Maqashid Syar’iyah
Pengertian
Maqashid Syar’iyah secara bahasa terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Syari’ah. Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sember pokok kehidupan. Jadi secara bahasa maqashid syar’iah dapat diartikan sebagai “tujuan syara”.
Sedangkan syari’ah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Beberapa pendapat mengenai pengertian maqashid syar’iah dari para ulama diantaranya :
Menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Juz II, (Damaskus : Dar al Fikri, 1986), hal 225
Maqasid syar’iah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Kencama, 2008), Hal 233
Abu Ishaq as Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
Ibid
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan maqashid syar’iyah atau tujuan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia. Pandangan tersebut didasarkan pada titik tolak dari suatu pemahaman bahwa suatu kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka merealisasi kemaslahatan manusia, dan setiap hukum pasti mempunyai tujuan, sehingga apabila hukum itu tidak mempunyai tujuan maka sama saja dengan memberi beban kewajiban (taklif) yang tidak dapat dilaksanakan. Secara jelasnya, hukum-hukum yang telah ditentukan tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk kemaslahatan.
SEJARAH MAQASHID SYAR’IAH
Imam Syathibi adalah Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama sekaligus peletak dasar Ilmu Maqashid, namun itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada Ilmu Maqashid. Imam Syathibi lebih tepat disebut orang yang pertama menyusun secara sistematis Maqashid al-Syari’ah sebagaimana Imam Syafi’I menurut kaum Sunni dengan ilmu Ushul Fiqhnya.
Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Menurut Raisuni, dialah yang pertama kali menyuarakan Maqashid al-Syari’ah melalui buku-bukunya. Diantara buku-bukunya tersebut adalah al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya.
Setelah al-Hakim kemudian banyak sekali orang-orang yang bermunculan dengan karya-karyanya yang didalamnya membahas mengenai ilmu maqashid. Diantaranya adalah Abu Mansur al-Maturidy dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari dan al-Baqilany masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Juwaeny, al-Ghazali, al-Razy, al-Amidy, Ibn Hajib, al-Baidhawi, al-Asnawi, Ibn Subuki, Ibn Abdissalam, al-Qarafi, al-Thufi, Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.
Uraian di atas adalah sejarah maqashid syar’iah menurut Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, sejarah Maqashid al-Syari’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah.
http://islamlib.com/id/artikel/bapak-maqasid-al-syariah-pertama/
HAKEKAT
Maqashid Syar’iah dapat dikategorikan sebagai Filsafat Hukum Islam karena jika dilakukan penelitian secara mendasar maka dapat disimpulkan bahwa semua tuntutan (perintah atau larangan) dari Allah dalam al-Quran atau tuntutan (perintah dan larangan) Nabi dalam Sunnahnya akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran :
QS. Al-Anbiya ayat 107 yang artinya “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
QS. Al-Maidah ayat 91, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Dengan kemaslahatan itu Allah menciptakan hukum-hukumnya terhadap manusia. Dalam hal ini ada dua pendapat yaitu dari ulama Mutakallimin dan ulama Mu’tazilah.
Ulama (mutakallimin, khususnya Asy’ariyah) yang berpegang bahwa pada prinsipnya, perbuatan Allah tidak terikat kepada apa dan siapapu. Menurut mereka Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya (QS. Hud: 107, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”.
Ulama (Mu’tazilah) beranggapan bahwa pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hamba-Nya maka Allah menetapkan hukum untuk kemaslahatan manusia.
Perbedaan diatas tidak mengakibatkan perbedaan secara praktis dalam penetapan hukum itu sendiri karena kedua belah pihak sepakat bahwa hukum yang ditetapkan Allah adalah tujuannya untuk kemalahatan manusia.
KLASIFIKASI
Dalam mengklasifikasi Maqashid Syariah dapat dilihat dari tiga sisi:
Dari sisi tempat timbulnya, maqasid akan terbagi ke dalam dua katagori :
Maqasid pembuat syari'at (Allah dan Rasulnya).
Maqasid al Mukallaf (Manusia).
Pembagian ini dapat tercermin pada tujuan pembuat syari'at yang mencakup seluruh kemaslahatan bagi umat manusia, disamping adanya penyelarasan antara tujuan manusia (mukallaf) dengan tujuan syariat.
Klasifikasi dari sisi universalitas, hal ini dapat dibagi menjadi dua katagori :
Maqasid kulliyah. Tujuan syari’ah kully (universal) yang secara tangkas dapat difahami oleh akal kita, ini terangkum dalam lima atau enam point yang disebutkan oleh Abu Zahra.
Maqasid juz'iyyah. tujuan-tujuan yang bersifat juz’i (spesifik) pada satu hukum, dan biasa diungkapkan oleh Fuqaha dengan istilah hikmah, rahasia, atau sebab.
Klasifikasi dari sisi orisinalitas, hal tersebut dapat dibagi ke dalam dua katagori pula yaitu :
Maqasid Ashliyah (outentik). Tujuan utama yang sengaja direncanakan oleh Pembuat Syari'at (Allah Swt dan Rasul-Nya), seperti terciptanya regenerasi umat manusia adalah tujuan utama dari disyri'atkannya pernikahan.
Maqashid Tab’iyah (pelengkap). Tujuan yang dapat menjadi pelenggkap dari maqashid ashliyah, seperti pernikahan disyari’atkan agar dapat terpenuhi kebutuhan biologis bagi manusia (pasangan suami istri). Jadi Maqsaid Taba'iyah merupakan penyempurna dari tujuan utam Syari’at.
Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah bahwa hokum-hukum yang disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut as Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat,dan kebutuhan tahsiniyat.
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Kencama, 2008), hal 233
Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut as Syatibi ada lima hal yang masuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan serta memelihara harta. Untuk memelihara kelima pokok inilah syariat Islam diturunkan.
Setiap ayat bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok diatas. Misalnya firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 193, “Dan pergilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah”.
Dari ayat ini dapat diketahui tujuan disyatiatkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak manusia untuk menyembah Allah.
Ibid, hal 234
Memelihara Agama (al-Muhafazhah alad-Din). Agama adalah sekumpulan aqidah, ibadah, hokum dan undang-undang yang disyariatkan oleh Allah swt untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan mereka, dan perhubungan mereka satu sama lain.
Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal 313-314 Memelihara agama dapat dilakukan yaitu dengan menghindarkan timbulnya fitnah dan ketidakselamatan dalam agama serta mengantisipasi dorongan hawa nafsu dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kerusakan secara penuh. Allah swt berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah”. (QS Al-Baqarah : 256)
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), hal 426
Memelihara Jiwa (al-Muhafadzah ala an-Nafs) ialah jaminan keselamatan atas hak hidup yang terhormat dan mulia. Termasuk dalal cakupan pengertian umum dari jaminan ini adalah jaminan keselamatan nyawa, anggota badan dan terjaminnya kehormatan manusia. Mengenai yang terakhir ini, meliputi kebebasan memilih profesi, kebebasan berfikir/mengeluarkan pendapat, kebebasan berbicara, kebebasan memilih tempat tinggal dsb.
Ibid, hal 425
Memelihara Akal (al Muhafadzah alal ‘aql) adalah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak berguna dimasyarakat, sumber kejahatan atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal fikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakan. Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
Memelihara Keluarga dan Keturunan (al Muhafadzah alan-Nasl) ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.
Memelihara harta benda (al Muhafadzah alal-Mal). Untuk memperoleh dan meningkatkan kekayaan secara proporsional, agama Islam mensyariatkan kewajiban berusaha mendapatkan rizki melalui cara-cara yang halal, bukan mendominisi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang. Sedangkan untuk memeliharanya syatiat mengharamkan pencurian, penipuan, penghianatan serta memakan harta orang dengan jalan yang bathil, mensyariatkan ganti rugi terhadap orang yang merusakkan harta orang lain serta mengharamkan riba.
Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal 315
Kebutuhan hajiyat
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsah (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.
Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Kairo: Makabah Wabah, 1999), hal.79
Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif.
Dalam lapangan muamalat disyariatkan banyak macam kontrak (akad) serta macam-macam jual beli, sewa-menyewa, syirkah (perseroan) dan mudharabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi laba).
Dalam lapangan ‘uqubat (sanksi hokum) Islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak sengaja dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam syariat Islam ditarik dari petunjuk-petunjuk dalam Al-Quran, misalnya surah Al-Maidah ayat 6, “Dan Dia (Allah) tidak sekali-sekali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Kencama, 2008), hal 235
Tujuan Hajiyat dari segi penetapan hukum dikelompokan pada tiga kelompok:
Hal yang disuruh / diperintahkan syara’ untuk melakukannya agar dapat melaksanakan kewajiban syara’ dengan baik yang sering disebut sebagai “muqaddimah wajib” seperti mendirikan pusat pelayanan pendidikan, kesehatan dsb.
Hal yang dilarang syara’ untuk melakukannya agar menghindarkan manusia secara tidak langsung terhadap pelanggaran pada salah satu unsur “dharuriyat” seperti: berbuat zina merupakan pelanggaran pada tinggkat dharuriyat, maka segala pintu yang dapat mengahantarkan pada perbuatan tersebut harus ditutup, seperti berkhalwat (berdua-duaan bagi yang bukan muhrim dsb). Kepentingan untuk akan adanya tindakan menjauhi larangan ini berada pada tingkatan “hajiyat”.
Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum “rukhshah (keringanan)” yang memberikan kelapangan dalam kehidupan manusia. Sekiranya hukum rukhshah (keringanan) itu tidak ada, maka unsur dharuriyat tidak akan hilang, akan tetapai kehidupan akan mengalami kesulitan, sehingga rukhshah berlaku pada hukum ibadah (meng-qashar daan meng-jama’ shalat) dan muamalat (jual-beli salam/inden); jinayat (adanya “maaf” untuk membatalkan pelaksanaan qishash bagi pembunuhan baik diganti dengan diyat atau tidak).
Kebutuhan Tahsiniyat
Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Kairo: Makabah Wabah, 1999), hal 80
Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan as Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntunan norma dan akhlak.
Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadat, muamalat dan ‘uqubat Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan keburutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat, Abdul Wahhab Khallaf bependapat, Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau hadast, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak kemasjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikkan harga, monopoli dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat Islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan).
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Kencama, 2008), hal 236
Syariat dalam hal takhsiniyah adalah sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak maka akan mencederai kesopanan dan dinilai tidak pantas. Contohnya menutup aurat dalam ibadah dan menjauhi makanan dan minuman yang haram dan bernajis.
Tujuan Tahsiniyat pada prinspinya tidak menimbulkan hukum wajib pada peruatan yang diperintahkan, dan menimbulkan hukum haram pada perbuatan yang dilarang, sebagaimana yang berlaku pada tingkatan dharuriyat dan hajiyat. Namun segala usaha untuk memenuhi kebutuhan tahsiniyat hanya menimbulkan hukum sunnat dan sebaliknya perbuatan yang mengabaikan kebutuhan tersebut akan menimbulkan hukum makruh.
KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTAR MASLAHAH
Dalam aspek akhlaq dan induk dari keutamaan, Islam menetapkan sesuatu yang dapat membersihkan individu dan masyarakat dan membawa manusia berjalan diatas jalan yang paling lurus. Allah swt telah menunjukkan maksudnya terhadap perbaikan dan keindahan ini melalui berbagai illat hukum dan yang disertakanNya pada sebagian hukum-hukumNya, sebagaimana firman Allah swt :
“..... tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu…” (QS Al-Maidah : 6)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Serta sabda beliau, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik”.
Penelitian hokum syar’iah, illat hukum dan hikmah tasyri’iyyah dalam berbagai bidang dan kasus menyimpulkan bahwa pembuat hukum Islam tidak menghendaki terhadap pensyariatan hukumnya melainkan untuk memelihara hal-hal yang dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyah manusia. Dan hal-hal tersebut merupakan kemaslahatan mereka.
Hikmah dari pembuat hukum Islam dan kehendaknya untuk memelihara ketiga macam kemaslahatan tersebut secara utuh menuntutnya untuk mensyariatkan berbagi hukum yang dianggap sebagai pelengkap baginya dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, disamping hukum-hukum yang memelihara masing-masing bentuk kemaslahatan itu.
Dalam aspek dharuriyah, ketika Allah mensyariatkan kewajiban shalat untuk memelihara agama, maka Allah juga mensyariatkan untuk melaksanakannya secara berjamaah dan memberitahukannya secara umum dengan adzan, supaya pelaksanaan agama dan pemeliharaannya ada dalam bentuk manifestasi syiar-syiarnya dan persatuan kea rah itu lebih sempurna.
Dalam bidang hajiyyah ketika Allah mensyariatkan aneka ragam muamalah baik berupa jual beli, sewa-menyewa, persekutuan/perseroan, dan mudharabah, maka Dia melengkapinya dengan larangan untuk menipu dsb.
Dalam bidang tahsiniyat, ketika Allah mensyariatkan untuk bersuci, maka Dia menganjurkan sejumlah hal untuk menyempurnakannya. Ketika Ia menganjurkan untuk bertathawwu’ maka Diapun menetapkan pelaksanaannya pada ibadah itu dan menjadikan kewajiban baginya.
Barangsiapa yang menajamkan pandangannya pada hokum-hukum syariat Islam, maka akan jelaslah bahwasanya yang dimaksud dari setiap hokum syara’ adalah memelihara hal yang dharuri bagi manusia, hal yang hajiy bagi mereka, serta tahsini atau yang melengkapi sesuatu yang memelihara masing-masing daripadanya.
KAIDAH-KAIDAH FIQIH YANG MENDUKUNG
Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh tasryi’ atau maqasid syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil.
Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari rumusan hokum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Quran dan Sunnah Rasulullah. Bila benar ada kesamaan ‘illatnya, maka kuat dugaan bahwa hukumnya juga sama.
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Kencama, 2008), hal 130
Istihsan adalah sumber hokum yang banyak dipakai dalam terminology dan istinbath hokum oleh dua Imam Mahdzab yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Abu al-Karkhi menyebutkan bahwa istihsan adalah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), hal 401
‘Urf atau tradisi adalah bentuk-bentuk muamalah yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg ditengah masyarakat.
Mashalih mursalah adalah maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam, dan tidak ditopang oleh dalil yang khusus, baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahah tersebut.
Ibid, hal 427
KESIMPULAN
Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia. Maqashid Syari’ah adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.
Dalam mengklasifikasi Maqashid Syariah dapat dilihat dari tiga sisi:
Dari sisi tempat timbulnya, maqasid akan terbagi ke dalam dua katagori yaitu Maqasid pembuat syari'at (Allah dan Rasulnya) dan Maqasid al Mukallaf (Manusia). Klasifikasi dari sisi universalitas, hal ini dapat dibagi menjadi dua katagori yaitu Maqasid kulliyah dan Maqasid juz'iyyah. Klasifikasi dari sisi orisinalitas, hal tersebut dapat dibagi ke dalam dua katagori pula yaitu Maqasid Ashliyah (outentik) dan Maqashid Tab’iyah (pelengkap).
Kemaslahatan yang akan diwujudkan bagi manusia menurut as Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat,dan kebutuhan tahsiniyat.
Ayat-ayatAl-Quran dan hadist-hadist dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf .
PENUTUP
Demikianlah makalah yang apat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria, Zein, Muhammad, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Kencama), 2008.
Zahrah, M. Abu, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2012.
Al-Qadharawi, Yusuf, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Kairo: Makabah Wabah), 1999.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama), 1994.
al-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh Islami, Juz II, (Damaskus: Dar al Fikri0), 1986.
16