A. PENDAHULUAN
Di Nusantara banyak kita temukan kejadian- kejadian yang sangat kental akan peribadatannya. Peribadatan tersebut adalah hasil dari kebudayaan turun-menurun yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Kemudian masuklah agama-agama ke Indonesia melalui jalur perdagangan, pernikahan, dll. Agama dan kebudayaan yang sudah lama menjadi satu karena nenek moyang tidak ingin meninggalkan kebudayaan karena datangnya agama. Karena, budayalah yang lebih dulu ada dan agama datang melengkapinya.
Maka, muncullah beberapa fenomena yang tidak lazim dan dianggap baru oleh masyarakat Indonesia. Fenomenologi ini adalah hasil dari perpaduan antara agama dan kebudayaan bangsa Indonesia. Sebagai wujud kecintaan bangsa Indonesia akan kebudayaannya tanpa melepaskan kepercayaan mereka (agama). Karena mereka sangat menjunjung tinggi agama dan kebudayaan. Bagaimanakah fenomenologi ini? Apakah wujud dan subtansinya?
B. PEMBAHASAN
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu phainomenon yang berarti gejala, dan logos yang berarti refleksi atau ilmu. Fenomenologi bisa dimaknai ilmu tentang gejala. Secara istilah fenomenologi adalah studi tentang cara-cara sebuah gejala mewujudkan dirinya sendiri.
Teks aslinya berbunyi “The study of the ways in which appearance manifest themselves”. Lihat John Bowker, The Oxford Dictionary of World Religions (New York: Oxford University Press, 1997), hlm. 748.
Adapun fenomenologi agama adalah studi tentang pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
Mariasusai Dhavanomy, Fenomenologi Agama terj. A. Sudiarja dkk. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 7. Fenomenologi agama juga berarti ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala dalam agama agar bisa dipahami arti agama tersebut menurut penganutnya.
Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), edisi ke-2, hlm. 159. Dalam pengertian ini, fenomenologi agama adalah studi yang mempelajari praktek keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama agar bisa diketahui arti agama menurut penganut agama tersebut.
The Encyclopedia of Religion (New York: Mcmillan, 1993), hlm. 276.
Dalam pengkajian Islam, fenomena-fenomena pemikiran masa lampau yang muncul dari interpretasi terhadap teks dianalisa ulang melalui dua langkah; pertama, meruntut kembali munculnya fenomena interpretatif–antitesa ‘peradaban ideal’ Muhammad Arkoun- sebagai konstitusi (al-Takwîn) yang menjelaskan kemunculan suatu gagasan dan perkembangannya; kedua, merujuk sebuah fenomena terhadap teks dasar sebagai ‘pemudaran’ keterpengaruhan lingkungan atau peradaban lain agar sesuai dengan konteks kekinian.
Dalam istilah Hassan Hanafi, langkah ini dinamakan Tahlîl al-Khubrât. Karena bagaimanapun, tradisi adalah sesuatu yang ditransformasikan kepada kita, kemudian ia dipahamkan, sekaligus menjadi tuntutan kehidupan kita. Pada tahap transformasi, tradisi memberikan “kesadaran historis”; pada tingkat pemahaman, tradisi bermetamorfosa menjadi “kesadaran eidetis”; sedang pada tataran tuntutan kehidupan, tradisi menjadi “kesadaran praksis”. Meruntut fenomena masa lampau sebagai sebuah interpretasi terhadap ‘teks’ mengharuskan pula merombak tatanan disiplin keilmuan Islam. Dengan demikian, ashâlah di sini berperan menyibak realitas sesungguhnya, karena pada dasarnya ashâlah bukanlah tujuan utama, melainkan hanya perantara.
Hasan Hanafi, Islamologi 2: Dari Rasionalisme ke Empirisme (Yogyakarta; LKiS), hlm. 247-249.
1.SEJARAH JEMBULAN DAN PELAKSANAANYA
Di daerah saya, ada salah satu bentuk fenomenologi agama yang disebut dengan “jembulan”. Tradisi ini telah ada sebelum masa penjajahan Belanda dan dilakukan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun. Jembulan adalah upacara peribadatan wujud dari kesyukuran kepada Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan berkah dan rezeki yang dilakukan oleh para petani. Hal ini sebagai wujud syukur oleh para petani sehingga mereka dapat menghasilkan hasil panen yang melimpah.
Selain untuk rasa syukur, upacara ini juga sebagai wujud permintaan do’a agar di massa panen mendatang Yang Maha Kuasa melimpahkan panen yang banyak dan tidak ada hama yang menyerang sawah mereka.
Upacara ini dilakukan seusai shalat jum’at berjama’ah di salah satu masjid agung di suatu daerah. Kemudian, masyarakat datang berbondong-bondong dengan membawa hasil bumi dan makanan berupa beras, nasi, kerupuk nasi/ketan, ingkung, sate ayam, lemper, iwel-iwel, tahu, tempe,dll. Yang merupakan makanan pokok ataupun lauk-pauk sehari-hari.
Di tengah lapangan ada sebuah tiang yang terbuat dari batang pisang yang telah dihias dengan janur kuning dan diisi makanan-makanan yang telah disebutkan diatas. Semua disusun secara berurutan dan rapi lalu ditutupi dengan daun pisang. Kemudian, perangkap desa atau yang biasanya dipanggil juru kunci memulai acara dengan memberikan petuah-petuah. Petuah tersebut berisi supaya para petani bersyukur kepada Yng Maha Kuasa karena telah melimpahkan rezeki dan berkah atas hasil panen mereka yang melimpah ruah.
Dalam kegiatan jembulam, beberapa perlengkapan yang digunakan cukup banyak. Mulai dari makanan sampai pada peralatan kegiatan. Makanan yang disiapkan selain dibawa oleh masing-masing orang yang mengikuti jembulan. Juga disiapkan makanan yang diletakkan di sebuah gunungan. Dibuat gunungan dengan berbagai tingkat. Pada bagian atas diletakkan buah dan makanan pasar seperti jadah, wajik, pisang, dan roti yang ditusuk dengan lidi yang ditancapkan pada batang pisang. Pada bagian bawah diletakkan makanan seperi nasi dan ayam.
Jembulan di Desa Gebang berbeda dengan jembulan di daerah lain. Jembulan di daerah lain biasanya dilakukan dengan menyiapkan makanan tumpeng dan do’a bersama. Namun, jembulan di Desa Gebang disiapkan makanan dan perlu disiapkan juga gapura. Menariknya dari kegiatan ini adalah saat berebut makanan dan saat perobohan gapura.
Siti Nurul Khotimah, Foklor Tentang Tradisi Jembulan di Desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen, (UMS Surakarta, 2013).
Kegiatan jembulan perlu dipersiapkan dua buah gapura yang diberi jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Gapura dengan bentuk sederhana ini dibuat dari batang pisang yang dilengkapi janur yang mengitarinya. Setelah pemimpin doa selesai memanjatkan doa gapura ini kemudian dirobohkan bersama. Masyarakat mempercayai bahwa arah jatuhnya gapura ini akan menjadi petunjuk sawah sebagian sebelah mana yang akan tumbuh subur pada masa tanam berikutnya. Misalnya jika gapura jatuh kearah barat, maka sawah bagian barat dari Goa akan mengalami kesuburan.
Tak lupa, do’apun dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa yang dipimpin oleh pak moden (juru kunci). Do’a ini berisi agar masyarakat setempat tidak angkuh, sombong, pelit dan serakah atas apa yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Bahasa dalam mantara kejawen adalah bahasa Jawa. Pembacaan mantra kejawen pada tradisi jembulan di desa puro dilakukan oleh warga setelah pembacaan do’a yang dibacakan oleh Bapak Modin. Mantra kejawen tersebut merupakan sebuah do’a namun, dalam bentuk bahasa jawa. Wujud mantra kejawen tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
“ Bismillahirrokhmaaniirokhim…
Sukmo Uke adi luweh….2x
Wetono sukmo emban nyowo
Allah kang Moho Sugih kulo nyiwun rejekinipun sae
Allah kang Moho luhur kulo nyuwun luhur
Jabrail, Mikail, Isrofil, Jagane lawang insune
Salalloh Lintang Agembar dadi kalpikane jagad
Mengku isine buwono kabeh soko kersaning gustiAllah…100x”.
Wawancara dengan bapak Samin lewat telepon, 06 September 2017
Gua untuk pelaksanaan jembulan awalnnya adalah tempat yang digunakan untuk bersembunyi pada saat penjajahan belanda. Jaman dahulu tempat itu juga digunakan untuk bertapa agar mendapat ilmu kekebalan. Dulu tempat itu dianggap keramat. Kalau wanita tidak segera mendapat jodoh. Tetapi untu saat ini hal itu sudah tidak berlaku dan hanya digunakan untuk kegiatan syukuran saja.
Jaman dahulu kegiatan jembulan masih dianggap menyembah roh dan jin. Jembulan pada zaman dahulu dianggap sakral, penuh mistik dan berbau syirik. Namun, jembulan yang saat ini tidak lagi berbau syirik karena adanya pengaruh agama, sehingga jembulan saat ini merupakan wujud syukur terhadap hasil panen Jembulan ini mengalami beberapa perubahan pelaksanaan.
Kegiatan kemasyarakatan tidak bisa terlepas dari aspek sosial. Apalagi untuk kegiatan kemasyarakatan di pedesaan. Sudah melekat dan menjadi kebiasaan bahwa kegiatan kemasyarakatan di desa identik dengan gotong royong dan penuh dengan rasa kebersamaan. Disadari atau tidak kebersamaan itulah yang menjadi kekuatan utama bagi masayarakat.
Siti Nurul Khotimah, Foklor Tentang Tradisi Jembulan di Desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen, (UMS Surakarta, 2013).
2. TUJUAN JEMBULAN
Pada kegiatan jembulan, banyak sekali hal-hal yang memberikan manfaat sosial. Jembulan bukanlah acara yang dilakukan ketika hari pelaksanaannya saja. Tentu sebelum hari pelaksanaan diperlukan persiapan-persiapan. Seperti membuat gapura, membersihkan lokasi mbah gua dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri kegiatan tersebut memberikan rasa gotong royong dan kebersamaan yang kuat. Masyarakat desa yang mayoritas bermata pencaharian petani, memiliki waktu luang cukup banyak. Dengan tersediannya waktu luang tersebut akan memudahkan untuk mengkoordinasikan warga untuk melakukan persiapan jembulan secara bersama-sama. Kegiatan seperti ini tentu akan semakin meningkatkan rasa kebersamaan warga dalam masyarakat.
Nilai moral yang terdapat dalam kegiatan ini adalah adanya bentuk penghormatan terhadap peninggalan nenek moyang. Walaupun pada zaman dahulu bentuk kegiatannya tidak seperti saat ini. Seiring perkembangan zaman kegiatan jembulan mengalami perubahan baik dari bentuk kegiatan, doa yang dipanjatkan dan tujuan yang diharapkan dari kegiatan ini. Tetapi nilai menghormati warisan budaya perlu dipupuk dan dikembangkan agar di masa depan hal seperti itu tidak hilang diterjang peradapan yang semakin maju.
Salah satu nilai yang dapat diambil adalah nilai kebersamaan dan kegotong-royongan. Dari hal itu memberikan pendidikan kepada generasi muda dan penerus yang mulai terkikis akan semangat kebersamaan oleh budaya individualisme. Sehingga untuk masa mendatang budaya gotong-royong yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia tidak akan luntur termakan usia.
Pada kegiatan jembulan, banyak warga yang mengikuti acara tersebut. Tidak hanya orang tua maupun dewasa, tetapi banyak juga anak kecil yang ikut menyaksikan acara tersebut. Selain itu, kegiatan jembulan juga berlangsung cukup lama. Hal itu mendatangkan peluang bagi para pedagang makanan untuk berdatangan menjual dagangannya. Penjual makanan tersebut pada umumnya adalah penjual somai, minuman ringan dan jajanan kecil. Tentu yang menjadi target penjual adalah anak kecil yang berada dilokasi jembulan.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan respon masyarakat tentang kegiatan jembulan seperti telah diungkapkan dimuka, maka dapat diambil kesimpulan antara lain: Masyarakat yang ikut acara jembulan hanya ikut adat istiadat, sebagai tradisi dan sebagai ajang untuk bersilaturahmi. Acara jembulan ada yang menganggap bahwa acara jembulan itu penting dan ada juga yang mengatakan bahwa acara jembulan itu kurang penting. Sesajen itu perlu disediakan tetapi ada juga yang tidak perlu disediakan, sebab dapat menjurus dalam kemusrikan. Pelestarian jembulan sangat perlu dilaksanakan, sebab merupakan tradisi dan warisan nenek moyang. Makanan yang dibawa pada saat acara jembulan adalah semua makanan, khususnya jajanan (makanan pasar). Makna hakikat jembulan adalah sebagai ajang silaturahmi dan mengucapakan puji syukur atas apa yang telah diberiakn oleh Tuhan lewat alam.
DAFTAR PUSTAKA
Bowker, John, The Oxford Dictionary of World Religions, (New York: Oxford University Press, 1997).
Dhavanomy, Mariasusai, Fenomenologi Agama terj. A. Sudiarja dkk. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001).
Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001).
Hanafi, Hasan, Islamologi 2: Dari Rasionalisme ke Empirisme, (Yogyakarta; LKiS).
Khotimah, Siti Nurul, Foklor Tentang Tradisi Jembulan di Desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen, (UMS Surakarta, 2013).
The Encyclopedia of Religion, (New York: Mcmillan, 1993).
Wawancara dengan bapak Samin lewat telepon, 06 September 2017.
8