Academia.eduAcademia.edu

Kekuatan Mengikat Akta DI Bawah Tangan Yang DI Waarmerking

Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum

Banyaknya masyarakat yang belum mengetahui apa itu waarmerking, terutama terkait dengan kekuatan mengikat akta dibawah tangan yang di waarmerking oleh notaris. Kedudukan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) sebagai perjanjian awalan proses jual beli bukan merupakan hal yang salah selama dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara garis besar, waarmerking adalah suatu proses pendaftaran akta di bawah tangan ke dalam suatu buku yang khusus dibuat oleh notaris.Akta di bawah tangan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum akta di bawah tangan yang di-waarmerking. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatih dengan menggunakan data sekunder. Simpulan penelitian ini adalah bahwa walaupun di waarmerking oleh notaris, akta yang dibuat di bawah tangan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna. Many people do not know what waarmerking is, especially...

KEKUATAN MENGIKAT AKTA DI BAWAH TANGAN YANG DI WAARMERKING Rayi Kharisma Rajib, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, e-mail: [email protected] Rouli Anita Velentina, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, e-mail: [email protected] doi : https://doi.org/10.24843/KS.2022.v10.i07.p19 ABSTRAK Banyaknya masyarakat yang belum mengetahui apa itu waarmerking, terutama terkait dengan kekuatan mengikat akta dibawah tangan yang di waarmerking oleh notaris. Kedudukan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) sebagai perjanjian awalan proses jual beli bukan merupakan hal yang salah selama dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara garis besar, waarmerking adalah suatu proses pendaftaran akta di bawah tangan ke dalam suatu buku yang khusus dibuat oleh notaris. Akta di bawah tangan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum akta di bawah tangan yang di-waarmerking. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Simpulan penelitian ini adalah bahwa walaupun di waarmerking oleh notaris, akta yang dibuat di bawah tangan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna. Kata kunci: Akta di Bawah Tangan, Kekuatan Mengikat, Notaris, Waarmerking. ABSTRACT Many people do not know what waarmerking is, especially related to the power of binding an underhand deed that is waarmerking by a notary. The position of the PPJB (Sales and Purchase Binding Agreement) as a pre-sale agreement is not a wrong thing as long as it is carried out in accordance with applicable regulations. Broadly speaking, waarmerking is a process of registering a private deed into a book specially made by a notary. The private deed is made and signed by the interested parties. This study aims to analyze the legal position of the waarmarked deed under the hand. The research method used is the juridical normatih method using secondary data. The conclusion of this research is that even though it is waarmarked by a notary, the actions made under the hand cannot be used as perfect evidence. Keywords: Underhand Deed, Binding Power, Notary, Waarmerking. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan antara manusia dengan manusia akan selalu melibatkan hak dan kewajiban. Pelaksanaan hak dan kewajiban sering menimbulkan pelanggaran, akibat pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut akan menimbulkan peristiwa hukum. Begitu juga dengan akta, dalam praktiknya akta pribadi terkadang digunakan untuk kepentingan tertentu yang terkadang tidak sama dengan tujuan pembuatannya. Menurut Subekti, akta adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.1 Menurut Sudikno Mertokusumo, pengertian akta autentik adalah surat sebagai alat 1 Subekti. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradya Paramitha, 1995), 25. Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1693 E-ISSN: Nomor 2303-0569 bukti yang ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, dibuat dari awal dengan tujuan untuk pembuktian.2 Keberadaan notaris dalam kehidupan masyarakat adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bertujuan untuk membantu masyarakat dalam memberikan bukti tertulis yang autentik mengenai keadaan, peristiwa, dan perbuatan hukum yang diakui oleh negara. Akta autentik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu akta autentik yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk), misalnya berita acara pemeriksaan pengadilan yang dibuat oleh panitera. Pembagian akta autentik selanjutnya adalah akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij), misalnya akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan camat atau notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).3 Agar suatu akta di bawah tangan menjadi alat bukti yang sempurna dan lengkap sejak awal, maka alat bukti tertulis itu tetap harus disertai dengan alat bukti lain. Maka dari itu dikatakan akta di bawah tangan karena merupakan alat bukti tertulis (begin van schriftelijk bewijs). Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang tidak dibuat di hadapan pegawai negeri, melainkan suatu akta yang dibuat dan ditandatangani oleh pembuatnya dengan maksud agar dapat digunakan sebagai alat pembuktian.4 Menurut Marilang, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta dibawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti tetapi tidak dibuat oleh notaris atau dihadapan pejabat umum pembuat akta.5 Kelemahan surat di bawah tangan yang didaftarkan kepada notaris adalah notaris tidak mengetahui isi dari surat di bawah tangan, dan surat tersebut tidak dimaksudkan untuk suatu tindak pidana tertentu. Notaris hanya berwenang untuk mendaftarkan surat tersebut tanpa melihat atau meminta keterangan yang jelas tentang isi surat tersebut. Waarmerking jika dilihat secara yuridis, sebenarnya hanyalah perbuatan hukum notaris atau pejabat umum lainnya yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mencatat dan mendaftarkan surat di bawah tangan yang telah dibuat oleh pihak tertentu dalam sebuah buku khusus sesuai dengan tatanan yang ada di bawah tangan sebagai legalisasi atau ratifikasi. Selain akta autentik yang dibuat oleh notaris, ada akta lain yang disebut akta di bawah tangan, yaitu akta yang sengaja dibuat oleh pihak tertentu untuk pembuktian tanpa bantuan pejabat yang membuat akta. Dengan kata lain, akta di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh pihak tertentu sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.6 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada dasarnya adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Pada umumnya suatu perjanjian pengikatan jual beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat dilakukannya 2 Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2006), 3 Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 149. 100. 4 Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata (Bandung: P.T. Alumni, 2004), 44-45. 5 Marilang. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Cet. I (Makassar: Alauddin University Press, 2013), 133. 6 Situmorang, Viktor M. dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi,i(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 36. Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1694 E-ISSN: Nomor 2303-0569 perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir para pihak. 7 Demi kelancaran administrasi mengenai kegiatan jual beli, notaris membuat suatu akta pengikatan jual beli agar pihak-pihak saling terikat (sebelum dibuatkan akta jual beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai syarat adanya transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan.8 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang penelitian ini, rumusan masalah pada penelitian ini adalah berikut : 1. bagaimanakah kekuatan mengikat akta di bawah tangan yang di waarmerking? 2. Bagaimana akibat hukum PPJB terhadap peralihan hak tanah? 1.3. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat akta di bawah tangan yang di waarmerking 2. Untuk mengetahui akibat hukum PPJB terhadap peralihan hak tanah. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian ini menganalisis penerapan kaidah atau norma hukum positif, dan dengan pendekatan doktrinal. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel-tabel atau diagram-diagram.9 Data sekunder ini terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas.10 Selain bahan hukum primer ada juga bahan hukum sekunder, bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 11 dan bahan hukum tersier, bahan hokum tersier merupakan bahan hokum penunjang mencakup bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder meliputi kamus, ensiklopedi dan lain-lain.12 Bahan hukum primer yang digunakan terdiri atas: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria dan 3. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016), 270. 8 Rosadi, Aulia Gumilang. “Tanggung Jawab Notaris dalam Sengketa Para Pihak Terkait Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuatnya”. Jurnal Cendekia Hukum Volume 5 Nomor 2 2020, 246. 9 Husein Umar, Metode penelitian untuk skripsi dan tesis bisnis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 42. 10 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cet 5, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 67. 11 H.Salim HS dan Erlies Seeptiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 16. 12Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar metode penelitian hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), 30. 7 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1695 E-ISSN: Nomor 2303-0569 Bagi Pengadilan. Bahan hukum sekunder yang digunakan terdiri atas: 1. Putri, Dewi Kurnia dan Amin Purnawan, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas,” Jurnal Akta, Volume 4 Nomor 4, Desember 2017 (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, 2017), 2. Pradjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung: Bale Bandung, 2013) dan 3. Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016). Bahan hukum tersier yang digunakan berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka yaitu mengumpulkan data dengan melakukan penelusuran data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang di-waarmerking. Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu menganalisis data sekunder yang diperoleh secara mendalam (menelaah kedalaman data)untuk mencapai simpulan atas permasalahan penelitian ini.13 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Kekuatan Mengikat Akta di Bawah Tangan yang di Waarmerking Berbeda dengan akta autentik yang mempunyai kekuatan sempurna, akta di bawah tangan mempunyai kekuatan yang relatif, artinya akta di bawah tangan bebas sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana akta autentik. Jika ada salah satu pihak yang tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim.14 Suatu akta yang dibuat di bawah tangan baru mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga, antara lain apabila dibubuhi suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 dan Pasal 1880 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pernyataan tertanggal ini lebih lazimnya disebut Waarmerking. Pembuktian akta di bawah tangan lahir, terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan diwajibkan membenarkan atau memungkiri tandatangannya. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formil kalau tandatangan pada akta tersebut telah diakui. Itu berarti bahwa keterangan atau pernyataan di atas tandatangan. itu adalah keterangan atau pernyataan dari si penandatangan. Kekuatan pembuktian formil dari akta di bawah tangan ini sama dengan kekuatan pembuktian formil dari akta otentik.15 Waarmerking artinya dokumen/surat yang bersangkutan dicatat dalam buku khusus yang dibuat oleh notaris. Perbedaan antara Waarmerking dan Legalisasi adalah: “Waarmerking” hanya mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian tanda tangan sedangkan pada legalisasi tanda tangannya dilakukan dihadapan yang melegalisasi, sedangkan untuk waarmerking, pada saat di-waarmerking, surat itu sudah Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 77. Poesoko, Herowati. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (inkosistensi, konflik Norma dan Kesehatan Penalaran dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008), 32. 15 Febri Rahmadhani, “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Waarmerking Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Recital Review, Volume 2 No.2, 2020,107. 13 14 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1696 E-ISSN: Nomor 2303-0569 ditandatangani oleh yang bersangkutan. Jadi yang memberikan waarmerking tidak mengetahui dan karena itu tidak mengesahkan tentang tanda tangannya. 16 Dalam persidangan, apabila yang diajukan sebagai bukti hanya akta di bawah tangan mengingat kekuatan pembuktiannya yang terbatas, sehingga masih diupayakan alat bukti lain yang mendukungnya sehingga diperoleh bukti yang dianggap cukup untuk mencapai kebenaran menurut hukum. “Jadi akta di bawah tangan hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Pasal 1871 KUHPerdata).”17 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 1535 K/Pdt/2020, terdapat Perjanjian Jual Beli yang telah di Waarmerking di kantor notaris. Perjanjian sebagai salah satu faktor yang berperan mewujudkan sikap saling percaya di antara para pelaku usaha. Dengan adanya perjanjian secara tertulis sebagai sarana penunjang kerjasama dan/atau sebagai sarana transaksi, maka para pihak merasa lebih aman dan nyaman dalam melaksanakan kerjasama atau transaksi tersebut. Dengan adanya perjanjian, sudah dapat ditentukan dan dipastikan mengenai mekanismenya, penentuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama kerjasama atau transaksi berlangsung.18 Jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dimana salah satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lain membayar harga yang disepakati. Perjanjian jual beli merupakan ikatan timbal balik dimana satu pihak (penjual) berjanji untuk menyerahkan kepemilikan suatu barang, sedangkan pihak lain (pembeli) berjanji untuk membayar dengan harga yang terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan atas perolehan properti tersebut. Istilah yang mencakup dua tindakan timbal balik ini sesuai dengan istilah Belanda koopen verkoop yang juga mengandung pengertian bahwa satu pihak verkoopt (menjual) sedangkan pihak lain mengkooptasi (membeli).19 Dalam praktik jual beli dengan objek hak atas tanah didahului dengan suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau yang dalam istilah praktik disebut Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)20 Notaris sebagai pejabat publik memiliki kewenangan yang diberikan secara khusus oleh pemerintah untuk tujuan dan fungsi tertentu. Waarmerking sebagai kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa notaris berwenang mencatat surat-surat pribadi dengan cara mendaftar dalam buku khusus. Waarmerking diambil apabila dokumen/surat tersebut telah ditandatangani oleh para pihak sebelum diserahkan kepada notaris yang bersangkutan. Jadi tanggal surat tersebut tidak boleh sama dengan tanggal pencatatan dokumen/surat dalam buku khusus oleh notaris.21 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1986), 34. 17 Meitinah, “Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Yang Telah memperoleh Legalisasi dari Notaris”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-36 No.4, 2006, 457-458. 18 Soerodjo, Irawan. Hukum Perjanjian dan Pertanahan (Perjanjian Build, Operate and Transfer(BOT) atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2016), 4. 19 Subekti, R. Aneka Perjanjian (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), 2. 20 Subekti, R. Hukum Perjanjian (Jakarta: PT.Intermasa. 2004), 172. 21 Shofia Chairunnisa, Tesis: “Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notari.”(Malang: UIM, 2020), 41. 16 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1697 E-ISSN: Nomor 2303-0569 Terjadinya suatu perjanjian apabila kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya.22 Merujuk pada ketentuan Pasal 1491 KUHPerdata, penjual mempunyai dua (2) kewajiban pokok. Pertama, menyerahkan barangnya serta menjamin pihak pembeli memiliki barang itu tanpa ada gangguan dari pihak lain. Kedua, bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Lalu, pembeli wajib membayar harga pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Kewajiban ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata. Dalam ilmu hukum, dikenal 10 (sepuluh) asas perjanjian. Sepuluh asas itu antara 23 lain: a. asas kebebasan berkontrak Kebebasan berkontrak ditegaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Menurut asas kebebasan berkontrak, suatu kesempatan bersifat bebas. Kesepakatan tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekuatan atau diperolehnya dengan penipuan atau paksaan.24 b. asas konsensualisme asas konsensualisme yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju, atau seiya sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang diadakan itu. Asas ini tercantum dalam salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata. c. asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel) Asas kepercayaan adalah seseorang yang mengadakan kontrak dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diantara kedua belah pihak yang mana satu sama lain akan memenuhi prestasinya tanpa adanya kepercayaan maka kontrak tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan inilah, kedua belah pihak mengikatkan dirinya kepada kontrak tersebut, dimana kontrak tersebut mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yaang membuat kontrak tersebut. Asas kepercayaan ini merupakan perkembangan asas iktikad baik25 d. asas kekuatan mengikat Asas kekuatan mengikat perjanjian/kontrak mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif, “semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. e. asas persamaan hukum Asas Persamaan Hukum, yaitu bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. f. asas keseimbangan Sugianto, Fajar. Economic Analysis Of Law (Jakarta: Kencana, 2013), 35. Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), 83. 24 Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta: Grafindo Persada, 2003), 34. 25 Mini Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007), 6. 22 23 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1698 E-ISSN: Nomor 2303-0569 Asas Keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hokum dan asas-asas pokok hokum perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikirbangsa Indonesia pada lain pihak.26 g. asas kepastian hukum Asas Kepastian Hukum, yaitu asas ini mengandung maksud bahwa perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. h. asas moral asas Moralitas, adalah asas yang berkaitan dengan perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. i. asas kepatutan asas kepatutan yang termuat dalam Pasal 1339 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga termasuk untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan itu sendiri. j. asas Kepribadian asas kepribadian adalah bahwa sebuah perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal dan tidak mengikat pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Asas ini dapat ditelusuri pada pasal 1315 KUH Perdata, bahwa “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri” dan pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.” 3.2. Akibat hukum PPJB terhadap peralihan hak tanah Pembeli yang beritikad baik harus dilindungi. Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016) untuk menjawab masalah ini. Hal tersebut secara khusus diatur dalam Bagian B Rumusan Hukum Kamar Perdata, Perdata Umum angka 7 SEMA 4/2016, berbunyi sebagai berikut: “Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.” Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa meski hanya (Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), tapi selama telah membayar lunas harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi. Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak). Peralihan hak Herline Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti), 33. 26 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1699 E-ISSN: Nomor 2303-0569 atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum yaitu pemindahan hak.27 Terdapat 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Pertama, beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya melalui pewarisan. Kedua, dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya melalui jual beli. Dalam peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara pemindahan hak seperti jual-beli, tukar menukar, hibah, lelang, pewarisan, peralihan hak karena penggabungan atau peleburan dan pemindahan hak lainnya. Secara teori dan doktrin, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah digolongkan pada perjanjian obligator, sehingga unsur perjanjian maupun syarat sahnya perjanjian termasuk asas-asas hukum perjanjian pada umumnya harus dipenuhi.28 Berdasarkan SEMA 4/2016. Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. Berdasarkan Pasal 616 KUH Perdata, penyerahan benda tidak bergerak terjadi melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUH Perdata Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 29 antara lain dengan membukukannya dalam register, atau sejak dibuatkan sertifikat. Guna melindungi pembeli yang beritikad baik ini, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 4/2016 untuk menjawab masalah ini. Hal tersebut secara khusus diatur dalam Bagian B Rumusan Hukum Kamar Perdata, Perdata Umum angka 7 SEMA 4/2016, berbunyi sebagai berikut: a. Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. b. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa meski hanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) selama kita telah membayar lunas harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari teman anda (penjual) kepada anda (pembeli) telah terjadi. PPJB adalah singkatan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Penting untuk diketahui bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah istilah yang umum dikenal dalam proses jual beli tanah atau rumah. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Maria Sumardjono, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) itu termasuk dalam lingkup hukum perjanjian, sedangkan jual belinya termasuk dalam lingkup hukum tanah nasional yang tunduk pada Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang disingkat UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.30 Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2010), hlm.333. Budiono, Herlien. Demikian Akta Ini: Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta Notaris Di Dalam Praktik, Cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2018), 115. 29 Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (“PP 12/2021”). 30 Sumardjono, Maria. ”Pembangunan Rumah Susun dan Permasalahannya Ditinjau dari SegiYuridis ”, Diskusi Terbatas diselenggarakan YLKI di Jakarta, 27 Oktober 1994. 27 28 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1700 E-ISSN: Nomor 2303-0569 Terdapat sejumlah peraturan yang menggunakan istilah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), salah satunya yaitu PP no 14 tahun 2016. a. Definisi Sistem PPJB dan PPJB Sistem Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum ditandatangani akta jual beli. Kemudian, dalam peraturan yang sama didefinisikan juga bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dibuat di hadapan notaris. PPJB ini adalah PPJB untuk satuan rumah susun atau rumah tunggal, dan bukan PPJB tanah. b. Tujuan PPJB Mengacu pada ketentuan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang terkandung dalam pasal di atas, maka secara umum dapat dipahami bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah kesepakatan awal antara calon penjual dengan calon pembeli yang memperjanjikan akan dilakukannya transaksi jual beli atas suatu benda. Tujuan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah untuk mengikat calon penjual agar pada saat yang telah diperjanjikan ia akan menjual benda/hak miliknya kepada calon pembeli, dan pada saat yang sama perjanjian tersebut juga mengikat calon pembeli untuk membeli benda/hak milik calon penjual, sesuai dengan ketentuan yang telah diperjanjikan para pihak. c. Jenis PPJB Dilihat dari pelunasan pembayaran, ada dua jenis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), yaitu PPJB belum lunas dan PPJB lunas. PPJB Lunas adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang baru merupakan janji-janji karena harganya belum dilunasi. Kemudian, PPJB lunas adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang sudah dilakukan secara lunas, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) karena ada proses yang belum selesai, misal pemecahan sertifikat, dan lainnya. d. Syarat PPJB Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap pembangunan dapat dilakukan pemasaran oleh pelaku pembangunan melalui sistem Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Namun sistem Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: 1) Status kepemilikan tanah; 2) Hal yang diperjanjikan; 3) PBG; 4) Ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum; 5) Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); 6) Kekuatan Hukum PPJB. Dalam PP 24/1997 disebutkan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1701 E-ISSN: Nomor 2303-0569 PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.31 Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang diakui secara tegas sebagai bukti peralihan hak atas tanah melalui jual beli adalah adanya Akta Jual Beli (AJB), meskipun baik Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB) adalah bagian dari proses jual beli tanah. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) digunakan karena tanah yang akan menjadi obyek jual beli belum dapat dialihkan seketika itu karena alasan tertentu, misalnya saja karena tanahnya masih dalam agunan atau masih menunggu proses pemecahan sertifikat, dan lain-lain. Sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) bukanlah suatu keharusan, namun dapat dilakukan jika pihak-pihak menghendaki Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebelum dibuatnya Akta Jual Beli (AJB). Hal Penting Mengenai Perjanjian PPJB yaitu:32 a. Obyek Pengikatan Jual Beli Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) mencakup beberapa obyek yang harus ada. Obyek pengikatan jual-beli ada tiga. Tiga obyek itu meliputi luas bangunan beserta gambar arsitektur dan gambar spesifikasi teknis, lokasi tanah yang sesuai dengan pencantuman nomor kavling dan luas tanah beserta perizinannya. Mengenai penguraian obyek tanah dan bangunan harus dijelaskan secara detail. Jangan sampai ada data dan informasi yang kurang. b. Kewajiban dan Jaminan Penjual Bagi penjual yang hendak menawarkan properti yang dijual pada pembeli maka wajib membangun dan menyerahkan unit rumah atau kavling sesuai dengan yang ditawarkan kepada pembeli, sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) menjadi pegangan hukum untuk pembeli. Dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), pihak penjual bisa memasukkan klausul pernyataan dan jaminan bahwa tanah dan bangunan yang ditawarkan sedang tidak berada dalam jaminan utang pihak ketiga atau terlibat dalam sengketa hukum. Apabila ada pernyataan yang tidak benar dari penjual, calon pembeli dibebaskan dari tuntutan pihak manapun mengenai properti yang hendak dibelinya. c. Kewajiban bagi Pembeli Kewajiban pembeli adalah membayar cicilan rumah atau kavling dan sanksi dari keterlambatan berupa denda. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 menjelaskan bahwa besar denda keterlambatan adalah 2/1000 dari jumlah angsuran per hari keterlambatan. Calon pembeli juga bisa kehilangan uang mukanya apabila pembelian secara sepihak. Maka dari itu, Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 32 Pahami Arti PPJB, PJB, dan AJB Agar Terhindar dari Penipuan, www.cermati.com diakses pada tanggal 30 Mei 2022 pukul 17.00 wib. 31 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1702 E-ISSN: Nomor 2303-0569 suatu kewajiban bagi pembeli untuk membayar sesuai jadwal yang sesuai dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)33 d. Isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Sesuai Keputusan Pemerintah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) diatur berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995. Meskipun pada prinsipnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah tidak mengakibatkan beralihnya hak kepemilikan, namun jika mengacu pada Lampiran SEMA 4/2016 (hal. 5), peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. Dengan demikian, salah satu jika persyarat tersebut terpenuhi, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah juga merupakan bukti peralihan hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Akta Jual Beli (AJB) merupakan salah satu akta tanah yang dapat dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, termasuk pemecahan bidang tanah yang merupakan salah satu bentuk perubahan data fisik. Di sisi lain, berdasarkan Pasal 133 ayat (1) ATR/BPN 3/1997 dalam permohonan pemecahan bidang tanah yang telah didaftar, tidak disyaratkan untuk mencantumkan Akta Jual Beli (AJB). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa apabila hendak dilakukan pemecahan bidang tanah, maka yang perlu dilampirkan dalam permohonannya adalah: a. Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan; b. Identitas pemohon; c. Persetujuan tertulis pemegang hak tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan. Dari kedua pasal tersebut dapat kita pahami bahwasannya tidak ada ketentuan yang mengharuskan dilakukannya pemecahan bidang tanah terlebih dahulu sebelum dilakukannya Akta Jual Beli (AJB) maupun sebaliknya. Sehingga, para pihak boleh memilih melakukan Akta Jual Beli (AJB) terlebih dahulu atau melakukan pemecahan bidang tanah terlebih dahulu. Dalam praktik, umumnya penjualan sebagian hak atas tanah dilakukan dengan pemecahan bidang tanah terlebih dahulu, hal ini dilakukan untuk memudahkan pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut. Selain itu, dengan demikian setelah adanya Akta Jual Beli (AJB) pihak pembeli dapat segera melakukan proses balik nama. Dalam proses peralihan hak atas tanah, terlebih atas tanah yang telah dilakukan pemecahan sertifikat, sangat mungkin untuk dilakukan de ngan langsung membuat Akta Jual Beli (AJB) dihadapan PPAT tanpa harus lebih dahulu membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pada intinya, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah perjanjian pendahuluan yang bukan merupakan kewajiban. Dengan kata lain, pada prinsipnya peralihan hak atas tanah tidak mengharuskan adanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Sebagaimana telah kami jelaskan, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual beli dengan Akta Jual Beli (AJB). Paramita, Arina Ratna, Yunanto, dan Dewi Hendrawati. “Wanprestasi dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan (Studi Penelitian pada Pengembang Kota Semarang)”. Diponegoro Law Journal Volume 5, No. 3, 2016. 33 Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1703 E-ISSN: Nomor 2303-0569 4. Kesimpulan Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan yang relatif, artinya akta di bawah tangan bebas sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana akta autentik. Jika ada salah satu pihak yang tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Akibat hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terhadap peralihan hak tanah yaitu Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan terdapat peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa meski hanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), tapi selama telah membayar lunas harga tanah tersebut serta telah juga menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi Daftar Pustaka Buku Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. 2, Cet. 3, (Bandung: Alumni, 2011). Budiono, Herlien (1). Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, Cet. 1 (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009). ------------. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001). Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Khairandy, Ridwan. Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), Cet. 1 (Yogyakarta: FH UII Press, 2013). Machmudin, Dudu Duswara. Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010). Makarao, Moh. Taufik. Pokok- Pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: Rineka Cipta, 2009). Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Meida, 2005). Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed. 3 ( Yogyakarta: Liberty, 1988). Miru, Ahmadi. dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009). Notosudiyo, R. Sugondo. Hukum Notariat di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993). S., Bambang Sugeng A. dan Sujayadi. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi (Jakarta: Kencana, 2012). Samosir, Djamanat. Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata (Bandung: Nuansa Aulia, 2011). Soeroso, R. Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011). Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003). Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1704 E-ISSN: Nomor 2303-0569 Tan Thong Kie. Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notariat, Buku I ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007). Tobing, G. H. S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1999). Jurnal Paramita, Arina Ratna, and Dewi Hendrawati Yunanto. "Wanprestasi Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Dan Bangunan (Studi Penelitian Pada Pengembang Kota Semarang)." Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016): 1-12. Putri, Dewi Kurnia. "Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas." Jurnal Akta 4, no. 4 (2017): 623-634. Rahmadhani, Febri. "Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan yang Telah Diwaarmerking Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia." Recital Review 2, no. 2 (2020): 93-111. Rosadi, Aulia Gumilang. "Tanggung Jawab Notaris Dalam Sengketa Para Pihak Terkait Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Ppjb) Yang Dibuatnya." JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 5, no. 2 (2020): 243-259. Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1960, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043. -------------. Undang-Undang Tentang Rumah Susun, UU Nomor 16 Tahun 1985, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318. -------------. Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Bendabenda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU Nomor 4 Tahun 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632. -------------. Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432. -------------. Peraturan Pemerintah Tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai atas Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643. -------------. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696. -------------. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP Nomor 37 Tahun 1998, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746. Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 7 Tahun 2022 hlm. 1693-1705 1705