Academia.eduAcademia.edu

CARLO POLA KEHIDUPAN SEKSUAL PADA MASYARAKAT PERKOTAAN TSK

Tulisan ini akan membahas tentang pola-pola kehidupan seksual yang terjadi pada masyarakat perkotaan. Dimana dari segala jenis kegiataan diperkotaan ini dapat terbentuk berbagai macam pola kehidupan seksual, mulai dari pelacuran, eksploitasi tubuh perempuan, sampai dengan disorientasi seksual. Penulis melihat, perkotaan dengan segala kesibukannya entah disengaja atau tidak disengaja telah membentuk pola-pola tersebut, menjadikan masyarakat perkotaan sebagai pelaku utama dalam setiap pola -pola kehidupan seksualnya. Dengan demikian, masyarakat menjadi motor penggerak dari semua pola -pola kehidupan seksual di perkotaan.

“ POLA KEHIDUPAN SEKSUAL PADA MASYARAKAT PERKOTAAN ” DISUSUN UNTUK MEMENUHI UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH : TEORI SOSIOLOGI KRITIS OLEH: CARLO SETIA WIBOWO (4825126998) SOSIOLOGI PEMBANGUNAN NOR REGULER 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA Pola Kehidupan Seksual Pada Masyarakat Perkotaan oleh Carlo Setia Wibowo ABSTRAK Tulisan ini akan membahas tentang pola-pola kehidupan seksual yang terjadi pada masyarakat perkotaan. Dimana dari segala jenis kegiataan diperkotaan ini dapat terbentuk berbagai macam pola kehidupan seksual, mulai dari pelacuran, eksploitasi tubuh perempuan, sampai dengan disorientasi seksual. Penulis melihat, perkotaan dengan segala kesibukannya entah disengaja atau tidak disengaja telah membentuk pola-pola tersebut, menjadikan masyarakat perkotaan sebagai pelaku utama dalam setiap pola – pola kehidupan seksualnya. Dengan demikian, masyarakat menjadi motor penggerak dari semua pola –pola kehidupan seksual di perkotaan. LATAR BELAKANG Dewasa Ini, masyarakat perkotaan dirasa semakin candu akan kehidupan seksualnya. Dimana semakin banyaknya pola – pola kehidupan seksual yang terbentuk di tengah – tengah masyarakat perkotaan yang menjadi bukti bahwa seolah - olah kehidupan seksual merupakan kebutuhan bagi masyarakat perkotaan. Seks pada dasarnya merupakan dorongan naluri alamiah tentang kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari jenis kelamin yang membedakan antara pria dan wanita. Dan ketika pria dan wanita in bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan hasrat birahi pihak lain. Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks. Berangkat dari hal inilah, perilaku seks mengalami banyak sekali pola – pola yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat perkotaan. Mulai dari maraknya iklan –iklan di masyarakat yang menjadi tubuh perempuan sebagai objek seksual, lalu terciptanya bisnis pelacuran, dimana transaksi yang memperdagangkan tubuh seseorang guna memuasakan nafsu seksual orang lain, sampai dengan terciptanya disorientasi seksual, dimana para pelaku seks melakukan kegiatan seksual yang tidak wajar atau tidak biasa yang disebabkan oleh dorongan naluri seks secara subjektif yang mengakibatkan penyimpangan seks di luar batas hak –hak kehormatan dan tata susila kemanusiaan. Dalam iklan – iklan di majalah, tubuh perempuan masih dijadikan objek seksual. Hal ini terlihat dari iklan mobil yang menggunakan model perempuan bertubuh seksi. Yuanita Aprilandini Siregar dan Anggoro Yudho Mahendro, Volume 5/nomor 1/Juni 2011, Komunitas Jurnal Sosiologi (Pencitraan Perempuan di Majalah: Konstruksi Identitas Perempuan Kelas Menengah di Perkotaan), hlm.2 Maraknya iklan – iklan yang menonjolkan sisi seksualitas seseorang mengakibatkan makin tingginya tingkat birahi seseorang dalam urusan seks, menjadikan kehidupan seksual sebagai sesuatu yang dicari/diburu untuk sekedar memuaskan birahi seksualnya semata. Di lain pihak, bisnis pelacuran tumbuh subur dengan permasalahan tadi sebagai penopangnya. Bisnis pelacuran muncul sebagai alternatif bagi para mereka yang ingin melampiaskan nafsu birahinya, dengan hanya mengeluarkan beberapa lembar rupiah, mereka sudah mendapatkan tubuh orang lain sebagai pemuas nafsu mereka. Namun di lain sisi, semakin mudahnya orang melakukan hubungan seksual, dan dengan adanya pengaruh – pengaruh dari luar, menjadikan objek seksual tidak dapat lagi menahan dorongan seksual yang ada, sehingga munculah permasalahan baru, disorientasi seksual. Disorientasi yang dimaksud adalah penyimpangan – penyimpangan yang dilakukan saat sedang melakukan kegiatan seksual. Hal tersebut dilakukan karena ketidakpuasan seseorang pada objek seksual yang biasanya, sehingga timbul keinginan untuk melakukan perilaku seks yang berbeda atau berada di luar kebiasaan. Permasalahan – permasalahan ini seolah membuat pola – pola kehidupan seksual di masyarakat mempunyai keterikatan sendiri, dimana pola – pola tersebut terangkai menjadi satu rangkaian kehidupan di perkotaan ini. Di awali dengan masyarakat perkotaan yang mulai candu dengan kehidupan seksual, yang mengakibatkan berbagai macam cara muncul untuk memenuhi kebutuhan seksual, hingga terciptanya penyimpangan – penyimpangan seksual akibat dari kurang puasnya pelaku seks pada objek seksual yang biasanya. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk membahas pola - pola kehidupan seksual yang terjadi pada masyarakat perkotaan serta mencoba menarik benang merah yang menjadi penghubung antar pola – pola tersebut. Sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pola – pola yang ada masyarakat merupakan suatu rantai yang saling terhubung antara satu dengan yang lainnya yang juga saling mempengaruhi satu sama lain. POLA – POLA KEHIDUPAN SEKSUAL Seperti sudah disinggung diatas, dalam tulisan ini akan dibahas tiga bahasan tentang pola – pola kehidupan seksual di masyarakat perkotaan. Mulai dari (a) tubuh wanita sebagai objek seksual, (b) bisnis pelacuran sebagai jalan pintas pemuas nafsu, sampai (c) munculnya penyimpangan seksual pada masyarakat. TUBUH WANITA SEBAGAI OBJEK SEKSUAL Wanita merupakan kata lain yang diberikan selain kata laki-laki, dimana penyebutan ini bertujuan pada pengelompokan jenis manusia berdasarkan bentuk atau anatomi tubuh. Dimana pada dasarnya manusia memiliki bentuk tubuh dan bagian – bagian yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan antara wanita dan laki – laki secara fisik pada umumnya dapat dilihat oleh mata telanjang dimana para wanita memiliki organ vital yang berbeda dengan laki – laki. Wanita juga memiliki bentuk dan ukuran dada yang berbeda dengan laki – laki, atau yang biasa kita sebut payudara, serta mempunyai bentuk pinggul yang berbeda. Hal ini yang membuat wanita dapat lebih mudah dikenali melalui bentuk tubuh mereka. Bila kita lihat dari pendapat Freud, dimana dia menyatakan bahwa penis sebagai sebuah symbol “utuh” dari sisi biologis, dan pembeda antara perempuan dan laki – laki. Yang menyimpulkan bahwa siapa yang memiliki penis adalah laki – laki, dan yang tidak memiliki atau mendambakan penis itu sendiri adalah bukan laki - laki Berangkat dari hal ini, seiring dengan perkembangan zaman wanita seolah di eksploitasi dari segala sisi, salah satunya wanita dijadikan objek seksualitas. Wanita dijadikan objek seksualitas ketika maraknya iklan – iklan media yang menggunakan wanita sebagai modelnya, yang juga menonjolkan bagian – bagian tubuh tertentu. Di saat wanita menggunakan pakaian yang ketat atau seolah – olah menonjolkan bagian tubuhnya tertentu, mengakibatkan masyarakat sekitar meliriknya dan secara tak sadar merangsang pemikiran mereka untuk berpikiran secara seksual yang tentunya menjadikan wanita sebagai objek seksualnya. Beberapa tema yang manjadi ciri teorisasi ketimpangan gender oleh feminis. Pertama, laki – laki dan perempuan memiliki kedudukan yang tidak hanya berbeda, namun juga timpang, di tengah – tengah masyarakat. Secara spesifik, perempuan memperoleh lebih sedikit sumber daya materi, status sosial, kekuasaan, dan peluang bagi aktualisasi-diri ketimbang laki – lakiyang berbagi lokasi sosial dengan mereka, apakah dalam lokasi yang didasarkan atas kelas, ras, pekerjaan, etnisitas, agama, pendidikan, nasionalitas, atu titik temu factor – factor tersebut. Kedua, ketimpangan ini berasal dari pengorganisasian masyarakat, bukan dari perbedaan biologis atau kepribadian signifikan antara laki – laki dan perempuan. George Ritzer dan Douglas J.Goodman, 2011, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern, Penerjemah Nurhadi (Yogyakarta:Kreasi Wacana Offset) hlm. 498. Dalam hal ini dapat dikatakan ada sosok yang mendominasi, bila menurut Freud yang mendominasi adalah laki – laki dengan penisnya, Lacan berbeda dalam menafsirkannya. Lacan dengan konsep “phallus” nya dimana phallus yang dimaksud bukan hanya penis pada laki - laki tapi juga bisa terdapat pada wanita melalui payudara, vagina, atau klitoris. Phallus disini dimaksudkan sebagai keterbutuhan atas kekurangan individu terhadap sesuatu yang dianggapnya sebagai kelebihan. Phallus is what no one can have but everyone wants: a belief in bodily unity wholeness perfect. Pemaparan Robertus Robet dalam presentasinya tentang Lacan di acara Komunitas Salihara. Dengan demikian, menurut Lacan, dominasi terletak pada “phallus” itu sendiri, entah perempuan atau laki – laki tergantung dari bagaimana pandangan terhadap mereka tentang phallus itu sendiri. Misal ketika wanita meliaht penis sebagai suatu kelebihan pada laki –laki, dan mendambakan penis terssebut, maka kekuasaan terletak pada laki – laki sebagai pemilik penis itu tadi. Namun pada saat ini, semakin dominannya tubuh wanita sebagai objek seksualitas dikarenakan tubuhnya yang memang indah dan mudah untuk diikmati, baik perempuan maupun laki – laki. Menurut sepengamatan penulis, wanita normal pun biasanya dapat memuji tubuh wanita lain yang dianggapnya lebih bagus darinya, namun jarang atau bahkan belum pernah penulis mendengar seorang laki – laki memuji tubuh lelaki lain, kalopun ada mungkin penulis akan menganggapnya kelainan Setidaknya itu sedikit pemikiran nyeleneh penulis terhadap pandangan antar sesama jenis, tapi meskipun demikian penulis tetap menganggap pada saat ini tubuh wanita lah yang menjadi objek seksualitas di seluruh ruang sisi masyarakat perkotaan, atau bahkan sampai ke pelosok – pelosok. Intinya perempuan masih menjadi simbol seksualitas pada masyarakat perkotaaan. BISNIS PELACURAN SEBAGAI JALAN PINTAS PEMUAS NAFSU Semakin tingginya keinginan masyarakat terhadap kepuasan secara seksual diiringi keterbatasan bila mengikuti adat dan norma yang berlaku, yaitu dengan cara menikah. Hal ini membuat masyarakat mencari cara lain atau jalan pintas guna memenuhi kebutuhan seksualnya. Melihat ada peluang bisnis di tengah – tengah kebutuhan masyarakat akan kebutuhan seksualnya, para oknum – oknum hadir dengan menawarkan jalan pintas. Bisnis esek – esek pun muncul, bisnis pelacuran yang memperdagangkan seseorang demi memuaskan hasrat seksual para pelanggan. Tidak hanya para oknum – oknum yang membuat “pasar” itu muncul serta kebutuhan dari masyarakat, namun juga adanya tataran kebijakan yang mempengaruhi perkembangan bisnis pelacuran ini. Entah di sengaja atau tidak media massa dan kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh pemerintah membantu menyuburkan bisnis esek – esek ini. Kebijakan penutupan lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta pada tahun 1999 yang ternyata justru menyebabkan industri seks tumbuh subur serta liar di berbagai sudut kota ini. Zainal Fatoni, Vol. IV no. 1, 2009, Jurnal Kependudukan Indonesia (Resensi buku: Kearifan Pelacur: kisah gelap di balik bisnis seks dan narkoba), hlm. 92-93. Hal tersebut memperkuat pernyataan tadi, kebijakan seolah membantu perkembangan industri seks. Mungkin yang menjadi permasalahan adalah ketika pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan, pemerintah seolah lupa memahami dampak yang tercipta dari dikeluarkannya kebijakan tersebut. Dimana di dalam masyarakat selalu muncul sifat ingin mencari jalan pintas ketika jalan utama telah di tutup, dan biasanya jalan pintas ini dapat lebih liar dalam penggunaanya dibanding dengan jalan utama tadi. Pengekangan akan kehidupan seksual di masyarakat membuat masyarakat semakin ingin tahu dan mencari – cari celah untuk mendapatkan segala pengetahuan kehidupan seksual itu, hal – hal di atas dimana dapat kita temui berbagai pola kehidupan seskual yang diakibatkan oleh berbagai hal sehingga seks yang tadinya dianggap tabu pada masa sebelumnya, sekarang menjadi ruang komoditas yang mengutamakan keuntungan bagi para pemilik modal dan kepuasaan bagi para pembeli, penikmat dan sebagainya. Kapitalisme dengan bantuan media massa tampaknya telah berhasil menempatkan seks menjadi barang komoditi dalam masyarakat postmodern yang sedang dirasuki budaya informasi dan konsumsi. Seksualitas manusia yang selama ini di yakini sebagai suatu yang privat telah berubah menjadi sebuah dagangan publik. Setiap orang seolah – olah diberi kebebasan dalam memaknai arti seks dan seksualitas dirinya berdasarkan aneka tawaran yang disajikan, yang dapat berupa iklan atau bahkan industri seks itu sendiri. Dalam perkembangan industri seks tersebut, industri seks memiliki mekanisme tersendiri. Dalam setiap segmen pasar, industri seks memiliki cara – cara yang berbeda dalam mengiklankan berbagai macam hal yang ingin dijual, terjadi perbedaan dalam hal penjualan film porno, majalah porno, dan yang ingin kita bahas adalah pelacuran. Bisnis pelacuran memiliki berbagai macam cara dalam hal menjajakan barang dagangannya, dimana para tuna susila ini berusaha mengiklankan diri mereka sendiri di pinggir jalan (dalam hal ini bisnis pelacuran di pinggir jalan) kepada setiap orang yang lewat di depan mereka. Mereka seolah- olah berlomba untuk mendapatkan para pelanggan yang telah berhasil mereka pincut melalui proses pengiklanan tadi. Jenis pelacuran jalanan umumnya memiliki karakteristik tertentu untuk mencari pelanggan. Sepengamatan peneliti ketika observasi di lapangan, para pelacur jalanan untukk mencari pelanggan mereka harus memanggil dan merayu para pengendara sepeda motor laki – laki. Biasanya mereka berdiri bergerombol dalam jumlah 3 atau 4 ketika mendatangi calon pelanggan yang berhenti untuk melihat –lihat dan melakukan proses tawar - menawar. Dwi Utami Setyorini, 2009, Jaringan Sosial Pelacur Jalanan, (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta), hlm. 58. Segala sesuatu yang terbentuk dalam pelacuran ini diakibatkan dari berbagai tekanan yang dirasakan baik oleh para pelacur atau para pelanggan pelacuran itu sendiri. Dimana para pelacur didorong oleh permasalahan finansial atau bahkan dorongan seksual yang tinggi dan dari sisi pelanggan dimana didorong oleh keinginan seksual yang tinggi yang tidak disertai dengan fasilitas yang memadai sehingga lebih memilih pelacuran sebagai jalan pintas. MUNCULNYA PENYIMPANGAN SEKSUAL DI MASYARAKAT Seiring dengan semakin mudahnya masyarakat mengakses berbagai hal tentang urusan seks membuat masyarakat sendiri semakin sering melakukan kegiatan seksual baik dalam hal berimajinasi ataupun sampai pada tahap berhubungan intim, semakin sering melakukannya membuat masyarakat seolah merasa bosan dengan kegiatan yang itu – itu saja sehingga dapat menimbulkan penyimpangan seksual guna memenuhi keinginan seksualnya yang semakin liar. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, seperti meniru cara hewan dalam melakukan hubungan intim atau menyelipkan kekerasan di dalam melakukan hubungan seksual itu sendiri yang menimbulkan sensasi baru, sehingga menciptakan kepribadian baru. Menurut Teori Psikonalisa Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari tiga elemen. Ketiga unsure kepribadian itu dikenal sebagai id, ego, dan superego yang bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks. Id Satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energy psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan. Ego Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik dipikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego akhirnya memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat. Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, dimana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id. SuperEgo Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah SuperEgo. SuperEgo adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua kita dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. SuperEgo memberikan pedoman untuk membuat nilai. Psikonalisa Sigmun Freud. 2002. Terjemahan Ira Puspitorini. Yogyakarta: Ikon Teralita. Bila kita mencoba mengkaitkan fenomena penyimpangan seks ini dengan pandangan masokisme sa·do, -- masokis : dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti berkenaan dng sifat menyakiti pasangan sebelum melakukan hubungan seks-nya Freud, dimana masokisme merupakan suatu kenikmatan seksual yang didapatkan setelah seseorang mendapatkan siksaan atau penderitan melalui penyiksaan melalui fisik maupun mental yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun pasangannya. Tindakan masokisme ini dapat berupa berbagai hal, mulai dari yang paling tidak berbahaya sampai dengan yang paling bahaya. Yang tidak bahaya dapat berupa gigitan, tamparan, makian, hinaan, atau hanya sekedar terus berbicara kotor kepada pasangannya, sampai yang paling bahaya dapat berupa penyiksaan yang berlebihan seperti memukul, memecut, menggunakan benda tumpul dalam membrikan pukulan, sampai pada tahap mutilasi. Hal ini dapat dikatakan suatu kelainan seksual dimana biasanya timbul dikarenakan ketidakpuasan seseorang dengan kegiatan seksual yang konvensional dan juga disebabkan oleh fantasi liar yang dia miliki yang dirangsang juga dengan berbagai aktifitas di sekitarnya, yang menyebabkan tindakan masokisme ini menjadi perilaku seseorang tersebut. Tindakan masokisme ini pun sekarang sudah makin banyak dilakukan oleh masyarakat perkotaan, dimana masyarakat pun sudah tidak canggung lagi mempraktekan fantasi liar mereka, entah kepada pasangan hidup mereka atau mereka dengan sengaja menyewa pelacur guna memvisualisasikan fantasi liar mereka. Masyarakat perkotaan juga mendapat pengaruh dari film porno, dimana bagi mereka yang sudah addict kecanduan akan seks mereka akan sering mengakses situs porno, dan dalam situs tersebut terselip kategori BDSM Bondage and discipline, sadism and masochism dimana video nya berisikan tentang seks dengan kekerasan. Hal ini menyebabkan siapa pun yang melihat menjadi ingin tahu dan ingin mencoba apa yang mereka lihhat dalam video, dan juga merangsang pemikiran mereka yang mungkin saja lebih liar daripada apa yang mereka saksikan dalam video. Jadi pada intinya tindakan yang menyimpang dalam urusan seks sudah mulai masuk ke sendi – sendi perkotaan, dimana nilai – nilai penyimpangan ini sudah dianggap hal yang lumrah oleh beberapa kalangan, bahkan telah sampai pada tahap menikmati secara bersama – sama tindakan tersebut, yang membuat masokisme sendiri terus berkembang di tengah –tengah masyarakat perkotaan. KESIMPULAN Masyarakat perkotaan dengan segala kesibukan masing – masing tak bisa memungkiri, bahwa kehidupan seksual adalah sebuah kebutuhan rohani. Masyarakat dengan dorongan hawa nafsunya, ditambah lagi dengan peran kapitalisme yang menggunakan media massa sebagai sarana penyampaian berbagai hal yang berbau seks, semisal menggunakan tubuh wanita dalam setiap iklan memancing hawa nafsu masyarakat menjadi semakin berlebih. Setelah itu muncul lagi para kaum pemilik modal dengan berbagai sarana pemuas seks, seperti situs porno, majaalah porno, sampai tempat prostitusi sebagai jalan pintas bagi mereka yang sudah tinggi nafsunya namun tidak dapat menemukan pemuas nafsu tersebut. Sampai akhirnya, ketika perilaku seks sudah terlalu jamak bagi mereka, timbul kebosanan akan segala rutinitas yang biasanya. Disaat seperti ini, fantasi liar muncul, dan ditambah dengan kebosanan yang mendasari mereka, maka munculah penyimpangan seksual, dimana perilaku seksual yang mereka lakukan berada pada luar batas kebiasaan, yang merujuk pada hal – hal yang menyakitkan yang justru menjadi sebuah kenikmatan baru yang mereka rasakan dari hal – hal yang menyakitkan tadi. Jadi, semua itu telah membentuk sebuah pola dalam masyarakat perkotaan. Kehidupan seksual di perkotaan saling terhubung antar satu sama lain, membuat sebuah pola dimana saling terkait antar satu sama lain, menjadi bagian dari semua kesibukan yang ada pada masyarakat perkotaan. Daftar Pustaka Siregar, Yuanita Aprilandini dan Anggoro Yudho Mahendro, Volume 5/nomor 1/Juni 2011, Komunitas Jurnal Sosiologi (Pencitraan Perempuan di Majalah: Konstruksi Identitas Perempuan Kelas Menengah di Perkotaan), (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta). Ritzer, George dan Douglas J.Goodman, 2011, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern, Penerjemah Nurhadi (Yogyakarta:Kreasi Wacana Offset). Fatoni, Zainal, Vol. IV no. 1, 2009, Jurnal Kependudukan Indonesia (Resensi buku: Kearifan Pelacur: kisah gelap di balik bisnis seks dan narkoba), (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta). Setyorini, Dwi Utami, 2009, Jaringan Sosial Pelacur Jalanan, (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta). Video presentasi Robertus Robet tentang Lacan dalam acara yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara Dinas Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka). Foucault, Michel dan Jeremy R. Carrette, 2011, Agama, Seksualitas, Kebudayaan. Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault, penerjemah Indi Aunullah (Yogyakarta: Percetakan Jalasutra). Psikonalisa Sigmun Freud. 2002. Terjemahan Ira Puspitorini. Yogyakarta: Ikon Teralita. 13