Academia.eduAcademia.edu

Regulasi IKN Fitra Arsil

Bagian Ketujuh PROBLEMATIKA REGULASI UU IBU KOTA NEGARA: MEMASTIKAN DEMOKRASI DAN KONSTITUSIONALITAS PENYELENGGARAN IBU KOTA BARU Fitra Arsil*7 * Penulis Adalah Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia 139 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... I. PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) disahkan hanya dalam kurun waktu 42 hari sejak panitia khusus dibentuk, Meskipun secara formal dinyatakan konstitutional oleh Mahkamah Konstitusi1 tetapi fakta-fakta bahwa pembentukan UU ini terburu-buru sulit dibantah dan memang menghasilkan beberapa masalah di beberapa bagian undang-undang ini. Sejauh ini belum ada yang menguji UU ini secara materiil di Mahkamah Konstitusi dan mengevaluasinya di DPR. Namun gagasan untuk melakukan revisi UU ini sudah muncul, memang kebutuhan akan revisi nampaknya tidak bisa ditawar lagi. Sebelum UU ini digunakan sebagai landasan penyelenggaraan ibu kota, revisi menjadi agenda penting. UU IKN merupakan produk legislasi yang mendapatkan pro dan kontra yang tinggi di masyarakat Indonesia. Bukan saja karena disahkan dalam jangka waktu yang sangat cepat, UU IKN juga disahkan dalam kondisi dimana status kedaruratan Covid-19 belum dicabut.2 Merujuk pada tulisan penulis sebelumnya yang berjudul “The disappearance of the ‘legislative model': Indonesian parliament's experience in response to Covid-19”, penulis memberikan argumentasi mengenai dominasi eksekutif dalam legislasi yang berlaku dalam masa pandemi. Penulis berpendapat UU IKN juga merupakan salah satu bagian dari produk dengan ciri tersebut.3 1 2 3 Fadillah, N. (2022). Penerapan Asas Keterbukaan Dalam Pembentukan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja Dan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara. Lex Renaissance, 7(2), 243-264. Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni,. (2020). Model Pengaturan Kedaruratan Dan Pilihan Kedaruratan Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(2), 423-446. Fitra Arsil, Qurrata Ayuni & Ariesy Tri Mauleny (2022) The disappearance of the ‘legislative model': Indonesian parliament's experience in response to Covid-19, The Journal of Legislative Studies, DOI: 10.1080/13572334.2022.2067948 140 Fitra Arsil Kekuasaan eksekutif memang dominan dalam pemberlakuan status kedaruratan namun di Indonesia model kedaruratan yang menjadi pesan Konstitusi adalah kedaruratan yang memberi peran besar kepada kekuasaan legislatif. Prakteknya, peran besar legislatif ternyata kurang tampak karena Konstitusi Indonesia juga memberikan presiden kekuasaan besar di bidang legislatif (president’s legislative power) yang ketika bersatu dengan dukungan mayoritas di parlemen (partisan power) maka terdapat kecenderungan presiden akan tampil sebagai pengendali agenda di parlemen. Produk legislasi dalam masa pemberlakukan status kedaruratan ini nampak berciri pembahasannya dilakukan dengan cepat, terdapat beberapa penyederhanaan prosedur, produktivitas mendadak tinggi dan partisipasi lemah. Padahal substansi yang dibahas dapat digolongkan berat dan berdampak besar. Kondisi dominasi legislasi eksekutif dengan dukungan partisan yang tinggi di parlemen membuat RUU IKN, meskipun mendapat banyak kritik dalam Daftar Inventariasasi Masalah (DIM) namun dengan cepat lolos disahkan sebagai UU. Secara garis besar materi UU IKN dapat digolongkan pada tiga kelompok besar. Kelompok pertama adalah soal Penetapan Ibukota Baru, kelompok kedua mengenai persiapan dan pembangunan IKN, serta kelompok ketiga tentang Sistem Pemerintahan di IKN. Kontroversi yang paling banyak memiliki catatan dari segi regulasi adalah kelompok ketiga yang memuat cara penyelenggaraan pemerintahan IKN. Sistem pemerintahan IKN, kekhususannya, sinkronisasi pengaturan dengan sektorsektor terkait, penyerahan kekuasaan yang besar kepada penyelenggara IK serta mekanisme pengawasan terhadap penyelenggaraan IKN merupakan diantara agenda yang perlu mendapat perhatian dalam pengaturan IKN. Penerimaan terhadap gagasan perpindahan ibu kota sebenarnya cukup besar di masyarakat karena gagasan ini memang sudah lama menjadi diskusi publik namun reaksi 141 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... kritis muncul ketika melihat gagasan tersebut dirumuskan dalam UU IKN. Meskipun Perpindahan ibu kota negara bagi Indonesia merupakan sebuah kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun gagasan ini merupakan gagasan lama. Hampir setiap presiden mendiskusikan dan mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan gagasan ini. Baru kali inilah gagasan perpindahan ibu kota sudah melangkah jauh. Perpindahan Ibu Kota Negara dilakukan disebabkan ketidaksesuaian daya tampung yang saat ini diemban oleh Ibu Kota DKI Jakarta. Menurut Naskah Akademis UU IKN, Jakarta sudah tidak lagi optimal untuk menjamin kondisi hidup yang layak dan berkelanjutan.4 Adapun fungsi ibu kota negara menjadi tidak optimal dengan berbagai masalah perkotaan yang disebabkan oleh pertumbuhan pendudukan dan tata kota yang tidak optimal. Berdasarkan sejumlah alasan-alasan filosofis, sosiologis dan yuridis, gagasan perpindahan Ibu Kota Negara kemudian menjadi salah satu agenda program legislasi nasional. Perpindahan Ibu Kota telah dicanangkan menjadi salah satu program legislasi nasional jangka Panjang Tahun 2020-2024 pada urutan ke-131 yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2019. Selanjutnya, perpindahan ibu kota ini juga masuk menjadi prolegnas prioritas tahun 2020 pada urutan ke-46 yang ditetapkan pada tanggal 22 Januari 2020. Kemudian, juga menjadi program legislasi prioritas Tahun 2021 pada urutan ke28 yang ditetapkan tanggal 23 Maret 2021. Hingga pada tahun 2022, perpindahan Ibu Kota Negara telah menjadi prioritas urutan ke-33 yang ditetapkan pada ditetapkan Tanggal 7 Desember 2021. Adapun dalam tahap pembahasan maka RUU IKN 4 Kementerian PPN/ Bappenas. Naskah Akademik Rancangan UndangUndang Tentang Ibu Kota Negara. https://www.dpr.go.id/dokakd/ dokumen/PANSUS-RJ-20211214-125732-5084.pdf (diakses 16 Desember 2022) 142 Fitra Arsil dimulai dari tanggal 3 November 2021 s/d 18 Januari 2022, yang diselesaikan hanya dalam kurung waktu 42 hari sejak panitia khusus (pansus) dibentuk hingga disetujui dan disahkan. RUU IKN disetujui dalam Rapat Paripurna tanggal 18 Januari 2022 adapun RUU IKN disahkan oleh Presiden pada tanggal 15 Februari 2022. Tahap Pengundangan Pada tanggal yang sama dengan pengesahan UU IKN diundangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41. II. MENCARI ALASAN PEMBAHASAN TERBURU Pembahasan RUU IKN berlangsung dalam kurun waktu 42 hari sejak panitia khusus dibentuk. RUU ini diputus oleh Panitia Khusus pada selasa 18 Januari 2022 sekitar jan 03.15, langsung jam 10.00 WIB pada hari yang sama diagendakan dalam Rapat Paripurna DPR RI, yaitu dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022. Rapat-rapat pembahasan memang berlangsung sangat padat dan sulit dibantah untuk dikatakan terburu-buru. Setelah rapat kerja dengan pemerintah untuk memutuskan penetapan anggota, jadwal rapat dan teknis-teknis pembahasan lain, agenda rapat dilanjutkan dengan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang para ahli terkait RUU ini. RDPU berlangsung selama 5 (lima) hari, tanggal 8 hingga 12 Desember 2021 dengan narasumber sejumlah 26 orang. Menariknya, RDPU bahkan berlangsung di hari sabtu dan minggu.5 Di luar waktu tersebut terdapat juga kunjungankunjungan pansus ke kelompok-kelompok masyarakat dan menerima audiensi dari beberapa pihak. Dengan demikian waktu yang tersedia untuk pembahasan materi RUU ini memang sangat terbatas dan dipaksakan dengan. Maka wajar bagian5 Lihat rekam jejak pembahasan RUU IKN di DPR di https://www.dpr. go.id/uu/detail/id/368 (diakses 28 Januari 2022) 143 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... bagian tertentu dalam UU IKN yang dinyatakan bagian yang terpisahkan dalam UU ini tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai bahkan tidak pernah dilakukan pembahasan. Dalam Laporan Pansus DPR RI Dalam Rangka Pembicaran Tingkat II/Pengambilan Keputusan Hasil Pembahasan RUU IKN bertanggal 18 Januari 2022 yang disampaikan oleh Ketua Pansus, Dr. H. Ahmad Doli Kurnia, Tandjung S.Si, M.T. terungkap bahwa Fraksi PDIP menyatakan: 6 “terkait dengan lampiran yang berisi Rencana Induk Ibu Kota Negara yang sampai saat ini Fraksi PDI Perjuangan belum melihat secara utuh, maka lampiran mengenai Rencana Induk Ibu Kota Negara harus dikeluarkan dan tidak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari RUU Ibu Kota Negara”. Fraksi PDI Perjuangan yang merupakan fraksi terbesar di DPR RI dan fraksi utama pendukung pemerintah menyatakan bahwa salah satu bagian dari UU ini belum mendapatkan porsi pembahasan bahkan menyatakan belum melihatnya secara utuh sehingga menolak memasukkannya sebagai bagian dari UU IKN. Pasal 7 ayat (3) UU IKN memang menyebutkan bahwa Rencana Induk Ibu Kota Nusantara yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.7 Bahkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menyatakan bahwa rencana induk yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU IKN belum pernah dibahas di dalam Pansus RUU 6 7 Lihat Laporan Pansus DPR RI Dalam Rangka Pembicaran Tingkat II/ Pengambilan Keputusan Hasil Pembahasan RUU IKN bertanggal 18 Januari 2022 https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/persiparLaporan-PansusTimPanja-Rapat-Paripurna-DPR-RI-Ke-13-MasaPersidangan-III-Tahun-Sidang-2021-2022-1643444903.pdf hlm (diakses 9 Agustus 2022) Loc. Cit., 144 Fitra Arsil IKN.8 Pernyataan resmi dari pihak-pihak yang ikut membahas UU IKN bahwa terdapat bagian dari UU yang belum pernah dibahas dan kemudian tetap diputuskan sebagai bagian dari UU merupakan masalah yang serius dalam pembahasan UU IKN ini. Fenomena ini malah dapat dikatakan lebih serius dari masalah hilangnya meaningful participation dalam pembahasan suatu RUU seperti yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji formil UU Cipta Kerja. Istilah meaningful participation disampaikan untuk memperlihatkan sempitnya ruang partisipasi bagi masyarakat secara luas namun apa yang terjadi di RUU IKN bahkan menunjukkan ruang partisipasi yang hilang bagi pihak pembahas UU. Terikatnya masyarakat oleh klausul dan kebijakan yang tidak dibuka ruang partisipasinya secara luas sudah merupakan reduksi kedaulatan rakyat. Apalagi masyarakat harus terikat oleh klausul dan kebijakan yang tidak pernah dibahas oleh wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilihan umum untuk tugas utama memang membahas RUU (fungsi legislasi). III. SINKRONISASI ANTAR PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT Resiko yang juga dapat diduga dari pembahasan yang terburu-buru adalah terbatasnya kesempatan untuk melakukan pembahasan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur masalah yang sama. Salah satu contoh yang dapat diajukan sebagai contoh adalah mengenai pengaturan di sektor tata ruang, tata bangunan dan lingkungan yang terdapat di UU IKN. 1. Implikasi Pengaturan Kawasan Strategis Nasional IKN Pengaturan mengenai tata ruang IKN terdapat dalam Bab V Bagian Kesatu mengenai Penataan Ruang, yaitu Pasal 15 8 Loc. Cit., 145 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... ayat (1) hingga ayat (4) UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Tata ruang IKN memang diatur secara khusus melalui rezim tersendiri berbeda dengan tata ruang provinsi pada umumnya. Indikasi menempatkan IKN dalam rezim tata ruang dan tata bangunan tersendiri tersebut bahkan sudah terlihat dari Pasal 1 yang menyebut pengertian Kawasan Strategis Nasional dan dalam Pasal 6 ayat (4) dan (5) yang menyebutkan bahwa Kawasan Ibu Kota Nusantara mengacu kepada Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Ibu Kota Nusantara. Dalam lingkungan tata ruang dan tata bangunan, terminologi Kawasan strategis nasional (KSN) mengandung arti terdapatnya pengaturan yang menyimpangi dari rezim tata ruang pada umumnya. Urutan pengaturan tata ruang dan tata bangunan lazimnya dibentuk berurutan bahwa rencana tata ruang menjadi dasar bagi penerbitan rencana detail tata ruang (RDTR) dan kemudian RDTR menjadi dasar bagi pembentukan rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL). Pengaturan tata ruang yang terdapat di dalam UU IKN, nampak belum sinkron dengan sistematika di atas sebagaimana juga diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait. UU IKN menentukan bahwa RDTR IKN diatur dengan Peraturan Kepala Otorita, sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung ditentukan bahwa RTBL daerah yang diputuskan sebagai KSN ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Dengan demikian, jika RTBL harus merujuk kepada RDTR maka tidak tepat penggunaan jenis peraturan perundang-undangannya. Tentu tidak mungkin Perpres harus merujuk kepada Peraturan Kepala Otorita yang posisinya dibawah Perpres atau memang dimaksudkan bahwa RTBL KSN IKN tidak harus merujuk RDTR. Sementara, tidak ada pengaturan mengenai RTBL di UU IKN, kecuali hanya sinyal bahwa IKN adalah kawasan strategis nasional. Sehingga respon 146 Fitra Arsil pengaturan bagi KSN menurut peraturan terkait, RTBL-nya dibuat dalam bentuk Perpres. 2. Implikasi Regulasi Akibat Ketiadaan DPRD Masalah keterkaitan UU IKN dengan peraturan perundangundangan terkait juga terlihat dengan putusan pembentuk UU mengenai ketiadaan DPRD di IKN. Ketiadaan DPRD secara subtantif memang dapat dianalisis dari sudut reduksi demokrasi yang terjadi dan masalah mekanisme aspirasi. Namun sebelum jauh ke analisis substantif, putusan untuk meniadakan DPRD nampak belum dipersiapkan perangkat peraturan pendukung yang memadai. Dari segi peraturan perundang-undangan ketiadaan DPRD berimplikasi kepada tidak mungkin diterbitkannya peraturan daerah (perda) di IKN karena perda merupakan produk hukum kepala daerah dan DPRD secara bersama-sama sebagaimana disebutkan antara lain dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Nomor tentang Pemerintahan Daerah. Tanpa peraturan daerah maka tentu akan terdapat beberapa kesulitan bagi pemerintah otorita IKN dalam melakukan pengaturan di daerah IKN, jika tidak terdapat pengaturan secara khusus di UU IKN. UU IKN misalnya tidak secara khusus mengatur materi muatan yang dapat diatur melalui Peraturan Kepala Otorita. Khusus mengenai sanksi tidak disebutkan apakah peraturan di dalam Otorita IKN dapat memuat sanksi pidana sehingga berlaku pengaturan secara umum sebagaimana diatur dalam UU PPP bahwa peraturan yang dapat memuat ketentuan pidana hanya UU dan Perda. Otorita IKN tidak memiliki Perda dan UU IKN tidak memberikan kewenangan kepada Otorita IKN untuk memiliki peraturan yang memuat sanksi pidana. Oleh karena itu dalam pengaturan di wilayah IKN tidak dimungkinkan memberikan sanksi pidana bagi tindak pidana dalam ruang 147 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... lingkup daerah IKN seperti yang terdapat di semua wilayah di Indonesia. IV. RUANG LEBAR DELEGASI PENGATURAN Dari segi materi yang diatur UU IKN terkesan sangat minimalis, dengan hanya memuat 44 pasal. Menariknya, dari 44 (empat puluh empat) Pasal di UU 3/2022, terdapat 13 (tiga belas) perintah pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pelaksana. Data ini semakin menguatkan indikasi bahwa penyelesaian UU ini memang terburu-buru sehingga cenderung mengatur secara umum dan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada peraturan pelaksana. Mendelegasikan ke peraturan pelaksana memang tidak dapat dikatakan kesalahan. Namun jika menelaah jumlah materi yang didelegasikan dan cara mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam UU IKN terdapat langkah-langkah yang kurang tepat. 1. Kekhususan Tanpa Undang-Undang Terlepas dari perdebatan apakah daerah khusus seperti IKN yang bukan provinsi dan bukan pula kabupaten/kota seperti yang memiliki banyak kontroversi namun penerimaan IKN sebagai daerah khusus juga memiliki masalah dalam pendelegasiannya. Pada Pasal 18B ayat (1) disebutkan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Pasal ini yang menjadi dasar kukhususan IKN. Namun jika dilihat dalam UU IKN, kekhususan IKN tidak tergambar secara utuh. Pasal 12 ayat (2) UU IKN menyebutkan: “Kekhususan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk antara lain kewenangan pemberian perijinan investasi, kemudahan berusaha, serta pemberian fasilitas 148 Fitra Arsil khusus kepada pihak yang mendukung pembiayaan dalam rangka kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan daerah mitra”. UU IKN tidak mengatur kekhususan IKN secara definitif dengan menggunakan frasa “antara lain” dalam ketentuan di atas. Pengaturan dengan cara demikian memberikan kekuasaan kepada peraturan pelaksana yang jenisnya bukan undang-undang untuk menentukan urusan-urusan apa saja yang termasuk dalam kekhususan IKN dan kekuasaan tersebut berupa cek kosong yang belum terdefinisikan. Ayat (3) pada Pasal 12 di atas memang memberi delegasian pengaturan kepada peraturan pemerintah dengan menyebutkan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR”. Ketentuan dalam ayat (3) ini memberi blanco mandaat kepada pembentuk PP untuk mengatur kekhususan IKN. Materi kekhususan IKN dapat bertambah lebih dari yang sudah ditentukan dalam UU IKN. Ayat ini memang menyebutkan bahwa PP tentang kekhususan IKN harus dikonsultasikan dengan DPR. Dengan menyebutkan ketentuan seperti ini dapat ditangkap indikasi bahwa pembentuk UU memahami bahwa penentuan kekhususan suatu daerah harus dengan persetujuan DPR sebagaimana diamanatkan Konstitusi. Mensyaratkan PP yang dibentuk harus melalui konsultasi dengan DPR sebenarnya tidak memenuhi apa yang diamanatkan oleh Konstitusi. PP yang dibentuk melalui konsultasi dengan DPR sama sekali berbeda dengan undang-undang. PP memiliki hirarki dan materi muatan yang berbeda dengan UU. Selain itu, prosedur pembentukan PP juga tidak sama dengan prosedur pembentukan UU. Kata “konsultasi” memberi pesan bahwa persetujuan DPR bukanlah syarat karena konsultasi tidak 149 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... mengandung makna mengikat, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskan makna ini dalam salah satu putusannya. 2. Perubahan Undang-Undang Tanpa Undang-Undang Fenomena memberikan kekuasaan besar kepada eksekutif melalui delegasi peraturan pelaksana memang nampak dominan dalam UU IKN. UU IKN bahkan memberikan kekuasaan kepada peraturan dibawah UU untuk melakukan perubahan terhadap materi UU IKN sendiri. Pasal 7 ayat (3) UU IKN menyebutkan bahwa rencana induk yang terdapat dalam lampiran II UU IKN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU IKN. Menariknya, dalam Pasal 7 ayat (5) disebutkan bahwa perubahan terhadap rencana induk tersebut tidak perlu melalui UU. Disebutkan bahwa pihak yang dapat melakukan perubahan terhadap rencana induk adalah Otorita Ibu Kota Nusantara. Perubahan tersebut dilakukan dengan ketentuan: dalam hal perubahan dilakukan terhadap materi muatan Rencana Induk Ibu Kota, dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden dan dikonsultasikan dengan DPR. Sedangkan dalam hal perubahan dilakukan terhadap perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden. Rencana induk IKN nampak beberapa kali menuai masalah dalam pembentukan UU IKN. Prosedur pembahasannya untuk memasukkannya sebagai bagian dari UU IKN dinilai bermasalah yang terbukti dari sikap resmi beberapa fraksi yang menyatakan bahwa rencana induk belum dilakukan pembahasan dalam pembentukan UU IKN. Kemudian, ketika nanti akan diubah, perubahannya tidak perlu dalam bentuk UU sehingga kekuasaan eksekutif di pusat dan otorita IKN diberi keleluasaan yang tinggi untuk mengubahnya. Keterlibatan DPR memang disebutkan namun hanya dalam bentuk konsultasi. 150 Fitra Arsil 3. Menebar Blanco Mandaat, Minim Mekanisme Kontrol Fenomena delegasi pengaturan kepada peraturanperaturan di bawah UU IKN nampak memberikan kekuasaan yang besar kepada pembentuk peraturan di bawah UU. Bukan saja dari segi materi yang diberi keleluasaan untuk mengatur dengan panduan yang terbatas, pembentuk peraturan di bawah UU IKN juga memiliki kekekuasan besar untuk menyimpangi berbagai prosedur pembentukan peraturan perundangundangan yang lazim berlaku. Selain itu, pemerintahan daerah IKN yang tanpa lembaga perwakilan daerah, pembentukan peraturan di IKN relatif lebih minim kontrol dibanding daerah manapun di Indonesia. Mekanisme aspirasi dan pengawasan pemerintahan IKN sejauh ini juga belum terlihat formulasinya. IKN tidak memiliki lembaga perwakilan rakyat daerah seperti DPRD sebagaimana terdapat di seluruh pemerintahan daerah di Indonesia. UU IKN seharusnya memberi gambaran mengenai mekanisme partisipasi publik warga yang hidup di IKN dalam pembentukan kebijakan. Pengawasan terhadap pembentukan kebijakan oleh Otorita IKN sebagai pelaksana pemerintahan daerah di IKN juga tidak tergambar di dalam UU IKN. Penyelenggara pemerintahan daerah di IKN memiliki kekuasaan besar dalam pembentukan kebijakan sebagaimana diamanatkan oleh UU IKN. Kekuasaan besar tersebut berupa kekhususan yang besar dan tidak limitatif, pembentukan peraturan perundangan dengan penyimpangan dan penyederhanaan prosedur, dan materi kekuasaan yang di delegasikan relatif tanpa panduan memadai. Di tengah kekuasaan yang besar tersebut, penyelenggara pemerintahan IKN juga memiliki mekanisme kontrol yang minim dalam belum tergambar dalam UU. 151 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... V. REGULASI DI IKN DAN KARAKTER KELEMBAGAAN IKN Pemerintahan daerah di seluruh Indonesia lazimnya memiliki peraturan perundang-undangan di tingkat daerah berupa Peraturan Daerah (Perda). Namun UU IKN tidak memberi tempat bagi Peraturan Daerah untuk melakukan pengaturan di daerahnya. Pembentuk UU IKN nampak ingin menggantikan tempat perda dengan Peraturan Kepala Otorita yang berlaku di seluruh wilayah IKN. Namun UU IKN nampak belum melakukan pengaturan secara memadai yang membuat Peraturan Kepala Otorita dapat disejajarkan dengan Peraturan Kepala Otorita. Peraturan Daerah misalnya diberi kekuasaan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Pemda untuk memuat ketentuan pidana. Menurut UU 12 Tahun 2011 hanya terdapat dua peraturan perundang-undangan yang dapat memuat ketentuan pidana, yaitu UU dan Perda. UU IKN juga tidak secara khusus memberikan kewenangan kepada Peraturan di Otorita IKN untuk memuat ketentuan pidana. Dengan demikian Peraturan Kepala Otorita tidak mungkin untuk memuat ketentuan pidana yang artinya di wilayah IKN tidak akan ada pidana daerah untuk penegakan hukum. Karakter Peraturan Kepala Otorita IKN memang perlu dirumuskan secara lebih detail dan komprehensif. Jika melihat karakter pemerintahan daerah di IKN sebagaimana diatur dalam UU IKN nampak yang diinginkan dari produk hukum daerah di wilayah IKN memiliki hirarki yang tinggi dan memiliki cakupan pengaturan yang luas. Pasal UU IKN menyebutkan bahwa Kepala Otorita adalah pejabat setingkat menteri yang dapat dimaknai dalam konsteks kekuasaan regulasinya bahwa produk hukum yang diterbitkan setingkat Peraturan Menteri yang merupakan peraturan di tingkat pusat. Namun jika melihat materi muatan yang dapat 152 Fitra Arsil dimuat dalam peraturan menteri sebagaimana ditentukan oleh UU PPP adalah pengaturan yang bersifat teknis administratif saja.9 Sementara itu disebutkan pula bahwa IKN merupakan wilayah setingkat provinsi. Dalam perspektif regulasi maka wilayah ini memiliki peraturan daerah yang ruang lingkup pengaturannya seperti lazimnya provinsi-provinsi lain di Indonesia, Di UU IKN sendiri memang disebutkan kekhususan IKN memang besar dan bahkan tidak definitif, artinya bisa lebih dari urusan-urusan yang disebutkan dalam UU IKN. Dengan demikian karakter peraturan kepala otorita dapat dikatakan dari segi hirarki lebih tinggi dari peraturan daerah provinsi pada umumnya karena kepala otorita adalah setingkat menteri, namun dari segi materi muatan memiliki ruang lingkup yang luas seperti lazimnya peraturan daerah bahkan lebih luas lagi karena merupakan daerah khusus yang memiliki kekhususan yang besar. Karakter IKN yang setingkat kementerian dan setingkat provinsi ini juga meninggalkan pesan tersendiri. Setingkat kementerian berarti IKN bukan organisasi kementerian namun kedudukannya setingkat kementerian, setingkat provinsi berarti IKN bukan provinsi namun memiliki kedudukan setingkat provinsi. Dengan formulasi seperti ini nampal pembentuk UU menginginkan kedudukan IKN tinggi dalam hirarki kelembagaan dan produk hukumnya namun memiliki pengaturan tersendiri yang membebaskannya dari pengaturan yang lazimnya mengikat di posisi tersebut. Dengan kata lain, IKN setingkat menteri namun terbebas dari pengaturan tentang kementerian seperti UU Kementerian Negara dan lain-lain karena IKN bukan 9 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lampiran 211: “Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. 153 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... kementerian. IKN setingkat provinsi namun terbebas dari pengaturan terkait provinsi seperti UU Pemerintahan Daerah dan lain-lain karena IKN bukanlah provinsi. Karakter kelembagaan yang demikian bukan saja berimplikasi kepada regulasi-regulasi yang diterbitkan oleh Otorita IKN namun juga berdampak kepada pengaturanpengaturan mekanisme kelembagaan IKN seperti pengaturan pengisian jabatan, mekanisme pemilihan kembali VI. KONSULTASI SEBAGAI PROSEDUR PEMBENTUKAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN Diantara pengaturan yang tidak lazim terdapat dalam UU IKN adalah penggunaan mekanisme konsultasi sebagai prosedur pembentukan kebijakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Di UU IKN Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) pengaturan pembentukan kebijakan dan pembentukan peraturan yang menggunakan mekanisme konsultasi yaitu: (1) penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Otorita IKN oleh presiden setelah berkonsultasi dengan DPR10, (2) perubahan materi muatan Rencana Induk IKN oleh Otorita IKN yang membutuhkan persetujuan presiden dan konsultasi dengan DPR,11 (3) Penunjukan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR,12 (4) Pengaturan ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus IKN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR,13 (5) Penyusunan dan penetapan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPD di Ibu Kota Nusantara yang dilakukan oleh 10 11 12 13 Pasal 5 ayat (4) UU IKN Pasal 7 ayat (5) huruf a UU IKN Pasal 9 ayat (1) UU IKN Pasal 12 ayat (3) UU IKN 154 Fitra Arsil Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dengan konsultasi bersama Otorita Ibu Kota Nusantara.14 Dari segi kepastian hukum, menempatkan konsultasi sebagai prosedur pembentukan peraturan perundangundangan dan pembentukan kebijakan lainnya akan menimbulkan problematika tersendiri yang akan membuat terhambatnya pembentukan peraturan dimaksud. Diantara masalah yang mungkin timbul adalah Pertama, dalam sebuah forum konsultasi lazimnya tidak harus terjadi kesepakatan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali sehingga materi konsultasi mana yang harus ditindaklanjuti menjadi sebuah keputusan menjadi sulit. Apalagi jika pihak yang menjadi tempat konsultasi adalah lembaga politik seperti DPR yang terdiri dari berbagai fraksi dengan pandangan dan sikap politiknya masing-masing. Konsultasi dapat terjadi hanya menjadi sebuah prosedur yang harus dilalui saja tanpa perlu memperhatikan materi yang dikonsultasikan. Asalkan konsultasi sudah dilakukan maka keputusan dapat diambil, materi yang dikonsultasikan bisa jadi tidak menjadi penting karena memang dapat saja tidak terjadi kesepakatan apapun dalam forum konsultasi.15 Kedua, jika terjadi kesepakatan dalam forum konsultasi tentang sebuah materi yang akan diputuskan, tidak ada ketentuan yang mengharuskan kesepakatan tersebut mengikat pembentuk keputusan untuk melaksanakannya. Forum konsultasi memang lazimnya tidak mengikat pihak-pihak di forum tersebut. Hal ini menambah argumentasi bahwa mekanisme konsultasi dapat saja digunakan hanya sebagai formalitas belaka tanpa mementingkan materi yang dikonsultasikan. Kedua argumentasi di atas memberikan peringatan bahwa 14 Pasal 13 ayat (3) UU IKN 15 Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 92/PUU/XIV/2016 telah memberikan argumentasi mengenai lemahnya kepastian hukum dan tidak mengikatnya sebuah forum konsultasi 155 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... seharusnya mekanisme konsultasi bukanlah sebuah prosedur yang layak dipakai dalam pengambilan putusan penting. Dalam materi UU IKN nampak penggunaan mekanisme konsultasi justru dilekatkan kepada proses pengambilan putusan-putusan penting. Bahkan nampak pihak yang menjadi tempat konsultasi yaitu DPR nampak digunakan untuk memberikan legitimasi terhadap materi yang diputuskan. Mekanisme konsultasi di UU IKN digunakan untuk mengambil putusan dalam penunjukkan UU IKN sehingga nampak lebih legitimate tidak sepihak oleh eksekutif sendirian. Konsultasi kepada DPR juga dilakukan dalam rangka melakukan perubahan terhadap materi muatan Rencana Induk IKN yang merupakan muatan UU IKN yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena mengubah UU harus dengan UU juga bukan dengan jenis peraturan lain meskipun berkonsultasi dengan DPR. Konsultasi kepada DPR juga dilekatkan dalam pembentukan PP yang mengatur mengenai kekhususan IKN yang seharusnya merupakan materi muatan UU. Dengan demikian nampak UU IKN menggunakan konsultasi sebagai sebuah prosedur untuk mendapatkan legitimasi padahal forum konsultasi memiliki karakter yang sama sekali berbeda dengan forum pengambilan keputusan. Lebih jauh, sebenarnya UU IKN berpotensi melakukan degradasi terhadap keterlibatan DPR dalam pembentukan keputusan. VII. PENUTUP Tinjauan terhadap regulasi seputar pemindahan ibukota, khususnya mengenai sistem pemerintahan dan perangkat dalam penyelenggaran IKN menghasilkan rekomendasi untuk melakukan banyak perbaikan dalam pengaturannya. Gagasan pemindahan ibukota yang boleh jadi memang merupakan kebutuhan dan didukung oleh banyak pihak perlu didukung dengan regulasi yang teliti, komprehensif dan sinkron dengan pengaturan di berbagai sektor terkait. 156 Fitra Arsil Proses pembentukan UU IKN dan penyederhanaan mekanisme pengawasan dalam penyelenggaraan IKN nampak berkontribusi terhadap regulasi IKN yang digambarkan dalam tulisan di atas. UU IKN yang berlaku saat ini memerlukan revisirevisi agar gagasan pemindahan ibukota bukan saja memiliki dukungan finansial, infrastruktur dan kebutuhan materiil lainnya namun juga perangkat peraturan perundang-undangan yang memadai sehingga penyelenggaraan dapat memenuhi tata Kelola yang baik dan konstitusionalitasnya lebih terjaga. 157 Problematika Regulasi UU Ibu Kota Negara: Memastikan Demokrasi ... DAFTAR PUSTAKA Fadillah, N. (2022). Penerapan Asas Keterbukaan Dalam Pembentukan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja Dan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara. Lex Renaissance, 7(2), 243-264. Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni,. (2020). Model Pengaturan Kedaruratan Dan Pilihan Kedaruratan Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(2), 423-446. Fitra Arsil, Qurrata Ayuni & Ariesy Tri Mauleny (2022) The disappearance of the ‘legislative model': Indonesian parliament's experience in response to Covid-19, The Journal of Legislative Studies, DOI: 10.1080/13572334.2022.2067948 Kementerian PPN/ Bappenas. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara. https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/PANSUSRJ-20211214-125732-5084.pdf (diakses 16 Desember 2022) Laporan Pansus DPR RI Dalam Rangka Pembicaran Tingkat II/Pengambilan Keputusan Hasil Pembahasan RUU IKN bertanggal 18 Januari 2022 https://www.dpr.go.id/ doksetjen/dokumen/persipar-Laporan-PansusTimPanjaRapat-Paripurna-DPR-RI-Ke-13-Masa-Persidangan-IIITahun-Sidang-2021-2022-1643444903.pdf hlm (diakses 9 Agustus 2022) Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 92/PUU/ XIV/2016 telah memberikan argumentasi mengenai lemahnya kepastian hukum dan tidak mengikatnya sebuah forum konsultasi . Rekam jejak pembahasan RUU IKN di DPR di https://www.dpr. go.id/uu/detail/id/368 (diakses 28 Januari 2022) Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lampiran 211: “Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang158 Fitra Arsil Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara khususnya Pasal 5 ayat (4), Pasal 7 ayat (5) huruf a, Pasal 9 ayat (1), Pasal 12 ayat (3), dan Pasal 13 ayat (3). 159