KEKUATAN MENGIKAT AKTA DI BAWAH TANGAN
YANG DI WAARMERKING
Rayi Kharisma Rajib, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, e-mail:
[email protected]
Rouli Anita Velentina, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
e-mail:
[email protected]
doi : https://doi.org/10.24843/KS.2022.v10.i07.p19
ABSTRAK
Banyaknya masyarakat yang belum mengetahui apa itu waarmerking, terutama terkait dengan kekuatan
mengikat akta dibawah tangan yang di waarmerking oleh notaris. Kedudukan PPJB (Perjanjian
Pengikatan Jual Beli) sebagai perjanjian awalan proses jual beli bukan merupakan hal yang salah selama
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara garis besar, waarmerking adalah suatu proses
pendaftaran akta di bawah tangan ke dalam suatu buku yang khusus dibuat oleh notaris. Akta di bawah
tangan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum akta di bawah tangan yang di-waarmerking. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder.
Simpulan penelitian ini adalah bahwa walaupun di waarmerking oleh notaris, akta yang dibuat di bawah
tangan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna.
Kata kunci: Akta di Bawah Tangan, Kekuatan Mengikat, Notaris, Waarmerking.
ABSTRACT
Many people do not know what waarmerking is, especially related to the power of binding an underhand
deed that is waarmerking by a notary. The position of the PPJB (Sales and Purchase Binding Agreement)
as a pre-sale agreement is not a wrong thing as long as it is carried out in accordance with applicable
regulations. Broadly speaking, waarmerking is a process of registering a private deed into a book specially
made by a notary. The private deed is made and signed by the interested parties. This study aims to
analyze the legal position of the waarmarked deed under the hand. The research method used is the
juridical normatih method using secondary data. The conclusion of this research is that even though it is
waarmarked by a notary, the actions made under the hand cannot be used as perfect evidence.
Keywords: Underhand Deed, Binding Power, Notary, Waarmerking.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan antara manusia dengan manusia
akan selalu melibatkan hak dan kewajiban. Pelaksanaan hak dan kewajiban sering
menimbulkan pelanggaran, akibat pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut
akan menimbulkan peristiwa hukum. Begitu juga dengan akta, dalam praktiknya akta
pribadi terkadang digunakan untuk kepentingan tertentu yang terkadang tidak sama
dengan tujuan pembuatannya. Menurut Subekti, akta adalah suatu tulisan yang
sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.1
Menurut Sudikno Mertokusumo, pengertian akta autentik adalah surat sebagai alat
1
Subekti. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradya Paramitha, 1995), 25.
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1693
E-ISSN: Nomor 2303-0569
bukti yang ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atau perikatan, dibuat dari awal dengan tujuan untuk pembuktian.2
Keberadaan notaris dalam kehidupan masyarakat adalah untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang bertujuan untuk membantu masyarakat dalam
memberikan bukti tertulis yang autentik mengenai keadaan, peristiwa, dan perbuatan
hukum yang diakui oleh negara. Akta autentik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu akta
autentik yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk), misalnya berita acara pemeriksaan
pengadilan yang dibuat oleh panitera. Pembagian akta autentik selanjutnya adalah
akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij), misalnya akta jual beli tanah yang
dibuat dihadapan camat atau notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).3
Agar suatu akta di bawah tangan menjadi alat bukti yang sempurna dan lengkap sejak
awal, maka alat bukti tertulis itu tetap harus disertai dengan alat bukti lain. Maka dari
itu dikatakan akta di bawah tangan karena merupakan alat bukti tertulis (begin van
schriftelijk bewijs).
Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang tidak dibuat di hadapan pegawai
negeri, melainkan suatu akta yang dibuat dan ditandatangani oleh pembuatnya
dengan maksud agar dapat digunakan sebagai alat pembuktian.4 Menurut Marilang,
akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk
pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta
dibawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti
tetapi tidak dibuat oleh notaris atau dihadapan pejabat umum pembuat akta.5
Kelemahan surat di bawah tangan yang didaftarkan kepada notaris adalah notaris
tidak mengetahui isi dari surat di bawah tangan, dan surat tersebut tidak
dimaksudkan untuk suatu tindak pidana tertentu. Notaris hanya berwenang untuk
mendaftarkan surat tersebut tanpa melihat atau meminta keterangan yang jelas
tentang isi surat tersebut.
Waarmerking jika dilihat secara yuridis, sebenarnya hanyalah perbuatan hukum
notaris atau pejabat umum lainnya yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk
mencatat dan mendaftarkan surat di bawah tangan yang telah dibuat oleh pihak
tertentu dalam sebuah buku khusus sesuai dengan tatanan yang ada di bawah tangan
sebagai legalisasi atau ratifikasi. Selain akta autentik yang dibuat oleh notaris, ada akta
lain yang disebut akta di bawah tangan, yaitu akta yang sengaja dibuat oleh pihak
tertentu untuk pembuktian tanpa bantuan pejabat yang membuat akta. Dengan kata
lain, akta di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh pihak tertentu sebagai
alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.6
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada dasarnya adalah perjanjian bantuan
yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Pada umumnya
suatu perjanjian pengikatan jual beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi
terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat dilakukannya
2
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2006),
3
Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
149.
100.
4 Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata (Bandung: P.T. Alumni,
2004), 44-45.
5 Marilang. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Cet. I (Makassar:
Alauddin University Press, 2013), 133.
6 Situmorang, Viktor M. dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta dalam Pembuktian dan
Eksekusi,i(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 36.
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1694
E-ISSN: Nomor 2303-0569
perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir para pihak. 7 Demi kelancaran
administrasi mengenai kegiatan jual beli, notaris membuat suatu akta pengikatan jual
beli agar pihak-pihak saling terikat (sebelum dibuatkan akta jual beli oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai syarat adanya transaksi jual beli tanah dan/atau
bangunan.8
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang penelitian
ini, rumusan masalah pada penelitian ini adalah berikut :
1. bagaimanakah kekuatan mengikat akta di bawah tangan yang di waarmerking?
2. Bagaimana akibat hukum PPJB terhadap peralihan hak tanah?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat akta di bawah tangan yang di
waarmerking
2. Untuk mengetahui akibat hukum PPJB terhadap peralihan hak tanah.
2.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian ini
menganalisis penerapan kaidah atau norma hukum positif, dan dengan pendekatan
doktrinal. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh
pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel-tabel
atau diagram-diagram.9 Data sekunder ini terdiri atas bahan hukum primer, bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai
otoritas.10 Selain bahan hukum primer ada juga bahan hukum sekunder, bahan hukum
sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer. 11 dan bahan hukum tersier, bahan hokum tersier merupakan bahan hokum
penunjang mencakup bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap sumber
bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder meliputi kamus,
ensiklopedi dan lain-lain.12 Bahan hukum primer yang digunakan terdiri atas: 1. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria dan 3. Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2016), 270.
8 Rosadi, Aulia Gumilang. “Tanggung Jawab Notaris dalam Sengketa Para Pihak
Terkait Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuatnya”. Jurnal Cendekia Hukum
Volume 5 Nomor 2 2020, 246.
9 Husein Umar, Metode penelitian untuk skripsi dan tesis bisnis, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), 42.
10 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cet 5, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003), 67.
11 H.Salim HS dan Erlies Seeptiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Desertasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 16.
12Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar metode penelitian hukum, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006), 30.
7
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1695
E-ISSN: Nomor 2303-0569
Bagi Pengadilan. Bahan hukum sekunder yang digunakan terdiri atas: 1. Putri, Dewi
Kurnia dan Amin Purnawan, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas
Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas,” Jurnal Akta, Volume 4 Nomor 4,
Desember 2017 (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, 2017), 2.
Pradjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung: Bale Bandung, 2013) dan
3. Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2016). Bahan hukum tersier yang digunakan berupa Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi pustaka yaitu mengumpulkan data dengan melakukan penelusuran data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang di-waarmerking.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu menganalisis
data sekunder yang diperoleh secara mendalam (menelaah kedalaman data)untuk
mencapai simpulan atas permasalahan penelitian ini.13
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1. Kekuatan Mengikat Akta di Bawah Tangan yang di Waarmerking
Berbeda dengan akta autentik yang mempunyai kekuatan sempurna, akta di
bawah tangan mempunyai kekuatan yang relatif, artinya akta di bawah tangan bebas
sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu
pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana akta autentik. Jika ada salah satu pihak
yang tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang
menyangkal akta tersebut dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan
kepada hakim.14 Suatu akta yang dibuat di bawah tangan baru mempunyai kekuatan
terhadap pihak ketiga, antara lain apabila dibubuhi suatu pernyataan yang bertanggal
dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 dan Pasal 1880 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Pernyataan tertanggal ini lebih lazimnya disebut Waarmerking.
Pembuktian akta di bawah tangan lahir, terhadap siapa akta di bawah tangan itu
digunakan diwajibkan membenarkan atau memungkiri tandatangannya. Akta di
bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formil kalau tandatangan pada akta
tersebut telah diakui. Itu berarti bahwa keterangan atau pernyataan di atas
tandatangan. itu adalah keterangan atau pernyataan dari si penandatangan. Kekuatan
pembuktian formil dari akta di bawah tangan ini sama dengan kekuatan pembuktian
formil dari akta otentik.15
Waarmerking artinya dokumen/surat yang bersangkutan dicatat dalam buku
khusus yang dibuat oleh notaris. Perbedaan antara Waarmerking dan Legalisasi adalah:
“Waarmerking” hanya mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian
tanda tangan sedangkan pada legalisasi tanda tangannya dilakukan dihadapan yang
melegalisasi, sedangkan untuk waarmerking, pada saat di-waarmerking, surat itu sudah
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 77.
Poesoko, Herowati. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (inkosistensi, konflik Norma
dan Kesehatan Penalaran dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo, 2008), 32.
15
Febri Rahmadhani, “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Waarmerking
Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Recital Review, Volume 2 No.2,
2020,107.
13
14
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1696
E-ISSN: Nomor 2303-0569
ditandatangani oleh yang bersangkutan. Jadi yang memberikan waarmerking tidak
mengetahui dan karena itu tidak mengesahkan tentang tanda tangannya. 16
Dalam persidangan, apabila yang diajukan sebagai bukti hanya akta di bawah
tangan mengingat kekuatan pembuktiannya yang terbatas, sehingga masih
diupayakan alat bukti lain yang mendukungnya sehingga diperoleh bukti yang
dianggap cukup untuk mencapai kebenaran menurut hukum. “Jadi akta di bawah
tangan hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Pasal 1871
KUHPerdata).”17 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 1535
K/Pdt/2020, terdapat Perjanjian Jual Beli yang telah di Waarmerking di kantor notaris.
Perjanjian sebagai salah satu faktor yang berperan mewujudkan sikap saling
percaya di antara para pelaku usaha. Dengan adanya perjanjian secara tertulis sebagai
sarana penunjang kerjasama dan/atau sebagai sarana transaksi, maka para pihak
merasa lebih aman dan nyaman dalam melaksanakan kerjasama atau transaksi
tersebut. Dengan adanya perjanjian, sudah dapat ditentukan dan dipastikan mengenai
mekanismenya, penentuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan selama kerjasama atau transaksi berlangsung.18
Jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dimana salah
satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lain
membayar harga yang disepakati. Perjanjian jual beli merupakan ikatan timbal balik
dimana satu pihak (penjual) berjanji untuk menyerahkan kepemilikan suatu barang,
sedangkan pihak lain (pembeli) berjanji untuk membayar dengan harga yang terdiri
dari sejumlah uang sebagai imbalan atas perolehan properti tersebut. Istilah yang
mencakup dua tindakan timbal balik ini sesuai dengan istilah Belanda koopen verkoop
yang juga mengandung pengertian bahwa satu pihak verkoopt (menjual) sedangkan
pihak lain mengkooptasi (membeli).19 Dalam praktik jual beli dengan objek hak atas
tanah didahului dengan suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atau yang dalam istilah praktik disebut Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB)20
Notaris sebagai pejabat publik memiliki kewenangan yang diberikan secara
khusus oleh pemerintah untuk tujuan dan fungsi tertentu. Waarmerking sebagai
kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa notaris berwenang
mencatat surat-surat pribadi dengan cara mendaftar dalam buku khusus. Waarmerking
diambil apabila dokumen/surat tersebut telah ditandatangani oleh para pihak
sebelum diserahkan kepada notaris yang bersangkutan. Jadi tanggal surat tersebut
tidak boleh sama dengan tanggal pencatatan dokumen/surat dalam buku khusus oleh
notaris.21
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
(Jakarta: Intermasa, 1986), 34.
17 Meitinah, “Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Yang Telah memperoleh
Legalisasi dari Notaris”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-36 No.4, 2006, 457-458.
18 Soerodjo, Irawan. Hukum Perjanjian dan Pertanahan (Perjanjian Build, Operate and
Transfer(BOT) atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2016), 4.
19 Subekti, R. Aneka Perjanjian (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), 2.
20 Subekti, R. Hukum Perjanjian (Jakarta: PT.Intermasa. 2004), 172.
21 Shofia Chairunnisa, Tesis: “Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan
Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2014
Tentang Jabatan Notari.”(Malang: UIM, 2020), 41.
16
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1697
E-ISSN: Nomor 2303-0569
Terjadinya suatu perjanjian apabila kedua belah pihak sudah mencapai
persetujuan tentang barang dan harganya.22 Merujuk pada ketentuan Pasal 1491
KUHPerdata, penjual mempunyai dua (2) kewajiban pokok. Pertama, menyerahkan
barangnya serta menjamin pihak pembeli memiliki barang itu tanpa ada gangguan
dari pihak lain. Kedua, bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Lalu, pembeli wajib membayar harga pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Kewajiban ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata.
Dalam ilmu hukum, dikenal 10 (sepuluh) asas perjanjian. Sepuluh asas itu antara
23
lain:
a. asas kebebasan berkontrak
Kebebasan berkontrak ditegaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Menurut
asas kebebasan berkontrak, suatu kesempatan bersifat bebas. Kesepakatan
tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekuatan atau diperolehnya
dengan penipuan atau paksaan.24
b. asas konsensualisme
asas konsensualisme yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus
sepakat, setuju, atau seiya sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam
perjanjian yang diadakan itu. Asas ini tercantum dalam salah satu syarat
sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata.
c. asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)
Asas kepercayaan adalah seseorang yang mengadakan kontrak dengan pihak
lain, harus dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diantara kedua belah pihak
yang mana satu sama lain akan memenuhi prestasinya tanpa adanya
kepercayaan maka kontrak tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Dengan kepercayaan inilah, kedua belah pihak mengikatkan dirinya kepada
kontrak tersebut, dimana kontrak tersebut mempunyai kekuatan mengikat
sebagai Undang-Undang bagi para pihak yaang membuat kontrak tersebut.
Asas kepercayaan ini merupakan perkembangan asas iktikad baik25
d. asas kekuatan mengikat
Asas kekuatan mengikat perjanjian/kontrak mengharuskan para pihak
memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam
kontrak yang mereka buat. Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt
servanda, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif, “semua kontrak yang dibuat
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
e. asas persamaan hukum
Asas Persamaan Hukum, yaitu bahwa subjek hukum yang mengadakan
perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam
hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
f. asas keseimbangan
Sugianto, Fajar. Economic Analysis Of Law (Jakarta: Kencana, 2013), 35.
Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), 83.
24 Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta:
Grafindo Persada, 2003), 34.
25 Mini Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007), 6.
22
23
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1698
E-ISSN: Nomor 2303-0569
Asas Keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk
menyelaraskan pranata-pranata hokum dan asas-asas pokok hokum perjanjian
yang dikenal di dalam KUHPerdata yang mendasarkan pemikiran dan latar
belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikirbangsa Indonesia pada
lain pihak.26
g. asas kepastian hukum
Asas Kepastian Hukum, yaitu asas ini mengandung maksud bahwa perjanjian
sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap
dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.
h. asas moral
asas Moralitas, adalah asas yang berkaitan dengan perikatan wajar, yaitu suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk
menggugat prestasi dari pihak debitur.
i. asas kepatutan
asas kepatutan yang termuat dalam Pasal 1339 KUHPerdata menyebutkan
bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga termasuk untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan itu sendiri.
j. asas Kepribadian
asas kepribadian adalah bahwa sebuah perjanjian hanya mengikat para pihak
secara personal dan tidak mengikat pihak lain yang tidak memberikan
kesepakatannya. Asas ini dapat ditelusuri pada pasal 1315 KUH Perdata,
bahwa “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri” dan
pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang
membuatnya.”
3.2. Akibat hukum PPJB terhadap peralihan hak tanah
Pembeli yang beritikad baik harus dilindungi. Mahkamah Agung mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016) untuk menjawab masalah ini. Hal
tersebut secara khusus diatur dalam Bagian B Rumusan Hukum Kamar Perdata,
Perdata Umum angka 7 SEMA 4/2016, berbunyi sebagai berikut: “Peralihan hak atas
tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika
pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan
dilakukan dengan itikad baik.” Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa
meski hanya (Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), tapi selama telah membayar lunas
harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan
itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli
telah terjadi. Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari
pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang tujuannya
untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak). Peralihan hak
Herline Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti), 33.
26
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1699
E-ISSN: Nomor 2303-0569
atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum yaitu
pemindahan hak.27 Terdapat 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu beralih dan
dialihkan. Pertama, beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya melalui pewarisan.
Kedua, dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan
hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya melalui jual beli. Dalam peralihan hak
atas tanah dapat dilakukan dengan cara pemindahan hak seperti jual-beli, tukar
menukar, hibah, lelang, pewarisan, peralihan hak karena penggabungan atau
peleburan dan pemindahan hak lainnya.
Secara teori dan doktrin, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah
digolongkan pada perjanjian obligator, sehingga unsur perjanjian maupun syarat
sahnya perjanjian termasuk asas-asas hukum perjanjian pada umumnya harus
dipenuhi.28 Berdasarkan SEMA 4/2016. Peralihan hak atas tanah berdasarkan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah
membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan
dengan itikad baik.
Berdasarkan Pasal 616 KUH Perdata, penyerahan benda tidak bergerak terjadi
melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam
Pasal 620 KUH Perdata Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 29 antara lain dengan membukukannya dalam
register, atau sejak dibuatkan sertifikat. Guna melindungi pembeli yang beritikad baik
ini, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 4/2016 untuk menjawab masalah ini.
Hal tersebut secara khusus diatur dalam Bagian B Rumusan Hukum Kamar
Perdata, Perdata Umum angka 7 SEMA 4/2016, berbunyi sebagai berikut:
a. Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta
telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.
b. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa meski hanya
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) selama kita telah membayar lunas
harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah tersebut dan
dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah
dari teman anda (penjual) kepada anda (pembeli) telah terjadi.
PPJB adalah singkatan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Penting untuk
diketahui bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah istilah yang umum
dikenal dalam proses jual beli tanah atau rumah. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Maria
Sumardjono, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) itu termasuk dalam lingkup hukum
perjanjian, sedangkan jual belinya termasuk dalam lingkup hukum tanah nasional
yang tunduk pada Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 yang disingkat UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.30
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2010), hlm.333.
Budiono, Herlien. Demikian Akta Ini: Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta Notaris Di
Dalam Praktik, Cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2018), 115.
29 Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman (“PP 12/2021”).
30 Sumardjono, Maria. ”Pembangunan Rumah Susun dan Permasalahannya Ditinjau
dari SegiYuridis ”, Diskusi Terbatas diselenggarakan YLKI di Jakarta, 27 Oktober 1994.
27
28
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1700
E-ISSN: Nomor 2303-0569
Terdapat sejumlah peraturan yang menggunakan istilah Perjanjian Pengikatan
Jual Beli (PPJB), salah satunya yaitu PP no 14 tahun 2016.
a. Definisi Sistem PPJB dan PPJB
Sistem Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah rangkaian proses
kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan
pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau
Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum ditandatangani akta jual beli.
Kemudian, dalam peraturan yang sama didefinisikan juga bahwa Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan
setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang
dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk
rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah
deret yang dibuat di hadapan notaris. PPJB ini adalah PPJB untuk satuan rumah
susun atau rumah tunggal, dan bukan PPJB tanah.
b. Tujuan PPJB
Mengacu pada ketentuan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang
terkandung dalam pasal di atas, maka secara umum dapat dipahami bahwa
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah kesepakatan awal antara calon
penjual dengan calon pembeli yang memperjanjikan akan dilakukannya
transaksi jual beli atas suatu benda.
Tujuan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah untuk mengikat
calon penjual agar pada saat yang telah diperjanjikan ia akan menjual benda/hak
miliknya kepada calon pembeli, dan pada saat yang sama perjanjian tersebut
juga mengikat calon pembeli untuk membeli benda/hak milik calon penjual,
sesuai dengan ketentuan yang telah diperjanjikan para pihak.
c. Jenis PPJB
Dilihat dari pelunasan pembayaran, ada dua jenis Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB), yaitu PPJB belum lunas dan PPJB lunas. PPJB Lunas adalah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang baru merupakan janji-janji karena harganya
belum dilunasi. Kemudian, PPJB lunas adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli
yang sudah dilakukan secara lunas, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan
akta jual belinya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) karena ada
proses yang belum selesai, misal pemecahan sertifikat, dan lainnya.
d. Syarat PPJB
Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam
tahap pembangunan dapat dilakukan pemasaran oleh pelaku pembangunan
melalui sistem Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Namun sistem Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah memenuhi
persyaratan kepastian atas:
1) Status kepemilikan tanah;
2) Hal yang diperjanjikan;
3) PBG;
4) Ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum;
5) Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen);
6) Kekuatan Hukum PPJB.
Dalam PP 24/1997 disebutkan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik
atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1701
E-ISSN: Nomor 2303-0569
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Adapun PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.31 Dari ketentuan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa yang diakui secara tegas sebagai bukti peralihan hak atas tanah
melalui jual beli adalah adanya Akta Jual Beli (AJB), meskipun baik Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB) adalah bagian dari proses jual beli
tanah.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) digunakan karena tanah yang akan
menjadi obyek jual beli belum dapat dialihkan seketika itu karena alasan tertentu,
misalnya saja karena tanahnya masih dalam agunan atau masih menunggu proses
pemecahan sertifikat, dan lain-lain. Sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
bukanlah suatu keharusan, namun dapat dilakukan jika pihak-pihak menghendaki
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebelum dibuatnya Akta Jual Beli (AJB). Hal
Penting Mengenai Perjanjian PPJB yaitu:32
a. Obyek Pengikatan Jual Beli
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) mencakup beberapa obyek yang harus
ada. Obyek pengikatan jual-beli ada tiga. Tiga obyek itu meliputi luas bangunan
beserta gambar arsitektur dan gambar spesifikasi teknis, lokasi tanah yang sesuai
dengan pencantuman nomor kavling dan luas tanah beserta perizinannya.
Mengenai penguraian obyek tanah dan bangunan harus dijelaskan secara detail.
Jangan sampai ada data dan informasi yang kurang.
b. Kewajiban dan Jaminan Penjual
Bagi penjual yang hendak menawarkan properti yang dijual pada pembeli
maka wajib membangun dan menyerahkan unit rumah atau kavling sesuai
dengan yang ditawarkan kepada pembeli, sehingga Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) menjadi pegangan hukum untuk pembeli. Dalam pembuatan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), pihak penjual bisa memasukkan klausul
pernyataan dan jaminan bahwa tanah dan bangunan yang ditawarkan sedang
tidak berada dalam jaminan utang pihak ketiga atau terlibat dalam sengketa
hukum. Apabila ada pernyataan yang tidak benar dari penjual, calon pembeli
dibebaskan dari tuntutan pihak manapun mengenai properti yang hendak
dibelinya.
c. Kewajiban bagi Pembeli
Kewajiban pembeli adalah membayar cicilan rumah atau kavling dan sanksi
dari keterlambatan berupa denda. Keputusan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 menjelaskan bahwa besar denda keterlambatan
adalah 2/1000 dari jumlah angsuran per hari keterlambatan. Calon pembeli juga
bisa kehilangan uang mukanya apabila pembelian secara sepihak. Maka dari itu,
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
32 Pahami Arti PPJB, PJB, dan AJB Agar Terhindar dari Penipuan, www.cermati.com
diakses pada tanggal 30 Mei 2022 pukul 17.00 wib.
31
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1702
E-ISSN: Nomor 2303-0569
suatu kewajiban bagi pembeli untuk membayar sesuai jadwal yang sesuai
dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)33
d. Isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Sesuai Keputusan Pemerintah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) diatur berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995.
Meskipun pada prinsipnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah tidak
mengakibatkan beralihnya hak kepemilikan, namun jika mengacu pada Lampiran
SEMA 4/2016 (hal. 5), peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta
telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. Dengan demikian,
salah satu jika persyarat tersebut terpenuhi, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
adalah juga merupakan bukti peralihan hak atas tanah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Akta Jual Beli (AJB) merupakan salah satu akta tanah yang dapat dijadikan dasar
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, termasuk pemecahan bidang tanah
yang merupakan salah satu bentuk perubahan data fisik.
Di sisi lain, berdasarkan Pasal 133 ayat (1) ATR/BPN 3/1997 dalam permohonan
pemecahan bidang tanah yang telah didaftar, tidak disyaratkan untuk mencantumkan
Akta Jual Beli (AJB). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa apabila hendak dilakukan
pemecahan bidang tanah, maka yang perlu dilampirkan dalam permohonannya
adalah:
a. Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;
b. Identitas pemohon;
c. Persetujuan tertulis pemegang hak tanggungan, apabila hak atas tanah yang
bersangkutan dibebani hak tanggungan.
Dari kedua pasal tersebut dapat kita pahami bahwasannya tidak ada ketentuan
yang mengharuskan dilakukannya pemecahan bidang tanah terlebih dahulu sebelum
dilakukannya Akta Jual Beli (AJB) maupun sebaliknya. Sehingga, para pihak boleh
memilih melakukan Akta Jual Beli (AJB) terlebih dahulu atau melakukan pemecahan
bidang tanah terlebih dahulu. Dalam praktik, umumnya penjualan sebagian hak atas
tanah dilakukan dengan pemecahan bidang tanah terlebih dahulu, hal ini dilakukan
untuk memudahkan pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut. Selain itu, dengan
demikian setelah adanya Akta Jual Beli (AJB) pihak pembeli dapat segera melakukan
proses balik nama. Dalam proses peralihan hak atas tanah, terlebih atas tanah yang
telah dilakukan pemecahan sertifikat, sangat mungkin untuk dilakukan de ngan
langsung membuat Akta Jual Beli (AJB) dihadapan PPAT tanpa harus lebih dahulu
membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pada intinya, Perjanjian Pengikatan
Jual Beli (PPJB) adalah perjanjian pendahuluan yang bukan merupakan kewajiban.
Dengan kata lain, pada prinsipnya peralihan hak atas tanah tidak mengharuskan
adanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Sebagaimana telah kami jelaskan,
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan sebelum
dilakukannya perjanjian jual beli dengan Akta Jual Beli (AJB).
Paramita, Arina Ratna, Yunanto, dan Dewi Hendrawati. “Wanprestasi dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan (Studi Penelitian pada Pengembang Kota
Semarang)”. Diponegoro Law Journal Volume 5, No. 3, 2016.
33
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1703
E-ISSN: Nomor 2303-0569
4.
Kesimpulan
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan yang relatif, artinya akta di bawah
tangan bebas sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari
salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana akta autentik. Jika ada
salah satu pihak yang tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada
pihak yang menyangkal akta tersebut dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut
diserahkan kepada hakim.
Akibat hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terhadap peralihan hak
tanah yaitu Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 tahun 2016
tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun
2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan terdapat peralihan hak atas
tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika
pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan
dilakukan dengan itikad baik. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa
meski hanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), tapi selama telah membayar lunas
harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan
itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli
telah terjadi
Daftar Pustaka
Buku
Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Ed. 2, Cet. 3, (Bandung: Alumni, 2011).
Budiono, Herlien (1). Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang
Kenotariatan, Cet. 1 (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009).
------------. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001).
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan,Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Khairandy, Ridwan. Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian
Pertama), Cet. 1 (Yogyakarta: FH UII Press, 2013).
Machmudin, Dudu Duswara. Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung:
PT. Refika Aditama, 2010).
Makarao, Moh. Taufik. Pokok- Pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: Rineka Cipta, 2009).
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Meida, 2005).
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed. 3 ( Yogyakarta: Liberty,
1988).
Miru, Ahmadi. dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai
1456 BW, Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009).
Notosudiyo, R. Sugondo. Hukum Notariat di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993).
S., Bambang Sugeng A. dan Sujayadi. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi (Jakarta: Kencana, 2012).
Samosir, Djamanat. Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata
(Bandung: Nuansa Aulia, 2011).
Soeroso, R. Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003).
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1704
E-ISSN: Nomor 2303-0569
Tan Thong Kie. Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notariat, Buku I ( Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2007).
Tobing, G. H. S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1999).
Jurnal
Paramita, Arina Ratna, and Dewi Hendrawati Yunanto. "Wanprestasi Dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Tanah Dan Bangunan (Studi Penelitian Pada
Pengembang Kota Semarang)." Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016): 1-12.
Putri, Dewi Kurnia. "Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas." Jurnal Akta 4, no. 4 (2017):
623-634.
Rahmadhani, Febri. "Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan yang Telah
Diwaarmerking Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia." Recital Review 2, no. 2 (2020): 93-111.
Rosadi, Aulia Gumilang. "Tanggung Jawab Notaris Dalam Sengketa Para Pihak Terkait
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Ppjb) Yang Dibuatnya." JCH (Jurnal
Cendekia Hukum) 5, no. 2 (2020): 243-259.
Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU
Nomor 5 Tahun 1960, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
-------------. Undang-Undang Tentang Rumah Susun, UU Nomor 16 Tahun 1985,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318.
-------------. Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Bendabenda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 Tahun 1996,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632.
-------------. Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
-------------. Peraturan Pemerintah Tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan
Hak Pakai atas Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3643.
-------------. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun
1997, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
-------------. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, PP Nomor 37 Tahun 1998, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3746.
Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705
1705