Nama : Tomihendra Saputra
NIM : 2401414005
Rombel :
Resume Sejarah Seni Rupa Mancanegara
( Mesir Kuno/Purba )
Peta Mesir Kuno, menunjukkan kota dan situs utama pada periode dinasti
(c. 3150 SM hingga 30 SM)
Mesir Purba (Kuno) adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika.
- Budaya Mesir Kuno berkembang dan terpusat di sepanjang lembah S Nil dimulai sekitar 3150 SM, dan berkembang selama 3 milenium di bawah kekuasaan Firaun.
o S. Nil adalah lambang dari kehidupan bagi Bangsa Mesir
o Daerah/lembah S Nil merupakan daerah yang sangat subur
- Mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru, dan berakhir pada sekitar 31 SM saat kekuasaan Firaun ditaklukkan Kekaisaran Romawi dan wilayah Mesir Ptolemeus menjadi bagian dari provinsi Romawi, yang menandai berakhirnya perkembangan peradaban merdeka Mesir.
- Herodotus (penulis pada sekitar 2.000 tahun lalu) mengatakan bahwa: Bangsa Mesir merupakan bangsa yang tak tertandingi dalam hal rasa keagamaan dan karya ciptanya
Peradaban Mesir Kuno
Didasari: pengendalian keseimbangan antara sumber daya alam dan manusia, yang ditandai terutama oleh:
- irigasi teratur terhadap Lembah Nil dan membangun dam untuk menahan banjir
- menciptakan karya arsitektur dan seni rupa yang mengagumkan
- pendayagunaan mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
- perkembangan sistem tulisan dan sastra;
- organisasi proyek kolektif;
- perdagangan dengan wilayah Afrika Timur dan Tengah serta Mediterania Timur; serta
- kegiatan militer yang menunjukkan kekuasaan terhadap kebudayaan negara/suku bangsa tetangga pada beberapa periode berbeda.
Pencapaian-pencapaian peradaban Mesir Kuno:
- teknik pembangunan monumen seperti piramida, kuil, dan obelisk;
- pengetahuan matematika;
- teknik pengobatan;
- sistem irigasi dan agrikultur;
- kapal pertama yang pernah diketahui;
- teknologi tembikar glasir bening dan kaca;
- seni dan arsitektur yang baru;
- sastra Mesir Kuno;
- dan traktat perdamaian pertama yang pernah diketahui.
Warisan peradaban Mesir yang abadi.
- Hasil budayanya (Seni dan arsitekturnya) bersifat monumental dan menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi seniman dunia selama berabad-abad.
Sosial dan Budaya
- Masyarakat Mesir Kuno terdiri dari kelompok/tingkatan kelas berdasarkan status sosial.
- Wanita dan pria kelas elit menggunakan wig, perhiasan, dan kosmetik.
- Anak-anak tidak berpakaian hingga dewasa (sekitar 12 tahun, saat laki-laki disunat dan dicukur).
- Firaun adalah raja yang berkuasa penuh atas negara dan memegang kendali atas semua tanah dan sumber dayanya.
- Juru tulis dan pejabat (kelas kulit putih yang menggunakan linen berwarna putih) memiliki strata tertinggi.
- Adanya perbudakan
- Sebagian besar masyarakat adalah petani.
- Menghargai penampilan dan kebersihan tubuh.
- Pakaian dibuat dengan linen sederhana yang diberi warna putih.
- Rumah terbuat dari tanah liat .
Agama dan kepercayaan
- Percaya terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah kematian.
- Dewa memiliki kekuatan supernatural dan dimintai perlindungan
- Dewa tidak selalu baik sehingga perlu diberi sesajen agar tidak marah.
- Struktur dewa dapat berubah, tergantung siapa yang berkuasa.
- Setiap manusia terdiri dari fisik dan spiritual.
- Manusia juga memiliki šwt (bayangan), ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan nama.
- Sejak lahir, seseorang ditemani oleh dirinya yang lain, yang dikenal dengan nama Ka, yang setelah tubuh mati dapat mendiami dan tetap hidup pada jenazah. Agar Ka dapat hidup aman, maka jenazah harus tetap awet dan utuh (mummi)
- Jantung merupakan pusat dari pikiran dan emosi.
- Setelah kematian, roh (jiwa) akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak sesuka hati, dan butuhkan tubuh/fisik (yang digantikan dengan patung) sebagai tempat untuk pulang.
- Tujuan utama yang meninggal adalah menyatukan kembali ka dan ba dan menjadi "arwah yang diberkahi."
Dewa-dewa bangsa Mesir
1. Ra (Re atau Amun-Ra) adalah dewa Matahari Mesir Kuno. Ra juga dianggap sebagai dewa tertinggi dalam kebudayaan Mesir Kuno. Dalam salah satu dari banyak perwujudannya, Ra digambarkan berkepala rajawali dan mengenakan mahkota cakram matahari
2. Hathor (istri Horus) merupakan dewi langit, cinta, kecantikan, keibuan, negeri asing, pertambangan, dan musik. Nama hathor berarti rumah dari kebijaksanaan. Hathor dianggap sebagai ibu dari Isis, sehingga ada mirip dengan Isis.
3. Osiris ialah dewa maut Mesir Kuno, dalam beberapa literatur mesir kuno, ia disebut juga dengan: Asar, Asari, Aser, Ausar, Ausir, Wesir, Usir, Usire orAusare.
4. Dewi Isis adalah Dewi ibu, sihir dan kesuburan istri dewa Osiris digambarkan sebagai perempuan yang mengenakan mahkota berbentuk tahta; kadang mengenakan sayap burung.
5. Dewa Set (juga ditulis Seth, Setesh, Sutekh, Setekh atau Suty) adalah dewa gurun, badai, dan orang asing dalam agama Mesir kuno. Dalam mitos selanjutnya ia juga adalah dewa kegelapan, dan kekacauan. Set digambarkan sebagai hewan yang langsing dan anggun, dijuluki oleh Egyptolog sebagai Hewan Set atau Binatang Topan. Binatang Topan ini memiliki moncong yang melengkung, telinga persegi, ekor seperti garpu, dan tubuh seperti anjing; kadang digambarkan sebagai manusia berkepala hewan
6. Dewi Nut (kadang disebut Nuit, Newet, dan Neuth) adalah dewi langit. Dewi Nut dianggap salah satu dewi paling tua dalam pantheon Mesir
7. Nephthys adalah Dewi Perkabungan dan Ratapan digambarkan sebagai perempuan muda, mengenakan mahkota berbentuk rumah dan keranjang
8. Dewa Anubis dalam kepercayaan Mesir Kuna dianggap sebagai dewa kematian dengan wujud kepala anjing dan badan manusia. Anubis adalah nama untuk dewa berkepala anjing yang berhubungan dengan mumi dan kehidupan setelah kematian pada mitologi Mesir.
9. Horus adalah salah satu dewa paling penting dalam agama Mesir Kuna, ia dipuja sejak kurun pra-dinasti hingga masa Yunani danRomawi. Bentuk perwujudan paling awal dari Horus adalah Rajawali yang merupakan dewa pelindung Nekhen di Mesir Atas dan juga merupakan salah satu dewa nasional pertama Mesir. Dewa ini secara khusus dikaitkan dengan raja (firaun) yang ketika hidup dianggap sebagai manifestasi Horus di muka bumi dan sebagai Osiris ketika sudah wafat.
Tujuan hidup bangsa Mesir
Mempersiapkan keamanan dan kebahagian hidup sesudah mati, sehingga:
- lebih mementingkan bangunan kuburannya dari pada tempat tinggalnya
- raja dianggap sebagai dewa, sehingga kuburannya dibuat dengan megah dari bahan yang tahan lama.
Adat pemakaman
- Orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman untuk menjamin keabadian setelah kematian.
- Berbagai kegiatan dalam adat ini adalah: proses mengawetkan tubuh melalui mumifikasi.
- Awalnya mayat dimakamkan di dalam lubang gurun, yang secara alami akan mengawetkan mayat melalui proses pengeringan.
- Orang kaya dikubur di kuburan batu, dan melakukan mumifikasi buatan (dengan mencabut organ internal, membungkus tubuh menggunakan kain, dan meletakkan mayat ke dalam sarkofagus)
- Pada permulaan dinasti keempat, bagian tubuh mulai diawetkan secara terpisah dalam toples kanopik.
- Pada periode Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan seni mumifikasi melalui proses pengeluaran organ internal, pengeluaran otak melalui hidung, dan pengeringan tubuh menggunakan campuran garam yang disebut natron.
- Orang kaya dikuburkan dengan jumlah barang mewah sebagai bekal almarhum, disertai buku kematian dan patung shabti yang dipercaya akan membantu pekerjaan mereka di akhirat.
Perkembangan sejarah Mesir Purba
Periode Pradinasti (5000 atau 4400 hingga 4000 SM)
- Dua Peradaban yang maju: peradaban Badari di Mesir Utara dan Naqada di Mesir Selatan,
- Mata pencaharian utama: perburuan, pertanian dan peternakan.
- Dapat menghasilkan tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik.
- Menghasilkan tembikar yang dicat, vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, pelat kosmetik, dan perhiasan dari emas, lapis, dan gading.
- Mengembangkan glasir keramik yang disebut tembikar glasir bening.
- Menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk menulis bahasa Mesir kuno.
Periode Dinasti Awal
- Penyatuan (unifikasi) kerajaan Mesir Hulu dan Hilir (3200 SM), yang digambarkan tanda kebesaran kerajaan berupa pelat Narmer
- Peningkatan kekuasaan dan kekayaan Firaun yang dilambangkan melalui mastaba (makam yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat di Abydos, yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya).
Mastaba:
- Mastaba (=meja dalam bhs Arab): bangunan dari batu berbentuk piramid terpotong, dibangun di atas ruang kuburan bawah tanah, yang dihubungkan dengan dunia luar oleh lorong vertikal.
- Bangunan yang “beratap” datar, berbentuk balok dengan sisi-sisi yang miring, terbuat dari batuan tanah liat, dan merupakan tipe kuburan standar pada masa awal Mesir
- Mastaba merupakan situs pemakaman raja Dinasti Ketiga (Djoser), atau tokoh Mesir Kuno terkenal.
- Mastaba diperluas struktur dasarnya menjadi berbentuk bujur sangkar, lalu membangun struktur yang mirip dengan mastaba, tapi lebih kecil yang berbentuk bujur sangkar di atasnya, dan kemudian menambahkan struktur bujur sangkar keempat, kelima, dan keenam di atasnya lagi, yang disebut Piramida Bertingkat.
- Mastaba adalah cikal bakal dari Piramida.
Periode Menengah Pertama Mesir
- Munculnya pemakaman yang lebih besar dan baik di antara kelas-kelas sosial lainnya.
- Kreativitas meningkatnya: perajin menerapkan dan mengadaptasi motif-motif budaya
- Adanya kesejahteraan dan kestabilan negara, membangkitkan seni, sastra, dan proyek pembangunan monumen.
Periode Menengah Kedua dan Hyksos (1650 SM)
Kerajaan Baru
Masa kekuasaannya yang berhasil dibuktikan oleh kuil kamar mayat yang elegan, pasangan obelisk kolosal, dan kapel di Karnak.
Periode Menengah Ketiga
Periode Akhir (653 SM)
Dinasti Ptolemeus
- Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung menaklukan Mesir
- Budaya Yunani tidak menggantikan budaya asli Mesir.
- Dinasti Ptolemeus mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat.
- Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir disinkretiskan sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis).
- Bentuk skulpturYunani Kuno juga memengaruhi motif-motif tradisional Mesir.
Arsitektur Mesir Purba/Kuno
Proyek pembangunan dikelola dan didanai oleh pemerintah untuk tujuan religius, sebagai bentuk peringatan untuk menunjukkan kekuasaan firaun.
Bangunan Mesir Purba:
Dibangun dari batu dengan peralatan sederhana namun efektif, dengan tingkat akurasi dan presisi yang tinggi.
Arsitektur makam tertua adalah mastaba
- struktur persegi panjang dengan atap datar yang terbuat dari batu dan bata, yang dibangun untuk menutupi ruang bawah tanah untuk menyimpan mayat.
Bangunan rumah
- Rumah kalangan elit maupun masyarakat biasa dibuat dari bahan yang mudah hancur seperti batu bata dan kayu.
- Kaum tani tinggal di rumah sederhana.
- Rumah kaum elit memiliki struktur yang rumit, tembok dan lantai yang dipenuhi hiasan dengan gambar pemandangan yang indah.
Bangunan kuil
- Dibuat dengan batu agar dapat bertahan lama.
- Kuil-kuil tertua terdiri dari ruang tunggal tertutup dengan atap yang didukung oleh pilar.
- Pada Kerajaan Baru, ditambahkan halaman terbuka, dan ruangan hypostyle
Karya Seni Rupa Mesir Kuno yang paling terkenal antara lain :
- Piramida Giza
- Bangunan kuil, khususnya kuil di Thebes.
- Obelisk
- Seni Patung: Patung Sfinks, patung dewa, dan patung Fir’aun
- Seni Relief
- Seni lukis
Di kutip / Sumberdari Hand Out Sejarah Seni Rupa Mancanegara.
( Sumber tambahan ada di bawah di ambil dari internet http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno )
Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat di sepanjang hilir sungai Nil. Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir sekitar 3150 SM,[1] dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium. Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil, masing-masing diantarai oleh periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami kemunduran. Mesir ditaklukan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemeus sebagai bagian dari provinsi Romawi. Meskipun ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di lembah sungai Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban merdeka Mesir.
Peradaban Mesir Kuno didasari atas pengendalian keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh:
irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
pendayagunaan mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
perkembangan sistem tulisan dan sastra;
organisasi proyek kolektif;
perdagangan dengan wilayah Afrika Timur dan Tengah serta Mediterania Timur; serta
kegiatan militer yang menunjukkan kekuasaan terhadap kebudayaan negara/suku bangsa tetangga pada beberapa periode berbeda.
Pengelolaan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh penguasa sosial, politik, dan ekonomi, yang berada di bawah pengawasan sosok Firaun.[3][4]
Pencapaian-pencapaian peradaban Mesir Kuno antara lain: teknik pembangunan monumen seperti piramida, kuil, dan obelisk; pengetahuan matematika; teknik pengobatan; sistem irigasi dan agrikultur; kapal pertama yang pernah diketahui;[5] teknologi tembikar glasir bening dan kaca; seni dan arsitektur yang baru; sastra Mesir Kuno; dan traktat perdamaian pertama yang pernah diketahui.[6] Mesir telah meninggalkan warisan yang abadi. Seni dan arsitekturnya banyak ditiru, dan barang-barang antik buatan peradaban ini dibawa hingga ke ujung dunia. Reruntuhan-reruntuhan monumentalnya menjadi inspirasi bagi pengelana dan penulis selama berabad-abad.
Sejarah
Daftar Dinasti
pada zaman Mesir Kuno
Periode Predinastik
Periode Protodinastik
Periode Dinasti Awal
ke-1 ke-2
Kerajaan Lama
ke-3 ke-4 ke-5 ke-6
Periode Menengah Pertama
ke-7 ke-8 ke-9 ke-10
ke-11 (hanya Thebes)
Kerajaan Pertengahan
ke-11 (seluruh Mesir)
ke-12 ke-13 ke-14
Periode Menengah Kedua
ke-15 ke-16 ke-17
Kerajaan Baru
ke-18 ke-19 ke-20
Periode Menengah Ketiga
ke-21 ke-22 ke-23
ke-24 ke-25
Periode Akhir
ke-26
ke-27 (Periode Persia Pertama)
ke-28 ke-29 ke-30
ke-31 (Periode Persia Kedua)
Periode Yunani-Romawi
Alexander Agung
Dinasti Ptolemeus
Mesir Romawi
Serbuan Arab
Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi urat nadi kehidupan Mesir. Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.
Periode Pradinasti
Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada saat ini. Sebagian wilayah Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas-unggas air. Perburuan merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini, banyak hewan yang didomestikasi.
Guci pada periode pradinasti.
Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar di antara peradaban-peradaban awal adalah Badari di Mesir Hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.
Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia, yang menunjukkan beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukkan adanya hubungan antara Gerzia dengan Kanaan dan pantai Byblos.
Sementara itu, di Mesir Selatan, peradaban Naqada, mirip dengan Badari, mulai memperluas kekuasaannya di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 4000 SM. Sejak masa Naqada I, orang Mesir pra dinasti mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda lain yang terbuat dari flake. Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang dari masyarakat pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka berkuasa penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil. Setelah mendirikan pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III memperluas kekuasaan mereka ke utara.
Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang menunjukkan peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya - seperti tembikar yang dicat, vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, pelat kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari emas, lapis, dan gading. Mereka juga mengembangkan glasir keramik yang dikenal dengan nama tembikar glasir bening. Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk menulis bahasa Mesir kuno.
Periode Dinasti Awal
Pelat Narmer menggambarkan penyatuan Mesir Hulu dan Hilir
Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, Manetho, mengelompokan garis keturunan firaun yang panjang dari Menes ke masanya menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari ini. Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau Menes dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan Hilir (sekitar 3200 SM). Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih bertahap, berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan tidak ada catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini meyakini bahwa figur "Menes" mungkin merupakan Narmer, yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada pelat Narmer yang merupakan simbol unifikasi.
Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka terhadap Mesir hilir dengan mendirikan ibukota di Memphis. Dengan ini, firaun dapat mengawasi pekerja, pertanian, dan jalur perdagangan ke Levant yang penting dan menguntungkan.. Peningkatan kekuasaan dan kekayaan firaun pada periode dinasti awal dilambangkan melalui mastaba (makam) yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat di Abydos, yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya. Institusi kerajaan yang kuat dikembangkan oleh firaun untuk mengesahkan kekuasaan negara atas tanah, pekerja, dan sumber daya alam, yang penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir kuno.
Kerajaan Lama
Patung firaun Menkaura di Boston Museum of Fine Arts.
Kemajuan dalam bidang arsitektur, seni, dan teknologi dibuat pada masa Kerajaan Lama. Kemajuan ini didorong oleh meningkatnya produktivitas pertanian, yang dimungkinkan karena pemerintahan pusat dibina dengan baik. Di bawah pengarahan wazir, pejabat-pejabat negara mengumpulkan pajak, mengatur proyek irigasi untuk meningkatkan hasil panen, mengumpulkan petani untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan, dan menetapkan sistem keadilan untuk menjaga keamanan. Dengan sumber daya surplus yang ada karena ekonomi yang produktif dan stabil, negara mampu membiayai pembangunan proyek-proyek kolosal dan menugaskan pembuatan karya-karya seni istimewa. Piramida yang dibangun oleh Djoser, Khufu, dan keturunan mereka, merupakan simbol peradaban Mesir Kuno yang paling diingat.
Seiring dengan meningkatnya kepentingan pemerintah pusat, muncul golongan juru tulis (sesh) dan pejabat berpendidikan, yang diberikan tanah oleh firaun sebagai bayaran atas jasa mereka. Firaun juga memberikan tanah kepada struktur-struktur kultus kamar mayat dan kuil-kuil lokal untuk memastikan bahwa institusi-institusi tersebut memiliki sumber daya yang cukup untuk memuja firaun setelah kematiannya. Pada akhir periode Kerajaan Lama, lima abad berlangsungnya praktik-praktik feudal pelan-pelan mengikis kekuatan ekonomi firaun. Firaun tak lagi mampu membiayai pemerintahan terpusat yang besar. Dengan berkurangnya kekuatan firaun, gubernur regional yang disebut nomark mulai menantang kekuatan firaun. Hal ini diperburuk dengan terjadinya kekeringan besar antara tahun 2200 hingga 2150 SM, sehingga Mesir Kuno memasuki periode kelaparan dan perselisihan selama 140 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama Mesir.
Periode Menengah Pertama Mesir
Setelah pemerintahan pusat Mesir runtuh pada akhir periode Kerajaan Lama, pemerintah tidak lagi mampu mendukung atau menstabilkan ekonomi negara. Gubernur-gubernur regional tidak dapat menggantungkan diri kepada firaun pada masa krisis. Kekurangan pangan dan sengketa politik meningkat menjadi kelaparan dan perang saudara berskala kecil. Meskipun berada pada masa yang sulit, pemimpin-pemimpin lokal, yang tidak berhutang upeti kepada firaun, menggunakan kebebasan baru mereka untuk mengembangkan budaya di provinsi-provinsi. Setelah menguasai sumber daya mereka sendiri, provinsi-provinsi menjadi lebih kaya. Fakta ini dibuktikan dengan adanya pemakaman yang lebih besar dan baik di antara kelas-kelas sosial lainnya.Dengan meningkatnya kreativitas, pengrajin-pengrajin provinsial menerapkan dan mengadaptasi motif-motif budaya yang sebelumnya dibatasi oleh Kerajaan Lama. Juru-juru tulis mengembangkan gaya yang melambangkan optimisme dan keaslian periode.
Bebas dari kesetiaan kepada firaun, pemimpin-pemimpin lokal mulai berebut kekuasaan. Pada 2160 SM, penguasa-penguasa di Herakleopolis menguasai Mesir Hilir, sementara keluarga Intef di Thebes mengambil alih Mesir Hulu. Dengan berkembangnya kekuatan Intef, serta perluasan kekuasaan mereka ke utara, maka pertempuran antara kedua dinasti sudah tak terhindarkan lagi. Sekitar tahun 2055 SM, tentara Thebes di bawah pimpinan Nebhepetre Mentuhotep II berhasil mengalahkan penguasa Herakleopolis, menyatukan kembali kedua negeri, dan memulai periode renaisans budaya dan ekonomi yang dikenal sebagai Kerajaan Pertengahan.
Kerajaan Pertengahan
Amenemhat III, penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan.
Firaun Kerajaan Pertengahan berhasil mengembalikan kesejahteraan dan kestabilan negara, sehingga mendorong kebangkitan seni, sastra, dan proyek pembangunan monumen.
Mentuhotep II dan sebelas dinasti penerusnya berkuasa dari Thebes, tetapi wazir Amenemhat I, sebelum memperoleh kekuasaan pada awal dinasti ke-12 (sekitar tahun 1985 SM), memindahkan ibukota ke Itjtawy di Oasis Faiyum.[34] Dari Itjtawy, firaun dinasti ke-12 melakukan reklamasi tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, tentara kerajaan berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan emas di Nubia, sementara pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta Timur, yang disebut "tembok-tembok penguasa", sebagai perlindungan dari serangan asing.[35]
Maka populasi, seni, dan agama negara mengalami perkembangan. Berbeda dengan pandangan elitis Kerajaan Lama terhadap dewa-dewa, Kerajaan Pertengahan mengalami peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Selain itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan sebagai demokratisasi setelah akhirat; setiap orang memiliki arwah dan dapat diterima oleh dewa-dewa di akhirat.[36] Sastra Kerajaan Pertengahan menampilkan tema dan karakter yang canggih, yang ditulis menggunakan gaya percaya diri dan elok,[31] sementara relief dan pahatan potret pada periode ini menampilkan ciri-ciri kepribadian yang lembut, yang mencapai tingkat baru dalam kesempurnaan teknis.
Penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan, Amenemhat III, memperbolehkan pendatang dari Asia tinggal di wilayah delta untuk memenuhi kebutuhan pekerja, terutama untuk penambangan dan pembangunan. Penambangan dan pembangunan yang ambisius, ditambah dengan meluapnya sungai Nil, membebani ekonomi dan mempercepat kemunduran selama masa dinasti ke-13 dan ke-14. Semasa kemunduran, pendatang dari Asia mulai menguasai wilayah delta, yang selanjutnya mulai berkuasa di Mesir sebagai Hyksos.
Periode Menengah Kedua dan Hyksos
Sekitar tahun 1650 SM, seiring dengan melemahnya kekuatan firaun Kerajaan Pertengahan, imigran Asia yang tinggal di kota Avaris mengambil alih kekuasaan dan memaksa pemerintah pusat mundur ke Thebes. Di sanam firaun diperlakukan sebagai vasal dan diminta untuk membayar upeti.[39] Hyksos ("penguasa asing") meniru gaya pemerintahan Mesir dan menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Maka elemen Mesir menyatu dengan budaya Zaman Perunggu Pertengahan mereka.
Setelah mundur, raja Thebes melihat situasinya yang terperangkap antara Hyksos di utara dan sekutu Nubia Hyksos, Kerajaan Kush, di selatan. Setelah hampir 100 tahun mengalami masa stagnansi, pada tahun 1555 SM, Thebes telah mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk melawan Hyksos dalam konflik selama 30 tahun.[39] Firaun Seqenenre Tao II dan Kamose berhasil mengalahkan orang-orang Nubia. Pengganti Kamose, Ahmose I, berhasil mengusir Hyksos dari Mesir. Selanjutnya, pada periode Kerajaan Baru, kekuatan militer menjadi prioritas utama firaun agar dapat memperluas perbatasan Mesir dan menancapkan kekuasaan atas wilayah Timur Dekat.[41]
Wilayah terluas Mesir Kuno (abad ke-15 SM).
Kerajaan Baru
Firaun-firaun Kerajaan Baru berhasil membawa kesejahteraan yang tak tertandingi sebelumnya. Perbatasan diamankan dan hubungan diplomatik dengan tetangga-tetangga diperkuat. Kampanye militer yang dikobarkan oleh Tuthmosis I dan cucunya Tuthmosis III memperluas pengaruh firaun ke Suriah dan Nubia, memperkuat kesetiaan, dan membuka jalur impor komoditas yang penting seperti perunggu dan kayu.[42] Firaun-firaun Kerajaan juga memulai pembangunan besar untuk mengangkat dewa Amun, yang kultusnya berbasis di Karnak. Para firaun juga membangun monumen untuk memuliakan pencapaian mereka sendiri, baik nyata maupun imajiner. Firaun perempuan Hatshepsut menggunakan propaganda semacam itu untuk mengesahkan kekuasaannya.[43] Masa kekuasaannya yang berhasil dibuktikan oleh ekspedisi perdagangan ke Punt, kuil kamar mayat yang elegan, pasangan obelisk kolosal, dan kapel di Karnak.
Patung Ramses II di pintu masuk kuil Abu Simbel.
Sekitar tahun 1350 SM, stabilitas Kerajaan Baru terancam ketika Amenhotep IV naik tahta dan melakukan reformasi yang radikal dan kacau. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten. Akhenaten memuja dewa matahari Aten sebagai dewa tertinggi. Ia lalu menekan pemujaan dewa-dewa lain.[44] Akhenaten juga memindahkan ibukota ke kota baru yang bernama Akhetaten (kini Amarna). Ia tidak memperdulikan masalah luar negeri dan terlalu asyik dengan gaya religius dan artistiknya yang baru. Setelah kematiannya, kultus Aten segera ditinggalkan, dan firaun-firaun selanjutnya, yaitu Tutankhamun, Ay, dan Horemheb, menghapus semua penyebutan mengenai bidaah Akhenaten.[45]
Ramses II naik tahta pada tahun 1279 SM. Ia membangun lebih banyak kuil, mendirikan patung-patung dan obelisk, serta dikaruniai anak yang lebih banyak daripada firaun-firaun lain dalam sejarah.[46] Sebagai seorang pemimpin militer yang berani, Ramses II memimpin tentaranya melawan bangsa Het dalam pertempuran Kadesh. Setelah bertempur hingga mencapai kebuntuan (stalemate), ia menyetujui traktat perdamaian pertama yang tercatat sekitar 1258 SM.[47]
Kekayaan menjadikan Mesir sebagai target serangan, terutama oleh orang-orang Laut dan Libya. Tentara Mesir mampu mengusir serangan-serangan itu, namun Mesir akan kehilangan kekuasaan atas Suriah dan Palestina. Pengaruh dari ancaman luar diperburuk dengan masalah internal seperti korupsi, penjarahan makam, dan kerusuhan. Pendeta-pendeta agung di kuil Amun, Thebes, mengumpulkan tanah dan kekayaan yang besar, dan kekuatan mereka memecahkan negara pada masa Periode Menengah Ketiga.[48]
Pada tahun 730 SM, orang-orang Libya dari barat memecahkan kesatuan politik Mesir Kuno.
Periode Menengah Ketiga
Setelah kematian firaun Ramses XI tahun 1078 SM, Smendes mengambil alih kekuasaan Mesir utara. Ia berkuasa dari kota Tanis. Sementara itu, wilayah selatan dikuasai oleh pendeta-pendeta agung Amun di Thebes, yang hanya mengakui nama Smendes saja.[49] Pada masa ini, orang-orang Libya telah menetap di delta barat, dan kepala-kepala suku penetap tersebut mulai meningkatkan otonomi mereka. Pangeran-pangeran Libya mengambil alih delta di bawah pimpinan Shoshenq I pada tahun 945 SM. Mereka lalu mendirikan dinasti Bubastite yang akan berkuasa selama 200 tahun. Shoshenq juga mengambil alih Mesir selatan dengan menempatkan keluarganya dalam posisi kependetaan yang penting. Kekuasaan Libya mulai mengikis akibat munculnya dinasti saingan di Leontopolis, dan ancaman Kush di selatan. Sekitar tahun 727 SM, raja Kush, Piye, menyerbu ke arah utara. Ia berhasil menguasai Thebes dan delta.[50]
Martabat Mesir terus menurun pada Periode Menengah Ketiga. Sekutu asingnya telah jatuh kedalam pengaruh Asiria, dan pada 700 SM, perang antara kedua negara sudah tak terhindarkan lagi. Antara tahun 671 hingga 667 SM, bangsa Asiria mulai menyerang Mesir. Masa kekuasaan raja Kush, Taharqa, dan penerusnya, Tanutamun, dipenuhi dengan konflik melawan Asiria.[51] Akhirnya, bangsa Asiria berhasil memukul mundur Kush kembali ke Nubia. Mereka juga menduduki Memphis dan menjarah kuil-kuil di Thebes.[52]
Periode Akhir
Dengan tiadanya rencana pendudukan permanen, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Sais dari dinasti ke-26. Pada tahun 653 SM, raja Sais Psamtik I berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran Yunani yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di delta.
Di bawah raja-raja Sais, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi dan budaya. Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin oleh Cambyses II memulai penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi. Pemberontakan-pemberontakan meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia secara permanen.[53]
Setelah dikuasai Persia, Mesir digabungkan dengan Siprus dan Fenisia dalam satrapi ke-6 Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Periode pertama kekuasaan Persia atas Mesir, yang juga dikenal sebagai dinasti ke-27, berakhir pada tahun 402 SM. Dari 380–343 SM, dinasti ke-30 berkuasa sebagai dinasti asli terakhir Mesir. Restorasi singkat kekuasaan Persia, kadang-kadang dikenal sebagai dinasti ke-31, dimulai dari tahun 343 SM. Akan tetapi, pada 332 SM, penguasa Persia, Mazaces, menyerahkan Mesir kepada Alexander yang Agung tanpa perlawanan.[54]
Dinasti Ptolemeus
Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung menaklukan Mesir dengan sedikit perlawanan dari bangsa Persia. Pemerintahan yang didirikan oleh penerus Alexander dibuat berdasarkan sistem Mesir, dengan ibukota di Iskandariyah. Kota tersebut menunjukkan kekuatan dan martabat kekuasaan Yunani, dan menjadi pusat pembelajaran dan budaya yang berpusat di Perpustakaan Iskandariyah.[55] Mercusuar Iskandariyah membantu navigasi kapal-kapal yang berdagang di kota tersebut, terutama setelah penguasa dinasti Ptolemeus memberdayakan perdagangan dan usaha-usaha, seperti produksi papirus.[56]
Budaya Yunani tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun kuil-kuil baru dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir disinkretkan sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno juga memengaruhi motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha memenuhi tuntutan warga, dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan antar keluarga, dan massa di Iskandariyah yang terbentuk setelah kematian Ptolemeus IV.[57] Lebih lagi, bangsa Romawi memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi politik di negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang ambisius, serta musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak stabil, sehingga bangsa Romawi mengirim tentaranya untuk mengamankan Mesir sebagai bagian dari kekaisarannya.[58]
Dominasi Romawi
Potret-potret mumi Fayum melambangkan pertemuan budaya Mesir dengan Romawi.
Mesir menjadi provinsi Kekaisaran Romawi pada tahun 30 SM setelah Augustus berhasil mengalahkan Mark Antony dan Ratu Cleopatra VII dalam Pertempuran Actium. Romawi sangat memerlukan gandum dari Mesir, dan legiun Romawi, di bawah kekuasaan praefectus yang ditunjuk oleh kaisar, memadamkan pemberontakan, memungut pajak yang besar, serta mencegah serangan bandit.[59]
Meskipun Romawi berlaku lebih kasar daripada Yunani, beberapa tradisi, seperti mumifikasi dan pemujaan dewa-dewa, tetap berlanjut.[60] Seni potret mumi berkembang, dan beberapa kaisar Romawi menggambarkan diri mereka sebagai firaun (meskipun tidak sejauh penguasa-penguasa dinasti Ptolemeus). Pemerintahan lokal diurus dengan gaya Romawi dan tertutup dari gaya Mesir asli.[60]
Pada pertengahan abad pertama, Kekristenan mulai mengakar di Iskandariyah. Agama tersebut dipandang sebagai kultus lain yang akan diterima. Akan tetapi, Kekristenan pada akhirnya dianggap sebagai agama yang ingin menggantikan paganisme dan mengancam tradisi agama lokal, sehingga muncul penyerangan terhadap orang-orang Kristen. Penyerangan terhadap orang Kristen memuncak pada masa pembersihan Diokletianus yang dimulai tahun 303. Akan tetapi, Kristen berhasil menang.[61] Pada tahun 391, kaisar Kristen Theodosius memperkenalkan undang-undang yang melarang ritus-ritus pagan dan menutup kuil-kuil.[62] Iskandariyah menjadi latar kerusuhan anti-pagan yang besar.[63] Akibatnya, budaya pagan Mesir terus mengalami kejatuhan. Meskipun penduduk asli masih mampu menuturkan bahasa mereka, kemampuan untuk membaca hieroglif terus berkurang karena melemahnya peran pendeta kuil Mesir. Sementara itu, kuil-kuil dialihfungsikan menjadi gereja, atau ditinggalkan begitu saja.[64]
Pemerintahan dan ekonomi
Administrasi dan perdagangan
Firaun biasanya digambarkan menggunakan simbol kebangsawanan dan kekuasaan.
Firaun adalah raja yang berkuasa penuh atas negara—setidaknya dalam teori—dan memegang kendali atas semua tanah dan sumber dayanya. Firaun juga merupakan komandan militer tertinggi dan kepala pemerintahan, yang bergantung pada birokrasi pejabat untuk mengurusi masalah-masalahnya. Yang bertanggung jawab terhadap masalah administrasi adalah orang kedua di kerjaan, sang wazir, yang juga berperan sebagai perwakilan raja yang mengkordinir survey tanah, kas negara, proyek pembangunan, sistem hukum, dan arsip-arsip kerajaan.[65] Di level regional, kerajaan dibagi menjadi 42 wilayah administratif yang disebut nome, yang masing-masing dipimpin oleh seorang nomark, yang bertanggung jawab kepada wazir. Kuil menjadi tulang punggung utama perekonomian yang berperan tidak hanya sebagai pusat pemujaan, namun juga berperan mengumpulkan dan menyimpan kekayaan negara dalam sebuah sistem lumbung dan perbendaharaan dengan meredistribusi biji-bijian dan barang-barang lainnya.[66]
Sebagian besar perekonomian diatur secara ketat dari pusat. Bangsa Mesir Kuno belum mengenal uang koin hingga Periode Akhir sehingga mereka menggunakan sejenis uang barter[67] berupa karung beras dan beberapa deben (satuan berat yang setara dengan 91 gram) tembaga atau perak sebagai denominatornya.[68] Pekerja dibayar menggunakan biji-bijian; pekerja kasar biasanya hanya mendapat 5 karung (200 kg) biji-bijian per bulan sementara mandor bisa mencapai 7 karung (250 kg) per bulan. Harga tidak berubah di seluruh wilayah negara dan biasanya dicatat utuk membantu perdagangan; misalnya kaus dihargai 5 deben tembaga sementara sapi bernilai 140 deben.[68] Pada abad ke 5 sebelum masehi, uang koin mulai dikenal di Mesir. Awalnya koin digunakan sebagai nilai standar dari logam mulia dibanding sebagai uang yang sebenarnya; baru beberapa abad kemudian uang koin mulai digunakan sebagai standar perdagangan.[69]
Status sosial
Masyarakat Mesir Kuno ketika itu sangat terstratifikasi dan status sosial yang dimiliki seseorang ditampilkan secara terang-terangan. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani, namun demikian hasil pertanian dimiliki dan dikelolah oleh negara, kuil, atau keluarga ningrat yang memiliki tanah.[70] Petani juga dikenai pajak tenaga kerja dan dipaksa bekerja membuat irigasi atau proyek konstruksi menggunakan sistem corvée.[71] Seniman dan pengrajin memunyai status yang lebih tinggi dari petani, namun mereka juga berada di bawah kendali negara, bekerja di toko-toko yang terletak di kuil dan dibayar langsung dari kas negara. Juru tulis dan pejabat menempati strata tertinggi di Mesir Kuno, dan biasa disebut "kelas kilt putih" karena menggunakan linen berwarna putih yang menandai status mereka.[72] Perbudakan telah dikenal, namun bagaimana bentuknya belum jelas diketahui.[73]
Mesir Kuno memandang pria dan wanita, dari kelas sosial apa pun kecuali budak, sama di mata hukum.[74] Baik pria maupun wanita memiliki hak untuk memiliki dan menjual properti, membuat kontrak, menikah dan bercerai, serta melindungi diri mereka dari perceraian dengan menyetujui kontrak pernikahan, yang dapat menjatuhkan denda pada pasangannya bila terjadi perceraian. Dibandingkan bangsa lainnya di Yunani, Roma, dan bahkan tempat-tempat lainnya di dunia, wanita di Mesir Kuno memiliki kesempatan memilih dan meraih sukses yang lebih luas. Wanita seperti Hatshepsut dan Celopatra bahkan bisa menjadi firaun. Namun, wanita di Mesir Kuno tidak dapat mengambil alih urusan administrasi dan jarang yang memiliki pendidikan dari rata-rata pria ketika itu.[74]
Juru tulis adalah golongan elit dan terdidik. Mereka menghitung pajak, mencatat, dan bertanggung jawab untuk urusan administrasi.
Pertanian
Relief yang menggambarkan pertanian di Mesir.
Kondisi geografi yang mendukung dan tanah di tepi sungai Nil yang subur membuat bangsa Mesir mampu memproduksi banyak makanan, dan menghabiskan lebih banyak waktu dan sumber daya dalam pencapaian budaya, teknologi, dan artistik. Pengaturan tanah sangat penting di Mesir Kuno karena pajak dinilai berdasarkan jumlah tanah yang dimiliki seseorang.[77]
Pertanian di Mesir sangat bergantung kepada siklus sungai Nil. Bangsa Mesir mengenal tiga musim: Akhet (banjir), Peret (tanam), dan Shemu (panen). Musim banjir berlangsung dari Juni hingga September, menumpuk lanau kaya mineral yang ideal untuk pertanian di tepi sungai. Setelah banjir surut, musim tanam berlangsung dari Oktober hingga Februari. Petani membajak dan menanam bibit di ladang. Irigasi dibuat dengan parit dan kanal. Mesir hanya mendapat sedikit hujan, sehingga petani sangat bergantung dengan sungai Nil dalam pengairan tanaman.[78] Dari Maret hingga Mei, petani menggunakan sabit untuk memanen. Selanjutnya, hasil panen dirontokan untuk memisahkan jerami dari gandum. Proses penampian menghilangkan sekam dari gandum, lalu gandum ditumbuk menjadi tepung, diseduh untuk membuat bir, atau disimpian untuk kegunaan lain.[79]
Bangsa Mesir menanam gandum emmer dan jelai, serta beberama gandum sereal lain, sebagai bahan roti dan bir.[80] Tanaman-tanaman Flax ditanam dan diambil batangnya sebagai serat. Serat-serat tersebut dipisahkan dan dipintal menjadi benang, yang selanjutnya digunakan untuk menenun linen dan membuat pakaian. Papirus ditanam untuk pembuatan kertas. Sayur-sayuran dan buah-buahan dikembangkan di petak-petak perkebunan, dekat dengan permukiman, dan berada di permukaan tinggi. Tanaman sayur dan buah tersebut harus diairi dengan tangan. Sayur-sayuran meliputi bawang perai, bawang putih, melon, squash, kacang, selada, dan tanaman-tanaman lain. Anggur juga ditanam untuk diolah menjadi wine.[81]
Sennedjem membajak ladangnya dengan sepasang lembu, yang dimanfaatkan sebagai hewan pekerja dan sumber makanan.
Hewan
Bangsa Mesir percaya bahwa hubungan yang seimbang antara manusia dengan hewan merupakan elemen yang penting dalam susunan kosmos; maka manusia, hewan, dan tumbuhan diyakini sebagai bagian dari suatu keseluruhan.[82] Hewan, baik yang didomestikasi maupun liar, merupakan sumber spiritualitas, persahabatan, dan rezeki bagi bangsa Mesir Kuno. Sapi adalah hewan ternak yang paling penting; pemerintah mengumpulkan pajak terhadap hewan ternak dalam sensus-sensus reguler, dan ukuran ternak melambangkan martabat dan kepentingan pemiliknya. Selain sapi, bangsa Mesir Kuno menyimpan domba, kambing, dan babi. Unggas seperti bebek, angsa, dan merpati ditangkap dengan jaring dan dibesarkan di peternakan. Di peternakan, unggas-unggas tersebut dipaksa makan adonan agar semakin gemuk.[83] Sementara itu, di sungai Nil terdapat sumber daya ikan. Lebah-lebah juga didomestikasi dari masa Kerajaan Lama, dan hewan tersebut menghasilkan madu dan lilin.[84]
Keledai dan lembu digunakan sebagai hewan pekerja. Hewan-hewan tersebut bertugas membajak ladang dan menginjak-injak bibit ke dalam tanah. Lembu-lembu yang gemuk dikorbankan dalam ritual persembahan.[83] Kuda-kuda dibawa oleh Hyksos pada Periode Menengah Kedua, sementara unta, meskipun sudah ada sejak periode Kerajaan Baru, tidak digunakan sebagai hewan pekerja hingga Periode Akhir. Selain itu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa gajah sempat dimanfaatkan pada Periode Akhir, tetapi akhirnya dibuang karena kurangnya tanah untuk merumput.[83] Anjing, kucing, dan monyet menjadi hewan peliharaan, sementara hewan-hewan seperti singa yang diimpor dari jantung Afrika merupakan milik kerajaan. Herodotus mengamati bahwa bangsa Mesir adalah satu-satunya bangsa yang menyimpan hewan di rumah mereka.[82] Selama periode pradinasti dan akhir, pemujaan dewa dalam bentuk hewan menjadi sangat populer, seperti dewi kucing Bastet dan dewa ibis Thoth, sehingga hewan-hewan tersebut dibesarkan dalam jumlah besar untuk dikorbankan dalam ritual.[85]
Sumber daya alam
Mesir kaya akan batu bangunan dan dekoratif, bijih tembaga dan timah, emas, dan batu-batu semimulia. Kekayaan itu memungkinkan orang Mesir Kuno untuk membangun monumen, memahat patung, membuat alat-alat, dan perhiasan.[86] Pembalsem menggunakan garam dari Wadi Natrun untuk mumifikasi, yang juga menjadi sumber gypsum yang diperlukan untuk membuat plester.[87] Batuan yang mengandung bijih besi dapat ditemukan di wadi-wadi gurun timur dan Sinai yang kondisi alam yang tidak ramah. Membutuhkan ekspedisi besar (biasanya dikontrol negara) untuk mendapatkan sumber daya alam di sana. Terdapat sebuah tambang emas luas di Nubia, dan salah satu peta pertama yang ditemukan adalah peta sebuah tambang emas di wilayah ini. Wadi Hammamat adalah sumber penting granit, greywacke, dan emas. Rijang adalah mineral yang pertama kali dikumpulkan dan digunakan untuk membuat alat-alat, dan kapak Rijang adalah potongan awal yang membuktikan adanya habitat manusia di lembah Sungai Nil. Nodul-nodul mineral secara hati-hati dipipihkan untuk membuat bilah dan kepala panah dengan tingkat kekerasan dan daya tahan yang sedang, dan ini tetap bertahan bahkan setelah tembaga digunakan untuk tujuan tersebut.[88]
Perdagangan
Orang Mesir kuno berdagang dengan negeri-negeri tetangga untuk memperoleh barang yang tidak ada di Mesir. Pada masa pra dinasti, mereka berdagang dengan Nubia untuk memperoleh emas dan dupa. Orang Mesir kuno juga berdagang dengan Palestina, dengan bukti adanya kendi minyak bergaya Palestina di pemakaman firaun Dinasti Pertama.[89] Koloni Mesir di Kanaan selatan juga berusia sedikit lebih tua dari dinasti pertama.[90] Firaun Narmer memproduksi tembikar Mesir di Kanaan, dan mengekspornya kembali ke Mesir.[91]
Paling lambat dari masa Dinasti Kedua, Mesir kuno mendapatkan kayu berkualitas tinggi (yang tak dapat ditemui di Mesir) dari Byblos. Pada masa Dinasti Kelima, Mesir kuno dan Punt memperdagangkan emas, damar, eboni, gading, dan binatang liar seperti monyet.[92] Mesir bergantung pada Anatolia untuk memasok persediaan timah dan tembaga (keduanya merupakan bahan baku untuk membuat perunggu). Orang Mesir kuno juga menghargai batu biru lapis lazuli, yang harus diimpor dari Afganistan. Partner dagang Mesir di Laut Tengah meliputi Yunani dan Kreta, yang menyediakan minyak zaitun (selain barang-barang lainnya).[93] Sebagai ganti impor bahan baku dan barang mewah, Mesir mengekspor gandum, emas, linen, papirus, dan barang-barang jadi seperti kaca dan benda-benda batu.[94]
Budaya
Kehidupan sehari-hari
Patung yang menggambarkan kegiatan masyarakat kecil Mesir Kuno.
Sebagian besar masyarakat Mesir Kuno bekerja sebagai petani. Kediaman mereka terbuat dari tanah liat yang didesain untuk menjaga udara tetap dingin di siang hari. Setiap rumah memiliki dapur dengan atap terbuka. Di dapur itu biasanya terdapat batu giling untuk menggiling tepung dan oven kecil untuk membuat roti.[106] Tembok dicat warna putih dan beberapa juga ditutupi dengan hiasan berupa linen yang diberi warna. Lantai ditutupi dengan tikar buluh dilengkapi dengan furnitur sederhana untuk duduk dan tidur.[107]
Bangsa Mesir Kuno sangat menghargai penampilan dan kebersihan tubuh. Sebagian besar mandi di Sungai Nil dan menggunakan sabun yang terbuat dari lemak binatang dan kapur. Laki-laki bercukur untuk menjaga kebersihan, menggunakan minyak wangi dan salep untuk mengharumkan dan menyegarkan kulit.[108] Pakaian dibuat dengan linen sederhana yang diberi warna putih, baik wanita maupun pria di kelas yang lebih elit menggunakan wig, perhiasan, dan kosmetik. Anak-anak tidak mengenakan pakaian hingga mereka dianggap dewasa, pada usia sekitar 12 tahun, dan pada usia ini laki-laki disunat dan dicukur. Ibu bertanggung jawab menjaga anaknya, sementara sang ayah bertugas mencari nafkah.[109]
Musik dan tarian menjadi hiburan yang paling populer bagi mereka yang mampu membayar untuk melihatnya. Instrumen yang digunakan antara lain seruling dan harpa, juga instrumen yang mirip terompet juga digunakan. Pada masa Kerajaan Baru, bangsa Mesir memainkan bel, simbal, tamborine, dan drum serta mengimpor kecapi dan lira dari Asia.[110] Mereka juga menggunakan sistrum, instrumen musik yang biasa digunakan dalam upacara keagamaan.
Bangsa Mesir Kuno mengenal berbagai macam hiburan, permainan dan musik, salah satunya adalah Senet, permainan papan yang bidaknya digerakkan dalam urutan acak. Selain itu mereka juga mengenal mehen. Juggling dan permainan menggunakan bola juga sering dimainkan anak-anak, juga permainan gulat sebagaimana digambarkan dalam makam Beni Hasan.[111] Orang-orang kaya di Mesir Kuno juga gemar berburu dan berlayar untuk hiburan.
Masakan
Masakan Mesir cenderung tidak berubah selama berabad-abad; Masakan Mesir modern memiliki banyak persamaan dengan Masakan Mesir Kuno. Makanan sehari-hari biasanya mengandung roti dan bir, dengan lauk berupa sayuran seperti bawang merah dan bawang putih, serta buah-buahan berbentuk biji dan ara. Wine dan daging biasanya hanya disajikan pada perayaan tertentu, kecuali di kalangan orang kaya yang lebih sering menyantapnya. Ikan, daging, dan unggas dapat diasinkan atau dikeringkan, serta direbus atau dibakar.[112]
Arsitektur
Kuil Edfu adalah salah satu hasil karya arsitektur bangsa Mesir Kuno.
Karya arsitektur bangsa Mesir Kuno yang paling terkenal antara lain: Piramida Giza dan kuil di Thebes. Proyek pembangunan dikelola dan didanai oleh pemerintah untuk tujuan religius, sebagai bentuk peringatan, maupun untuk menunjukkan kekuasaan firaun. Bangsa Mesir Kuno mampu membangun struktur batu dengan peralatan sederhana namun efektif, dengan tingkat akurasi dan presisi yang tinggi.[113]
Kediaman baik untuk kalangan elit maupun masyarakat biasa dibuat dari bahan yang mudah hancur seperti batu bata dan kayu, karenanya tidak ada satu pun yang terisa saat ini. Kaum tani tinggal di rumah sederhana, di sisi lain, rumah kaum elit memiliki struktur yang rumit. Beberapa istana Kerajaan Baru yang tersisa, seperti yang terletak di Malkata dan Amarna, menunjukkan tembok dan lantai yang dipenuhi hiasan dengan gambar pemandangan yang indah.[114] Struktur penting seperti kuil atau makam dibuat dengan batu agar dapat bertahan lama.
Kuil-kuil tertua yang tersisa, seperti yang terletak di Giza, terdiri dari ruang tunggal tertutup dengan lembaran atap yang didukung oleh pilar. Pada Kerajaan Baru, arsitek menambahkan pilon, halaman terbuka, dan ruangan hypostyle; gaya ini bertahan hingga periode Yunani-Romawi.[115] Arsitektur makam tertua yang berhasil ditemukan adalah mastaba, struktur persegi panjang dengan atap datar yang terbuat dari batu dan bata. Struktur ini biasanya dibangun untuk menutupi ruang bawah tanah untuk menyimpan mayat.[116]
Seni
Patung dada Nefertiti, karya Thutmose, adalah salah satu mahakarya terkenal bangsa Mesir Kuno.
Bangsa Mesir Kuno memproduksi seni untuk berbagai tujuan. Selama 3500 tahun, seniman mengikuti bentuk artistik dan ikonografi yang dikembangkan pada masa Kerajaan Lama. Aliran ini memiliki prinsip-prinsip ketat yang harus diikuti, mengakibatkan bentuk aliran ini tidak mudah berubah dan terpengaruh aliran lain.[117] Standar artistik—garis-garis sederhana, bentuk, dan area warna yang datar dikombinasikan dengan karakteristik figure yang tidak memiliki kedalaman spasial—menciptakan rasa keteraturan dan keseimbangan dalam komposisinya. Perpaduan antara teks dan gambar terjalin dengan indah baik di tembok makam dan kuil, peti mati, maupun patung.[118]
Seniman Mesir Kuno dapat menggunakan batu dan kayu sebagai bahan dasar untuk memahat. Cat didapatkan dari mineral seperti bijih besi (merah dan kuning), bijih perunggu (biru dan hijau), jelaga atau arang (hitam), dan batu kapur (putih). Cat dapat dicampur dengan gum arab sebagai pengikat dan ditekan (press), disimpan untuk kemudian diberi air ketika hendak digunakan.[119] Firaun menggunakan relief untuk mencatat kemenangan di pertempuran, dekrit kerajaan, atau peristiwa religius. Di masa Kerajaan Pertengahan, model kayu atau tanah liat yang menggambarkan kehidupan sehari-hari menjadi populer untuk ditambahkan di makam. Sebagai usaha menduplikasi aktivitas hidup di kehidupan setelah kematian, model ini diberi bentuk buruh, rumah, perahu, bahkan formasi militer.[120]
Meskipun bentuknya hampir homogen, pada waktu tertentu gaya karya seni Mesir Kuno terkadang mengikuti perubahan kultural atau perilaku politik. Setelah invasi Hykos di Periode Pertengahan Kedua, seni dengan gaya Minoa ditemukan di Avaris.[121] Salah satu contoh perubahan gaya akibat adanya perubahan politik yang menonjol adalah bentuk artistik yang dibuat pada masa Amarna: patung-patung disesuaikan dengan gaya pemikiran religius Akhenaten. Gaya ini, yang dikenal sebagai seni Amarna, langsung diganti dan dibuah ke bentuk tradisional setelah kematian Akhenaten.
Agama dan kepercayaan
Buku Kematian adalah panduan perjalanan untuk kehidupan setelah kematian.
Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah kematian dipegang secara turun temurun. Kuil-kuil diisi oleh dewa-dewa yang memiliki kekuatan supernatural dan menjadi tempat untuk meminta perlindungan, namun dewa-dewa tidak selalu dilihat sebagai sosok yang baik; orang mesir percaya dewa-dewa perlu diberi sesajen agar tidak mengeluarkan amarah. Struktur ini dapat berubah, tergantung siapa yang berkuasa ketika itu.
Patung Ka dipercaya dapat menjadi tempat bersemayam bagi mereka yang telah meninggal.
Dewa-dewa disembah dalam sebuah kuil yang dikelola oleh seorang imam. Di bagian tengah kuil biasanya terdapat patung dewa. Kuil tidak dijadikan tempat beribadah untuk publik, dan hanya pada hari-hari tertentu saja patung di kuil itu dikeluarkan untuk disembah oleh masyarakat. Masyarakat umum beribadah memuja patung pribadi di rumah masing-masing, dilengkapi jimat yang dipercaya mampu melindungi dari marabahaya.[123] Setelah Kerajaan Baru, peran firaun sebagai perantara spiritual mulai berkurang seiring dengan munculnya kebiasaan untuk memuja langsung tuhan, tanpa perantara. Di sisi lain, para imam mengembangkan sistem ramalan (oracle) untuk mengkomunikasikan langsung keinginan dewa kepada masyarakat.[124]
Masyarakat mesir percaya bahwa setiap manusia terdiri dari bagian fisik dan spiritual. Selain badan, manusia juga memiliki šwt (bayangan), ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan nama.[125] Jantung dipercaya sebagai pusat dari pikiran dan emosi. Setelah kematian, aspek spiritual akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak sesuka hati, namun mereka membutuhkan tubuh fisik mereka (atau dapat digantikan dengan patung) sebagai tempat untuk pulang. Tujuan utama mereka yang meninggal adalah menyatukan kembali ka dan ba dan menjadi "arwah yang diberkahi." Untuk mencapai kondisi itu, mereka yang mati akan diadili, jantung akan ditimbang dengan "bulu kejujuran." Jika pahalanya cukup, sang arwah diperbolehkan tetap tinggal di bumi dalam bentuk spiritual.[126]
Makam firaun dipenuhi oleh harta karun dalam jumlah yang sangat besar, salah satunya adalah topeng emas dari mumi Tutankhamun.
Adat pemakaman
Orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman yang diyakini sebagai kebutuhan untuk menjamin keabadian setelah kematian. Berbagai kegiatan dalam adat ini adalah : proses mengawetkan tubuh melalui mumifikasi, upacara pemakaman, dan penguburan mayat bersama barang-barang yang akan digunakan oleh almarhum di akhirat. Sebelum periode Kerajaan Lama, tubuh mayat dimakamkan di dalam lubang gurun, cara ini secara alami akan mengawetkan tubuh mayat melalui proses pengeringan. Kegersangan dan kondisi gurun telah menjadi keuntungan sepanjang sejarah Mesir Kuno bagi kaum miskin yang tidak mampu mempersiapkan pemakaman sebagaimana halnya orang kaya. Orang kaya mulai menguburkan orang mati di kuburan batu, akibatnya mereka memanfaatkan mumifikasi buatan, yaitu dengan mencabut organ internal, membungkus tubuh menggunakan kain, dan meletakkan mayat ke dalam sarkofagus berupa batu empat persegi panjang atau peti kayu. Pada permulaan dinasti keempat, beberapa bagian tubuh mulai diawetkan secara terpisah dalam toples kanopik.[127]
Anubis adalah dewa pada zaman mesir kuno yang dikaitkan dengan mumifikasi dan ritual pemakaman. Pada gambar ini ia sedang mendatangi seorang mumi.
Pada periode Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan seni mumifikasi. Teknik terbaik pengawetan mumi memakan waktu kurang lebih 70 hari lamanya, selama waktu tersebut secara bertahap dilakukan proses pengeluaran organ internal, pengeluaran otak melalui hidung, dan pengeringan tubuh menggunakan campuran garam yang disebut natron. Selanjutnya tubuh dibungkus menggunakan kain, pada setiap lapisan kain tersebut disisipkan jimat pelindung, mayat kemudian diletakkan pada peti mati yang disebut antropoid. Mumi periode akhir diletakkan pada laci besar cartonnage yang telah dicat. Praktik pengawetan mayat asli mulai menurun sejak zaman Ptolemeus dan Romawi, pada zaman ini masyarakat mesir kuno lebih menitikberatkan pada tampilan luar mumi.[128]
Orang kaya Mesir dikuburkan dengan jumlah barang mewah yang lebih banyak. Tradisi penguburan barang mewah dan barang-barang sebagai bekal almarhum juga berlaku pada semua masyarakat tanpa memandang status sosial. Pada permulaan Kerajaan Baru, buku kematian ikut disertakan di kuburan, bersamaan dengan patung shabti yang dipercaya akan membantu pekerjaan mereka di akhirat.[129] Setelah pemakaman, kerabat yang masih hidup diharapkan untuk sesekali membawa makanan ke makam dan mengucapkan doa atas nama almarhum.[128]
Di kutip dari / Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno