Academia.eduAcademia.edu

Nama : Rahayu restu putri

Nama : Rahayu restu putri Kelas : 5 C HES Nim : 220201070 Matkul : Hukum Ketenagakerjaan PERSELISIHAN PHK Pengaturan tentang penyelesian perselisihan baik perselisihan hak, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), perselisihan kepentingan serta perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan, di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sudah diatur secara lengkap. Khusus untuk pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak saja diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004, akan tetapi juga dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur secara jelas mulai dari Pasal 150 sampai dengan 172. Namun demikian perselisihan pemutusan hubungan kerja tersebut masih saja banyak terjadi hingga sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial, padahal upaya pencegahan dan atau penyelesaian masih banyak jalan yang dibenarkan oleh UU dapat ditempuh (non ligitasi) sehingga tidak semua perselisihan pemutusan hubungan kerja bermuara dan diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial.Pencegahan dan atau penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat ditempuh melalui, yang pertama melalui Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit, lembaga mediasi, konsiliasi dan arbitrase. sehingga dengan demikian penyelesaian setiap perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan cepat, tepat dan biaya murah serta tidak memerlukan waktu yang relatif lama. Pemutusan hubungan kerja (PHK) Perselisihan pemutusan hubungan kerja berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Jadi, Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Sedangkan, Menurut Hasibuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan tindakan yang dilakukan oleh perusahaan atau organisasi untuk memberhentikan karyawan/pekerja nya. Pemutusan hubungan kerja ini merupakan permasalahan pada hubungan industrial yang banyak sekali terjadi dan merupakan suatu permasalahan penting bagi pekerja selain permasalahan upah. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha dan pekerja/buruh dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan pekerja/buruh. Dalam hal perundingan tersebut benar benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum. Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di suatu perusahaan ini, menurut Jehani, L. (2006) seringkali diikuti dengan konflik antara karyawan dan pengusaha di perusahaan tersebut. Hal ini menurutnya, seringkali terjadi disebabkan karena kurangnya pemahaman mengenai “aturan main” terkait PHK beserta akibat-akibatnya yang sebenarnya hak dan kewajiban para pihak yang berselisih sudah tertuang dalam Undang-undang PPHI. Mengacu pada Undang-undang tersebut pula, setiap adanya perselisihan wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Perundingan bipartit itu sendiri merupakan perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial itu sendiri pada Bab Ketentuan Umum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja PHK Individual PHK individual terjadi ketika satu atau beberapa karyawan dipecat secara terpisah. Alasan di balik PHK ini dapat bervariasi, mulai dari kinerja yang tidak memuaskan hingga pelanggaran etika atau kebijakan perusahaan. PHK individual memberikan fleksibilitas kepada perusahaan untuk menyesuaikan keputusan dengan kinerja dan perilaku karyawan secara spesifik. PHK Massal PHK massal terjadi ketika perusahaan menghadapi tantangan ekonomi besar dan memutuskan untuk melakukan pengurangan besar-besaran dalam kekuatan kerja. Faktor eksternal seperti perubahan pasar atau restrukturisasi perusahaan dapat menjadi penyebabnya. PHK massal melibatkan pemutusan hubungan kerja terhadap sejumlah besar karyawan secara bersamaan, yang memerlukan perencanaan dan komunikasi yang cermat untuk mengelola dampaknya. PHK Khusus PHK khusus terjadi ketika pemutusan hubungan kerja dilakukan atas dasar pelanggaran etika atau kebijakan tertentu oleh karyawan. Proses ini melibatkan penyelidikan internal yang menyeluruh sebelum keputusan PHK diambil. Langkah ini menunjukkan komitmen perusahaan terhadap standar etika dan kepatuhan terhadap kebijakan internal. PHK Demi Perubahan Bisnis PHK dapat dilakukan sebagai respons terhadap perubahan strategis atau struktural dalam bisnis. Ini mungkin mencakup restrukturisasi organisasi, penggabungan perusahaan, atau pergeseran fokus bisnis. PHK demi perubahan bisnis seringkali melibatkan evaluasi ulang terhadap kebutuhan sumber daya manusia perusahaan sesuai dengan arah baru yang diambil. PHK Sebagai Bagian dari Pengurangan Biaya Kadang-kadang, perusahaan perlu melakukan PHK sebagai bagian dari strategi pengurangan biaya. Keputusan ini mungkin diambil sebagai respons terhadap kondisi ekonomi yang sulit atau untuk meningkatkan efisiensi operasional. PHK di sini adalah langkah bisnis yang diambil untuk memastikan kelangsungan operasional perusahaan. PHK Demi Hukum Perusahaan dapat memutus hubungan kerja demi hukum pada karyawan yang telah memasuki usia pensiun, maupun karyawan yang meninggal dunia. PHK Akibat Kesalahan Berat Pekerja Pemberi kerja dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan telah melakukan kesalahan berat.Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan merugikan perusahaan seperti mencuri, menggelapkan aset perusahaan, melakukan tindakan menganggu ketertiban umum, seperti mabuk, mengedarkan narkotika, dan melakukan perbuatan asusila. Ada pula perbuatan lainnya di lingkungan pekerjaan yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. PHK Akibat dari Pelanggaran Perjanjian Perusahaan dapat memutus hubungan kerja apabila karyawan melanggar perjanjian kerja yang telah disepakati.Sebelum mengambil tindakan ini, umumnya perusahaan terlebih dahulu mengambil langkah dengan memberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. PHK Akibat Kondisi Tertentu Pengakhiran hubungan kerja akibat kondisi tertentu, misalnya, perubahan status hukum dari suatu perusahaan yang berkaitan dengan merger (penggabungan) maupun akuisisi (perubahan kepemilikan perusahaan). Faktor lainnya ialah penutupan perusahaan karena mengalami kerugian secara terus menerus, dan adanya efisiensi perusahaan. Dalam mengimplementasikan berbagai jenis PHK, penting bagi perusahaan untuk mematuhi peraturan ketenagakerjaan yang berlaku dan memastikan bahwa setiap pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan penuh keadilan dan transparansi. Selain itu, komunikasi yang baik kepada karyawan yang terkena dampak dan penerapan langkah-langkah penyelesaian sengketa yang efektif juga merupakan elemen penting dalam mengelola proses PHK. Kompensasi yang akan diterima karyawan yang terkena PHK Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja akan memberikan kompensasi kepada karyawannya. beberapa kompensasi yang diberikan antara lain uang pesangon, uang penggantian hak, uang penghargaan. Perhitungan pesangon PHK ini diberikan sesuai dengan syarat yang tercantum dalam pasal 81 Ayat 44 UU Cipta Kerja. Tata cara penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Penyelesaian melalui LKS Bipartit LKS Bipartit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan atau setiap kali dipandang perlu. Materi pertemuan dapat berasal dari unsur pengusaha, unsur pekerja atau dari pengurus LKS Bipartit. LKS Bipartit menetapkan dan membahas agenda pertemuan sesuai kebutuhan. Penyelesaian perselisihan industrial yang menyangkut dengan Pemutusan Hubugan Kerja (PHK), diagendakan khusus dalam suatu pertemuan tertutup. Dalam hal pertemuan Bipartit akan membahas tentang rencana penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah terjadi dalam satu perusahaan yang dalam hal ini perselisihan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), lazimnya perundingan dibuka oleh Sekretaris LKS Bipartit, dan setelah itu ketua akan memaparkan permasalahan yang terjadi untuk dicarikan solusi pemecahan masalah dengan mengumpulkan berbagai pendapat dari anggota yang hadir. Penyelesaian bipartit dilakukan agar perselisihan dapat dilaksanakan secara kekeluargaan, yang diharapkan masing-masing pihak tidak merasa ada yang dikalahkan dan dimenangkan, karena penyelesaian bipartit bersifat mengikat,´17 Langkah awal adalah melalui perundingan, pada prinsipnya setiap perselisihan pasti ada jalan keluar penyelesaiannya, jalan penyelesaian yang terbaik adalah melalui perundingan, musyawarah untuk mufakat. Undang-undang memberikan waktu paling lama 30 hari untuk penyelesaian melalui lembaga ini. Apabila perundingan mencapai kesepakatan wajib dibuat perjanjian bersama yang berisikan hasil perundingan, dan isi dari perjanjian tersebut wajib dipatuhi kedua belah pihak serta harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial, sebaliknya jika tidak tercapai kesepakatan harus dibuat risalah perundingan sebagai bukti bahwa telah dilakuan perundingan Bipartit, dalam risalah perundingan sekurang-kurangnya harus memuat: Nama lengkap dan alamat para pihak. Tanggal dan tempat perundingan. Pokok masalah atau alasan perselisihan. Pendapat para pihak. Kesimpulan atau hasil perundingan. Tanggal serta tanda tangan para pihak. Apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan isi dalam perjanjian bersama (wan prestasi) maka pihak lain yang merasa dirugikan berhak mengajukan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial. Jika perundingan forum LKS bipartit gagal, maka langkah selanjutnya para pihak/salah satu pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang berwenang tentang Ketenagakerjaan (Dinas ketenagakerjaan) setempat dengan melampirkan bukti gagalnya perundingan bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan LKS bipartit telah dilakukan akan tetapi tidak mencapai kesepakatan. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui, konsiliasi atau melalui Arbitrase. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau Arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Penyelesaian Melalui Mediasi/mediator Jenis perselisihan yang dapat diselesaikan oleh mediator adalah semua perselisihan, yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Sedangkan syarat mediator harus memenuhi beberapa kriteria sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 antara lain: Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, warga negara Indonesia, berbadan sehat menurut keterangan dokter, menguasai peraturan perundang±undangan ketenagakerjaan, berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela, berpendidikan sekurang-kurangnya Strata 1 (S1) dan syarat lain yang ditetapkan oleh menteri. Sebaliknya apabila mediasi gagal, mediator selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja harus mengeluarkan anjuran tertulis, anjuran tertulis berisi antara lain mengakomodir keinginan kedua belah pihak, menyimpulkan serta memberi beberapa alternatif penyelesaian yang dianggap oleh mediator anjuran tersebut sudah cukup proporsional dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika anjuran ditolak, maka mediator membuat resume dan atau risalah hasil mediasi sebagai salah satu syarat dan untuk selanjutnya penyelesaian diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Waktu yang diberikan oleh Undang-undang kepada Mediator untuk menyelesaikan perselisihan dimaksud paling lama adalah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian dari salah satu atau para pihak. Penyelesaian Melalui Konsiliasi/konsiliator Bila tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan diketahui konsiliator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama tersebut. Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu yang selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang pertama kepada para pihak. Para pihak harus sudah memberikan pendapatnya secara tertulis kepada konsiliator dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran tertulis itu. Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut oleh konsiliator, Undang-undang memberikan waktu maksimal atau paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian. Konsiliator harus terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan serta harus mendapatkan legitimasi oleh menteri atau pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan. Dalam melaksanakan tugasnya konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa yang dibebankan kepada negara. DAFTAR PUSTAKA AINI, D. N. (2023). LANGKAH PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) SEPIHAK SERTA UPAYA PERLINDUNGAN PEKERJA . JURNAL MANAJEMEN, BISNIS DAN AKUNTANSI, 167-177. ANATAMI, D. (2015). PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI LUAR PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. JURNAL HUKUM SAMUDRA KEADILAN, 292-303. SUWADJI, Y. T. (2019). PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT. JURNAL KETENAGAKERJAAN, 83-97. SYARIF, A. Y. (2021). PENYELESAIAN PERSSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENGGUNAKAN ACTE VAN DADING. JURNAL KETENAGAKERJAAN, 88-102. Apipuddin, A. (2019). RECHTSVINDING METHOD OF JUDGES IN FILLING LEGAL EMPTY "STUDY OF APPROACHES IN LEGAL DISCOVERY". Al-IHKAM JurnalHukumKeluargaJurusanAhwal Al-SyakhshiyyahFakultasSyariah IAIN Mataram, 11(2), 135–152. https://doi.org/10.20414/alihkam.v11i2.2166 Fahrurrozi, Apipuddin, &HeruSunardi. (2022). PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN RESTORATIF JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH (StudiKasus di Kepolisian Resort Kota Mataram). Al-IHKAM JurnalHukumKeluargaJurusanAhwal Al-SyakhshiyyahFakultasSyariah IAIN Mataram, 14(2), 201–222. https://doi.org/10.20414/alihkam.v14i2.6929 Masnun, M. T., &Apipuddin, A. (2020). REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM INDONESIA “KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE”. ADHKI: JOURNAL OF ISLAMIC FAMILY LAW, 2(1), 1–23. https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.31