dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah pertama Abu Bakar ash-Shiddiq (w. 13 H), Lihat M. Syuhudi Ismail dalam tulisannya yang berjudul “Kriteria Hadis Sahih: Kritik Sanad dan Matan”, menulis bahwa sekiranya seluruh periwayatan hadis Nabi sama dengan periwayatan Al-Qur’an, yakni sama-sama mutawatir, niscaya istilah-istilah shahih, hasan, dan dhaif untuk hadis tidak akan muncul. M. Syuhudi Islmail dalam Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi (Ed.), Cet. I., “Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis”, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm. 3 sebagian besar hadis Nabi tidaklah diriwayatkan secara mutawatir, dan pembukuannya pun secara resmi baru dilakukan pada zaman Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz (w. 101 H), salah seorang khalifah Bani Umayyah. Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi (Ed.), Cet. I., (dalam pengantar editor) buku “Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis”, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996, hlm. vii Oleh sebab itu, hadis yang tidak diriwayatkan secara mutawatir – dinamai oleh para ulama hadis sebagai hadis ahad (masyhur, ‘aziz, dan gharib) Ibid, hlm. 3 – harus diteliti, mana yang benar-benar hadis dan mana yang tidak, apalagi dalam perjalanan waktu, karena berbagai sebab muncul banyak hadis palsu. Ibid, hlm. vii. Secara historis, pemalsuan hadis belum pernah terjadi pada zaman Nabi. Pemalsuan hadis mulai terjadi dan berkembang pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M). Lihat pula M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm. 90-91 Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama bahwa riwayat hadis yang mutawatir berstatus qath’i al-wurud. Sedangkan riwayat yang ahad , para ulama berbeda pendapat; sebagian menyatakan, selalu berstatus zhanni al-wurud, dan yang lain menyatakan riwayat yang ahad yang berkualitas shahih berstatus qath’i al-wurud. Ibid, hlm. 3 Terlepas dari perbedaan status untuk riwayat yang ahad tersebut, yang pasti bahwa tingkat kebenaran riwayat kedua sumber ajaran Islam itu menjadi tidak sama, yakni seluruh ayat Al-Qur’an bertingkat qath’i al-wurud, sedangkan untuk riwayat hadis, ada yang qath’i al-wurud dan ada yang zhanni al-wurud. Riwayat yang qath’i al-wurud terhindar dari kemungkinan salah, sedang yang zhanni al-wurud terbuka peluang terjadinya kesalahan dan karenanya diperlukan penelitian secara khusus dan cermat. Ibid Penelitian terhadap otentitas dan validitas hadis diperlukan oleh karena hadis sampai kepada umat melalui jalur periwayatan yang panjang, dan dalam perjalanannya yang disampaikan dari generasi ke generasi itu memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke dalamnya, baik unsur sosial maupun budaya dari masyarakat di mana generasi pembawa riwayat hadis itu hidup. Untuk itulah penelitian hadis harus secara jeli melakukan kajiannya pada unsur sanad dan matan. Penelitian hadis melalui dua jalur tersebut diharapkan mampu membuat rumusan-rumusan yang pasti mengenai kriteria tertentu sehingga dapat diketahui mana hadis yang maqbul dan mardud dan mana yang ma’mul bih dan yang ghairu ma’mul bih. Ibid, hlm. viii Ulama hadis telah berjasa besar dalam penelitian hadis. Ada banyak ulama periwayat hadis yang melahirkan kitab-kitab hadis maha karya melalui sebuah penelitian yang panjang, namun yang sering dijadikan referensi hadis-hadisnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah. Karya mereka biasanya disebut ‘kutub al-sab’ah”. Bagian hadis yang diteliti meliputi sanad dan matan hadis. Penelitian sanad lazim disebut dengan istilah naqd as-sanad (kritik sanad) atau an-naqd al-kharijiy (kritik ekstern) sedangkan penelitian matan lazim dikenal dengan istilah naqd al-matan (kritik matan) an-naqd ad-dakhiliy (kritik intern). Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi, Ibid, hlm. 4 Ulama hadis telah menjelaskan kaidah dan metodologinya. Untuk kaidah kritik sanad, tingkat akurasinya sangat tinggi. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm. 91 Sedangkan untuk kritik matan, diperlukan pengembangan sejalan dengan perkembangan pengetahuan. Kemudian jika ditelusuri rentang waktu yang cukup lama antara masa wafatnya Rasulullah SAW dengan periode resmi kodifikasi hadis, yaitu hampir satu abad memungkinkan terjadinya peluang kesalahan penulisan hadis serta dapat mempengaruhi kualitas sanad dan matan hadis. Faktor-faktor ini juga mengharuskan terjadinya penelitian hadis terutama di bidang sanad dan matan hadis termasuk kaitan kedudukan hadis sebagai hujjah. Di dalam proses penelitian hadis, terdapat satu jenis metode penelitian yang lazim digunakan yaitu metode Takhrij al-Hadis. Metode Takhrij al-Hadis merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian hadis. Secara umum, metode Takhrij Hadis merupakan salah satu metode (cara) yang digunakan untuk mengetahui jalannya sanad hadis, sehingga kita dapat memahami dari mana hadis tersebut diriwayatkan. Ada banyak manfaat penelitian yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode takhrij hadis ini. Dengan mengetahui kualitas sanad suatu hadis, maka seseorang akan dengan mudah memilah dan memilih mana hadis yang dapat dijadikan hujjah atau mana hadis yang tertolak untuk dijadikan hujjah. Mengenai konsep pengertian, urgensi, jenis atau metode, sejarah dan manfaat metode takhrij hadis ini, semuanya akan penulis paparkan dalam bagian bab II pembahasan makalah ini. Rumusan Masalah Apa konsep pengertian takhrij hadis? Apa saja faktor pendorong munculnya takhrij hadis? Bagaimanakah sejarah takhrij hadis? Apa Urgensi takhrij hadis? Bagaimana metode dan langkah-langkah kegiatan takhrij hadis? Tujuan Pembahasan Dapat mengetahui konsep pengertian takhrij hadis. Memahami faktor pendorong munculnya takhrij hadis. Dapat mengetahui sejarah takhrij hadis. Dapat memahami urgensi takhrij hadis. Dapat mengetahui serta memahami metode dan langkah-langkah kegiatan takhrij hadis. BAB II PEMBAHASAN Konsep Pengertian Takhrij Hadis dan Permasalahannya Kata takhrij berasal dari asal kata bahasa arab yaitu خَرَجَ – يَخْرُجُ – خَرْجًا - خُرُوْجًا artinya keluar. Jika ditambah dengan wazan خرَّج maka bentuk masdarnya adalah تخريج yang berarti “mengeluarkan”. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 329-330 “Mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat” خرَّجَ من مَكَانِه : . Beberapa sumber mengartikan kata kharaja (خرج) berarti tampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) berarti menampakkan dan memperlihatkannya. Kemudian kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 189 Sedangkan menurut istilah Muhaddisin, takhrij diartikan dalam beberapa pengertian di bawah ini: Suatu keterangan bahwa hadis yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadis mengakhiri penulisan hadisnya dengan kata-kata اخرجـه البخـارى, artinya bahwa hadis yang dinukil itu terdapat dalam kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari. Bila ia mengakhirinya dengan kata akhrajahu al-Muslim (اخـرجه المسـلم) berarti hadis tersebut terdapat dalam kitab Shahih Muslim. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadis yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatannya dan kualitas hadisnya. Mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan. Dari keempat definisi takhrij di atas, maka Mahmud al-Thahhan mendefinisikan takhrij hadis sebagaimana di bawah ini: التخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التى أخرجته سنده ببيان مرتبته عند الحاجة Artinya: “Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai dengan kebutuhan. Ibid, hlm. 189. Lihat juga Thahhan, Mahmud Ath-, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991, hlm. 32 Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa takhrij hadis meliputi kegiatan : Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan penyampaian) hadis. Penukilan hadis dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu. Mengutip hadis-hadis dari kitab-kitab (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan sanad-sanadnya. Membahas hadis-hadis sampai diketahui martabat kualitas (maqbul-mardudnya). Utang Ranuwijaya menyimpulkan bahwa dalam pentakhrijan hadis ada dua hal yang mesti dilakukan: Berusaha menemukan para penulis hadis tersebut dengan rangkaian sanad-sanadnya dan menunjukannya pada karya-karya mereka, seperti kata-kata اخرجه البيهقي , اخـرجه الطبرانـي في معجـمه atau اخـرجه احـمد في مسنده. Menentukan kualitas hadis menjadi sahih atau tidak. Penilaian ini dilakukan andaikata diperlukan. Artinya, bahwa penilaian kualitas suatu hadis dalam men-takhrij hadis tidak selalu harus dilakukan. Kegiatan ini hanya melengkapi kegiatan takhrij tersebut. Sebab, dengan  diketahui dari mana hadis itu diperoleh sepintas dapat dilihat sejauh mana kualitasnya. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 67-68 Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, maka pemateri dengan bahasa sendiri dapat memahami maksud takhrij hadis dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadis lebih lanjut. Maka dapat kami simpulkan bahwa takhrij hadis berarti “penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab-kitab koleksi hadis sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan”. Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa takhrij ini adalah salah satu metode yang digunakan para peneliti hadis tatkala menghadapi masalah-masalah dalam kegiatan penelitian hadis. Beberapa masalah yang sering dihadapi oleh peneliti hadis, misalnya; (1) adanya periwayat yang tidak disepakati kualitasnya oleh para kritikus hadis, (2) adanya sanad yang mengandung lambing-lambang anna, ‘an, dan yang semacamnya; dan (3) adanya matan hadis yang memiliki banyak sanad tetapi semuanya lemah (dhaif). Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi, ibid. hlm. 10 Dua titik fokus penelitian hadis yaitu penelitian terhadap sanad dan penelitian matan atau sering diistilahkan dengan kritik sanad dan kritik matan. Dalam beberapa literature, pengkajian terhadap keduanya (sanad dan matan) kerapkali menggunakan istilah kritik sanad dan kritik matan. Maka dalam pada itu, karena sanad dan matan sama-sama harus diteliti, maka terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan kualitas antara sanad dan matan hadis. Kaitannya dengan kritik sanad dan matan hadis, maka kritik sanad biasanya dilaksanakan terlebih dahulu sebelum kegiatan kritik matan. Langkah ini dapat dipahami dengan melihat latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan hadis. Dapat dipahami pula latar belakang pernyataan Imam al-Nawawi (w. 676 H = 1277 M) bahwa hubungan hadis dengan sanad ibarat hubungan hewan dengan kakinya. Lihat pernyataan Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim li al-Nawawi, Juz I., hlm. 88 Jadi penelitian matan barulah bermanfaat bila sanad hadis yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk hujjah. Bila sanadnya cacat (berat), maka matan hadis tidak perlu diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujjah. Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi, Ibid. 10 Faktor Pendorong Terjadinya Takhrij Hadis Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadis (takhrij al-hadis) dilakukan oleh seorang peneliti hadis adalah sebagai berikut: Mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadis dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian. Langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadis yang akan diteliti, sebab tanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan matan hadis yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadis (takhrij) dilakukan. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadis bagi hadis yang akan diteliti. Maksudnya adalah mengingat redaksi hadis yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadis yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad hadis tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih. Mengetahui ada tidaknya syahid dan muttabi’ pada mata rantai sanad Mengingat salah satu sanad hadis yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadis yang sedang diteliti, maka sanad hadis yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya. Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabi’in atau tabi’i at-tabi’in), maka disebut sebagai muttabi’. Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadis dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid dan muttabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya. Sejarah Takhrij Hadis Sejarah Para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadis terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa pembukuan hadis (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadis (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H).  Kalau para ulama mutaqaddimin menghimpun hadis dengan menemui sendiri para penghafalnya maka ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin. Masa inilah para ulama mempergunakan system istidrak dan istikhraj. Sehingga bermunculan kitab-kitab mustadrak dan mustakhraj. Sampai pada abad kelima dan abad ke tujuh para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadis Bukhari dan Muslim dalam satu kitab, mempermudah jalan pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-Jami’ al-Jawami dan al-Takhrij. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media, , 2003, hlm. 13 Ilmu hadis baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa al-Qadhi Ibnu Muhammad al-Ramahurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H), Abu Bakr al-Baghdadi (463 H). Para ulama mutaqaddimin menyebutnya dengan ulumul hadis dan ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu musthalahul hadis. Jadi kalau menganalisa kedua uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadis sebagai bagian dari ilmu hadis. Kemudian diiringi karya kitab-kitab dengan tema ilmu takhrij hadis itu sendiri. Kemudian pada masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrij hadis semakin meluas hingga mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri sangat signifikan terhadap perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya. Mahmud At-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat penting sekali bagi setiap peneliti atau ilmuwan, baik yang bergelut di bidang ilmu syariah dan juga terlebih lagi bagi para ulama yang bergelut di bidang ilmu hadis, maka dengan ilmu ini mereka bisa memeriksa hadis ke sumber asalnya. Mahmud al-Thahhan, ….op.cit, hlm. 53 Sebagai contoh, hadis yang berisi dialog antara Nabi Muhammad SAW dengan sahabat Mu;adz bin Jabal tentang urutan sumber hokum Islam tatkala Mu’adz di utus ke Yaman, merupakan salah satu contoh. Sanad hadis tersebut cukup banyak. Mukharrij-nya selain Imam Abu Dawud dan Imam At-Turmudzi, juga Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Al-Darimi. Seluruh sanad hadis tersebut dha’if dan letak ke-dha’if-annya Imam Ahmad bin Hambal adalah sama, yaitu sama-sama melalui Al-Harits bin ‘Amr yang berkualitas sangat lemah; ditambah lagi Al-Harits itu menyandarkan riwayatnya kepada periwayat yang mubham (tidak jelas individunya). Dalam pada itu, keadaan sanad-nya Imam Abu Dawud dan salah satu sanad-nya Ahmad bin Hambal lebih parah lagi sebab kelemahan-kelemahan tersebut masih ditambah lagi dengan kelemahan sanad yang berstatus mursal. Lihat M. Syuhudi Ismail, “Metodologi Penelitian Hadis Nabi”, Makalah, Medan-Sumut, 1991, hlm. Untuk mengatasi masalah sanad yang keadaannya seperti contoh di atas, diperlukan kecermatan dalam melakukan i’tibar (pembuatan skema sanad) dan dibutuhkan metode takhrij al-hadis untuk hadis-hadis yang semakna dan tahqiq dengan metode muqaranah. Lihat M. Syuhudi Ismail dalam Yunahar Ilyas Lc dan M. Mas’udi, “Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, Ibid, hlm.12 Kitab-kitab Takhrij Hadis Kitab-kitab Takhrij generasi pertama, seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan adalah kitab-kitab buah pena al-Khatib al-Baghdadiy [w. 463 H]. Diantara kitab yang terkenal adalah: Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Gharaib karya Abi Al-Gharaib, Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Gharaib karya Abi Qasim al-Mahrawani. Kitab Takhrij al-hadis al-Muhazzab oleh karya Muhammad bin Musa al-Hazimi. Lihat Thahhan, Mahmud Ath-, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991, hlm. Selanjutnya Berikut adalah kitab-kitab takhrij yang termasyhur. Nashb ar-Rayah li Ahadis al-Hidayah karya Abdullah bin Yusuf al-Zaila’i (w. 762 H). Kitab ini mentakhrij hadis-hadis yang dijadikan oleh al-‘Allamah Ali bin Abi Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w.593 H) dalam kitab al-Hidayah. Kitab ini merupakan kitab fikih Hanafi, sedangkan kitab takhrij ini merupakan yang paling luas dan yang paling dikenal dibanding kitab takhrij lainnya. Al-Qaththan berkata, “kitab ini adalah kitab takhrij yang sangat bemanfaat sekali dijadikan patokan oleh kalangan pensyarah kitab al-Hidayah, bahkan Ibnu Hajar banyak mengambil manfaat dari buku dalam disiplin ilmu hadis, nama-nama  perawi dan luasnya pandangan beliau tentang hadis marfu’. Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2008. Hlm. 191 Takhrij Ahadis al-Mukhtashar al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad Abd al-Hadi al-Maqdisy (w. 744 H). Takhrij Ahadis al-Kasysyaf li al-Zamakhsyari karya Abdullah bi Yusuf az-Zaila’i. Ia sudah dicetak. Irwa’ al-Ghalil fi Takhtij Ahadis Manar as-Sabil, karya asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani. At-Talkhish al-Habir, Takhrij Ahadis  al-Wajiz al-Kabir fi Li al-Rifa”i, ditulis oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, sudah dicetak. Takhrij Ahadis al-Kasysyaf, karya al-Hafidz Ibnu Hajar. Al-Badr al-Munir fi al-Takhrij al-Ahaditz wa al-Atsar al-Waqi`ah fi al-Syarh al-Kabirli ar-Rafi’i [Abu al-Qasim Abd al-Karim Ibn Muhammad al-Qazwayniy al-Rafi`iy al-Syafi`iy (w.623 H), karya Umar Ibn Ali Ibn al-Mulqan (w. 804 H); telah ditahqiq di dalam risalah Majister di Universitas Islam Madinah. Al-Mughniy `an Haml al-Ashfar fi al-Ashfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar [al-Ghazaliy], karya al-Hafizh Zayn al-Din Abd al-Rahim Ibn al-Husayn al-Iraqiy (w. 806 H); Al-Takhrij al-Ahadis al-latiy Yusyiru Ilayha al-Tirmidziy fi Kulli Bab, karya al-Iraqiy; Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadis al-Hidayah, karya al-Hafidz Ibnu Hajar. Tuhfah ar-Rawi fi Takhrij Ahadis al-Baidhawi, karya al-Hafidz Abdurra’uf al-Munawi. Di antara kitab-kitab takhrij yang disebutkan di atas yang sudah banyak dipergunakan oleh penuntut ilmu, yaitu: Nashb ar-Royah li Ahadis al-Hidayah dan At-Talkhish al-Habir, Takhrij Ahadis  al-Wajiz al-Kabir fi Li al-Rifa’i. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 115 Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Di antara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam mentakhrij adalah: Ushul al-Takhrij wa Dirasat Al-Asanid oleh Muhammad Al-Tahhan, Hushul al-Tafrij bi Ushul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq al- Gharami, Turuq Takhrij Hadis Rasulullah SAW karya Abu Muhammad al-Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi oleh Syuhudi Ismail. al-Mu’jam al-Mufharos li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J. Wensinck Miftah Kunuz al-Sunnah oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Baqi. Mausu’ah Athraful Hadis an-Nabawi oleh Zaglul. Al-Istiab oleh Ibnu Abd Barr Ushul al-Ghabah oleh Abd Atsir Al-Ishabah oleh Ibn Hajar al-Asqalani. Al-Jarh wa at-Ta’dil juga karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Urgensi Takhrij Hadis Takhrij Al-Hadis sebagai sebuah metode dengan memperhatikan tujuannya, mempunyai banyak sekali manfaat. Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi dalam kitabnya Thuruq Takhrij Hadis Rasulillah SAW, yang  penulis kutip dari buku terjemahan kitab tersebut, “Metode Takhrij Hadis”, menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadis diantaranya : Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dimana suatu hadis berada, beserta ulama yang meriwayatkannya. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadis-hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadis, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’,  mu’dal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya. Takhrij dapat memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya. Terkadang kita dapatkan hadis yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadis yang shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadis yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadis. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang samar. Karena terkadang kita dapati perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lain-lain. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad. Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan sanadnya. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karenan kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad. Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat dalam suatu hadis melalui perbandingan suatu riwayat. Takhrij dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi. Takhrij dapat membedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja. Takhrij dapat menjelaskan waktu dan tempat kejadian timbulnya suatu hadis. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis. Diantara hadis –hadis ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadis tersebut akan dapat diketahui dengan jelas. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanand yang ada. Secara singkat takhrij hadis dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis serta mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadis. Berikut adalah contoh kegunaan dari takhrij hadis : Lafal sebuah hadis : رُوِيَ عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعَبْةَ قَالَ: وَضَأْتُ النَّبِى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِى غَزْوَةِ تَبُوْكَ فَمَسَحَ اَعْلَى الْحُفَّيْنِ وَاَسْفَلَهُمَا Bila kita menggunakan metode takhrij, maka akan tampak hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah. Setelah ditakhrij pada masing-masing kitab, maka hadis tersebut lengkapnya berbunyi : Menurut riwayat Imam Turmudzi : حَدَثْنَا اَبُو الْوَلِيدِ اَلدِّمَشْقِىُّ حَدَّثْنَا الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمٍ اَخْبَرَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيْدَ عَنْ رَحَاءِ حَيْوَةَ عَنْ كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِ عَنْ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّ النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ اَعْلَى الْحُفِّ وَاَسْفَلِهِ Menurut riwayat Imam Abu Dawud : حَدَّثْنَا مُوْسَى بْنُ مَرْوَانَ وَمَحْمُوْدُ بْنُ خَالِدٍ اَلدِّمَشْقِىُّ اَلْمَعْنَى قَالاَحَدَّثَنَا اَلْوَلِيْدُ – قَالَ مَحْمُوْدٌ – قَالَ اَخْبَرَنَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ عَنْ رَحَاءَ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ وَضَأْتُ النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى غَزْوَةِ تَبُوْكَ فَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَاَسْفَلِهِمْ Menurut riwayat Imam Ibnu Majah : حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُمَارٍ, ثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمٍ, ثَنَّا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ, عَنْ رَحَاءَ بْنِ حَيْوَةَ , عَنْ وَرَّادٍ-كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ-عَنْ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّ رَسُوْل الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْلَى الْحُفِّ وَاَسْفَالِهِ Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui : Hadis di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadis yaitu Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah. Pada riwayat Abu Dawud terdapat nama perawi yang samar, yaitu al-Walid. Riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang sebenarnya yaitu al-walid bin Muslim. Katib Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya pada riwayat Abu Dawud dan Turmudzi. Pada riwayat Ibnu Majah Katib Mughirah yang dimaksud adalah Warrad. Menurut Ibnu Hazam, Katib Mughirah adalah perawi yang tidak diketahui namanya. Ini karena Ibnu Hazam, mungkin tidak ingat bahwa ada riwayat Ibnu Majah yang menjelaskan nama yang sebenarnya. Warrad diriwayatkan oleh banyak ulama hadis. Ibnu Hibban menggolongkannya pada kelompok tsiqat. Setelah Imam Turmudzi meriwayatkan hadis ini, beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid selain Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam Bukhari. Keduanya mengatakan hadis ini tidak shahih, karena Ibnu Mubarak meriwayatkannya dari Tsaur, dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata “saya menerima riwayat dari Katib Mughirah, dari Nabi SAW. Jadi hadis ini mursal, karena Mughirah tidak disebut dalam sanad tersebut. Riwayat Abu Dawud menjelaskan sejarah timbulnya hadis ini yaitu pada waktu peperangan Tabuk. Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang Lebih dari itu, secara khusus Takhrij Hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya. Suyadi, M. Agus Sholahudin dan Agus., Ulumul Hadits,  Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Cet. II hlm. 191 Macam-macam Metode Takhrij Hadis Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu; Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat Metode ini adalah metode dengan cara mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, adapun kitab-kitab pembantu dari metode ini adalah: Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini   hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: GP Press, 2008. hlm. Musnad yang dapat digunakan adalah; musnad Ahmad ibn Hanbal , Musnad Dawud Al Tayalisi, Musnad Al Humaidi, Musnad Abu Hanifah, Musnad As Syafi’i, dan lain sebagainya. Cara penggunaannya adalah; misalnya sahabat yang meriwayatkan hadis itu bernama Ali, maka pencarian atau penelusuran dilakukan melalui huruf ‘ayn. Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-Atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap. Di antara kitab-kitab Atraf yang dapat dipergunakan adalah; Atraf As-Shahihain, karya Al-Wasiti dan Al-Dimasyqi, Tuhfatul Al Ashrof bi Ma’rifat Al Atraf karya Al Mizzi yang merupakan Syarah kitab Al Ashraf bi ma’rifat Al Atraf karya ibn ‘Asakir, Ithaf Al Mahram bi Atraf Al ‘Ashrah karya Ibn Hajar Al Asqalani, dan lain sebagainya. Cara penggunaan kitab ini seperti seperti cara menggunakan kitab musnad, artinya disusun secara alfabetis Hija’iyah. Al-Ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya. Dan kitab mu’jam yang dapat kita gunakan adalah; mu’jam Al Kabir, Mu’jam Al Awsat, dan Mu’jam Al-Saghir yang kesemuanya adalah karya Al-Tabrani. Juga kitab Mu’jam As Shahabah karya Al Mawasili, Mu’jam As Sahabh karya Al Hamdani, dan lain ssebagainya. Dan cara  penggunaannya tidak jauh berbeda dengan kitab musnad dan kitab Atraf. Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawi yang hendak diteliti itu tidak diketahui. Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit, hlm. Takhrij Melalui Lafadz Pertama Matan Hadis Metode takhrij hadis menurut lafadz pertama, yaitu suatu metode yang berdasarkan pada lafadz pertama matan hadis, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan alfabetis, sehingga metode ini mempermudah pencarian hadis yang dimaksud. Ibid Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi; ُلَيْسَ الشَّدِيْدبِالصُرْعَةِ Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Berarti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV.  Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah; عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُـوْلَ اللّهِ صَـلَّى اللّهُ عَلَيْـهِ وَسَـلَّمَ قَاَلَ: لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُرْعَةِ اِنَّمَاالشَـدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَـهُ عِنْدَالغَضبِ Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”. Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit untuk menemukan hadis yang dimaksud. Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan huruf kamus, misalnya: “Al-Jami’u Ash Shoghir min Ahadis Al-Basyir An Nadzir” karya As Suyuti. Al Qaththan. op.cit. hlm 192 Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadis berdasarkan lafaz – lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya. Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadis  An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad. M. Agus Sholahudin. op.cit. hlm. 198 Contohnya pencarian hadis berikut; اِنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى) ta’am(طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ) al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata tabara (تَبَارَى) di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali. Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alat untuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin  asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebut dicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jam menurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah). Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan di – takhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang men-takhrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh : بُنِيَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ انْ لاَاِلهَ اِلاَّ اللّهُ وانَّ مُحَمَّدّا رَسُوْلُ اللَّهِ وَاِقَامِ الصّلاَةِ وَايْتَاءِ الزَّكاَةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاّ “Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.” Hadis di atas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab “Miftah Kunuz As-Sunnah” yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Mahmud al-Thahhan, ….op.cit: 70 Dari keterangan di atas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus. Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan. Takhrij Berdasarkan Status Hadis Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti di atas dia telah melakukan takhrij al-hadis. Utang Ranuwijaya, ibid, hlm. 67-68 Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini. Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini : Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi. Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadis al-Qadsiyyah oleh al-Madani. Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya. BAB III PENUTUP Kesimpulan Takhrij Hadis adalah segala yang menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. Al-Thahhan, di dalam kitabnya Ushul al-Takhrij, mendefinisikan takhrij hadis adalah: “menunjukkan atau mengemukakan letak asal Hadis pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan Hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian manakala diperlukan, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan”. Mahmud al-Thahhan, ….op.cit: 32 Keadaan ini berubah pada abad-abad berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui  letak hadis pada kitab sumbernya, jika mereka mendapati hadis-hadis itu dipergunakan sebagai argumen penguat dalam disiplin ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu, hadis-hadis Nabi dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena itu bangkitlah kemudian para ulama untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut. Para sejarawan Islam secara berjamaah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadis terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa pembukuan hadis (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadis (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H). Secara singkat takhrij hadis dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis serta mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadis. Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu; a)      Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis b)      Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis c)      Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat d)     Takhrij Berdasarkan Tema Hadis e)      Takhrij Berdasarkan Status Hadis DAFTAR PUSTAKA   Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW , Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang, 1994 Mahmud ath-Thahhan, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid yang cetakan kelimanya diterbitkan pada tahun 1983 Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008) Mudasir, H., Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999 Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Syuhudi Ismail, M., Metodelogi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1972 Thahhan, Mahmud ath, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991 al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008 Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001 Suyadi, M. Agus Sholahudin dan Agus., Ulumul Hadits,  Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Cet. II Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi (Ed.), Cet. I., “Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis”, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996 34 34