Academia.eduAcademia.edu

Air Hujan di Mata Bunda

Ilustrasi: net Sore nan indah di bawah lintasan pelangi, tiba-tiba keindahannya sekejap sirna karena gerimis hujan yang tiba-tiba menghampiri bumi. Dari sebuah rumah kecil beralaskan tanah aku memandang rintik-rintik hujan yang belum juga reda.

AIR HUJAN DI MATA BUNDA Oleh Mustopa Kamal Btr [email protected] www.karya-kamal.blogspot.com Instagram: Kamal Btr Pin: 5379a0f6 Ilustrasi: net Sore nan indah di bawah lintasan pelangi, tiba-tiba keindahannya sekejap sirna karena gerimis hujan yang tiba-tiba menghampiri bumi. Dari sebuah rumah kecil beralaskan tanah aku memandang rintik-rintik hujan yang belum juga reda. “Rahmat, apa semua barang yang akan dibawa nanti sudah dikemas nak?” sahut bunda dari dapur. “Sudah bun, semuanya sudah dikemas tadi” jawabku dengan polos. Malam ini aku akan meninggalkan desa tercinta menuju kota metropolitan, Jakarta. Tempat yang ku harapkan bisa mengubah nasibku menjadi lebih baik. Aku tidak bisa lagi melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, seperti teman-teman yang lain disebabkan keadaan hidup yang tidak memungkinkan. Hidup kami semakin terpuruk setelah kepergian ayah menghadap Ilahi, satu bulan yang lalu. Gemerlap bintang dan rembulan turut menemani keberangkatanku di pinggir jalan raya lintas sumatera ini. Bus berwarna biru tua sudah memperlihatkan wujudnya dari kejauhan. Hujan sore tadi tiba-tiba turun dan mengalir melewati sudut mata bunda. Bunda sangat sedih sekali ketika melepaskan kepergianku. Air mataku juga tumpah-ruah membasahi bumi ketika memeluk bunda untuk pamit. “Rahmat pamit bunda, doakan anakmu ini bunda agar menjadi orang yang sukses” “Iya nak, doa bunda akan selalu mengiringi langkahmu, semoga engkau menjadi orang yang berhasil nak” Bus yang aku tumpangi perlahan-lahan melaju meninggalkan desa tercinta, desa Bange Mandailing, Sumatera Utara. Kepergianku diiringi doa bunda dan kerabat keluarga yang turut menyaksikan keberangkatanku pada malam yang mengharu-biru ini. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, akhirnya bus yang aku tumpangi sampai di kota metropolitan, Jakarta. Aku sangat kagum sekali melihat gedung-gedung yang begitu megah dan menjulang tingggi, sebelumnya aku tidak pernah melihat bangunan-bangunan semegah ini. Lengkap sudah keindahan kota yang aku lihat sesudah memandang keindahan tugu monas dari bus ALS ini. Setelah berada di stasiun bus, paman menjemput aku. Beliau bukanlah keluarga dekatku akan tetapi paman ini adalah teman dari almarhum ayah. Untuk sementara waktu, aku nanti tinggal di rumah beliau, sebelum aku mendapat pekerjaan. “Rahmat, selamat datang di kota Jakarta” ungkap paman. “Iya paman, terima kasih banyak atas sambutannya” Jawabku. “Barang-barangmu yang mana? Biar kita berangkat ke rumah” “Yang ini paman” “Kita berangkat ke rumah sekarang ya” “Baik paman” Pagi yang sangat cerah namun bertolak belaka dengan hatiku saat ini, yang masih diselimuti kabut asap karena sampai hari ini aku belum mendapat pekerjaan. Sebelum pekerjaanku jelas, aku membantu keluarga paman berdagang di kedai harian. Pekerjaan paman adalah sebagai sopir angkot sedangkan yang biasanya menjaga kedai adalah istri dan anak-anaknya. “Rahmat, tolong diangkat beras ke motor ibu ini” suruh bibi, istri paman. “Baik bi” jawabku. Tiba-tiba HP tulalit yang ada di saku celana kananku berbunyi, aku langsung mengangkatnya. Ternyata yang menelpon adalah bunda dari kampung. Aku tidak sabar lagi mengangkat telepon dari bunda. “Assalamu ‘alaikum hallo.. Rahmat” “Walaikum salam bunda” “Gimana kabarmu nak, jam berapa jadi sampai di Jakarta nak?” “Jam sepuluh tadi pagi bunda, maaf bunda Rahmat tadi udah ada niat kasi kabar ke bunda, tapi tadi Rahmat lagi bantuin bibi, istri paman di kedai” “Oo kabar paman dan bibimu juga baik kan ?” “Iya bunda, mereka juga baik” “Bunda gimana kabarnya di sana ?” “Alhamdulillah baik juga nak” Suara hujan kembali ku dengar mengalir dari sudut mata bunda, tapi bunda tidak memperlihatkannya kepadaku, mungkin bunda tidak mau membuat hatiku bertambah sedih. Bunda memang seorang malaikat yang sangat mulia. “Bunda menangis ya?” “Tidak kok nak, bunda hanya khawatir saja kepadamu” “Bunda jangan sedih, Rahmat janji akan cepat pulang jika mimpi-mimpi Rahmat udah tercapai” “Iya nak, semoga kamu bisa menjadi orang yang sukses” “Iya bun, terima kasih atas doa bunda” “Sampaikan kirim salam bunda kepada paman dan bibi ya” “Iya bunda” “Sampai disini dulu nak ya, soalnya bunda mau pergi ke ladang” “Iya bunda, bunda jangan sedih lagi” “Iya Nak” jawab bunda menutup pembicaraan. Waktu sungguh cepat sekali berlalu, hari ini aku sudah genap satu bulan di kota Jakarta. Ketika membuka warung, tiba-tiba paman menghampiriku. “Rahmat, pekerjaan sekarang sangat susah di Jakarta, sudah genap satu bulan paman mencari pekerjaan untukmu tapi hasilnya belum ada. Bagaimana kalau kamu jadi kernet angkot saja dulu?” “Boleh juga paman, kernet angkot paman?” “Bukan, kernet teman paman. kalau kernet angkot paman kan masih ada” “Baik paman, saya mau paman” “Baiklah, paman nanti akan kabari teman itu” “Iya paman” Amarah mentari tidak membuat semangatku surut menjadi kernet angkot pada pukul 12.00 ini. Aku harus bersungguh-sungguh bekerja walaupun seribu rintangan menghadangku dari segala arah. Aku ingin secepatnya membahagiakan bunda dan adik-adikku di kampung. Aku ingin melihat mereka tersenyum. Belum genap dua minggu bekerja sebagai kernet angkot tiba-tiba teman paman itu dengan terpaksa memecat aku. Ia mengatakan bahwa kernet yang lama masih ingin tetap bekerja. Ia tersipu malu kepadaku, ia benar-benar minta maaf kepadaku, aku juga memakluminya. Dengan hati yang sabar ku pasrahkan semua takdir kepada Allah, aku yakin dibalik semua peristiwa ini pasti akan ada hikmahnya. Belum sembuh luka di dada, tiba-tiba bumi runtuh menimpa. Paman mengusir aku dari rumah dengan alasan tetangga sebelahnya meminta aku pergi dari sini. Kata paman, orang kaya tersebut tidak mau melihat aku dekat dengan Lia, putrinya. Padahal Lia lah yang selalu berusaha mendekatiku. Hidupku luntang-lantung selama lima hari lima malam di tengah kota metropolitan. Aku tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit. Hati kecil selalu ku kuatkan agar sabar dalam melewati semak belukar kehidupan ini. HPku tiba-tiba berbunyi di bawah terik mentari yang menyesakkan dada pada pukul 12.30 WIB. Segera ku angkat, ternyata panggilan telpon bunda dari kampung. Aku tidak tahu lagi mau bicara apa kalau bunda tahu aku diusir paman. “Assalamu ‘alaikum Rahmat” “Wa’alaikum salam Bunda, bagaimana kabar bunda di kampung?” “Alhamdulillah baik nak, kamu sendiri gimana?” “Alhamdulillah baik juga bunda” “Apakah kamu sudah makan nak?” “Sudah bunda” jawabku, walaupun sebenarnya aku belum makan, mulai dari tadi pagi aku tidak makan karena uangku sudah habis. Aku tidak mau membuat risau hati bunda. “Bunda sendiri sudah makan?” “Sudah nak, bagaimana nak pekerjaan barumu sebagi kernet angkot?” “Alhamdulillah enak kok bunda” jawabku, aku tidak mau memberi tahu bunda kalau aku tidak mempunyai pekerjaan lagi, aku takut penyakit bunda kambuh kembali. Satu tahun ini bunda menderita penyakit yang sangat parah, aku kurang tahu penyakit apa yan sedang menimpa beliau, karena bunda tidak mau bercerita kepada anak-anaknya, mungkin bunda tidak mau membebani pikiran kami. “Sampaikan kirim salam bunda kepada keluarga pamanmu” “Iya bunda” jawabku dengan suara ragu. Setelah selesai bicara dengan bunda lewat telepon, tiba-tiba aku teringat dengan seorang temanku yang kuliah di Jakarta, namanya Sabil ia adalah teman satu sekolahku dulu ketika di SMP. Aku telepon dia, Alhamdulillah nomornya masih aktif. “Assalamu Alaikum, benar ini Sabil?” “Walaikum salam, iya benar, ini siapa ya?” “Ini Rahmat Bil, teman satu SMP mu dulu” “O.. Rahmat, gimana kabarnya Mat, maaf ya Mat soalnya kamu nomor baru sih” “Alhamdulillah kabar baik Bil, kamu gimana Bil?” “Alhamdulillah baik juga Mat, sekarang kuliah dimana Mat?” Pertanyaan Sabil membuatku agak sedikit minder, tapi aku yakin sabil tidak bermaksud menyakiti hatiku. Aku pun mencoba memberanikan diri untuk mengatakan kepada Sabil bahwa aku tidak kuliah lagi. “O.. aku tidak kuliah lagi Bil, maklumlah makan aja susah Bil” “O, sekarang Rahmat berarti masih di kampung?” “Enggak juga Bil, Bil Gini aku sekarang sudah di jakarta. Nanti aku ceritakan Bil karena ceritanya sangat panjang, Bil kalau tidak keberatan bisa nggak kamu jemput aku di dekat monas?” “Sekarang Mat?” “Kalau bisa Bil” “Sekarang aku masih di kampus Mat, kami nunggu satu mata kuliah lagi, ini lagi istirahat sebentar” “O kalau nanti abis pulang dari kampus gimana Bil?” “Kalau itu baru bisa, Rahmat tunggu di situ aja nanti ya, jam dua nanti aku datang” “Baik Bil, terimakasih Bil ya” “sama-sama Mat” Lintasan pelangi menambah indahnya sore hari di tempat kos Sabil. Mentari mulai kembali tersenyum di peraduannya. Aku sangat berterima kasih kepada Sabil, atas semua kebaikan hatinya. Aku tidak tahu lagi mau ngucapin apa kepadanya karena ia juga telah meminjami aku uang sebagai modal usaha dari tabungannya. Sabil mempunyai banyak tabungan karena dia anak orang terpandang di kampung. Aku sangat senang sekali, aku berjanji kepada Sabil akan menggunakan uang yang ia pinjamkan sebaik mungkin. “Bil, terima kasih ya atas semua bantuanmu. Aku tidak tahu lagi mau ngomong apa untuk ngucapin terima kasihku kepada mu” “Biasa ajalah Mat, kita sebagai manusia kan harus saling tolong menolong” “Iya Bil, sekali lagi terima kasih ya atas pinjaman uang yang kamu berikan. Aku janji akan memanfaatkannya sebaik mungkin” “Ok, Mat” Dengan modal uang pinjaman dari Sabil, aku sekarang bisa membuka usaha Jasa pembuatan Spanduk. Bermodal kemahiran yang aku miliki sewaktu SMK di kampung, Alhamdulillah aku kembali berhadapan dengan pekerjaan yang butuh ketelatenan ini. Walaupun hari pertama tidak ada pelanggan yang datang ke tempat usaha yang baru aku buat ini, akan tetapi setelah seminggu, pelanggan mulai banyak berdatangan. Pelanggan yang ingin membuatkan spanduk di tempatku meningkat tajam sehingga aku kewalahan mengerjakannya, akhirnya aku mencari karyawan sebanyak lima orang. Saat ini mentari benar-benar memperlihatkan rona keindahannya di tengah gersangnya kehidupan ibukota Jakarta. Usaha Jasa pembuatan Spanduk yang aku bangun, setiap hari semakin memperlihatkan kemajuan. Karena saat ini aku sudah mapan dari segi ekonomi, aku putuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, aku pun kuliah di salah satu Universitas bergengsi di jakarta. Uang yang pernah aku pinjam juga sudah aku kembalikan kepada Sabil, dan aku tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Sekarang toko Spanduk telah ku serahkan pengurusannya kepada para karyawan, yang saat ini berjumlah seratus orang. Waktu begitu cepat berlalu. Hari ini aku akan menjalani wisuda, akan tetapi orang yang paling aku cinta dalam hidupku tidak bisa hadir. Bunda tidak bisa lagi menempuh perjalanan jauh disebabkan faktor kesehatan yang semakin hari menurun. Setelah semua acara wisuda selesai tiba-tiba HP yang ada di saku kananku berbunyi. Ternyata panggilan nomor adik dari kampung. Aku pun segera mengangkat telepon berwarna putih bergaris-garis biru. “Assalamu ‘alaikum bang, bang penyakit bunda tiba-tiba kambuh, kami tidak tau lagi mau berbuat apa” “Coba dipanggil dokter” “Sudah bang, dokter sudah ada di rumah” “Bagaimana ya, soalnya abang masih di tempat wisuda” “Abang bisa nggak pulang, soalnya bunda juga menyebut-nyebut nama abang” “Oo,,, gimana ya, o abang coba tanyakan tiket pesawat dulu apa masih ada yang akan berangkat ke sana, tunggu sebentar ya, nanti abang telepon lagi” “Iya bang” Aku langsung menelpon karyawan pengambilan tiket. Alhamdulillah pesawat masih ada yang akan berangkat menuju bandara Madina yang ada di ibukota kabupaten Mandailing, sekitar satu jam menaiki mobil dari kampungku. Aku pun langsung memesan tiket, Kemudian adik kembali ku telepon untuk memberi tahu bahwa aku akan pulang ke kampung pada hari ini juga. Setelah aku sampai di kampung. Aku langsung masuk ke rumah dengan perasaan tidak menentu. Air mataku mengalir melebihi derasnya aliran sungai batang gadis yang ada di sudut desa kami. Aku sangat prihatin dengan kondisi kesehatan bunda yang tidak stabil lagi. Ku pegang tangan bunda ku kecup kening bunda dan aku minta maaf karena terlambat datang disebabkan jarak yang sangat jauh antara kota Jakarta dan Mandailing. Hujan kembali turun melewati sudut mata bunda, hujan hari ini tidak seperti hujan yang biasa. Hujan hari ini memperlihatkan kebahagiaan. Mungkin bunda sangat bahagia ketika melihat anaknya memakai baju wisuda, yang tidak sempat tadi aku lepas karena tergesa-gesa ingin cepat ke kampung untuk bertemu bunda. “Bunda baju kebesaran wisuda ini Rahmat persembahkan kepada bunda, bunda harus cepat sembuh ya” “Iya nak, bunda hari ini sangat bahagia sekali melihat Rahmat telah sukses” “Bunda mau apa?, nanti Rahmat belikan ya” “Bunda tidak menginginkan apa-apa nak, kesuksesanmu sudah membuat bunda bahagia” “Iya bunda, bunda cepat sembuh ya” “Iya nak, kamu harus menjaga adik-adik mu ya, sekolahkan mereka agar mereka menjadi oang yang berguna bagi bangsa dan agama kelak” “Iya bunda” Tiba-tiba bunda diam seribu bahasa, aku semakin tidak karuan melihat keadaan bunda. Lalu aku bertanya ke dokter kenapa bunda tidak bicara lagi, lalu dokter memeriksanya. “Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Raajiun, bundamu telah pergi menghadap panggilan Allah Rahmat” ucap dokter dengan perasaan terharu. “Bunda... bunda jangan tinggalkan kami bunda, maafkan aku bunda yang tidak bisa menolong bunda” Hujan terakhir terlihat mengalir dari sudut mata bunda yang telah pergi meninggalkan anak-anaknya. Air mataku terus mengalir membanjiri kampung yang begitu hening. Tangisan alam turut mengantarkan kepergian bunda menghadap Ilahi. Inilah pertemuan terakhirku dengan orang yang paling aku cintai di dunia ini, orang yang begitu tulus mencintai dan membesarkanku. “Selamat jalan bunda, Semoga bunda tersenyum di surga”. SELESAI BIODATA PENULIS Nama: Mustopa Kamal Btr TTL: Bange Mandailing, 28 Oktober 1992 Alamat: Pekanbaru, Indonesia. HP: 0853 6369 9373 - 0877 6751 7060 Prestasi: Juara 1 Cerdas Cermat Bhs. Indonesia (2005). Juara 3 siswa berprestasi (2004). Juara 1 cipta puisi (2012). Juara 3 baca puisi (2011). Juara 3 Syarhil Qur’an MTQ se-kab. Madina-Sumut (2012). Juara 1 Syarhil Qur’an MTQ pesantren Musthafawiyah Purbabaru (2013). Juara 2 pidato Bahasa Indonesia Pekan Olahraga dan Seni se-kab. Madina (2012). Juara 3 pidato Bahasa Indonesia Ulang Tahun 1 Abad Pesantren Musthafawiyah. Harapan 2 pidato Bahasa Arab se-kab. Madina (2012). Peserta festival Nasyid se-kab. Madina. Peserta Debat Bahasa Indonesia Se-Prop.Riau. Harapan II Pidato Bahasa Indonesia Se-Prop. Riau. Juara I Lomba Menulis Surat Untuk Rektor UIN Sultan Syarif Kasim Riau. DLL. Karya: Facebook Mengguncang Dunia (Buku Online). Jalan Berduri (Novel Online). Love Story in UIN Suska (Cerpen). Hujan di Mata Bunda (Cerpen). Budaya Melayu Digenerasiku (Cerpen). Umak (Cerpen Mandailing). Jangan Paksa Aku Murtad (Cerpen). Sepotong Hati Untuk Tuhan (Cerpen).. Pengorbanan Bunda (Puisi). UIN Suska Riau (Puisi). Cinta Terpendam (Puisi). DLL.