Academia.eduAcademia.edu

Dissolved Silicate in Coastal Water of South Sulawesi

2015, Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis

Dissolved silicate (DSi) in coastal waters plays a crucial role in phytoplankton growth particularly diatom. This study aimed to determine DSi concentration seasonally in waters of the western coast of South Sulawesi in relation to coastal water quality indicator. Water, chlorophyll-a, and diatom samples were collected from the coastal areas of the Tallo-Makassar, Maros, and Pangkep, in April 2013 (transitional season), June 2013 (dry season), and February 2014 (wet season). Factorial analysis of variance was used to identify significant seasonal and temporal variations, and linear regression was used to test the relationship of chlorophyll-a and diatom abundance to DSi concentrations. The results showed that the DSi concentration was higher in the wet season of 35.2-85.2 µM than in the other seasons (transitional season: 10.8-68.4 µM, dry season: 9.59-24.1 µM). The abundance of diatoms during the transitional season reached ~9.7x10 7 cell/m 3 in the Pangkep river, 2.3x10 7 cell/m 3 in the Tallo river, and 1.3 x 10 7 cell/m 3 in the Maros river. Chaetoceros, Nitzschia, and Rhizosolenia dominated the diatom composition. The mean concentration of chlorophyll-a in the Makassar coastal waters was 4.52±4.66 mg/m 3 , while in the Maros and Pangkep waters of 1.40±1.06, and 2.72±1.94 mg/m 3 , respectively. There was no strong linear corelation between DSi and diatom abundances, nor chlorophyll-a. These results suggested that DSi become a non-limiting factor for the diatom growth and potentially reduce the water quality via eutrophication and diatom blooms.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm. 461-478, Desember 2014 SILIKAT TERLARUT DI PERAIRAN PESISIR SULAWESI SELATAN DISSOLVED SILICATE IN COASTAL WATER OF SOUTH SULAWESI Muhammad Lukman1,2*, Andriani Nasir3, Khairul Amri1, Rahmadi Tambaru1, Muhammad Hatta1, Nurfadilah2 , dan Rahmat Januar Noer2 1 Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Unhas, Makassar 2 Puslit dan Pengembangan Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Unhas, Makassar 3 Program Pascasarjana, Unhas, Makassar; *E-mail: [email protected] ABSTRACT Dissolved silicate (DSi) in coastal waters plays a crucial role in phytoplankton growth particularly diatom. This study aimed to determine DSi concentration seasonally in waters of the western coast of South Sulawesi in relation to coastal water quality indicator. Water, chlorophyll-a, and diatom samples were collected from the coastal areas of the Tallo-Makassar, Maros, and Pangkep, in April 2013 (transitional season), June 2013 (dry season), and February 2014 (wet season). Factorial analysis of variance was used to identify significant seasonal and temporal variations, and linear regression was used to test the relationship of chlorophyll-a and diatom abundance to DSi concentrations. The results showed that the DSi concentration was higher in the wet season of 35.2-85.2 µM than in the other seasons (transitional season: 10.868.4 µM, dry season: 9.59-24.1 µM). The abundance of diatoms during the transitional season reached ~9.7x107 cell/m3 in the Pangkep river, 2.3x107 cell/m3 in the Tallo river, and 1.3 x 107 cell/m3 in the Maros river. Chaetoceros, Nitzschia, and Rhizosolenia dominated the diatom composition. The mean concentration of chlorophyll-a in the Makassar coastal waters was 4.52±4.66 mg/m3, while in the Maros and Pangkep waters of 1.40±1.06, and 2.72±1.94 mg/m3, respectively. There was no strong linear corelation between DSi and diatom abundances, nor chlorophyll-a. These results suggested that DSi become a non-limiting factor for the diatom growth and potentially reduce the water quality via eutrophication and diatom blooms. Keywords: dissolved silicate, diatom, chlorophyll-a, coastal waters, South Sulawesi ABSTRAK Silikat terlarut di perairan pesisir dan laut berperan penting dalam pertumbuhan fitoplankton seperti diatom. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung konsentrasi silikat terlarut di perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan pada musim yang berbeda, dan untuk melihat hubungannya dengan kepadatan diatom dan klorofil-a. Sampel air, klorofil, dan plankton dikumpulkan pada April 2013 (musim peralihan), Juni 2013 (musim kemarau), dan Februari 2014 (musim hujan), dari perairan pesisir muara sungai Tallo-Makassar, Maros, dan Pangkep. Perbedaan variasi silikat antara musim dan antar lokasi diuji dengan Analisis Varian (ANOVA) faktorial, sedangkan pengaruh silikat pada kelimpahan diatom dan klorofil-a diuji dengan regresi sederhana. Secara umum konsentrasi silikat pada musim hujan lebih tinggi (35,2-85,2 µM), dibanding pada musim peralihan (10,8-68,4 µM) dan musim kemarau (9,59-24,1 µM). Konsentrasi silikat di perairan Maros lebih tinggi dibanding dua lokasi lainnya, berkisar antara 13,0-83,97 µM. Meningkatnya konsentrasi silikat tidak memberi pengaruh yang kuat pada kelimpahan diatom dan klorofil-a. Kelimpahan Diatom tertinggi terjadi pada musim peralihan, sebesar 9,7x107 sel/m3 di Pangkep, 2,3x107 sel/m3 di Tallo, dan 1,3x107 sel/m3 di Maros. Ratarata klorofil-a di pesisir Makassar sebesar 4,52±4,66 mg/m3, Maros 1,40±1,06 mg/m3, dan Pangkep 2,72±1,94 mg/m3. Konsentrasi silikat yang tinggi di perairan pesisir bukan faktor pembatas pertumbuhan plankton, dan berpotensi menurunkan kualitas perairan karena eutrofikasi dan pengayaan monospesies diatom. Kata kunci: silikat terlarut, diatom, klorofil-a, perairan pesisir, Sulawesi Selatan. @Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 461 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … I. PENDAHULUAN Unsur silikon (Si) memainkan peran penting dalam menunjang kesehatan ekosistem pesisir dan laut, khususnya dalam mendukung produktifitas primer di perairan. Si menjadi unsur esensial bagi pertumbuhan frustul fitoplankton bersilikon, khususnya Diatom sebagai produser primer utama di laut, dan Radiolaria (Schlesinger, 1997; Kennington et al., 1999; Durr et al., 2011). Berbagai penelitian tentang silikat di perairan dan eksperimen bioassai pengayaan nutrien menyimpukan bahwa unsur Si menjadi faktor pembatas dan pengatur pertumbuhan fitoplankton di perairan pesisir dan laut termasuk di estuaria (Fehling et al., 2012; Wu and Chou, 2003; Brzezinski et al., 1990; Turner et al., 1998; Fisher et al., 1992), meskipun peran tersebut lebih ditentukan oleh kesetimbangan massa dari unsur-unsur nutrien utama lainnya yaitu Nitrogen (N) dan Fosfat (P) (Del Amo et al., 1997). Penurunan rasio silikat terlarut terhadap nitrogen anorganik terlarut (Si:N) mendekati atau lebih rendah dari rasio Red Field 1:1 dapat berimplikasi ekologi pada perubahan komposisi jenis fitoplankton berdominasi diatom ke flagellate termasuk dinoflagellata, chrysophytes, chlorophytes dan coccolitophores (Conley et al., 1993; Officer and Ryther, 1980); pengayaan bloom fitoplankton berbahaya, termasuk diatom beracun Pseudonitzschia (Tatters et al., 2012); perubahan rantai makanan dan penurunan oksigen terlarut (Egge and Aksnes, 1992; Turner et al., 1998). Silikat di perairan pesisir dan laut dapat berbentuk sebagai partikel mineral, opal biogenik, dan larutan. Silikat terlarut umumnya berbentuk silikat (senyawa dengan komponen silikon anionik dan umumnya dalam bentuk oksida, Si-O), karena memiliki afinitas yang kuat dengan oksigen. Silikat terlarut yang masuk ke perairan pesisir dan lautan umumnya 462 berbentuk reaktif silikat anorganik, dapat berupa ion-ion terlarut dari asam ortosilisik (Si(OH)4). Asam silisik ini berasal dari pelapukan mineral tanah dan batuan (Papush et al., 2006), masuk ke dalam air sungai melalui aliran-aliran permukaan tanah atau aliran air tanah (Treguer et al., 1995). Meskipun silikon adalah unsur terbesar kedua (28%) dari massa kerak bumi setelah oksigen (Andrews et al., 2004), tetapi konsentrasi silikat reaktif terlarut diperairan pesisir dan laut juga tidak serta merta melimpah. Konsentrasi silikat terlarut di dalam air tanah dapat berkisar antara 100-500 µM (Sommer et al., 2006), sedangkan di perairan pesisir laut konsentrasinya cukup bervariasi, mulai dari 0,1 µM hingga >100 µM (Alkhatib et al., 2007; Gobler et al., 2006; Jennerjahn et al., 2004; Rahm et al., 1996). Variasi konsentrasi silikat di perairan pesisir dan laut menjadi salah satu karakter lokasi (spasial) tertentu, dan merupakan resultan dari berbagai faktor hidrografi (misalnya: eutrofikasi, banjir, dan upwelling) dan biogeokimia (atau interaksi antara udara, daratan, perairan, dan organisme) yang mempengaruhi kadar sumber dan rosot silikat di perairan (Humborg et al., 1997; Conley et al., 1993; Schelske et al., 1983). Selain berkarakter spasial, variasi konsentrasi asam silisik di perairan pesisir yang ditentukan oleh input dari luapan sungai merupakan sebuah proses yang sangat dipengaruhi oleh musim (Treguer et al., 1995). Di Indonesia, hasil-hasil penelitian menunjukkan signifikansi musim hujan dan peralihan terhadap meningkatnya konsentrasi silikat di perairan pesisir (Pello et al., 2014; Kusumaningtyas et al., 2014; Sanusi, 2004). Ini menjelaskan bahwa suplai silikat dari daratan ke perairan pesisir utamanya terjadi pada musim hujan dan peralihannya. Oleh karena itu, perubahan iklim yang ditandai dengan varibilitas iklim yang tinggi diasumsikan akan http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. berpengaruh kuat terhadap variabilitas dari konsentrasi silikat diperairan pesisir, yang secara langsung akan mempengaruhi biomass fitoplankton dan produktifitas primer (Conley and Malone, 1992). Wilayah perairan yang mengalami curah hujan tahunan yang cukup banyak sangat berpotensi untuk mengalami peningkatan konsentrasi silikat yang signifikan sepanjang tahun. Demikian pula sebaliknya, wilayah perairan yang mengalami musim kemarau yang berkepanjangan dapat mengalami defisiensi silikat hingga pada tingkat kritis (Si:N<1) yang membatasi pertumbuhan diatom (Turner et al., 1998). Oleh karena itu, penelitian eksploratif spasial dan temporal tentang kandungan silikat menjadi penting di masa ini dalam memahami kualitas suatu wilayah perairan tertentu, serta konsekuensi ekologi yang dapat ditimbulkannya. Perairan pesisir Makassar dan sepanjang pantai barat Sulawesi Selatan tergolong pesisir produktif, dimana didalamnya terdapat ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang (Kepulauan Spermonde). Ekosistem itu cukup krusial dalam menopang kehidupan ekonomi masyarakat pesisir dan ketahanan pangan. Namun demikian, tingginya buangan daratan dan pencemaran dapat menjadi satu ancaman bagi kesehatan ekosistem tersebut. Potensi penurunan kualitas perairan akibat buangan limbah dari daratan Sulawesi Selatan, khususnya nutrien silikat dan sedimen partikulat yang dibawa oleh sungai-sungai besar diasumsikan cukup besar. Hasil-hasil penelitian sejenis juga telah mengindikasikan gejala pengayaan nutrien (nitrogen dan fosfor) dan pencemaran logam berat pada pesisir tersebut (Faizal, 2012; Werolilangi, 2012). Secara visual, kondisi perairan sepanjang pesisir Kota Makassar hingga Kabupaten Pangkajene Kepulauan ditandai oleh perubahan warna air akibat sedimentasi dan terkadang akibat biomass fitoplankton yang relatif persisten sepanjang tahun. Peningkatan kepadatan fitoplankton akibat tingginya nutrien di pesisir merupakan gejala eutrofikasi, yang biasanya ditandai oleh pergeseran dominansi fitoplankton ke non-diatom (Paerl, 2009; Turner et al., 1998). Namun demikian, peran silikat sebagai nutrien yang mengatur dominansi diatom akan menjadi penting dalam menjaga kualitas ekosistem perairan yang tereutrofikasi, bilamana konsentrasi silikat terlarut berada diatas ambang (>2µM) kebutuhan pertumbuhan diatom (Egge and Aksnes, 1992). Oleh karena itu, penelitian yang komprehensif (spasial dan temporal) tentang konsentrasi silikat dari sumbersumber utama buangan daratan (yaitu di muara sungai-sungai besar di pantai barat Sulawesi Selatan dari kota Makassar, kabupaten Maros, dan kabupaten Pangkajene Kepulauan) ke pesisir dan laut di gugusan terumbu karang Spermonde menjadi penting dalam menilai kualitas perairan. Penelitian ini bertujuan menghitung konsentrasi silikat terlarut (SiO4) di perairan pesisir muara-muara sungai besar (Tallo Makassar, Maros, dan Pangkep) di pantai barat Sulawesi Selatan pada musim yang berbeda, dan untuk melihat hubungannya dengan kualitas perairan, khususnya klorofil-a dan kelimpahan diatom. Karena penelitian sejenis sangat minim dan mungkin belum ada diperairan tersebut, nilai silikat musiman yang diperoleh masih sulit untuk dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Oleh karena itu, data yang dihasilkan pada penelitian menjadi sangat bermanfaat untuk penelitian sejenis lainnya di masa datang. II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini mencakup perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan menitikberatkan pada perairan pesisir dimana terdapat muara sungai-sungai besar, yaitu perairan pesisir Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 463 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … Makassar (muara Sungai Tallo), Maros (muara S. Maros), dan Pangkep (muara S. Pangkep) (Gambar 1). Pengambilan sampel air dan plankton untuk pengukuran silikat, Klorofil-a, dan komunitas fitoplankton dan pengukuran kondisi hidrografi (suhu, salinitas, pH dan kecerahan) dilakukan selama 3 kali pelayaran laut yang mewakili musim peralihan kemarau (April 2013), kemarau (Juni 2013), dan musim hujan (Februari 2014). 2.2. Pengambilan Sampel Air, Klorofil-a, dan Plankton Sebanyak 1 liter sampel air permukaan (kedalaman 2 m) dikoleksi dengan menggunakan pompa celup di 34 stasiun. Sampel air untuk pengukuran konsentrasi silikat, tersebut kemudian disaring di lapangan dengan menggunakan filter serat glass GF/F 0,7µm (Whatmann). 50 ml air cuplikan dari air tersaring tersebut kemudian dimasukkan kedalam botol sampel dan ditambahkan 35 mg/ml larutan HgCl2 sebanyak 20% (volume) untuk menghindari konsumsi silikat oleh mikro- alga berbasis silika yang masih tersisa dari proses penyaringan. Sampel air tersebut kemudian dibawah ke laboratorium untuk selanjutnya dilakukan analisis silikat. Selanjutnya, sampel klorofil-a diperoleh dengan menyaring 1,5 liter air permukaan dengan juga menggunakan filter GF/F. Filter tersebut kemudian disimpan dalam keadaan membeku dan gelap hingga analisis dilakukan. Sampel plankton diperoleh dengan menggunakan jaring plankton 55 µm, yang ditarik dari kedalaman 10 meter. Sampel plankton ini hanya diambil pada stasiun-stasiun terluar dari setiap lokasi, dan diawetkan dengan larutan lugol dan disimpan dalam keadaan gelap hingga analisis. 2.3. Penentuan Konsentrasi Silikat Terlarut Silikat dianalisis dengan metode Spektrofotometri mengikuti prosedur pengambilan sampel, penyiapan dan pengukuran yang dijelaskan oleh Grasshoff et al. (1983). Penentuan silikat terlarut didasarkan pada pembentukan Gambar 1. Peta lokasi dan stasiun penelitian di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan. 464 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. asam silikomolibdik berwarna, ketika 20 ml sampel yang telah diasamkan dengan 0,8 ml asam oksalat dan 0,4 ml asam askorbik, yang kemudian dicampur dengan 0,8 mL larutan molibdat (asam sulfurik: amonium heptamolibdat 5:1 (v/v)). Silikat (SiO44-) diukur pada panjang gelombang 810 nm dengan satuan µg/l, yang diplot terhadap kurva kalibrasi 6 poin. Standar deviasi relatif dari konsentrasi standar terkecil (0,055 µg/l) sebesar 5%. Penyajian hasil akhir dari konsentrasi silikat disajikan dalam unit µmol/l atau µM. 2.4. Penentuan Konsentrasi Klorofil Pengukuran klorofil-a dilakukan dengan metode trikomatik-spektrofotometri, seperti yang dijelaskan dalam Aminot and Rey (2000). Sample klorofil pada GF/F diekstrak dengan 10 ml aceton 90% hingga 1 jam. Hasil ekstrasi kemudian disentrifugasikan dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Klorofil diukur pada bagian supernatant sampel dengan panjang gelombang 664, 647 dan 630 nm, dan kemudian dihitung dengan persamaan Jeffrey-Humphrey (Aminot and Rey, 2000). Beberapa hasil ekstraksi yang belum sempat terukur pada saat itu, disimpan (max. 24 jam) pada suhu dingin (4oC) dalam keadaan gelap sampai pengukuran selanjutnya. 2.5. Identifikasi dan Pencacahan Diatom Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menggunakan jaring plankton 55µm. Volume air tersaring dihitung dengan menggunakan flowmeter. Sampel plankton dikumpulkan pada botol sampel dan diawetkan dengan 5 ml larutan lugol (1%). Identifikasi mikroskopik diatom dilakukan mengikuti Wickstead (1965), Yamaji (1976) dan Taylor (1998). Pencacahan dilakukan dengan SedgwickRafter Counting Cell atas fraksi sampel, dengan unit satuan sel/mililiter. Data kelimpahan kemudian disajikan dalam sel/liter setelah koreksi dengan volume air tersaring. 2.6. Analisa Statistik Interaksi faktor musim dan lokasi terhadap konsentrasi silikat di perairan di analisa dengan menggunakan analisis varian (ANOVA) desain faktorial, yang didahului oleh uji normalitas dan homogenitas, serta dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda (Post Hoc Test). Selanjutnya, hubungan antara silikat dengan kualitas lingkungan (salinitas, klorofil-a dan kelimpahan diatom) diuji dengan Regresi Sederhana. Semua analisa statistik dilakukan dengan tingkat signifikansi uji 5%. Analisa dengan bantuan perangkat lunak SPSS 15.0. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Kondisi Hidrografi Perairan pesisir di lokasi penelitian termasuk perairan estuaria dengan gradien salinitas mulai dari 2,30 psu hingga 32,2 psu di perairan pesisir muara Tallo Makassar, 3-33 psu di perairan pesisir muara Maros, dan 0,41-33 psu di perairan muara Pangkep. Kondisi hidrografi (suhu, pH dan kecerahan) pada musim berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Tabel 1). Suhu permukaan air laut di ketiga musim relatif sama, dengan nilai rata-rata (±standar deviasi) sebesar 31,3±0,9 oC di musim peralihan, 31,1±0,8 o C di musim kemarau, dan 30,9±0,9 oC di musim hujan. pH rata-rata di musim peralihan, kemarau, dan hujan berturutturut sebesar 7,65±0,8, 7,57±0,2, dan 7,82±0,2. Kecerahan secchi disk rata-rata 67,4±23,4% di musim peralihan, 73,0± 16,9 % di musim kemarau, dan 80,1±20,5 % di musim hujan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 465 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … Tabel 1. Kondisi hidrografi, silikat terlarut, dan klorofil-a di perairan pesisir Sulawesi Selatan. Lokasi Musim* Perairan Pesisir Muara Peralihan Tallo Makassar Kemarau Hujan Muara Maros Peralihan Kemarau Hujan Muara Pangkep Peralihan Kemarau Hujan Salinitas (psu) Suhu (oC) pH Kecerahan (%) SiO4 (µM) Klor-a (mg/m3) 16,2 – 32,2 30,6 – 31,8 6,93 7,85 21,7 – 97,5 10,9 28,2 1,86 11,9 15,0 – 30,0 2,3 – 28,4 3,0 – 30,4 5,0 – 33,0 3,1 – 28,3 0,41 – 32,2 7,0 – 33,0 3,1 – 30,6 30,0 – 31,7 30,9 – 31,7 31,6 – 33,1 31,2 – 32,8 30,0 – 31,7 28,8 – 32,4 30,1 – 31,9 29,2 – 33,6 7,25 7,76 7,27 7,98 7,61 7,85 7,45 7,80 7,66 8,07 7,19 7,73 7,37 7,81 7,21 8,04 38,5 – 100 40 – 100 50 – 100 55,6 – 95,2 56 – 86,7 1– 85,9 39,1 – 87,0 94 – 100 11,9 24,1 35,2 53,9 43,1 68,4 13,0 23,9 64,8 83,9 10,7 22,1 9,59 23,7 68,9 85,2 0,38 7,68 1,53 2,97 0,211,58 0,20 4,08 1,13 2,46 0,17 10,8 0,26 4,28 0,19 6,83 * Peralihan=April 2013; Kemarau=Juni 2013; Hujan=February 2014 3.1.2. Konsentrasi Silikat Konsentrasi silikat di perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan itu secara keseluruhan dari tiga musim pengambilan data, berkisar antara 9,59– 85,2 µM. Konsentrasi silikat di perairan pesisir tersebut bervariasi antar musim dan antar lokasi (Tabel 1, Gambar 2). Konsentrasi silikat pada musim hujan (Feb 2014) jauh lebih tinggi dibanding dengan musim peralihan kemarau (April 2013) dan musim kemarau (Juni 2013). Pada musim hujan, konsentrasi silikat berkisar antara 35,2 – 85,2 µM (66,0±18,0 µM). Selanjutnya pada musim peralihan, konsentrasi silikatnya berkisar antara 10,7 – 68,4 µM (26,2±19,4 µM). Sedangkan, pada musim kemarau konsentrasi silikat berkisar antara 9,59 – 24,1 µM (18,3±3,67 µM). Selanjutnya secara lokasi, konsentrasi silikat di perairan Maros lebih tinggi dibanding dua lokasi lainnya. Silikat di 466 perairan Maros berkisar antara 13,0 – 83,97 µM (51,6 ± 24,9 µM). Sedangkan perairan Pangkep dan Makassar, konsentrasi silikat berturut-turut berkisar antara 9,59 – 85,2 µM (37,4 ± 30,3 µM) dan 10,97 – 53,96 µM (26,6 ± 12,8 µM). Variasi konsentrasi silikat antar lokasi penelitian juga terjadi pada musim yang sama. Pada musim hujan, konsentrasi silikat di perairan Pangkep sedikit lebih tinggi dibanding lokasi lainnya, dengan kisaran konsentrasi antara 68,9 – 85,2 µM (79,4±5,32 µM). Namun kisaran konsentrasi tersebut relatif sama dengan kisaran konsentrasi di perairan Maros 64,8 – 83,97 µM (74,2±7,98 µM), sedangkan di perairan Makassar silikat hampir dua kali lebih kecil dengan kisaran konsentrasi antara 35,2 – 53,96 µM (42,5±6,23 µM). Pada musim peralihan, rerata konsentrasi silikat di perairan Maros adalah 61,3 ± 8,57 µM. http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. Konsentrasi ini sekitar 3 kali lebih besar dibandingkan dengan rerata konsentrasi di perairan Makassar (18,9 ± 7,19 µM) dan Pangkep (15,2 ± 3,24 µM). Konsentrasi silikat pada musim kemarau relatif sama untuk semua lokasi, dimana rata-rata konsentrasi silikat di perairan Maros, Makassar dan Pangkep berturutturut adalah 19,3 ± 3,36 µM, 18,4 ± 3,94 µM, dan 17,7 ± 3,76 µM. 3.1.3. Kelimpahan Diatom Kelimpahan diatom terbesar terjadi pada musim peralihan dengan rata-rata nilai kelimpahan 1,34x107 ± 9,79x106 sel/liter, sedangkan pada musim kemarau dan hujan rata-rata kelimpahannya berturut-turut adalah 4,05x106 ± 3,73x106 sel/liter dan 5,82x106 ± 6,09x106 sel/liter (Gambar 2). Kelimpahan tertinggi dijumpai di perairan Pangkep, yang dapat mencapai 2,9x106 sel/liter di musim peralihan, 1,47x107 sel/liter di musim kemarau dan 2,28x107 sel/liter di musim hujan. Secara umum, ditemukan bahwa genus Chaetoceros, Nitzschia, dan Rhizosolenia mendominasi stuktur komunitas diatom (Lukman et al. (submitted). Nilai kelimpahan tersebut dan dominansi jenis tertentu menunjukkan bahwa kondisi perairan sedang mengalami pengayaan diatom (blooming). Kondisi ini diindikasikan pula oleh perubahan visual warna air laut yang lebih berwarna kehijauan. Gambar 2. Distribusi silikat terlarut, klorofil-a, dan kepadatan diatom di musim peralihan (Apr-13), kemarau (Jun-13), dan hujan (Feb-14) di perairan pesisir Makassar, Maros, dan Pangkep. 3.1.4. Klorofil-a Secara umum, variasi konsentrasi klorofil-a relatif sama antar musim, walaupun konsentrasinya pada musim peralihan sedikit lebih besar. Konsentrasi klorofil-a pada musim peralihan berkisar antara 0,17 – 11,9 mg/m3 dengan rata-rata 2,91 ± 2,44 mg/m3 (Tabel 1, Gambar 2). Sebaran konsentrasi berbeda antar lokasi pada musim yang sama. Pada musim peralihan, konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan Makassar dan Pangkep dengan nilai rata-rata berturut-turut 4,80 ± 3,35 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 467 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … mg/m3 dan 3,22 ± 3,41 mg/m3, sedangkan di Maros rata-rata klorofil sebesar 0,74 ± 0,48 mg/m3. Di musim kemarau, konsentrasi klorofil-a tertinggi juga ditemukan di peraian pesisir Makassar dengan rata-rata konsentrasi 4,55 ± 2,25 mg/m3, sedangkan di Pangkep dan di Maros rata-ratanya berturut-turut sebesar 2,01 ± 1,22 mg/m3 dan 1,85 ± 1,58 mg/m3. Pada musim hujan, konsentrasi klorofil-a tertinggi ada di perairan Pangkep dengan nilai rata-rata 3,61 ± 1,98 mg/m3, sedangkan di Makas- sar dan Maros nilai rata-ratanya relatif sama, yaitu: 1,92 ± 0,44 mg/m3 dan 1,59 ± 0,44 mg/m3. 3.2. Pembahasan 3.2.1. Distribusi Silikat Secara umum konsentrasi silikat terlarut di perairan pesisir Sulawesi Selatan ini adalah komparatif dengan konsentrasi silikat di beberapa perairan pesisir di Indonesia, seperti di estuaria sungai Brantas - Selat Madura (Jennerjahn Tabel 2. Perbandingan konsentrasi silikat terlarut pada berbagai perairan di Indonesia, China, Amerika Selatan dan Tengah. No. Lokasi Perairan 1. 2. Pesisir pantai barat Sulawesi Selatan 3. Estuari sungai BrantasSelat Madura: Sungai Wonokromo Sungai Porong Dumai Sumatra 4. Teluk Ambon 5. Teluk Jakarta 1. 2. 3. 4. 5. 468 China, Amerika Selatan dan Tengah Jiulong River Estuary, Taiwan Strait, China Pearl River Estuary, China Yellow River Estuary, China Amazon River Continental Shelf Gulf of Nicoya, Costa Rica Waktu pengukuran Musim Peralihan: Apr. 2013 Musim Kemarau: Jun. 2013 Musim Hujan: Feb. 2014 Kisaran konsentrasi (µM) 10,8 – 68,4 Referensi Lukman et al. (studi ini) 9,59 – 24,1 35,2 – 85,2 Jennerjahn et al. (2004). Mai 2001 38,0 – 181,2 Mai 2001 Oktober– Desember 2003 Juni 2011 – Mei 2012 Mei 2010 49,2 – 182,4 1,7 – 3,2 4,28 – 82,8 Alkhatib et al. (2007). Pello et al. (2014). 0,188 – 6,321 mgSi/l Prayitno (2011). April 2008 – April 2011 Mai - Juni 200 - 300 Yan et al. (2012). ~ 150 Dai et al. (2008). - 16 - 323 Ding et al. (2011). - 108,59 Santos et al. (2008.) 10,2 – 165,3 Palter et al. (2007). Musim Hujan: Nov. 2000 Musim Kemarau: Jan. 2001 Musim peralihan: Jul. 2001 2,4 – 127,7 8,1 – 115,4 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. et al., 2003), Teluk Ambon (Pello et al., 2014), dan Teluk Jakarta (Prayitno, 2011) (Tabel 2). Ini menunjukkan bahwa perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan secara umum termasuk dalam perairan yang memiliki tingkat konsentrasi silikat terlarut yang relatif tinggi. Namun demikian, konsentrasi silikat terlarut di Indonesia secara umum masih dua kali lebih kecil bila dibandingkan dengan beberapa sungai besar di China yang menjadi perhatian para ilmuwan karena eutrofikasi dan sedimentasinya seperti Jiulong River Estuary, Taiwan Strait (Yan et al., 2012), Pearl River Estuary (Dai et al., 2008), dan Yellow River Estuary (Ding et al., 2011), Pengaruh faktor musim dan lokasi terhadap variasi konsentrasi silikat terlarut signifikan. Terdapat perbedaan nyata variasi konsentrasi silikat antar musim (peralihan, kemarau, dan hujan) dan antar lokasi (Makassar, Maros, dan Pangkep), dan pengaruh interaksi gabungan faktor musim dan lokasi terhadap konsentrasi silikat cukup nyata (ANOVA, p<5%). Dari ketiga sumber variasi tersebut, efek komponen variabel musim lebih kuat (65,3%) dari pada efek komponen variabel lokasi (12,2%) dan efek interaksi gabungan spasio-temporal (18,4%). Ini menunjukkan bahwa peran musim dalam distribusi silikat terlarut diperairan cukup besar, dimana konsentrasi terbesar silikat di perairan berada terjadi di musim hujan. Tingginya konsentrasi silikat pada musim hujan atau musim dengan tingkat presipitasi tinggi, juga diperlihatkan pada beberapa sistem perairan estuaria dan pesisir di dunia walaupun karakter daratannya berbeda, seperti pada musim semi di beberapa daerah estuaria di Amerika (Gobler et al., 2006) dan China (Liu et al., 2009; Huang et al., 2003). Pada musim kemarau, distribusi konsentrasi silikat di perairan pesisir Sulawesi Selatan relatif cukup merata di tiga perairan tersebut (Tukey, p>5%). Ini dapat menunjukkan bahwa suplai silikat di musim kemarau relatif kecil. Pada musim peralihan, variasi konsentrasi antara Makassar dan Pangkep tidak berbeda nyata (Tukey, p>5%). Pada musim hujan, hanya rerata konsentrasi silikat di perairan Maros dan Pangkep yang tidak menunjukkan signifikansi perbedaan (Gambar 3). Karakter spasio-temporal ini menjadi informasi yang cukup penting untuk memahami proses hidrologi maupun biogeokimia pada musim tertentu. Dalam kondisi sumber silikat dari daratan yang terbatas, tingginya curah hujan berimplikasi pada pengenceran konsentrasi silikat di perairan (Papush et al., 2006). Tingginya silikat pada musim hujan di perairan pesisir Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa sumber silikat di daratannya cukup besar. Sumber silikat diperairan pesisir utamanya berasal dari hasil dari pelapukan mineral tanah yang mengandung silika yang kemudian larut dalam aliran sungai-sungai menuju ke pesisir dan lautan (Liu et al., 2009; PatelSorrentine et al., 2007). Besarnya luapan silikat di musim hujan juga dapat menjelaskan indikasi tingginya laju pelapukan batuan mineral (White and Blum, 1995). Tingginya konsentrasi silikat di parairan Maros selama 3 musim dibanding 2 perairan lainnya dapat mengindikasikan besarnya luapan silikat dari daratan Maros akibat pelapukan mineral tanah dan sedimen di sekitarnya perairan. Selain pelapukan, silikat terlarut di perairan dapat pula berasal dari beberapa input potensial seperti residu pertanian (biogenic silikat) khususnya padi-padian atau sereal (Ma et al., 2011; Fang and Ma, 2006), air hujan (Zhang et al., 2005), dan silikat biogenik yang berbasis di perairan laut itu sendiri (Liu et al., 2009; Conley, 2000). Namun, pembejaran dari sistem perairan pesisir di tempat lain mengungkapkan bahwa kontribusi silikat biogenik terhadap total silikat terlarut diperairan relatif kecil sekitar 2% (Liu et al., 2009). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 469 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … Gambar 3. Distribusi musiman silikat terlarut (µM) dan klorofil-a (mg/m3) di perairan pesisir Makassar, Maros, dan Pangkep. Konsentrasi silikat terlarut akan cenderung berkurang seiring bertambahnya salinitas (Jennerjahn et al., 2004; Conley and Malone, 1992). Stratifikasi silikat berdasarkan gradient salinitas ini menunjukkan dominansi suplai daratan sebagai sumber utama silikat di perairan 470 pesisir dan laut, terhadap sumber silikat biogenik. Namun sebaliknya, korelasi yang tidak begitu kuat antara silikat dan salinitas dapat diasumsikan akibat dari gabungan faktor: (1). distribusi silikat yang cukup jauh ke massa air laut bersalinitas tinggi; (2). pelepasan silikat http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. biogenis ke fase terlarut akibat regenerasi dari diatom yang biasanya terjadi di musim kemarau (Conley and Malone, 1992). Hasil regresi sederhana antara silikat dan salinitas di perairan di setiap musim menunjukkan bahwa secara umum silikat berkorelasi negatif kuat terhadap salinitas, kecuali pada: musim hujan di Pangkep (R2=0,07%), dan musim kemarau di Makassar (R2=0,04%). Lemahnya korelasi tersebut di Pangkep pada musim hujan dapat menjelaskan kuatnya luapan silikat dari daratan hingga menjangkau perairan yang bersalinitas tinggi, sedangkan lemahnya korelasi di Makassar pada musim kemarau dapat menjelaskan proses hidrodinamik yang menyebabkan transport silikat lebih merata pada berbagai salinitas. Meskipun tidak ada data yang menunjang, argument tentang reminiralisasi silikat dari sedimen dan sumber biogenik mungkin dapat dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab meratanya konsentrasi silikat pada massa air yang bersalinitas tinggi pada musim kemarau di Makassar (Conley, 2000; Conley and Malone, 1992). Hasil analisa diatas menyimpulkan bahwa musim hujan merupakan musim dimana konsentrasi silikat menjadi lebih tinggi dibanding musim lainnya. Korelasi negatif yang kuat antara salinitas dan silikat menguatkan dominansi sumber silikat dari daratan. Kondisi ini relatif rentan terhadap perubahan iklim, dimana varibilitas iklim dapat berimplikasi pada besarnya beban masukan silikat terlarut di perairan pesisir Sulawesi Selatan. 3.2.2. Hubungan Silikat, Diatom dan Klorofil-a Silikat terlarut dibutuhkan dalam pembangunan frustul diatom sebagai produser primer utama di perairan laut (Brzezinski et al., 1990). Ini menempatkan silikat sebagai sumber nutrien yang penting dan dapat menjadi pengatur kompetisi dominansi silicious vs. non- silicious fitoplankton (Conley et al., 1993; Officer and Ryther, 1980). Dominansi diatom dapat terjadi sepanjang tahun tanpa pengaruh musim jika konsentrasi silikat di perairan melebihi konsentrasi ambang 2 µM (Egge and Aksnes, 1992). Oleh karena itu, perairan dengan konsentrasi silikat terlarut > 2 µM sepanjang tahun, dapat menjadi indikator kualitas perairan dimana silikat bukan lagi menjadi faktor pembatas pertumbuhan dominansi diatom atas komunitas fitoplankton nonsilikon. Rerata konsentrasi silikat di perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dari 3 musim adalah 37 µM. Tingkat konsentrasi tersebut sangat cukup untuk mendukung pertumbuhan dan dominansi fitoplankton berbasis silikon, khususnya diatom. Hasil penelitian ini mendapatkan kelimpahan diatom yang relatif tinggi (107 sel/liter) dan dominansi diatom dalam struktur komunitas pada semua musim. Korelasi antara silikat dan kepadatan diatom tidak memperlihatkan kekuatan hubungan yang erat (R2=0,07%) (Gambar 4). Ini menjelaskan bahwa pertumbuhan diatom tidak dipengaruhi oleh silikat yang melimpah, melainkan dipengaruhi oleh faktor lainnya yang kemungkinan besar adalah ketersediaan nitrogen dan fosfat sebagai nutrien utama pertumbuhan fitoplankton (Del Amo et al., 1997). Variasi kepadatan diatom per musim mengindikasikan karakter spasial dari perairan Makassar, Maros, dan Pangkep. Kondisi empirik kelimpahan dan dominansi diatom juga dapat menjelaskan secara tidak langsung bahwa rasio silikat terlarut terhadap nitrogen anorganik terlarut (Si:N) tidak sedang mendekati atau lebih rendah dari rasio kebutuhan dasar pertumbuhan fitoplankton Redfield, 1:1 (Turner et al., 2006). Konsentrasi klorofil-a biasa digunakan sebagai proksi kualitas perairan untuk kelimpahan fitoplankton dan biomass fitoplankton di perairan pesisir Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 471 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … Gambar 4. Plot konsentrasi silikat dan kelimpahan diatom menggambarkan hubungan yang tidak erat. dan estuaria (Aktan et al., 2005; Palter et al., 2007). Secara umum, kisaran konsentrasi klorofil-a pada permukaan perairan pantai barat Sulawesi Selatan ini tergolong pada kondisi eutrofikasi rendah (>0 mg/m3 - 5 mg/m3) hingga sedang ≤( 20 mg/m3) (Bricker et al., 1999). Ini menunjukkan bahwa kualitas perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan sedang mengalami eutrofikasi. Berbeda dengan silikat, variasi musim tidak begitu menonjol untuk biomas fitoplankton di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Hasil ANOVA faktorial untuk distribusi klorofil-a mengkonfirmasi bahwa perbedaan variasi konsentrasi klorofil di perairan lebih dipengaruhi oleh efek variabel lokasi (komponen varian = 13%) daripada variabel musim (0,9%). Ini menunjukkan bahwa variasi konsentrasi klorofilnya pada masing-masing perairan (Makassar, Maros, Pangkep) relatif tidak berbeda antar musim. Perbedaan signifikan variasi konsentrasi antar lokasi terlihat disemua perairan, kecuali antar perairan Makassar dan Pangkep (Tukey, p=0,169). Mengingat silikat dibutuhkan dalam pertumbuhan diatom, pada kondisi 472 konsentrasi silikat yang statis hubungan linear negatif antara kelimpahan diatom dan silikat menunjukkan tingkat serapan silikat oleh diatom. Sebaliknya, pada konsentrasi silikat yang relatif dinamik di perairan pesisir dengan input sepanjang tahun yang relatif tinggi, dapat diasumsikan bahwa tingkat serapan silikat oleh diatom mungkin tidak terlihat dengan jelas. Secara umum, regresi sederhana antara kelimpahan diatom dan konsentrasi silikat disemua perairan tidak menunjukkan korelasi linear yang jelas (Gambar 5). Ini mengindikasikan adanya faktor lain yang lebih berpengaruh. Pada kondisi eutrofikasi, pertumbuhan diatom mungkin lebih dipengaruhi oleh komposisi makronutrien lainnya, khususnya nitrogen dan fosfat (Turner et al., 2006; Conley, 2002). Demikian pula halnya dengan hubungan antara klorofil-a dan silikat, korelasi negatif antara klorofil dan silikat terlarut menjelaskan serapan silikat oleh mikroalga (Muylaert et al., 2009; Papush et al., 2006; Graham and Wilcox, 2000). Namun, pada konsentrasi silikat yang lebih dari kebutuhan pertumbuhan diatom diharapkan bahwa klorofil-a tidak tergantung pada silikat. Secara umum, http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. regresi sederhana antara klorofil-a dan silikat di ketiga perairan tersebut menunjukkan perilaku yang berbeda antar musim (Gambar 5). Korelasi linear negatif (R2=12,5%) terbentuk pada musim peralihan. Bila suplai silikat ke perairan terbatas atau tetap, kondisi eutrofikasi ditelaah menjadi salah satu penyebab berkurangnya silikat terlarut dalam perairan akibat meningkatnya produktifitas primer, khususnya saat terjadinya blooming diatom (Papush et al., 2006; Graham and Wilcox, 2000; Schelske et al., 1983). Namun demikian, ini tidak terjadi di lokasi penelitian ini karena suplai silikat dari daratan cukup besar. Kondisi perairan yang tergolong mengalami eutrofikasi skala rendah hingga sedang ini belum memberikan efek yang nyata pada berkurangnya silikat di perairan. Hal ini dapat dijelaskan pada tidak terbangunnya hubungan linear antara klorofil-a dan silikat pada musim kemarau. Ini juga menunjukkan bahwa klorofil bukan hanya dikontribusikan oleh diatom, tetapi juga oleh fitoplankton nonsilika. Sebaliknya, pada musim hujan hubungan yang positif (R2=11,7%) antara klorofil-a dan silikat terbangun. Hubungan positif di musim hujan mempertegas suplai silikat ke perairan pesisir memberkan efek positif terhadap peningkatan konsentrasi klorofil-a diperairan. Kondisi ini berpotensi untuk memicu terjadinya eutrofikasi skala tinggi dan pengayaan monospesies diatom di perairan pesisir Sulawesi Selatan. Gambar 5. Hubungan antara klorofil-a dan silikat terlarut pada musim paralihan (Apr13), kemarau (Jun-13), dan hujan (Feb-13). IV. KESIMPULAN Studi ini menunjukkan bahwa konsentrasi silikat terlarut diperairan pesisir Sulawesi Selatan relatif besar sepanjang tahun, dan berada jauh di atas kebutuhan minimum pertumbuhan diatom. Perbedaan variasi konsentrasi silikat antar perairan Makassar, Maros, dan Pangkep lebih dipengaruhi oleh faktor musim, dimana konsentrasi silikat terlarut dijumpai tertinggi pada musim hujan yang mengindikasikan pentingnya aliran silikat dari daratan melalui sungai-sungai ke Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 473 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … perairan pesisir hingga ke perairan dengan salinitas tinggi. Perairan Maros mengandung rerata silikat yang lebih besar disbandingkan dengan perairan Makassar dan Pangkep, menjelaskan signifikansi dari karakter spasial dari masing-masing perairan. Konsentrasi klorofil menunjukkan kondisi eutrofikasi eutrofikasi rendah hingga sedang. Meskipun tidak dijumpai pengaruh yang signifikan dari konsentrasi silikat terhadap kelimpahan diatom, namun secara umum peran silikat terhadap klorofil-a sebagai proksi kualitas perairan cukup penting dalam memicu pertumbuhan biomass fitoplankton dan bahkan dapat menyebabkan kondisi eutrofikasi tinggi pada musim hujan dan peralihan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai oleh Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Universitas Hasanuddin selama dua tahun 2013 dan 2014, dengan kontrak nomor 746/UN4.20/PL.09/2013 dan 699/UN4. 20/PL.09/2014. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini dapat terlaksana dengan baik, juga kepada para reviewer yang telah banyak memberikan komentar dan masukan dalam memperbaiki paper ini. DAFTAR PUSTAKA Aktan, Y., V. Tufekci, H. Tufekci, and G. Aykulu. 2005. Distribution patterns, biomass estimates and diversity of phytoplankton in Izmit Bay (Turkey). Estuarine Coastal and Shelf Science, 64:372-384. Alkhatib, M., T.C. Jennerjahn, and J. Samiaji. 2007. Biogeochemistry of the Dumai River estuary, Sumatra, Indonesia, a tropical black-water 474 river. Limnology and Oceanography, 52(6):2410-2417. Aminot, A. and F. Rey. 2000. Standard procedure for the determination of chlorophyll a by spectroscopic methods. International Council for the Exploration of the Sea, Denmark. 17p. Andrews, J.E., P. Brimblecombe, T.D. Jickells, P.S. Liss, and B.J. Reid. 2004. An introduction to environmental chemistry. Blacwell Publishing. 296p. Bates, S.S., C. Leger, and K.M. Smith, 1996. Domoic acid production by the diatom Pseudonitzschia multiseries as a function of divition rate in silicate-limited chemist at culture. Harmful and toxic algal bloom. Proceedings of the seventh international conference on toxic phytoplankton, Sedai Japan. International Oceanographic Commission and Laboratory of Bioorganic Chemistry, Tohoku Uni-versity. 163-166pp. Bricker, S.B., C.G. Clement, D.E. Pirhalla, S.P. Orlando, and D.R.G. Farrow. 1999. National estuarine eutrophication assessment: effects of nutrient enrichment in the nation’s estuaries. NOAA, National Ocean Service, Special Projects Office and the National Centers for Coastal Ocean Science. Silver Spring. 71p. Brzezinski, M.A., R.J. Olson, and S.W. Chisholm. 1990. Silicon availability and cell-cycle progression in marine diatoms. Marine Ecology Progress Series, 67:83-96. Conley, D. J. 2002. Terrestrial ecosystems and the global biogeochemical silica cycle. Global Biogeochem. Cycles, 16(4)1121, doi:10.1029/ 2002GB001894, 2002. Conley, D.J. and T.C. Malone. 1992. Annual cycle of dissolved silicate http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. in Chesapeake bay: implications for the production and fate of phytoplankton biomass. Marine Ecology Progress Series, 81:121128. Conley, D.J. 2000. Biogeochemical nutriaent cycles and nutrient management strategies. Hydrobiologia, 410:87-96. Conley, D.J., C.L. Schelske, and E.F. Stoermer. 1993. Modification of the biogeochemical cycle of silica with eutrophication. Marine Ecology Progress Series, 101:179-192. Dai, M., W. Zhai, W-J. Cai, J. Callahan, B. Huang, S. Shang, T. Huang, X. Li, Z. Lu, W. Chen, and Z. Chen. 2008. Effects of an estuarine plume-associated bloom on the carbonate system in the lower reaches of the Pearl River estuary and the coastal zone of the northern South China Sea. Continental Shelf Research, 28: 1416-1423. Del Amo, Y., L. P. Olivier, T. Paul, Q. Bernard, M. Alain, and A. Alain. 1997. Impacts of high-nitrate freshwater inputs on macrotidal ecosystem: I. Seasonal evolution of nutrient limitation for the diatom-dominated phytoplankton of the Bay of Brest (France). Marine Ecology Progress Series, 161:213–224. Ding, T.P., J.F. Gao, S.H. Tian, H.B. Wang, and M. Li, 2011. Silicon isotopic composition of dissolved silicon and suspended particulate matter in the Yellow River, China, with implication for the global silicon cycle. Geochimica et Cosmochimica Acta, 75(21):6672-6689. rr, H. H., M. Meybeck, J. Hartmann, G. G. Laruelle, and V. Roubeix. 2011. Global spatial distribution of natural riverine silica inputs to the coastal zone. Biogeosciences, 8: 597-620. Egge, J. K., and D. L. Aksnes. 1992. Silicate as regulating nutrient in phytoplankton competition. Marine Ecology Progress Series, 83: 281-289. Faizal, A. 2012. Dinamika spatiotemporal pengaruh eutrofikasi dan sedimentasi terhadap degradasi terumbu karang. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 270hlm. Fang, J-Yu and X-L. Ma. 2006. In vitro simulation studies of silica deposition induced by lignin from rice. J. of Zhejiang University Science B., 7(4):267-271. Fehling, J., K.Davidson, C.J.S. Bolch, T.D. Brand, and B.E. Narayanaswamy. 2012. The relationship between phytoplankton distribution and water column characteristics in North West European Shelf Sea Waters. PLoS ONE, 7(3): e34098. Fisher T.R., E.R. Peele, J.W. Ammerman, and L.W. Harding Jr. 1992. Nutrient limitation of phytoplankton in Chesapeake Bay. Marine Ecology Progress Series, 82:5163. Gobler, C. J., N.J. Buck, M. E. Sieracki, S. -Wilhelmy. 2006. Nitrogen and silicon limitation of phytoplankton communities across an urban estuary: The East RiverLong Island Sound system. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 68:127-138. Graham, E.L. and W.L. Wilcox, 2000. Algae. Prentice hall. Toronto. 640p. Grasshoff, K., M. Erhardt, and K. Kremling. 1983. Methods of seawater analysis. (2nd edition). Verlag Chemie, Weinheim. 419p. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 475 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … Hallas, M.K., and M. Huettel. 2013. Barbuild estuary as a buffer for riverine silicate discharge to the coastal ocean. Continental Shelf Research, 55:76-85. Huang, X.P., L.M. Huang, and W.Z. Yue. 2003. The characteristics of nutrients and eutrophication in the Peral River estuary, South China. Marine Pollution Bulletin, 47:3036. Humborg, C., V. Ittekkot, A. Cociasu, and B.v. Bodungen. 1997. Effect of Danube River dam on Black Sea biogeochemistry and ecosystem structure. Nature, 386: 385-387. Jennerjahn, T.C., V. Ittekkot, S. Klopper, S. Adi, S.P. Nugroho, N. Sudiana, A. Yusmal, Prihartanto, and B. Gaye-Haake. 2004. Biogeochemistry of a tropical river affected by human activities in its catchment: Brantas River estuary and coastal waters of Madura Strait, Java, Indonesia. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 60:503-514. Kennington, K., J.R. Allen, A. Wither, T.M. Shammon, and R.G.Hartnoll. 1999. Phytoplantkon and nutrient dynamics in the north-east Irish Sea. Hydrobiologia, 393:57–67. Kusumaningtyas, M.A., R. Bramawanto, A. Daulat, dan W.S. Pranowo. 2014. Kualitas perairan Natuna pada musim transisi. Depik, 3(1):10-20. Liu, S.M., G.-H. Hong, J. Zhang, X.W.Ye, and X.L. Jiang. 2009. Nutrient budgets for large Chinese estuaries. Biogeosciences, 6:2245-2263. Ma, J.F., N.Yamaji, and N. Mitani-Ueno. 2011. Review: tansport of silicon from roots to panicles in plants. Proceedings of the Japan Academy, Ser. B, Physical and Biological Sciences, 87(7):377-385. Muylaert, K., J.S. Sanchez-Perez, S. Teissier, S. Sauvage, A. Dauta, and 476 P. Vervier, 2009. Eutrophication and its effect on dissolved Si concentration in the Garonne River (France). J. of Limnology, 68(2): 368-374. Officer, C.B. and J.H. Ryther. 1980. The possible importance of silicon in marine eutrophication. Marine Ecology Progress Series, 3:83-91. Paerl, H.W. 2009. Controlling eutrophication along the freshwater-marine continuum: dual nutrient (N and P) reductions are essential. Estuaries and Coast., 32:593-601. Palter, J., S.L. Coto, and D. Ballestero. 2007. The distribution of nutrients, dissolved oxygen and chlorophyll a in the upper Gulf of Nicoya, Coasta Rica, a tropical estuary. International J. of Tropical Biology and Conservation, 55(2):427436. Papush, L., and A. Danielson. 2006. Silicon in the marine environment: dissolved silica trends in the Baltic Sea. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 67:53-66. Patel-Sorrentino, N., Y. Lucas, F. Eyrolle, and A.J. Melfi. 2007. Fe, Al, and Si species and organic matter leached off a ferrallitic and podzolic soil system from Central Amazonia. Geoderma, 137:444– 454. Pello, F.S., E.M. Adiwilaga, N.V. Huliselan, dan A. Damar. 2014. Pengaruh musim terhadap beban masukan nutrien di Teluk Ambon Dalam. J. Bumi Lestari, 14(1):6373. Prayitno, H. B. 2011. Kondisi trofik perairan Teluk Jakarta dan potensi terjadinya ledakan populasi alga berbahaya (HABs). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 37(2):247-262. Rahm, L., D. Conley, P. Sanden, F. Wulff, and P. Stanacke. 1996. Time series http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 Lukman et al. analysis of nutrient inputs to the Baltic Sea and changing DSi:DIN ratios. Marine Ecologi Progress Series, 130:221-228. Santos, M.L.S., C. Medeiros, K. Muniz, F.A.N. Feitosa, R. Schwamborn, and S.J. Macêdo, 2008. Influence of the Amazon and Pará Rivers on water composition and phytoplankton biomass on the adjacent shelf. J. of Coastal Research, 24(3):585-593. Sanusi, H.S. 2004. Karakteristik kimiawi dan kesuburan perairan Teluk Pelabuhan Ratu pada musim barat dan timur. J. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 11(2): 93-100. Schelske, C.L., E.F. Stroermer, D.J. Conley, J.A. Robbins, and R.M. Glover. 1983. Early eutrophication in the lower great lakes: new evidence from biogenic silica in sediments. Science, 222:320-322. Schlesinger, W. H. 1997. Biogeochemistry: an analysis of global change, Academic Press, San Diego, 588p. Sommer, M., D. Kaczorek, Y. Kuzyakov, and J. Breuer. 2006. Silicon pools and fluxes in soils and landscapesa review. J. Plant Nutrition and Soil Science, 169:310-329. Tatters, A.O., F-X. Fu, and D.A. Hutchins. 2012. High CO2 and silicate limitation synergistically increase the toxicity of Pseudonitzschia fraudulenta. PLoS ONE 7(2): e32116. doi:10.1371/journal. pone.0032116. Taylor. F.J.R. 1994. Reference manual taxonomic identification of phytoplankton with reference to HAB organisms. ASEAN-Canada Cooperative Programme on Marine Science Workshop on the Taxonomy of Phytoplankton and Harmful Algal Bloom-Organisms Hosted by LIPI, Jakarta. 568p. Treguer, P., D.M. Nelson, A.J. Van Bennekom, D.J. DeMaster, A. Leynaert, and B. Queguiner. 1995. The silica balance in the world ocean: a reestimate. Science, 268: 375-379. Turner, R.E., N. Qureshi, N.N. Rabalais, Q. Dortch, D. Justic , R.F. Shaw, and J. Cope, 1998. Fluctuating silicate: nitrate ratios and coastal plankton food webs. Proceedings of the National Academy of Sciences of the USA (PNAS), 95:13048-13051. Werorilangi, S. 2012. Spesiasi logam: bioavailabilitas bagi biota bentik dan pola sebaran spasial di sedimen perairan pantai kota Makassar. Disertasi. Program Pascasarjana. Unhas. 137hlm. White, A.F. and A.E. Blum. 1995. Effects of climate on chemical weathering in watersheds. Geochimica et Cosmochimica Acta, 59(9):17291747. Wickstead, J.H. 1965. An introduction to study of tropical plankton. Hutchinson Tropical Monographs. London. 160p. Wu, J.T. and T.L. Chou. 2003. Silicate as the limiting nutrient for phytoplankton in a subtropical eutrophic estuary of Taiwan. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 58: 155-162. Yamaji, I.E. 1976. Illustration of the marine plankton of Japan. Hoikusha, Osaka, Japan. 618p. Yan, X.L., W.D. Zhai, H.S. Hong, Y. Li, W.D. Guo, and X. Huang. 2012. Distribution, fluxes and decadal changes of nutrients in the Jiulong River Estuary, Southwest Taiwan Strait. Chinese Science Bulletin, 57:2307-2318. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Desember 2014 477 Silikat Terlarut di Perairan Pesisir … Zhang, J., G.S. Zhang, and S.M. Liu. 2005. Dissolved silicate in coastal marine rainwaters: comparison between the Yellow Sea and the East China Sea on the impact and potential link with primary production. J. of Geophysical Research, 110:1-10. 478 Diterima Direview Disetujui http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt62 : 5 Oktober 2014 : 15 November 2014 : 28 Desember 2014