Academia.eduAcademia.edu

Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX

2023

P-ISSN: 2774-7999 E-ISSN: 2774-8723 http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/eltarikh/index DOI: https://dx.doi.org/10.24042/jhcc.v4i2.18800 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX The Problems Of Hygiene In Pesantren During The Dutch East Indies XIX-XX Anas Anwar Nasirin1*, Linda Sunarti2, Wawat Karwiti3 1 Departemen Sejarah Universitas Indonesia, 2 Departemen Sejarah Universitas Indonesia 3 Departemen Antropolog Universitas Padjadjaran *Coresponding author: [email protected] Submit: 9 September 2023 Revised: 13 October 2023 Accepted: 30 October 2023 Published: 20 November 2023 Abstract Abstrak Hygiene within the framework of a clean and healthy lifestyle has been the concern of the Dutch East Indies government since the XIX-XX centuries towards indigenous people who are predominantly Muslim. Pesantren as a community-based Islamic educational institution has become the object of research by European scholars on hygiene procedures in Islamic law. This research uses historical methods through heuristics, verification, interpretation and historiography processes. The results of the study proved that the hygiene program promoted by the Dutch East Indies government was full of economic and political interests, especially in increasing the work productivity of indigenous people in the plantation sector. Entering the XX century, the hygiene program has given birth to indigenous doctors, especially from Muslim communities, who in practice are able to combine Western medical science with Islamic law. Among them Ahmad Ramali's role in promoting Hygiene in Padang Sidempuan in 1933 and the Muhammadiyah health business charity, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) or Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) since 1923 Hygiene dalam kerangka pola hidup bersih dan sehat telah menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda sejak abad XIX-XX terhadap masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat kehadirannya telah menjadi objek penelitian para sarjana Eropa tentang tata cara hygiene dalam syariat Islam. Penelitian ini menggunakan metode sejarah melalui proses heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian membuktikan, program hygiene yang digalakkan pemerintah Hindia Belanda sarat kepentingan ekonomi dan politik, khususnya dalam meningkatkan produktivitas kerja masyarakat pribumi pada sektor perkebunan. Memasuki abad XX program hygiene telah melahirkan para dokter pribumi khususnya dari masyarakat muslim yang dalam prakteknya mampu mengkombinasikan ilmu kedokteran Barat dengan syariat Islam. Diantaranya Peran Ahmad Ramali mempromosikan Hygiene di Padang Sidempuan tahun 1933 dan amal usaha bidang kesehatan Muhammadiyah, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) atau Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) sejak tahun 1923. Kata Kunci: Hygiene, Pesantren, Islam, Hindia Belanda Dokter Pribumi. Keywords: Hygiene, Pesantren, Dutch East Indies, Indigenous Doctor. Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 02 Tahun 2023, Hlm. 72-86 72 Anas Anwar Nasirin, Linda Sunarti, Wawat Karwiti PENDAHULUAN Hygiene dalam kerangka pola hidup bersih dan sehat dalam Islam dikenal dengan istilah Thaharah, Thaharah dalam Islam kaitannya dengan pengaturan kebersihan atau bersuci sebagaimana yang sudah disyariatkan dalam al-qur’an dan as-sunnah. Kajian tentang Islam dan persoalan Hygiene di Hindia Belanda dilakukan oleh (Jaelani, 2017) dengan cara melakukan elaborasi konsep hygiene dalam perspektif islam dengan perspektif pemerintah kolonial. Ia menerangkan bahwa dalam perspektif kolonial hygiene di Hindia Belanda erat dengan politik kolonial tetang tentang populasi dan pelayanan kesehatan baik yang ditujukan untuk pemenuhan produktivitas kerja. Fokus wilayah kajiannya dari sejak pendirian Sekolah Dokter Djawa pada Januari tahun 1851 Rumah Sakit Militer Weltevreden dan Program Vaksinasi. Penelitian lebih lama tentang Mantri dan Dokter dengan melakukan pengkajian terhadap kebijakan Pemerintah Kolonial khususnya dalam penanganan penyakit cacar di Jawa abad XIX – XX dilakukan oleh (Uddin, 2006). Ia menjelaskan pelayanan kesehatan di Jawa abad XIX – XX dengan melakukan elaborasi terhadap kebijakan pemerintah kolonial melalui upaya preventif penyakit cacar yaitu vaksinasi cacar atau pencacaran melalui upaya para mantri dan dokter djawa yang ditugaskan sebagai dokter pembantu. Definisi Thaharah menurut (Mujahid, 2019: 199; Sabila & Sa’diyah, 2021: 163-164) merujuk pada makna pokok bersih atau hilangnya kotoran baik dari hadas kecil maupun hadas besar yang meliputi badan, pakaian, dan benda-benda yang terbawa atau terdapat pada tubuh. Hubungan Thaharah dengan pola hidup bersih dan sehat yaitu serangkaian gerakan, sikap, pengetahuan dan tindakan proaktif untuk memelihara dan mencegah diri dari terserangnya penyakit. Mayoritas masyarakat Hindia Belanda pada abad XIX mayoritas beragama Islam tidak terlepas dari peran para kiai dalam membina umat dengan sarana pendidikan Islam berbasis masyarakat adalah pesantren. Praktek hygiene kaitannya dalam kerangka thaharah sebagai praktek budaya yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, melampaui masa kolonial Belanda adalah tradisi Bai’at (be’ati) atau inisiasi bagi seorang gadis remaja ketika sudah tiba menstruasi pertama yang hingga masih dilaksanakan sebagai budaya masyarakat Gorontalo. Prosesi ritual be’ati terdiri atas enam tahapan: Molungudu (mandi sauna dengan ramuan tradisional) memiliki makna sebagai prinsip manfaat yang menekankan pada kesehatan fisik dan kebersihan pribadi (personal hygiene)yang memiliki makna yang sama dengan tahap ketiga, momuhunto; Momonto (memberi tanda merah di dahi) dan momuhuto (mandi dengan ramuan tradisional) yang kedua tahapan ini memiliki makna menekankan jati diri keperibadian Muslim dan sikap hati-hati dalam menapaki kehidupan remaja. Seorang gadis yang menjalani be’ati akan diberikan pengetahuan kewajiban seorang muslimah tentang menyucikan diri dari menstruasi, melahirkan, istinja dan junub (kebersihan tubuh), pengetahuan tentang pakaian Islami, menghindari lima dosa besar yang dilakukan oleh anggota badan, dan pengetahuan tentang sikap dan sopan santun dalam kehidupan sosial remaja; Mopohuta’a hingga pinggae (menginjak piring); Mome’ati (ritual inisiasi) yang memiliki makna menekankan pengamalan rukun iman, rukun Islam, dan kepatuhan kepada kedua orangtua; Mohatamu (menyelesaikan pembacaan Al-Qur’an) yang bermakna menekankan cinta untuk Al-Qur’an, ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh sang gadis yaitu dari Surah Ad-Dhuha hingga surah Al-Lahab, selanjutnya oleh Imam atau qadi dilanjutkan dengan membaca surah Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Fatihah, awal Surah Al-Baqarah, ayat Qursi dan pembukaan tahlil. Semua tahapan dalam ritual be’ati menunjukan akulturasi Islam terkait prinsip thaharah dengan budaya lokal Gorontalo melalui budaya dan adat istiadat (Husain & Pranata, 2023: 189-191). 73 Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX Istilah pesantren mencerminkan asas kenusantaraan yang merepresentasikan wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state). Representasi itu dapat ditelusuri pada Istilah pesantren di setiap lokalitas di Indonesia memiliki penamaanya masing-masing, di Minangkabau misalnya dikenal istilah “surau”, demikian pula di Aceh dikenal istilah “dayah” dan “Meunasah”. Pesantren dalam zeitgeist-nya memiliki peran dan fungsi sebagaimana tuntutan jiwa zaman. Dewasa ini fungsi pesantren sebagaimana diterangkan dalam Undangundang Republik Indonesia No 18 Tahun 2019 Pasal 1 Ayat 1, bahwa pesantren sebagai lembaga berbasis masyarakat didirikan oleh organisasi atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, menyampaikan akhlak mulia, memegang teguh ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Kesatuan Negara Republik Indonesia. Menelusuri karakteristik penyakit di Hindia Belanda jauh sebelum digalakannya program Hygiene memiliki pola penyakit yang berbeda dengan yang terjadi di Eropa, atau dikenal dengan penyakit khas tropis. Sekitar tahun 1600-an VOC telah melakukan upaya-upaya kuratif untuk mengobati para serdadunya yang terluka akibat peperangan atau karena terserang penyakit tropis. Pada tahun 1655 pemerintah mendirikan Leeprozerieen di Kepulaun Seribu. Peran VOC dalam membasmi penyakit kusta pada masyarakat pribumi dengan mendirikan tempat pengasingan (Leeprozerieen) semata-mata untuk melindungi masyarakat Eropa dari wabah tersebut. Memasuki abad XIX Pemerintah Hindia Belanda sangat lambat dalam merespon kasus-kasus epidemi dan endemic dan tidak memiliki kemampuan dalam memahami karakteristik penyakit-penyakit tropis serta keengganan untuk mengeluarkan dana kesehatan. Pada abad XX berdasarkan laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda total Kematian di Pulau Jawa dari tahun 1916 hingga tahun 1934 antara 17,3 dan 36,5 per seribu orang, di Batavia misalnya antara tahun 1915-1928 tingkat kematian mencapai 38 sampai 51 per seribu orang, kemudian di Surabaya mencapai 27 sampai 24 per seribu. Penyebab Kematian diantaranya disebabkan oleh penyakit epidemi Kolera, Influenza, Malaria, dan Pes (Nitisastro, 1970: 102; Uddin, 2004:101-104). Wabah penyakit khas tropis yang sudah menghilangkan banyak jiwa selain karena pengaruh dari iklim tropis juga sebagai akibat dari pola hidup masyarakat pribumi yang menurut standar orang-orang Eropa tidak memenuhi kerangka hygiene. kebiasaan masyarakat pribumi misalnya dalam hal berwudu satu bak air digunakan secara bersama-sama sehingga rawan penularan penyakit, dan sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat pribumi mandi di sungai, membuang air besar di sungai hingga minum dari sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda hingga pada tahun 1883 dr. Nicolaas Pieter van der Stok seorang Dokter Militer di Hindia Belanda membawa permasalahan itu pada Congrès International d'Hygiène et de Démographie (Kongres Internasional tentang Higienitas dan Demografi) di Den Haag, Belanda. Upaya van der Stok dalam mempropagandakan program hygiene belum berhasil di kalangan masyarakat pribumi sebagaimana anggapan terhadap bangsa-bangsa Barat adalah kafir. Sejak saat itulah van der Stok menginisiasikan untuk melakukan promosi hygiene yang mampu mengkombinasikan pandangan Barat dengan Islam khususnya bab tentang thaharah (bersuci). Van der Stok mengabulkan inisiasinya dengan menulis buku panduan tentang pentingnya higienitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Madura (Jaelani, 2017: 82). Pembahasan dalam tulisan ini dilanjutkan dengan pengkajian jawaban dari pertanyaan, Apakah yang melatarbelakangi terjadinya permasalahan Hygiene di pesantren dan penduduk Hindia Belanda Abad XIX-XX? Bagaimanakah Promosi Hygiene di Hindia Belanda Abad XIXXX? Bagaimanakah peran dokter pribumi dan umat Islam dalam mensukseskan program hygiene di Hindia Belanda Abad XX ? Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 74 Anas Anwar Nasirin, Linda Sunarti, Wawat Karwiti METODE PENELITIAN Sejarah secara objektif dapat diartikan sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi dimasa lampau. Suatu peristiwa sejarah agar dapat dipelajari dan memberikan hikmah pada kehidupan manusia saat ini diperlukan upaya rekonstruksi secara ilmiah sehingga dihasilkannya kisah sejarah. Kisah sejarah dalam penyajiannya kepada khalayak umum harus mencerminkan kaidah ilmiah secara empiris, sistematis, objektif, analitis dan verifikatif. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode sejarah, serangkaian proses mengkaji peristiwa masa lalu secara ilmiah dalam rangka mendapatkan pengetahuan, pemahaman dan makna dari suatu peristiwa sejarah. Pada penelitian ini penulis menempuh empat tahapan metode sejarah, dimulai dari heuristik, penelusuran dan pengumpulan sumber sejarah terlebih dahulu melakukan penelusuran di internet pada halaman muka lib.ui (https://lib.ui.ac.id/index.jsp#gsc.tab=0) yang ditindaklanjuti dengan berkunjung langsung ke Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) untuk melakukan peminjaman buku referensi, salah satunya buku “Peraturan-peraturan Untuk Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Ajaran Islam” yang ditulis langsung oleh Ahmad Ramali dan merupakan diseratsinya dari Universitas Gadjah Mada tahun 1951. Tanggal 21 Agustus 2023 Penulis mengunjungi Arsip Nasional untuk mendapatkan sumber sejarah primer yang diantaranya Algemene Seretarie No. 1367 (F): Laporan Bulanan Tentang Kesehatan Penduduk Mataram tahun 1946; Algemene Secretarie Besluit No. 20 tanggal 28 Mei 1915; dan Surat Kepala Dinas Bangunan Pemerintah Yogyakarta Surakarta Tentang Pembangunan RS Muhammadiyah tahun 1941. Tahap kedua adalah kritik atau analisis sumber yang meliputi kritik ekternal dan kritik internal. Tahap ketiga adalah interpretasi yang bertujuan untuk menafsirkan data-data sejarah yang pada tahap heuristik dan kritik yang didalamnya meliputi proses analisis dan sintesis. Pada tahap terakhir adalah proses historiografi atau penulisan sejarah menjadi sebuah artikel berjudul “masalah hygiene di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda” yang difokuskan pada abad XIX-XX (Lubis, 2015: 15-16; Nasirin & Mahzuni, 2021: 13). HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahun 1821-1867 dalam kajian internasional tentang suatu penyakit Endemi telah mendapat kajian dalam bidang kesehatan dan endemiologi di kancah Internasional termasuk fenomena penyakit khas tropis di Hindia Belanda. Pengkajian penyakit endemi tidak hanya dipandang dalam sudut kesehatan saja, melainkan konteks politik, sosial, budaya, ekonomi dan geografi atau yang dikenal pengkajian ini dengan istilah “Anticontagionism” (Stern & Markel, 2009:31) Dalam implementasi Anticontagionism terjadi corak perbedaan kebijakan dalam implementasi kesehatan. Diantaranya terdapat dua model kelompok negara-negara Barat dalam pelaksanaanya: Pertama, model yang diterapkan Jerman dan Austria dari tahun 1800 hingga tahun 1850 dalam mengurangi dan mengendalikan penyakit mengusung konsep karantina dan peraturan ketat tentang pergerakan orang dan benda. Merujuk konsep ini sebenarnya di Hindia Belanda sudah dilakukan sejak tahun 1800-an sebagaimana dengan pendirian Leeprozerieen (tempat karantina) di Kepulaun Seribu oleh VOC dalam membasmi penyakit kusta pada masyarakat pribumi tahun 1655. Kedua, model kedua adalah yang dilakukan oleh Inggris dalam pengendalian dan mengurangi penyakit berfokus pada perbaikan lingkungan dan kampanye sanitasi. Upaya demikian di Hindia Belanda diantaranya dilakukan oleh Dokter Pribumi dari kalangan Islam yaitu Ahmad Ramali, Ketika bertugas di Padang Sidempuan, ia kerap memberi ceramah dalam bidang kesehatan di sebuah perkumpulan anak-anak sekolah bernama 75 Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX Gezondheid Briegade. Kenyataan bahwa sebagian besar penduduk di sana memiliki empangempang yang airnya tidak mengalir, membuat ceramah Ramali juga banyak membahas persoalan ini. Ia menyarankan penduduk menutup empang-empang supaya tidak menjadi tempat berkembangnya jentik nyamuk penyebab malaria (Suprapti, 1918: 10; Jaelani, 2017:91). Penelusuran terhadap kerangka program hygiene di Hindia Belanda yang digalakan pada abad XIX dan abad XX bersandar pada Ideologi merkantilisme sebagaimana kaitannya dengan Anticontagionism terkait dengan kehidupan sosial dan ekonomi dalam kerangka suksesi kekuasaan politik negara saat itu. Konsep demikian merujuk pada pemikiran Joachim Becher tahun 1668, bahwa bangkit dan runtuhnya sebuah kota dan negara ada hubungannya dengan keberadaan jumlah penduduk. Demikian dalam pergeseran makna konsep merkantilisme pada abad XIX dan abad XX pengusa kolonial menghendaki bahwa jumlah penduduk yang banyak dipersiapkan dalam kerangka memenuhi kebutuhan materi, pemerintah menjadi pengendali utama dalam mensukseskan kebijakan publik dan tujuan pembangunan negara kala itu, sehingga ada pengharusan bahwa kesehatan penduduk yang terjamin akan mampu meningkatkan produktivitas. Fakta pengimplementasian konsep ini sebagaimana peningkatan upaya kesehatan para pekerja perkebunan di Deli yang diprakarsai oleh Schüffner melalui serangkaian program hygiene yang tujuannya untuk meningkatkan produktivitas para pekerja kebun (Jaelani, 2017: 182-231). Menurut (Benda, 1985;Untung, 2013; 2-7) Pesantren dan santri dalam sejarahnya sejak abad XVI telah menjadi dinamisator dalam sejarah dan perjuangan bangsa yang mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik. Pesantren menjadi medan pembinaan umat Islam melalui peran para kiai di dalamnya. Tahun 1884, Van der stok dalam isi ceramahnya pada perhelatan Congrès International d’Hygiène et de Démographie mengatakan: “kalaulah pekerjaan memopulerkan sebuah ilmu pengetahuan hygiene yang melibatkan banyak aspek kehidupan sosial dan pribadi sudah sulit, pekerjaan yang sama menjadi dua kali lebih berat ketika kita kemudian harus berurusan dengan penduduk yang kurang beradab, seperti para pribumi kita, yang moral dan kebiasaan sebagian diatur berdasarkan tradisi (adat) – dan tak ada yang bisa menggoyahkan keyakinannya ini – dan sebagian didasarkan pada hukum dan aturan sebuah agama yang menyebutkan musuh segala sesuatu yang berasal dari orang kafir” (Congrès International d’Hygiène et de Démographie, 1884: 285; Jaelani, 2017: 83). Selanjutnya, ketika Van der stok dalam rangka untuk mensukseskan program hygiene yang dikombinasikan dengan perspektif Islam di Hindia Belanda yang pertama kali dikaji dan didekati adalah tentang bagaimana pola hidup bersih dan sehat yang diajarkan di pesantren termasuk kitab-kitab yang menjadi rujukan pembelajaran. Permasalahan Hygiene Mengkaji pernyataan dr. Van der stok diatas pada perhelatan Congrès International d’Hygiène et de Démographie tahun 1884 isu agama yang menyajikan dua kubu antara Bangsa Barat yang mayoritas beragama Kristen dan penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam diantara keduanya selalu menyajikan saling tuduh yang berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan kesehatan. Dijelaskan (Kusdiana, 2015;Mubarak, 2020: 35-43) awal abad XIX kondisi di Hindia Belanda berada dalam cengkraman kekuasaan dan ekonomi kolonial, pada masa itu geliat Islam di dunia Internasional sedang dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Kondisi agama Islam di Hindia Belanda khususnya sekitar tahun 1847 masih dalam fase transisi dari akulturasi agama menjadi purifikasi (pemurnian). Pesantren saat itu menjadi lembaga yang berperan besar Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 76 Anas Anwar Nasirin, Linda Sunarti, Wawat Karwiti terhadap pemurnian ajaran Islam, misalnya di Jawa Barat pesantren yang sudah hadir dalam kurun waktu itu adalah Pesantren Asyrofuddin di Sumedang. Sistem pengajaran di pesantren saat itu sedikitnya terbagi dalam lima kategori pendidik, yaitu: Guru Ngaji Qur’an yaitu yang mengajarkan huruf arab, rukun Islam dan pengajaran shalat ayat-ayat Al-Qur’an yang sering dilafalkan dalam shalat; Guru Kitab, di banyak pesantren atau jika di Sumatra Barat disebut Surau dan di Aceh disebut Meunasah para santri diajarkan kitab kuning; Guru Tarekat, para kiai yang mengajarkan tarekat dipisahkan pengajarannya dari kitab, dan usia para murid tarekat lebih tua daripada usia santri pada umumnya, terdapat istilah Ijazah atau silsilah para guru yang sampai pada pendiri tarekat; Guru ilmu ghaib, adanya penjual jimat dan barang-barang yang mengandung makhluk ghaib yang biasanya dikuasai oleh guru kitab dan guru tarekat; Terakhir, guru tidak menetap di suatu tempat yaitu orang Arab atau orang pribumi yang mencari calon haji untuk mereka sendiri atau Syaikh haji tertentu dengan memberikan jimat, menjual jimat, air zam-zam, dan tasbih. Selanjutnya adalah pertapa yang masih ada hubungannya dengan budaya Hindu dan Budha. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren menurut (Steenbrink, 1984) diantaranya: Kitab Bidang Fiqh’Ibadah meliputi Kitab Safinat an-Najah karya Salim b. Abdallah b. Sumayr (w. 1270/1854), Kitab Sullam At-Taufiq karya Sayyid Abdallah b. Al-Husayn b. Tahir (w. 1271/1855), Kitab al hawasyi al Madaniyah karya Sulaiman al Kurdi (w. 1994/1780); Kitab Bidang Fiqih Umum meliputi Kitab Fath al Qarib karya Abu Abdullah Muhammad b. Qasim al Ghazzi (w. 918/1512), Kitab Minhaj at-Thalibin karya Abu Zakarya Yahya b. Syaraf an Nawawi (w. 676/1277); Kitab tentang Bahasa Arab meliputi Kitab Muqaddamat al Ajurumiyah karya Abu Abdallah b. Muhammad b. Daud As-Sanhaji b. Aujurrum (w. 723/1323), Kitab Al-Alfiyah karya Abu abdallah Muhammad b. Abdallah at Tai al Jajjani (w. 672/1273); Kitab Bidang Ushuluddin meliputi kitab Kifayat al Awam karya Muhammad b. asy-Syafi’la al Fadhalai; Kitab bidang Tasawuf meliputi kitab Ihya Ulumuddin karya Abu Hamid Muhammad al Ghazali (w. 505/111), Kitab Bidyatul Hidayah karya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w.505/1111), Kitab Minhaj al Abidin karya Abu Hamid Muhammad al Ghazali (w. 505/1111); Kitab Bidang Tafsir meliputi Kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Muhammad b. Ahmad al Mahalli (w. 864/14600 dan Jalaludin Abdurrahman b. Abu Bakr as Suyuti (w. 911/1505). Para kiai sebagai pimpinan pesantren dan pihak yang mengasuh serta mendidik para santri bersifat swasta dan berdikari. Mereka mendapat kepercayaan yang tinggi di masyarakat atas pengetahuan mendalam mereka dibidang ilmu agama dan cara hidup mereka menjadi panutan bagi masyarakat. Pelaksanaan pengajian dan ibadah khususnya untuk santri laki-laki dilakukan di Masjid. Masjid pada awal abad XIX tidak sebesar masjid saat ini, salah satu masjid yang berdiri sejak abad XIX dan keberadaannya masih ada sampai sekarang adalah Masjid Kaler di daerah Ranca Peundeuy Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya. Masjid itu berukuran 8x6 meter dengan ciri utama masjid terdapat kulah (kolam) yang digunakan untuk berwudhu (Mubarak, 2020, 40). Pada perjalanannya permasalahan hygiene di Pesantren dan penduduk Hindia Belanda Abad XIX hingga abad XX selain menghadapi kenyataan Bangsa Eropa dalam memandang pola hidup bersih dan Sehat di Pesantren dan masyarakat pribumi, kenyataan ini diperkuat oleh sentimen negatif diantara keduanya. Pihak pesantren dan masyarakat pribumi yang mayoritas Islam memandang Bangsa Eropa sebagai kafir. Pandangan itu yang menjadikan pesantren dan para santri menurut (Ziemek, 1986: 86; Slamet Untung, 2013: 2-3) sebagai garda terdepan yang menentang kolonialisme Barat, pesantren menjadi “training Center” dan “Cultural Center” yang dalam perlawanannya terhadap pemerintah Hindia Belanda saat itu. 77 Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX Pada tahun 1903 Kyai Kasan Mukmin di Sidoarjo kepada para pengikutnya menyerukan agar berjihad melawan pemerintah Hindia Belanda. Kondisi itu pula yang menjadi pada pandangan pemerintah Hindia Belanda yang memandang pesantren sebagai ancaman (Moesa, 2007: 113). Taktik pemerintah Hindia Belanda dalam mengkonstruksi masyarakat Islam selalu memiliki hubungan dengan Snouck Hurgronje sebagai penasihat pemerintah kolonial saat itu, bahwa dalam dalam arti ibadah, sosial kemasyarakatan, dan kekuatan politik. Pada bidang ibadah dan sosial kemasyarakatan pemerintah Hindia Belanda harus bersikap netral, sedangkan dalam bidang politik pemerintah Hindia Belanda harus menekan. Tahun 1905 diterbitkan Ordinasi Guru (Stadsblad 1905 No. 550) yang menyatakan, setiap penyelenggara pendidikan Islam harus memiliki izin tertulis dari bupati atau pejabat yang setara kedudukannya. Setiap guru diwajibkan membuat daftar murid beserta keterangannya yang secara periodik dikirimkan kepada pejabat bersangkutan (Tjandrasasmita, 2009: 269; Slamet Untung, 2013: 12-15). Sentimen diantara kedua kubu inilah demikian dalam kerangka hygiene Pemerintah Hindia Belanda memandang jorok pola hidup di pesantren dan masyarakat pribumi. Mengulik pidato dr. Van der Stok pada perhelatan Congrès International d’Hygiène et de Dèmographie tahun 1984, mengampanyekan ilmu pengetahuan tentang hygiene kepada masyarakat pribumi yang melibatkan aspek sosial dan pribadi sudah sulit, apalagi dihadapkan dengan moral dan kebiasaan masyarakat pribumi yang mendasarkan pada adat dan aturan agama (Islam). Van der stok mengatakan, penduduk pribumi kurang beradab dan Ia menyadari bahwa masyarakat pribumi Islam memandang Bangsa Belanda adalah kafir yang segala sesuatu yang berasal darinya adalah musuh. Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, meski pada 1886 Berg sudah menuliskan artikel tentang pembelajaran di pesantren bidang ilmu Fiqh dimulai dengan pembahasan persoalan al-thaharan (bersuci) seperti dalam kitab Safinah Al-Najah, Sullam AtTaufiqu, dan Fath Al-Qarib. Mereka memaknai itu hanya sebatas kerangka formalitas aktivitas keagamaan semata, tidak didasari kesadaran membersihkan diri dalam kerangka hygiene. Misalnya penggunaan air sungai untuk minum, pada kenyataannya sebagian besar mereka membersihkan tubuh dan pakaian di sungai, bahkan seringkali membuang kotoran ke dalamnya. Demikian kolam air tempat wudhu (midhaät) yang dalam satu kolam air digunakan oleh orang banyak menjadi penyebab mudahnya penyebaran penyakit, khususnya penyakit kulit ( Berg, 1886: 524-533; Jaelani, 2017: 86-87) Promosi Hygiene Pada 10 Februari 1913 masyarakat di Karesidenan Cirebon diresahkan oleh Keberadaan beberapa pabrik es di Mandirancan, Linggarjati, dan kota Cirebon. Diberitakan surat kabar Het nieuws van den dog voor Nederlandsch Indie keberadaan Pabrik es tersebut amat meresahkan bagi masyarakat karena diduga telah menjadi sumber penyebaran penyakit tifus yang telah memakan banyak korban di daerah itu. Masyarakat semakin digemparkan setelah mendengar berita kematian warga Tegal dan Sukabumi akibat penyakit tifus yang diduga setelah mengkonsumsi es dari pabrik es yang dikelola oleh orang China di kedua daerah tersebut. Pada 1 februari 1921 atau delapan tahun kemudian diberitakan dalam surat kabar Bataviaash Nieuwsblad bahwa wabah tifus masih menjadi momok yang meresahkan bagi masyarakat di Karesidenan Cirebon. Wabah tifus itu melanda para pekerja perkebunan dan kuli-kuli yang tinggal di pinggiran kota. Bukan hanya penduduk pribumi, penduduk kalangan etnis Cina dan Eropa juga banyak yang meninggal akibat wabah tersebut. Menurut pemberitaan dalam kedua surat kabar tersebut, bahwa penyebaran penyakit tifus di Kota Cirebon tidak terjadi di daerah yang berdekatan dengan pabrik es, melainkan wabah tersebut terjadi di kawasan pemukiman para pekerja karena rumah-rumah mereka berdekatan dan lingkungannya tidak memenuhi Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 78 Anas Anwar Nasirin, Linda Sunarti, Wawat Karwiti standar kesehatan yaitu kumuh, kurang cahaya matahari, tidak ada tempat pembuangan kotoran, dan sumur-sumur berdekatan dengan got (Emalia, 2020: 111-112). Promosi hygiene di Hindia Belanda sejak abad XIX diatur oleh negara, demikian hal itu disampaikan oleh W.H. de Beaufort tahun 1883 di Den Haag, Belanda, bahwa praktik hygiene tidak bisa dilepaskan dari negara karena proses itu memiliki kaitan dengan kesehatan masyarakat secara umum. Memasuki abad XX promosi kerangka hygiene terkait dengan Politik Etis yang digagas Van Deventer. Politik etis memiliki misi sebagai bentuk balas budi terhadap bangsa-bangsa yang tertindas akibat kolonialisme yang menggantikan sikap eksploitasi materialistik dengan sikap laissez faire liberalisme, menghendaki peran pemerintah dalam urusan ekonomi. Politik etis dalam memajukan kesejahteraan penduduk terjajah diantaranya perbaikan irigasi untuk meningkatkan produksi pertanian dan mengadakan transmigrasi keluar pulau Jawa untuk terciptanya keseimbangan penduduk antar wilayah di Hindia Belanda. Kerangka hygiene pada pelaksanaanya masih terlepas dari misi pemerintah kala itu. Pada akhir abad XIX kerangka hygiene masih dipengaruhi misi ekonomi kolonial, yaitu kebutuhan pemerintah kolonial akan adanya tenaga kerja pribumi yang bertubuh sehat. Keberadaan tenaga kerja yang sehat dan kuat merupakan jaminan akan produktivitas ekonomi. Misalnya upaya meningkatkan kesehatan para pekerja perkebunan di Deli yang diprakarsai oleh Schüffner.(Schüffner dan Kunen, 1910; Jaelani, 2017: 84-85). Pada kenyataannya, peran pemerintah Hindia Belanda ketika implementasi di lapangan seringkali dari kerangka kampanye hygiene adalah masyarakat pribumi yang dirugikan. Misalnya dalam kasus Wabah Tifus di Cirebon menciptakan dua versi hasil penelitian dokter. Versi Pertama, hasil investigasi penyebab tifus yang dilakukan oleh Dokter Grijn. Ia mengungkapkan bahwa wabah tifus di Cirebon tidak bisa disamakan dengan penyebab kasus yang terjadi di Tegal dan Sukabumi. Menurutnya, penyebab wabah tifus di Cirebon lebih karena faktor higienitas, terutama lingkungan kota akibat pembangunan infrastruktur. Lingkungan kota, terutama pemukiman di pinggir Sungai Bacin, tidak bisa dibiarkan kotor karena menjadi sumber penyakit yang mengakibatkan wabah tifus terus terjadi di kota dan sekitarnya. Versi Kedua, investigasi yang dilakukan oleh dokter L. Cramer yang dikirim langsung oleh Dienst der Volkgezondheid (DVG/Dinas Kesehatan Tingkat Kota) ke Rumah Sakit Oranje di Cirebon. Pendapat dr. Cramer tidak menjelaskan penyebab terjadinya wabah tifus, Ia langsung menawarkan solusi kepada pemerintah kota yang meliputi: Pertama, Melakukan kampanye kepada masyarakat tentang cara hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, memasak air sebelum digunakan, tidak minum es, mencuci sayuran sebelum dimasak, dan tidak makan selada atau sayur mentah; Kedua, melakukan vaksinasi tifus; Ketiga, tetap melakukan penyelidikan terhadap pabrik-pabrik es (Emalia, 2020: 112). Berdasarkan kedua versi pendapat di atas pemerintah saat itu langsung menyangkal pendapat dr. Grijn yang mengaitkan penyebab mewabahnya penyakit tifus di Kota Cirebon dan sekitarnya dikaitkan dengan isu buruknya higienitas lingkungan sebagai akibat dari pembangunan infrastruktur. Adapun pendapat dr. Cramer lebih kepada melindungi kepentingan pemerintah sehingga hasil investigasi yang disampaikan langsung pada tataran solusi dan tidak menjelaskan penyebab terjadinya wabah tifus di Cirebon. Apa yang disampaikan dr. Grijn adalah benar adanya yang dibuktikan sebagaimana tuntutan masyarakat kepada pemerintah yang meliputi: Pertama, menuntut pembagian jatah air bersih untuk dikonsumsi sehari-hari karena mereka mendapatkan air yang sudah terkontaminasi proyek pembangunan jalan sehingga banyak penduduk yang menderita sakit tifus. Air bersih di kota Cirebon yang dialirkan dari Gunung Ciremai terkontaminasi oleh galian tanah untuk pipa air 79 Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX menuju ke pelabuhan dan perumahan orang-orang Eropa. Kedua, menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan para dokter atas kematian para anggota keluarga akibat wabah tifus dan pelayanan kesehatan yang lambat. Saat itu terdapat 3205 orang yang terinfeksi wabah tifus di Cirebon Selatan dan Cirebon Barat sepanjang tahun 1932-1933. Tanggapan pemerintah selalu menampilkan sanggahan lain yang menyatakan bahwa penyebab wabah tifus akibat migrasi penduduk ke kota khususnya pekerja perkebunan, kondisi itu menjadi penyebab berkurangnya debit air bersih akibat kepadatan penduduk (Bataviaasch Nieuwsblad, 8 September 1930; Emalia, 2020: 112). Pada tahun 1915 perhatian kesehatan khususnya pemberantasan penyakit epidemi di Hindia Belanda sudah menunjukan kemajuan hingga menjangkau daerah pedalaman. Pada 23 April 1913 terdapat sebuah Besluit (keputusan) yang diterima oleh kepala Burgerlijke Geneeskundigen Dienst atau Dinas Kesehatan Sipil. Pada 3 Mei 1915 surat itu teruskan ke Direktur Pendidikan, Ibadah dan Industri Kerajinan (Departement van Onderwijs, Eredienst en Nijverheid/OEN) yang isinya menerangkan tentang pembangunan sebuah gedung rehabilitasi epidemi di daerah Sukabumi yang pada prosesnya dilakukan penelitian terlebih dulu di Institut Pasteur di Bandung pada 28 Mei 1915 untuk mengetahui jenis penyakit epidemi di daerah Sukabumi (Algemene Secretarie Besluit No. 20, 28 Mei 1915). Promosi hygiene di Hindia Belanda secara formal tercatat sejak tahun 1920 atas dibentuknya seksi “Adviseur voor de Propaganda”, yang menjadikan Licien Sophie Albert Marie von Römer (1873-1853) sebagai orang pertama yang mempromosikan hygiene di Hindia Belanda melalui program Ini. Römer merupakan seorang ahli kedokteran tropis dan mantan Kepala Dinas Kesehatan Batavia tahun 1915, tahun 1917 ia menjadi inspektur di Departemen Kesehatan Masyarakat. Peran Römer dalam mengkampanyekan hygiene, Ia menyusun dasr-dasar hygiene untuk pendidikan rakyat dalam bentuk buku, gambar-gambar, hingga film. Atas dasar penghematan biaya, pada 1923 program ini dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda. Tokoh kedua yang mengkampanyekan hygiene di Hindia Belanda adalah John lee Hydrick, Ia tiba di Pulau Jawa tahun 1926 yang memiliki ikatan dengan program Rockeffeler Foundation yang didirikan tahun 1913. Pekerjaan Hydrick fokus pada pemberantasan penyakit cacing di kalangan penduduk dengan cara mengajarkan pola hidup bersih, terutama memperkenalkan cara membuang air ke toilet (Hydrick, 1927: 610; Lindeboom, 1984: 1663-1664; Jaelani, 2017: 89-90). Promosi hygiene di Hindia Belanda berada dibawah naungan Dienst der Volksgezoindheid (DVG) atau Dinas Kesehatan Rakyat Kolonial yang dibentuk tahun 1925 dengan tugas utama yaitu mengampanyekan dan memberantas penyakit-penyakit yang melanda masyarakat baik secara endemi maupun epidemi. Pembentukan DVG merupakan kelanjutan dari peran Militaire Geneeskundigde Dienst (MDG) dan Burgerlijke Gneeskundigde Dienst (BGD) yang kedua lembaga tersebut lebih dominan memberikan pelayanan kesehatan kepada kalangan militer daripada masyarakat sipil baik dari masyarakat pribumi maupun Eropa. Pada tahun 1924 keterlibatan John Lee Hydrick seorang dokter asal Amerika yang dibiayai oleh Rockefeller Foundation tiada lain atas undangan Pemerintah Hindia Belanda untuk mensukseskan tugas DVG yaitu kampanye Hygiene atau Medisch Hygienische Propaganda. Pada kerangka program kampanye hygiene inilah mulai memainkan peran para dokter pribumi, tokoh pribumi hingga Balai Poestaka sebagai penyedia bacaan seputar kampanye hygiene bagi masyarakat. Kampanye hygiene yang dilakukan Hydrick yaitu kepada masyarakat pribumi di Banyumas, kehadiran para dokter pribumi dan tokoh masyarakat mampu membantu dalam mempermudah transfer informasi tentang hygiene dan lebih mudah diterima oleh masyarakat yang pada saat itu kebiasaan dan keyakinan mereka lebih percaya kepada dukun, adat, agama atau kebiasaan hidup yang telah ada sejak nenek moyang mereka (Yanti, 2009). Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 80 Anas Anwar Nasirin, Linda Sunarti, Wawat Karwiti Memasuki tahun 1938 peran swasta pribumi menunjukan perkembangan dalam penyediaan pelayanan kesehatan khususnya kepada umat Islam. Pada 1 November 1938 usulan perubahan desain rumah sakit Muhammadiyah baru di Yogyakarta ditujukan kepada Direktur Dienst der volksgezonheid atau Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Bijlagen: 13 w.o.12 teek No. 37277/D, 1 November 1938). Pada tahun 1941 usulan pembangunan Rumah Sakit Muhammadiyah Yogyakarta disampaikan dari Dinas Bangunan Pemerintah Yogyakarta Surakarta (ANRI, BOW No. AX-66 No.1, 1941). Pembangunan Rumah Sakit Muhammadiyah Yogyakarta bermula dari Rumah Sakit Pembinaan Kesejahteraan Umat (RS PKU) yang awalnya berupa klinik sederhana bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang bertujuan untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi kaum dhuafa. Empat tokoh yang berperan dalam pendirian RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta ialah KH. Sudja’, H. Zaini, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Fakhruddin (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 5 April 2019). Memasuki tahun 1946 pencatatan kesehatan terhadap masyarakat sipil rutin dilakukan sebagaimana terdokumentasikan dalam laporan bulan kesehatan penduduk Mataram tertanggal 27 Mei 1946 no 806/24 yang disampaikan oleh Asisten Residen Lombok kepada kepada Letnan Gubernur di Batavia (Departement van Binnenlandsch Bestuur) atau Pemerintahan Dalam Negeri (Algemene Secretarie No. 1367, 27 Mei 1946). Peran Dokter Pribumi dan Umat Islam Kesehatan merupakan aspek utama dalam kehidupan. Kesehatan lahir maupun batin merupakan dasar bagi setiap masnusia untuk menjalani kehidupan di dunia dengan baik. Aspek kesehatan memiliki ikatan dengan lingkungan, budaya, dan aspek keagamaan dalam kehidupan manusia, demikian halnya perihal kesehatan dan kebersihan menurut pandangan agama Islam. Islam merupakan agama yang menjunjungtinggi kebersihan dan merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk melakukannya sebagaimana diterangkan dalam Hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah Swt baik senang kepada yang baik. Dia bersih/suci, senang kepada kebersihan/kesucian’. Dia berbudi baik. Dia dermawan, senang kepada kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman dan pekaranganmu” (H.R. al-Tirmidzi dari Saad; Hermani dkk, 2017: 28). Hadits ini menganjurkan kepada setiap muslim harus menjaga kebersihan diri, pakaian, minuman, makanan, lingkungan dan lainnya. Hadits ini menjadi bukti bahwa setiap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan kuman bukanlah suatu kutukan melainkan dapat disembuhkan dengan selalu menjaga kebersihan. Pada abad XX permasalahan hygiene masih merajalela di Hindia Belanda. Tahun 19181927 wabah kolera terjadi di Pulau Jawa dan Madura, khususnya di Surabaya. Kolera merupakan penyakit endemik yang disebabkan oleh Vibrio Cholerae, penyakit ini ditandai oleh muntah dan diare yang hebat dengan tinda menyerupai air cucian beras yang sehingga dengan cepat dapat menimbulkan dehidrasi. Cara penularan kolera terjadi melalui minuman atau makanan yang terkontaminasi oleh bibit penyakit. Penularan terjadi dapat langsung melalui orang ke orang atau dapat pula melalui binatang seperti lalat yang hinggap di minuman atau makanan (Arya, 2004: 141). Wabah Kolera di Surabaya sebelum tahun 1918, pernah terjadi tahun 1864 hingga 1869. Tahun 1912 wabah kolera pertama kali muncul di Batavia pada bulan Maret, bulan April muncul di Semarang dan pada 31 Mei masuk wilayah Surabaya. Pasien pertama ditemukan di Rumah Sakit Militer, kemudian menyebar ke seluruh kota Surabaya khususnya yang kawasan penduduk di sepanjang suagai Krambang, Bubutan, Tikungan Kali Mas di Genteng, kayoon dan rumah-rumah sekitar kuburan. Penyebaran wabah kolera saat itu karena dipicu oleh lingkungan penduduk di Jawa Timur yang kumuh, tidak memiliki sanitasi yang baik, mayoritas rumah 81 Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX penduduk terbuat dari bambu, serta air minum yang digunakan penduduk berasal dari Sungai Kali Mas. Air minum dari sungai yang penduduk konsumsi menjadi permasalahan karena kebiasaan penduduk saat itu membuang air besar di sungai yang menyebabkan baksil kolera yang banyak ditemukan dalam kotoran manusia menyebar khususnya kepada penduduk yang tinggal disekitar sungai (Aynul & Wisnu, 2016) Ketidakberhasilan Dokter-dokter Eropa dalam mengkampanyekan hygiene kepada masyarakat pribumi dipengaruhi oleh prasangka kolonial dan kerangka hygiene dan dalam standar Eropa yang seringkali bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi terkait adat dan kebiasaan masyarakat pribumi. Sistem kesehatan (hygiene) yang dipraktekan masyarakat pribumi oleh pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai tindakan berbahaya dan bersifat tradisional. Sehingga pemerintah Hindia Belanda selalu berupaya bahwa kesehatan yang baik adalah sesuai dengan standar kesehatan masyarakat Eropa. Persepsi itu telah menciptakan modernisasi yang dalam perspektif kolonial sebagai upaya perbaikan sistem kesehatan, menjadikan tenaga asisten dokter (hulpgeneesheer) dan asisten Bidan sebagai tenaga pembantu. Pada kenyataannya, hanya golongan tertentu saja yang mempercayai pembaruan sistem kesehatan yang dalam standar Eropa gencar dipromosikan kepada masyarakat pribumi. Pelayanan kesehatan atau promosi hygiene yang dilakukan dokter-dokter Eropa seringkali merepotkan masyarakat pribumi karena lokasi pelayanan kesehatan yang terbatas hanya ada di kota, dan biaya pengobatan yang sangat mahal. Apa yang dilakukan masyarakat pribumi pada saat itu dalam memenuhi kesehatan tubuhnya lebih percaya berobat ke dukun atau kyai karena bisa dibayar murah atau bisa dibayar dengan hasil pertanian yang mereka miliki, atau mereka lebih memilih berdiam di rumah tidak melakukan pengobatan apapun. Misalnya di Cirebon, masyarakat dalam mengobati penyakit mempercayakan pada ramuan herbal. Ramuan-ramuan herbal itu didapatkan dari keluarga atau mengikuti praktek pengobatan yang dilakukan keluarga sultan dengan menggunakan berbagai tumbuhan yang berada di sekitar kesultanan (Emalia, 2020: 114). Pengobatan yang dilakukan masyarakat pribumi pada saat itu didasarkan pada pemahamannya yang berlaku di lokalitas tersebut, dapat dijangkau dan tidak mengganggu keyakinannya. Aspek keyakinan menjadi sangat penting mereka perhatikan di atas prasangka terhadap Bangsa Barat sebagai kafir. Upaya pemenuhan kesehatan termasuk dalam menjalankan kerangka hygiene versi mereka selalu memiliki kaitan dengan praktek budaya leluhur dan tidak mengganggu praktik amalannya dalam beribadah. Praktik budaya dan agama khususnya Islam menjadi pertimbangan penting dalam kaitannya menjalankan praktik kesehatan (hygiene) dikalangan masyarakat pribumi. Memasuki tahun 1930-an para dokter dari kalangan masyarakat pribumi mulai mendapatkan tempat dan menciptakan pengaruh yang besar terkait suksesi hygiene di kalangan penduduk. Tokoh itu adalah Ahmad Ramali, dr. Ahmad Ramali lahir di kota Bonjol pada 20 November 1903. Sejak usia 7 tahun Ia mulai sekolah di Openbare Lagere Europesche School di Bukittinggi. Pada Usia 15 tahun, ia melanjutkan sekolah ke Stovia dan lulus tahun 1928, kemudian Ia bekerja di Rumah Sakit Pemerintah. Kiprah Ahmad Ramali dalam mempromosikan kesehatan yang dikombinasikan dengan nilai-nilai Islam, diantaranya menulis “Bijdrage tot de Midisch- Hygiënische Propaganda in eenige Islamitische streek” yang terdiri dari tujuh bagian tentang kesesuaian antara prinsip-prinsip Islam dengan hygienis. Kemudian, masih ditahun yang sama Ia menerbitkan “Tangkal Pest Jaitoe Persatoean ‘Ilmoe dan Agama Menolak Bahaja Pest.” Kampanye kesehatan yang dilakukan Ahmad Ramali kaitannya dengan ajaran Islam sering dilakukan di Masjid misalnya selepas shalat isya. Menurut Ramali lima prinsip kebersihan kaitannya dengan Islam dapat dimaknai ketika mengangkat dua telapak tangan pada permulaan shalat , lima jari di tangan kanan merupakan “setengah dari iman” yang Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 82 Anas Anwar Nasirin, Linda Sunarti, Wawat Karwiti merupakan simbol dari lima pilar Islam: Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan haji. Telapak tangan kiri , dengan kelima jarinya , merupakan “sisa setengah lainnya dari Iman” yang merupakan simbol dari lima prinsip kebersihan, yang meliputi: hygiene rumah dan halamannya, hygiene pakaian, hygiene tubuh, kebersihan makanan dan minuman , dan kebersihan jiwa (Ramali, 1933; Jaelani, 2017: 91-96). Eksistensi dokter pribumi dari kalangan masyarakat pribumi Muslim yang mampu mengangkat ajaran Islam dalam praktek hygiene merupakan respon terhadap pemerintah Hindia Belanda yang lebih mendukung misi penyebaran agama Nasrani melalui bidang kesehatan dan rumah yatim melalui narasi semangat politik etis. Menjelang Indonesia merdeka sebagaimana keterangan Ahmad Ramali dalam disertasinya berjudul “Peraturan-peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Ajaran Islam” yang dipertahankan terhadap Majelis Guru Besar pada Universitas Negeri Gadjah Mada pada 19 Desember 1950, walaupun sebenarnya ia telah menyelesaikan disertasi tersebut pada pada Desember 1941 dan karena meletusnya Perang Dunia II yang semestinya akan diujikan pada Februari 1942 terpaksa harus ditunda. Pada proses itu Ahmad Ramali sebagai dokter pribumi yang mampu menyambungkan tradisi kedokteran Barat dengan perspektif hukum Islam tidak dilepaskan dari guru-gurunya dari kalangan orang-orang Eropa seperti Prof. Dr. E. W. Walch yang meninggal tahun 1934 dalam suatu kecelakaan pesawat, Prof. Dr. J. E. Dinger, Prof. Dr. G.W.J. Drewes, dan Prof. Dr. G.F Pijper seorang ahli Islam. Kalangan orang-orang pribumi yang berpengaruh terhadap keilmuannya seperti Pangeran Ario Hoesein Djajadiningrat yang mempengaruhinya dalam pengajaran bahasa Arab dan meninggal tahun 1935, Hadji Agoes Salim sebagai guru dan teman diskusi dalam memaknakan ayat-ayat al-Qur’an tahun 1933, dan Seri Paduka Tuanku Salahoeddin, Sultan Bima yang meminjamkan literatur-literatur bahasa Arab dan Islam kepada Ahmad Ramali di Perpustakaan pribadinya (Ramali, 1951: 3-5). Pendirian rumah sakit berbasis agama yang didirikan oleh misionaris dan zending memiliki ikatan langsung dengan para zending di negeri Belanda. Pada akhir abad XIX hingga awal abad XX terdapat tiga rumah sakit berbasis agama Nasrani. Rumah sakit pertama adalah Het Zendingziekiekenhuis Ptronella di Yogyakarta yang diperkasai oleh dr. J.C. Scheurer. Rumah Sakit kedua, Het Zendingziekenhuis Mojowarno di Jombang diprakarsai oleh dr. Bervoets. Rumah Sakit ketiga, Het Zending Ziekenhuis Immanuel di Bandung diperkarsai oleh Zendeling Alkema dan Iken. Ketiga rumah sakit itu membentuk jaringan kesehatan zending dengan mendirikan rumah-rumah sakit pembantu dan poliklinik di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat (Siregar, 1978: 175-201; Uddin, 2004: 119). Praktek Rumah Sakit tersebut dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak mengenal perbedaan-perbedaan yang sebelumnya menjadi dasar klasifikasi penduduk Hindia Belanda, membuka diri bagi masyarakat Islam, Animisme, orang Timur, Budhis dan aliran keagamaan lainnya. Demikian, pendirian Rumah Yatim Piatu saat itu dikelola oleh Gereja dengan tujuan untuk untuk merawat anakanak yang ditinggalkan orang Eropa dengan para Nyai. Ketika anak-anak itu ditinggalkan maka dititipkan kepada pihak Gereja untuk membaptisnya. Rumah Yatim pertama didirikan di Semarang tahun 1809, kemudian di Batavia tahun 1856, di Surabaya tahun 1862, Selanjutnya pembangunan rumah yatim dilakukan di Bogor, Magelang, Malang, dan Madiun (Padmo, 2004: 27). Kebangkitan masyarakat pribumi Muslim dalam mengembangkan kesehatan dan hygiene selain memunculkan Ahmad Ramali juga ditopang oleh pergerakan organisasi pergerakan Islam yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah sejak masa pendiriannya oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan tahun 1912 memiliki semangat untuk menyebarluaskan pengajaran agama Islam Kanjeng Nabi 83 Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera khususnya di residensi Yogyakarta. Pada perkembangannya untuk mensejahterakan dan menjamin kesehatan masyarakat dengan mendirikan amal usaha bidang kesehatan yang diberi nama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kemudian menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). PKO atau PKU ini merupakan cikal bakal berdirinya Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta (Azahar, 2005). Pendirian RS PKU Muhammadiyah yang pada mulanya dicetuskan oleh KH. Sudja’ kepada KH. Ahmad Dahlan melahirkan tiga gagasan penting, yaitu: Rumah Sakit, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan. Impian pendirian Rumah Sakit merupakan inspirasi dari ajaran KH. Ahmad Dahlan dan teologi Al-Maún. Teologi Al-Maún terkait visi pemenuhan kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, sandang dan papan sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Al-Maún hendaknya seorang Muslim mampu mengembangkan sistem sosial-ekonomi, mengatasi ketimpangan kemampuan produksi dan pemanfaatan peluang usaha (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 5 April 2019). Pada tanggal 15 Februari 1923 klinik dan poliklinik Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Muhammadiyah berlokasi di Kampung Jagang Notoprajan No. 72 Yogyakarta. Tahun 1928 klinik dan poliklinik PKO Muhammadiyah pindah ke Jalan Ngabean No. 12 B Yogyakarta, tahun 1936 klinik dan poliklinik PKO Muhammadiyah ke Jalan K.H. Dahlan No. 20 Yogyakarta, dan pada 1970-an klinik dan poliklinik berubah status menjadi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta (Humas RS PKU Yogyakarta, 2022). Kiprah Ahmad Ramali dan organisasi Muhammadiyah dalam pengembangan kesehatan dan suksesi program hygiene menjadi bukti bahwa pengajaran agama islam yang menitikberatkan untuk terpenuhinya kebersihan diri (Thaharah) bukan hanya sebatas formalitas ritual keagamaan. Perintah tersebut menjadi bukti bahwa definisi dari mengimani adalah diyakini dalam hati, diucapkan oleh lisan dan dilakukan oleh segenap anggota tubuh dalam ikhwal ikhtiar. Ikhtiar dalam rangka menjalankan ajaran Islam dan rangkaian hygiene yang sebagaimana diperkenalkan oleh para dokter dari Eropa mampu mempertemukan pendidikan dokter versi Barat dengan aturan agama Islam. Implementasi kebersihan yang diperkenalkan Ramali misalnya dalam upaya kebersihan rumah dan halaman dilakukan dengan mencegah berkembangnya bibit nyamuk, tikus dan kutu-kutunya yang merupakan penyebab timbulnya penyakit malaria, tipes dan pest. Untuk terciptanya udara yang segar yaitu menjauhkan sampah busuk dan air tergenang. Kebersihan makanan dan minuman dapat mencegah munculnya penyakit perut seperti tifus, kolera, disentri, dan penyakit cacing. Hal itu dilakukan dengan cara mengkonsumsi air yang dimasak terlebih dahulu dan menjauhkannya dari sentuhan lalat. Kesucian Jiwa dalam kerangka hygiene nomor lima bisa dicapai dengan Sholat dan puasa. Shalat merupakan pondasi dasar dalam agama Islam, praktek shalat dan gerakan-gerakannya merangkum kesatuan antara keseimbangan aspek spiritual dan material dalam hidup. Selanjutnya, prinsip kebersihan (alfithrah) dalam Islam meliputi berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencukur bulu ketiak. Selanjutnya, Ramali selain menekankan aspekaspek nilai keagamaan juga nilai-nilai budaya, seperti dalam pepatah melayu “kebersihan adalah pangkal kesehatan” yang memiliki keserasian dengan kaidah agama yaitu, “kesehatan tubuh merupakan dasar dari kesehatan agama” (Ramali, 1933a: 1399: Jaelani, 2017: 93-96). KESIMPULAN Dinamika perspektif negara kolonial terhadap tanah dan bangsa Jajahan selalu menciptakan serangkaian kebijakan yang tujuannya untuk memberi bukti, bahwa negara induk adalah beradab dan mengambil keuntungan melalui perspektif itu dari tanah dan bangsa yang dijajah. Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 84 Anas Anwar Nasirin, Linda Sunarti, Wawat Karwiti Kebijakan politik etis pada abad XX yang menekankan pada program irigasi, edukasi dan imigrasi telah memberikan pencerahan dan menjawab segala pertentangan prangsaka kolonial terhadap penduduk pribumi ataupun kekhawatiran penduduk pribumi terhadap pemerintah kolonial dan segenap kebijakannya. Pencerahan dan pertentangan itu sebagaimana dalam artikel ini terjadi terhadap permasalahan hygiene di Pesantren dan penduduk Hindia Belanda serta peran dokter pribumi dan umat Islam dalam mensukseskan program hygiene di Hindia Belanda. Pencerahan itu terjadi melalui program pendidikan yang mampu melahirkan putra pribumi dari kalangan masyarakat Muslim melalui serangkaian pendidikan kedokteran Barat, pondasi kuat akan tradisi dan budaya, serta berpegang teguh terhadap ajaran Islam menjadi jalan damai khususnya dalam kemampuan mengembangkan dan mensukseskan program hygiene di Hindia Belanda. Ilmu telah menjadi petunjuk sebagaimana kiprah Ahmad Ramali dalam meluruskan perspektif yang keliru dan membuka tabir kebenaran dalam kerangka hygiene terhadap kemaslahatan umat. Demikian, kiprah Kiai Haji Ahmad Dahlan menjadi inspirasi melalui gerakan Muhammadiyah atas kepeduliannya kepada sesama bangsa dan agama melalui peran Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang kemudian menjadi Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) telah menjadi wadah yang mensejahterakan, menyehatkan dan memberikan keteladanan bagi umat Islam khususnya dan umumnya Bangsa Indonesia. REFERENSI Arsip Nasional Republik Indonesia. 27 Mei 1946. Algemene Secretarie tentang laporan Bulanan Kesehatan Penduduk Mataram. No. 1367 (F). Arsip Nasional Republik Indonesia. 1941. Surat Kepala Dinas Bangunan Pemerintah Yogyakarta Surakarta Tentang Pembangunan Rumah Sakit Muhammadiyah di Yogyakarta. No. AX-66 No. 1. Arsip Nasional Republik Indonesia. 1 November 1938. Bijlagen: 13 w.o.12 teek tentang Usulan Perubahan Desain Rumah Sakit Muhammadiyah Baru di Yogyakarta. No. 37277/D. Arsip Nasional Republik Indonesia 28 Mei 1915. Algemene Secretarie Besluit tentang Pembangunan Gedung Rehabilitasi Epidemi di Sukabumi. No. 20. Arya, Wisnu. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Yogyakarta: Andi Offset. Aynul, M., & Wisnu. (2016). Wabah Kolera Di Jawa Timur Tahun 1918-1927. AVATARA, eJournal Pendidikan Sejarah, 4(3), 892–901. Emalia, I. (2020). Wabah Tifus di Cirebon Masa Hindia Belanda : Kebijakan Pemerintah dan Solusi Sehat Masyarakat. Jurnal Sejarah, 3(1), 111–115. https://doi.org/10.26639/js.v3i1.258 Husain, N., & Pranata, H. (2023). GORONTALO WOMEN ’ S BE ’ ATI ( BAI ’ AT ): The Perspective of History , Culture and Islamic Law. 33, 174–200. Jaelani, G. A. (2017a). Islam dan Persoalan Higiene di Hindia Belanda. Jurnal Sejarah, 1(1), 82– 104. http://jurnal.masyarakatsejarawan.or.id/index.php/js/article/view/49 Jaelani, G. A. (2017b). Islam dan Persoalan Higiene di Hindia Belanda Ajaran Islam dalam Pandangan Dokter : Pidato Van der Stok di. Jurnal Sejarah, 1(1), 82–104. https://doi.org/10.26639/js.v1i1.49 Nasirin, A. A., & Mahzuni, D. (2021). The Existence of Bojongmenje Temple: the Collapse of Tarumanegara Kingdom and the Establishment of Sunda Kingdom (Viii-X Century). Jurnal Walennae, 19(1), 11–22. https://doi.org/10.24832/wln.v19i1.426 Sabila, I., & Sa’diyah, M. (2021). Hubungan Pemahaman Materi Thaharah dengan Kebiasaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Siswa di MTs Darul Muttaqien, Bogor. ALMURABBI: Jurnal Studi Kependidikan Dan Keislaman, 7(2), 163–170. 85 Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 Masalah Hygiene Di Pesantren Pada Masa Hindia Belanda XIX-XX https://doi.org/10.53627/jam.v7i2.4255 Slamet Untung, M. (2013). Kebijakan Penguasa Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Pesantren. Forum Tarbiyah, 11(9), 1–13. Stern, A. M., & Markel, H. (2009). Commentary: Disease etiology and political ideology: Revisiting Erwin H Ackerknecht’s Classic 1948 Essay, “Anticontagionism between 1821 and 1867.” International Journal of Epidemiology, 38(1), 31–33. https://doi.org/10.1093/ije/dyn255 Uddin, B. (2004). Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jawa pada Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20. In Lembaran Sejarah (Vol. 7, Issue 1, pp. 101–124). Uddin, B. ’. (2006). Dari Mantri Hingga Dokter Jawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial Dalam Penanganan Penyakit Cacar Di Jawa Abad Xix-Xx. Humaniora, 18(3), 296. Yanti, Indah. 2009. Dienst der Volksgezondheid dan Propaganda Kesehatan di Banyumas 19251930. Skripsi. Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization Volume 04 Nomor 01 Tahun 2023, Hlm. 72-86 86