Academia.eduAcademia.edu

TUGAS KELOMPOK PSIKOLOGI EKSPERIMEN - JURNAL

2023, Yosefina

Psikologi eksperimen

TUGAS KELOMPOK PSIKOLOGI EKSPERIMEN DOSEN ADI KRISTIAWAN, S.Psi., MM DISUSUN OLEH Dinda Faharani / 1824090095 Saidatul Hilmah / 1824090125 Marsya Sukma Ardini / 1824090127 Sabtu, 10:20 – 12:50 JURNAL 1 PENGARUH KATARSIS DALAM MENULIS EKSPRESIF SEBAGAI INTERVENSI DEPRESI RINGAN PADA MAHASISWA Novi Qonitatin*, Sri Widyawati**, Gusti Yuli Asih** *Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro ** Fakultas Psikologi Universitas Semarang [email protected] ; [email protected] Abstrak Depresi ringan banyak dialami oleh orang dewasa muda, terutama dalam hal ini adalah mahasiswa dimana mereka memiliki tuntutan peran dan tugas yang tidak mudah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh katarsis dalam menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa. Sebagai partisipan penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah BDI (Beck Depression Inventory) untuk melihat tingkat depresi pada partisipan penelitian. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi menulis ekspresif sebagai variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara pretest (O1) dengan postest (O2). Analisis statistik yang digunakan adalah correlated data t-test / paired-sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan 84 mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 orang (55,95%) diantaranya mengalami depresi, dimana sebagia besar berada pada taraf depresi ringan. Hasil analisis statistik memperoleh hasil t hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa. Kata kunci: katarsis, menulis ekspresif, depresi ringan menemukan bahwa terdapat proporsi yang substansif yang dilaporkan memiliki simpomsimptom depresi yang signifikan. Mengutip hasil penelitian Beck dan Young, dikatakan tiga perempat dari seluruh mahasiswa merasa depresi selama beberapa waktu pada masa sekolah. Hal ini dapat terjadi mengingat banyaknya masalah yang menghadang keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan studinya dan terbukanya peluang bagi mahasiswa untuk mengalami simtom-simtom depresi karena berbagai masalah yang mungkin timbul. Seperti adaptasi terhadap situasi dan kondisi kampus, tugas yang menumpuk, tuntutan akan nilai yang bagus, dan lain sebagainya. Bahkan menurut Reifman dan Dunkel-Schetter (dalam Allgower dkk, 2001), simtom depresi dan kecemasan menjadi perhatian khusus pada mahasiswa dan dihubungkan dengan performansi akademik yang rendah dan partisipasi rendah dalam aktivitas kampus. PENDAHULUAN Depresi telah lama dikenali sebagai suatu perhatian utama bagi pemberi layanan kesehatan (Geisner, 2006). Seperti yang dikemukakan Atkinson (1991), depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stres kehidupan. Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut terus sampai saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali. Dalam kondisi dan lingkungan yang semakin penuh dengan peristiwa yang memberikan stres, mudah sekali orang untuk mengalami gangguan depresi. Depresi dan berkurangnya kesejahteraan psikologis merupakan permasalahan kesehatan yang utama pada orang muda (Allgower dkk, 2001). Ditambahkan oleh Michael dkk (2006), menyatakan bahwa perasaan depresi merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan mahasiswa. Mereka 21 22 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 Mengutip pandangan Beck bahwa depresi merupakan suatu kontinum, Geisner (2006) menyatakan bahwa tritmen diperlukan dalam semua tingkatan. Khususnya, simtom ringan depresi kurang ditanggapi untuk ditangani, kemudian akan menjadi resiko bagi perkembangan episode depresi mayor dan mengalami konsekuensi lain akibat dari suasana hati yang depresif. Individu dengan riwayat depresi yang rendah atau yang memiliki depresi ringan dapat dibantu dengan suatu pendekatan peningkatan motivasi. Sebagai alternatif, dengan biaya rendah, terapi menulis merupakan suatu cara dalam menurunkan depresi, terutama pada mahasiswa (Geisner, 2006). Aktivitas menulis membuat seseorang berpikir tentang peristiwa yang ia alami dan proses emosional serta elemen objektif pada peristiwa tersebut, yang akan meredakan renungan peristiwa tersebut. Bukti empiris telah mendukung gagasan bahwa ekspresi emosional meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi peristiwa-peristiwa kehidupan yang menekan. Pada masa yang lalu, penelitian ekspresi emosional difokuskan pada ekspresi verbal pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan, sebagaimana yang ditemukan pada kebanyakan teori-teori psikoterapi tradisional. Bagaimanapun, saat ini, penelitian yang menyelidiki ekspresi tertulis pada pengalaman hidup yang traumatis telah memperlihatkan memberikan keuntungan kesehatan baik secara psikologis maupun fisik (Graf, 2004). Pennebaker (1997) menyatakan bahwa menulis pengalaman emosional atau menulis peristiwa yang penuh tekanan (stressful events) telah menjadi kajian yang menarik pada beberapa tahun belakangan ini. Beberapa penelitian laboratorium telah mempelajari kegunaan menulis atau berbicara mengenai pengalaman emosional. Menghadapi atau berkonfrontasi dengan isu-isu pribadi secara mendalam telah mendapat penemuan akan menghasilkan kesehatan fisik, kesejahteraan subjektif dan tingkah laku adaptif tertentu. Paez dkk (1999) mencatat bahwa menghadapi atau berkonfrontasi dengan peristiwaperistiwa penuh tekanan dan traumatis yang dilakukan dalam prosedur menulis dilaporkan menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam kesehatan fisik (misalnya, lebih sedikit mengunjungi fasilitas kesehatan), fungsi fisiologis yang lebih tinggi (misal, reaksi kekebalan tubuh yang lebih baik) dan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (misal, afek negatif yang lebih rendah dan afek positif yang lebih tinggi). Kesimpulan tersebut juga dapat dilihat pada Pennebaker (1997) yang juga menyebutkan bahwa akibat menulis mengenai topik tertentu, ternyata berhubungan dengan perbaikan peringkat mahasiswa pada bulan setelah penelitian dilakukan dan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih cepat pada tingkat senior. Secara jelas Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005) menyatakan bahwa menulis tentang pengalaman traumatis berhubungan dengan peningkatan efek psikologis yang positif dan dalam jangka panjang menurunkan masalah-masalah kesehatan. Karena itu, proses katarsis yang diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional pada seseorang yang mengalami gangguan depresi akan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan simtom-simtom yang mengganggu dan meningkatkan kesejahteraan psikologis maupun fisik. Keuntungan ini terutama dapat diperoleh bagi mereka yang memiliki gangguan depresi dalam tingkat yang ringan. Depresi Depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stress kehidupan. Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut terus sampai saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali (Atkinson, 1991). Ciri-cirinya antara lain tidak ada harapan, patah hati, mengalami ketidakberdayaan berlebihan, selalu Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 23 Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa memikirkan kekurangan diri dan rasa tidak berarti. Menurut Beck (1985), depresi merupakan suatu “primary mood disorder” atau sebagai suatu “affective disorder”. Kemudian Beck memandang depresi dalam komponenkomponen sebagai berikut: a. Depresi merupakan kesedihan yang berkepanjangan dan keadaan jiwa yang apatis (komponen afektif) b. Depresi merupakan cara berpikir yang salah dalam memandang realitas di luar dan di dalam diri sendiri, sehingga terbentuk konsep diri yang negatif yang berlanjut pada perasaan rendah diri (komponen kognitif) c. Depresi merupakan gangguan terhadap fungsi fisiologis yang antara lain menyebabkan sukar tidur dan hilangnya nafsu makan serta seksual (komponen fisiologis) d. Depresi merupakan hilangnya kemampuan untuk berfungsinya secara wajar serta hilangnya dorongan dan energi untuk bertindak (komponen perilaku) Beck (1985) memandang gangguan depresi sebagai kontinuitas, jadi lebih dipandang secara kuantitatif (ada perbedaan tingkat dan derajat simtomnya) daripada kualitatif (ada tidaknya simtom). Perbedaan antara orang yang menderita depresi dengan yang tidak hanya pada rentang dan derajat ada tidaknya simtom yang muncul. Penyebab depresi Menurut sudut pandang psikoanalisa (Davison & Neale, 2001), timbulnya gangguan depresi ditekankan pada konflik yang tidak disadari dihubungkan dengan kesedihan dan kehilangan. Freud (Davison & Neale, 2001) menyatakan bahwa potensi depresi dihasilkan sejak awal masa kanakkanak. Selama periode oral, kebutuhan seorang anak kurang terpuaskan atau terpuaskan secara berlebihan, menyebabkan individu menjadi fiksasi pada tahap ini dan tergantung pada pemenuhan khusus secara instingtif. Fiksasi pada tahap oral akan mengembangkan suatu kecenderungan untuk tergantung pada orang lain dalam mempertahankan self-esteem. Simtom depresi Beck (1985) mengungkapkan bahwa simptom depresi tidak hanya berupa gangguan afek saja, tetapi dapat muncul dalam bentuk sebagai berikut: a. Perubahan suasana hati yang spesifik, seperti kesedihan, merasa sendiri dan apatis. b. Konsep diri yang negatif diikuti dengan menyalahkan diri dan mencela diri sendiri. c. Keinginan regresif dan menghukum diri sendiri, keinginan untuk menghindar, bersembunyi dan keinginan untuk mati. d. Perubahan-perubahan vegetatif seperti anoreksi, insomnia dan kehilangan nafsu makan. e. Perubahan dalam tingkat aktivitas seperti retardasi dan agitasi. Dalam kasus depresi, menurut Freud, penjelasan yang kompleks didasarkan pada analisis kehilangan. Ide Freud adalah kepribadian oral akan menjadi depresi ketika diikuti kehilangan sesuatu atau seseorang yang dicintai. Hampir mirip dengan ide tersebut adalah depresi ditimbulkan oleh peristiwa kehidupan yang menekan, dan hal ini seringkali terkait dengan perasaan kehilangan. Katarsis dalam Menulis Ekspresif Katarsis menurut sudut pandang psikoanalisa merupakan ekspresi dan pelepasan emosi yang ditekan. Kadangkala disinonimkan dengan abreaksi yang didefinisikan sebagai mengalami kembali pengalaman emosional yang menyakitkan dalam psikoterapi, biasanya melibatkan kesadaran pada materi 24 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 yang sebelumnya Wedding, 1989). ditekan (Corsini & Dalam Studies in Hysteria (1895, 1982), yang ditulis Sigmund Freud dengan rekannya Josef Breuer, Freud menganalisa kasus terkenal “Anna O.” dan wanita-wanita lain yang menderita histeria (Halgin & Whitbourne, 1994). Freud dan Breuer menggambarkan bagaimana Anna O., disembuhkan dari simtom-simtom histeria yang banyak dan bervariasi dengan menggunakan hipnosis. Sebagai tambahan, bagaimanapun, Anna O. menurut Breuer, dibiarkan untuk ikut serta dalam “membersihkan cerobong asap” yang juga disebut dengan “talking cure”. Ketika dia berbicara tentang masalah-masalahnya, ia merasa lebih baik, dan simtom-simtomnya pun menghilang. Freud dan Breuer menyebutnya dengan “cathartic method”, suatu pembersihan konflik emosional di dalam diri melalui berbicara tentangnya. Metode katarsis ini pelopor psikoterapi, tritmen perilaku abnormal melalui teknik psikologis. Penemuan ini akhirnya membawa Freud untuk mengembangkan psikoanalisis, suatu teori dan sistem praktis yang bersandar pada konsep unconsciuous mind, hambatan impuls-impuls seksual, perkembangan awal, dan penggunaan teknik “free asociation” dan analisa mimpi. Tujuan utama tritmen psikoanalisa tradisional yang dikembangkan oleh Freud adalah untuk membawa materi bawah sadar yang ditekan menuju kepada kesadaran. Teori katarsis juga dikemukakan oleh Scheff (Greenberg, dkk, 1996) yang memberikan pandangan alternatif pada proses-proses yang dapat memberikan keuntungan pada kesehatan melalui penyingkapan emosional. Menurut Scheff, penyingkapan secara verbal tidak terlalu penting dan tidak cukup untuk terapi, sedangkan pelepasan emosional merupakan hal yang penting dan mencukupi dalam terapi. Scheff mengusulkan bahwa penyembuhan dengan pelepasan emosional meliputi “jarak optimum” dari penekanan emosi yang kemudian diekspresikan. Pada suatu keadaan jarak optimum, partisipan dapat secara jelas mengalami emosi namun dalam suatu konteks “saat sekarang yang aman”. Mereka dapat mengakhiri episode emosional sebelum menjadi berlebihan. Oleh karena itu penyembuhan katarsis tidaklah sesederhana pembenaman ke dalam tekanan emosional, akan tetapi meliputi persepsi untuk dapat mengontrol dan menguasai perasaan-perasaan menekan saat ini. Beck (1985) mengemukakan bahwa hal yang bermanfaat untuk memberikan pasien depresi pada suatu diskusi situasi tentang kehidupan dan relasi yang mengganggu baginya. Ada kalanya, pasien terbantu dengan membuat ia mampu untuk mengekspresikan masalahmasalah dan perasaan-perasaannya pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya. Beberapa pasien terhambat dalam mendiskusikan kesulitan mereka dengan keluarga atau teman dekat, karena ketakutan bahwa akan dicela karena keluhan-keluhan yang disampaikan atau karena mereka mengantisipasi rasa malu pada pengakuan bahwa mereka memiliki masalah emosional. Mereka cenderung untuk menyamakan masalah emosional dengan kelemahan dan karakter yang cacat. Beberapa pasien depresi mengalami kelegaan yang sangat setelah membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada terapis. Pelepasan emosi dihasilkan dengan menangis kadangkala menghasilkan suatu peringanan simtom-simtom penting. Pasien depresi parah, bagaimanapun, dapat bereaksi merugikan pada pembeberan emosi. Setelah suatu diskusi pada permasalahan mereka, mereka dapat tidak hanya merasa lebih meluap-luap emosinya dan tidak berdaya, tetapi mungkin, sebagai tambahan, merasa malu atas penyingkapan diri mereka sendiri (Beck, 1985). Pada saat ini, terapi psikoanalisa telah berkembang dalam berbagai bentuk terapi Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 25 Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa dimana aspek utama tritmen berisi selfexpression, pelepasan emosi, mengatasi hambatan, dan mengeluarkan pikiran dalam kata-kata dan tingkah laku fantasi atau impuls-impuls sebelumnya disembunyikan. Kebanyakan bentuk tritmen menampilkan prinsip katarsis emosional yang Freud kembangkan pada studi awalnya mengenai histeria. Pada masa itu, Freud berpikir bahwa pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi suatu efek terapeutik yang menguntungkan (Corsini & Wedding, 1989). Ekspresif emosional merupakan ekspresi natural dari emosi yang sebenarnya (Berry & Pennebaker dalam Graf, 2004). Sedangkan penyingkapan emosi merupakan proses yang melibatkan perasaan alamiah atau emosi yang sebenarnya dan mengubahnya menjadi bahasa oral atau tertulis (Smyth & Pennebaker, dalam Graf, 2004). Smyth dan Pennebaker mengatakan proses ini dipercaya untuk mengintegrasi proses kognitif dan emosional, penyingkapan emosional memberikan kesempatan untuk meningkatkan insight, selfreflection, dan organisasi perspektif seseorang terhadap masalah daripada hanya sekedar mengeluarkan emosi. Penelitian-penelitian saat ini mengusulkan bahwa keuntungan ekspresi emosi tidak dibatasi pada ekspresi emosi yang vokal, kesehatan fisik dan psikologis dapat diperoleh melalui penulisan ekspresif tentang pengalaman hidup yang signifikan (Graf, 2004). Penelitian yang dilakukan Graf (2004) menunjukkan hasil bahwa klien pada kelompok written emotional disclosure memperlihatkan penurunan yang signifikan pada simtom-simtom kecemasan dan depresi; sebaik peningkatan fungsi kehidupan dan kepuasan yang lebih baik dengan tritmen ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi katarsis dan self-help yang telah dipraktekkan selama bertahun-tahun (Riordan, 1996). Menurut Riordan, Benjamin Rush yang seorang dokter memberikan instruksi kepada pasiennya untuk menulis simtom yang mereka alami dan menemukan bahwa proses menulis dapat menurunkan tegangan pada pasiennya dan memberikan informasi yang lebih banyak tentang masalah mereka. Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis pengalaman emosional dianggap sebagai faktor yang menghasilkan efek teraupetik. Sebaliknya, menulis hal-hal yang tidak sampai melibatkan unsur emosi di dalamnya, seperti membuat deskripsi mengenai kegiatan sehari-hari atau deskripsi suatu tempat misalnya, tidak menghasilkan efek yang sama. Mekanisme proses terapeutik menulis pengalaman emosional sebenarnya sama dengan mekanisme terapi-terapi yang lain. Mekanisme proses terapeutiknya berpusat pada penyingkapan (disclosure) pengalamanpengalaman emosional. Pengakuan dan penyingkapan diri merupakan proses dasar yang muncul dalam psikoterapi, dan secara alamiah muncul dalam interaksi sosial yang dianggap membawa manfaat secara psikologis dan bahkan mungkin secara fisik (Pennebaker,1997). Lebih lanjut Pennebaker (1997) menyatakan bahwa hampir dapat dipastikan psikoterapi membutuhkan dalam derajat tertentu penyingkapan diri. Apakah terapi tersebut adalah bersifat direktif atu evokatif, orientasi insight atau behavioral, pasien dan terapis harus bekerja bersama untuk mendapatkan suatu cerita yang koheren yang menjelaskan masalah dan secara langsung maupun tidak untuk menghasilkan suatu penyembuhan. Penyingkapan masalah pribadi mungkin memiliki nilai terupetik yang menakjubkan dalam dan pada dirinya sendiri. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh dalam 26 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 penelitian kuantitatif berupa angka, yang akan dianalisa secara statistik (Seniati dkk, 2005). Jenis penelitian yang diambil adalah penelitian eksperimental yang akan meneliti hubungan sebab-akibat dan bukan hanya melihat hubungan antar variabel. Menurut Solso dan MacLin (dalam Seniati dkk, 2005), penelitian eksperimental merupakan penyelidikan di mana minimal salah satu variabel dimanipulasi untuk mempelajari hubungan sebab-akibat. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Depresi Ringan sebagai variabel tergantung, dan Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai variabel bebas. Depresi Ringan merupakan gangguan afektif atau suasana hati yang meliputi komponen afektif, kognitif, fisiologis, dan perilaku, yang berada pada tingkat ringan. Katarsis dalam Menulis Ekspresif adalah proses penyingkapan emosi yang alamiah dan sebenarnya dengan mengubahnya menjadi bahasa tertulis melalui pelepasan dan mengalami kembali pengalaman emosional yang menyakitkan yang selama ini ditekan. Desain penelitian yang digunakan adalah Pretest-Posttest One Group Design. Pada desain ini, di awal penelitian, dilakukan pengukuran terhadap variabel terikat yang telah dimiliki subyek. Setelah diberikan manipulasi, dilakukan pengukuran kembali terhadap variabel terikat tersebut dengan alat ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Hal ini dapat digambarkan dalam bagan 1. Pengukuran (O1)  Manipulasi (X)  Pengukuran (O2) Bagan 1. Desain Penelitian Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengukur depresi pada awal penelitian kemudian diukur lagi dengan alat ukur yang sama setelah subjek penelitian memperoleh intervensi berupa menulis ekspresif yang menggunakan prinsip katarsis. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi tersebut sebagai variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara pretest (O1) dengan postest (O2). Untuk lebih meyakinkan dalam kesimpulan, dapat digunakan analisis statistik dengan correlated data t-test / paired-sample t-test (Seniati dkk, 2005). Bila ada perbedaan antara skor pretest dan skor posttest dimana skor posttest lebih tinggi secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa intervensi berupa katarsis dalam menulis ekspresif dapat menurunkan simtom depresi ringan. Desain seperti ini juga dikenal sebagai Within Participants/Cross-Over Design (Carter & Marks dalam Marks & Yardley, 2004) dimana beberapa orang yang sama diukur lebih dari satu kali dan dicatat perbedaan antara pengukuran pada waktu-waktu yang berbeda, yaitu pengukuran sebelum intervensi (Pretritmen) dan pengukuran setelah intervensi (Post-tritmen). Hanya saja kelemahan dalam desain adalah tidak memperhatikan efek perbedaan individual. Partisipan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang yang mengalami depresi ringan. Karena itu, partisipan sebelumnya akan di-screening terlebih dahulu untuk melihat tingkat depresinya. Metode pengumpulan data depresi menggunakan skala pengukuran depresi yaitu Beck Depression Inventory (BDI). Masingmasing kategori menggambarkan manifestasi depresi dan terdiri dari 4 pertanyaan yang disusun berjenjang, merefleksikan beratnya Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 27 Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa simton dari netral sampai terberat dengan nilai 0-3. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh subyek penelitian menunjukkan semakin tinggi depresi, begitu sebaliknya. Dalam memilih setiap pernyataan, partisipan boleh memilih lebih dari satu dan skor yang diperoleh subjek adalah skor tertinggi yang dipilih oleh subjek tersebut. Nilai total yang diperoleh subjek bergerak dari 0-63. Kategorisasi dari nilai BDI terlihat dalam tabel1. Tabel 1. Kategorisasi Total Nilai BDI Total Nilai 1-10 11-16 17-20 21-30 31-40 Di atas 40 Tingkat Depresi Normal Gangguan depresi ringan Depresi sudah mengarah ke klinis Depresi sedang Depresi berat Depresi ekstrim Analisa data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solutions), analisis statistik correlated data t-test / paired-sample t-test. Uji t pada satu populasi akan menguji apakah rata-rata populasi sama dengan suatu harga tertentu, dan uji t paired (uji t berpasangan) justru mengharuskan dua sampel berhubungan (Santoso, 2000). Karena itu dalam penelitian ini akan digunakan uji t paired untuk melihat apakah intervensi dapat efektif, yaitu digunakan data sebelum dan sesudah intervensi. Ciri utama dari uji t adalah jumlah sampel relatif kecil, di bawah 30. Sedangkan asumsinya adalah t hitung bisa ditentukan dengan dua kemungkinan, yaitu varians kedua populasi yang diuji sama maupun berbeda. Selain itu, sampel yang diambil berdistribusi normal atau mendekati normal atau bisa dianggap normal. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa ketentuan sebagai berikut: 1. Diawali dengan menentukan partisipan, yaitu mahasiswa yang mengalami depresi ringan. Terkait dengan hal tersebut maka sebelumnya dilakukan screening untuk menentukan partisipan. Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas reguler pagi. Setelah partisipan ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Dari 84 skala yang terisi, diperoleh 47 mahasiswa yang dapat menjadi partisipan penelitian. Partisipan yang memenuhi undangan pra-intervensi sejumah 31 orang dan hanya 23 partisipan yang dapat mengikuti pelaksanaan ekpresimen secara lengkap sampai dengan selesai. 2. Intervensi dilakukan selama dua minggu. Sebelum intervensi dilakukan pengukuran depresi sebagai baseline, dan kemudian dilakukan pengukuran yang kedua yang dilakukan setelah intervensi dilakukan. Kedua data ini yang kemudian akan dianalisa untuk memberikan kesimpulan pada hipotetis yang telah diajukan. 3. Partisipan akan diberikan instruksi tertulis di dalam amplop dimana di dalam instruksi juga dijelaskan mengenai jumlah waktu partisipan membuat tulisan ekspresif (20 menit). Berikut instruksi yang diberikan: “Selama setiap minggu sesi terapi, kami meminta Anda untuk menuliskan tentang pengalaman-pengalaman sepanjang kehidupan Anda yang paling menyusahkan dan menjengkelkan selama 20 menit. Anda 28 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 dapat menulis topik yang berbeda ataupun sama pada setiap minggu untuk dua minggu. Usahakan menuliskan satu topik dalam satu tulisan. Tulisan tersebut dapat berupa pengalaman dari masa kecil atau sesuatu yang terjadi baru-baru ini yang mengganggu perasaan Anda. Hal yang penting adalah Anda menuliskan tentang piliran-pikiran dan perasaan-perasaan terdalam tentang masalah emosional Anda. Anda dapat atau tidak ingin mendiskusikan tulisan Anda atau tema tulisan Anda dengan terapis Anda. Ini adalah pilihan Anda. Tulisan Anda akan dijaga kerahasiaannya secara utuh. Jangan khawatir tentang tata bahasa dan tata tulis.” 4. Partisipan dianjurkan mencari tempat untuk menulis yang membebaskan pengungkapan emosinya dan tidak mengganggu proses menulisnya, seperti bebas dari cahaya, suara dan bau yang mengganggu. 5. Setiap minggu dalam dua minggu sesi terapi akan dilakukan sesi umpan balik dengan memperhatikan skema proses mengatasi depresi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Sesi ini digunakan untuk mengukur kepuasan partisipan dengan sesi terapi, dan tingkat dimana mereka merasa bahwa mereka mempelajari kecakapan sesuai dengan tujuan terapi. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Karakteristik subjek penelitian Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas reguler pagi. Penyebaran skala BDI yang telah dilakukan pada setiap angkatan menghasilkan 84 skala yang terisi. Dengan perincian jumlah subjek seperti yang terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Angkatan Angkatan 2008 Angkatan 2007 Angkatan 2006 Angkatan 2005 Angkatan 2004 Angkatan 2002 Total Melalui hasil screening tersebut, dilakukan penentuan partisipan berdasarkan total nilai BDI yang diperoleh oleh subjek di atas berdasarkan kategori yang diberikan oleh Total Nilai 1 – 10 11 – 16 17 – 20 21 – 30 31 – 40 Di atas 40 Jumlah 36 25 15 4 3 1 84 Prosentase 42,86 % 29,76% 17,86% 4,76% 3,57% 1,19% 100% Beck, menghasilkan jumlah partisipan yang dapat diambil dalam penelitian ini seperti yang tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Hasil BDI Subjek Penelitian Tingkat Depresi Tingkat Depresi Normal Gangguan depresi ringan Depresi sudah mengarah ke klinis Depresi sedang Depresi berat Depresi ekstrim 37 22 17 7 1 0 Prosentase 44,05% 26,19 20,24 8,33 1,19 0 Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 29 Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa Dari hasil tersebut ditentukan jumlah partisipan sebanyak 47 orang, yaitu mahasiswa yang memiliki total nilai 11 ke atas. Setelah partisipan ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Jumlah partisipan penelitian yang mengikuti secara lengkap sampai dengan selesai adalah 23 orang. Hasil analisa data Melalui analisis statistik correlated data ttest/paired-sample t-test diperoleh hasil t hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Hal ini menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa. Hasil analisis tersebut didukung pula dengan data rata-rata pre-test dan posttest yang menunjukkan terjadi penurunan tingkat depresi, yaitu yang semula 16,87 menjadi 7,53. Ada sebagian partisipan yang tidak menggunakan media diskusi untuk membahas secara verbal mengenai pokok tulisan mereka, yaitu 7 orang dari 23 partisipan. Dengan demikian, perlu pula dilihat apakah ada perbedaan antara kelompok partisipan yang mengikuti diskusi dan yang tidak mengikuti diskusi. Adapun hasil dari rata-rata selisih nilai BDI dua kelompok tersebut ternyata menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu rata-rata kelompok non-diskusi sebesar 9,1429 dan rata-rata kelompok diskusi 9,6875. Hasil evaluasi eksperimen Dari evaluasi yang diberikan kepada partisipan setelah melakukan eksperimen selama dua minggu menunjukkan sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 4. Tabel 4. Prosentase Hasil Evaluasi Eksperimen Prosentase terbesar No. Pernyataan Tingkat % 1. Seberapa pribadi tulisan Sangat pribadi 43,48% Sebelum eksperimen, sebarapa banyak bercerita pada Hampir tidak 39,13% 2. orang lain sama sekali 3. Seberapa banyak melepaskan emosi Sangat banyak 30,43% Agak banyak 21,74% 4. Seberapa banyak menahan diri bercerita Banyak 21,74% Sebelum eksperimen, seberapa banyak keinginan Hampir tidak 21,74% 5. berbicara dengan orang lain sama sekali 6. Seberapa sulit menulis sesuatu sebelum eksperimen Sedang 21,74% Sedang 26,09% 7. Seberapa sedih perasaan sebelum eksperimen Sedih sekali 26,09% 8. Seberapa bahagia perasaan sebelum eksperimen Sedang 26,09% Seberapa jauh memikirkan perasaan tersebut sebelum Sangat banyak 34,78% 9. eksperimen Seberapa jauh berpikir tentang topik tulisan selama Banyak 34,78% 10. eksperimen 11. Seberapa penting tulisan Sangat penting 47,83% Seberapa jauh kegunaan dan makna eksperimen Sangat 52,17% 12. bermakna/berguna Seberapa jauh tulisan membantu menyingkap hal yang Sangat banyak 39,13% 13. menguasai pikiran penjelasan bahwa seseorang memperoleh keuntungan baik fisik dan psikologis setelah mengungkapkan suatu rahasia. Ekspresi emosi dapat meningkatkan kemampuan mengatasi persitiwa kehidupan yang menekan, termasuk gagasan bahwa ekspresi emosi meningkatkan insight dan selfunderstanding, resolusi kognitif, dan melihat pengalaman masa lalu dengan cara yang berbeda. Pengalaman menceritakan kisah hidup emosional, termasuk lewat tulisan, memberikan kesempatan kepada individu untuk mengatur dan membuat masuk akal pengalaman-pengalaman mereka. Pembahasan Hasil screening yang dilakukan pada mahasiswa reguler pagi Fakultas Psikologi USM ditemukan bahwa dari 84 mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 (55,95%) diantaranya mengalami depresi. Hal ini menunjukkan prevalensi yang cukup mengkhawatirkan, karena lebih dari separuh dari subjek penelitian mengalami gangguan terutama dalam mood, yang tentunya akan mempengaruhi bukan hanya akademik tetapi juga pribadi mahasiswa yang bersangkutan secara keseluruhan. Bahkan ada satu orang mahasiswa yang sudah mengalami depresi dalam tingkat yang berat. Hasil ini juga mendukung pernyataan Michael dan kawankawan (2006) yang menyatakan bahwa perasaan depresi memang merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan mahasiswa. Bila tidak dapat diantisipasi sejak dini akan menimbulkan masalah yang semakin berat di kemudian hari. Partisipan penelitian yang telah mengikuti terapi menulis ekspresif telah menunjukkan terjadinya pelepasan emosi seperti apa yang telah diungkapkan oleh Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005), bahwa proses katarsis yang diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional pada seseorang yang mengalami gangguan depresi akan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan simtomsimtom yang mengganggu dan meningkatkan kesejahteraan psikologis maupun fisik. Partisipan menjadi terbantu dengan membuat ia mampu untuk mengekspresikan masalahmasalah dan perasaan-perasaannya pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya sehingga kelegaan yang sangat setelah membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada terapis. Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis pengalaman emosional inilah yang dianggap oleh Riordan (1996) sebagai faktor yang menghasilkan efek teraupetik. Hasil analisis telah menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif sebagai media katarsis memiliki pengaruh meringankan terhadap depresi ringan. Efek terapeutik menulis dapat digambarkan oleh banyak dasar teori. Salah satunya adalah teori inhibisi psikosomatis, yang menjelaskan bahwa represi pikiran, perasaan, atau perilaku seseorang, khususnya pada hal-hal yang traumatis atau menyusahkan, merupakan suatu bentuk kerja fisiologis dan psikologis (Riordan, 1996). Menyebut secara verbal atau menggambarkan suatu trauma melalui tulisan memberikan seorang individu melakukan proses kognitif mengenai peristiwa tersebut dan memperoleh suatu kontrol, kemudian mengurangi inhibisi. Tepatnya, menulis mengurangi perenungan obsesif internal dan melanjutkan emosi negatif yang dapat memperburuk kesehatan dan masalah psikologis. Berdasarkan hasil dari perbandingan rata-rata selisih nilai BDI pada kelompok partisipan yang mengikuti sesi diskusi dan yang tidak ternyata menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua kelompok tersebut terhadap penurunan tingkat depresi. Hal ini menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif sebagai katarsis memang memiliki pengaruh yang sangat Graf (2004) menyatakan dalam penelitiannya bahwa dalam teori inhibisi memberikan 30 Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 31 Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa signifikan terhadap penurunan tingkat depresi ringan pada mahasiswa, walaupun tidak menggunakan pelepasan emosional secara verbal lewat sesi diskusi. Hasil ini semakin menguatkan aplikasi menulis ekspresif sebagai media terapi dalam penurunan tingkat depresi ringan. Hasil evaluasi eksperimen juga menunjukkan data yang mendukung hasil penelitian bahwa menulis ekspresif memberikan pengaruh yang signifikan dalam menurunkan depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini tampak sekali dalam pernyataan mengenai manfaat atau kegunaan eksperimen pada partisipan yang memiliki prosentase terbesar dalam evaluasi tersebut, yaitu 52,17%. Sedangkan dari hasil evaluasi eksperimen secara kuantitatif dan kualitatif dapat disimpulkan bahwa permasalahan emosional yang selama ini banyak mereka pikirkan dan mengganggu perasaan dapat dikeluarkan dalam proses eksperimen, sehingga perasaan mereka setelah selesai menulis menjadi lebih baik serta memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan yakin dapat mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. DAFTAR PUSTAKA Allgower, A., Wardle, J. & Steptoe, A. (2001) Depressive symtoms, social support, and personal health behaviors in young men and women. Health Psychology. 20. 3. 223 – 227. Atkinson, R.I. (1991). Pengantar Psikologi (alih bahasa : Nurjanah). Jakarta: Penerbit Erlangga. Baikie, K.A. & Wilhelm, K. (2005). Emotional and Physical Health Benefits of Expressive Writing. Advances in Psychiatric Treatment. 11. 338-346. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh katarsis yang sangat signifikan dalam menulis ekspresif terhadap depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa pada mahasiswa yang mengalami depresi ringan, melalui terapi menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional sebagai katarsis atau pelepasan emosi dapat menurunkan tingkat depresi ringan mereka. Saran Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya depresi pada mahasiswa. Penemuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peran keluarga dan teman menjadi faktor yang menentukan terjadinya gangguan mood pada partisipan penelitian. Diharapkan dengan penelitianpenelitian lanjutan, terutama mengkaji faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap depresi dapat menambah khasanah wawasan mengenai depresi pada mahasiswa. Beck, A.T. (1985). Depression: Causes and Treatment. Philadeplhia: University of Pennsylvania Press. Carter, D.C. & Marks, D.F. (2004) Intervention Studies: Design and Analysis dalam Marks, D.F., Yardley, L. 2004. Research Methods for Clinical and Health Psychology. London: SAGE Publications. Corsini, R.J. & Wedding, D. (1989). Current Psychotherapy. Fourth Edition. Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc. Davison, G.C. & Neale, J.M. (2001). Abnormal Psychology. Eight Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. 32 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 Geisner, I.M. (2006). Alternative Brief Interventions for Mild Depression. Psychiatrictimes. October 01, 2006 Vol. 23 No. 11. http://www.psychiatrictimes.com Graf, M.C. (2004). Written Emotional Disclosure: What are the Benefits of Expressive Writing in Psychotherapy?. Thesis. Drexel University. Greenberg, M.A., Wortman, C.B. & Stone, A.A. (1996). Emotional expression and physical health: Revising traumatic memories or fostering self regulatin? Journal of Personality and Social Psychology. Vol 71, 588 – 602. Halgin, R.P. & Whitbourne, S.K. (1994). Abormal Psychology. The Human Experience of Psychological Disorders. Orlando: Harcourt Brace & Company. Michael, K.D., Huelsman, T.J., Gerard, C., Gilligan, T. M. & Gustafson, M.R. (2006). Depression Among College Students: Trends in Prevalence and Treatment Seeking. Counseling and Clinical Psychology Journal. 3. 2. 6070. Paez, D., Velasco, C. & Gonzalez, J.L. (1999). Expressive writing and the role of alexythimia as a dispositional deficit in self-disclosure and psychological health. Journal of Personality and Social Psychology. 77.3. 630-641. Pennebaker, J.W. (1997). Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotion. New York: Guilford Press. Riordan, R.J. (1996). Scriptotherapy: Therapeutic writing as a counseling adjunct. Journal of Counseling and Development. 74. 3. 263 – 269. Santoso, S. (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Seniati, L., Yulianto, A. & Setiadi, B.N. (2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta: PT. Indeks. REVIEW JURNAL Nama Jurnal: Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 1. Judul Penelitian : PENGARUH KATARSIS DALAM MENULIS EKSPRESIF SEBAGAI INTERVENSI DEPRESI RINGAN PADA MAHASISWA 2. Nama Peneliti : Novi Qonitatin, Sri Widyawati, Gusti Yuli Asih 3. Abstrak : Depresi ringan banyak dialami oleh orang dewasa muda, terutama dalam hal ini adalah mahasiswa dimana mereka memiliki tuntutan peran dan tugas yang tidak mudah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh katarsis dalam menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa. Sebagai partisipan penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah BDI (Beck Depression Inventory) untuk melihat tingkat depresi pada partisipan penelitian. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi menulis ekspresif sebagai variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara pretest (O1) dengan postest (O2). Analisis statistik yang digunakan adalah correlated data t-test / paired-sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan 84 mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 orang (55,95%) diantaranya mengalami depresi, dimana sebagian besar berada pada taraf depresi ringan. Hasil analisis statistik memperoleh hasil t hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa. 4. Pendahuluan/latar belakang masalah : Depresi telah lama dikenali sebagai suatu perhatian utama bagi pemberi layanan kesehatan (Geisner, 2006). Seperti yang dikemukakan Atkinson (1991), depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stres kehidupan. Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut terus sampai saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali. Dalam kondisi dan lingkungan yang semakin penuh dengan peristiwa yang memberikan stres, mudah sekali orang untuk mengalami gangguan depresi. Depresi dan berkurangnya kesejahteraan psikologis merupakan permasalahan kesehatan yang utama pada orang muda (Allgower dkk, 2001). Ditambahkan oleh Michael dkk (2006), menyatakan bahwa perasaan depresi merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan mahasiswa. Mereka menemukan bahwa terdapat proporsi yang substansif yang dilaporkan memiliki simpomsimptom depresi yang signifikan. Mengutip hasil penelitian Beck dan Young, dikatakan tiga perempat dari seluruh mahasiswa merasa depresi selama beberapa waktu pada masa sekolah. Hal ini dapat terjadi mengingat banyaknya masalah yang menghadang keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan studinya dan terbukanya peluang bagi mahasiswa untuk mengalami simtomsimtom depresi karena berbagai masalah yang mungkin timbul. Seperti adaptasi terhadap situasi dan kondisi kampus, tugas yang menumpuk, tuntutan akan nilai yang bagus, dan lain sebagainya. Bahkan menurut Reifman dan DunkelSchetter (dalam Allgower dkk, 2001), simtom depresi dan kecemasan menjadi perhatian khusus pada mahasiswa dan dihubungkan dengan performansi akademik yang rendah dan partisipasi rendah dalam aktivitas kampus. Mengutip pandangan Beck bahwa depresi merupakan suatu kontinum, Geisner (2006) menyatakan bahwa tritmen diperlukan dalam semua tingkatan. Khususnya, simtom ringan depresi kurang ditanggapi untuk ditangani, kemudian akan menjadi resiko bagi perkembangan episode depresi mayor dan mengalami konsekuensi lain akibat dari suasana hati yang depresif. Individu dengan riwayat depresi yang rendah atau yang memiliki depresi ringan dapat dibantu dengan suatu pendekatan peningkatan motivasi. Sebagai alternatif, dengan biaya rendah, terapi menulis merupakan suatu cara dalam menurunkan depresi, terutama pada mahasiswa (Geisner, 2006). Aktivitas menulis membuat seseorang berpikir tentang peristiwa yang ia alami dan proses emosional serta elemen objektif pada peristiwa tersebut, yang akan meredakan renungan peristiwa tersebut. Bukti empiris telah mendukung gagasan bahwa ekspresi emosional meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi peristiwa-peristiwa kehidupan yang menekan. Pada masa yang lalu, penelitian ekspresi emosional difokuskan pada ekspresi verbal pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan, sebagaimana yang ditemukan pada kebanyakan teori-teori psikoterapi tradisional. Bagaimanapun, saat ini, penelitian yang menyelidiki ekspresi tertulis pada pengalaman hidup yang traumatis telah memperlihatkan memberikan keuntungan kesehatan baik secara psikologis maupun fisik (Graf, 2004). Pennebaker (1997) menyatakan bahwa menulis pengalaman emosional atau menulis peristiwa yang penuh tekanan (stressful events) telah menjadi kajian yang menarik pada beberapa tahun belakangan ini. Beberapa penelitian laboratorium telah mempelajari kegunaan menulis atau berbicara mengenai pengalaman emosional. Menghadapi atau berkonfrontasi dengan isu-isu pribadi secara mendalam telah mendapat penemuan akan menghasilkan kesehatan fisik, kesejahteraan subjektif dan tingkah laku adaptif tertentu. Paez dkk (1999) mencatat bahwa menghadapi atau berkonfrontasi dengan peristiwa-peristiwa penuh tekanan dan traumatis yang dilakukan dalam prosedur menulis dilaporkan menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam kesehatan fisik (misalnya, lebih sedikit mengunjungi fasilitas kesehatan), fungsi fisiologis yang lebih tinggi (misal, reaksi kekebalan tubuh yang lebih baik) dan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (misal, afek negatif yang lebih rendah dan afek positif yang lebih tinggi). Kesimpulan tersebut juga dapat dilihat pada Pennebaker (1997) yang juga menyebutkan bahwa akibat menulis mengenai topik tertentu, ternyata berhubungan dengan perbaikan peringkat mahasiswa pada bulan setelah penelitian dilakukan dan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih cepat pada tingkat senior. Secara jelas Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005) menyatakan bahwa menulis tentang pengalaman traumatis berhubungan dengan peningkatan efek psikologis yang positif dan dalam jangka panjang menurunkan masalah-masalah kesehatan. Karena itu, proses katarsis yang diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional pada seseorang yang mengalami gangguan depresi akan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan simtom-simtom yang mengganggu dan meningkatkan kesejahteraan psikologis maupun fisik. Keuntungan ini terutama dapat diperoleh bagi mereka yang memiliki gangguan depresi dalam tingkat yang ringan. 5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :  Depresi Depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stress kehidupan. Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut terus sampai saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali (Atkinson, 1991). Ciri-cirinya antara lain tidak ada harapan, patah hati, mengalami ketidakberdayaan berlebihan, selalu memikirkan kekurangan diri dan rasa tidak berarti. Menurut Beck (1985), depresi merupakan suatu “primary mood disorder” atau sebagai suatu “affective disorder”. Kemudian Beck memandang depresi dalam komponen-komponen sebagai berikut: a. Depresi merupakan kesedihan yang berkepanjangan dan keadaan jiwa yang apatis (komponen afektif) b. Depresi merupakan cara berpikir yang salah dalam memandang realitas di luar dan di dalam diri sendiri, sehingga terbentuk konsep diri yang negatif yang berlanjut pada perasaan rendah diri (komponen kognitif) c. Depresi merupakan gangguan terhadap fungsi fisiologis yang antara lain menyebabkan sukar tidur dan hilangnya nafsu makan serta seksual (komponen fisiologis) d. Depresi merupakan hilangnya kemampuan untuk berfungsinya secara wajar serta hilangnya dorongan dan energi untuk bertindak (komponen perilaku) Simtom depresi Beck (1985) mengungkapkan bahwa simptom depresi tidak hanya berupa gangguan afek saja, tetapi dapat muncul dalam bentuk sebagai berikut: a. Perubahan suasana hati yang spesifik, seperti kesedihan, merasa sendiri dan apatis. b. Konsep diri yang negatif diikuti dengan menyalahkan diri dan mencela diri sendiri. c. Keinginan regresif dan menghukum diri sendiri, keinginan untuk menghindar, bersembunyi dan keinginan untuk mati. d. Perubahan-perubahan vegetatif seperti anoreksi, insomnia dan kehilangan nafsu makan. e. Perubahan dalam tingkat aktivitas seperti retardasi dan agitasi. Beck (1985) memandang gangguan depresi sebagai kontinuitas, jadi lebih dipandang secara kuantitatif (ada perbedaan tingkat dan derajat simtomnya) daripada kualitatif (ada tidaknya simtom). Perbedaan antara orang yang menderita depresi dengan yang tidak hanya pada rentang dan derajat ada tidaknya simtom yang muncul. Penyebab depresi Menurut sudut pandang psikoanalisa (Davison & Neale, 2001), timbulnya gangguan depresi ditekankan pada konflik yang tidak disadari dihubungkan dengan kesedihan dan kehilangan. Freud (Davison & Neale, 2001) menyatakan bahwa potensi depresi dihasilkan sejak awal masa kanakkanak. Selama periode oral, kebutuhan seorang anak kurang terpuaskan atau terpuaskan secara berlebihan, menyebabkan individu menjadi fiksasi pada tahap ini dan tergantung pada pemenuhan khusus secara instingtif. Fiksasi pada tahap oral akan mengembangkan suatu kecenderungan untuk tergantung pada orang lain dalam mempertahankan self-esteem. Dalam kasus depresi, menurut Freud, penjelasan yang kompleks didasarkan pada analisis kehilangan. Ide Freud adalah kepribadian oral akan menjadi depresi ketika diikuti kehilangan sesuatu atau seseorang yang dicintai. Hampir mirip dengan ide tersebut adalah depresi ditimbulkan oleh peristiwa kehidupan yang menekan, dan hal ini seringkali terkait dengan perasaan kehilangan.  Katarsis dalam Menulis Ekspresif Katarsis menurut sudut pandang psikoanalisa merupakan ekspresi dan pelepasan emosi yang ditekan. Kadangkala disinonimkan dengan abreaksi yang didefinisikan sebagai mengalami kembali pengalaman emosional yang menyakitkan dalam psikoterapi, biasanya melibatkan kesadaran pada materi yang sebelumnya ditekan (Corsini & Wedding, 1989). Dalam Studies in Hysteria (1895, 1982), yang ditulis Sigmund Freud dengan rekannya Josef Breuer, Freud menganalisa kasus terkenal “Anna O.” dan wanita-wanita lain yang menderita histeria (Halgin & Whitbourne, 1994). Freud dan Breuer menggambarkan bagaimana Anna O., disembuhkan dari simtom-simtom histeria yang banyak dan bervariasi dengan menggunakan hipnosis. Sebagai tambahan, bagaimanapun, Anna O. menurut Breuer, dibiarkan untuk ikut serta dalam “membersihkan cerobong asap” yang juga disebut dengan “talking cure”. Ketika dia berbicara tentang masalah-masalahnya, ia merasa lebih baik, dan simtom-simtomnya pun menghilang. Freud dan Breuer menyebutnya dengan “cathartic method”, suatu pembersihan konflik emosional di dalam diri melalui berbicara tentangnya. Metode katarsis ini pelopor psikoterapi, tritmen perilaku abnormal melalui teknik psikologis. Penemuan ini akhirnya membawa Freud untuk mengembangkan psikoanalisis, suatu teori dan sistem praktis yang bersandar pada konsep unconsciuous mind, hambatan impuls-impuls seksual, perkembangan awal, dan penggunaan teknik “free asociation” dan analisa mimpi. Tujuan utama tritmen psikoanalisa tradisional yang dikembangkan oleh Freud adalah untuk membawa materi bawah sadar yang ditekan menuju kepada kesadaran. Teori katarsis juga dikemukakan oleh Scheff (Greenberg, dkk, 1996) yang memberikan pandangan alternatif pada proses-proses yang dapat memberikan keuntungan pada kesehatan melalui penyingkapan emosional. Menurut Scheff, penyingkapan secara verbal tidak terlalu penting dan tidak cukup untuk terapi, sedangkan pelepasan emosional merupakan hal yang penting dan mencukupi dalam terapi. Scheff mengusulkan bahwa penyembuhan dengan pelepasan emosional meliputi “jarak optimum” dari penekanan emosi yang kemudian diekspresikan. Pada suatu keadaan jarak optimum, partisipan dapat secara jelas mengalami emosi namun dalam suatu konteks “saat sekarang yang aman”. Mereka dapat mengakhiri episode emosional sebelum menjadi berlebihan. Oleh karena itu penyembuhan katarsis tidaklah sesederhana pembenaman ke dalam tekanan emosional, akan tetapi meliputi persepsi untuk dapat mengontrol dan menguasai perasaan-perasaan menekan saat ini. Beck (1985) mengemukakan bahwa hal yang bermanfaat untuk memberikan pasien depresi pada suatu diskusi situasi tentang kehidupan dan relasi yang mengganggu baginya. Ada kalanya, pasien terbantu dengan membuat ia mampu untuk mengekspresikan masalah-masalah dan perasaan-perasaannya pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya. Beberapa pasien terhambat dalam mendiskusikan kesulitan mereka dengan keluarga atau teman dekat, karena ketakutan bahwa akan dicela karena keluhan-keluhan yang disampaikan atau karena mereka mengantisipasi rasa malu pada pengakuan bahwa mereka memiliki masalah emosional. Mereka cenderung untuk menyamakan masalah emosional dengan kelemahan dan karakter yang cacat. Beberapa pasien depresi mengalami kelegaan yang sangat setelah membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada terapis. Pelepasan emosi dihasilkan dengan menangis kadangkala menghasilkan suatu peringanan simtom-simtom penting. Pasien depresi parah, bagaimanapun, dapat bereaksi merugikan pada pembeberan emosi. Setelah suatu diskusi pada permasalahan mereka, mereka dapat tidak hanya merasa lebih meluapluap emosinya dan tidak berdaya, tetapi mungkin, sebagai tambahan, merasa malu atas penyingkapan diri mereka sendiri (Beck, 1985). Pada saat ini, terapi psikoanalisa telah berkembang dalam berbagai bentuk terapi dimana aspek utama tritmen berisi selfexpression, pelepasan emosi, mengatasi hambatan, dan mengeluarkan pikiran dalam kata-kata dan tingkah laku fantasi atau impuls-impuls sebelumnya disembunyikan. Kebanyakan bentuk tritmen menampilkan prinsip katarsis emosional yang Freud kembangkan pada studi awalnya mengenai histeria. Pada masa itu, Freud berpikir bahwa pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi suatu efek terapeutik yang menguntungkan (Corsini & Wedding, 1989). Ekspresif emosional merupakan ekspresi natural dari emosi yang sebenarnya (Berry & Pennebaker dalam Graf, 2004). Sedangkan penyingkapan emosi merupakan proses yang melibatkan perasaan alamiah atau emosi yang sebenarnya dan mengubahnya menjadi bahasa oral atau tertulis (Smyth & Pennebaker, dalam Graf, 2004). Smyth dan Pennebaker mengatakan proses ini dipercaya untuk mengintegrasi proses kognitif dan emosional, penyingkapan emosional memberikan kesempatan untuk meningkatkan insight, selfreflection, dan organisasi perspektif seseorang terhadap masalah daripada hanya sekedar mengeluarkan emosi. Penelitian-penelitian saat ini mengusulkan bahwa keuntungan ekspresi emosi tidak dibatasi pada ekspresi emosi yang vokal, kesehatan fisik dan psikologis dapat diperoleh melalui penulisan ekspresif tentang pengalaman hidup yang signifikan (Graf, 2004). Penelitian yang dilakukan Graf (2004) menunjukkan hasil bahwa klien pada kelompok written emotional disclosure memperlihatkan penurunan yang signifikan pada simtom-simtom kecemasan dan depresi; sebaik peningkatan fungsi kehidupan dan kepuasan yang lebih baik dengan tritmen ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi katarsis dan self-help yang telah dipraktekkan selama bertahun-tahun (Riordan, 1996). Menurut Riordan, Benjamin Rush yang seorang dokter memberikan instruksi kepada pasiennya untuk menulis simtom yang mereka alami dan menemukan bahwa proses menulis dapat menurunkan tegangan pada pasiennya dan memberikan informasi yang lebih banyak tentang masalah mereka. Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis pengalaman emosional dianggap sebagai faktor yang menghasilkan efek teraupetik. Sebaliknya, menulis hal-hal yang tidak sampai melibatkan unsur emosi di dalamnya, seperti membuat deskripsi mengenai kegiatan seharihari atau deskripsi suatu tempat misalnya, tidak menghasilkan efek yang sama. Mekanisme proses terapeutik menulis pengalaman emosional sebenarnya sama dengan mekanisme terapi-terapi yang lain. Mekanisme proses terapeutiknya berpusat pada penyingkapan (disclosure) pengalamanpengalaman emosional. Pengakuan dan penyingkapan diri merupakan proses dasar yang muncul dalam psikoterapi, dan secara alamiah muncul dalam interaksi sosial yang dianggap membawa manfaat secara psikologis dan bahkan mungkin secara fisik (Pennebaker,1997). Lebih lanjut Pennebaker (1997) menyatakan bahwa hampir dapat dipastikan psikoterapi membutuhkan dalam derajat tertentu penyingkapan diri. Apakah terapi tersebut adalah bersifat direktif atu evokatif, orientasi insight atau behavioral, pasien dan terapis harus bekerja bersama untuk mendapatkan suatu cerita yang koheren yang menjelaskan masalah dan secara langsung maupun tidak untuk menghasilkan suatu penyembuhan. Penyingkapan masalah pribadi mungkin memiliki nilai terupetik yang menakjubkan dalam dan pada dirinya sendiri. 6. Hipotesis : Katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa. 7. Sampel/subjek penelitian : Subjek penelitian adalah 84 mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas reguler pagi. Dari 84 skala yang terisi, diperoleh 47 mahasiswa yang dapat menjadi partisipan penelitian. Partisipan yang memenuhi undangan praintervensi sejumah 31 orang dan hanya 23 partisipan yang dapat mengikuti pelaksanaan ekpresimen secara lengkap sampai dengan selesai. 8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen : Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh dalam penelitian kuantitatif berupa angka, yang akan dianalisa secara statistik (Seniati dkk, 2005). Jenis penelitian yang diambil adalah penelitian eksperimental yang akan meneliti hubungan sebab-akibat dan bukan hanya melihat hubungan antar variabel. Menurut Solso dan MacLin (dalam Seniati dkk, 2005), penelitian eksperimental merupakan penyelidikan di mana minimal salah satu variabel dimanipulasi untuk mempelajari hubungan sebab-akibat. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Depresi Ringan sebagai variabel tergantung, dan Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai variabel bebas. Depresi Ringan merupakan gangguan afektif atau suasana hati yang meliputi komponen afektif, kognitif, fisiologis, dan perilaku, yang berada pada tingkat ringan. Katarsis dalam Menulis Ekspresif adalah proses penyingkapan emosi yang alamiah dan sebenarnya dengan mengubahnya menjadi bahasa tertulis melalui pelepasan dan mengalami kembali pengalaman emosional yang menyakitkan yang selama ini ditekan. Desain penelitian yang digunakan adalah Pretest-Posttest One Group Design. Pada desain ini, di awal penelitian, dilakukan pengukuran terhadap variabel terikat yang telah dimiliki subyek. Setelah diberikan manipulasi, dilakukan pengukuran kembali terhadap variabel terikat tersebut dengan alat ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Hal ini dapat digambarkan dalam bagan 1. Pengukuran (O1) ➔ Manipulasi (X) ➔ Pengukuran (O2) Bagan 1. Desain Penelitian Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengukur depresi pada awal penelitian kemudian diukur lagi dengan alat ukur yang sama setelah subjek penelitian memperoleh intervensi berupa menulis ekspresif yang menggunakan prinsip katarsis. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi tersebut sebagai variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara pretest (O1) dengan postest (O2). Untuk lebih meyakinkan dalam kesimpulan, dapat digunakan analisis statistik dengan correlated data t-test / paired-sample t-test (Seniati dkk, 2005). Bila ada perbedaan antara skor pretest dan skor posttest dimana skor posttest lebih tinggi secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa intervensi berupa katarsis dalam menulis ekspresif dapat menurunkan simtom depresi ringan. Desain seperti ini juga dikenal sebagai Within Participants/Cross-Over Design (Carter & Marks dalam Marks & Yardley, 2004) dimana beberapa orang yang sama diukur lebih dari satu kali dan dicatat perbedaan antara pengukuran pada waktu-waktu yang berbeda, yaitu pengukuran sebelum intervensi (Pre- tritmen) dan pengukuran setelah intervensi (Post-tritmen). Hanya saja kelemahan dalam desain adalah tidak memperhatikan efek perbedaan individual. Partisipan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang yang mengalami depresi ringan. Karena itu, partisipan sebelumnya akan di-screening terlebih dahulu untuk melihat tingkat depresinya. 9. Metode Pengambilan Data : Metode pengumpulan data depresi menggunakan skala pengukuran depresi yaitu Beck Depression Inventory (BDI). Masing-masing kategori menggambarkan manifestasi depresi dan terdiri dari 4 pertanyaan yang disusun berjenjang, merefleksikan beratnya simton dari netral sampai terberat dengan nilai 0-3. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh subyek penelitian menunjukkan semakin tinggi depresi, begitu sebaliknya. Dalam memilih setiap pernyataan, partisipan boleh memilih lebih dari satu dan skor yang diperoleh subjek adalah skor tertinggi yang dipilih oleh subjek tersebut. Nilai total yang diperoleh subjek bergerak dari 0-63. Kategorisasi dari nilai BDI terlihat dalam tabel 1. Tabel 1. Kategorisasi Total Nilai BDI Total Nilai Tingkat Depresi 1-10 Normal 11-16 Gangguan depresi ringan 17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis 21-30 Depresi sedang 31-40 Depresi berat Di atas 40 Depresi ekstrim 10. Pelaksanaan Penelitian : Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa ketentuan sebagai berikut: 1) Diawali dengan menentukan partisipan, yaitu mahasiswa yang mengalami depresi ringan. Terkait dengan hal tersebut maka sebelumnya dilakukan screening untuk menentukan partisipan. Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas reguler pagi. Setelah partisipan ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Dari 84 skala yang terisi, diperoleh 47 mahasiswa yang dapat menjadi partisipan penelitian. Partisipan yang memenuhi undangan pra-intervensi sejumah 31 orang dan hanya 23 partisipan yang dapat mengikuti pelaksanaan ekpresimen secara lengkap sampai dengan selesai. 2) Intervensi dilakukan selama dua minggu. Sebelum intervensi dilakukan pengukuran depresi sebagai baseline, dan kemudian dilakukan pengukuran yang kedua yang dilakukan setelah intervensi dilakukan. Kedua data ini yang kemudian akan dianalisa untuk memberikan kesimpulan pada hipotetis yang telah diajukan. 3) Partisipan akan diberikan instruksi tertulis di dalam amplop dimana di dalam instruksi juga dijelaskan mengenai jumlah waktu partisipan membuat tulisan ekspresif (20 menit). Berikut instruksi yang diberikan: “Selama setiap minggu sesi terapi, kami meminta Anda untuk menuliskan tentang pengalaman-pengalaman sepanjang kehidupan Anda yang paling menyusahkan dan menjengkelkan selama 20 menit. Anda dapat menulis topik yang berbeda ataupun sama pada setiap minggu untuk dua minggu. Usahakan menuliskan satu topik dalam satu tulisan. Tulisan tersebut dapat berupa pengalaman dari masa kecil atau sesuatu yang terjadi baru-baru ini yang mengganggu perasaan Anda. Hal yang penting adalah Anda menuliskan tentang piliran-pikiran dan perasaan-perasaan terdalam tentang masalah emosional Anda. Anda dapat atau tidak ingin mendiskusikan tulisan Anda atau tema tulisan Anda dengan terapis Anda. Ini adalah pilihan Anda. Tulisan Anda akan dijaga kerahasiaannya secara utuh. Jangan khawatir tentang tata bahasa dan tata tulis.” 4) Partisipan dianjurkan mencari tempat untuk menulis yang membebaskan pengungkapan emosinya dan tidak mengganggu proses menulisnya, seperti bebas dari cahaya, suara dan bau yang mengganggu. 5) Setiap minggu dalam dua minggu sesi terapi akan dilakukan sesi umpan balik dengan memperhatikan skema proses mengatasi depresi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Sesi ini digunakan untuk mengukur kepuasan partisipan dengan sesi terapi, dan tingkat dimana mereka merasa bahwa mereka mempelajari kecakapan sesuai dengan tujuan terapi. 11. Metode Analisis Data : Analisa data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solutions), analisis statistik correlated data ttest / paired-sample t-test. Uji t pada satu populasi akan menguji apakah ratarata populasi sama dengan suatu harga tertentu, dan uji t paired (uji t berpasangan) justru mengharuskan dua sampel berhubungan (Santoso, 2000). Karena itu dalam penelitian ini akan digunakan uji t paired untuk melihat apakah intervensi dapat efektif, yaitu digunakan data sebelum dan sesudah intervensi. Ciri utama dari uji t adalah jumlah sampel relatif kecil, di bawah 30. Sedangkan asumsinya adalah t hitung bisa ditentukan dengan dua kemungkinan, yaitu varians kedua populasi yang diuji sama maupun berbeda. Selain itu, sampel yang diambil berdistribusi normal atau mendekati normal atau bisa dianggap normal. 12. Hasil Penelitian :  Karakteristik subjek penelitian Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas reguler pagi. Penyebaran skala BDI yang telah dilakukan pada setiap angkatan menghasilkan 84 skala yang terisi. Dengan perincian jumlah subjek seperti yang terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian No. Angkatan Jumlah Prosentase 1. Angkatan 2008 36 42,86% 2. Angkatan 2007 25 29,76% 3. Angkatan 2006 15 17,86% 4. Angkatan 2005 4 4,76% 5. Angkatan 2004 3 3,57% 6. Angkatan 2002 1 1,19% 84 100% TOTAL Melalui hasil screening tersebut, dilakukan penentuan partisipan berdasarkan total nilai BDI yang diperoleh oleh subjek di atas berdasarkan kategori yang diberikan oleh Beck, menghasilkan jumlah partisipan yang dapat diambil dalam penelitian ini seperti yang tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Hasil BDI Subjek Penelitian Total Tingkat Depresi Nilai Tingkat Depresi Prosentase 1-10 Normal 37 44,05% 11-16 Gangguan depresi ringan 22 26,19% 17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis 17 20,24% 21-30 Depresi sedang 7 8,33% 31-40 Depresi berat 1 1,19% Depresi ekstrim 0 0% Di atas 40 Dari hasil tersebut ditentukan jumlah partisipan sebanyak 47 orang, yaitu mahasiswa yang memiliki total nilai 11 ke atas. Setelah partisipan ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Jumlah partisipan penelitian yang mengikuti secara lengkap sampai dengan selesai adalah 23 orang.  Hasil analisa data Melalui analisis statistik correlated data ttest/paired-sample t-test diperoleh hasil t hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Hal ini menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa. Hasil analisis tersebut didukung pula dengan data rata-rata pre-test dan posttest yang menunjukkan terjadi penurunan tingkat depresi, yaitu yang semula 16,87 menjadi 7,53. Ada sebagian partisipan yang tidak menggunakan media diskusi untuk membahas secara verbal mengenai pokok tulisan mereka, yaitu 7 orang dari 23 partisipan. Dengan demikian, perlu pula dilihat apakah ada perbedaan antara kelompok partisipan yang mengikuti diskusi dan yang tidak mengikuti diskusi. Adapun hasil dari rata-rata selisih nilai BDI dua kelompok tersebut ternyata menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu rata-rata kelompok non-diskusi sebesar 9,1429 dan rata-rata kelompok diskusi 9,6875.  Hasil evaluasi eksperimen Dari evaluasi yang diberikan kepada partisipan setelah melakukan eksperimen selama dua minggu menunjukkan sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 4. Tabel 4. Prosentase Hasil Evaluasi Eksperimen No. 1. Pernyataan Prosentase terbesar Tingkat % Seberapa pribadi tulisan Sangat pribadi Sebelum eksperimen, sebarapa banyak Hampir tidak bercerita pada orang lain sama sekali 3. Seberapa banyak melepaskan emosi Sangat banyak 30,43% 4. Seberapa banyak menahan diri bercerita Agak banyak 21,74% Banyak 21,74% 2. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Sebelum eksperimen, seberapa banyak Hampir tidak keinginan berbicara dengan orang lain sama sekali Seberapa sulit menulis sesuatu sebelum 43,48% 39,13% 21,74% Sedang 21,74% Seberapa sedih perasaan sebelum Sedang 26,09% eksperimen Sedih sekali 26,09% Sedang 26,09% Sangat banyak 34,78% Banyak 34,78% Seberapa penting tulisan Sangat penting 47,83% Seberapa jauh kegunaan dan makna Sangat eksperimen bermakna/berguna eksperimen Seberapa bahagia perasaan sebelum eksperimen Seberapa jauh memikirkan perasaan tersebut sebelum eksperimen Seberapa jauh berpikir tentang topik tulisan selama eksperimen Seberapa jauh tulisan membantu menyingkap hal yang menguasai pikiran Sangat banyak 52,17% 39,13%  Pembahasan Hasil screening yang dilakukan pada mahasiswa reguler pagi Fakultas Psikologi USM ditemukan bahwa dari 84 mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 (55,95%) diantaranya mengalami depresi. Hal ini menunjukkan prevalensi yang cukup mengkhawatirkan, karena lebih dari separuh dari subjek penelitian mengalami gangguan terutama dalam mood, yang tentunya akan mempengaruhi bukan hanya akademik tetapi juga pribadi mahasiswa yang bersangkutan secara keseluruhan. Bahkan ada satu orang mahasiswa yang sudah mengalami depresi dalam tingkat yang berat. Hasil ini juga mendukung pernyataan Michael dan kawankawan (2006) yang menyatakan bahwa perasaan depresi memang merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan mahasiswa. Bila tidak dapat diantisipasi sejak dini akan menimbulkan masalah yang semakin berat di kemudian hari. Hasil analisis telah menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif sebagai media katarsis memiliki pengaruh meringankan terhadap depresi ringan. Efek terapeutik menulis dapat digambarkan oleh banyak dasar teori. Salah satunya adalah teori inhibisi psikosomatis, yang menjelaskan bahwa represi pikiran, perasaan, atau perilaku seseorang, khususnya pada hal-hal yang traumatis atau menyusahkan, merupakan suatu bentuk kerja fisiologis dan psikologis (Riordan, 1996). Menyebut secara verbal atau menggambarkan suatu trauma melalui tulisan memberikan seorang individu melakukan proses kognitif mengenai peristiwa tersebut dan memperoleh suatu kontrol, kemudian mengurangi inhibisi. Tepatnya, menulis mengurangi perenungan obsesif internal dan melanjutkan emosi negatif yang dapat memperburuk kesehatan dan masalah psikologis. Graf (2004) menyatakan dalam penelitiannya bahwa dalam teori inhibisi memberikan penjelasan bahwa seseorang memperoleh keuntungan baik fisik dan psikologis setelah mengungkapkan suatu rahasia. Ekspresi emosi dapat meningkatkan kemampuan mengatasi persitiwa kehidupan yang menekan, termasuk gagasan bahwa ekspresi emosi meningkatkan insight dan self-understanding, resolusi kognitif, dan melihat pengalaman masa lalu dengan cara yang berbeda. Pengalaman menceritakan kisah hidup emosional, termasuk lewat tulisan, memberikan kesempatan kepada individu untuk mengatur dan membuat masuk akal pengalamanpengalaman mereka. Partisipan penelitian yang telah mengikuti terapi menulis ekspresif telah menunjukkan terjadinya pelepasan emosi seperti apa yang telah diungkapkan oleh Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005), bahwa proses katarsis yang diperoleh ketika menulis ekspresif pengalamanpengalaman emosional pada seseorang yang mengalami gangguan depresi akan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan simtomsimtom yang mengganggu dan meningkatkan kesejahteraan psikologis maupun fisik. Partisipan menjadi terbantu dengan membuat ia mampu untuk mengekspresikan masalahmasalah dan perasaan-perasaannya pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya sehingga kelegaan yang sangat setelah membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada terapis. Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis pengalaman emosional inilah yang dianggap oleh Riordan (1996) sebagai faktor yang menghasilkan efek teraupetik. Berdasarkan hasil dari perbandingan rata-rata selisih nilai BDI pada kelompok partisipan yang mengikuti sesi diskusi dan yang tidak ternyata menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua kelompok tersebut terhadap penurunan tingkat depresi. Hal ini menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif sebagai katarsis memang memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan tingkat depresi ringan pada mahasiswa, walaupun tidak menggunakan pelepasan emosional secara verbal lewat sesi diskusi. Hasil ini semakin menguatkan aplikasi menulis ekspresif sebagai media terapi dalam penurunan tingkat depresi ringan. Hasil evaluasi eksperimen juga menunjukkan data yang mendukung hasil penelitian bahwa menulis ekspresif memberikan pengaruh yang signifikan dalam menurunkan depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini tampak sekali dalam pernyataan mengenai manfaat atau kegunaan eksperimen pada partisipan yang memiliki prosentase terbesar dalam evaluasi tersebut, yaitu 52,17%. Sedangkan dari hasil evaluasi eksperimen secara kuantitatif dan kualitatif dapat disimpulkan bahwa permasalahan emosional yang selama ini banyak mereka pikirkan dan mengganggu perasaan dapat dikeluarkan dalam proses eksperimen, sehingga perasaan mereka setelah selesai menulis menjadi lebih baik serta memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan yakin dapat mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. 13. Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh katarsis yang sangat signifikan dalam menulis ekspresif terhadap depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa pada mahasiswa yang mengalami depresi ringan, melalui terapi menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional sebagai katarsis atau pelepasan emosi dapat menurunkan tingkat depresi ringan mereka. JURNAL 2 Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN MENGGUNAKAN GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY IMPROVEMENT OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN PATIENTS WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS USING GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY Rima Christine Sujana Hepi Wahyuningsih Qurotul Uyun Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia [email protected] ABSTRACT This study aims to determine the improvement of psychological well-being in patients with type 2 diabetes mellitus using group positive psychotherapy. Subjects in this study were 12 patients with type 2 diabetes mellitus (men and women) between the ages of 47-64 years, and divided into two groups, namely the experimental group and the control group. This study uses a scale of psychological well-being (22-item), which refers to the dimensions of psychological well-being by Ryff (1989). Quantitative data analysis using parametric analysis techniques one-way repeated measures anova to see the differences in psychological well-being of the experimental group after the subject therapy. The results show that there are differences in psychological well-being in the experimental group after therapy, with a value of Wilks' Lambda = 0.153, p = 0.00 (p <0.01). The conclusion from this study that the group positive psychotherapy can improve psychological well-being of people with type 2 diabetes mellitus. Key words: Group Positive Psychotherapy, Psychological Well Being, Type 2 Diabetes Mellitus. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy. Subjek dalam penelitian ini adalah 12 penderita diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia antara 47-64 tahun, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan skala kesejahteraan psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data kuantitatif menggunakan teknik analisis parametrik one-way repeated measures anova untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen setelah subjek diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi, dengan nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2. Kata Kunci: Psikoterapi Positif Kelompok, Kesejahteraan Psikologis, Diabetes Mellitus Tipe 2 Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 215 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun Kesehatan merupakan hal penting nyakit yang paling kompleks dan menun- dalam hidup manusia. Ketika terkena tut banyak perhatian maupun usaha penyakit, maka seseorang mulai menya- dalam dari bahwa kesehatan mahal harganya. dengan penyakit kronis lainnya, karena Berdasarkan data Dinas Kesehatan Dae- penyakit diabetes tidak dapat diobati rah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 namun hanya dapat dikelola (Kusuma- diketahui bahwa pola penyakit pada dewi, 2011). Diabetes mellitus merupa- semua kan golongan umur telah mulai pengelolaannya kelompok dibandingkan penyakit metabolik didominasi oleh penyakit-penyakit dege- dengan karakteristik hiperglikemia yang neratif, terutama penyakit yang disebab- terjadi karena kelainan sekresi insulin, kan oleh kecelakaan, neoplasma, kardio- kerja insulin atau keduanya yang harus vaskuler dan diabetes mellitus. Laporan dilakukan pengelolaan sehingga tidak Survailans Terpadu Penyakit (STP) Pus- terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelo- kesmas di Daerah Istimewa Yogyakarta laan diabetes mellitus meliputi edukasi, pada tahun 2012 menunjukkan bahwa terapi gizi medis, latihan jasmani dan penyakit diabetes mellitus (7.434 kasus) intervensi farmakologis yang dapat dibe- masuk dalam urutan ke tiga dan ke lima rikan melalui edukasi terpadu (Yulishati, dari distribusi 10 besar penyakit berbasis 2014). STP Puskesmas (DepKes, 2013). Hayes dan Ross (Temane & Diabetes mellitus disebut the great Wissing, 2006) mengemukakan bahwa imitator karena diabetes mellitus ter- kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi masuk menyebabkan oleh kesehatan fisik yang baik. Apabila komplikasi pada bagian tubuh yang jika kesehatan fisik berada dalam kondisi penanganannya tidak dilakukan dapat rendah atau buruk, maka akan mening- menyebabkan kematian (Sam, 2007). katkan perasaan sedih, patah semangat Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit terhadap masa depan, merasa sangat diabetes melitus dapat menyerang semua letih, organ tubuh berupa komplikasi penyakit, kepercayaan diri dan disiplin diri. Dia- seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan betes mellitus tipe 2 sangat erat kaitannya jantung. Seseorang yang sudah dinyata- dengan gaya hidup penderita sebab kan memiliki diabetes mellitus harus diabetes mellitus tipe 2 selain karena melakukan pengobatan seumur hidup. faktor keturunan, penyebab utamanya penyakit yang Diabetes mellitus merupakan pe- serta mengalami penurunan adalah gaya hidup mengenai makanan 216 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... yang dikonsumsi dan olahraga (Buckman dalikan lingkungan dan terus betumbuh & McLaughlin, 1999). secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan Dikemukakan oleh Karlsen (2002) fisik mempengaruhi kesejahteraan psiko- bahwa penyakit diabetes mellitus khusus- logis individu. Hal ini senada dengan nya tipe 2 menuntut seseorang untuk faktor-faktor yang mempengaruhi kese- melakukan perubahan dalam gaya hidup- jahteraan psikologis yang dikemukakan nya terkait dengan diet dan olahraga oleh Mirowsky dan Ross (1999) yang yang harus dilakukan serta melakukan meliputi emosi dan kesehatan serta pengobatan oral secara ruti. Menurut fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan, anak- Jacobson anak, (Karlsen, 2002), penyakit kondisi masa lalu seseorang diabetes mellitus memberikan pengaruh terutama pola asuh keluarga, dan faktor pada kesejahteraan psikologis seseorang kepercayaan. karena gejala dan yang Penelitian yang mendukung bahwa memberatkan penderita serta komplikasi penyakit fisik mempengaruhi kesejahte- yang dapat melemahkan dan bahkan raan psikologis seseorang antara lain dapat seseorang. Psychological Well-Being pada Penyan- Apabila tidak dilakukan kontrol yang dang Gagal Ginjal oleh Aini (2012). tepat terhadap reaksi-reaksi psikologis Penelitian ini menggambarkan bahwa atau respon-respon secara emosional, kondisi fisik yang terganggu membuat khususnya ketika tidak ada hal yang mereka dapat dilakukan penderita untuk meng- aktivitas yang berhubungan dengan diri ubah situasi, maka penderita cenderung sendiri maupun aktivitas sosial. Hal ini mengalami ketidakmampuan penyesuai- terkait an secara fisik dan kesejahteraan psiko- penguasaan lingkungan yang mereka logis (Sarafino, 1997). lakukan. Penyandang gagal ginjal yang mengancam perawatan jiwa Kesejahteraan psikologis merupa- terbatas dengan mengarahkan dalam aspek aktivitas melakukan otonomi pada dan tujuan kan pencapaian penuh dari potensi hidupnya dan memiliki keyakinan untuk psikologis seseorang dan suatu keadaan mencapainya ketika individu dapat menerima kekuatan mengembangkan diri secara personal. dan kelemahan diri apa adanya, memiliki Hal ini menggambarkan bahwa penting tujuan hidup, mengembangkan relasi bagi individu yang memiliki penyakit yang positif dengan orang lain, menjadi fisik untuk tetap memiliki tujuan hidup, pribadi yang mandiri, mampu mengen- aktivitas yang terarah dan keyakinan diri maka mereka mampu Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 217 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun sehingga mampu menemukan potensi teraan psikologis pada orang dengan HIV diri dan terus mengembangkannya untuk AIDS (ODHA). Group Positive Psycho- meraih kebahagiaan. therapy juga terbukti mampu meningkat- Gambaran di atas seiring dengan kan kesejahteraan psikologis remaja yang pendapat Papalia, Olds dan Feldman dilakukan oleh Wardiyah (2013). Demi- (2009) yang mengemukakan bahwa kian pula Group Positive Psychotherapy orang yang memiliki kesejahteraan yang dilakukan oleh Prabowo (2011) psikologis yang baik adalah orang yang mampu mampu merealisasikan potensi dirinya Well-Being Mahasiswa di Universitas secara kontinu, mampu membentuk hu- YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh bungan yang hangat dengan orang lain, Hidayah (2014) membuktikan bahwa memiliki kemandirian terhadap tekanan Group Positive Psychotherapy efektif sosial, adanya, untuk meningkatkan kesejahteraan psiko- memiliki arti dalam hidup, serta mampu logis pada orang dengan HIV/ AIDS mengontrol lingkungan eksternal. Kese- (ODHA) di Boyolali. menerima diri apa meningkatkan Psychological jahteraan psikologis memiliki peranan Beberapa penelitian sebelumnya dalam pencegahan dan penyembuhan cukup banyak membuktikan group posi- suatu penyakit sehingga dapat mening- tive psychotherapy efektif dan berpe- katkan harapan hidup penderita (Vazques ngaruh signifikan untuk meningkatkan dkk, 2009). kesejahteraan psikologis namun belum Beberapa penelitian yang telah pernah ada yang meneliti pengaruhnya dilakukan dan berhasil untuk meningkat- terhadap penderita Diabetes Mellitus. kan kesejahteraan psikologis di antaranya Group positive psychotherapy adalah yaitu Cognitive Behavior Therapy mam- suatu model terapi dengan pendekatan pu meningkatkan kesejahteraan psikolo- kelompok gis remaja gay (Wardani, 2014), Konse- membangun hidup yang menyenangkan, ling hidup yang terikat kegiatan-kegiatan, dan “Kebermaknaan Hidup” mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang menfokuskan upaya hidup yang bermakna. difabel yang dilakukan oleh Perwitasari Menurut Parks-Sheiner (2009), (2012), Dewi (2012) melakukan peneli- Group positive psychotherapy merupa- tian yang membuktikan bahwa Pelatihan kan intervensi untuk mencapai target Manajemen Distres Berbasis Mindfulness hidup yang menyenangkan, keterlibatan (MDBM) dapat meningkatkan kesejah- dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup. 218 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... Group positive psychotherapy terdiri dari pada penelitian ini adalah kuasi ekspe- beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik rimen. Partisipan yang diambil adalah (Three Good Things), Pergunakan partisipan yang memenuhi salah satu Strenghts), atau dua kriteria sekaligus, yaitu masuk Kunjungan Terimakasih (The Gratitude dalam kategori sedang, rendah, dan Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/ sangat rendah di dalam skala kesejah- Konstruktif (Active-Constructive Respon- teraan psikologis. Pada penelitian ini ding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari metode eksperimen dilakukan dengan (Savoring). Keenam teknik ini digunakan memberikan perlakuan berupa group untuk mencapai tiga sasaran utama positive psychotherapy untuk melihat Kekuatanmu dalam group (Using Your positive psychotherapy yaitu hidup yang menyenangkan, hidup peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2. terikat pada kesibukan, hidup yang bermakna (Seligman, 2006). Subjek Penelitian Oleh karena itu, peneliti ingin Populasi dalam penelitian ini mengetahui peningkatan kesejahteraan adalah penderita diabetes mellitus tipe 2 psikologis pada penderita diabetes melli- yang berada di bawah wilayah kerja tus tipe 2 dengan menggunakan group Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2, positive psychotherapy. Hipotesis pada Sleman. Adapun kriteria subjek peneli- penelitian ini adalah group positive tian adalah memiliki diagnosa penyakit psychotherapy meningkatkan diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau kesejahteraan psikologis pada penderita perempuan berusia 47-64 tahun dengan diabetes mellitus tipe 2 dan kelompok alasan bahwa penyakit diabetes mellitus yang mendapatkan intervensi group posi- tipe 2 diderita antara usia pertengahan tive psychotherapy lebih tinggi tingkat dan usia lanjut dengan serangan awal kesejahteraan psikologis dibandingkan terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki dengan kelompok yang tidak mendapat- kemampuan baca dan tulis, tidak sedang kan group positive psychotherapy. mengikuti intervensi psikologis apapun, mampu memiliki skor kesejahteraan psikologis METODE PENELITIAN dengan kategori sedang, rendah dan sangat rendah, serta bersedia mengikuti Desain Penelitian rangkaian penelitian dari prates hingga Desain penelitian yang digunakan tindak lanjut. Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 219 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun Metode Pengumpulan Data bahwa koefisien korelasi sebesar 0,855. Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan pengumpulan data Prosedur Penelitian adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dan skala kesejahteraan Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini yaitu: Pertama, perijinan psikologis. Skala yang digunakan meru- tempat pakan skala yang dimodifikasi dari skala Kedua, screening menggunakan skala yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti penelitian kepada orang dengan Diabetes sebelumnya. Skala kesejahteraan psikolo- Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan gis disusun berdasarkan dimensi-dimensi kategori kesejahteran psikologis yang dikemuka- memenuhi kriteria dipilih menjadi subjek kan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan penelitian. Data ini juga digunakan diri, relasi positif dengan sesama, oto- sebagai prates. Ketiga, wawancara untuk nomi, penguasaan lingkungan, tujuan menggali permasalahan dan pemberian hidup, dan pertumbuhan pribadi. Informed Consent kepada subjek pene- untuk melakukan sedang dan screening. rendah serta Skala kesejahteraan psikologis ini litian. Keempat, penentuan kelompok terdiri atas 29 aitem favorable dan un- kontrol dan kelompok eksperimen. Ke- favorable. Setiap pernyataan dalam skala lima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator, kesejahteraan psikologis ini meminta serta respon dari subjek dengan memilih salah intervensi Group Positive Psychotherapy satu alternatif jawaban yang telah dise- pada diakan. Skala ini disusun berdasarkan kelompok kontrol tidak mendapatkan skala Likert yang terdiri atas 4 alternatif intervensi. observer. Kelima, kelompok pelaksanaan eksperimen dan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Hasil uji coba Teknik Analisis Data skala Penelitian ini menggunakan bebe- kesejahteraan psikologis menunjukkan rapa teknik analisis data. Teknik analisis bahwa dari 29 butir pernyataan, 22 butir data parametrik yang digunakan adalah dinyatakan sahih dan 7 butir dinyatakan one-way repeated measures anova , yaitu gugur. Koefisien korelasi untuk skala teknik analisis untuk melihat apakah ada yang sahih bergerak antara 0,319 hingga perubahan (prates-pascates-tindak lanjut) 0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala pada kesejahteraan psikologis menunjukkan dilakukan juga uji independent sample t- 220 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 kelompok eksperimen. Selain itu Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... test untuk membandingkan kelompok diketahui bahwa rata-rata skor pada eksperimen dan kelompok kontrol. Ana- prates kelompok eksperimen sebesar lisis dari variabel-variabel tersebut dilaku- 49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal kan dengan program komputer SPSS ini berarti bahwa rata-rata skor pada (Statistical Product and Service Solution) kelompok for windows. kelompok kontrol lebih eksperimen. tinggi dari Sedangkan, setelah terapi (pascates) diketahui bahwa HASIL PENELITIAN rata-rata skor kelompok eksperimen lebih tinggi dibanding kelompok control, yaitu Jumlah subjek penelitian pada 58.33 berbanding 50.33. Hal ini juga kelompok eksperimen sebanyak 6 pen- dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata derita diabetes mellitus tipe 2, berjenis skor kelompok eksperimen (57.00) lebih kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek tinggi dibanding rata-rata skor kelompok yang masuk ke dalam kelompok eksperi- kontrol (49.33). men merupakan anggota terapi yang Hasil uji normalitas dari skala dilakukan selama 3 kali pertemuan. kesejahteraan psikologis diperoleh nilai Penelitian ini melakukan pengukuran K-SZ = 0.631 dan p = 0.821 sehingga sebanyak tiga penyebaran intervensi dilakukan kali, yaitu sebelum skala kesejahteraan setelah psikologis dapat dikatakan normal. Hasil intervensi diberikan (pascates) dan 2 uji homogenitas pada kelompok ekspe- minggu rimen dan kelompok kontrol pada peneli- setelah (prates), data intervensi diberikan (tindak lanjut). tian ini memperoleh nilai levene statistic Hasil pengukuran pascates menun- = 0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai jukkan semua kelompok eksperimen p>0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa mengalami peningkatan skor kesejahte- proporsi raan psikologis setelah diberikan inter- homogen. vensi berupa group positive psychotherapy. Sedangkan pada kedua kelompok adalah Pada tabel analisis statistik, nilai kelompok Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 kontrol terdapat 1 subjek yang meng- (p<0.01) menunjukkan ada perubahan alami peningkatan skor, 2 subjek yang secara mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek kesejahteraan psikologis kelompok ekpe- yang mengalami penurunan skor. rimen dalam tiga kali pengukuran. Hal Berdasarkan tabel analisis statistik, sangat signifikan pada skor ini berarti bahwa terdapat perbedaan Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 221 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun yang signifikan antara skor prates dengan jahteraan pascates pada kelompok eksperimen, dan diabetes mellitus tipe 2. juga terdapat perbedaan yang signifikan psikologis Group pada positive penderita psychotherapy antara skor prates dengan tindak lanjut disusun pada kelompok eksperimen. Perbedaan penelitian pada kehidupan yang lebih antara skor prates-pascates-tindak lanjut positif melalui beberapa teknik latihan, yang dimaksud yaitu terjadi perubahan seperti perkenalan positif dan mengenali skor prates-pascates yang semakin me- kekuatan diri, mampu menemukan tiga ningkat berdasarkan nilai Mean kelom- hal baik setiap hari, kunjungan terima- pok eksperimen dari 49.33 menjadi kasih 58.33. Pada tindak lanjut diperoleh melatih subjek untuk lebih menikmati Mean 57.00. Kedua Mean terlihat lebih kehidupannya dimulai dari rutinitas yang tinggi jika dibandingkan dengan Mean ada, tanggapan aktif/konstruktif bertujuan prates. Nilai Partial Eta Square pada baris untuk melatih subjek lebih positif dalam diperoleh nilai 0.847, hal ini berarti berkomunikasi, dan pembuatan biografi bahwa sumbangan efektif sebesar 84,7. yang membantu subjek mengarahkan Ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen dan untuk melalui mengarahkan surat, savoring subjek yang perilakunya sesuai tujuan hidup yang ingin dicapai. kelompok kontrol setelah terapi diberi- Ketika subjek mendapat diagnosis kan, dengan nilai p=0.000 (p<0.01) diabetes pada saat prates-pascates dan p=0.001 penyakitnya dengan minum obat seumur (p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut. hidup, diet makanan dan sebagainya mellitus yang pengelolaan cenderung membuat subjek merasa tidak PEMBAHASAN lagi memiliki potensi dalam diri untuk melakukan Penelitian ini bertujuan berbagai aktivitas positif. untuk Pada awal pertemuan, subjek dihadapkan mengetahui peningkatan kesejahteraan pada kegiatan perkenalan positif dan psikologis pada penderita diabetes melli- mengenali kekuatan diri. Subjek yang tus tipe 2 dengan menggunakan group mengalami kesulitan untuk melakukan positive Berdasarkan perkenalan positif dibantu oleh fasilitator hasil analisis data yang telah dilakukan dan anggota kelompok untuk menemu- diperoleh hasil bahwa group positive kan hal positif yang ada pada masing- psychotherapy dapat meningkatkan kese- masing subjek. Hal ini didasarkan pada psychotherapy. 222 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... asumsi bahwa perilaku patologis disebab- kepada Allah SWT adalah khusnudzon kan oleh kurangnya kesadaran tentang (berbaik sangka atau berpikir positif) potensi individu kepada-Allah adalah Tuhan Yang Maha (Magyar-Moe, 2009). Pengenalan potensi Pengasih dan Penyayang. Ketika sese- positif ini seiring dengan pernyataan yang orang meyakini bahwa Allah mengasihi tercantum dalam Al-Quran yaitu manusia seluruh makhluk-Nya dan menganuge- diciptakan dengan rahkan rezeki kepada semua makhluk- struktur yang paling baik di antara Nya. Tidak peduli makhluk-Nya taat atau makhluk lain. durhaka, muslim atau kafir. Bahkan, Kesempurnaan unsur manusia disebutkan binatang dan tumbuh-tumbuhan pun dalam firman Allah SWT yang artinya : dijamin rezekinya oleh Allah SWT maka positif dalam oleh Allah diri Allah SWT SWT yang akan “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.” (Q.S. At-Tin: 4). Pada sesi kekuatanku, subjek penelitian dilatih untuk tetap fokus pada hal menimbulkan rasa optimis menjalani hidup. “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya.” (Q.S. Hud: 6). positif yang ada di dalam diri sehingga tetap menumbuhkan optimisme. Ryan semangat dan Deci dan Mengenali potensi positif dan me- (2001) lakukan aktivitas-aktivitas positif meng- mengungkapkan bahwa optimisme mem- hadirkan kesejahteraan pada dirinya beri kontribusi terhadap kesejahteraan (Salami, 2010). Hal ini seiring dengan atau kebahagiaan individu. pernyataan yang dikemukakan Frederickson dan Joiner (2002) bahwa seseorang “Allah tidak akan membebani seseorang (hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 286). Menurut perspektif Islam, meng- yang memiliki sifat positif dan optimis berkorelasi positif dengan kesejahteraan individu. Selain itu, sesi tiga hal baik, kunjungan terimakasih dan savoring mengajarkan subjek penelitian untuk arahkan subjek penelitian pada kehidup- senantiasa lebih bersyukur terhadap an yang lebih positif memiliki kesamaan kebaikan yang telah diterima setiap hari. dengan berprasangka baik (khusnudzon). Salah satu akhlak mahmudah (terpuji) “Dan jika kamu menghitung-hitung Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 223 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18). “Siapa yang tidak mensyukuri manusia maka dia tidak mensyukuri Allah (HR. Abu Daud dan AtTurmuzi). Evaluasi dari keseluruhan rangkai- “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7). an terapi menunjukkan bahwa semua subjek merasa senang karena mampu bertukar cerita, berkeluh kesah dan belajar dari anggota kelompok yang lain. Subjek diminta untuk menceritakan situasi emosional dimana kondisi tersebut Demikian pula dengan kegiatan membantu seseorang untuk meningkat- tanggapan aktif/konstruktif yang melatih kan rasa syukur yang berpengaruh pada subjek penelitian tetap menjaga hu- kondisi fisik dan psikologisnya. Menulis bungan interpersonal dengan baik. Ketika dan atau membicarakan topik emosional individu mampu menjalin hubungan ditemukan mempengaruhi fungsi imun interpersonal dengan lingkungan secara termasuk perkembangan sel t-helper, dan aktif maka menurut Ryff (1995) individu antibody (Pennebaker & Chung, 2007). tersebut memiliki gambaran kesejahtera- Beberapa penelitan mendukung an psikologis pada aspek hubungan bahwa interaksi dengan orang terdekat positif dengan oranglain dan penguasaan yang dilakukan secara aktif dan kon- terhadap struktif dapat meningkatkan kebahagiaan, lingkungan. Hal ini juga merupakan wujud syukur kepada Allah. Manusia yang bersyukur kepada kepuasan, kepercayaan, keakraban dan mengurangi konflik (Magyar-Moe, 2009). manusia/makhluk lain adalah dia yang Group memuji kebaikan serta membalasnya terbukti mampu meningkatkan kesejah- dengan sesuatu yang lebih baik atau teraan lebih banyak dari apayang telah dilaku- mellitus tipe 2. Hal ini erat kaitannya kan oleh yang disyukurinya itu. Syukur dengan yang demikian dapat juga merupakan menghadapi penyakitnya. Seiring dengan bagian dari syukur kepada Allah. Sebab, pendapat berdasarkan Vazques dkk (2009) bahwa kesejahteraan artinya: hadis Nabi SAW yang positive psikologis psikologis 224 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 psychotherapy penderita optimisme yang diabetes subjek dikemukakan memiliki peranan telah dalam oleh dalam Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... pencegahan dan penyembuhan suatu lebih efisien karena menawarkan banyak penyakit sehingga dapat meningkatkan sudut harapan hidup penderita. pengalaman terlibat dengan orang lain, pandang, perasaan senasib, Penelitian ini didukung oleh penu- kesempatan belajar pengalaman-penga- gasan-penugasan yang diberikan pada laman orang lain berdasarkan hasil men- akhir setiap pertemuan, yang kemudian dengar dan mengobservasi, kesempatan didiskusikan dalam kelompok. Tugas mendapat umpan balik sehingga akan rumah memberikan kesempatan kepada memegang teguh komitmennya selama subjek terapi. untuk dapat melatih dirinya menerapkan teknik-teknik yang dipelajari Berdasarkan hasil kuantitatif setiap di dalam kelompok kepada kehidupan subjek, ke enam subjek mengalami sehari-hari. peningkatan Kemudian diskusi tugas kesejahteraan psikologis rumah dapat memberikan umpan balik setelah mengikuti group positive psycho- dan penguatan terhadap aktivitas positif therapy meskipun pada tahap tindak yang telah dilakukan dengan baik oleh lanjut terjadi peningkatan dan penurunan setiap subjek. yang Intervensi dalam penelitian ini beragam antar subjek. Hasil penelitian ini mendukung penelitian ter- dipengaruhi juga oleh rancangan inter- dahulu vensi dalam bentuk kelompok. Pendekat- Hidayah an kelompok dianggap memiliki manfaat bahwa ada pengaruh group positive terapeutik psychotherapy terhadap kelompok, yaitu yang telah (2014) dilakukan yang terhadap oleh menunjukkan peningkatan sebagai faktor dukungan, faktor keter- kesejahteraan bukaan diri dan katarsis, faktor belajar dengan HIV/AIDS. Hal ini juga sesuai kebijaksanaan atau kearifan dari anggota dengan penelitian Wardiyah pada tahun kelompok lainnya, 2013 membuktikan bahwa kesejahteraan psikologis yang serta faktor-faktor berkaitan psikologis pada orang dengan psikologis mampi ditingkatkan dengan bagaimana menjalin hubungan dengan group positive psychotherapy. Penelitian orang lain dan bagaimana memahami yang dilakukan oleh Prabowo (2011) diri sendiri (Brabenden, Fallon, & Smolar, membuktikan hal yang sama bahwa 2004). Seiring dengan pendapat yang group positive psychotherapy mampu dikemukakan oleh Jacobs dkk (2002) meningkatkan psychological well-being bahwa keuntungan terapi yang meng- pada mahasiswa. gunakan pendekatan kelompok yaitu Selain itu, perlu dilakukan sejum- Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 225 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun lah evaluasi. Modul intervensi tidak SIMPULAN & SARAN melalui uji coba sebelumnya. Fasilitator cenderung sering menambahkan pen- Simpulan jelasan instruksi kepada subjek penelitian agar subjek mampu Berdasarkan hasil penelitian yang melaksanakan telah dilakukan maka dapat disimpulkan instruksi dengan baik. Modul diterapkan bahwa group positive psychotherapy secara runtut sesuai dengan rancangan dapat meningkatkan kesejahteraan psiko- pelaksanaan meskipun terdapat modifi- logis pada penderita diabetes mellitus kasi seperti diberikannyaa ice breaking tipe 2. Kelompok yang mendapatkan ketika beberapa subjek terlihat bosan intervensi group positive psychotherapy atau kurang konsentrasi ketika proses lebih tinggi tingkat kesejahteraan psiko- terapi yang sebelumnya tidak dituliskan logis dibandingkan dengan kelompok dalam modul terapi. yang tidak mendapatkan group positive Evaluasi perubahan kesejahteraan psychotherapy. psikologis subjek penelitian ini belum melalui wawancara dengan caregiver. Saran Peneliti melakukan evaluasi perubahan Untuk penelitian selanjutnya: (1) kesejahteraan subjek melalui wawancara Penelitian ini menggunakan data dari langsung dengan subjek, baik sebelum Puskesmas yang tidak memiliki komu- maupun sesudah evaluasi cenderung intervensi. Hasil nitas khusus penderita diabetes mellitus berpusat pada tipe 2 dan alamat lengkap. Jika peneliti pengakuan subjek penelitian saja. selanjutnya menemukan keterbatasan Penelitian ini menggunakan data data yang sama, peneliti menyarankan dari Puskesmas yang tidak memiliki untuk menelusuri melalui kepala dusun komunitas khusus penderita diabetes atau dukuh agar dapat mempermudah mellitus tipe 2 dan alamat lengkap melakukan kunjungan rumah; (2) Alat sehingga harus ukur ini bisa digunakan kembali oleh dilakukan kunjungan ke rumah masing- penelitian selanjutnya dengan kriteria masing subjek. subjek yang sama; (3) Peneliti menyaran- pengambilan data kan untuk melakukan uji coba modul sehingga penggunaan lembar kerja, waktu dan bahasa instruksi dapat lebih sesuai dengan karakteristik subjek; (4) 226 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian sejenis dengan memperhatikan berbagai variabel lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2, serta dapat mengembangkan group positive psychotherapy sebagai alternatif intervensi untuk kasus psikologis penyakit kronis lainnya. Untuk subjek penelitian: (1) Subjek penelitian diharapkan dapat menerapkan pengetahuan dan cara-cara meningkatkan dang Gagal Ginjal. Jurnal Penelitian Psikologi, 4,(1), 35-45 Anantasari, M. L. (2004). Kesejahteraan Psikologis Orang Tua dan Perlakuan Salah terhadap Anak. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Askandar, T. (1999). Diabetes Mellitus Klasifikasi Diagnosis dan Terapi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama kesejahteraan psikologis yang didapatkan dari group positive psychotherapy dalam kehidupan sehari-hari; (2) Subjek penelitian bisa meningkatkan kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar sehingga tidak banyak berdiam diri di rumah, tidak jenuh dan tidak terfokus pada keterbatasan diri akan penyakit. DAFTAR PUSTAKA Abbott, R.A., Ploubidis, G.B., Huppert, F.A., Kuh, D., Wadsworth, M.E.J. & Croudace, T.J. (2006). Psychometric Evaluation and Predictive Validity of Ryff’s Psychological Well-Being Items in a UK Birth Cohort Sample of Women. Health and Quality of Life Outcomes. BioMed Central Ltd. 4: 76. Aini, S. N., & Asiyah, S.N. (2013). Psychological Well Being Penyan- Baron, J. (1988). Thinking and Deciding. New York: Cambridge University Press Bartram, D. & Boniwel, L. (2007). The Science of Happiness: Achieving Sustained Psychological WellBeing. Positive Psychology in Practice, 29, 478-482 Bradburn, N. M. 1969. The Structure of Psycholgical Well Being. Chicago: Aldine Buckman,Dr. Robert & McLaughlin, Chris. (1999). Apa yang seharusnya Anda ketahui tentang hidup dengan Diabetes. London: Marshall Publishing Ltd Compton, W.C. (2005). Introduction to Positive Psychology. Singapore: Thomson Wadsworth Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 227 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun from Thai Elders. Journal Gerontologist, 44(5), 596-604 DepKes. (2013). Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013. Yogyakarta: Departemen Kesehatan Dewi, R.P. (2012). Pengaruh Pelatihan Manajemen Distres Berbasis Mindfulness (MDBM) terhadap Peningkatan Kesejahteraan Psikologis pada Orang dengan HIV/AIDS. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Eckhalm E.P. (1999). Masalah Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Feldman, R. S. (1997). Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall Frederickson, B.L. & Joiner, T. (2002). Positive Emotions Triger Upwardn Spirals Toward Emotion Well Being. Psychological Science, 13, 172-175 Hidayah, N. (2014). Efektivitas Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Tesis. Tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta Ingersoll-Dayton, B.S. (2004). Measuring Psychological Well-Being: Insight of Jacobs, E.E., Robert, L.M., & Riley, L.H. (2002). Group Counseling: Strategies and Skills. Canada: The Wadsworth Group, a division of Thompson Learning,Inc. Karlsen,B, Bru, E & Hanestad, R. (2002). Self-Reported PWB and DiseaseRelated Strains among Adults with Diabetes. Psychological and Health. 17 (4), 459-473 Kartikasari, N.D. (2014). Hubungan antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Keyes, C.R. (2006). A Look at Children’s Adjustment to Early Childhood Programs. Early Childhood Research & Practice, 8(2), 22-36 Kusumadewi, M.D. (2011). Peran Stressor Harian, Optimisme dan Regulasi Diri terhadap Kualitas Hidup Individu dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Psikoislamika Jurnal Psikologi Islam, (8), 1, 43-62 Latifah,N. (2014). Kesejahteraan Psikologis Pada Wanita Dewasa Muda Yang Belum Menikah. Skripsi. 228 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta Emotional Approach to Coping with Health Status dalam Handbook of Emotions Second Edition. New York: The Guilford Press. Lopez S. J., & Snyder C. R. (2003). The Measurement and Utility of Adult Subjective Well-Being. Washington DC: American Psychological Association Mirowsky & Ross. (1999). Well-Being Across the Life Course. Cambridge: Cambridge University Press Lumantobing. (2008). Psikologi Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Neugarten, B.L., Havighurst, R., & Tobin, S. (1961). The Measurement of Life Satisfaction. Journal of Gerontology. 16, 134-143 Magyar-Moe, J. L. (2009). Therapist's Guide to Positive Psychological Interventions. (1st Edition). Academic Press, pp. 79-133y 151175 Notosoedirdjo dan Latipun. 2005. Kesehatan Mental : Konsep dan Penerapan. Malang : UMM Press. Mambangsari, C.W. (2012). Pengaruh Program Edukasi Perawatan Kaki Berbasis Keluarga terhadap Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Program Pendidikan Magister Program Studi Keperawatan Martalena, B. P. (1999). Pengaturan Makanan Diabetes. Pusat Diabetes Yogyakarta Maulana, M. (2008). Mengenal Diabetes Melitus. Jogjakarta: Katahati Miller, S.M. & Schnoll, R.A. (2000) When Seeing Is Feeling: A Cognitive- Nuryati, S. (2009). Gaya Hidup dan Status Gizi serta Hubungannya dengan Hipertensi dan Diabetes Melitus Pada Pria dan Wanita Dewasa di DKI Jakarta. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Nussbaum, M.C., & Sen, A.K. (1993). The Quality of Life. Oxford: Clarendon Press Papalia, Olds, Feldman. (2009). Human Development. Jakarta: Salemba Park-Shiner, A.C. (2009). Positive Psychotherapy: Building a Model of Empirically Supported Self-Help. Dissertation. Pennsylvania: Facul- Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 229 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun ties Psychology of the University Pennsylvania Pebriartati, S. (2011). Pelatihan Pemaafan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Wanita Bercerai. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Pennebaker, J.W., & Chung, C.K. (2007). Expressive Writing: connections to physical and mental health. The University of Texas at Austin Perkeni. (2002). Konsesus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Indonesia 2002. PB PERKENI. Perwitasari, F. (2012). Pengaruh Konseling “Kebermaknaan Hidup” terhadap Kesejahteraan Psikologis Difabel. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Peseschkian, N. And K. Triit. (1998). Positive Psychotherapy: Effectiveness Study and Quality Assurance. The european journal of psychotherapy, counseling & health, 1, 42-53 Pouwer, F., Snoek, F. J., Ploeg, H. M., Ader, H. J. & Heine, R. J. (2001). Monitoring of Psychological Wellbeing in Outpatients with Diabetes. Diabetes Care, 24 (11) 1929-1935 Prabowo, A. & Yuniardi, M.S. (2011). Pengaruh Group Positive Psychotherapy terhadap Psychological Well Being Mahasiswa. Dipresentasikan di Konferensi Nasional, Universitas YARSI, 5 November 2011 Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga Purnomosidi, I. (2014). Hubungan Intensitas Olahraga terhadap Psychological Well-Being. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia Ryan, R. M & Deci, E.L. 2001. On Happines and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. Annual Reviews, 52, 141-166 Ryff, C.D. and Keyes, L.M. (1995). The Structure of Psychological WellBeing revisited. Journal of Personality and Social Psychogy, 69 (4), 719-727 _________. (1995). Psychological wellbeing in adult life. Current Directions in Psychological Science, 57(6), 99-104 _________. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on 230 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 ..... the Meaning of Psychological Well Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 (6), 10691081 Salami, S. O. (2010). Emotional Intelligence, Self-Efficacy, Psychological Well-Being And Students’ Attitudes: Implivations For Quality Education. European Journal of Educational Studie, 2(3), 247-257 Sam, A.D.P. (2007). Epidemiologi DM dan isu mutakhirnya. http://www. newparadigmforpublichealth.htm. Diakses 2 Mei 2015 Sarafino, E.P. 1997. Health Psycholoogy; Biopsychological Interactions. Third Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc. Seligman, M.E.P., Rashid, T., & Parks, A.C. (2006). Positive Psychotherapy. Journal of American Psychologist, 61, 774-788 Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell, D. T. (2002). Experimental and Quasi-Experimental Designs for Generalized Causa Inference. Boston: Houghton Mifflin Company Singh, B., & Udainiya R. (2009). SelfEfficacy and Well-Being of Adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 35(2), 227-232 Skovlund, S.E., & Peyrot, M. (2005). The Diabetes Attitudes, Wishes, and Needs (DAWN) program: A new approach to improving outcomes of diabetes care. Diabetes Spectrum. 18(3), 136-142 Taylor, S. E. 2006. Health Psychology. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Temane, Q.M & Wissing, M. P. 2006. The Role of Subjective Perception of Health in The Dynamics of Context and PWB. South African Journal of Psychology. 36 (3), 564581 Tjokroprawiro, A. (2006). Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes Militus. Edisi kesembilan. Jakarta : Gramedia Pustaka Vazquez, dkk. (2009). Psychological Well-Being and Health. Contributions of Positive Psychology. Annuary of Clinical and Health Psychology, (5) 15-27 Wardani, A. (2014). Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay. Tesis. Tidak diterbitkan. Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 231 Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun Wardiyah, Malahatul. (2013). Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 1 (2), 139-152 Winasis, E. B. (2009). Hubungan antara Konsep Diri dengan Depresi pada Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Pracimantoro I Wonogiri. Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta World Health Organization. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycemia. Amerika Serikat; 2006. Tersedia pada: URL: http://www.idf.org/ webdata/docs/WHO_IDF_definitio n_diagnosis_of_diabetes.pdf [diakses 7 April 2015]. Yalom, I.D. & Leszcz, Molyn. (2005). The theory and practice of group psychotherapy. New York : Basic Books Yulishati. (2014). Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu Untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Tesis. Tidak diterbitkan. Sumatera Utara: Fakultas Keperawatan Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/ handle/ 123456789/42401 Diakses tanggal 8 April 2015 232 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 REVIEW JURNAL Nama Jurnal Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 1. Judul Penelitian : PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN MENGGUNAKAN GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY 2. Nama Peneliti : Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih, Qurotul Uyun 3. Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy. Subjek dalam penelitian ini adalah 12 penderita diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia antara 47-64 tahun, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan skala kesejahteraan psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data kuantitatif menggunakan teknik analisis parametrik one-way repeated measures anova untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen setelah subjek diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi, dengan nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2. 4. Pendahuluan/latar belakang masalah : Kesehatan merupakan hal penting dalam hidup manusia. Ketika terkena penyakit, maka seseorang mulai menyadari bahwa kesehatan mahal harganya. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 diketahui bahwa pola penyakit pada semua golongan umur telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif, terutama penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan diabetes mellitus. Laporan Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa penyakit diabetes mellitus (7.434 kasus) masuk dalam urutan ke tiga dan ke lima dari distribusi 10 besar penyakit berbasis STP Puskesmas (DepKes, 2013). Diabetes mellitus disebut the great imitator karena diabetes mellitus termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang jika penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam, 2007). Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit diabetes melitus dapat menyerang semua organ tubuh berupa komplikasi penyakit, seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan jantung. Seseorang yang sudah dinyatakan memiliki diabetes mellitus harus melakukan pengobatan seumur hidup. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun hanya dapat dikelola (Kusumadewi, 2011). Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan diabetes mellitus meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi terpadu (Yulishati, 2014). Hayes dan Ross (Temane & Wissing, 2006) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi oleh kesehatan fisik yang baik. Apabila kesehatan fisik berada dalam kondisi rendah atau buruk, maka akan meningkatkan perasaan sedih, patah semangat terhadap masa depan, merasa sangat letih, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri. Diabetes mellitus tipe 2 sangat erat kaitannya dengan gaya hidup penderita sebab diabetes mellitus tipe 2 selain karena faktor keturunan, penyebab utamanya adalah gaya hidup mengenai makanan yang dikonsumsi dan olahraga (Buckman & McLaughlin, 1999). Dikemukakan oleh Karlsen (2002) bahwa penyakit diabetes mellitus khususnya tipe 2 menuntut seseorang untuk melakukan perubahan dalam gaya hidupnya terkait dengan diet dan olahraga yang harus dilakukan serta melakukan pengobatan oral secara ruti. Menurut Jacobson (Karlsen, 2002), penyakit diabetes mellitus memberikan pengaruh pada kesejahteraan psikologis seseorang karena gejala dan perawatan yang memberatkan penderita serta komplikasi yang dapat melemahkan dan bahkan dapat mengancam jiwa seseorang. Apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat terhadap reaksi-reaksi psikologis atau respon-respon secara emosional, khususnya ketika tidak ada hal yang dapat dilakukan penderita untuk mengubah situasi, maka penderita cenderung mengalami ketidakmampuan penyesuaian secara fisik dan kesejahteraan psikologis (Sarafino, 1997). Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus betumbuh secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan fisik mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Hal ini senada dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Mirowsky dan Ross (1999) yang meliputi emosi dan kesehatan serta fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan, anakanak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola asuh keluarga, dan faktor kepercayaan. Penelitian yang mendukung bahwa penyakit fisik mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang antara lain Psychological Well-Being pada Penyandang Gagal Ginjal oleh Aini (2012). Penelitian ini menggambarkan bahwa kondisi fisik yang terganggu membuat mereka terbatas dalam melakukan aktivitas yang berhubungan dengan diri sendiri maupun aktivitas sosial. Hal ini terkait dengan aspek otonomi dan penguasaan lingkungan yang mereka lakukan. Penyandang gagal ginjal yang mengarahkan aktivitas pada tujuan hidupnya dan memiliki keyakinan untuk mencapainya maka mereka mampu mengembangkan diri secara personal. Hal ini menggambarkan bahwa penting bagi individu yang memiliki penyakit fisik untuk tetap memiliki tujuan hidup, aktivitas yang terarah dan keyakinan diri sehingga mampu menemukan potensi diri dan terus mengembangkannya untuk meraih kebahagiaan. Gambaran di atas seiring dengan pendapat Papalia, Olds dan Feldman (2009) yang mengemukakan bahwa orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal. Kesejahteraan psikologis memiliki peranan dalam pencegahan dan penyembuhan suatu penyakit sehingga dapat meningkatkan harapan hidup penderita (Vazques dkk, 2009). Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhasil untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis di antaranya yaitu Cognitive Behavior Therapy mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja gay (Wardani, 2014), Konseling “Kebermaknaan Hidup” mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologis difabel yang dilakukan oleh Perwitasari (2012), Dewi (2012) melakukan penelitian yang membuktikan bahwa Pelatihan Manajemen Distres Berbasis Mindfulness (MDBM) dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orang dengan HIV AIDS (ODHA). Group Positive Psychotherapy juga terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja yang dilakukan oleh Wardiyah (2013). Demikian pula Group Positive Psychotherapy yang dilakukan oleh Prabowo (2011) mampu meningkatkan Psychological WellBeing Mahasiswa di Universitas YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2014) membuktikan bahwa Group Positive Psychotherapy efektif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) di Boyolali. Beberapa penelitian sebelumnya cukup banyak membuktikan group positive psychotherapy efektif dan berpengaruh signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis namun belum pernah ada yang meneliti pengaruhnya terhadap penderita Diabetes Mellitus. Group positive psychotherapy adalah suatu model terapi dengan pendekatan kelompok yang menfokuskan upaya membangun hidup yang menyenangkan, hidup yang terikat kegiatan-kegiatan, dan hidup yang bermakna. Menurut Parks-Sheiner (2009), Group positive psychotherapy merupakan intervensi untuk mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup. Group positive psychotherapy terdiri dari beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik (Three Good Things), Pergunakan Kekuatanmu (Using Your Strenghts), Kunjungan Terimakasih (The Gratitude Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/ Konstruktif (Active-Constructive Responding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari (Savoring). Keenam teknik ini digunakan untuk mencapai tiga sasaran utama dalam group positive psychotherapy yaitu hidup yang menyenangkan, hidup terikat pada kesibukan, hidup yang bermakna (Seligman, 2006). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy. 5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :  Diabetes Mellitus Diabetes mellitus disebut the great imitator karena diabetes mellitus termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang jika penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam, 2007). Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit diabetes melitus dapat menyerang semua organ tubuh berupa komplikasi penyakit, seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan jantung. Seseorang yang sudah dinyatakan memiliki diabetes mellitus harus melakukan pengobatan seumur hidup. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun hanya dapat dikelola (Kusumadewi, 2011). Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan diabetes mellitus meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi terpadu (Yulishati, 2014). Dikemukakan oleh Karlsen (2002) bahwa penyakit diabetes mellitus khususnya tipe 2 menuntut seseorang untuk melakukan perubahan dalam gaya hidupnya terkait dengan diet dan olahraga yang harus dilakukan serta melakukan pengobatan oral secara ruti. Menurut Jacobson (Karlsen, 2002), penyakit diabetes mellitus memberikan pengaruh pada kesejahteraan psikologis seseorang karena gejala dan perawatan yang memberatkan penderita serta komplikasi yang dapat melemahkan dan bahkan dapat mengancam jiwa seseorang. Apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat terhadap reaksi-reaksi psikologis atau respon-respon secara emosional, khususnya ketika tidak ada hal yang dapat dilakukan penderita untuk mengubah situasi, maka penderita cenderung mengalami ketidakmampuan penyesuaian secara fisik dan kesejahteraan psikologis (Sarafino, 1997).  Kesejahteraan Psikologis Hayes dan Ross (Temane & Wissing, 2006) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi oleh kesehatan fisik yang baik. Apabila kesehatan fisik berada dalam kondisi rendah atau buruk, maka akan meningkatkan perasaan sedih, patah semangat terhadap masa depan, merasa sangat letih, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri. Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus betumbuh secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan fisik mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Hal ini senada dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Mirowsky dan Ross (1999) yang meliputi emosi dan kesehatan serta fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan, anakanak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola asuh keluarga, dan faktor kepercayaan,  Group Positive Psychotherapy Group Positive Psychotherapy juga terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja yang dilakukan oleh Wardiyah (2013). Demikian pula Group Positive Psychotherapy yang dilakukan oleh Prabowo (2011) mampu meningkatkan Psychological Well-Being Mahasiswa di Universitas YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2014) membuktikan bahwa Group Positive Psychotherapy efektif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) di Boyolali. Beberapa penelitian sebelumnya cukup banyak membuktikan group positive psychotherapy efektif dan berpengaruh signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis namun belum pernah ada yang meneliti pengaruhnya terhadap penderita Diabetes Mellitus. Group positive psychotherapy adalah suatu model terapi dengan pendekatan kelompok yang menfokuskan upaya membangun hidup yang menyenangkan, hidup yang terikat kegiatan-kegiatan, dan hidup yang bermakna. Menurut Parks- Sheiner (2009), Group positive psychotherapy merupakan intervensi untuk mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup. Group positive psychotherapy terdiri dari beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik (Three Good Things), Pergunakan Kekuatanmu (Using Your Strenghts), Kunjungan Terimakasih (The Gratitude Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/Konstruktif (Active-Constructive Responding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari (Savoring). Keenam teknik ini digunakan untuk mencapai tiga sasaran utama dalam group positive psychotherapy yaitu hidup yang menyenangkan, hidup terikat pada kesibukan, hidup yang bermakna (Seligman, 2006). 6. Hipotesis : Group positive psychotherapy mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dan kelompok yang mendapatkan intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan group positive psychotherapy. 7. Sampel/subjek penelitian : Populasi dalam penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus tipe 2 yang berada di bawah wilayah kerja Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2, Sleman. Adapun kriteria subjek penelitian adalah memiliki diagnosa penyakit diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau perempuan berusia 47-64 tahun dengan alasan bahwa penyakit diabetes mellitus tipe 2 diderita antara usia pertengahan dan usia lanjut dengan serangan awal terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki kemampuan baca dan tulis, tidak sedang mengikuti intervensi psikologis apapun, memiliki skor kesejahteraan psikologis dengan kategori sedang, rendah dan sangat rendah, serta bersedia mengikuti rangkaian penelitian dari prates hingga tindak lanjut. 8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen : Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Partisipan yang diambil adalah partisipan yang memenuhi salah satu atau dua kriteria sekaligus, yaitu masuk dalam kategori sedang, rendah, dan sangat rendah di dalam skala kesejahteraan psikologis. Pada penelitian ini metode eksperimen dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa group positive psychotherapy untuk melihat peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2. 9. Metode Pengambilan Data : Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan pengumpulan data adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dan skala kesejahteraan psikologis. Skala yang digunakan merupakan skala yang dimodifikasi dari skala yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti sebelumnya. Skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan dimensi-dimensi kesejahteran psikologis yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, relasi positif dengan sesama, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Skala kesejahteraan psikologis ini terdiri atas 29 aitem favorable dan unfavorable. Setiap pernyataan dalam skala kesejahteraan psikologis ini meminta respon dari subjek dengan memilih salah satu alternatif jawaban yang telah disediakan. Skala ini disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri atas 4 alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Hasil uji coba skala kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa dari 29 butir pernyataan, 22 butir dinyatakan sahih dan 7 butir dinyatakan gugur. Koefisien korelasi untuk skala yang sahih bergerak antara 0,319 hingga 0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa koefisien korelasi sebesar 0,855. 10. Pelaksanaan Penelitian : Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini yaitu: Pertama, perijinan tempat untuk melakukan screening. Kedua, screening menggunakan skala penelitian kepada orang dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan kategori sedang dan rendah serta memenuhi kriteria dipilih menjadi subjek penelitian. Data ini juga digunakan sebagai prates. Ketiga, wawancara untuk menggali permasalahan dan pemberian Informed Consent kepada subjek penelitian. Keempat, penentuan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator, serta observer. Kelima, pelaksanaan intervensi Group Positive Psychotherapy pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi. 11. Metode Analisis Data : Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis data. Teknik analisis data parametrik yang digunakan adalah one-way repeated measures anova, yaitu teknik analisis untuk melihat apakah ada perubahan (prates-pascatestindak lanjut) pada kelompok eksperimen. Selain itu dilakukan juga uji independent sample t-test untuk membandingkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Analisis dari variabel-variabel tersebut dilakukan dengan program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) for windows. 12. Hasil Penelitian : Jumlah subjek penelitian pada kelompok eksperimen sebanyak 6 penderita diabetes mellitus tipe 2, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek yang masuk ke dalam kelompok eksperimen merupakan anggota terapi yang dilakukan selama 3 kali pertemuan. Penelitian ini melakukan pengukuran sebanyak tiga kali, yaitu sebelum intervensi dilakukan (prates), setelah intervensi diberikan (pascates) dan 2 minggu setelah intervensi diberikan (tindak lanjut). Hasil pengukuran pascates menunjukkan semua kelompok eksperimen mengalami peningkatan skor kesejahteraan psikologis setelah diberikan intervensi berupa group positive psychotherapy. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 1 subjek yang mengalami peningkatan skor, 2 subjek yang mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek yang mengalami penurunan skor. Berdasarkan tabel analisis statistik, diketahui bahwa rata-rata skor pada prates kelompok eksperimen sebesar 49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal ini berarti bahwa rata-rata skor pada kelompok kontrol lebih tinggi dari kelompok eksperimen. Sedangkan, setelah terapi (pascates) diketahui bahwa rata-rata skor kelompok eksperimen lebih tinggi dibanding kelompok control, yaitu 58.33 berbanding 50.33. Hal ini juga dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata skor kelompok eksperimen (57.00) lebih tinggi dibanding rata-rata skor kelompok kontrol (49.33). Hasil uji normalitas dari skala kesejahteraan psikologis diperoleh nilai KSZ = 0.631 dan p = 0.821 sehingga penyebaran data skala kesejahteraan psikologis dapat dikatakan normal. Hasil uji homogenitas pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada penelitian ini memperoleh nilai levene statistic = 0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai p>0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa proporsi kedua kelompok adalah homogen. Pada tabel analisis statistik, nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01) menunjukkan ada perubahan secara sangat signifikan pada skor kesejahteraan psikologis kelompok ekperimen dalam tiga kali pengukuran. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor prates dengan pascates pada kelompok eksperimen, dan juga terdapat perbedaan yang signifikan antara skor prates dengan tindak lanjut pada kelompok eksperimen. Perbedaan antara skor prates-pascates-tindak lanjut yang dimaksud yaitu terjadi perubahan skor prates-pascates yang semakin meningkat berdasarkan nilai Mean kelompok eksperimen dari 49.33 menjadi 58.33. Pada tindak lanjut diperoleh Mean 57.00. Kedua Mean terlihat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Mean prates. Nilai Partial Eta Square pada baris diperoleh nilai 0.847, hal ini berarti bahwa sumbangan efektif sebesar 84,7. Ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah terapi diberikan, dengan nilai p=0.000 (p<0.01) pada saat prates-pascates dan p=0.001 (p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut. 13. Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Kelompok yang mendapatkan intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan group positive psychotherapy. JURNAL 3 JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 38, NO. 1, JUNI 2011: 92 – 107 Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional Terhadap Penurunan Depresi pada Mahasiswa Tahun Pertama Theresia Genduk Susilowati1 Nida Ul Hasanat2 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Abstract In the first year, college students will get the stressful events which related to leave parents and friends, also the transition of educational system and new home stay. The stressful events can cause negative of cognitive and emotional responses to college students. Therefore, it can cause depression on college student self. This research aims to test the effect writing about emotional experiences therapy on reducing depression for the first year college students. Research design uses two matched groups design. Subjects (N=12) were divided into experimental group (n=6) or control group (n=6). The experimental group was instructed to write about emotional experiences in four writing sessions lasting ± 30 minutes. Outcomes were measured at pretest, posttest, and follow up by Mixed ANOVA Design. Between Group ANOVA indicated the groups differed significantly on depression (F=25.88, p=.001). Within Group ANOVA indicated that experimental group reported significantly reduced depression at pretest, posttest, and follow up (F=33.72, p=.001). Post hoc test revealed that the repeat experimental group reported significantly reduced depression at pretest-posttest (p=.003), posttest-follow up (p>0,33), and pretest-follow up (p<0,01). This result indicated that writing about emotional experience therapy can reduce depression for first year college students. Keywords: writing about emotional experiences therapy, depression, first year college students Memasuki pendidikan tinggi merupakan masa transisi dari pendidikan sekolah menengah ke pendidikan tinggi. Masa transisi ini merupakan periode yang menekan bagi mahasiswa karena dihadapkan dengan situasi-situasi dan tuntutan baru (Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, & Zakalik, 2005). Kejadian-kejadian menekan yang dialami mahasiswa adalah perpisahan dengan 1 Korespondesi dengan penulis dapat dilakukan melalui: [email protected] 2 Atau dengan menghubungi: [email protected] 92 orang tua, perpisahan dengan sahabat, perpindahan tempat tinggal, perubahan sistem pendidikan, dan pertentangan sistem nilai (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990). Selain itu, mahasiswa yang sedang berada pada masa remaja juga dapat dihadapkan dengan kejadian-kejadian menekan lainnya seperti konflik hubungan dengan pacar, rendahnya prestasi akademik, konflik dengan orang tua atau teman sebaya (Blau, 1996), dan masalah keuangan (Furr, Conell, Westefeld, dan Jenkins, 2001). Pada tahun pertama kuliah, mahasiswa dituntut untuk mengatasi semua masalah dan konflik yang dialami serta melakukan penyesuaian terhadap lingkungan baru. Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi permasalahan dan melakukan penyesuaian terhadap kejadian-kejadian yang menekan tersebut akan memicu timbulnya depresi dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988; Mazure, 1998; Rey, 1995). Menurut pandangan kognitif, reaksi emosi muncul ketika individu menghadapi situasi tertentu. Reaksi emosi seseorang ditentukan oleh bagaimana individu menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya terhadap situasi tersebut (Beck, 1985; Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap situasi menekan yang dihadapi akan menentukan kualitas dan intensitas reaksi emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat memunculkan reaksi emosi yang negatif pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain dan lingkungan, ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemikiran negatif tersebut menurunkan penilaian positif dan penerimaan akan situasi yang dihadapi. Selain itu, pemikiran-pemikiran negatif tersebut berhubungan dengan depresi. Reaksi emosi juga melibatkan dua sistem afektif, yaitu afek positif dan afek negatif. Berkaitan dengan sistem afektif tersebut, depresi melibatkan rendahnya afek positif dan tingginya afek negatif (Clark, Watson, & Mineka, 1994). Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger & Padesky, 1995) mengemukakan bahwa depresi ditandai dengan pandangan negatif mengenai diri sendiri, dunia, dan masa depan. Individu dapat mengalami depresi karena ia memiliki skema kognitif yang negatif. Skema kognitif ini dikembangkan dari masa kanak-kanak atau remaja dan bersifat disfungsional. Skema kognitif yang negatif tersebut dapat mengantarai munculnya depresi ketika individu mengalami kejadian-kejadian yang menekan dengan cara menginterpretasikan dan memberikan pandangan yang negatif terhadap kejadiankejadian yang menekan (Beck, 1985; Dowd, 2004). Dari penjelasan di atas, depresi merupakan suatu gangguan emosional atau perasaan. Depresi yang dibiarkan terus berlanjut akan berdampak buruk pada individu yang mengalaminya sehingga perlu adanya intervensi untuk mengatasinya. Beberapa intervensi telah dilakukan untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi adalah Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman Emosional (Lepore, 1997; Purwandari, 2004; Sloan & Marx, 2004). Metode menulis ekspresif atau menulis pengalaman emosional telah menjadi kajian yang menarik pada dua dekade belakangan ini. Menurut Poerwadarminta (1976), menulis adalah suatu aktivitas melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan. Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis memiliki suatu kekuatan tersendiri karena menulis adalah suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan mengembangkan suatu pemikiran serta kesadaran akan suatu peristiwa (Bolton, 2004). Terapi Menulis adalah suatu aktivitas menulis yang mencerminkan refleksi dan ekspresi klien baik itu karena inisiatif sendiri atau sugesti dari seorang terapis atau peneliti (Wright, 2004). Pusat dari terapi menulis lebih pada proses selama menulis daripada hasil dari menulis itu sendiri sehingga penting bahwa menulis adalah suatu aktivitas yang personal, bebas kritik, dan bebas dari aturan bahasa seperti tata bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton, 2004). Oleh karena itu, menulis dapat disebut sebagai bentuk terapi yang menggunakan teknik sederhana, murah, dan tidak membutuhkan umpan balik (Pennebaker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007). Dalam seting klinis, Terapi Menulis Pengalaman Emosional atau Menulis Ekspresif dapat diartikan sebagai suatu terapi dengan aktivitas menulis mengenai pikiran dan perasaan yang mendalam terhadap pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang menekan atau bersifat traumatik (Pennebaker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007). Lepore et al. (2002) dalam kajiannya menunjukkan bahwa menulis ekspresif atau menulis mengenai pengalaman-pengalaman emosional dapat memfasilitasi regulasi emosi melalui tiga mekanisme, yaitu: (a) mengarahkan perhatian, (b) memfasilitasi habituasi (pembiasaan), dan (c) membantu restrukturisasi kognitif. Pennebaker et al. (1990) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa masa transisi yang dialami mahasiswa baru mengakibatkan mahasiswa mengalami mood negatif dan hambatan untuk melakukan penyesuaian psikologis sampai akhir semester pertama. Mahasiswa seringkali menghadapi konflik dan perasaan takut berkaitan dengan meninggalkan rumah, perubahan peraturan, dan memasuki perkuliahan. Dengan menuliskan pikiran dan perasaan mengenai pengalaman minggu pertama kuliah, mahasiswa memperoleh perubahan persepsi, perasaan, dan kesehatan. Penelitian mengenai efektivitas terapi untuk menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa telah dilakukan oleh Lepore (1997). Lepore menggunakan Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Penga- laman Emosional untuk menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa sebelum menghadapi ujian. Penurunan simtom-simtom depresi tersebut dapat terjadi karena diantarai oleh menurunnya tingkat emosional negatif yang diakibatkan oleh pikiran-pikiran yang mengganggu (instrusive thoughts). Efektivitas menulis pengalaman emosional untuk menurunkan depresi telah dibuktikan oleh penelitian Purwandari (2004) pada remaja yang mengalami rehabilitasi NAPZA. Purwandari mengemukakan bahwa pemikiran positif terjadi karena adanya penurunan bias memori otobiografi. Memori otobiografi adalah muatan emosi peristiwa-peristiwa yang pernah dilalui remaja, baik yang bersifat menyenangkan (positif) atau menyedihkan (negatif). Pada saat remaja mengalami depresi, mereka akan mengalami distorsi kognitif sehingga mengalami bias karena perasaan-perasaan negatif saja yang diingat. Pemikiran positif dapat terjadi setelah satu minggu intervensi menulis pengalaman emosional dilaksanakan. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran positif yang paling besar terjadi pada subjek dengan tingkat depresi berat. Penelitian lain mengenai menulis pengalaman emosional dan depresi juga dilakukan oleh Sloan dan Marx (2004) pada subjek yang mengalami simtom-simtom Post Traumatic Stress Disorder dengan menggunakan metode eksperimen. Menulis pengalaman emosional berlangsung selama tiga sesi menulis selama tiga hari berturutturut dan setiap sesi berlangsung selama 20 menit. Selain itu, follow up dilakukan pada minggu ke dua dan ke empat. Penelitian Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa menulis pengalaman emosional secara klinis dapat menurunkan simtom-simtom depresi. Subjek dalam kelompok menulis pengalaman emosional melaporkan menu- runnya simtom-simtom depresi setelah menulis pengalaman emosional dan follow up. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh menulis pengalaman emosional terhadap penurunan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Hipotesis yang diajukan adalah Terapi Menulis Pengalaman Emosional dapat menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Depresi pada mahasiswa tahun pertama dapat menurun karena adanya restrukturisasi kognitif yang difasilitasi oleh menulis pengalaman emosional. Restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan mengevaluasi pikiran-pikiran negatif terhadap stresor. Dengan melakukan evaluasi, akan terjadi perubahan kognitif mahasiswa dalam memandang diri sendiri dan lingkungan berkaitan dengan stresor atau perubahan reaksi emosi mereka terhadap stresor. Metode Subjek Subjek dalam penelitian ini adalah 12 mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dengan rentang usia 18-19 tahun. Karakteristik subjek adalah mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar daerah Yogyakarta dan tinggal tidak bersama orang tua atau tinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi berdasarkan hasil skrining yang menunjukkan skor depresi lebih dari 17 berdasarkan Beck Depression Inventory (BDI) Alat atau materi Alat atau materi yang diberikan pada subjek dalam penelitian ini adalah: 1. Beck Depression Inventory (BDI) Beck Depression Inventory merupakan skala untuk mengukur tingkat depresi subjek. Pada penelitian ini, skala BDI yang digunakan adalah skala BDI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Uji validitas dan reliabilitas skala adaptasi BDI telah dilakukan oleh Retnowati dengan subjek mahasiswa baru (Susilowati, 2008). Dari uji validitas, skala BDI sahih pada koefisien korelasi sebesar 0,1936 sampai 0,6317 pada taraf signifikansi 5 persen dan dari uji reliabilitas menggunakan tehnik analisis Hoyt diperoleh koefisien keandalan sebesar 0,844. Beck Depression Inventory terdiri dari 21 aitem yang mengambarkan simtomsimtom depresi, yaitu simtom afektif, simtom kognitif, simtom motivasional, dan simtom vegetatif-fisik. Skor total dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh untuk masing-masing aitem. Skor total yang didapatkan dari skala ini adalah antara 0 sampai 63. Subjek yang dinyatakan depresi dalam penelitian ini adalah subjek yang mengikuti klasifikasi Burns (1988) yaitu dengan skor total 17 ke atas. 2. The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) merupakan skala untuk mengukur perasaan positif dan negatif. Masing-masing skala perasaan positif dan perasaan negatif terdiri dari 10 aitem. Skala ini menggunakan format jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1 (hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu). Skor skala didapatkan dengan menjumlahkan 10 aitem untuk merefleksikan lebih tinggi perasaan positif atau perasaan negatif. Pada penelitian ini, skala PANAS yang digunakan adalah PANAS yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada uji reliabilitas dan validitas 10 aitem perasaan negatif dan 10 aitem perasaan positif adaptasi yang dilakukan peneliti terhadap 60 orang mahasiswa tahun pertama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma ditemukan korelasi aitem total sebesar 0,207-0,707 untuk perasaan negatif dan 0,237-0,630 untuk perasaan positif. Dari uji reliabilitas diperoleh koefisien alfa Cronbach sebesar 0,788 untuk perasaan negatif dan 0,775 untuk perasaan positif. 3. Cognitive-Emotion Regulation Questionnaire (CERQ). Cognitive-Emotion Regulation Questionnaire (CERQ) digunakan untuk mengetahui pemikiran seseorang pada saat atau setelah mengalami kejadian yang mengancam atau menekan. Cognitive-Emotion Regulation Questionnaire (CERQ) terdiri dari sembilan subskala yaitu menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain dan lingkungan, ruminasi (seringkali berpikir tentang perasaan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian negatif), katastrofi (pikiran pada teror yang dirasakan), menyusun persfektif, memusatkan pikiran pada hal positif, menilai adanya hal yang positif, menerima situasi, dan menyusun rencana (Garnefski et al., 2002). Masing-masing sub skala dalam CERQ terdiri dari 4 aitem dengan format jawaban 5 point skala Likert yaitu 1 (hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu). Penelitian ini menggunakan Skala CERQ yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada penelitian ini, uji reliabilitas dan validitas terhadap 60 mahasiswa tahun pertama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendi- dikan Universitas Sanata Dharma. Uji validitas 16 aitem pemikiran negatif dan 20 aitem pemikiran positif, ditemukan 15 aitem pemikiran negatif sahih dengan korelasi aitem total sebesar 0,321-0,720 dan 19 aitem pemikiran positif sahih dengan korelasi aitem total sebesar 0,260-0,674 dengan aitem yang gugur adalah 10 dan 33. Uji reliabilitas ditemukan koefisien reliabilitas Alfa Cronbach sebesar 0,863 untuk pemikiran negatif dan 0,854 untuk pemikiran positif. 4. Lembar kesediaan menjadi subjek penelitian (informed consent). Lembar kesediaan subjek berisi penjelasan tentang penelitian, perjanjian tentang pelaksanaan terapi, ketentuan, manfaat, konsekuensi, jaminan kerahasiaan identitas, dan komitmen untuk mengikuti seluruh tahapan terapi. 5. Modul menulis pengalaman emosional Modul menulis pengalaman emosional disusun oleh peneliti sebagai panduan dalam pelaksanaan terapi. 6. Buku harian Buku harian ini disusun oleh peneliti sebagai media untuk menulis pengalaman emosional oleh subjek. Setiap subjek diminta untuk menulis pengalaman emosionalnya pada buku harian selama 4 kali pertemuan. Setiap sesi menulis berdurasi kurang lebih selama 30 menit. Validitas buku harian ini ditentukan berdasarkan validitas tampang (face validity) dengan mengacu pada format penampilan. Validitas tampang ditentukan berdasarkan profesional judgment bahwa buku ini layak digunakan sebagai alat intervensi. Buku harian dengan desain dan tata letak yang baik dapat memotivasi subjek untuk menulis dengan baik (Kaloeti, 2007). 7. Lembar Kerja (Worksheet) Lembar kerja ini berisi pernyataan tentang hal-hal yang didapatkan oleh subjek selama menulis pengalaman emosional. Pernyataan yang diberikan dalam lembar kerja ini adalah: a. Tema kejadian yang dituliskan b. Emosi-emosi yang muncul selama menulis c. Emosi yang dirasakan setelah menulis d. Hal-hal yang didapatkan selama menulis 8. Alat tulis Alat tulis berupa pulpen yang diberikan kepada subjek. Rancangan eksperimen Rancangan penelitian yang digunakan adalah two matched group design. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan desain pretest, posttest, dan follow up. Subjek diberikan pretest sebelum pelaksanaan tritmen dengan skala BDI, PANAS, dan CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan tritmen dilakukan posttest dengan menggunakan skala yang sama sebagai evaluasi hasil tritmen, sehingga akan terlihat perbedaannya sebelum dan sesudah dilakukan tritmen. Selanjutnya rentang waktu satu minggu setelah semua sesi tritmen berakhir dan dilakukan posttest, akan dilakukan follow up untuk melihat efektivitas tritmen lebih lanjut. Pre test Perlakuan KE Y1 X KK Y1 -X Post Follow test up Y3 Y2 Y2 Y3 Keterangan: KE : Kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan menulis pengalaman emosional KK : Kelompok kontrol Y1 : Pretest X : Perlakuan menulis pengalaman emosional - X : Tanpa perlakuan Y2 : Postest Y3 : Follow up satu minggu setelah semua sesi terapi dilakukan Gambar 1. Rancangan eksperimen Prosedur Penelitian Secara garis besar prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. hipotesisMelakukan uji coba modul. Uji kelayak- an modul telah dilakukan dengan melakukan simulasi sebanyak empat kali simulasi terhadap lima mahasiswa yaitu pada tanggal 15 Mei 2009 seba- nyak dua kali uji coba dan 26 Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba. 2. Melakukan uji coba PANAS dan CERQ pada tanggal 11-15 Mei 2009. 3. Melakukan skrining subjek berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh peneliti yaitu pada tanggal 22 Mei 2009. Skrining dilakukan pada 100 mahasiswa semester II tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Berdasarkan skrining yang dilakukan didapatkan 24 mahasiswa yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. 4. Peneliti membagi 24 mahasiswa tersebut menjadi dua kelompok, 12 mahasiswa untuk kelompok eksperimen dan 12 mahasiswa untuk kelompok kontrol dengan matched skor depresi. 5. Meminta persetujuan subjek untuk mengikuti penelitian dilakukan dengan penandatanganan lembar persetujuan menjadi subjek atau informed consent pada tanggal 29 Mei 2009 untuk kelompok eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk kelompok kontrol. Pada tahap ini, mahasiswa yang bersedia mengikuti penelitian adalah 9 untuk kelompok eksperimen dan 10 untuk kelompok kontrol. 6. Pemberian pretest yaitu berupa PANAS dan CERQ pada 3 Juni 2009. pemikiran subjek setelah mengikuti Terapi Menulis Pengalaman Emosional. 7. Proses terapi dimulai pada tanggal 3 sampai 10 Juni 2009. Pada pelaksanaan terapi, subjek yang datang pada hari pertama terapi adalah enam subjek dan tiga subjek lainnya menyatakan mengundurkan diri. Sebelum memulai terapi, subjek terlebih dahulu diberikan informasi mengenai hal–hal yang berhubungan dengan proses terapi seperti aturan yang harus ditaati bersama dan kegiatan yang dilakukan selama empat kali pertemuan. Subjek diberikan terapi berupa menulis pengalaman emosional dengan menggunakan buku harian. Terapi dilakukan selama empat kali pertemuan yaitu pada tanggal 3, 5, 8, dan 10 Juni 2009. Sebelum menulis, subjek diberikan instruksi terlebih dahulu. Observer dilibatkan sebagai pengamat dalam setiap proses intervensi dengan panduan lembar observasi. 11. Melakukan analisis kualitatif yaitu dengan analisis naratif berdasarkan cerita yang ditulis untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam Terapi Menulis Pengalaman Emosional. 8. Pemberian posttest berupa BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan pada tanggal 10 Juni 2009. Untuk kelompok eksperimen, posttest diberikan pada akhir pertemuan ke empat. Posttest ini diikuti oleh enam subjek dari kelompok eksperimen dan enam subjek dari kelompok kontrol. Empat subjek dalam kelompok kontrol gugur karena tidak bersedia mengikuti posttest. 9. Follow up berupa pemberian BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan setelah satu minggu pemberian terapi menulis pengalaman emosional pada buku harian yaitu pada tanggal 17 Juni 2009. Pada tahap follow up diikuti oleh enam mahasiswa dari kelompok eksperimen dan enam mahasiswa dari kelompok kontrol. 10. Melakukan analisis kuantitatif, yaitu untuk melihat apakah ada penurunan depresi dan perubahan emosi serta Hasil Pada penelitian ini, analisis dilakukan dalam dua cara, yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis Kuantitatif Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan skor pretest, posttest, dan follow up hasil pengukuran skala Beck Depression Inventory (BDI) dengan menggunakan Design Anava Campuran yang terdiri Anava Antar Kelompok dan Anava Amatan Ulang. Hasil Anava Amatan Antar Kelompok Depresi antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Tabel 1 Rerata Skor Depresi pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Kelompok Penelitian Kelompok Eksperimen Kelompok kontrol Rerata Rerata pretest Rerata posttest 18,17 9 5,5 18,33 17,83 15,83 follow up Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa ada penurunan depresi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penurunan depresi terjadi lebih banyak pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari pengujian Anava Amatan Ulang untuk mengetahui penurunan depresi pretest, posttest, dan follow up pada subjek kelompok eksperimendiketahui nilai F hitung=33,72 dan p=0,001 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan depresi pada setiap pengukuran pretest, posttest, dan follow up. Hal ini menunjukkan adanya penurunan depresi pada setiap pengukuran. Untuk mengetahui perbedaan depresi pada pretest, posttest, dan follow up dilakukan pengujian Post Hoc. Hasil pengujian Post Hoc memperlihatkan adanya penurunan yang signifikan depresi subjek antara pretest, posttest, dan follow up. Pada pengukuran pretest dan posttest terdapat perbedaan dengan p=0,003 (p<0,05) dan pada pengukuran posttest dan follow up dengan p=0,033 (p<0,05). Pada pengukuran pretest dan follow up dengan p=0,001 (p<0,05). Selanjutnya juga dilakukan analisis dengan Anava Campuran untuk mengetahui perbedaan perubahan pemikiran dan emosi pada setiap kelompok dan pada setiap pengukuran. Dari tabel 2 di atas dapat diketahui adanya perubahan berupa peningkatan maupun penurunan skor pretest, posttest, dan follow up pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil anava amatan antar kelompok pemikiran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa pada pemikiran positif dihasilkan nilai F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran positif pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pemikiran positif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Demikian pula dengan pemikiran negatif yang menghasilkan nilai F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran negatif pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian, penurunan pemikiran negatif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menulis pengalaman emosional kurang efektif untuk meningkatkan pemikiran positif dan menurunkan pemikiran negatif pada subjek. Hasil anava amatan ulang pemikiran positif dan negatif pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa terdapt nilai Tabel 2 Rerata Pemikiran Positif, Pemikiran Negatif, Emosi Positif, dan Emosi Negatif Variabel Kelompok Penelitian Pemikiran Positif Kelompok Eksperimen Kelompok kontrol Kelompok Eksperimen Kelompok kontrol Kelompok Eksperimen Kelompok kontrol Kelompok Eksperimen Kelompok kontrol Pemikiran Negatif Emosi Positif Emosi Negatif Rerata pretest 74,50 70,67 41,83 43,33 34,67 34,17 29,17 29,50 Rerata posttest 75,83 69,50 41,00 42,83 34,33 34,33 27,00 29,00 Rerata follow up 77,50 71,67 39,33 44,67 36,33 34,50 24,00 27,67 F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) untuk pemikiran positif dan F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05) untuk pemikiran negatif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pemikiran positif maupun pemikiran negatif pada pengukuran pretest, posttest, dan follow up. Hasil anava amatan antar kelompok emosi positif dan emosi negatif pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memperlihatkan nilai F=0,171 dan p=0,688 (p>0,05) untuk emosi positif dan F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05) untuk emosi negatif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan emosi positif dan negatif pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menulis pengalaman emosional kurang efektif untuk meningkatkan emosi positif dan mengurangi emosi negatif pada diri subjek. Dari hasil Anava Amatan Ulang pada kelompok eksperimen didapatkan nilai F=0,171 dan p=0,688 (p>0,05) untuk emosi positif dan F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05) untuk emosi negatif yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan emosi positif maupun emosi negatif pada pengukuran pretest, posttest, dan follow up. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan emosi positif dan penurunan emosi negatif pada setiap pengukuran tidak signifikan. Analisis Kualitatif Analisis kualitatif dilakukan dengan analisis naratif dengan sistem koding dari cerita yang dituliskan subjek pada buku harian dan jawaban yang diberikan subjek pada lembar kerja setelah menulis pengalaman emosional. Dari analisis naratif ini, akan diketahui dinamika subjek dalam menghadapi kejadian-kejadian menekan. Dalam penelitian ini, topik-topik yang dituliskan oleh subjek adalah topik mengenai konflik dengan diri sendiri, konflik dengan teman lawan jenis, konflik dengan teman sebaya, konflik dengan pacar, konflik dengan orang tua, konflik dengan pemilik kost, permasalahan yang berhubungan dengan aktivitas akademik di kampus, dan kurangnya dukungan sosial yang diterimanya. Selain itu, menulis pengalaman emosional juga dapat menjadi sarana bagi subjek untuk mengekspresikan emosi-emosi yang dirasakan berkaitan dengan kejadian yang dialami oleh subjek. Dari analisis naratif yang telah dikemukakan juga dapat dilihat bahwa permasalahan-permasalahan yang dialami subjek dapat menimbulkan perasaan sedih, putus asa, tidak berminat untuk melakukan aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan orang lain. Semua simtom – simtom ini merupakan simtom dari depresi. Dari analisi juga dapat diketahui bahwa terapi menulis pengalaman emosional dapat memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran tertentu berkaitan dengan kejadian-kejadian yang dialami. Dengan menulis, subjek dapat mengembangkan pemikiran untuk menerima situasi yang ada, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif dan menilai hal-hal positif dari kejadian yang dialami. Selain itu, menulis pengalaman emosional juga mendorong subjek untuk memperoleh suatu pemahaman atau insight, mengembangkan motivasi dalam diri sendiri, serta mendorong munculnya rasa optimis dengan mengembangkan harapan–harapan dan keyakinan. Dari lembar kerja subjek dapat diketahui bahwa selama menulis pengalaman emosional, subjek mengalami emosi-emosi yang sama dengan ketika subjek mengalami kejadian-kejadian yang dituliskan. Ketika menuliskan pengalaman yang tidak menyenangkan, subjek merasakan emosiemosi negatif seperti sedih, marah, jijik, takut, menyesal, dan benci. Sebaliknya, subjek yang menuliskan pengalaman yang menyenangkan akan merasakan emosiemosi positif, seperti senang, bahagia, dan lucu. Emosi–emosi yang dirasakan tersebut pada umumnya masih terasa pada saat setelah sesi menulis. Akan tetapi, para subjek mengemukakan bahwa setelah menulis pengalaman emosional mereka merasa lega karena telah mengemukakan emosi-emosi dan pemikirannya. Diskusi Berdasarkan pelaksanaan Terapi Menulis Pengalaman Emosional diperoleh hasil bahwa Terapi Menulis Pengalaman Emosional pada penelitian ini terbukti dapat menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Penurunan depresi terjadi segera setelah pelaksanaan seluruh terapi (posttest) dan pada satu minggu setelah pelaksanaan terapi selesai (follow up). Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan Lepore (1997) bahwa penurunan depresi terjadi pada akhir terapi menulis pengalaman emosional dan Sloan dan Marx (2004) yang mengemukakan penurunan depresi terjadi pada posttest dan follow up. Akan tetapi, hal ini tidak sama dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Purwandari (2004) yang mengemukakan bahwa penurunan depresi hanya terjadi pada tindak lanjut (follow up) atau satu minggu setelah Terapi Menulis Pengalaman Emosional selesai. Berdasarkan skor BDI, sebelum mengikuti Terapi Menulis Pengalaman Emosional, tingkat depresi subjek termasuk sedang. Setelah mengikuti Terapi Menulis Pengalaman Emosional, tingkat depresi subjek menurun ke depresi ringan sampai normal. Pada penelitian ini terlihat bahwa semua subjek mengalami penurunan depresi segera setelah terapi selesai. Pada satu minggu setelah terapi selesai (follow up), penurunan depresi kembali terjadi pada 4 subjek penelitian (66,6%). Dari pengukuran emosi dapat dilihat bahwa 3 subjek (50%) mengalami penurunan emosi positif pada posttest namun 4 subjek (83%) mengalami peningkatan emosi positif pada follow up. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Pennebaker et al. (1990); Shiffield et al. (2002); dan Paez, Velasco, & Gonzalez (1999) bahwa terjadi penurunan emosi positif pada postest dan peningkatan emosi positif pada follow up. Akan tetapi, pada penelitian ini penurunan emosi positif ini tidak disertai dengan peningkatan emosi negatif melainkan disertai penurunan emosi negatif sebesar 66% pada posttest dan 83% pada follow up. Hal yang berbeda dialami oleh subjek ketika menuliskan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan seperti pergi ke suatu tempat bersama teman-teman atau ayah dan pertemuan dengan teman atau sahabat. Dengan menuliskan pengalamanpengalaman yang positif atau menyenangkan maka subjek akan mengalami peningkatan emosi-emosi positif setelah menulis pengalaman emosional (Burton & King, 2004). Pada penelitian ini, ditemukan tidak adanya perbedaan emosi positif yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada pengukuran posttest dan follow up. Demikian juga dengan perubahan emosi negatif yang menunjukkan tidak adanya perbedaan emosi negatif yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol. Hal ini kemungkinan karena (1) Pada saat menulis pengalaman emosional, beberapa subjek cenderung menuliskan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan daripada menuliskan pengalaman-pengalaman tentang kejadian yang menekan dan permasalah-permasalahannya. Menulis pengalaman emosional yang menyenangkan dapat meningkatkan emosi positif jangka pendek (Burton & King, 2004; Pennebaker & Chung, 2007). Namun, menulis pengalaman emosional yang menyenangkan kurang memfasilitasi subjek untuk menguasai permasalahanpermasalahan yang terjadi di lingkungannya dibandingkan dengan menulis pengalaman-pengalaman yang menekan (Lyubomirsky, Sousa, & Dickerhoof, 2006). Disamping itu, subjek yang menuliskan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan cenderung untuk menghindari kejadiankejadian yang menekan sehingga masih mengalami pikiran-pikiran yang mengganggu (Lepore,1997). (2) Ketika subjek melakukan posttest dan follow up subjek berada dalam kondisi dihadapkan oleh banyak tugas akademik dan mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir semester. Kondisi ini membuat beberapa subjek seringkali mengalami emosi-emosi negatif namun tidak mempengaruhi terjadinya depresi dalam diri subjek. Pada penelitian ini, subjek juga mengemukakan bahwa dengan menulis pengalaman emosional pada buku harian, subjek dapat memberikan pendapat secara spontan terhadap hal-hal yang dituliskan, evaluasi pada diri sendiri, pertimbangan untuk melakukan sesuatu, dan mendapatkan suatu pemahaman (insight). Pemahaman (insight) ini dapat terjadi karena adanya proses kognitif selama menulis. Dengan menulis, subjek menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian melakukan penilaian kembali peristiwaperistiwa tersebut sehingga terjadi dialog internal dalam diri subjek. Dalam dialog internal tersebut, subjek akan memperoleh insight dan kesadaran (Burns, 1988; Purwandari, 2004). Hal ini juga mendukung pendapat Singer (2004) bahwa menu- lis pengalaman emosional merupakan suatu aktivitas yang melibatkan suatu usaha mengorganisasi, mengintegrasi, dan menganalisis suatu masalah untuk mengembangkan suatu solusi. Dari analisis kualitatif dengan sistem koding berdasarkan cerita yang dibuat dan lembar kerja dapat dilihat bahwa Terapi Menulis Pengalaman Emosional dapat memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif dari kejadian-kejadian menekan yang dialaminya. Pemikiran-pemikiran positif terhadap kejadian-kejadian menekan ini dapat muncul karena adanya restrukturisasi atau perubahan kognitif selama menulis pengalaman emosional. Restrukturisai kognitif ini dapat memfasilitasi perubahan pemikiran dan emosi yang dirasakan dengan mengevaluasi stresor-stresor yang ada (Lepore, 2002; Sloan, Marx, & Epstein, 2005). Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pemikiran positif antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Demikian juga dengan pemikiran negatif yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pemikiran negatif antara kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Secara teoritis, dengan menulis pengalaman emosional akan terjadi proses kognitif sehingga terjadi peningkatan pemikiran-pemikiran positif (Paez, et al.,1999). Namun, penelitian ini kurang memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiranpemikiran positif. Hal ini kemungkinan dikarenakan: (1) dalam setiap pertemuan, subjek menuliskan topik yang berbedabeda ketika menulis sehingga kurang memberikan penilaian terhadap kejadian-kejadian yang menekan secara menyeluruh dan perubahan atau restrukturisasi kognitif belum begitu nampak pada subjek (Paez, et al., 1999; Sloan et al., 2005). (2) Berkaitan dengan pelaksanaan terapi, pelaksanaan terapi selama empat hari dirasa kurang untuk memfasilitasi perubahan kognitif pada diri subjek. (3) Berkaitan dengan alat ukur perubahan kognitif atau CERQ, kemungkinan alat ukur ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Dari sesi sharing dalam setiap pertemuan didapatkan bahwa menulis pengalaman emosional lebih bermanfaat ketika subjek berada dalam emosi negatif seperti sedih, marah, dan kecewa. Dalam keadaan emosi negatif, subjek dapat menuliskan pengalaman-pengalamannya dengan lebih cepat, lebih panjang, dan lebih ekspresif. Dari proses terapi juga terlihat bahwa durasi waktu untuk menulis selama 30 menit dirasa kurang untuk menuliskan semua pemikiran dan emosi mengenai kejadian-kejadian yang dituliskan sehingga subjek kurang dapat menuliskan pengalamannya secara tuntas. Selain itu, adanya jarak hari dari pertemuan 1 ke pertemuan 2 mengakibatkan subjek berada dalam suasana hati yang berbeda sehingga subjek mengalami kesulitan untuk melanjutkan pengalaman yang telah dituliskan dan ingin dilanjutkan pada hari sebelumnya serta kesulitan untuk mencari tema cerita yang baru. Pelaksanaan terapi secara terjadwal membuat subjek harus menuliskan pengalaman emosionalnya pada waktu yang telah ditentukan dengan kondisi suasana hati yang belum tentu ingin menulis. Oleh karena itu, subjek seringkali kesulitan untuk mencari tema-tema cerita untuk dituliskan. Pada penelitian ini, pemberian terapi pada subjek waiting list atau kelompok kontrol setelah pelaksanaan terapi pada kelompok eksperimen belum dapat dilaksanakan karena (1) pelaksanaan terapi bertepatan dengan waktu ujian dan libur akhir semester, (2) beberapa subjek menolak untuk mengikuti terapi. Keterbatasan dalam Penelitian ini Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak adanya randomized assignment terhadap subjek pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah dilakukan matched skor subjek. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai Quasi Experiment yaitu eksperimen yang disertai dengan pemberian tritmen, pengukuran outcome, dan unit eksperimental namun tidak menggunakan random assignment untuk menciptakan perbandingan perubahan akibat tritmen. Tidak adanya randomized assignment tersebut dapat mengancam validitas internal penelitian karena randomized assignment berfungsi untuk (1) menggambarkan sampel dapat mewakili populasi, (2) menggambarkan sampel dapat diperbandingkan satu sama lain, (3) mengurangi bias perbedaan antar kelompok. Perbandingan pada kelompok yang nonekuivalen yang ditujukan pada perbedaan masing-masing kelompok lebih terjadi karena berbagai cara daripada pengaruh tritmen yang dilakukan (Cook & Campbell, 1979). Kelemahan dalam Penelitian ini Ada beberapa kelemahan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Subjek pada penelitian ini menggunakan subjek mahasiswa tahun pertama pada semester II sehingga subjek telah melakukan penyesuaian terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan masa transisi. Ada kemungkinan apabila menggunakan subjek mahasiswa tahun pertama semester I akan memperoleh hasil yang berbeda. 2. Instruksi pada modul menulis pengalaman emosional kurang dapat mengarahkan subjek untuk mengemukakan pengalaman-pengalaman pada kejadian-kejadian yang menekan dalam kehidupannya sehingga terkadang subjek cenderung menuliskan pengalaman yang bersifat menyenangkan atau netral. 3. Waktu menulis 30 menit dirasa kurang untuk menulis pengalaman emosional yang dirasakan sehingga subjek kurang dapat mengemukakan perasaan dan pemikirannya secara tuntas. 4. Adanya jarak hari pertemuan untuk menulis pengalaman emosional mengakibatkan subjek mengalami suasana hati yang berbeda-beda pada setiap pertemuan sehingga subjek mengalami kesulitan untuk melanjutkan menuliskan pengalaman dari pertemuan sebelumnya. 5. Pelaksanaan Terapi Menulis Pengalaman Emosional secara terjadwal pada waktu tertentu mengakibatkan subjek harus menulis pengalaman emosional pada kondisi saat itu juga baik itu sedang berminat untuk menulis ataupun tidak. Kesimpulan Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal yang sangat memperngaruhi pelaksanaan terapi, didapatkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis Pengalaman Emosional merupakan sarana bantu diri yang terbukti efektif menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Simtom-simtom dan tingkat depresi pada semua subjek mengalami penurunan. Sebelum mengikuti terapi subjek berada pada kategori sedang dan setelah mengikuti terapi subjek berada pada kategori depresi ringan dan normal. 2. Penurunan depresi terjadi karena menulis pengalaman emosional memfasilitasi subjek untuk mengevaluasi, menganalisis, dan menilai kembali kejadian-kejadian menekan yang dialaminya sehingga subjek mendapatkan suatu pemahaman, mengembangkan suatu solusi, memotivasi diri, menerima keadaan yang ada, belajar dari apa yang dialami, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif, dan menilai hal-hal positif dari suatu kejadian. Saran Berdasarkan hasil dan proses terapi yang dilaksanakan maka saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Untuk kalangan profesional, Terapi ini disarankan menjadi salah satu program bagi mahasiswa baru sebagai sarana bantu diri untuk mengatasi depresi. 2. Kepada peneliti selanjutnya a. Pada penelitian berikutnya perlu untuk menggunakan mahasiswa baru semester pertama untuk mendapatkan perbandingan hasil efektivitas Terapi Menulis Pengalaman Emosional pada mahasiswa semester pertama dan ke dua. b. Pada penelitian berikutnya instruksi dalam Terapi Menulis Pengalaman Emosional lebih ditekankan untuk menuliskan pengalaman-pengalaman negatif seperti pengalaman yang membuat sedih atau marah. c. Pada penelitian selanjutnya perlu untuk memperpanjang durasi waktu menulis. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi subjek untuk mengemukakan semua emosi dan pemikiran-pemikiran yang muncul ketika menulis secara tuntas. d. Disarankan hari pelaksanaan yang berlangsung secara berturut-turut. Hal ini dimaksudkan agar subjek masih mempunyai ingatan dan suasana hati yang sama untuk melanjutkan topik tulisannya pada pertemuan sebelumnya. Dengan demikian, subjek dapat mengemukakan semua pemikirannya secara menyeluruh. e. Disarankan pelaksanaan Terapi Menulis Pengalaman Emosional dilakukan secara individu di rumah. Hal ini dimaksudkan agar subjek menulis ketika ia benar-benar dalam kondisi berminat untuk menulis. Kepustakaan Antony, A. (2004). Therapy online: The therapeutic relationship in typed text. Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago, & J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An Introductory Handbook of Writing in Counselling and Therapy (h. 133-141). New York: Brunner Routledge. Beck, A. T. (1985). Depression: Causes and treatment. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Blau, G.M. (1996). Adolescent suicide and depression. Dalam B. M. Blau & Thomas P. Gultotta (Ed.), Adolescent dysfunctional behavior: Causes, interventions, and prevention (h. 187 – 205). London: Sage Publications. Bolton, G. (2004). Introduction: Writing cures. Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago, & J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An Introductory Handbook of Writing in Counselling and Therapy (h. 13). New York: Brunner Routledge. Burns, D.D. (1988). Feeling good: The new mood therapy [Terapi kognitif: Pendekatan baru bagi penanganan depresi] Jakarta: Erlangga. Burton, C.M. & King, L. A. (2004). The health benefits of writing about intensely positive experiences. Journal of Research in Personality, 38, 150-163. Cook, T. D. & Campbell, D. T. (1979). Quasi experimentation: Design and analysis issues for field settings. Illinois: Houghton Mifflin. Clark, L.A., Watson, D., & Mineka, S. (1994). Temperament, personality, and the mood and anxiety disorder. Journal of Abnormal Psychology, 103, 103-116. Dowd, E. T. (2004). Depression: Theory, assesment, and new directions in practice. International Journal of Clinical and Health Psychology, 413-423. Duffy, K.G. & Atwater, E. (2002). Psychology for living: Adjustment, growth, and behavior today (7th ed.) New Jersey: Prentice Hall. Fisher, S. (1988). Leaving home: Homesickness and the psychological effects of change and transition. Dalam S. Fisher & J. Reason (Ed.), Handbook of life stress, cognition, and health (h. 41-59). England: Wiley. Furr, S.R., Mc Connel, G.N., Westefeld, J.S., & Jenkins J.M. (2001). Suicide and depression among college students: A decade later. Professional Psychology: Research and Practice, 32, 97-100. Greenberger, D. & Padesky, C.A. (1995). Mind over mood: Change how you feel by changing the way you think. New York: The Guilford Press. Lazarus, R. S., (1991). Emotion and adaptation. New York: Oxford University Press. Lepore, S. J. (1997). Expressive writing moderates the relation between intrusive thoughts and depressive symptoms. Journal of Personality and Social Psychology, 73, 1030-1037. Lepore, S.J. Greenberg, M.A., Bruno, M., & Smyth, J.M., (2002). Expressive writting and health: Self-regulation of emotion related experience, physiology, and behavior. Dalam Lepore & Smyth.The writing cure: How expressive writing promotes health and emotional well-being. Washington, DC: American Psychological Association press. Diunduh 13 Agustus 2008, dari http://www.faculty. tc.columbia.edu/ upload/sl2201/Writing_Cure_Ch_6.pdf Lyubomirsky, S., Sousa, L., & Dickerhoof, R., (2006). The cost and benefits of writing, talking, and thinking about life’s triumphs and defeats. Journal of Personality and Social Psychology, 90, 692708. Martin, R.C., & Dahlen, E. R. (2005). Cognitive emotion regulation in prediction of depression, anxiety, stress, and anger. Personality & Individual Differences, 39, 1249-1260. Mazure, M.M. (1998). Life stressors as risk factors in depression. Clinical Psychology: Science and Practice, 5 , 291-313. Paez, D., Velasco, C., & Gonzales, J.E. (1999) Expressive writing and the role of alexythimia as dispositional deficit in self-disclosure and psychological health. Jornal of Personality anf Social Psychology, 77, 630-641. Pennebaker, J. W. (1997). Writing about emotional experiences as a therapeutic process. Psychological Science, 8, 162-166 Pennebaker, J. W., & Chung, C.K. (2007). Expressive writing, emotional upheavals, and health. In H. Friedman and R. Silver (Ed.), Handbook of Health Psychology (h. 263 – 284). New York: Oxford University Press. Pennebaker, J.W., Colder, M., & Sharp, L.K. (1990). Accelerating the coping process. Journal of Personality and Social Psychology, 58, 528-537. Poerwadarminto, W. J. S. (1976). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka Purwandari, E. (2004), Pengaruh menulis pengalaman emosional terhadap memori otobiografi dan depresi pada remaja yang menjalani rehabilitasi napza. Tesis tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Indonesia. Rey, J. (2002). More than just the Blues: Understanding serious teenage problems. New South Wales: Simon and Schuster. Sheffield, D., Duncan, E., Thomson, K., & Johal, S. S. (2002). Written emotional expression and well-being: Result from a home-based study. The Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies, 2001. Diunduh 4 February 2008, dari http://www.massey.ac.nz/~trauma/issu es/2002-1/sheffield.htm Singer, J. A. (2004). Narrative identity and meaning making across the adult lifespan: An introduction. Journal of Personality, 72, 437-459. Sloan, D. M., & Marx, B. P. (2004). A closer examination of the structured written disclosure procedure. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 72, 165175. Sloan D. M., Marx, B.P., & Epstein, E.M. (2005). Further examination of the exposure model underlying the efficacy of written emotional disclosure. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 73, 549-554. College Students: A longitudinal study. Journal of Counseling Psychology, 52, 602614. Susilowati, L. (2008). Pelatihan berpikir positif untuk mengelola depresi pada penyandang cacat tubuh. Tesis tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Indonesia. Wright, J. K. (2004). The passion of science, the precision of poetry: therapeutic writing-a review of the literature. Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago, & J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An Introductory Handbook of Writing in Counselling and Therapy (h. 7-17). New York: Brunner Routledge. Wei, M., Russell, D. W., & Zakalik, R. A. (2005). Adult attachment, sosial self – efficacy, self-disclosure, loneliness, and subsequent depression for Freshman REVIEW JURNAL 1. Judul Penelitian : Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional Terhadap Penurunan Depresi pada Mahasiswa Tahun Pertama 2. Nama Peneliti : Theresia Genduk Susilowati, Nida Ul Hasanat 3. Abstrak : In the first year, college students will get the stressful events which related to leave parents and friends, also the transition of educational system and new home stay. The stressful events can cause negative of cognitive and emotional responses to college students. Therefore, it can cause depression on college student self. This research aims to test the effect writing about emotional experiences therapy on reducing depression for the first year college students. Research design uses two matched groups design. Subjects (N=12) were divided into experimental group (n=6) or control group (n=6). The experimental group was instructed to write about emotional experiences in four writing sessions lasting ± 30 minutes. Outcomes were measured at pretest, posttest, and follow up by Mixed ANOVA Design. Between Group ANOVA indicated the groups differed significantly on depression (F=25.88, p=.001). Within Group ANOVA indicated that experimental group reported significantly reduced depression at pretest, posttest, and follow up (F=33.72, p=.001). Post hoc test revealed that the repeat experimental group reported significantly reduced depression at pretest-posttest (p=.003), posttest-follow up (p>0,33), and pretest-follow up (p<0,01). This result indicated that writing about emotional experience therapy can reduce depression for first year collage student. 4. Pendahuluan/latar belakang masalah : Memasuki1 pendidikan tinggi merupakan masa transisi dari pendidikan sekolah menengah ke pendidikan tinggi. Masa transisi ini merupakan periode yang menekan bagi mahasiswa karena dihadapkan dengan situasi-situasi dan tuntutan baru (Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, & Zakalik, 2005). Kejadian-kejadian menekan yang dialami mahasiswa adalah perpisahan dengan orang tua, perpisahan dengan sahabat, perpindahan tempat tinggal, perubahan sistem pendidikan, dan pertentangan sistem nilai (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990). Selain itu, mahasiswa yang sedang berada pada masa remaja juga dapat dihadapkan dengan kejadian-kejadian menekan lainnya seperti konflik hubungan dengan pacar, rendahnya prestasi akademik, konflik dengan orang tua atau teman sebaya (Blau, 1996), dan masalah keuangan (Furr, Conell, Westefeld, dan Jenkins, 2001). Pada tahun pertama kuliah, mahasiswa dituntut untuk mengatasi semua masalah dan konflik yang dialami serta melakukan penyesuaian terhadap lingkungan baru. Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi permasalahan dan melakukan penyesuaian terhadap kejadian-kejadian yang menekan tersebut akan memicu timbulnya depresi dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988; Mazure, 1998; Rey, 1995). Menurut pandangan kognitif, reaksi emosi muncul ketika individu menghadapi situasi tertentu. Reaksi emosi seseorang ditentukan oleh bagaimana individu menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya terhadap situasi tersebut (Beck, 1985; Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap situasi menekan yang dihadapi akan menentukan kualitas dan intensitas reaksi emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat memunculkan reaksi emosi yang negatif pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain dan lingkungan, ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemikiran negatif tersebut menurunkan penilaian positif dan penerimaan akan situasi yang dihadapi. Selain itu, pemikiran-pemikiran negatif tersebut berhubungan dengan depresi. Reaksi emosi juga melibatkan dua sistem afektif, yaitu afek positif dan afek negatif. Berkaitan dengan sistem afektif tersebut, depresi melibatkan rendahnya afek positif dan tingginya afek negatif (Clark, Watson, & Mineka, 1994). Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger & Padesky, 1995) mengemukakan bahwa depresi ditandai dengan pandangan negatif mengenai diri sendiri, dunia, dan masa depan. Individu dapat mengalami depresi karena ia memiliki skema kognitif yang negatif. Skema kognitif ini dikembangkan dari masa kanak-kanak atau remaja dan bersifat disfungsional. Skema kognitif yang negatif tersebut dapat mengantarai munculnya depresi ketika individu mengalami kejadian-kejadian yang menekan dengan cara menginterpretasikan dan memberikan pandangan yang negatif terhadap kejadiankejadian yang menekan (Beck, 1985; Dowd, 2004). Dari penjelasan di atas, depresi merupakan suatu gangguan emosional atau perasaan. Depresi yang dibiarkan terus berlanjut akan berdampak buruk pada individu yang mengalaminya sehingga perlu adanya intervensi untuk mengatasinya. Beberapa intervensi telah dilakukan untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi adalah Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman Emosional (Lepore, 1997; Purwandari, 2004; Sloan & Marx, 2004). Metode menulis ekspresif atau menulis pengalaman emosional telah menjadi kajian yang menarik pada dua dekade belakangan ini. Menurut Poerwadarminta (1976), menulis adalah suatu aktivitas melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan. Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis memiliki suatu kekuatan tersendiri karena menulis adalah suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan mengembangkan suatu pemikiran serta kesadaran akan suatu peristiwa (Bolton, 2004). Terapi Menulis adalah suatu aktivitas menulis yang mencerminkan refleksi dan ekspresi klien baik itu karena inisiatif sendiri atau sugesti dari seorang terapis atau peneliti (Wright, 2004). Pusat dari terapi menulis lebih pada proses selama menulis daripada hasil dari menulis itu sendiri sehingga penting bahwa menulis adalah suatu aktivitas yang personal, bebas kritik, dan bebas dari aturan bahasa seperti tata bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton, 2004). Oleh karena itu, menulis dapat disebut sebagai bentuk terapi yang menggunakan teknik sederhana, murah, dan tidak membutuhkan umpan balik (Pennebaker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007). Dalam seting klinis, Terapi Menulis Pengalaman Emosional atau Menulis Ekspresif dapat diartikan sebagai suatu terapi dengan aktivitas menulis mengenai pikiran dan perasaan yang mendalam terhadap pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang menekan atau bersifat traumatik (Pennebaker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007). Lepore et al. (2002) dalam kajiannya menunjukkan bahwa menulis ekspresif atau menulis mengenai pengalamanpengalaman emosional dapat memfasilitasi regulasi emosi melalui tiga mekanisme, yaitu: (a) mengarahkan perhatian, (b) memfasilitasi habituasi (pembiasaan), dan (c) membantu restrukturisasi kognitif. Pennebaker et al. (1990) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa masa transisi yang dialami mahasiswa baru mengakibatkan mahasiswa mengalami mood negatif dan hambatan untuk melakukan penyesuaian psikologis sampai akhir semester pertama. Mahasiswa seringkali menghadapi konflik dan perasaan takut berkaitan dengan meninggalkan rumah, perubahan peraturan, dan memasuki perkuliahan. Dengan menuliskan pikiran dan perasaan mengenai pengalaman minggu pertama kuliah, mahasiswa memperoleh perubahan persepsi, perasaan, dan kesehatan. Penelitian mengenai efektivitas terapi untuk menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa telah dilakukan oleh Lepore (1997). Lepore menggunakan Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman Emosional untuk menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa sebelum menghadapi ujian. Penurunan simtom-simtom depresi tersebut dapat terjadi karena diantarai oleh menurunnya tingkat emosional negatif yang diakibatkan oleh pikiranpikiran yang mengganggu (instrusive thoughts). Efektivitas menulis pengalaman emosional untuk menurunkan depresi telah dibuktikan oleh penelitian Purwandari (2004) pada remaja yang mengalami rehabilitasi NAPZA. Purwandari mengemukakan bahwa pemikiran positif terjadi karena adanya penurunan bias memori otobiografi. Memori otobiografi adalah muatan emosi peristiwa-peristiwa yang pernah dilalui remaja, baik yang bersifat menyenangkan (positif) atau menyedihkan (negatif). Pada saat remaja mengalami depresi, mereka akan mengalami distorsi kognitif sehingga mengalami bias karena perasaan-perasaan negatif saja yang diingat. Pemikiran positif dapat terjadi setelah satu minggu intervensi menulis pengalaman emosional dilaksanakan. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran positif yang paling besar terjadi pada subjek dengan tingkat depresi berat. Penelitian lain mengenai menulis pengalaman emosional dan depresi juga dilakukan oleh Sloan dan Marx (2004) pada subjek yang mengalami simtom-simtom Post Traumatic Stress Disorder dengan menggunakan metode eksperimen. Menulis pengalaman emosional berlangsung selama tiga sesi menulis selama tiga hari berturutturut dan setiap sesi berlangsung selama 20 menit. Selain itu, follow up dilakukan pada minggu ke dua dan ke empat. Penelitian Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa menulis pengalaman emosional secara klinis dapat menurunkan simtom-simtom depresi. Subjek dalam kelompok menulis pengalaman emosional melaporkan menu runnya simtom-simtom depresi setelah menulis pengalaman emosional dan follow up. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh menulis pengalaman emosional terhadap penurunan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Hipotesis yang diajukan adalah Terapi Menulis Pengalaman Emosional dapat menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Depresi pada mahasiswa tahun pertama dapat menurun karena adanya restrukturisasi kognitif yang difasilitasi oleh menulis pengalaman emosional. Restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan mengevaluasi pikiran-pikiran negatif terhadap stresor. Dengan melakukan evaluasi, akan terjadi perubahan kognitif mahasiswa dalam memandang diri sendiri dan lingkungan berkaitan dengan stresor atau perubahan reaksi emosi mereka terhadap stresor. 5. Teori/definisi dari variable yang terlibat : Secara teoritis, dengan menulis pengalaman emosional akan terjadi proses kognitif sehingga terjadi peningkatan pemikiran-pemikiran positif (Paez, et al.,1999). Namun, penelitian ini kurang memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiranpemikiran positif. Hal ini kemungkinan dikarenakan: (1) dalam setiap pertemuan, subjek menuliskan topik yang berbeda- beda ketika menulis sehingga kurang memberikan penilaian terhadap kejadian-keja- dian yang menekan secara menyeluruh dan perubahan atau restrukturisasi kognitif belum begitu nampak pada subjek (Paez, et al., 1999; Sloan et al., 2005). (2) Berkaitan dengan pelaksanaan terapi, pelaksanaan terapi selama empat hari dirasa kurang untuk memfasilitasi perubahan kognitif pada diri subjek. (3) Berkaitan dengan alat ukur perubahan kognitif atau CERQ, kemungkinan alat ukur ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Dari sesi sharing dalam setiap perte- muan didapatkan bahwa menulis penga- laman emosional lebih bermanfaat ketika subjek berada dalam emosi negatif seperti sedih, marah, dan kecewa. Dalam keadaan emosi negatif, subjek dapat menuliskan pengalaman-pengalamannya dengan lebih cepat, lebih panjang, dan lebih ekspresif. Dari proses terapi juga terlihat bahwa durasi waktu untuk menulis selama 30 menit dirasa kurang untuk menuliskan semua pemikiran dan emosi mengenai kejadiankejadian yang dituliskan sehingga subjek kurang dapat menuliskan penga- lamannya secara tuntas. Selain itu, adanya jarak hari dari pertemuan 1 ke pertemuan 2 mengakibatkan subjek berada dalam suasana hati yang berbeda sehingga subjek mengalami kesulitan untuk melanjutkan pengalaman yang telah dituliskan dan ingin dilanjutkan pada hari sebelumnya serta kesulitan untuk mencari tema cerita yang baru. Pelaksanaan terapi secara terjadwal membuat subjek harus menuliskan penga- laman emosionalnya pada waktu yang telah ditentukan dengan kondisi suasana hati yang belum tentu ingin menulis. Oleh karena itu, subjek seringkali kesulitan untuk mencari tema-tema cerita untuk dituliskan. 6. Hipotesis : Terapi Menulis Pengalaman Emosional memiliki pengeruh terhadap penurunan depresi pada mahasiswa tahun pertama 7. Sampel/subjek penelitian : Subjek dalam penelitian ini adalah 12 mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dengan rentang usia 18-19 tahun. Karakteristik subjek adalah mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar daerah Yogyakarta dan tinggal tidak bersama orang tua atau tinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi berdasarkan hasil skrining yang menunjukkan skor depresi lebih dari 17 berdasarkan Beck Depression Inventory (BDI) 8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen : Rancangan penelitian yang digunakan adalah two matched group design. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan desain pretest, posttest, dan follow up. Subjek diberikan pretest sebelum pelaksanaan tritmen dengan skala BDI, PANAS, dan CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan tritmen dilakukan posttest dengan menggunakan skala yang sama sebagai evaluasi hasil tritmen, sehingga akan terlihat perbedaannya sebelum dan sesudah dilakukan tritmen. Selanjutnya rentang waktu satu minggu setelah semua sesi tritmen berakhir dan dilakukan posttest, akan dilakukan follow up untuk melihat efektivitas tritmen lebih lanjut. Keterangan: KE : Kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan menulis pengalaman emosional KK : Kelompok kontrol Y1 : Pretest X : Perlakuan menulis pengalaman emosional - X : Tanpa perlakuan Y2 : Postest Y3 : Follow up satu minggu setelah semua sesi terapi dilakukan 9. Metode Pengambilan Data : 1. Beck Depression Inventory (BDI) Beck Depression Inventory merupakan skala untuk mengukur tingkat depresi subjek. Pada penelitian ini, skala BDI yang digunakan adalah skala BDI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Uji validitas dan reliabilitas skala adaptasi BDI telah dilakukan oleh Retnowati dengan subjek mahasiswa baru (Susilowati, 2008). Dari uji validitas, skala BDI sahih pada koefisien korelasi sebesar 0,1936 sampai 0,6317 pada taraf signifikansi 5 persen dan dari uji reliabilitas menggunakan tehnik analisis Hoyt diperoleh koefisien keandalan sebesar 0,844. Beck Depression Inventory terdiri dari 21 aitem yang mengambarkan simtomsimtom depresi, yaitu simtom afektif, simtom kognitif, simtom motivasional, dan simtom vegetatif-fisik. Skor total dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh untuk masing-masing aitem. Skor total yang didapatkan dari skala ini adalah antara 0 sampai 63. Subjek yang dinyatakan depresi dalam penelitian ini adalah subjek yang mengikuti klasifikasi Burns (1988) yaitu dengan skor total 17 ke atas. 2. The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) merupakan skala untuk mengukur perasaan positif dan negatif. Masing-masing skala perasaan positif dan perasaan negatif terdiri dari 10 aitem. Skala ini menggunakan format jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1 (hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu). Skor skala didapatkan dengan menjumlahkan 10 aitem untuk merefleksikan lebih tinggi perasaan positif atau perasaan negatif. Pada penelitian ini, skala PANAS yang digunakan adalah PANAS yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada uji reliabilitas dan validitas 10 aitem perasaan negatif dan 10 aitem perasaan positif adaptasi yang dilaku- kan peneliti terhadap 60 orang maha- siswa tahun pertama Fakultas Kegu- ruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma ditemukan korelasi aitem total sebesar 0,207-0,707 untuk perasaan negatif dan 0,237-0,630 untuk perasaan positif. Dari uji reliabilitas diperoleh koefisien alfa Cronbach sebe- sar 0,788 untuk perasaan negatif dan 0,775 untuk perasaan positif. 3. Cognitive-Emotion Regulation Question- naire (CERQ). Cognitive-Emotion Regulation Question- naire (CERQ) digunakan untuk mengetahui pemikiran seseorang pada saat atau setelah mengalami kejadian yang mengancam atau menekan. Cognitive-Emotion Regulation Question- naire (CERQ) terdiri dari sembilan subs- kala yaitu menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain dan lingkung- an, ruminasi (seringkali berpikir ten- tang perasaan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian negatif), katastrofi (pikiran pada teror yang dirasakan), menyusun persfektif, memusatkan pi- kiran pada hal positif, menilai adanya hal yang positif, menerima situasi, dan menyusun rencana (Garnefski et al., 2002). Masing-masing sub skala dalam CERQ terdiri dari 4 aitem dengan format jawaban 5 point skala Likert yaitu 1 (hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu). Penelitian ini menggunakan Skala CERQ yang telah diterjemahkan ke da- lam Bahasa Indonesia. Pada penelitian ini, uji reliabilitas dan validitas terhadap 60 mahasiswa tahun pertama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma. Uji validitas 16 aitem pemikiran negatif dan 20 aitem pemikiran positif, dite- mukan 15 aitem pemikiran negatif sahih dengan korelasi aitem total sebesar 0,321-0,720 dan 19 aitem pemi- kiran positif sahih dengan korelasi aitem total sebesar 0,260-0,674 dengan aitem yang gugur adalah 10 dan 33. Uji reliabilitas ditemukan koefisien reliabi- litas Alfa Cronbach sebesar 0,863 untuk pemikiran negatif dan 0,854 untuk pemikiran positif. 10. Pelaksanaan Penelitian :  Melakukan uji coba modul. Uji kelayakan modul telah dilakukan dengan melakukan simulasi sebanyak empat kali simulasi terhadap lima mahasiswa yaitu pada tanggal 15 Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba dan 26 Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba.  Melakukan uji coba PANAS dan CERQ pada tanggal 11-15 Mei 2009.  Melakukan skrining subjek berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh peneliti yaitu pada tanggal 22 Mei 2009. Skrining dilakukan pada 100 mahasiswa semester II tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Berdasarkan skrining yang dilakukan didapatkan 24 mahasiswa yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.  Peneliti membagi 24 mahasiswa tersebut menjadi dua kelompok, 12 mahasiswa untuk kelompok eksperimen dan 12 mahasiswa untuk kelompok kontrol dengan matched skor depresi.  Meminta persetujuan subjek untuk mengikuti penelitian dilakukan dengan penandatanganan lembar persetujuan menjadi subjek atau informed consent pada tanggal 29 Mei 2009 untuk kelompok eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk kelompok kontrol. Pada tahap ini, mahasiswa yang bersedia mengikuti penelitian adalah 9 untuk kelompok eksperimen dan 10 untuk kelompok kontrol.  Pemberian pretest yaitu berupa PANAS dan CERQ pada 3 Juni 2009.  Proses terapi dimulai pada tanggal 3 sampai 10 Juni 2009. Pada pelaksanaan terapi, subjek yang datang pada hari pertama terapi adalah enam subjek dan tiga subjek lainnya menyatakan mengundurkan diri. Sebelum memulai terapi, subjek terlebih dahulu diberikan informasi mengenai hal–hal yang berhubungan dengan proses terapi seperti aturan yang harus ditaati bersama dan kegiatan yang dilakukan selama empat kali pertemuan. Subjek diberikan terapi berupa menulis pengalaman emosional dengan menggunakan buku harian. Terapi dilakukan selama empat kali pertemuan yaitu pada tanggal 3, 5, 8, dan 10 Juni 2009. Sebelum menulis, subjek diberikan instruksi terlebih dahulu. Observer dilibatkan sebagai pengamat dalam setiap proses intervensi dengan panduan lembar observasi.  Pemberian posttest berupa BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan pada tanggal 10 Juni 2009. Untuk kelompok eksperimen, posttest diberikan pada akhir pertemuan ke empat. Posttest ini diikuti oleh enam subjek dari kelompok eksperimen dan enam subjek dari kelompok kontrol. Empat subjek dalam kelompok kontrol gugur karena tidak bersedia mengikuti posttest.  Follow up berupa pemberian BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan setelah satu minggu pemberian terapi menulis pengalaman emosional pada buku harian yaitu pada tanggal 17 Juni 2009. Pada tahap follow up diikuti oleh enam mahasiswa dari kelompok eksperimen dan enam mahasiswa dari kelompok kontrol.  Melakukan analisis kuantitatif, yaitu untuk melihat apakah ada penurunan depresi dan perubahan emosi serta pemikiran subjek setelah mengikuti Terapi Menulis Pengalaman Emosional.  Melakukan analisis kualitatif yaitu dengan analisis naratif berdasarkan cerita yang ditulis untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam Terapi Menulis Pengalaman Emosional. 11. Metode Analisis Data : Pada penelitian ini, analisis dilakukan dalam dua cara, yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. 12. Penelitian : 1. Hasil Analisis Kuantitatif Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan skor pretest, posttest, dan follow up hasil pengukuran skala Beck Depression Inventory (BDI) dengan menggunakan Design Anava Campuran yang terdiri Anava Antar Kelompok dan Anava Amatan Ulang. Hasil Anava Amatan Antar Kelompok Depresi antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol . Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa ada penurunan depresi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penurunan depresi terjadi lebih banyak pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari pengujian Anava Amatan Ulang untuk mengetahui penurunan depresi pretest, posttest, dan follow up pada subjek kelompok eksperimendiketahui nilai F hitung=33,72 dan p=0,001 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan depresi pada setiap pengukuran pretest, posttest, dan follow up. Hal ini menunjukkan adanya penurunan depresi pada setiap pengukuran. Untuk mengetahui perbedaan depresi pada pretest, posttest, dan follow up dilaku kan pengujian Post Hoc. Hasil pengujian Post Hoc memperlihatkan adanya penurunan yang signifikan depresi subjek antara pretest, posttest, dan follow up. Pada pengukuran pretest dan posttest terdapat perbedaan dengan p=0,003 (p<0,05) dan pada pengukuran posttest dan follow up dengan p=0,033 (p<0,05). Pada pengukuran pretest dan follow up dengan p=0,001 (p<0,05).Selanjutnya juga dilakukan analisis dengan Anava Campuran untuk mengetahui perbedaan perubahan pemikiran dan emosi pada setiap kelompok dan pada setiap pengukuran. Dari tabel 2 di atas dapat diketahui adanya perubahan berupa peningkatan maupun penurunan skor pretest, posttest, dan follow up pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil anava amatan antar kelompok pemikiran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa pada pemikiran positif dihasilkan nilai F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran positif pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pemikiran positif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Demikian pula dengan pemikiran negatif yang menghasilkan nilai F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran negatif pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian, penurunan pemikiran negatif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menulis pengalaman emosional kurang efektif untuk meningkatkan pemikiran positif dan menurunkan pemikiran negatif pada subjek. Hasil anava amatan ulang pemikiran positif dan negatif pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa terdapt nilai 2. Analisis kualitatif Analisis kualitatif dilakukan dengan analisis naratif dengan sistem koding dari cerita yang dituliskan subjek pada buku harian dan jawaban yang diberikan subjek pada lembar kerja setelah menulis pengalaman emosional. Dari analisis naratif ini, akan diketahui dinamika subjek dalam menghadapi kejadian-kejadian menekan. Dalam penelitian ini, topik-topik yang dituliskan oleh subjek adalah topik mengenai konflik dengan diri sendiri, konflik dengan teman lawan jenis, konflik dengan teman sebaya, konflik dengan pacar, konflik dengan orang tua, konflik dengan pemilik kost, permasalahan yang berhubungan dengan aktivitas akademik di kampus, dan kurangnya dukungan sosial yang diterimanya. Selain itu, menulis pengalaman emosional juga dapat menjadi sarana bagi subjek untuk mengekspresikan emosi-emosi yang dirasakan berkaitan dengan kejadian yang dialami oleh subjek.Dari analisis naratif yang telah dikemukakan juga dapat dilihat bahwa permasalahan-permasalahan yang dialami subjek dapat menimbulkan perasaan sedih, putus asa, tidak berminat untuk melakukan aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan orang lain. Semua simtom – simtom ini merupakan simtom dari depresi. Dari analisi juga dapat diketahui bahwa terapi menulis pengalaman emosional dapat memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiranpemikiran tertentu berkaitan dengan kejadian-kejadian yang dialami. Dengan menulis, subjek dapat mengembangkan pemikiran untuk menerima situasi yang ada, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif dan menilai hal-hal positif dari kejadian yang dialami. Selain itu, menulis pengalaman emosional juga mendorong subjek untuk memperoleh suatu pemahaman atau insight, mengembangkan motivasi dalam diri sendiri, serta mendorong munculnya rasa optimis de- ngan mengembangkan harapan–harapan dan keyakinan. Dari lembar kerja subjek dapat diketahui bahwa selama menulis pengalaman emosional, subjek mengalami emosi-emosi yang sama dengan ketika subjek menga- lami kejadian-kejadian yang dituliskan. Ketika menuliskan pengalaman yang tidak menyenangkan, subjek merasakan emosiemosi negatif seperti sedih, marah, jijik, takut, menyesal, dan benci. Sebaliknya, subjek yang menuliskan pengalaman yang menyenangkan akan merasakan emosi- emosi positif, seperti senang, bahagia, dan lucu. Emosi–emosi yang dirasakan tersebut pada umumnya masih terasa pada saat setelah sesi menulis. Akan tetapi, para subjek mengemukakan bahwa setelah menulis pengalaman emosional mereka merasa lega karena telah mengemukakan emosi-emosi dan pemikirannya. 13. Kesimpulan : Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal yang sangat memperngaruhi pelaksanaan terapi, didapatkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis Pengalaman Emosional merupakan sarana bantu diri yang terbukti efektif menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama. Simtom-simtom dan tingkat depresi pada semua subjek mengalami penurunan. Sebelum meng- ikuti terapi subjek berada pada kategori sedang dan setelah mengikuti terapi subjek berada pada kategori depresi ringan dan normal. 2. Penurunan depresi terjadi karena me- nulis pengalaman emosional memfasi- litasi subjek untuk mengevaluasi, menganalisis, dan menilai kembali kejadian-kejadian menekan yang diala- minya sehingga subjek mendapatkan suatu pemahaman, mengembangkan suatu solusi, memotivasi diri, menerima keadaan yang ada, belajar dari apa yang dialami, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif, dan menilai hal-hal positif dari suatu kejadian. JURNAL 4 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) PENGARUH KONFORMITAS TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA PRODUK MINUMAN COKLAT MAHASISWI PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS SURABAYA Jilly Lukito Psikologi [email protected] Abstrak- Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan pada produk minuman coklat pada mahasiswi Psikologi di Universitas Surabaya. Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok eksperimen. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan skala yaitu skala preferensi atas produk minuman coklat dan angket terbuka yang bertujuan untuk mengetahui faktor yang memengaruhi dalam pengambilan keputusan. Aktor yang diambil adalah teman sebaya. Analisis data yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi silang dan Chi Square test. Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan sehingga tidak adanya pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan (0.313 > 0.05). Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas atau yang paling banyak mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor psikologikal yaitu persepsi (100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%). Bagi peneliti selanjutnya mungkin bisa menggunakan alat ukur yang terstandarisasi untuk mengukur efektivitas dan tingkat konformitas , tipe kepribadian dan menggunakan alat ukur untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan selain faktor sosial (lingkungan). Saran penelitian sebaiknya melakukan pengembangan produk dengan memperhatikan karakeristik konsumen. Kata kunci: Konformitas, Pengambilan Keputusan, Minuman Coklat, Indonesia, Mahasiswi 587 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) Abstract- This experimental studies is a research to show how conformity can affect to desicion making on chocolate drinks with female college student in Surabaya University. The sample 60 participant that divide into two group which is experiment group and control group. The researcher used preference to screening with open questionaire aim to show what factor that affect desicion making. Actor that used is their peer group. Data analysis used chi Square test and crostab. From the analysis shown that there is not asociation between conformity and desicion making by square test (0.313 > 0.05). The result shown from open questionaire that majority used their psychologist which is their perception (100%), compare (26.6%) and preference to decide their choices. To another research suggest to used measuring instrument for personality type and conformity. These research could be implement into workplace that always produce product that suit for consumen’s characteristic. Keyword: conformity, chocolate drink, desicion making, female college student 588 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) PENDAHULUAN Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas Kakao menempati peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa negara, setelah komoditas CPO dan karet (Suryani dan Zuldebriansyah, 2007). Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.650 ton, dibawah Negara Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta ton. Volume ekspor kakao Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai Rp. 1.413.535.000 dan volume impor sebesar 46.356 ton senilai 119,32 ribu US$ (Direktorat Jendral Perkebunan, 2010). Menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman mengatakan pengolahan biji kakao nasional akan mencapai 500 ton pada akhir 2013. Data AIKI menyebutkan, produksi biji kakao nasional pada 2012-2013 mencapai 310 ribu dan 400 ribu ton. AIKI memperkirakan produksi kakao olahan nasional dapat dapat naik hingga 800 ribu ton pada 2014. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyerapan pasar tidak seimbang dengan hasil produksi nasional karena selisih 200 ribu ton dengan kemampuan penyerapan konsumen. Salah satu faktor eksternal yaitu konformitas. Konformitas ialah suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok (Zebua dan Nurdjayadi,2001). Melalui studi yang telah dilakukan ditunjukkan bahwa tekanan grup mungkin terjadi memberikan pengaruh dalam bagaimana individu dalam meyakini dan pandangannya (Venkatesan, 1966). Pada eksperimen lainnya, mengatakan bahwa adanya ketidakhadiran standard objektif dalam bagaimana individu berubah mengikuti pertimbangan dan evaluasi orang lain (Venkatesan,1966). Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan, Individu cenderung untuk menyesuaikan dengan keputusan norma kelompok. 589 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) Tujuan dari penelitian adalah melakukan modifikasi mengenai pengaruh konformitas terhapad perilaku konsumen yaitu pengambilan keputusan dan sumbangan efektif konformitas terhadap pengambilan keputusan konsumen. METODE PENELITIAN Desain penelitian menggunakan true experiment (eksperimen murni) dengan posttest control group design. Desain eksperimen tersebut merupakan desain eksperimen dengan adanya pembagian partisipan menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah pembagian menjadi dua kelompok yang setara, dilakukan treatment pada kelompok eksperimen. Adanya pengukuran post-test memungkinkan peneliti untuk membandingkan kondisi kelompok eksperimen dan kontrol sehingga peneliti dapat membuat kesimpulan tentang keefektifan treatment dengan lebih baik. Peneliti memilih desain eksperimen tersebut karena jenis eksperimen tersebut berpeluang untuk dilakukan dalam waktu yang terbatas (cukup satu kali eksperimen) dan mempunyai kontrol validitas internal yang paling kuat dibanding dua desain eksperimen lainnya. Untuk menghindari risiko terkontaminsasi dengan variabel lain , maka eksperimen mengontrol beberapa variabel yaitu merek, gender, kemasan, dan selera. Berikut adalah beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menjaga variabel yang dapat mengganggu jalannya penelitian: 1. Menghilangkan merek pada produk untuk mengurangi bias pada merek. 2. Melakukan seleksi pada calon partisipan dengan screening menggunakan skala preferensi sehingga penyebaran partisipan merata antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. 3. Kemasan produk pada tiap sample menggunakan kemasan yang sama. Kelompok kontrol terdiri dari mahasiswi Psikologi yang mengikuti mata kuliah 590 Psikologi Ekonomi dan Bisnis. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) Pengambilan data dilakukan pada pukul 08.30 – 9.30 pada hari Selasa Tanggal 29 November 2016. Berikut adalah prosedur pelaksanaan penelitian: a. Sebelum memulai eksperimen, peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan pemberian penjelasan kegiatan yaitu meminta para mahasiswi untuk memilih minuman yang paling enak atau terbaik. Pertama, dilakukan screening terlebih dahulu untuk menyeimbangkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setiap partisipan yang terpilih adalah Dalam kegiatan ini peneliti berhasil menentukan sebanyak 30 partisipan yang merupakan wanita yang memiliki perwakilan tiap skala preferensi yaitu masing-masing sebanyak 10 orang. b. Pengaturan posisi menggunakan variasi latin square design sehingga setiap posisi memiliki frekuensi yang sama. c. Memberikan intruksi bahwa: (1) ketiga sample adalah berasal dari tempat yang berbeda, (2) setiap produk memiliki kualitas yang berbeda-beda, (3) eksperimen ini sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam studi bisnis untuk mengindikasi minuman mana yang terbaik, (4) studi yang akan dilakukan adalah untuk menemukan manakah minuman yang paling terbaik. d. Membagikan tiap label minuman kepada partisipan secara individu yang dalam percobaan diberi jeda bagi partisipan untuk meminum air putih untuk menetralkan rasa. e. Setelah mencoba dan menentukan pilihan, peneliti membagikan angket dan inform consent kepada tiap partisipan yang terpilih dan mengumpulkan seluruh lembar angket yang telah diisi. f. Langkah terakhir adalah menjelaskan arti tujuan dari eksperimen yang sebenarnya yang sudah tercantum di dalam 591 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) inform consent yaitu untuk merupakan penelitian mengenai pengaruh konformitas dalam pengambilan keputusan. g. Untuk menjaga jalannya eksperimen, peneliti menyampaikan kepada seluruh partisipan yang ada di dalam ruangan tersebut untuk merahasiakan tujuan eksperimen yang sebenarnya dikarenakan peneliti akan melakukan penelitian pada kelompok eksperimen dalam beberapa hari ke depan sehingga tidak menganggu partisipan yang sudah berada di dalam daftar kelompok eksperimen. h. Sebagai hadiah atas partisipasi kelompok kontrol peneliti membagikan masing-masing kepada partisipan berupa minuman cokelat yang merupakan produk eksperimen. Teknik analisis data merupakan kegiatan mengolah data yang sudah terkumpul. Pengolahan data tersebut dilakukan menggunakan bantuan software SPSS 22. Analisis data dengan beberapa langkah yaitu uji hipotesis guna mengetahui pengaruh tratment. Hal ini dilihat dari hasil nilai 0 dan 1 (Pada partisipan yang mengubah pilihannya. Kemudian memperhatikan nilai signifikansi pada uji hipotesis dengan menggunakan taraf signifikansi 5% (α= 0.05). HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, kedua kelompok yang digunakan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu dilihat dari skala preferensi yang sama yaitu memiliki perwakilan 10 partisipan dalam tiap tingkatan skala rendah, sedang dan tinggi serta jumlah partisipan di tiap kelompok adalah sama yaitu masing-masing 30 orang. Dalam memilih partisipan, peneliti mengatur dan memberikan syarat utama yaitu setiap partisipan dalam kelompok eksperimen adalah teman atau mahasiswi yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari experimentee. Setelah di lakukan screening, peneliti berhasil mendapatkan setiap perwakilan dari masing-masing skala preferensi yaitu 592 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) sebanyak 10 partisipan pada tiap kelompok kontrol dan eksperimen. Total partisipan adalah sebanyak 60 orang. No Hari, Tanggal Waktu Lokasi Jumlah partisipan 1 Selasa, 29 13:00 – 18.00 November 2016 2 Rabu, SGFP dan PD 12 1.2 30 14:00 – 18:00 PD 3.2 14 11:00 – 13:00 PD 1.3 4 November 2016 3 Kamis, 1 Desember 2016 Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Berdasarkan waktu penelitian yang disebutkan, pengambilan data dilakukan selama 3 hari dengan jumlah partisipan yang berbeda-beda bergantung pada waktu yang dikehendaki oleh experimentee dan partisipan yang ada. Masingmasing waktu yang diperlukan tiap eksperimen yaitu 1x 25 menit terdiri dari perkenalan diri, penyampaian tujuan, pencobaan minuman, perlakuan, dan penutup. Kelompok A B C N Eksperimen 6 13* 11 30 Kontrol 8 7 15 30 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pilihan Partisipan * Pada kelompok eksperimen partisipan yang merubah pilihannya adalah 1 orang dengan pereferensi 2 yaitu subjek nomor 8 Distribusi skor pilihan pada kedua kelompok tersebut seperti yang telah ditunjukkan oleh tabel tersebut adalah terdapat perbedaan distribusi pada pilihan B yaitu selisih 6 orang yaitu sebanyak 13 orang pada kelompok eksperimen. Meski telah menunjukkan jumlah yang lebih banyak daripada kelompok eksperimen namun partisipan yang mengaku merubah pilihannya karena pengaruh temannya adalah sebanyak 1 orang. 593 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) Kelompok Conform Non-Conform Total Sig (2-sided) Eksperimen 1 29 30 .313 Kontrol 0 30 30 Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang dan Chi-Square Test Berdasarkan hasil yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh tekanan kelompok tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan seseorang. Hal ini diperkuat dengan data pengujian hipotesis dengan tabulasi silang dan sig pada Chi-Square terhadap pengambilan keputusan pada seluruh jumlah partisipan sebanyak 60 orang. Berdasarkan tabel 4.4 terlihat dari data output SPSS adalah nilai sig 0.313 > 0.05 maka tidak signifikan sehingga H1 ditolak. Artinya adalah tidak ada asosiasi antara konformitas dengan pengambilan keputusan. No Faktor yang memengaruhi Persen Pernyataan No subjek 1 100 % (30 subjek) “rasa, warna dan kekentalan” 1 Tahap: “rasa dan tekstur” “ tidak terlalu asam” 22 Pengenalan Perhatian “Coklatnya terasa” Persepsi 30 27 Interpretasi 2 Komparasi 36,6 % “Menurut saya, sample A tidak 12 (11 subjek) terlalu pahit dan tidak terlalu manis dibandingkan yang lainnya, sample A terasa paling enak meskipun yg lainnya juga enak” “ Karena menurut saya yang paling manis” 594 3 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) 3 Penguatan teman 20% “ Pilihan saya sudah tetap dari (6 subjek) awal, karena teman saya yakin” “teman saya suka B jadi saya semakin yakin” 4 2 7 Preferensi 33,6 % “Manisnya menurut saya pas, 22 Selera kesukaan terhadap (10 subjek) mungkin karena saya tidak suka terlalu manis maka dari itu produk Pembelajaran rasanya pas” dari “Karena sudah pas di hati coklat pengalaman masa lalu 25 B (Saya suka)” “ Karena sample C pahit seperti 23 dark choco yang seharusnya” Tabel 4. Hasil angket terbuka Berikut akan dibahas hasil penelitian pada masing-masing faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan. 1. Penguatan teman Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, diketahui bahwa sebanyak 6 (20%) subjek nomor 2, 3, 6, 7, 9, 17, (tabel 4.5) menyatakan bahwa adanya pengaruh teman dalam mempertimbangkan pilihan walaupun sedikit dan tidak merubah pilihan jika berbeda namun dapat memberikan penguatan pada pilihannya jika memiliki pilihan jawaban yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mengambil keputusan, seseorang akan memperhatikan keputusan orang lain dan dapat menjadikan keputusan orang lain sebagai penguat dalam pilihannya jika memiliki pilihan yang sama. Subjek menggunakan informasi dan respon teman dalam pengambilan keputusannya ditunjukkan melalui pernyataan subjek yaitu “ Pilihan saya sudah tetap dari awal, karena teman saya yakin” pdada subjek nomor 2 dan pernyataan “teman saya suka B jadi saya semakin yakin pada subjek nomor 7 (Tabel 4.5). Dari contoh pernyataan subjek tersebut menunjukkan bahwa subjek pada tahap evaluasi alternatif yaitu melakukan evaluasi berdasarkan sikap orang lain atau teman sebaya berupa sikap positif dari experimentee berupa opini sikap persetujuan dengan pilihan 595 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) subjek. Sikap experimentee tersebut memberikan pengaruh dalam mengambil keputusan yaitu kehadiran teman tersebut memengaruhi subjek untuk dapat meyakini dan sebagai penguatan pada pilihan yang telah dipilih subjek. Sikap teman yang positif terhadap suatu sample yaitu menyukai hasil dari evaluasi subjek memengaruhi keyakinan dan motivasi pada pilihan subjek tersebut. 2. Persepsi Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta menambah dan menggabungkan informasi yang baru dengan informasi yang lama sehinga akan menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam bentuk adanya keputusan. Menurut Engel (1995) terdapat tiga langkah utama dalam proses menghasilkan informasi dari persepsi yaitu a. Pengenalan (exposure) Persepsi dimulai pada tahap ini yaitu muncul ketika stimulus datang melalui salah satu reseptor sensori utama. Pada penelitian ini terlihat dalam reseptor sensori utama yaitu pada pengenalan produk pertama kali pada prosedur penelitian. Pengenalan dilakukan dengan menyampaikan produk secara singkat dengan menghadirkan produk secara langsung dan juga melalui penyampaian secara verbal oleh peneliti. b. Perhatian (attention) Tahap berikut ini yaitu adanya perhatian yang muncul ketika stimulus mengaktifkan satu atau lebih sensori dan sensasi yang terbentuk bergerak menuju otak dan diproses. Banyaknya stimulus yang hadir akan menimbulkan perhatian pada stimulus yang menarik. Faktor stimulus adalah karakteristik fisik dari stimulus seperti warna, rasa, intensitas kekentalan, dan kuantitas yang ada para produk minuman coklat. Dalam penelitian ini dapat ditunjukan pada sensori indera perasa (rasa, tekstur, dan kekentalan) dan penglihatan (warna). Hal ini 596 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) ditunjukkan dengan kemampuan subjek dalam memperhatikan beberapa aspek tersebut yang kemudian dijadikan pertimbangan terlihat dalam beberapa pernyataan yaitu “rasa, warna dan kekentalan” pada subjek nomor 1, dan “rasa dan tekstur” pada subjek nomor 22 (Tabel 4.5). Hal ini menunjukkan bahwa subjek merasakan adanya stimulus karakteristik fisik dari produk tersebut. c. Interpretasi (interpretation) Langkah berikutnya adalah interpretasi yaitu menentukan makna dari sensasi atau proses pada saat stimulus baru ditempatkan dalam salah satu kategori makna dari sensasi atau proses dimana stimulus baru ditempatkan dalam salah satu dari makna kategori yang ada. Dalam penelitian ini, subjek akan memproses dan menginterpretasikan dan mengelolah seperti rasa yang pahit atau manis, tingkat intensitas kental atau cari dan warna yang terang atau lebih gelap. Subjek akan mengkategorikan makna dari sensasi atau proses yang diterimanya pada makna kategori seperti mengkategorikan rasa pada produk yang akan dipilih dengan sample yang tidak seperti dengan makna pada tingkat rasa manis dan asam serta tekstur pada produk minuman coklat tersebut. Hal ini ditunjukkan pernyataan subjek yaitu “ tidak terlalu asam” subjek nomor 30 dan “Coklatnya terasa” pada subjek nomor 27 (Tabel 4.5). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa dalam mengambil keputusan, subjek akan memiliki interpretasi terhadap produk dan interpretasi yang dimiliki tersebut memengaruhi keputusan yang akan dipilih. Subjek akan menginterpretasikan dan mengkategorikan diperoleh dari proses interpretasi. 597 makna yang Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) 3. Komparasi Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan untuk membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru. Komparasi sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artunya membandingkan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dari beberapa konsep atau lebih. Berdasarkan Kotler (2008) proses pengambilan keputusan terdiri dari lima tahap. Salah satu tahap tersebut adalah tahap pencarian informasi. Pada tahap ini individu akan mencari informasi mengenai suatu produk. Pencarian informasi tersebut dapat berupa pencarian informasi yang bersifat aktif yaitu melakukan berbagai perbandingan dari spesifikasi produk yang telah ditawarkan. Komparasi atau perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan kelebihan dan penawaran produk yang paling sesuai. 4. Preferensi Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut dapat memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam mengambil keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari semua hal yang berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan produk, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam ingatan. Perilaku konsumen dipengaruh oleh penngalaman belajar yang menentukan tindakan dan pengambilan keputusan yaitu bersumber dari pembelajaran pada pengalaman yang serupa. Pengalaman masa lalu yang pernah mengkonsumsi produk sejenis yaitu produk minuman dark chocolate dan hasil interpretasi dari produk tersebut dapat menjadi standard dalam mengambil keputusan. Adanya pengaruh pengalaman masa lalu tersebut dapat ditunjukkan pada pernyataan subjek “ Karena sample C pahit seperti dark choco yang seharusnya” pada subjek nomor 23. Pernyataan tersebut 598 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) menunjukkan bahwa subjek sudah pernah mencoba minuman dark chocolate sebelumnya dan sudah memiliki standart yang harus dicapai. Subjek akan memilih dari beberapa sample yang sesuai dan mencapai standard rasa tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor selain lingkungan (konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi, dan preferensi. Saran bagi individu adalah para Individu diharapkan untuk dapat mengevaluasi opsi-opsi dengan karakteristik diri dan juga mempertimbangkan opini dan sikap orang lain. Individu dapat mengambil keputusan seperti mengevaluasi opsi-opsi yang ada, melakukan komparasi terhadap pilihan produk yang ada dan juga sesuai dengan selera ketika dihadapkan pada situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan. Melalui hasil penelitian diketahui bahwa konsumen menentukan pilihannya berdasarkan persepsi mereka dalam kualitas produk tersebut dan preferensi (selera). Diharapkan hasil penelitian ini dapat di implementasikan dalam strategi pemasaran produk tersebut dengan menyesuaikan karakteristik konsumen. Disarankan untuk melakukan pengembangan produk dengan mempertimbangkan faktor-faktor psikologi yang berkaitan dengan karakteristik konsumen. Berikut adalah saran bagi penelitian selanjutnya: 1. Penelitian ini mengungkap pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan. Disarankan untuk peneliti selanjutnya menambahkan alat ukur konformitas untuk melihat apakah situasi atau perlakuan yang dihadirkan sudah mampu menimbulkan adanya tekanan kelompok. 599 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) 2. Peneliti sebaiknya memastikan adanya kondisi konformitas dalam situasi eksperimen dengan memperhatikan indikator konformitas Sebaiknya dalam menganalisa pengaruh konformitas dilakukan dengan nilai interval daripada dengan nominal. Diharapkan dengan nilai interval penelitian selanjutnya dapat mengidentifikasi dan menentukan mengelompokkan pengaruh konformitas dengan lebih jelas dan detail. 3. Sebaiknya penelitian dilakukan dengan menggunakan angket dengan alat ukur yang sudah dilakukan uji realibilitas dan validitas untuk melihat secara akurat dan mampu menguji seberapa besar pengaruh lingkungan (sosial) dan pengaruh psikologikal dalam mengambil keputusan konsumen. Sebelum melakukan eksperimen sebaiknya melakukan screening terlebih dahulu dengan memperhatikan faktor psikologis subjek yaitu dengan memberikan tes kepribadian untuk menentukan tipe kepribadian subjek sebagai variabel yang dikontrol. 4. Penelitian ini sudah dapat mengungkapkan minat, pengalaman sebelumnya, dan referensi orang lain tetapi belum mengungkap karakteristik kepribadian. 600 Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017) DAFTAR PUSTAKA Aronson, E. (1972). The social animal. San Fransisco : Freeman. Asch, S. E., (1951). Effects of group pressure upon the modification and distortion of judgments. In H. Guetzkow (Ed.), Groups, leadership and men. Oxford, England: Carnegie Press Berger, J., Rosenholtz, S. J., & Zelditch, M. (1980). Status organizing processes. Annual Review of Sociology. From Libraries Texas A & M University. Retrieved from http://hdl.handle.net/1969.1/154809 Deutch, M., & Gerard, H. B. (1955). A study of normative and informational social influences upon individual judgement. The Journal of Abnormal and Social Psychology. Gerard, H. B., Wilhelmy., & Conolley, E.S. (1968). Conformity and group size. Journal of Personality and Social Psychology. DOI: 10.1037/h0025325 Kotler., & Amstrong. (2008). Prinsip-prinsip Pemasaran. Jilid 1 dan 2.Edisi 12. Alih bahasa: Bob Sabran. Jakarta: Erlangga. Kotler, P., & Keller, K. L. (2007). Manajemen Pemasaran edisi 12. Alih bahasa: Benyamin Molan. Jakarta: Indeks Madrigal, R. (2001). Social identity effects in a belief-attitude-intentions hierarchy: Implications for corporate sponsorship. Psychology & marketing (Vol. 18). New York: Wiley. Morissan, M.A. (2010). Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. Myers, D. G. (2005). Social Psychology. New York : McGraw Hill, Higher Education. Olahan Cokelat Indonesia Capai 500 Ribu Ton | bisnis | tempo.co. (n.d.). Retrieved June 5, 2016, from https://m.tempo.co/read/news/2013/07/23/090498959/olahan-cokelatindonesia-capai-500-ribu-ton. Profitability and health. a recipe for success. 52nd Biscuit, Cake, Chocolate and Confectionery Association (Vol. 35). (2005). Hilton Birmingham Metropole. Swastha, B. D., Handoko, H. (2008). Manajemen pemasaran analisis perilaku konsumen. Yogyakarta: BPFE Schiffman & Kanuk. 2008. Perilaku konsumen. Edisi 7. Jakarta: Indeks 601 Sherif, M. (1935). A study of some social factors in perception. Archives of Psychology, 27(187) . Tanner, R, J., Ferraro, R., Chartrand, T, L., Bettman, J, R., & Van, B., (2008). Of chameleons and consumption: The impact of mimicry on choice and preferences (Vols 34). Journal of Consumer Research. DOI: http://dx.doi.org/10.1086/522322 754-766 Venkatesan, M. (1966). Experimental study of consumer behavior conformity and independence (Vols 3). DOI: 10.2307/3149855 Volume dan Nilai Ekspor, Indonesia. (2010). Retrieved June 5, 2016, from http://ditjenbun.deptan.go.id/ciragraph/index.php/viewstat/exportimport/1 Zebua, A. & Nurdjayadi, R. (2001). Hubungan antara konformitas dan konsep diri dengan perilaku konsumtif pada remaja putri. Retrieved from https://philpapers.org/rec/ZEBHA REVIEW JURNAL Nama Jurnal : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol. 6, No.2, 2017 1. Judul Penelitian : PENGARUH KONFORMITAS TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA PRODUK MINUMAN COKLAT MAHASISWI PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS SURABAYA 2. Nama Peneliti : Jilly Lukito 3. Abstrak : Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan pada produk minuman coklat pada mahasiswi Psikologi di Universitas Surabaya. Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok eksperimen. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan skala yaitu skala preferensi atas produk minuman coklat dan angket terbuka yang bertujuan untuk mengetahui faktor yang memengaruhi dalam pengambilan keputusan. Aktor yang diambil adalah teman sebaya. Analisis data yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi silang dan Chi Square test. Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan sehingga tidak adanya pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan (0.313 > 0.05). Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas atau yang paling banyak mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor psikologikal yaitu persepsi (100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%). Bagi peneliti selanjutnya mungkin bisa menggunakan alat ukur yang terstandarisasi untuk mengukur efektivitas dan tingkat konformitas , tipe kepribadian dan menggunakan alat ukur untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan selain faktor sosial (lingkungan). Saran penelitian sebaiknya melakukan pengembangan produk dengan memperhatikan karakeristik konsumen. 4. Pendahuluan/latar belakang masalah : Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas Kakao menempati peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa negara, setelah komoditas CPO dan karet (Suryani dan Zuldebriansyah, 2007). Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.650 ton, dibawah Negara Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta ton. Volume ekspor kakao Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai Rp. 1.413.535.000 dan volume impor sebesar 46.356 ton senilai 119,32 ribu US$ (Direktorat Jendral Perkebunan, 2010). Menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman mengatakan pengolahan biji kakao nasional akan mencapai 500 ton pada akhir 2013. Data AIKI menyebutkan, produksi biji kakao nasional pada 2012-2013 mencapai 310 ribu dan 400 ribu ton. AIKI memperkirakan produksi kakao olahan nasional dapat dapat naik hingga 800 ribu ton pada 2014. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyerapan pasar tidak seimbang dengan hasil produksi nasional karena selisih 200 ribu ton dengan kemampuan penyerapan konsumen. Salah satu faktor eksternal yaitu konformitas. Konformitas ialah suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok (Zebua dan Nurdjayadi,2001). Melalui studi yang telah dilakukan ditunjukkan bahwa tekanan grup mungkin terjadi memberikan pengaruh dalam bagaimana individu dalam meyakini dan pandangannya (Venkatesan, 1966). Pada eksperimen lainnya, mengatakan bahwa adanya ketidakhadiran standard objektif dalam bagaimana individu berubah mengikuti pertimbangan dan evaluasi orang lain (Venkatesan,1966). Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan, Individu cenderung untuk menyesuaikan dengan keputusan norma kelompok. Tujuan dari penelitian adalah melakukan modifikasi mengenai pengaruh konformitas terhapad perilaku konsumen yaitu pengambilan keputusan dan sumbangan efektif konformitas terhadap pengambilan keputusan konsumen. 5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :  Konformitas Konformitas ialah suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok (Zebua dan Nurdjayadi,2001).  Persepsi Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta menambah dan menggabungkan informasi yang baru dengan informasi yang lama sehinga akan menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam bentuk adanya keputusan.  Komparasi Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan untuk membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru. Komparasi sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dari beberapa konsep atau lebih.  Preferensi Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut dapat memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam mengambil keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari semua hal yang berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan produk, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam ingatan. 6. Hipotesis : Dalam pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor selain lingkungan (konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi, dan preferensi. 7. Sampel/subjek penelitian : Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang mahasiswi psikologi di Universitas Surabaya yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok kontrol terdiri dari mahasiswi Psikologi yang mengikuti mata kuliah Psikologi Ekonomi dan Bisnis. 8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen : Desain penelitian menggunakan true experiment (eksperimen murni) dengan posttest control group design. Desain eksperimen tersebut merupakan desain eksperimen dengan adanya pembagian partisipan menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah pembagian menjadi dua kelompok yang setara, dilakukan treatment pada kelompok eksperimen. Adanya pengukuran post-test memungkinkan peneliti untuk membandingkan kondisi kelompok eksperimen dan kontrol sehingga peneliti dapat membuat kesimpulan tentang keefektifan treatment dengan lebih baik. Peneliti memilih desain eksperimen tersebut karena jenis eksperimen tersebut berpeluang untuk dilakukan dalam waktu yang terbatas (cukup satu kali eksperimen) dan mempunyai kontrol validitas internal yang paling kuat dibanding dua desain eksperimen lainnya. Untuk menghindari risiko terkontaminsasi dengan variabel lain, maka eksperimen mengontrol beberapa variabel yaitu merek, gender, kemasan, dan selera. Berikut adalah beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menjaga variabel yang dapat mengganggu jalannya penelitian: 1. Menghilangkan merek pada produk untuk mengurangi bias pada merek. 2. Melakukan seleksi pada calon partisipan dengan screening menggunakan skala preferensi sehingga penyebaran partisipan merata antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. 3. Kemasan produk pada tiap sample menggunakan kemasan yang sama. 9. Metode Pengambilan Data : Pengambilan data dilakukan pada pukul 08.30 – 9.30 pada hari Selasa Tanggal 29 November 2016. Dalam memilih partisipan, peneliti mengatur dan memberikan syarat utama yaitu setiap partisipan dalam kelompok eksperimen adalah teman atau mahasiswi yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari experimentee. Setelah di lakukan screening, peneliti berhasil mendapatkan setiap perwakilan dari masing-masing skala preferensi yaitu sebanyak 10 partisipan pada tiap kelompok kontrol dan eksperimen. Total partisipan adalah sebanyak 60 orang. No Hari, Tanggal Waktu Lokasi Jumlah partisipan 1 Selasa, 29 13:00 – 18.00 November 2016 2 Rabu, SGFP dan PD 12 1.2 30 14:00 – 18:00 PD 3.2 14 11:00 – 13:00 PD 1.3 4 November 2016 3 Kamis, 1 Desember 2016 Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Berdasarkan waktu penelitian yang disebutkan, pengambilan data dilakukan selama 3 hari dengan jumlah partisipan yang berbeda-beda bergantung pada waktu yang dikehendaki oleh experimentee dan partisipan yang ada. Masingmasing waktu yang diperlukan tiap eksperimen yaitu 1x 25 menit terdiri dari perkenalan diri, penyampaian tujuan, pencobaan minuman, perlakuan, dan penutup. Kelompok A B C N Eksperimen 6 13* 11 30 Kontrol 8 7 15 30 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pilihan Partisipan * Pada kelompok eksperimen partisipan yang merubah pilihannya adalah 1 orang dengan pereferensi 2 yaitu subjek nomor 8 Distribusi skor pilihan pada kedua kelompok tersebut seperti yang telah ditunjukkan oleh tabel tersebut adalah terdapat perbedaan distribusi pada pilihan B yaitu selisih 6 orang yaitu sebanyak 13 orang pada kelompok eksperimen. Meski telah menunjukkan jumlah yang lebih banyak daripada kelompok eksperimen namun partisipan yang mengaku merubah pilihannya karena pengaruh temannya adalah sebanyak 1 orang. Kelompok Conform Non-Conform Total Sig (2-sided) Eksperimen 1 29 30 .313 Kontrol 0 30 30 Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang dan Chi-Square Test 10. Pelaksanaan Penelitian : Berikut adalah prosedur pelaksanaan penelitian: a. Sebelum memulai eksperimen, peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan pemberian penjelasan kegiatan yaitu meminta para mahasiswi untuk memilih minuman yang paling enak atau terbaik. Pertama, dilakukan screening terlebih dahulu untuk menyeimbangkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setiap partisipan yang terpilih adalah Dalam kegiatan ini peneliti berhasil menentukan sebanyak 30 partisipan yang merupakan wanita yang memiliki perwakilan tiap skala preferensi yaitu masing-masing sebanyak 10 orang. b. Pengaturan posisi menggunakan variasi latin square design sehingga setiap posisi memiliki frekuensi yang sama. c. Memberikan intruksi bahwa: (1) ketiga sample adalah berasal dari tempat yang berbeda, (2) setiap produk memiliki kualitas yang berbeda-beda, (3) eksperimen ini sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam studi bisnis untuk mengindikasi minuman mana yang terbaik, (4) studi yang akan dilakukan adalah untuk menemukan manakah minuman yang paling terbaik. d. Membagikan tiap label minuman kepada partisipan secara individu yang dalam percobaan diberi jeda bagi partisipan untuk meminum air putih untuk menetralkan rasa. e. Setelah mencoba dan menentukan pilihan, peneliti membagikan angket dan inform consent kepada tiap partisipan yang terpilih dan mengumpulkan seluruh lembar angket yang telah diisi. f. Langkah terakhir adalah menjelaskan arti tujuan dari eksperimen yang sebenarnya yang sudah tercantum di dalam inform consent yaitu untuk merupakan penelitian mengenai pengaruh konformitas dalam pengambilan keputusan. g. Untuk menjaga jalannya eksperimen, peneliti menyampaikan kepada seluruh partisipan yang ada di dalam ruangan tersebut untuk merahasiakan tujuan eksperimen yang sebenarnya dikarenakan peneliti akan melakukan penelitian pada kelompok eksperimen dalam beberapa hari ke depan sehingga tidak menganggu partisipan yang sudah berada di dalam daftar kelompok eksperimen. h. Sebagai hadiah atas partisipasi kelompok kontrol peneliti membagikan masing-masing kepada partisipan berupa minuman cokelat yang merupakan produk eksperimen. 11. Metode Analisis Data : Teknik analisis data merupakan kegiatan mengolah data yang sudah terkumpul. Pengolahan data tersebut dilakukan menggunakan bantuan software SPSS 22. Analisis data dengan beberapa langkah yaitu uji hipotesis guna mengetahui pengaruh tratment. Hal ini dilihat dari hasil nilai 0 dan 1 (Pada partisipan yang mengubah pilihannya. Kemudian memperhatikan nilai signifikansi pada uji hipotesis dengan menggunakan taraf signifikansi 5% (α= 0.05). Analisis data yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi silang dan Chi Square test. Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan sehingga tidak adanya pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan (0.313 > 0.05). Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas atau yang paling banyak mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor psikologikal yaitu persepsi (100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%). 12. Hasil Penelitian : Berdasarkan hasil yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh tekanan kelompok tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan seseorang. Hal ini diperkuat dengan data pengujian hipotesis dengan tabulasi silang dan sig pada Chi-Square terhadap pengambilan keputusan pada seluruh jumlah partisipan sebanyak 60 orang. Berdasarkan tabel 4.4 terlihat dari data output SPSS adalah nilai sig 0.313 > 0.05 maka tidak signifikan sehingga H1 ditolak. Artinya adalah tidak ada asosiasi antara konformitas dengan pengambilan keputusan. No Faktor yang memengaruhi Persen Pernyataan No subjek 1 100 % (30 subjek) “rasa, warna dan kekentalan” 1 Persepsi Tahap: “rasa dan tekstur” Pengenalan “ tidak terlalu asam” Perhatian “Coklatnya terasa” 22 30 27 Interpretasi 2 Komparasi 36,6 % “Menurut saya, sample A tidak 12 (11 subjek) terlalu pahit dan tidak terlalu manis dibandingkan yang lainnya, sample A terasa paling enak meskipun yg lainnya juga enak” “ Karena menurut saya yang paling manis” 3 3 Penguatan teman 20% “ Pilihan saya sudah tetap dari (6 subjek) awal, karena teman saya yakin” “teman saya suka B jadi saya semakin yakin” 4 2 7 Preferensi 33,6 % “Manisnya menurut saya pas, 22 Selera kesukaan terhadap (10 subjek) mungkin karena saya tidak suka terlalu manis maka dari itu produk Pembelajaran dari pengalaman masa lalu rasanya pas” “Karena sudah pas di hati coklat 25 B (Saya suka)” “ Karena sample C pahit seperti 23 dark choco yang seharusnya” Tabel 4. Hasil angket terbuka Berikut akan dibahas hasil penelitian pada masing-masing faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan. 1. Penguatan teman Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, diketahui bahwa sebanyak 6 (20%) subjek nomor 2, 3, 6, 7, 9, 17, (tabel 4.5) menyatakan bahwa adanya pengaruh teman dalam mempertimbangkan pilihan walaupun sedikit dan tidak merubah pilihan jika berbeda namun dapat memberikan penguatan pada pilihannya jika memiliki pilihan jawaban yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mengambil keputusan, seseorang akan memperhatikan keputusan orang lain dan dapat menjadikan keputusan orang lain sebagai penguat dalam pilihannya jika memiliki pilihan yang sama. Subjek menggunakan informasi dan respon teman dalam pengambilan keputusannya ditunjukkan melalui pernyataan subjek yaitu “ Pilihan saya sudah tetap dari awal, karena teman saya yakin” pdada subjek nomor 2 dan pernyataan “teman saya suka B jadi saya semakin yakin pada subjek nomor 7 (Tabel 4.5). Dari contoh pernyataan subjek tersebut menunjukkan bahwa subjek pada tahap evaluasi alternatif yaitu melakukan evaluasi berdasarkan sikap orang lain atau teman sebaya berupa sikap positif dari experimentee berupa opini sikap persetujuan dengan pilihan subjek. Sikap experimentee tersebut memberikan pengaruh dalam mengambil keputusan yaitu kehadiran teman tersebut memengaruhi subjek untuk dapat meyakini dan sebagai penguatan pada pilihan yang telah dipilih subjek. Sikap teman yang positif terhadap suatu sample yaitu menyukai hasil dari evaluasi subjek memengaruhi keyakinan dan motivasi pada pilihan subjek tersebut. 2. Persepsi Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta menambah dan menggabungkan informasi yang baru dengan informasi yang lama sehinga akan menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam bentuk adanya keputusan. Menurut Engel (1995) terdapat tiga langkah utama dalam proses menghasilkan informasi dari persepsi yaitu a. Pengenalan (exposure) Persepsi dimulai pada tahap ini yaitu muncul ketika stimulus datang melalui salah satu reseptor sensori utama. Pada penelitian ini terlihat dalam reseptor sensori utama yaitu pada pengenalan produk pertama kali pada prosedur penelitian. Pengenalan dilakukan dengan menyampaikan produk secara singkat dengan menghadirkan produk secara langsung dan juga melalui penyampaian secara verbal oleh peneliti. b. Perhatian (attention) Tahap berikut ini yaitu adanya perhatian yang muncul ketika stimulus mengaktifkan satu atau lebih sensori dan sensasi yang terbentuk bergerak menuju otak dan diproses. Banyaknya stimulus yang hadir akan menimbulkan perhatian pada stimulus yang menarik. Faktor stimulus adalah karakteristik fisik dari stimulus seperti warna, rasa, intensitas kekentalan, dan kuantitas yang ada para produk minuman coklat. Dalam penelitian ini dapat ditunjukan pada sensori indera perasa (rasa, tekstur, dan kekentalan) dan penglihatan (warna). Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan subjek dalam memperhatikan beberapa aspek tersebut yang kemudian dijadikan pertimbangan terlihat dalam beberapa pernyataan yaitu “rasa, warna dan kekentalan” pada subjek nomor 1, dan “rasa dan tekstur” pada subjek nomor 22 (Tabel 4.5). Hal ini menunjukkan bahwa subjek merasakan adanya stimulus karakteristik fisik dari produk tersebut. c. Interpretasi (interpretation) Langkah berikutnya adalah interpretasi yaitu menentukan makna dari sensasi atau proses pada saat stimulus baru ditempatkan dalam salah satu kategori makna dari sensasi atau proses dimana stimulus baru ditempatkan dalam salah satu dari makna kategori yang ada. Dalam penelitian ini, subjek akan memproses dan menginterpretasikan dan mengelolah seperti rasa yang pahit atau manis, tingkat intensitas kental atau cari dan warna yang terang atau lebih gelap. Subjek akan mengkategorikan makna dari sensasi atau proses yang diterimanya pada makna kategori seperti mengkategorikan rasa pada produk yang akan dipilih dengan sample yang tidak seperti dengan makna pada tingkat rasa manis dan asam serta tekstur pada produk minuman coklat tersebut. Hal ini ditunjukkan pernyataan subjek yaitu “ tidak terlalu asam” subjek nomor 30 dan “Coklatnya terasa” pada subjek nomor 27 (Tabel 4.5). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa dalam mengambil keputusan, subjek akan memiliki interpretasi terhadap produk dan interpretasi yang dimiliki tersebut memengaruhi keputusan yang akan dipilih. Subjek akan menginterpretasikan dan mengkategorikan diperoleh dari proses interpretasi. makna yang 3. Komparasi Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan untuk membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru. Komparasi sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dari beberapa konsep atau lebih. Berdasarkan Kotler (2008) proses pengambilan keputusan terdiri dari lima tahap. Salah satu tahap tersebut adalah tahap pencarian informasi. Pada tahap ini individu akan mencari informasi mengenai suatu produk. Pencarian informasi tersebut dapat berupa pencarian informasi yang bersifat aktif yaitu melakukan berbagai perbandingan dari spesifikasi produk yang telah ditawarkan. Komparasi atau perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan kelebihan dan penawaran produk yang paling sesuai. 4. Preferensi Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut dapat memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam mengambil keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari semua hal yang berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan produk, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam ingatan. Perilaku konsumen dipengaruh oleh penngalaman belajar yang menentukan tindakan dan pengambilan keputusan yaitu bersumber dari pembelajaran pada pengalaman yang serupa. Pengalaman masa lalu yang pernah mengkonsumsi produk sejenis yaitu produk minuman dark chocolate dan hasil interpretasi dari produk tersebut dapat menjadi standard dalam mengambil keputusan. Adanya pengaruh pengalaman masa lalu tersebut dapat ditunjukkan pada pernyataan subjek “ Karena sample C pahit seperti dark choco yang seharusnya” pada subjek nomor 23. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa subjek sudah pernah mencoba minuman dark chocolate sebelumnya dan sudah memiliki standart yang harus dicapai. Subjek akan memilih dari beberapa sample yang sesuai dan mencapai standard rasa tersebut. 13. Kesimpulan : Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor selain lingkungan (konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi, dan preferensi. Saran bagi individu adalah para Individu diharapkan untuk dapat mengevaluasi opsi-opsi dengan karakteristik diri dan juga mempertimbangkan opini dan sikap orang lain. Individu dapat mengambil keputusan seperti mengevaluasi opsi-opsi yang ada, melakukan komparasi terhadap pilihan produk yang ada dan juga sesuai dengan selera ketika dihadapkan pada situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan. Melalui hasil penelitian diketahui bahwa konsumen menentukan pilihannya berdasarkan persepsi mereka dalam kualitas produk tersebut dan preferensi (selera). Diharapkan hasil penelitian ini dapat di implementasikan dalam strategi pemasaran produk tersebut dengan menyesuaikan karakteristik konsumen. Disarankan untuk melakukan pengembangan produk dengan mempertimbangkan faktor-faktor psikologi yang berkaitan dengan karakteristik konsumen. JURNAL 5 PENGARUH TERAPI MUSIK DAN GERAK TERHADAP PENURUNAN KESULITAN PERILAKU SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN GANGGUAN ADHD Diana Rusmawati, Endah Kumala Dewi Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Jl. Prof Sudharto. SH, Kampus Tembalang, Semarang, 50275 [email protected] ; [email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh terapi musik dan gerak terhadap penurunan kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD. Kesulitan berperilaku ditunjukkan melalui perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang pasti merupakan salah satu gejala yang spesifik dari gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau“attention deficit/hyperactivity disorder” (ADHD). Seorang ahli dari hasil penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, Nancy 2003).Yudarwanto, W (2006) mengatakan, terapi yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah terapi musik dan gerak. Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan mempergunakan metode eksperimen. Disain eksperimen yang dipilih adalah disain subjek tunggal dengan disain A-B-A. Dengan variabel tergantung (target behavior) kesulitan berperilaku dan varibel bebas yaitu terapi music dan gerak. Alat yang digunakan untuk melakukan tritmen adalah lagulagu Serenade dengan alat musik angklung, lagu Satu-satu aku sayang ibu karangan AT Mahmud , berbagai alat musik anak-anak dan bantal aneka warna. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria: usia, skor Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan observasi langsung, video kamera dan behavioral check list. Waktu yang dipergunakan untuk fase baseline I dilakukan selama enam hari (6) dengan durasi waktu 50 menit, waktu diberikannya tritmen adalah lima belas (15) menit dan selama dua belas (12) hari yang dilanjutkan dengan observasi di kelas selama lima puluh menit (50) menit, dan fase baseline II yaitu observasi di kelas setelah tritmen tidak lagi diberikan masing-masing lima puluh (50) menit. Analisis data menggunakan teknik analisis grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan terapi musik dan gerak dapat menurunkan frekuensi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD. Kata kunci: terapi musik dan gerak, kesulitan berperilaku, ADHD. dikalangan medis ataupun masyarakat umum (Saputro, 2005). PENDAHULUAN Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau “attention deficit/ hyperactivity disorder” (ADHD) adalah gangguan psikiatrik atau gangguan perilaku yang paling banyak dijumpai, baik di sekolah ataupun di rumah. Gangguan ini merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada gangguan perilaku anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan ADHD menjadi masalah yang mendapat banyak sorotan dan perhatian utama Bradley dan Golden (Jeffrey, Nevid dkk, 2005) mengatakan hal yang sama, yaitu ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi akhir-akhir ini, sekitar 3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di Jerman, 5-10% di Kanada dan Selandia Baru. Di Indonesia angka kejadiannya masih belum ditemukan angka yang pasti, meskipun kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah (Judarwanto, W, 2006). 73 74 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 Sedangkan menurut Saputro (2005) di Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak. Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Sebagian besar orang tua ataupun guru masih menganggap anak dengan gangguan tersebut sebagai anak “nakal” atau “malas”. Padahal anak dengan gangguan tersebut apabila tidak mendapat pertolongan yang tepat, akan mengalami kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal sekolah, tingkah lakunya menganggu, sikapnya tampak sulit diterima oleh lingkungannya dan bahkan cenderung tidak disukai oleh orang tua ataupun guru. Anak-anak ADHD di sekolah sering kali tidak berada di kursi mereka saat seharusnya duduk. Atau jika mereka duduk di kursi, mereka tidak akan bertahan lama. Mereka akan berbicara terus menerus, berteriak mengganggu teman-teman lain, berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas dan tidak ada satupun tugas akademis yang dapat diselesaikan. Penanggulangan kasus penderita ADHD adalah melalui terapi medikasi atau farmakologi. Namun para ahli umumnya tidak menyarankan obat-obatan sebagai terapi tunggal. Obat stimulan syaraf yang umumnya diberikan pada anak hiperaktif antara lain metilfenidat, dekstro, amfetamin dan pemolin magbesium. Hasilnya anak bisa tenang dan berkonsentrasi beberapa jam. Walaupun efektif, obat memiliki efek sampingan yang merugikan, yaitu timbul kantuk, nafsu makan berkurang atau sebaliknya sulit tidur, tic, nyeri perut, sakit kepala, cemas, perasaan tidak nyaman, kreativitas terhambat. Dalam jangka panjang menyebabkan kecanduan, ketergantungan obat bahkan sampai ia dewasa. Perkembangan jiwa anakpun ikut mempengaruhi munculnya perilaku adiktif (Intisari, 2001) Yudarwanto (2006) mengatakan, terapi yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah sensory integration, snozelen, neuro development treatment, modifikasi perilaku, terapi bermain. Penatalaksanaan ADHD harus merupakan penatalaksanaan yang multimodal. Penatalaksanaan ADHD dirancang dapat memenuhi harapan orang tua di rumah dan guru di sekolah, yaitu adanya perbaikan prestasi/ penampilan akademis dan tingkah lakunya. Musik memberikan nuansa yang bersifat menghibur. Sifat menghibur ini menumbuhkan suasana yang menggembirakan dan menyenangkan bagi seorang anak. Apalagi jika lagu-lagu yang diperdengarkan sesuai dengan suasananya. Lagu gembira memberikan rangsangan aktivitas psikofisik pada anak (Satiadarna & Roswiyani, 2004). Pada umumnya, anak-anak merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk yang multiritmik, anak-anak mudah memberi respon fisik terhadap ritme musik, bahkan responnya relatif spontan dan anak-anak cenderung bebas menggerakkan tubuh dan anggota tubuhnya. Aktivitas motorik ini merangsang pertumbuhan anak, khususnya pada awal masa perkembangan. Irama musik yang didengar pada awal kehidupan akan menjadi irama musik yang sangat bermakna dalam kehidupan selanjutnya. Irama musik tertentu akan mempengaruhi detak nadi mereka, sehingga menjadi selaras dengan musik tersebut. Hasanah (2008) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa musik lembut berpengaruh dalam menurunkan kecemasan menghadapi persalinan pertama. Musik lembut membawa Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 75 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD efek relaksasi sehingga bisa menurunkan tingkat kecemasan ibu hamil pada trisemester ketiga. Chandra (2007) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa terapi musik dapat mengurangi perilaku repetitif pada anak-anak autis. Dengan mendengarkan musik anak autis merasa lebih tenang. Seorang ahli dari hasil penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dan gerak dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, 2003). Sedangkan Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu anak-anak dalam merespon musik tadi maka ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil dalam merespon, lebih spontan dalam mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang mengalami disability maka menunjukkan hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat membantu anak-anak belajar untuk mengatur diri dan dalam berhubungan dengan orang lain serta mengatur emosinya. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa musik dan gerakan berpotensi untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Musik dan gerakan berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab ada keterkaitan antara musik dengan emosi atau mental seseorang. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk memanfaatkan musik dan gerak sebagai salah satu alternatif terapi untuk menurunkan kesulitan berperilaku pada anak dengan gangguan ADHD. Kesulitan Perilaku pada Anak dengan Gangguan ADHD Peters dan Douglas (Goldstein, 1995) mendiskripsikan “attention deficit hyperactivity disorder” (ADHD), sebagai gangguan yang menyebabkan individu memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah pemusatan perhatian, kontrol diri, dan kebutuhan untuk selalu mencari stimulasi. Barkley (2006) menggambarkan ADHD sebagai hambatan untuk mengatur dan mempertahankan perilaku sesuai peraturan dan akibat dari perilaku itu sendiri. Gangguan tersebut berdampak pada munculnya masalah untuk menghambat, mengawali, maupun mempertahankan respon pada suatu situasi. Berdasarkan uraian diatas maka ADHD dapat dipahami sebagai gangguan neurologis yang menyebabkan masalah pemusatan perhatian, kontrol diri, dan hiperaktifitas/ impulsivitas pada anak, sehingga anak sulit untuk menghambat, mengawali, atau mempertahankan respon pada satu situasi. Karakteristik kesulitan berperilaku anak dengan ADHD Anak-anak yang banyak bergerak tapi masih dalam batas normal biasanya gerakannya diarahkan oleh suatu tujuan dan dapat mengontrol perilaku mereka. Namun ada sebagian anak yang menunjukkan gerakan tanpa diarahkan oleh suatu tujuan dan tanpa alasan yang jelas serta terlihat tidak bisa menyesuaikan perilaku mereka terhadap tuntutan, guru dan orangtua. Anak yang menunjukkan gambaran tersebut diatas adalah anak-anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau “attention deficit hyperactivity disorder” (ADHD). Gangguan pemusatan perhatian atau gangguan hiperkinetik adalah gangguan psikiatrik atau gangguan perilaku anak yang paling banyak dijumpai, baik di sekolah maupun di rumah. Tampilan klinis ADHD sudah bisa dideteksi sejak dini yaitu sejak usia bayi. Pada usia bayi, terlihat sangat sensitif terhadap suara dan cahaya, menangis, menjerit, sulit untuk diam, waktu tidur sangat kurang dan sering terbangun. Anak juga sering mengalami kolik, sulit makan atau minum baik ASI atau susu botol, tidak bisa 76 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 ditenangkan atau digendong, menolak untuk disayang, berlebihan air liur, kadang seperti kehausan sering minta minum, “head banging” (membentur kepala, memukul kepala, menjatuhkan kepala ke belakang) dan sering marah berlebihan (Judarwanto, 2006; Barkley,2006, h.76). Anak-anak yang mengidap ADHD menunjukkan sikap tangan dan kaki bergerak gelisah atau menggeliat-geliat di kursi, meninggalkan kursi pada situasi yang menuntut duduk tenang, berlarian atau memanjat, kesulitan untuk bermain dengan tenang (Kaplan, 1997, h.731; Nevid dkk, 2005, h.60; Barkley, 2006, h.76; Hughes & Cooper, 2007, h.165; Martin, 2008, h.29). Anak cenderung mengambil resiko yang tidak akan dilakukan oleh sebagian besar anak-anak normal. Mereka selalu terluka, tetapi tidak pernah belajar dari pengalaman. Selain itu mereka akan berbicara terus menerus, berteriak, mengganggu teman. Mereka menjadi tidak teratur, sering melupakan atau kehilangan perlengkapan dan barang-barang penting. Sebagian besar orangtua ataupun guru masih menganggap anak dengan gangguan tersebut sebagai anak “nakal” atau “malas”. Tanda lain dari gejala pada anak yang lebih besar adalah tindakan yang hanya terfokus pada satu hal saja dan cenderung bertindak ceroboh, mudah bingung, lupa pelajaran sekolah dan tugas di rumah. Kesulitan mengerjakan tugas di sekolah maupun di rumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah. Ia juga sering keceplosan bicara, tidak sabaran, gaduh dan bicara berbelit-belit, gelisah dan bertindak berlebihan, terburu-buru, banyak omong dan suka membuat keributan dan suka memotong pembicaraan dan ikut campur pembicaraan orang lain (Judarwanto, 2009; Saputra, 2009 h.38; Barkley,2006, h.299). Dari gambaran tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kesulitan berperilaku adalah aktivitas yang sangat berlebihan atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya terutama aktivitas motorik dan atau vokal. Etiologi Penyebab ADHD dipahami sebagai disregulasi neurotransmiter tertentu didalam otak yang membuat seseorang lebih sulit untuk memiliki atau mengatur stimulusstimulus internal dan eksternal. Beberapa neuorotransmiter, termasuk dopamine dan norepinephrine, mempengaruhi produksi, pemakaian, pengaturan neurotransmiter lain juga beberapa struktur otak. Masalah pada pengaturan fungsi tertentu otak ini tampak terpusat pada cuping depan yang membuat seorang anak ADHD lebih sulit mengendalikan masukan dari bagian-bagian lain otak. Daerah depan otak yang berada tepat dibelakang dahi dikatakan mengendalikan fungsi eksekutif perilaku. Fungsi eksekutif bertanggung jawab pada ingatan, pengorganisasian, menghambat perilaku, mempertahankan perhatian, pengendalian diri dan membuat perencanaan masa depan. Tanpa dopamine dan neurotransmitter yang cukup, cuping-cuping depan kurang terstimulasi dan tidak dapat melaksanakan fungsi-fungsinya yang kompleks secara efektif. Kemudahan mengalami gangguan dan ketiadaan perhatian dari sudut pandang fungsi otak adalah kegagalan untuk “menghentikan” atau menghilangkan pikiran-pikiran internal yang tidak diinginkan atau stimulus-stimulus kuat (Martin, 2008, h.78; Wiebe, 2007, h.15; Saputro 2009, h.63). Perubahan suasana hati yang cepat dan kepekaan berlebihan merupakan akibat dari otak yang bermasalah dalam meredam bagian-bagian otak yang mengatur gerakangerakan motorik dan respon-respon emosional. Hal itulah yang membuat anak tidak dapat menunggu, menunda pemuasan dan menghambat tindakan. Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 77 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD Hasil penelitian oleh Cantwell (1975) dan Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua biologis anak ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan dengan orangtua adopsi anak ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran herediter sangat besar sebagai salah satu faktor penyebab gangguan ini (Kaplan, 1997, h.729; Nevid, 2005, h.16; Saputro, 2009, h.58). Brown mengatakan ADHD diduga dasarnya adalah masalah kimia dalam sistem manajemen otak. Daerah otak yang mengatur dorongan perhatian dan perilaku dianggap tidak aktif dibandingkan dengan anak-anak tanpa gangguan. Dari pengamatan lesi prefrontal pada individu dengan cedera otak traumatis juga cenderung menunjukkan perilaku hiperaktif, distracbility atau impulsif serta defisit pada fungsi eksekutif (Wiebe, 2007, h.13). antara lain lingkungan. neurologis, herediter dan Terapi Musik dan Gerak Terapi musik dan gerak adalah terapi yang bersifat non verbal. Johan (2006, h.24) mengatakan bahwa dengan bantuan alat musik, klien juga didorong untuk berinteraksi, berimprovisasi, mendengarkan atau aktif bermain musik. Terapi musik dilakukan dengan tujuan utama untuk perubahan perilaku, diikuti tujuan psikososial dan kognitif. Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata “terapi” berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong orang lain. Kata “musik” dalam terapi musik digunakan untuk menjelaskan media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi. Penelitian neuropsikologis menunjukkan korteks frontal dan sirkuit yang menghubungkan fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin adalah fungsi neurotransmiter utama yang berkaitan dengan fungsi otak lobus frontalis Pada penderita ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh keterlambatan waktu terhadap respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Terapi musik memanfaatkan kekuatan musik untuk membantu klien menata dirinya sehingga mereka mampu mencari jalan keluar, mengalami perubahan dan akhirnya sembuh dari gangguan yang diderita. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa terapi musik bersifat humanistik (Johan, 2006, h.57). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Loewy (1990) menunjukkan bahwa musik berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. Perilaku ADHD adalah efek dari kecemasan yang tinggi yang dialami oleh anak sewaktu kecil, karena anak cemas maka pikirannya bekerja sangat aktif, memunculkan berbagai mental atau buah pikir, dengan tujuan agar anak bisa sibuk memikirkan gambar mental atau buah pikir itu sehingga dengan sendirinya kecemasan mereka akan berkurang. Hasil penelitian Jackson (2003), terhadap anak-anak SD yang mengalami ADHD menunjukkan bahwa intervensi terapi behavioral dan strategi manajemen diri tidak efektif dipopulasi ADHD dan neuroterapeutic. Terapi seni lebih disarankan untuk anak ADHD termasuk mempergunakan musik. Terapi seni ini disamping untuk mendukung berkembangnya kreativitas, juga merupakan bagian pendekatan multimodal untuk masalah-masalah interpersonal dan sosial yang berhubungan dengan hiperaktifitas. Berdasarkan gambaran diatas, maka nampak bahwa penyebab ADHD cukup kompleks, 78 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 Bermain musik dipilih sebagai metode treatmen kesulitan berperilaku karena unsurunsur gerak memberikan dampak pada aktivitas hemisfer otak. Musik dan gerakan, improvisasi instrumental, bermain musik dan kelompok menyanyi sering melibatkan gerakan sisi-sisi badan dan aktivitas di hemisphere otak. Musik dan gerakan merupakan pasangan yang bisa meningkatkan kesadaran emosi atau meningkatkan sebagian kesadaran. Kemampuan musik meningkatkan fungsi memori dan persepsi pendengaran (auditory) untuk mengembangkan belajar dan kemampuan suara yang spesifik atau nada bisa mengembangkan perasaan (affecy brain). Musik dan gerakan, improvisasi instrumental, bermain musik dan kelompok menyanyi sering melibatkan gerakan fisik dan badan. Keadaan ini bisa meningkatkan kesadaran emosi atau meningkatkan sebagian dari kesadaran (auditory perception dan memory). Berdasarkan gambaran tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud terapi musik dan gerak adalah pemberian bantuan untuk meningkatkan ketrampilan kognitif (perhatian dan memori), ketrampilan mengatur diri dan berhubungan dengan orang lain dengan memanfaatkan kekuatan musik dan gerakan. Elemen dasar musik Enam elemen dasar musik yang penting adalah irama (rythem), melodi, harmoni, dinamika, timbre dan bentuk. Irama adalah suatu organizer fisiologis, pemersatu sosial yang tidak memerlukan „perhatian‟ khusus. Internalisasi irama merupakan kunci utama dalam terapi musik untuk sensori integrasi, yaitu suatu proses aplikasi rangsangan eksternal yang berirama persisten dapat membantu mempola kembali dan mengatur keselarasan berirama naluriah dalam lingkungan internal fisiologis (denyut nadi, otot, detak jantung, tekanan darah, pernafasan) (Berger,2002, h.112) Melodi adalah komunikasi naluriah yang berhubungan langsung dengan keadaan emosional manusia. Melodi yang tidak menentu bisa membuat kegelisahan di otak, yang umumnya lebih menyukai pola teratur lagu. Sedangkan harmoni sebagai sumber daya untuk terapi musik memiliki kemampuan untuk merangsang persepsi auditori dapat digunakan untuk memperkuat fokus pendengaran. Perseveration atau pengulangan irama adalah kekuatan dibalik irama dan tenaga pendorong yang membuat manusia memperhatikan dan akhirnya beradaptasi. Otak menerima pengulangan ini selama dibutuhkan untuk mendapatkan pesan, karena pesan berirama akan berubah melalui proses evolusi musik. Sedangkan tempo menentukan efektivitas musik dalam memunculkan psiko-emosional serta respon sensoris fisiologis dari musik (Berger, 2002, h. 117). Pengajaran sistem untuk bergerak dengan modulasi dinamis tertentu didukung oleh dinamika musik adalah tujuan dari terapi musik untuk integrasi sensori dan perencanaan motor. Musik lembut menenangkan pikiran; crescendo dan decresendo mempengaruhi perhatian, mood, dan gairah. Dinamika juga memegang peran kunci dalam ekspresi emosi diri dan pengakuan perasaan. Premis terapi musik dan gerak 1. Otak dapat didorong pada tingkat subkortikal melalui tugas sensorik motorik spesifik untuk mengembangkan fungsi tanggapan terhadap suasana, 2. Kognitif dan intuitif, respon adaptif emosional pada kedua sub-kortikal dan tingkat kortikal dapat berkembang dengan baik, 3. Terapi musik bekerja dengan apa yang ada (bukan apa yang hilang), bagian yang sudah berfungsi memberikan masukan Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 79 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Kesulitan Perilaku Anak dengan ADHD integrasi, proses kognitif dan gerakan fisiologis umum. Individu yang telah menginternalisasi irama cenderung mengembangkan perilaku penuh perhatian, dengan gerakan tubuh lebih fungsional terorganisir, tubuh bagian atas dan bawah terkoordinasi, fokus visual dan pendengaran dan adaptasi perencanaan motorik. Ketika tubuh berirama terorganisir, tampak bahwa respon fisiologis lain menjadi lebih mudah dikelola (Berger, 2002, h.114). Pada umumnya anak-anak merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk yang multiritmik, anak-anak mudah memberi respon fisik terhadap ritme musik, bahkan responnya relatif spontan dan anak-anak cenderung bebas menggerakkan tubuh dan anggota tubuhnya. Hasil penelitian efek musik dan suara dalam produksi alpha brain wave pada anak-anak, menjelaskan bahwa efek mendengarkan musik adalah meningkatkan memori jangka pendek, mengurangi kebingungan dan meningkatkan proses informasi (Morton, Kershner & Siegel, 1990). Musik memberikan nuansa yang bersifat menghibur. Sifat menghibur ini menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan menggembirakan bagi seorang anak. Nuansa hiburan ini memberikan dukungan positif bagi anak dalam menjalankan aktivitasnya (Satiadarma & Zahra, 2004, h.17). Musik potensial untuk meningkatkan kerja otak, minat, aktivitas, perilaku sosial dan belajar, mengarahkan ketegangan, mengatur perilaku dan mengekspresikan emosi. Musik secara langsung diproses melalui sistem limbik (amigdala, talamus, cerebal hypothalamus, hippocampus) (Berger, 2002, h.130). Melalui sistem pendengaran suara masuk ke dalam otak, memicu faktor emosional yang mendorong motivasi dan kemauan untuk membuat pilihan dan melakukan pola sensorik baru. Pada dasarnya musik adalah aktivitas whole brain, two brain, yang mendorong kognisi otak kiri dengan menggunakan otak kanan untuk merangsang belahan otak kiri sehingga bisa bekerjasama (Berger, 2002, h.135). Aspek sensorik yang dapat diamati dalam enam minggu pertama terapi musik adalah reaksi terhadap suara, body atributes untuk informasi tentang otot dan fungsi proprioseptif, dan gerakan yang mengindikasikan masalah vestikular, proprioseptif dan taktil yang berdampak pada perencanaan motor, keseimbangan dan pusat rasa (Berger, 2002, h.133-134). baru kepada otak untuk memperluas pengetahuan, 4. Kerja terapi musik adalah menggunakan musik untuk kesenangan, tetapi secara spesial mengubah cara kerja otak yang „lama‟ ke cara kerja yang baru dan tidak mengganggu (Berger, 2002, h.136). Kegiatan musik yang meliputi komponen berirama kuat dapat berdampak pada perencanaan adaptasi motorik, sensori Gerakan dilakukan oleh anak karena gerakan juga dapat memperkuat fungsi ingatan, yang membantu penguasaan dan perkembangan kesadaran akan dirinya sendiri. Eurythmicz (Sheppard, 2002, h.62) mengatakan bahwa emosi bisa dirasakan melalui gerakan dan emosi juga bisa diungkapkan melalui gerakan, suara, sikap tubuh serta bentuk tubuh. Dengan membantu anak-anak melatih gerakan yang sesuai dengan musik, maka akan tersedia penyaluran ekspresi emosi. Gerakan sesuai musik juga dapat meredam emosi yang negatif diubah secara positif. Aktif secara fisik akan membantu memperhalus kemampuan motorik dan koordinasi tubuh yang pada akhirnya memperhalus refleks mental dan mendorong perkembangannya. Apabila anak mampu mengendalikan diri 80 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 mereka maka anak akan bisa memusatkan diri dalam aktivitas belajar dengan waktu lebih lama. Sensori integrasi dikatakan sebagai unsur yang penting dalam terapi musik didalam treatment untuk anak ADHD. Multi sensory mudah dikembangan dengan musik melalui pendengaran, sentuhan melalui getaran, melalui kesadaran tentang arti ritme dan gerakan, melalui ingatan dapat diaktifkan dengan mudah dengan musik. Hal tersebut menggambarkan bahwa bagaimanapun penggunaan musik sebagai sensory penting. Kebanyakan anak ADHD juga memiliki masalah pendengaran (Barkley,2006, h.154). Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti apa yang didengarnya, karena telinga dan otak tidak bekerja efisien dalam memproses suara. Ada kesulitan memilih suara dari banyak sumber suara yang ada. Juga kesuiitan memusatkan pendengaran pada suara tertentu. Akibatnya ia sulit berkonsentrasi pada satu hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu oleh semua bunyi disekitarnya. Terapi musik dan gerak memulihkan kapasitas pendengaran/ penerimaan suara sehingga anak dapat belajar terfokus dan menangkap suara yang diinginkan langsung ke pusat bahasa di otak. Masalah persepsi suara disebabkan oleh penutupan pendengaran untuk beberapa frekuensi suara. Otot telinga menjadi „malas‟ dan tidak tanggap, karena itu perlu dilatih dan distimulasi agar mencapai kapasitas normal untuk memperbaiki pendengaran dan mengorganisasikan transmisi pendengaran dalam otak. Proses ini akan mengurangi stress dan ketegangan saraf, sehingga anak akan dapat mengikuti mana suara yang diinginkan. Pada terapi musik anak harus mendengarkan musik setiap hari selama 30-60 menit. Jika anak sulit untuk duduk diam, kaset dapat diperdengarkan ketika anak tidur. Hasil efektif umumnya terlihat selama 100 jam pasca terapi. Aktivitas fisiknya akan tampak menurun sementara meningkat. daya konsentrasinya Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa musik dan gerakan berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. Sebagai mahluk multiritmik, anak-anak mudah memberi respon fisik terhadap ritme musik, bahkan responnya relatif spontan dan anak-anak cenderung bebas menggerakkan tubuh dan anggota tubuhnya. Pada anak-anak yang terlalu aktif, terapi musik dan gerakan yang diberikan intinya harus bisa memuaskan emosi yang sering berlebihan. Berdasarkan dari hal-hal tersebut di atas pula peneliti memiliki suatu ketertarikan mencari alternatif intervensi untuk menurunkan kesulitan berperilaku anak-anak yang mengalami ADHD. Peneliti tertarik untuk menggunakan terapi musik dan gerakan sebagai salah satu bentuk intervensi menurunkan kesulitan berperilaku karena musik berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. METODE Definisi Operasional 1. Kesulitan berperilaku: hambatan dalam melakukan pengendalian diri terhadap tingkah laku yang terjadi ketika subjek berada pada kondisi formal. Perilaku tersebut ditunjukkan melalui perilaku belari dan melompat tanpa tujuan yang pasti. 2. Terapi musik dan gerak: pemberian tritmen berupa suara alunan musik yang harmonis yang diikuti dengan gerakangerakan yang terstruktur sesuai dengan irama musik. Subyek dan Tempat Penelitian Penelitian ini melibatkan seorang siswa kelas satu sekolah dasar yang bersekolah di Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 81 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD Semarang sebagai subjek penelitian. Pada masa ini subjek sebagai siswa sudah dituntut untuk bisa menunjukkan perilaku kesiapan belajar, terutama kedisiplinan yang berbeda ketika ia duduk di Taman Kanak-Kanak. Adanya tuntutan untuk yang pertama kali di situasi formal menuntut anak siap dengan ketekunan dan ketertiban mengikutinya. Kesiapan inilah yang mendasari keberhasilannya mengikuti pendidikan di tingkat yang lebih lanjut di Sekolah Dasar. Komponen ABA adalah sebagai berikut: A= Baseline I selama lima (5) sesi masingmasing lebih kurang 50 menit. B= Tritmen mengikuti latihan dengan iringan musik yang dilakukan selama dua belas (12) sesi masing-masing lebih kurang 15-20 menit. Instruktur meminta subjek untuk mengikuti latihan yang sesuai dengan manual yang disusun oleh peneliti. A= Baseline II selama lima (5) sesi masingmasing lebih kurang 50 menit. Karakteristik subjek penelitian adalah sebagai berikut: laki-laki, usia 6 sampai 7 tahun dan didiagnosis Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder oleh seorang psikolog. Penelitian dilakukan selama dua puluh empat (24) sesi dan dirancang sesuai kalender akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai dengan fase baseline I, yaitu observasi kelas selama enam sesi berturut-turut dengan durasi lebih kurang 50 menit mulai dari pukul 07:3008:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3) orang observer dengan mendasarkan pada tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list) sampai kemudian didapatkan perilaku yang muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan target perilaku yang akan direduksi. Rancangan Eksperimen Intervensi didesain secara eksperimen yaitu dengan menggunakan Single Subject Experimental Design dengan A-B-A. Desain A-B-A ini menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas. Target behavioral diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1) dengan periode waktu tertentu kemudian pada kondisi intervensi (B), pengukuran diulang pada kondisi baseline kedua (A2). Penambahan kondisi baseline yang ke 2 (A2) dimaksudkan sebagai kontrol untuk fase intervensi sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat (Sunanto, Takeuchi & Nakata, 2005, h.59; Tillman & Burns, 2009, h.40). Design A-B-A adalah strategi analisis eksperimental dengan memperkenalkan suatu tritmen kemudian ditiadakan sehingga lebih dikenal dengan withdrawl design. Apabila setelah pengukuran baseline, penerapan tritmen membawa perkembangan positif dan hasil akhirnya setelah tritmen ditiadakan kembali terjadi penurunan maka dapat disimpulkan bahwa tritmen itulah yang menyebabkan perkembangan perilaku target. Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif subjek sebelum dan sesudah terapi. Wawancara dalam penelitian ini adalah semi terstruktur karena dituntun oleh guide interview. Yin (2003) menyatakan bahwa wawancara adalah salah satu sumber yang paling penting. Pelaksanaan wawancara sebelum dan sesudah latihan dengan iringan musik terfokus pada kesan-kesan guru yang berkaitan dengan perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh subjek. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan wawancara dengan orang tua sebelum mengikuti latihan dengan iringan musik adalah untuk memperoleh gambaran tentang pemahaman mereka tentang anaknya, bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka tentang pendidikan anak mereka dan apa 82 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 penyesuaian yang telah mereka lakukan di rumah. Sesi latihan dengan mendengarkan musik berlangsung selama 12 kali berturut-turut, setelah diperoleh data target perilaku yang akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih dilakukan selama 15 menit. Waktu 12 kali ditetapkan karena berdasarkan penelitian tentang pengaruh terapi musik terhadap perilaku repetitif pada anak autis yang dilakukan oleh Chandra (2007) diperoleh gambaran bahwa perlakukan yang diberikan selama 6 kali dengan waktu 30 menit setiap kali tritmen diberikan, membawa perubahan terhadap perilaku repetitif. Sedangkan penelitian tentang pengaruh musik terhadap penderita ADHD yang dilakukan oleh Wiebe (2007), dengan diberikannya perlakuan selama 48 minggu menunjukkan perilaku hiperaktifitas mengalami penurunan. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti memutuskan perlakukan diberikan selama 12 kali dan waktu yang dibutuhkan 15 menit-20 menit dengan dasar pertimbangan waktu 6 kali nampak terlalu singkat untuk mereduksi perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu panjang. Selain itu untuk menghindari kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah teralihkan perhatiannya dan salah satu ciri anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan dan mengorganisasikan dorongandorongannya (Barkley. 2006, h.155). Setelah selesai mengikuti setiap sesi tritmen, kembali dilakukan observasi untuk mengetahui pengaruh tritmen terhadap target perilaku yang akan direduksi. Observasi dilakukan dengan mendasarkan pada tabel pencatatan perilaku (behavior check list). Waktu yang dibutuhkan lebih kurang 50 menit, di dalam kelas dan ketika subjek mengikuti proses belajar mengajar. Fase baseline II dilakukan dengan melakukan pengamatan oleh tiga (3) orang observer untuk mengetahui apakah target perilaku yang akan direduksi menunjukkan situasi yang stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen. Pengamatan dilakukan dengan mempergunakan tabel pencatatan perilaku (check list) selama lebih kurang 50 menit dimulai pukul 07:30-08:20. Modul Eksperimen. Modul terapi musik dalam penelitian ini disusun oleh peneliti sebagai pedoman dalam melaksanakan proses intervensi, dengan mengadaptasi modul dari Sheppard (2002). Alat Permainan Penelitian ini menggunakan alat permainan berupa bantal berbagai bentuk dan warna berjumlah lima buah, permainan alat musik anak berupa genderang kecil, gitar kecil, organ kecil yang berisi macam-macam bunyi seperti anjing menggonggong, ayam berkokok, burung berkicau, kucing mengeong, sapi mengaum, katak, kambing mengembik, dua buah kerincingan, terompet kecil, belira kecil. Permainan motorik kasar yang berupa rangsangan suara ini selain membuat anak gembira dan santai, juga bisa meningkatkan kemampuan anak berkonsentrasi dan memusatkan perhatiannya pada tugas tertentu. Alat yang dipergunakan sangat sederhana dan tidak mahal. Anak juga melakukan gerakan-gerakan mengikuti musik yang diperdengarkan melalui CD player. Musik yang diperdengarkan adalah musik instrumentalia dengan mempergunakan alat musik angklung yang terdapat dalam CD Indonesian Bamboo Music, aransemen oleh Tjoek Soeparlan. Lagu yang diperdengarkan adalah Serenade. Selain lagu Serenade, lagu yang mengiringi adalah Satu-Satu Aku Sayang Ibu, aransemen AT Mahmud. Dalam lagu anak-anak, kontur frasa melodis mengikuti suatu rangkaian berbentuk lengkungan yang disebut ancrusis (Sheppard, 2002, h.81). Anak-anak sangat menyukai frasa berbentuk lengkungan. Fungsinya adalah untuk membantu perkembangan fisik, Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 83 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD karena membantu menanamkan konsep atas dan bawah. Gerakan membantu pengendalian tubuh dan kemampuan gerakan motorik anakanak. Pengendalian impuls ini merupakan kemampuan memicu dan mengikuti perintah yang berasal dari dalam diri. Pada usia ini anak biasanya menikmati penginterpretasian musik secara bebas melalui gerakan. Ada banyak cara untuk menciptakan suara-suara yang efektif menggunakan tubuh, dari hanya tepukan tangan sederhana sampai pengucapan pola suara yang kompleks. Aktvitas-aktivitas tersebut membantu pengembangan kepekaan terhadap ketukan internal. Semakin baik kepekaan terhadap ketukan internal, semakin besar manfaat untuk bermusik. Pengukuran Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi langsung dan video rekaman (tritmen dan baseline), kemudian diukur dengan tabel observasi (behavior check list) dengan target berlari dan melompat tanpa tujuan. Problem utama anak yang mengalami hiperaktivitas adalah problem perencanaan motorik dan pengorganisasian (Horowitz, 2007, h.24; Barkley, 200, h.154). Tabel observasi (behavior check list) diisi berdasarkan observasi langsung dan rekaman oleh tiga (3) orang observer. Apabila perilaku muncul maka observer harus menuliskan jumlah frekuensinya sesuai dengan frequency tallies. Analisis Data Setelah semua data terkumpul peneliti membuat grafik untuk dianalisis berdasarkan data salah seorang observer. Efek dari tritmen dinilai dari pengukuran frekuensi tidak bisa duduk tenang, dan keluar dari kursi yang muncul pada subjek selama observasi. Analisis data menggunakan teknik analisis grafik. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Baseline I Pengumpulan data baseline dilakukan dengan mempergunakan observasi/ pengamatan langsung dan video rekaman selama 50 menit dengan event sampling. Yang diobservasi adalah perilaku subjek selama pelajaran di sekolah dengan target hiperaktifitas. Observer menilai dengan menggunakan tabel observasi (check list ). Tritmen Tritmen dilakukan 15-20 menit di ruang kesenian di sekolah dengan penerangan cukup dan bebas distraksi. Di ruangan tersebut tersedia meja, kursi, TV,VCD player, kipas angin, karpet dan lemari yang tertutup. Pertimbangan durasi waktu 15-20 menit berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Tritmen dipandu oleh seorang instruktur. Subjek diminta untuk melakukan gerakangerakan sesuai dengan modul yang telah disusun sebelumnya. Pada pertemuan pertama subjek dibimbing oleh instruktur, hingga pertemuan yang yang ke tiga. Setelahnya hingga pertemuan yang ke dua belas subjek diminta untuk melakukannya sendiri. Meskipun bimbingan tetap masih diberikan hingga pertemuan ke enam. Setelah itu subjek telah benar-benar hafal dengan gerakan yang diberikan. Setelah mendapatkan tritmen, kembali dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketka subjek mengikuti pelajaran. Baseline II Setelah subjek tidak lagi mendapatkan tritmen (perlakuan) tetap dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketika subjek mengikuti pelajaran. Pengumpulan data 84 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 dilakukan dengan pengamatan langsung dan video rekaman pada jam pelajaran pagi hari yaitu jam 07:30-08:20 WIB. Penilaian oleh tiga (3) observer dengan menggunakan tabel observasi (check list ). Tabel 1. Hasil Penelitian BASELINE 1 (A1) TREATMENT (B) BASELINE (A2) Hari Berlari & Melompat Hari Berlari & Melompat Hari Berlari & Melompat 1 6 1 3 1 0 2 10 2 0 2 0 3 8 3 4 3 1 4 7 4 0 4 0 5 10 5 1 5 0 6 7 6 4 6 2 7 4 8 2 9 2 10 1 11 0 12 0 Grafik 1 menunjukkan perubahan perilaku melari dan melompat pada subjek. Baseline 1 Treatment Baseline II Grafik 1. Perubahan Perilaku Berlari dan Melompat Grafik 1 menunjukkan bahwa pada fase baseline pertama ini frekuensi perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas di kelas cukup tinggi. Observasi pada fase baseline pertama ini dilakukan selama lima hari sesuai kalender akademik, dimulai pukul 07:3008:20. Observasi dilakukan dilakukan di dalam ruang kelas dan ketika ada proses Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 85 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD belajar mengajar, karena pada situasi formal, perilaku hiperahtif anak akan semakin kelihatan dan menunjukkan bahwa perilaku tersebut merugikan tidak hanya subjek tetapi juga teman-teman disekitarnya ketika belajar. Kondisi ini berkaitan dengan kesulitannya mengontrol dirinya, yang ditunjukkan melalui perilaku yang berlebihan. Mereka memang nampak penuh energi ( Horowitz; 2007, h.17). Pada hari pertama baseline pertama subjek duduk diurutan ke empat dan baris kedua di sebelah kiri meja guru. Ruang kelas subjek berukuran 6mx5m. Di dalam ruang kelas tersebut terdapat bangku yang disusun terdiri dari lima lajur dan masing-masing lajur terdiri dari delapan bangku ke belakang. Meja guru terletak di sudut kanan papan tulis dan menempel di dinding. Subjek duduk sebangku dengan teman laki-lakinya. Selama dilakukan pengamatan (50 menit), terlihat subjek tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh bapak guru agama ataupun ibu guru kelas. Ia lebih disibukkan dengan kegiatannya sendiri, melihat ke luar jendela, berjalan, berlari, menggeliat-geliatkan badannya, mengajak berbicara teman, melihat-lihat poster kesehatan di dinding belakang kelas. Menurut bapak guru agama, subjek adalah murid yang “istimewa”, sehingga ia mendapatkan perhatian khusus. Tidak jarang bapak guru harus mendekati subjek, mengingatkan untuk kembali duduk di bangkunya dengan mengelus-elus kepala subjek. Kegiatan yang dilakukan subjek adalah mengganggu teman disebelahnya dengan mengajak bicara, kursi di goyang-goyang, bermain adu kepala dengan teman sebangku, masuk kolong meja dan keluar dari bangku untuk kemudian berjalan-jalan mengitari kelas. Beberapa teman merespon gerakan subjek, dengan ikut berbicara, terutama teman-teman disekitar bangku subjek. Namun sebagian lagi tidak memperdulikannya. Pada hari kedua baseline pertama (I), subjek lebih banyak melihat ke luar jendela. Ia duduk sendirian diurutan ke tiga dan persis di sebelah jendela. Pada saat ibu guru memberi tugas menulis dengan contoh tulisan dari papan tulis, subjek terlihat asyik melihat keluar jendela, kemudian jalan-jalan melihat poster kesehatan di dinding belakang. Ia tidak memperhatikan tugas dari ibu guru dan tibatiba berteriak untuk tujuan yang tidak jelas dari kegiatan tersebut. Ketika teman-teman menulis, subjek duduk dibawah bangku (kolong meja), ia tidak mengumpulkan tugas, dan berjalan-jalan mengelilingi kelas. Kegiatan subjek yang lain adalah bermain hiasan-hiasan (prakarya) yang digantung tepat diatas meja subjek. Selama tugas menyalin tersebut, subjek hanya bermain-main, antara lain mengetuk-getuk pensil ke meja, memukul-mukul hiasan diatas meja, keluar dari bangku, berlari dan melompat-lompat tanpa tujuan yang jelas. Selain itu tidak jarang apabila subjek bosan, ia akan masuk ke kolong meja dan kemudian muncul dari bawah meja guru. Hal tersebut dilakukan berulang kali. Pada hari ketiga, keempat dan kelima pada baseline pertama subjek nampak tetap duduk sendirian dibangku urutan ke tiga dari depan dan disebelah jendela. Kegiatan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan pada hari pertama dan kedua. Subjek berdiri melihat ke luar jendela, meraut pensil, masuk kolong meja, keluar kelas berkali-kali, membuat temannya menangis, adu mulut dengan teman-temannya, berteriakteriak, berlari dan melompat untuk tujuan yang tidak jelas, memukul-mukul meja dan menengok kebelakang berkali-kali. Keluar dari bangku kemudain berlari tanpa tujuan yang jelas dilakukan oleh subjek berulang kali. Tugas yang diberikan oleh ibu guru tidak pernah diselesaikan, dan subjek baru akan mengerjakan ketika ibu guru menunggunya. Perilaku tersebut diatas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti tritmen yang diberikan. Gambaran tersebut terlihat dari grafik yang menunjukkan penurunan yang 86 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 cukup berarti. Ketika tritmen diberikan pada hari pertama, subjek nampak cukup terbuka dan bersedia mengikuti instruksi yang diberikan. Ia terbuka terhadap orang lain, tidak malu-malu dan tidak ada kecurigaan terhadap orang yang baru dikenalnya. Ia bersedia menerima kehadiran orang baru dan banyak bercerita tentang kejadian yang dialami pagi hari di rumahnya. Pada saat itu sebelum bercerita ia berkeliling ruangan terlebih dahulu. Berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan dalam modul terapi musik, instruktur melakukan ice breaking terlebih dahulu sebelum tritmen diberikan.Tujuan diberikannya ice breaking adalah agar subjek merasa nyaman dan bersedia melaksanakan instruksi-instruksi yang diberikan. Ice breaking berupa permainan tangkap jari dan cerita binatang. Subjek nampak cukup tertarik dan senang. Ice breaking dilakukan selama lebih kurang lima menit. Setelah subjek merasa nyaman, maka subjek mulai berlatih gerakan-gerakan dengan diiringi musik yang diperdengarkan. Saat mengikuti latihan subjek bersedia mengikuti latihan dan melaksanakan gerakangerakan mengikuti instruksi yang diberikan dan contoh yang dilakukan oleh instruktur. Subjek nampak kelihatan bingung, terutama untuk gerakan pertama dan ketiga. Karena bingung subjek nampak putus asa, lalu bilang “sudah akh”. Gerakan kedua dan keempat bisa dilakukan oleh subjek dengan contoh. Untuk tugas yang ke lima yaitu subjek diminta untuk memilih dan memainkan alat musik, nampak ia mencoba semua alat musik. Terlihat perhatiannya yang mudah teralihkan dalam waktu kurang lebih lima detik. Sambil memainkan alat musik ia bertanya, bercerita dan tidak henti berbicara. Ia menanyakan dimana membeli alat-alat permainannya dan mengatakan ia senang memainkan alat musik. Alat musik yang menarik perhatiannya adalah pianika dengan suara-suara binatang. Ketika mendengar suara sapi subjek bercerita tentang sapi dan mengatakan pernah melihat sapi disembelih. Ketika melaksanakan sesi menyanyi yang diselingi dengan melakukan gerakan yang diminta oleh instruktur, subjek mau melaksanakan perintah tersebut tanpa membantah dan menyanyi dengan suara yang keras dan penuh percaya diri. Setelah mengikuti sesi latihan selama lima belas menit, pada sesi penutup subjek bersama instruktur kembali bermain tangkap jari dengan cerita binatang. Setelah mengikuti latihan, subjek kembali ke kelas. Observasi di kelas dilakukan setelah subjek beristirahat. Pada hari pertama belum nampak perubahan yang berarti meskipun sudah ada penurunan frekuensi terutama perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Ia masih sering keluar dari banhgku dan tiba-tiba berlari ke depan kelas ke arah papan tulis dan kemudian berlari ke arah belakang. Pada hari kedua tritmen, latihan dilakukan setelah subjek mengikuti pelajaran olah raga. Pada saat mengikuti pelajaran olah raga subjek terlihat banyak bergerak meskipun pada saat ibu guru meminta semua murid untuk duduk di lapangan. Terlihat subjek justru berlari-lari mengelilingi lapangan dengan salah seorang temannya. Tritmen dimulai pukul 07:55 dan setelah subjek beristirahat. Tritmen diawali dengan ice breaking. Subjek bersedia untuk mengikuti semua perintah. Secara umum kepatuhan yang ditunjukkan pada hari kedua tidak seperti yang ditunjukkan pada hari pertama. Urutan pelaksanaan sesuai dengan modul yang telah disiapkan sebelumnya. Observasi di kelas menunjukkan adanya penurunan frekuensi berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Hal ini diperkirakan subjek mengalami kelelahan setelah mengikuti pelajaran olah raga dan sesi tritmen. Ia terlihat nampak tenang dan hanya mengamati kegiatan yang dilakukan oleh teman-temannya. Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 87 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD Kegiatan subjek berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas kembali ditunjukkan oleh subjek dengan frekuensi yang hampir sama dengan ketika tritmen pertama diberikan yaitu setelah subjek selesai mengikuti tritmen ke tiga. Setelah mengikuti tritmen ke empat, subjek kembali menunjukkan sikap yang tenang dan nampak sdh mulai bisa mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Hasil observasi di kelas terlihat bahwa subjek lebih banyak meletakkan kepalanya diatas meja. Latihan diikuti secara teratur sesuai instruksi dan mengikuti irama musik. Ekspresi subjek nampak gembira, ice breaking dilakukan dengan bermain boneka dinosaurus dan subjek mengidentifikasikan boneka sebagai teman-temannya. Boneka diatur sesuai tatanan kursi di kelas dan menyebutkan nama teman-temannya. Ketika mengikuti tritmen ia mulai menghitung sendiri dengan suara keras, dan melantunkan takbir dengan memukul genderang, terlihat iramanya nampak teratur. Kondisi yang ditunjukkan setelah subjek mengikuti tritmen keenam adalah subjek kembali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas dan semakin meningkat ketika subjek selesai mengikuti tritmen ke tujuh. Pada tritmen yang ketujuh, subjek tetap terlihat mengikuti alunan musik, dan bersuara pada ketukan keempat. Namun pada menit kesatu tiga puluh tiga detik ia mulai menguap dan terlihat malas-malasan. Ia menata sendiri bantalnya, mengikuti musik, melompat, berjalan sepanjang musik berjalan. Namun ketika gerakan keempat yang seharusnya gerakan menaikkan tangan, subjek justru melompat. Pada sesi ke tujuh ini, subjek nampak kurang memperhatikan instruksi dari instruktur. Ia bermain sendiri, masak-masakan sate, bermain pianika selama 1 menit, pindah ke drum selama 20 detik, kembali ke pianika selama 1 menit. Dari grafik nampak bahwa frekuensi berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti tritmen kesepuluh. Setelah mengikuti tritmen kesebelas dan dua belas, subjek kembali bisa mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas, hingga ia tidak melakukannya sama sekali. Ia memang masih menunjukkan kegiatan-kegiatan yang lain seperti menggeliat, menengok ke belakang, mengganggu teman-temannya. Dari grafik yang ditunjukkan, setelah tritmen tidak diberikan lagi, yaitu pada fase baseline kedua (II) situasinya menunjukkan adanya penurunan yang cukup berarti. Subjek memang masih sesesekali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan yang pasti. Namun kegiatan tersebut dilakukan pada hari kelima setelah tritmen ditiadakan. Observasi dilakukan didalam kelas pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Pelajaran yang bisa membuatnya tenang adalah pelajaran menggambar. Subjek cukup menyenangi tugas tersebut dan ia bisa melakukannya dengan baik. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi musik dan gerak terhadap penurunan kesulitan perilaku siswa sekolah dasar yang memiliki gangguan ADHD. Berdasarkan hipotesis yang diajukan bahwa ada pengaruh terapi musik dan gerak terhadap penurunan kesulitan perilaku siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD. Hal tersebut telah terlihat pada grafik yang menunjukkan adanya perbedaan frekuensi perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Keadaan ini secara teoritis dapat dijelaskan sesuai dengan premis terapi musik sensorik integrasi yaitu: 1. Otak dapat didorong pada tingkat subkortikal melalui tugas sensorik motorik 88 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 spesifik untuk mengembangkan fungsi tanggapan terhadap suasana. 2. Kognitif dan intuitif, respon adaptif emosional pada kedua sub-kortikal dan tingkat kortikal dapat berkembang dengan baik. 3. Terapi musik bekerja dengan apa yang ada (bukan apa yang hilang), bagian yang sudah berfungsi memberikan masukan baru kepada otak untuk memperluas pengetahuan. 4. Kerja terapi musik adalah menggunakan musik untuk kesenangan, tetapi secara spesial mengubah cara kerja otak yang „lama‟ ke cara kerja yang baru dan tidak mengganggu (Berger, 2002, h.136). Gambaran terjadinya premis tersebut sesuai dengan kondisi anak yang pada umumnya merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk yang multiritmik, anak-anak mudah memberi respon fisik terhadap ritme musik, bahkan responnya relatif spontan dan anakanak cenderung bebas menggerakkan tubuh dan anggota tubuhnya. Dari grafik terlihat terjadi penurunan kesulitan perilaku pada subjek dari fase baseline I hingga subjek mengikuti tritmen sebanyak dua belas kali. Hanya saja pada saat subjek mengikuti tritmen penurunan frekuensi kesulitan perilaku masih fluktuatif. Hal ini menggambarkan bahwa perubahan suasana hati yang cepat dan kepekaan berlebihan merupakan akibat otak yang bermasalah dalam meredam bagian-bagian otak yang mengatur gerakan-gerakan motorik dan respon-respon emosional. Hal itulah yang membuat anak tidak dapat menunggu, tidak dapat menunda pemuasan dan tidak dapat menghambat tindakan. Dari hasil wawancara dengan orang tua subjek pada malam sebelumnya melakukan suatu kegiatan yang menguras energi dan emosinya sehingga ia mengalami kelelahan. Efek berikutnya adalah subjek kembali harus memberikan tanggapan terhadap situasinya dan melakukan adaptasi emosional secara kuat. Berdasarkan pendapat dari para ahli bahwa pada anak dengan ADHD terjadi disregulasi neurotransmitter yang menyebabkan seseorang sulit untuk memiliki atau mengatur stimulus internal dan eksternal. Beberapa neurotransmitter termasuk dopamin dan norepineprin mempengaruhi produksi, pemakaian, pengaturan neurotransmitter lain, juga beberapa struktur otak. Masalah pada pengaturan fungsi otak ini tampak terpusat pada cuping depan yang membuat seorang anak ADHD lebih sulit mengendalikan masukan dari bagian-bagian lain otak. Daerah otak bagian depan yang berada tepat di belakang dahi itulah yang mengendalikan fungsi eksekutif perilaku. Tanpa dopamin dan neurotransmitter yang cukup, cuping-cuping depan kurang terstimulasi dan tidak dapat melaksanakan fungsi-fungsinya yang kompleks secara efektif (Martin, 2008, h.78; Wiebe, 2007, h.15; Saputro, 2009, h.63). Penurunan frekuensi semakin tajam dan nampak cukup konsisten terlihat pada saat subjek tidak lagi mengikuti tritmen. Pada hari pertama dan kedua setelah subjek tidak lagi mendapatkan tritmen (terlihat pada fase baseline II) subjek nampak cukup bisa mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat untuk tujuan yang tidak jelas. Pada hari ketiga observasi frekuensi subjek menunjukkan perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas hanya satu kali. Sedangkan pada hari ke empat dan kelima subjek tidak melakukannya. Subjek kembali menunjukkan perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas pada hari keenam dengan frekuensi sebanyak dua kali. Keadaan ini menggambarkan bahwa terapi musik bisa menurunkan kesulitan perilaku subjek. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa musik dan gerakan merupakan kombinasi tritmen yang bisa meningkatkan kesadaran emosi atau meningkatkan sebagian kesadaran. Musik mampu meningkatkan fungsi memori dan persepsi pendengaran (auditory) untuk mengembangkan belajar dan kemampuan Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 89 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD suara yang spesifik atau nada bisa mengembangkan perasaan (affecy brain). Keadaan ini bisa meningkatkan kesadaran emosi atau meningkatkan sebagian dari kesadaran (auditory perception dan memory). Barkley (2006, h.154), mengatakan kebanyakan anak ADHD juga memiliki masalah pendengaran (Barkley, 2006, h.154). Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti apa yang didengarnya, karena telinga dan otak tidak bekerja efisien dalam memproses suara. Ada kesulitan memilih suara dari banyak sumber suara yang ada. Juga kesulitan memusatkan pendengaran pada suara tertentu. Akibatnya ia sulit berkonsentrasi pada satu hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu oleh semua bunyi disekitarnya. Kegiatan musik yang meliputi komponen berirama kuat dapat berdampak pada perencanaan adaptasi motorik, sensori integrasi, proses kognitif dan gerakan fisiologis umum. Individu yang telah menginternalisasi irama cenderung mengembangkan perilaku penuh perhatian, dengan gerakan tubuh lebih fungsional terorganisir, tubuh bagian atas dan bawah terkoordinasi, fokus visual dan pendengaran dan adaptasi perencanaan motorik. Ketika tubuh berirama terorganisir, tampak bahwa respon fisiologis lain menjadi lebih mudah dikelola (Berger, 2002, h.114). Hasil penelitian efek musik dan suara dalam produksi alpha brain wave pada anak-anak, menjelaskan bahwa efek mendengarkan musik adalah meningkatkan memori jangka pendek, mengurangi kebingungan dan meningkatkan proses informasi (Morton, Kershner & Siegel 1990). Gerakan yang dilakukan oleh anak dapat memperkuat fungsi ingatan, yang membantu penguasaan dan perkembangan kesadaran akan dirinya sendiri. Eurythmicz, Dalcroze (Sheppard, 2002, h.62) mengatakan bahwa emosi bisa dirasakan melalui gerakan dan emosi juga bisa diungkapkan melalui gerakan, suara, sikap tubuh serta bentuk tubuh. Gerakan sesuai musik juga dapat meredam emosi yang negatif diubah secara positif. Aktif secara fisik akan membantu memperhalus kemampuan motorik dan koordinasi tubuh yang pada akhirnya memperhalus refleks mental dan mendorong perkembangannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terapi terhadap kesulitan berperilaku pada anak yang mengalami ADHD dimaksudkan untuk mengurangi frekuensi munculnya perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya adalah memperbaiki fungsi yang mengalami kegagalan (perilaku, kognitif, sosio emosional). Seperti yang diutarakan oleh Yudarwanto (2009) yaitu terapi yang diberikan kepada penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh. Modifikasi perilaku merupakan pola penanganan yang paling efektif dengan pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan frustasi, marah, dan berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri. Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi musik dan gerak dapat mereduksi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar yang menderita ADHD. Dengan demikian hipotesis terbukti. Saran 1. Bagi sekolah. a. Memperdengarkan musik lagu anakanak dengan irama moderate di lingkungan sekolah secara rutin pada pagi hari menjelang dimulainya proses belajar mengajar, siang hari pada saat siswa istirahat, dan pulang sekolah yang mengiringi anak-anak meninggalkan kelas. 90 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 b. Meningkatkan frekuensi dilakukannya senam pagi secara rutin (setiap hari, lebih kurang 15 menit) diiringi dengan musik sebelum pelajaran dimulai. c. Meningkatkan kepekaan guru terhadap gejala-gejala perilaku siswanya dan apabila ditemukan siswa yang bermasalah dalam kesulitan berperilaku diberikan tambahan pelajaran musik yang diikuti dengan gerak. d. Menyediakan guru yang dilatih secara khusus untuk melaksanakan modul terapi musik dan gerak yang telah disusun. 2. Bagi orang tua. a. Lebih terbuka terhadap informasi dari sekolah mengenai kesulitan berperilaku anaknya. b. Memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengikuti pelajaran tambahan musik dan gerak yang diselenggarakan di sekolah. c. Bersedia memperdengarkan musik dan melatih gerakan-gerakan yang diajarkan di sekolah pada waktu anak di rumah secara rutin (setiap hari, selama 15 menit). 3. Bagi peneliti selanjutnya. Penelitian lanjutan mengenai tritmen dalam mereduksi kesulitan berperilaku pada siswa. DAFTAR PUSTAKA Barkley. (2006). Handbook Attention Deficit Hyperactivity Disorder: Third Edition. London: The Guiford Press. Barlow, D. & Hersen, M. Single Case Experimental Design: Strategies for Studying Behavior Change Second Edition. Pennsylvania: Pergamon Press. Berger, D. (2002). Music Therapy, and The Autistic Child Sensory Integration. London dan Philadelphia: Kingsley Publisher. Jessica DePorter, B, dkk. (2002). Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, Penerjemah: Ary Nilandari, Cetakan ketujuh. Bandung: Penerbit Kaifa. Djohan. (2009). Psikologi Musik. Yogyakarta: Percetakan Galang Press. ----------. 2006. Terapi Musik; Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Percetakan Galangpress. Durand, V.M. & Barlow, D.H. (2007). Pskologii. Abnormal. Buku kedua. Penerjemah: Drs. Helly Prajitno Soetjipto, MA dan Dra. Sri Mulyantini Soetjipto. Edisi keempat. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Feldman,W. (2002). Mengatasi Gangguan Belajar Pada Anak. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Gold, C., Wigram, T. & Voracek, M. (2007). Effectiveness Of Music Therapy For Children and Adolescents with Psychopathology: A Quasi Experimental Study. Psychotherapy Research. Horowitz, L. & Rost, C. (2007). Helping Hyperactive Kids-A Sensory Integration Approach, Techniques and Tips for Parents and Professionals. Alameda: Hunter House Inc Publisher. Hughes, L. & Cooper, P. 2007. Understanding and Supporting Children with ADHD Strategies for Teacher, Parent and other Professionals. London: Paul Chapman Publishing A Sage Publication Company. Kaplan, H. (2007). Sinopsis Psikiatri Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 91 Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD Jackson, N. (2003). A Survey of Music Therapy Methods and Their Role in the Treatment of Early Elementary School Children with ADHD. Journal of Music Therapy. Proquest Education Journals: Temple University. ________Intisari 1999. Ampuhnya Musik Sebagai Terapi. Edisi bulan Januari. Jefry, N., Rathus, S. & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal Jilid 2, Edisi kelima. Alih bahasa: Tim Fakultas. Psikologi UI. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kim, J., Wigram,T. & Gold, C. (2008). The Effect Of Improvisational Music Therapy On Joint Attention Behaviors In Autistic Children; A Randomized Controlled Study. Journal Autism Development Disorder. Martin, G.L. (2008). Terapi Untuk Anak ADHD. Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer. Meier, D. (2003). The Accelerated Learning Handbook: Panduan Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan, Penerjemah: Rahmani Astuti, Cetakan ketiga. Bandung: Penerbit Kaifa. Ormrod, J.E. (2009). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Edisi ke enam. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ortiz, J,M. (2002). Nurturing Your Chlid with Music: Menumbuhkan Anak-anak yang Bahagia, Cerdas & Percaya Diri dengan Musik, alih bahasa: Juni Prakoso, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rilley, C. & Burns, M.K. (2009). Evaluating Educational Interventions-Single Case Design For Measuring Response to Intervention. London: The Guilford Press. Saputro, D. (2009). ADHD (Attention Deficit /Hiperactivity Disorder): Cetakan I. Jakarta: CV.Sagung Seto Satiadarma, M.P. & Zahra, R.P. (2004). Cerdas Dengan Musik. Cetakan kesatu. Jakarta: Puspa Swara. -----------. (2002). Terapi Musik. Jakarta: Milenia Populer. Shaughnessy, J., Zechmeister, E., & Zechmeister, J. 2007. Metodologi Penelitian Psikologi (Penerjemah Helly Prayitno, Soetjipto, Sri Mulyani Sortjipto) cetakan 1. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sheppard, P. (2007). Music Makes Your Child Smarter-Peran Musik Dalam Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum. Sunanto, J., Takeuchi, K. & Nakata, H. (2005). Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal. Tokyo: University of Tsukuba. Wheeler, B.L. & Stultz, S. (2008). Using Typical Infant Development To Inform Music Therapy With Children With Disabilities. Early Childhood Education Journal. Wiebe, J.E. (2007). ADHD The Classroom And Music: A.Case Study. Thesis. Saskatoon: Departement of Educational Psychology and Special Education University of Saskatchewan, Saskatoon. Wingram, T., Pedersen, I.N.,& Bonde, L.O. (2002). A Comprehensive Guide to Music Therapy: Theory, Clinical Practice, Research and Training. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. 92 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011 1. Judul Penelitian : PENGARUH TERAPI MUSIK DAN GERAK TERHADAP PENURUNAN KESULITAN PERILAKU SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN GANGGUAN ADHD 2. Nama Peneliti : Diana Rusmawati, Endah Kumala Dewi 3. Abstrak : Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh terapi musik dan gerak terhadap penurunan kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD. Kesulitan berperilaku ditunjukkan melalui perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang pasti merupakan salah satu gejala yang spesifik dari gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau“attention deficit/hyperactivity disorder” (ADHD). Seorang ahli dari hasil penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, Nancy 2003).Yudarwanto, W (2006) mengatakan, terapi yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah terapi musik dan gerak. Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan mempergunakan metode eksperimen. Disain eksperimen yang dipilih adalah disain subjek tunggal dengan disain A-B-A. Dengan variabel tergantung (target behavior) kesulitan berperilaku dan varibel bebas yaitu terapi music dan gerak. Alat yang digunakan untuk melakukan tritmen adalah lagulagu Serenade dengan alat musik angklung, lagu Satu-satu aku sayang ibu karangan AT Mahmud , berbagai alat musik anak-anak dan bantal aneka warna. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria: usia, skor Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan observasi langsung, video kamera dan behavioral check list. Waktu yang dipergunakan untuk fase baseline I dilakukan selama enam hari (6) dengan durasi waktu 50 menit, waktu diberikannya tritmen adalah lima belas (15) menit dan selama dua belas (12) hari yang dilanjutkan dengan observasi di kelas selama lima puluh menit (50) menit, dan fase baseline II yaitu observasi di kelas setelah tritmen tidak lagi diberikan masing-masing lima puluh (50) menit. Analisis data menggunakan teknik analisis grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan terapi musik dan gerak dapat menurunkan frekuensi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD. 4. Pendahuluan/latar belakang masalah : Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau “attention deficit/ hyperactivity disorder” (ADHD) adalah gangguan psikiatrik atau gangguan perilaku yang paling banyak dijumpai, baik di sekolah ataupun di rumah. Gangguan ini merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada gangguan perilaku anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan ADHD menjadi masalah yang mendapat banyak sorotan dan perhatian utama dikalangan medis ataupun masyarakat umum (Saputro, 2005). Bradley dan Golden (Jeffrey, Nevid dkk, 2005) mengatakan hal yang sama, yaitu ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi akhir-akhir ini, sekitar 3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di Jerman, 5-10% di Kanada dan Selandia Baru. Di Indonesia angka kejadiannya masih belum ditemukan angka yang pasti, meskipun kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah (Judarwanto, W, 2006). Sedangkan menurut Saputro (2005) di Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak. Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Sebagian besar orang tua ataupun guru masih menganggap anak dengan gangguan tersebut sebagai anak “nakal” atau “malas”. Padahal anak dengan gangguan tersebut apabila tidak mendapat pertolongan yang tepat, akan mengalami kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal sekolah, tingkah lakunya menganggu, sikapnya tampak sulit diterima oleh lingkungannya dan bahkan cenderung tidak disukai oleh orang tua ataupun guru. Anak-anak ADHD di sekolah sering kali tidak berada di kursi mereka saat seharusnya duduk. Atau jika mereka duduk di kursi, mereka tidak akan bertahan lama. Mereka akan berbicara terus menerus, berteriak mengganggu teman-teman lain, berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas dan tidak ada satupun tugas akademis yang dapat diselesaikan. Penanggulangan kasus penderita ADHD adalah melalui terapi medikasi atau farmakologi. Namun para ahli umumnya tidak menyarankan obat-obatan sebagai terapi tunggal. Obat stimulan syaraf yang umumnya diberikan pada anak hiperaktif antara lain metilfenidat, dekstro, amfetamin dan pemolin magbesium. Hasilnya anak bisa tenang dan berkonsentrasi beberapa jam. Walaupun efektif, obat memiliki efek sampingan yang merugikan, yaitu timbul kantuk, nafsu makan berkurang atau sebaliknya sulit tidur, tic, nyeri perut, sakit kepala, cemas, perasaan tidak nyaman, kreativitas terhambat. Dalam jangka panjang menyebabkan kecanduan, ketergantungan obat bahkan sampai ia dewasa. Perkembangan jiwa anakpun ikut mempengaruhi munculnya perilaku adiktif (Intisari, 2001) Yudarwanto (2006) mengatakan, terapi yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah sensory integration, snozelen, neuro development treatment, modifikasi perilaku, terapi bermain. Penatalaksanaan ADHD harus merupakan penatalaksanaan yang multimodal. Penatalaksanaan ADHD dirancang dapat memenuhi harapan orang tua di rumah dan guru di sekolah, yaitu adanya perbaikan prestasi/ penampilan akademis dan tingkah lakunya. Musik memberikan nuansa yang bersifat menghibur. Sifat menghibur ini menumbuhkan suasana yang menggembirakan dan menyenangkan bagi seorang anak. Apalagi jika lagu-lagu yang diperdengarkan sesuai dengan suasananya. Lagu gembira memberikan rangsangan aktivitas psikofisik pada anak (Satiadarna & Roswiyani, 2004). Pada umumnya, anak-anak merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk yang multiritmik, anak-anak mudah memberi respon fisik terhadap ritme musik, bahkan responnya relatif spontan dan anak-anak cenderung bebas menggerakkan tubuh dan anggota tubuhnya. Aktivitas motorik ini merangsang pertumbuhan anak, khususnya pada awal masa perkembangan. Irama musik yang didengar pada awal kehidupan akan menjadi irama musik yang sangat bermakna dalam kehidupan selanjutnya. Irama musik tertentu akan mempengaruhi detak nadi mereka, sehingga menjadi selaras dengan musik tersebut. Hasanah (2008) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa musik lembut berpengaruh dalam menurunkan kecemasan menghadapi persalinan pertama. Musik lembut membawa efek relaksasi sehingga bisa menurunkan tingkat kecemasan ibu hamil pada trisemester ketiga. Chandra (2007) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa terapi musik dapat mengurangi perilaku repetitif pada anak-anak autis. Dengan mendengarkan musik anak autis merasa lebih tenang. Seorang ahli dari hasil penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dan gerak dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, 2003). Sedangkan Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu anak-anak dalam merespon musik tadi maka ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil dalam merespon, lebih spontan dalam mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang mengalami disability maka menunjukkan hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat membantu anak-anak belajar untuk mengatur diri dan dalam berhubungan dengan orang lain serta mengatur emosinya. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa musik dan gerakan berpotensi untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Musik dan gerakan berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab ada keterkaitan antara musik dengan emosi atau mental seseorang. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk memanfaatkan musik dan gerak sebagai salah satu alternatif terapi untuk menurunkan kesulitan berperilaku pada anak dengan gangguan ADHD. 5. Teori/definisi dari variable yang terlibat : Kesulitan berperilaku: hambatan dalam melakukan pengendalian diri terhadap tingkah laku yang terjadi ketika subjek berada pada kondisi formal. Perilaku tersebut ditunjukkan melalui perilaku belari dan melompat tanpa tujuan yang pasti. Terapi musik dan gerak: pemberian tritmen berupa suara alunan musik yang harmonis yang diikuti dengan gerakangerakan yang terstruktur sesuai dengan irama musik. 6. Hipotesis : Terapi music dan gerak memiliki pengaruh terhadap penurunan kesulitan perilaku siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD 7. Sampel/subjek penelitian : Penelitian ini melibatkan seorang siswa kelas satu sekolah dasar yang bersekolah di Semarang sebagai subjek penelitian. Pada masa ini subjek sebagai siswa sudah dituntut untuk bisa menunjukkan perilaku kesiapan belajar, terutama kedisiplinan yang berbeda ketika ia duduk di Taman Kanak-Kanak. Adanya tuntutan untuk yang pertama kali di situasi formal menuntut anak siap dengan ketekunan dan ketertiban mengikutinya. Kesiapan inilah yang mendasari keberhasilannya mengikuti pendidikan di tingkat yang lebih lanjut di Sekolah Dasar. Karakteristik subjek penelitian adalah sebagai berikut: laki-laki, usia 6 sampai 7 tahun dan didiagnosis Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder oleh seorang psikolog. 8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen Intervensi didesain secara eksperimen yaitu dengan menggunakan Single Subject Experimental Design dengan A-B-A. Desain A-B-A ini menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas. Target behavioral diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1) dengan periode waktu tertentu kemudian pada kondisi intervensi (B), pengukuran diulang pada kondisi baseline kedua (A2). Penambahan kondisi baseline yang ke 2 (A2) dimaksudkan sebagai kontrol untuk fase intervensi sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat (Sunanto, Takeuchi & Nakata, 2005, h.59; Tillman & Burns, 2009, h.40). Design A-B-A adalah strategi analisis eksperimental dengan memperkenalkan suatu tritmen kemudian ditiadakan sehingga lebih dikenal dengan withdrawl design. Apabila setelah pengukuran baseline, penerapan tritmen membawa perkembangan positif dan hasil akhirnya setelah tritmen ditiadakan kembali terjadi penurunan maka dapat disimpulkan bahwa tritmen itulah yang menyebabkan perkembangan perilaku target. Komponen ABA adalah sebagai berikut: A= Baseline I selama lima (5) sesi masingmasing lebih kurang 50 menit. B= Tritmen mengikuti latihan dengan iringan musik yang dilakukan selama dua belas (12) sesi masing-masing lebih kurang 15-20 menit. Instruktur meminta subjek untuk mengikuti latihan yang sesuai dengan manual yang disusun oleh peneliti. A= Baseline II selama lima (5) sesi masingmasing lebih kurang 50 menit. Penelitian dilakukan selama dua puluh empat (24) sesi dan dirancang sesuai kalender akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai dengan fase baseline I, yaitu observasi kelas selama enam sesi berturut-turut dengan durasi lebih kurang 50 menit mulai dari pukul 07:30- 08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3) orang observer dengan mendasarkan pada tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list) sampai kemudian didapatkan perilaku yang muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan target perilaku yang akan direduksi. Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif subjek sebelum dan sesudah terapi. Wawancara dalam penelitian ini adalah semi terstruktur karena dituntun oleh guide interview. Yin (2003) menyatakan bahwa wawancara adalah salah satu sumber yang paling penting. Pelaksanaan wawancara sebelum dan sesudah latihan dengan iringan musik terfokus pada kesan-kesan guru yang berkaitan dengan perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh subjek. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan wawancara dengan orang tua sebelum mengikuti latihan dengan iringan musik adalah untuk memperoleh gambaran tentang pemahaman mereka tentang anaknya, bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka tentang pendidikan anak mereka dan apa penyesuaian yang telah mereka lakukan di rumah. Sesi latihan dengan mendengarkan musik berlangsung selama 12 kali berturut-turut, setelah diperoleh data target perilaku yang akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih dilakukan selama 15 menit. Waktu 12 kali ditetapkan karena berdasarkan penelitian tentang pengaruh terapi musik terhadap perilaku repetitif pada anak autis yang dilakukan oleh Chandra (2007) diperoleh gambaran bahwa perlakukan yang diberikan selama 6 kali dengan waktu 30 menit setiap kali tritmen diberikan, membawa perubahan terhadap perilaku repetitif. Sedangkan penelitian tentang pengaruh musik terhadap penderita ADHD yang dilakukan oleh Wiebe (2007), dengan diberikannya perlakuan selama 48 minggu menunjukkan perilaku hiperaktifitas mengalami penurunan. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti memutuskan perlakukan diberikan selama 12 kali dan waktu yang dibutuhkan 15 menit-20 menit dengan dasar pertimbangan waktu 6 kali nampak terlalu singkat untuk mereduksi perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu panjang. Selain itu untuk menghindari kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah teralihkan perhatiannya dan salah satu ciri anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan dan mengorganisasikan dorongandorongannya (Barkley. 2006, h.155). Setelah selesai mengikuti setiap sesi tritmen, kembali dilakukan observasi untuk mengetahui pengaruh tritmen terhadap target perilaku yang akan direduksi. Observasi dilakukan dengan mendasarkan pada tabel pencatatan perilaku (behavior check list). Waktu yang dibutuhkan lebih kurang 50 menit, di dalam kelas dan ketika subjek mengikuti proses belajar mengajar. Fase baseline II dilakukan dengan melakukan pengamatan oleh tiga (3) orang observer untuk mengetahui apakah target perilaku yang akan direduksi menunjukkan situasi yang stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen. Pengamatan dilakukan dengan mempergunakan tabel pencatatan perilaku (check list) selama lebih kurang 50 menit dimulai pukul 07:30-08:20. 9. Metode Pengambilan Data : Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi langsung dan video rekaman (tritmen dan baseline), kemudian diukur dengan tabel observasi (behavior check list) dengan target berlari dan melompat tanpa tujuan. Problem utama anak yang mengalami hiperaktivitas adalah problem perencanaan motorik dan pengorganisasian (Horowitz, 2007, h.24; Barkley, 200, h.154). Tabel observasi (behavior check list) diisi berdasarkan observasi langsung dan rekaman oleh tiga (3) orang observer. Apabila perilaku muncul maka observer harus menuliskan jumlah frekuensinya sesuai dengan frequency tallies. 10. Pelaksanaan Penelitian : Penelitian dilakukan selama dua puluh empat (24) sesi dan dirancang sesuai kalender akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai dengan fase baseline I, yaitu observasi kelas selama enam sesi berturut-turut dengan durasi lebih kurang 50 menit mulai dari pukul 07:30- 08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3) orang observer dengan mendasarkan pada tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list) sampai kemudian didapatkan perilaku yang muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan target perilaku yang akan direduksi. Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif subjek sebelum dan sesudah terapi. Wawancara dalam penelitian ini adalah semi terstruktur karena dituntun oleh guide interview. Yin (2003) menyatakan bahwa wawancara adalah salah satu sumber yang paling penting. Pelaksanaan wawancara sebelum dan sesudah latihan dengan iringan musik terfokus pada kesan-kesan guru yang berkaitan dengan perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh subjek. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan wawancara dengan orang tua sebelum mengikuti latihan dengan iringan musik adalah untuk memperoleh gambaran tentang pemahaman mereka tentang anaknya, bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka tentang pendidikan anak mereka dan apa penyesuaian yang telah mereka lakukan di rumah. Sesi latihan dengan mendengarkan musik berlangsung selama 12 kali berturut-turut, setelah diperoleh data target perilaku yang akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih dilakukan selama 15 menit. Waktu 12 kali ditetapkan karena berdasarkan penelitian tentang pengaruh terapi musik terhadap perilaku repetitif pada anak autis yang dilakukan oleh Chandra (2007) diperoleh gambaran bahwa perlakukan yang diberikan selama 6 kali dengan waktu 30 menit setiap kali tritmen diberikan, membawa perubahan terhadap perilaku repetitif. Sedangkan penelitian tentang pengaruh musik terhadap penderita ADHD yang dilakukan oleh Wiebe (2007), dengan diberikannya perlakuan selama 48 minggu menunjukkan perilaku hiperaktifitas mengalami penurunan. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti memutuskan perlakukan diberikan selama 12 kali dan waktu yang dibutuhkan 15 menit-20 menit dengan dasar pertimbangan waktu 6 kali nampak terlalu singkat untuk mereduksi perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu panjang. Selain itu untuk menghindari kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah teralihkan perhatiannya dan salah satu ciri anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan dan mengorganisasikan dorongandorongannya (Barkley. 2006, h.155). Setelah selesai mengikuti setiap sesi tritmen, kembali dilakukan observasi untuk mengetahui pengaruh tritmen terhadap target perilaku yang akan direduksi. Observasi dilakukan dengan mendasarkan pada tabel pencatatan perilaku (behavior check list). Waktu yang dibutuhkan lebih kurang 50 menit, di dalam kelas dan ketika subjek mengikuti proses belajar mengajar. Fase baseline II dilakukan dengan melakukan pengamatan oleh tiga (3) orang observer untuk mengetahui apakah target perilaku yang akan direduksi menunjukkan situasi yang stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen. Pengamatan dilakukan dengan mempergunakan tabel pencatatan perilaku (check list) selama lebih kurang 50 menit dimulai pukul 07:30-08:20. 11. Metode Analisis Data : Setelah semua data terkumpul peneliti membuat grafik untuk dianalisis berdasarkan data salah seorang observer. Efek dari tritmen dinilai dari pengukuran frekuensi tidak bisa duduk tenang, dan keluar dari kursi yang muncul pada subjek selama observasi. Analisis data menggunakan teknik analisis grafik. 12. Hasil Penelitian : Baseline I Pengumpulan data baseline dilakukan dengan mempergunakan observasi/ pengamatan langsung dan video rekaman selama 50 menit dengan event sampling. Yang diobservasi adalah perilaku subjek selama pelajaran di sekolah dengan target hiperaktifitas. Observer menilai dengan menggunakan tabel observasi (check list). Tritmen Tritmen dilakukan 15-20 menit di ruang kesenian di sekolah dengan penerangan cukup dan bebas distraksi. Di ruangan tersebut tersedia meja, kursi, TV,VCD player, kipas angin, karpet dan lemari yang tertutup. Pertimbangan durasi waktu 15-20 menit berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Tritmen dipandu oleh seorang instruktur. Subjek diminta untuk melakukan gerakangerakan sesuai dengan modul yang telah disusun sebelumnya. Pada pertemuan pertama subjek dibimbing oleh instruktur, hingga pertemuan yang yang ke tiga. Setelahnya hingga pertemuan yang ke dua belas subjek diminta untuk melakukannya sendiri. Meskipun bimbingan tetap masih diberikan hingga pertemuan ke enam. Setelah itu subjek telah benar-benar hafal dengan gerakan yang diberikan. Setelah mendapatkan tritmen, kembali dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketka subjek mengikuti pelajaran. Baseline II Setelah subjek tidak lagi mendapatkan tritmen (perlakuan) tetap dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketika subjek mengikuti pelajaran. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan video rekaman pada jam pelajaran pagi hari yaitu jam 07:30-08:20 WIB. Penilaian oleh tiga (3) observer dengan menggunakan tabel observasi (check list ). Grafik 1 menunjukkan bahwa pada fase baseline pertama ini frekuensi perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas di kelas cukup tinggi. Observasi pada fase baseline pertama ini dilakukan selama lima hari sesuai kalender akademik, dimulai pukul 07:30- 08:20. Observasi dilakukan dilakukan di dalam ruang kelas dan ketika ada proses belajar mengajar, karena pada situasi formal, perilaku hiperahtif anak akan semakin kelihatan dan menunjukkan bahwa perilaku tersebut merugikan tidak hanya subjek tetapi juga teman-teman disekitarnya ketika belajar. Kondisi ini berkaitan dengan kesulitannya mengontrol dirinya, yang ditunjukkan melalui perilaku yang berlebihan. Mereka memang nampak penuh energi ( Horowitz; 2007, h.17). Pada hari pertama baseline pertama subjek duduk diurutan ke empat dan baris kedua di sebelah kiri meja guru. Ruang kelas subjek berukuran 6mx5m. Di dalam ruang kelas tersebut terdapat bangku yang disusun terdiri dari lima lajur dan masing-masing lajur terdiri dari delapan bangku ke belakang. Meja guru terletak di sudut kanan papan tulis dan menempel di dinding. Subjek duduk sebangku dengan teman laki-lakinya. Selama dilakukan pengamatan (50 menit), terlihat subjek tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh bapak guru agama ataupun ibu guru kelas. Ia lebih disibukkan dengan kegiatannya sendiri, melihat ke luar jendela, berjalan, berlari, menggeliat-geliatkan badannya, mengajak berbicara teman, melihat-lihat poster kesehatan di dinding belakang kelas. Menurut bapak guru agama, subjek adalah murid yang “istimewa”, sehingga ia mendapatkan perhatian khusus. Tidak jarang bapak guru harus mendekati subjek, mengingatkan untuk kembali duduk di bangkunya dengan mengelus-elus kepala subjek. Kegiatan yang dilakukan subjek adalah mengganggu teman disebelahnya dengan mengajak bicara, kursi di goyang-goyang, bermain adu kepala dengan teman sebangku, masuk kolong meja dan keluar dari bangku untuk kemudian berjalan-jalan mengitari kelas. Beberapa teman merespon gerakan subjek, dengan ikut berbicara, terutama teman-teman disekitar bangku subjek. Namun sebagian lagi tidak memperdulikannya. Pada hari kedua baseline pertama (I), subjek lebih banyak melihat ke luar jendela. Ia duduk sendirian diurutan ke tiga dan persis di sebelah jendela. Pada saat ibu guru memberi tugas menulis dengan contoh tulisan dari papan tulis, subjek terlihat asyik melihat keluar jendela, kemudian jalan-jalan melihat poster kesehatan di dinding belakang. Ia tidak memperhatikan tugas dari ibu guru dan tibatiba berteriak untuk tujuan yang tidak jelas dari kegiatan tersebut. Ketika teman-teman menulis, subjek duduk dibawah bangku (kolong meja), ia tidak mengumpulkan tugas, dan berjalan-jalan mengelilingi kelas. Kegiatan subjek yang lain adalah bermain hiasan-hiasan (prakarya) yang digantung tepat diatas meja subjek. Selama tugas menyalin tersebut, subjek hanya bermain-main, antara lain mengetuk-getuk pensil ke meja, memukul-mukul hiasan diatas meja, keluar dari bangku, berlari dan melompat-lompat tanpa tujuan yang jelas. Selain itu tidak jarang apabila subjek bosan, ia akan masuk ke kolong meja dan kemudian muncul dari bawah meja guru. Hal tersebut dilakukan berulang kali. Pada hari ketiga, keempat dan kelima pada baseline pertama subjek nampak tetap duduk sendirian dibangku urutan ke tiga dari depan dan disebelah jendela. Kegiatan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan pada hari pertama dan kedua. Subjek berdiri melihat ke luar jendela, meraut pensil, masuk kolong meja, keluar kelas berkali-kali, membuat temannya menangis, adu mulut dengan teman-temannya, berteriakteriak, berlari dan melompat untuk tujuan yang tidak jelas, memukul-mukul meja dan menengok kebelakang berkali-kali. Keluar dari bangku kemudain berlari tanpa tujuan yang jelas dilakukan oleh subjek berulang kali. Tugas yang diberikan oleh ibu guru tidak pernah diselesaikan, dan subjek baru akan mengerjakan ketika ibu guru menunggunya. Perilaku tersebut diatas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti tritmen yang diberikan. Gambaran tersebut terlihat dari grafik yang menunjukkan penurunan yang cukup berarti. Ketika tritmen diberikan pada hari pertama, subjek nampak cukup terbuka dan bersedia mengikuti instruksi yang diberikan. Ia terbuka terhadap orang lain, tidak malu-malu dan tidak ada kecurigaan terhadap orang yang baru dikenalnya. Ia bersedia menerima kehadiran orang baru dan banyak bercerita tentang kejadian yang dialami pagi hari di rumahnya. Pada saat itu sebelum bercerita ia berkeliling ruangan terlebih dahulu. Berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan dalam modul terapi musik, instruktur melakukan ice breaking terlebih dahulu sebelum tritmen diberikan.Tujuan diberikannya ice breaking adalah agar subjek merasa nyaman dan bersedia melaksanakan instruksi-instruksi yang diberikan. Ice breaking berupa permainan tangkap jari dan cerita binatang. Subjek nampak cukup tertarik dan senang. Ice breaking dilakukan selama lebih kurang lima menit. Setelah subjek merasa nyaman, maka subjek mulai berlatih gerakan-gerakan dengan diiringi musik yang diperdengarkan. Saat mengikuti latihan subjek bersedia mengikuti latihan dan melaksanakan gerakangerakan mengikuti instruksi yang diberikan dan contoh yang dilakukan oleh instruktur. Subjek nampak kelihatan bingung, terutama untuk gerakan pertama dan ketiga. Karena bingung subjek nampak putus asa, lalu bilang “sudah akh”. Gerakan kedua dan keempat bisa dilakukan oleh subjek dengan contoh. Untuk tugas yang ke lima yaitu subjek diminta untuk memilih dan memainkan alat musik, nampak ia mencoba semua alat musik. Terlihat perhatiannya yang mudah teralihkan dalam waktu kurang lebih lima detik. Sambil memainkan alat musik ia bertanya, bercerita dan tidak henti berbicara. Ia menanyakan dimana membeli alat-alat permainannya dan mengatakan ia senang memainkan alat musik. Alat musik yang menarik perhatiannya adalah pianika dengan suara-suara binatang. Ketika mendengar suara sapi subjek bercerita tentang sapi dan mengatakan pernah melihat sapi disembelih. Ketika melaksanakan sesi menyanyi yang diselingi dengan melakukan gerakan yang diminta oleh instruktur, subjek mau melaksanakan perintah tersebut tanpa membantah dan menyanyi dengan suara yang keras dan penuh percaya diri. Setelah mengikuti sesi latihan selama lima belas menit, pada sesi penutup subjek bersama instruktur kembali bermain tangkap jari dengan cerita binatang. Setelah mengikuti latihan, subjek kembali ke kelas. Observasi di kelas dilakukan setelah subjek beristirahat. Pada hari pertama belum nampak perubahan yang berarti meskipun sudah ada penurunan frekuensi terutama perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Ia masih sering keluar dari banhgku dan tiba-tiba berlari ke depan kelas ke arah papan tulis dan kemudian berlari ke arah belakang. Pada hari kedua tritmen, latihan dilakukan setelah subjek mengikuti pelajaran olah raga. Pada saat mengikuti pelajaran olah raga subjek terlihat banyak bergerak meskipun pada saat ibu guru meminta semua murid untuk duduk di lapangan. Terlihat subjek justru berlari-lari mengelilingi lapangan dengan salah seorang temannya. Tritmen dimulai pukul 07:55 dan setelah subjek beristirahat. Tritmen diawali dengan ice breaking. Subjek bersedia untuk mengikuti semua perintah. Secara umum kepatuhan yang ditunjukkan pada hari kedua tidak seperti yang ditunjukkan pada hari pertama. Urutan pelaksanaan sesuai dengan modul yang telah disiapkan sebelumnya. Observasi di kelas menunjukkan adanya penurunan frekuensi berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Hal ini diperkirakan subjek mengalami kelelahan setelah mengikuti pelajaran olah raga dan sesi tritmen. Ia terlihat nampak tenang dan hanya mengamati kegiatan yang dilakukan oleh temantemannya. Kegiatan subjek berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas kembali ditunjukkan oleh subjek dengan frekuensi yang hampir sama dengan ketika tritmen pertama diberikan yaitu setelah subjek selesai mengikuti tritmen ke tiga. Setelah mengikuti tritmen ke empat, subjek kembali menunjukkan sikap yang tenang dan nampak sdh mulai bisa mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Hasil observasi di kelas terlihat bahwa subjek lebih banyak meletakkan kepalanya diatas meja. Latihan diikuti secara teratur sesuai instruksi dan mengikuti irama musik. Ekspresi subjek nampak gembira, ice breaking dilakukan dengan bermain boneka dinosaurus dan subjek mengidentifikasikan boneka sebagai teman-temannya. Boneka diatur sesuai tatanan kursi di kelas dan menyebutkan nama teman-temannya. Ketika mengikuti tritmen ia mulai menghitung sendiri dengan suara keras, dan melantunkan takbir dengan memukul genderang, terlihat iramanya nampak teratur. Kondisi yang ditunjukkan setelah subjek mengikuti tritmen keenam adalah subjek kembali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas dan semakin meningkat ketika subjek selesai mengikuti tritmen ke tujuh. Pada tritmen yang ketujuh, subjek tetap terlihat mengikuti alunan musik, dan bersuara pada ketukan keempat. Namun pada menit kesatu tiga puluh tiga detik ia mulai menguap dan terlihat malas-malasan. Ia menata sendiri bantalnya, mengikuti musik, melompat, berjalan sepanjang musik berjalan. Namun ketika gerakan keempat yang seharusnya gerakan menaikkan tangan, subjek justru melompat. Pada sesi ke tujuh ini, subjek nampak kurang memperhatikan instruksi dari instruktur. Ia bermain sendiri, masak-masakan sate, bermain pianika selama 1 menit, pindah ke drum selama 20 detik, kembali ke pianika selama 1 menit. Dari grafik nampak bahwa frekuensi berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti tritmen kesepuluh. Setelah mengikuti tritmen kesebelas dan dua belas, subjek kembali bisa mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas, hingga ia tidak melakukannya sama sekali. Ia memang masih menunjukkan kegiatan-kegiatan yang lain seperti menggeliat, menengok ke belakang, mengganggu teman-temannya. Dari grafik yang ditunjukkan, setelah tritmen tidak diberikan lagi, yaitu pada fase baseline kedua (II) situasinya menunjukkan adanya penurunan yang cukup berarti. Subjek memang masih sesesekali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan yang pasti. Namun kegiatan tersebut dilakukan pada hari kelima setelah tritmen ditiadakan. Observasi dilakukan didalam kelas pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Pelajaran yang bisa membuatnya tenang adalah pelajaran menggambar. Subjek cukup menyenangi tugas tersebut dan ia bisa melakukannya dengan baik. 13. Kesimpulan : Terapi terhadap kesulitan berperilaku pada anak yang mengalami ADHD dimaksudkan untuk mengurangi frekuensi munculnya perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya adalah memperbaiki fungsi yang mengalami kegagalan (perilaku, kognitif, sosio emosional). Seperti yang diutarakan oleh Yudarwanto (2009) yaitu terapi yang diberikan kepada penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh. Modifikasi perilaku merupakan pola penanganan yang paling efektif dengan pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan frustasi, marah, dan berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri. Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi musik dan gerak dapat mereduksi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar yang menderita ADHD. Dengan demikian hipotesis terbukti.