AL IRSYAD
Jurnal Studi Islam
Volume 1 No. 2, September 2022
e-ISSN: 2961-9025
https://jurnal.staithawalib.ac.id/index.php/alirsyad/article/view/94
DOI: https://doi.org/10.54150/ alirsyad.v1i2.94
PENDEKATAN MISTISISME DALAM PENGKAJIAN ISLAM
Abdul Hadi Lubis
Sekolah Tinggi Agama Islam Rokan
[email protected]
Article Info
Kata Kunci:
1; Mistisme,
2; Pengajian
Islam
Abstrak
Mistisisme sebagai sebuah pendekatan mencoba untuk melihat Islam dari sisi
pengalaman spiritual seorang salik. Pengalaman spiritual tersebut berupa perjumpaan
dan penyingkapan yang dialami oleh seorang makhluk terhadap sang Khalik. Untuk
mencapai maqam tersebut, seorang salik harus melalai beberapa tahapan-tahapan
penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) terlebih dahulu. Tahapan-yahapan tersebut telah
dirumuskan oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan tasawuf.
Metode yang dipakai kualitatif dengan pendekatan library research, mengkaji
referensi-referensi terkait. Hasilnya sejarah perkembangan mistisisme dapat dibagi
menjadi beberapa periode, yaitu: Periode pada Abad I dan II H, periode abad III dan
IV H, periode abad V H, periode abad VI H, periode abad VII H, periode abad VIII
H, dan periode abad IX dan X serta sesudahnya. Kedua, maqamat dalam tasawuf
antara lain: al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faraq,al-tawadlu,al-taqwa,al-tawakkal,alridla,al-ma-habbah,dan al-marif, mahabbah, ma'rifat, fana' dan baqa', ittihad. Dan
persatuan (ittihad) dapat mengambil bentuk al-hulul atau wahdat al- wujud. Ketiga
tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan tasawuf diantaranya ialah
Hasan Al-Bashri, Junaid Al-Baghdadi, Rabiatul Adawiyah, Al-Ghazali, Muhyidin
Ibnu Arabi, Husain bin Mansur Al-Hallaj, dan lain sebagainya.
Abstrack
Keyword:
1; Mysticism,
2; Islamic
Studiesand alMaturidi
Mysticism as an approach tries to see Islam from the side of the spiritual experience
of a salik. The spiritual experience is in the form of encounters and revelations
experienced by a creature towards the Creator. To reach this station, a seeker must
first neglect several stages of purification of the soul (tazkiyatun nafs). These stages
have been formulated by influential figures in the development of Sufism. The method
used is qualitative with a library research approach, examining related references.
As a result, the history of the development of mysticism can be divided into several
periods, namely: the period in the first and second centuries, the third and fourth
centuries, the fifth century, the sixth century, the seventh century, the eighth century,
and the ninth century. and X and thereafter. Second, maqamat in Sufism include: altaubah, al-zuhud, al-shabr, al-faraq, al-tawadlu, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, alma-habbah, and al-marif, mahabbah, ma'rifat, fana' and baqa', ittihad. And unity
(ittihad) can take the form of al-hulul or wahdat al-Manifestation. The three
influential figures in the development of Sufism include Hasan Al-Bashri, Junaid AlBaghdadi, Rabiatul Adawiyah, Al-Ghazali, Muhyidin Ibn Arabi, Husain bin Mansur
Al-Hallaj, and so on.
Copyright © 2022 Abdul Hadi Lubis
95 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
A. PENDAHULUAN
Islam sebagai sebuah agama yang haq lagi sempurna memiliki kekayaan hikmah dan
pengetahuan. Sehingga dengan demikian, Islam dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan
umat Islam. Sebagai sebuah agama yang memiliki keuniversalan makna, maka diperlukan
pendekatan untuk memahami agama Islam. Pendekatan-pendekatan tersebut diantaranya
pendekatan teologis, fenomenologis, sosiologis, ekonomi, poloiik, sains dan teknologi,
mistisisme, dan lain sebagainya.
Pendekatan dapat diartikan sebagai paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu
tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu (Nata, 1999).
Mistisisme sebagai sebuah pendekatan mencoba untuk melihat Islam dari sisi pengalaman
spiritual seorang salik. Pengalaman spiritual tersebut berupa perjumpaan dan penyingkapan
yang dialami oleh seorang makhluk terhadap sang Khalik. Untuk mencapai maqam tersebut,
seorang salik harus melalai beberapa tahapan-tahapan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs)
terlebih dahulu. Tahapan-yahapan tersebut telah dirumuskan oleh tokoh-tokoh yang
berpengaruh dalam perkembangan tasawuf.
Tasawuf dengan segala kelebihan dan keistemewaan yang terdapat di dalamnya, ternyata
juga mengundang pro dan kontra terhadap ajarannya. Sikap pro terhadap tsawuf berdalih
bahwa tasawuf merupakan salah satu khazanah dalam peradaban Islam. Selain itu, tasawuf
juga mampu memberikan makna hidup yang lebih spiritualis dan bersifat ilahiah kepada umat
Islam dalam menjalankan kehidupannya.
Adapaun sikap kontra juga dilontarkan oleh tokoh-tokoh besar dalam bidang pemikiran
Islam, seperti Muhammad Iqbal yang menuding bahwa tasawuf sebagai salah satu penyebab
kemunduran umat Islam selama hampir lima ratus tahun. Ada juga pendapat yang mengatakan
bahwa tasawuf lebih mendekati kesyirikan karena ajaran-ajarannya seperi hulul, fana,
wahdatul wujud, dan lain sebagainya.
Terlepas dari sikap pro dan kontra di atas, penulis disini mencoba untuk membahas
konsep tasawuf dalam sebuah makalah yang saat ini sedang berada di tangan pembaca.
Makalah tersebut merupakan sebuah upaya untuk mengenalkan konsep mistisisme
sebagaimana adanya tanpa melakukan penilaian apakah tasawuf itu salah atau benar
sebagaimana kaum yang pro maupun kontra terhadap tasawuf.
B. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan memakai metodologi kualitatif dengan pendekatan library
research, mengkaji referensi-referensi terkait, pada metode penelitian disini mengkaji
referensi jurnal bereputasi sinta, dimana kajian yang telah dilakukan ialah setelah referensi
jurnal terkumpul dilakukan analisis data Teknik dari Miles Huberman yaitu mereduksi data
yang diperoleh, dimana jurnal bereputasi sinta direduksi, setelah itu data di display dan
terakhir data conclusion/ verification. Selanjutnya data di uji keabsahannya menggunakan
keabsahan data triangulasi sumber.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengertian Misitisisme
Mistisisme dalam Islam cenderung disebut dengan kata tasawuf dan oleh kaum
orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme oleh mereka khusus dipakai untuk
96 | A L I R S Y A D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
mistisisme Islam, dan tidak untuk agama-agama yang lain. Menurut At-Tafatazani, tasawuf
pada umumnya mempunyai lima ciri yang bersifat psikis, moral dan epistemologis, yaitu
sebagai berikut: peningkatan moral; pemenuhan fana dalam realitas mutlak. Inilah ciri khas
tasawuf atau mistisisme dalam pengertian yang sebenarnya; pengetahuan intuitif langsung.
Inilah sisi epistemologis yang membedakan tasawuf dan filsafat; petentraman atau
kebahagiaan dan pengunaan simbol-simbol dalam ungkapan-ungkapan.
Dari karakteristik-karakteristik tersebut, akhirnya tasawuf dapat didefinisikan sebagai
falsafah hidup yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seseorang secara moral,
melalui latihan-latihan praktis tertentu (Baharun et al., 2016). Sebenarnya banyak versi
mengenai asal kata tasawuf. Secara terminologis, tasawuf telah didefenisikan secara
beragam, hingga timbul kesan bahwa satu defenisi dengan defenisi yang lain saling
bertentangan Namun, pada umumnya, kata tasawuf beserta sejumlah derivatnya n
didefenisikan sebagai berikut:
a. Shafa’ yang berarti kejernihan atau kesucian. Sufi adalah orang yang suci atau jernih.
Memang, kaum sufi berusaha menyucikan diri melalui ibadah dan riyadhah (latihan
spritual), terutama melalui salat dan puasa.
b. Shaf (baris), yaitu barisan dalam salat berjamaah. Shaf pertama ditempati orang-orang
yang lebih awal datang ke masjid dan lebih banyak membaca Al-Quran serta berdzikir
sebelum tiba waktu salat.
c. Shufah, sebutan bagi seorang zahid (hidup sederhana) yang mengabdi sebagai pelayan
masjid.
d. Ahl as-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi Muhammad saw ke
Madinah dengan meninggalkan harta kekayaan mereka di Mekkah.
e. Sophos (berasal dari bahasa Yunani dan kemudian menjadi bagian terminologi Islam)
yang berarti hikmah (kebijaksana). Kaum Sufi adalah orang-orang yang bijaksana.
f. Shufi juga dikaitkan dengan Shafwan, yaitu para khadim (pelayan) Kakbah dan
pemandu haji pada masa jahiliah, yang dikenal sebagai orang-orang zuhud.
g. Shufi adalah sebuah kata jamid (yang tidak memiliki asal kata atau derivat) dalam
bahasa Arab. Ia hanyalah gelar yang disandangkan kepada seseorang yag berperilaku
zuhud.
h. Shuf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, bila seseorang ingin memasuki jalan tasawuf,
ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan menggantikannya dengan
kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba.
i. Shufi dikaitkan dengan Abu Hasyim al-Kuffi dari Irak (w. 255 H) sebagai tokoh yang
pertama kali menggunakannya, dengan meletakkan ash-shufi dibelakang namanya
(Labib, 2004).
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan
bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT agar dapat memperoleh
hubungan langsung dengan-Nya, artinya bagaimana diri seseorang dapat betul-betul berada
di kehadirat-Nya (Nasution, 1973). Dengan demikian, intisari dari sufisme adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan realitas mutlak
(Allah) yang dapat diperoleh dengan melalui beberapa usaha tertentu. Secara umum, dapat
disimpulkan bahwa tasawuf (mistisime Islam), meskipun prinsip-prinsip teologi Islam
yang disepakati oleh seluruh mazhab Islam, juga menetapkan sejumlah prinsip utama lain,
seperti tawakkal, tidak terobsesi oleh kenikmatan, (tark musytahiyat ad-dunya), olah jiwa
(ar-Riyadhat), dan lain sebagainya.
97 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
Tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seorang berada dihadirat Tuhan.
Intisari dari mistisisme, termasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad
(bersatu dengan Tuhan) (Nasution, 1973).
2. Pembagian Mistisisme
Dalam dunia mistisisme atau tasawuf, dikenal adanya pembagian tasawuf menjadi tiga
macam, yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Di bawah ini adalah
penjelasan tentang masing-masing bagian tasawuf tersebut.
a. Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan
kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan
tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagian yang optimum, manusia harus
lebih dahulu yang mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ke tuhanan
melaui pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang
bermoral dan ber akhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal takhalli
(pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat
terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih seehingga
mampu menangkap cahaya ketuhanan) (Anwar, 2004).
Adapun bentuk dari usaha atau latihan-latihan jiwa (riyadloh) yang dilakukan ahli
tasawuf dalam menuju kehadirat Illahi dilakukan dengan melalui tiga level (tingkatan)
yakni: takhalli, tahalli, dan tajalli.
Pertama, takhalli, berarti membersihkan diri dari sifat- sifat tercela, dari maksiat
lahir dan maksiat batin. Di antara sifat- sifat tercela yang mengotori jiwa (hati)
manusia adalah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su’u al-zann (buruk sangka),
takkabur (sombong), ‘ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan
ghadab (pemarah). Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan
terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan
menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan
dorongan hawa nafsu jahat (Asmaran, 2002).
Kedua, tahalli, yakni menyucikan diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan ta’at lahir
dan taat batin. Tahalli berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku
selalu berjalan di atas ketentuanNya. Yang dimaksud dengan ketaatan lahir (luar)
dalam hal ini adalah kewajiban yang bersifat formal seperti salat, puasa, zakat, haji
dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin (dalam) adalah
seperti iman, sabar, tawadu’, wara’, ikhlas dan lain sebagainya (Asmaran, 2002).
Ketiga, tajalli, berarti terungkapnya nur ghaib (cahaya gaib) untuk hati. Tajalli
ialah lenyap atau hilangnya hijab dari sifat-sifat kebasyariahan (kemanusiaan). Usaha
ini dimaksudkan untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada
fase tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli
(Asmaran, 2002).
b. Tasawuf amali adalah suatu ajaran dalam tasawuf yang lebih menekankan amalanamalan rohaniah dibandingkan teori. Yang mana dalam tasawuf amali tersebut
mempunyai tujuan yang sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
menghapuskan segala sifat yang tercela serta mengahadp sepenuhnya kepada Allah
SWT dengan berbagai amaliah atau riyadlah yang dilakukan, seperti memperbanyak
wirid serta amaliah-amilah lainnya (Anwar, 2004).
98 | A L I R S Y A D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
Dikatakan bahwa tasawuf amali lebih menekankan pada nilai amaliah nya
dibandingkan teori, bukan berarti tasawuf amali kosong dari teori, hanya saja bahwa
dalam tasawuf amali sisi amal di dalamnya lebih dominan. Dalam tasawuf amali lebih
identik dengan thariqah yaitu sebagi wujud dari amalan yang telah dilakukan. Dalam
tasawuf amali ini terdapat beberapa unsur yang di dalamnya terdiri dari beberapa
praktik ibadah yang semata-mata hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Maksudnya, bahwa dalam tasawuf amali tidak hanya sekedar mengetahui tentang
teori, akan tetapi langsung dpraktikkan dalam ibadahnya, sehingga dalam
bertasawuf,seseorang lebih bisa merasakan tujuan tasawuf tersebut, yaitu kedekatan
seorang hamba kepada yang Maha Kuasa (Anwar, 2004).
c. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan
rasional sebagai penggagasnya. Tasawuf falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam
Islam sejak abad VI Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal dengan
berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga seorang filosof (Anwar, 2004).
Ciri umum tasawuf falsafi adalah kesamaran-kesamaran ajarannya yang
diakibatkan banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami
oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Kemudian tasawuf ini tidak
dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa
(dzauq). Beberapa paham tipe ini antara lain adalah; fana’ dan baqa’, ittihad, hulul,
wahdah al-wujud, dan isyraq (Asmaran, 2002).
3. Sejarah Perkembangan Mistisisme
Bila berbicara masalah sejarah perkembangan tasawuf dalam Islam, maka
sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf itu sama dengan pertumbuhan dan
perkembangan Islam itu sendiri. Hal ini mengingat keberadaan tasawuf adalah sama dengan
keberadaan agama Islam itu sendiri. Karena pada hakikatnya agama Islam itu ajarannya
hampir bisa dikatakan bercorak tasawuf. Dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw.,
bahkan sebelum Nabi Muhammad diangkat secara resmi oleh Allah sebagai Rasul,
kehidupan beliau sudah mencerminkan ciri-ciri dan perilaku kehidupan sufi, dimana bisa
dilihat dari kehidupan sehari-hari beliau yang sangat sederhana dan menderita, disamping
menghabiskan waktunya dalam beribadah dan bertaqarrub pada Tuhannya (Asmaran, 2002).
Sejarah perkembangan tasawuf dapat diklasifikasikan menjadi beberapa periodesasi
(Abdullah, 2014) yaitu:
a. Tasawuf Periode pada Abad I dan II H
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai
fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada
fase ini adalah bercorak praktis (amaliyah) Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah
dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah,
menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.
Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai
kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid.
Banyak ucapan dan tindakan Nabi saw., yang mencerminkan kehidupan zuhud dan
kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan
yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk
akal seandaikata Nabi s.a.w., yang menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya
sendiri tidak melakukannya. Kezuhudan para sahabat Nabi s.a.w., digambarkan oleh
Hasan al-Bashri salah seorang tokoh zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut,
”Aku pernah menjumpai suatu kaum (sahabat Nabi) yang lebih zuhud terhadap barang
yang halal dari pada zuhud kamu terhadap barang yang haram”. Pada masa ini, juga
terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok
99 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al-Shuffah. Mereka tinggal di emperan
masjid Nabawi di Madinah.
Pada abad I dan II H, belum bisa sepenuhnya disebut fase tasawuf, tapi lebih tepat
disebut fase kezuhudan. Istilah yang dikenal pada masa ini adalah " kehidupan zahid",
sebagai sikap jiwa yang lebih menyukai kehidupan akhirat dan ibadah daripada
keduniaan.12 Memasuki akhir abad II H, terlihat adanya "peralihan" dari kehidupan
zuhud ke tasawuf. Sekalipun sangat sulit membedakan secara tepat dan pasti adanya
peralihan itu, tapi secara umum pendapat yang mengatakan bahwa adanya
kecenderungan membicarakan konsep tasawuf maka masa tersebut dinamai masa
peralihan.
b. Periode Abad III dan IV
Memasuki awal abad III H, perkembangan tasawuf sudah mulai jelas, dan istilah
tasawuf sudah dikenal secara meluas. Perkembangan tersebut disebabkan prinsipprinsip teoritisnya sudah mulai tersusun secara sistematis, sekaligus aturan-aturan
praktisnya (istilah karakteristik tasawuf, maqam dan ahwal). Prinsip-prinsip teoritis dan
praktis tersebut dikaji dan dianalisa oleh para sufi itu sendiri, dan dari hasil kajian itu
maka lahirlah tiga bentuk tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi, dan tasawuf
amali.
Apabila abad I dan II Hijriyyah disebut fase asketisisme (kezuhudan), maka abad
III dan IV disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi keruhanian yang pada masa
sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, ‘abid, nasik, qari’ dan
sebagainya, pada permulaan abad III Hijriyah mendapat sebutan sufi.
Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata–mata
kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa,
akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan
cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk ke dalam
yang dicintai (fana’ fi al-mahbub). Kondisi ini tentu akan mendorong ke kepersatuan
dengan yang dicintai (al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orangorang syariat dan ahli hakikat.
Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu
Hasyim al-Sufi (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya. Pada masa
ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.
Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad III ini orang
sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fimah bub), bersatu
dalam kecintaan (ittihad fimah bub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu
dengan Tuhan (‘ain al-jama’).
Pada fase ini muncul istilah fana’, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi
dimana seorang sufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik (alhissiyat). Ittihad
adalah kondisi seorang sufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa
memanggil dengan kata aku (ana). Hulul adalah masuknya Allah ke dalam tubuh
manusia yang dipilih.
Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu Yazid al-Bustami (w. 263 H.) dengan
konsep ittihadnya, Abu al-Mughis|al-Husain Abu Mansur al-Hallaj (244 – 309 H. ) yang
lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di Persia dan
dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang akhirnya membawanya
dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah:
hubungannya dengan kelompok al-Qaramit}ah; Ucapannya ” ( أﻧﺎ اﻟﺤّﻖsaya adalah
Tuhan Yang Maha Benar); Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya; dan
pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib
c. Periode Abad V H
100 | A L I R S Y A D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan
dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan
tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para
sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana
tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan
sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau
yang lebih dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam
lingkungan pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal
sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali
dikomentari oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi
pada hadits Nabi al-Mushthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan
mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim Dia menerima tasawuf dari
kelompok persia menuju tasawuf suuni. Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat
Yunani dan menunjukkan kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku
karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum alDin.
d. Periode Abad VI H
Awal abad ke-6 H, tasawuf falsafi mulai muncul kembali ke permukaan. Sejak itu
tasawuf falsafi terus berkembang terutama di kalangan para sufi yang juga filosof.
Perpaduan antara ajaran tasawuf dengan filsafat dengan sendirinya membuat tasawuf
bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat di luar Islam (Yunani, Persia, India
dan Nasrani), tetapi keorisinalannya sebagai tasawuf tetap ada. Fase ini ditandai dengan
munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan
rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalamanpengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian
diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa
wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa
hilang dan sekedar sangkaan dan khayali.
Tokoh –tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal
dengan Ibnu Arabi (560-638 H) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang
dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al Akbar (Syekh Besar).
Tokoh lainnya adalah Syuhrawardi (549-587 H) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia
dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa
pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh
berikutnya adalah Ibnu Sab‟in (667 H) dan Ibn al-Faridl (632 H).
Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang
bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir
tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk
membantu orang-orang-awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini
pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja (hawash). Disamping
itu kehadiran thariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam
koridor syariat. Itulah sebabnya sistem thariqat sangat ketat.
e. Periode Abad VII H
Pada abad ini, tercatat dalam sejarah, bahwa masa menurunnya gairah masyarakat
Islam untuk mempelajari Tasawuf karena berbagai faktor, antara lain: 1.) Semakin
gencarnya serangan Ulama Syari'at memerangi Ahli tasawuf, yang diiringi dengan
serangan golongan Syi'ah yang menekuni ilmu kalam dan ilmu fiqh. 2.) Adanya tekad
penguasa pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf dalam Islam,karena
dianggapnya bahwa kegiatan itulah yang menjadi sumber perpecahan umat Islam
f. Periode Abad VIII H
101 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
Memasuki abad kedelapan tidak terdengar lagi perkembangan dan pemikiran baru
dalam tasawuf, meskipun banyak pengarang kaum Sufi yang mengemukakan
pemikirannya tentang ilmu tasawuf, namun kurang mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh dari umat Islam. Tokoh yang muncul pada abad ini adalah Ibnu
Taimiyah (w. 727 H/ 1329 M). Ia banyak mengeritik ijtihad, hulul, dan wihdatul wujud
karena ia memandang bahwa ajaran tersebut banyak menyesatkan masyarakat Islam,
maka ia berusaha untuk memberantasnya melalui kegiatan belajar mengajar serta
karangan-karangannya, antara lain kitabnya yang berjudul " al- Rad 'ala Ibn al-‘Araby".
Usaha – usahanya kemudian dilanjutkan oleh muridnya seperti Ibnu Qayyim al-Jauziy
hingga selalu saja ada ulama yang berupaya seperti itu sampai sekarang.
g. Periode Abad IX –X H dan sesudahnya
Pada abad ini terlihat ajaran tasawuf mengalami masa yang sulit (transisi dan
kritis), tasawuf abad ini lebih buruk keadaannya dibanding pada abad ke-5 H sampai ke8 H. Diakui bahwa ajaran tasawuf pada empat abad tersebut sangat menyedihkan namun
tidak berarti ajaran tasawuf musnah ditelan masa, sebab masih terlihat ada Ulama-ulama
yang melarang kitab-kitab dengan memuat ajaran-ajaran tasawuf, seperti Syekh
Muhammad Amin al-Kurdi (1332 H/ 1914 M) dengan karangannya "Tanwir al-Qulub fi
al-Mu'amalah 'Alamil Ghuyub". hingga saat ini kejayaan tasawuf tidak pernah kembali
seperti pada abad II, III, IV H. Walaupun ajarannya tetap hidup, hanya saja kadangkadang disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu agar tercapai tujuannya seperti
politik,sehingga citra tasawuf dalam Islam menjadi rusak dan mengalami masa
kemunduran hingga saat ini.22 Banyak di antara peneliti Muslim yang menarik
kesimpulan bahwa ada dua faktor yang sangat menonjol yang menyebabkan runtuhnya
ajaran Tasawuf di dunia Islam, yaitu:23 Karena memang Ahli Tasawufsudah kehilangan
kepercayaan dikalangan masyarakat Islam, sebab banyak di antara mereka yang terlalu
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya; misalnya tidak lagi menjalankan salat
karena mereka sudah mencapai tingkat ma'rifat. Karena ketika itu, penjajah bangsa
Eropa yang beragama Nasrani sudah menguasai seluruh negeri Islam. Tentu saja, paham
– paham sekularisme dan materialism, selalu dibawa dan digunakan untuk
menghancurkan ajaran Tasawuf yang sangat bertentangan dengan pahammnya.
4. Maqamat dalam Mistisisme
Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi
untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Abu Nasr alSarraj al-Tusi menyebut dalam al-Luma' bahwa maqamat dalam tasawuf ialah : Taubat –
wara' – zuhud – kefakiran – sabar – tawakkal – kerelaan hati. Abu Hamid al-Ghazali dalam
Ihya' Ulumuddin menyebutkan.: Taubat – sabar – kefakiran – zuhud – tawakkal – cinta –
ma'rifat – kerelaan.
Menurut Abu al-Qasim Abd al-Karim al-Qusyairi, maqamat itu adalah yang berikut:
Taubat – wara' – zuhud – tawakkal – sabar – kerelaan .Tetapi yang biasa disebut ialah:
Taubat – zuhud – sabar – tawakkal – kerelaan. Di atas stasiun – stasiun ini ada lagi : Cinta
– ma'rifat – fana' dan baqa' – ittihad Dan persatuan (ittihad) dapat mengambil bentuk alhulul atau wahdat al- wujud (Nasution, 1973).
Muhammad al- Kalabazy dalam kitabnya al-Ta arruf li Mazhab ahl al-Tasawuf,
sebagai di kutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faraq,al-tawadlu,al-taqwa,al-tawakkal,alridla,al-ma-habbah,dan al-marif (Nata, 2012).
a. Al-Zuhud
Secara Harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian, sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan
102 | A L I R S Y A D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
b.
c.
d.
e.
f.
bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada
yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud di dalam masalah yang
haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu
orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan
meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang
mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.
Al-Taubah
Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya
kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun
atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan
mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebijakan.
Harun Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya,
taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Untuk mencapai taubat yang
sesungguhnya dan dirasakan oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja.
Al-Wara
Secara harfiah al-wara artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata
ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam
pengertian sufi al-wara adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat
keragu-raguan antara halal dan haram (Syubhat).
Kafakiran
Secara harfiah fakir biasanya diartinya sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita,
kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun Al-Mishry, sabar
artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi
tenang ketika mendapatkan cobaan, dan mentampakkan sikap cukup walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha
mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang
baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan
cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah
orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang
menyenangkan.
Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah
bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti
bangkai di hadapan orang yang memandaikannya. Ia mengikuti semuanya yang
memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan
tawakkal adalah berpengang teguh pada Allah. Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan
bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak
mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba
meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka
menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir
Allah. Harun Nasution mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada
dan keputusan Allah. selamanya dalam keadaan tentram, jika mendapat pemberian
berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan
qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini.
103 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
g. Kerelaan
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridla
berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. Menerima qada dan
qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang
tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Beberapa sikap yang
termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan akhlak yang mulia. Semua itu
dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan
bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Hal yang demikian identik
dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat yang buruk dengan taubat
dan menghiasi diri dengan sifat yang baik, dan hal ini disebut dengan istilah tahalli,
sebagaimana dikemukakan dalam tasawuf ahlaki.
h. Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang medalam.
Dalam Mu jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari albaghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al- wadud, yakni
yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya
seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya,
seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau pekerja kepada
pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
i. Ma’rifah
Dari segi bahasa marifah berasal dari kata arafa, yuarifu, irfan, marifah yang
artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang
rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati
oleh orang-orang pada umumnya. Marifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan
pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan
mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia
sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud
berasal dari yang satu. Alat yang dapat digunakan untuk marifah telah ada dalam diri
manusia yaitu qalb (hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa
Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berpikir.
Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang
sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb
yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid
secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut
disinari Cahaya Tuhan.
j. Al-Fana, Al-Baqa dan Ittihad
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan
al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah
berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Adapun arti fana menurut kalangan sufi
adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat
kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat
104 | A L I R S Y A D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
yang tercela.
Baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah
kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena
lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan. Berbicara fana dan baqa erat
hubungannya degan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan,
karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah itihad itu. Tokoh yang
mengembangkan paham fana dan baqa dalam tasawuf adalah Abu Yazid al-Bustami.
Mulla Shadra juga mencetuskan sebuah teori perjalanan manusia menuju Tuhan.
Teori tersebut diberi nama al-asfar al-arba’ah (empat perjalanan). Perjalanan tersebut
adalah sebagai berikut: Sayr min khalq ila al Haqq (perjalanan dari makhluk menuju
Allah); Sayr bi al Haqq fi al Haqq (perjalanan dengan Allah di dalam Allah); Sayr min
al Haqq ila al khalq bi al Haqq (perjalanan dengan Allah dari Allah menuju makhluk);
Sayr fi al khalq bi al Haqq (perjalanan di dalam makhluk dengan Allah) (Muthahhari,
2003).
5. Beberapa Tokoh yang Berpengaruh dalam Pemikiran Mistisisme
Membicarakan tasawuf, tentu tidak akan lepas dari para tokohnya, yang ajaranajarannya mengandung nilai tasawuf yang tinggi dan tidak jarang kontroversial. Bagian ini
menjadi penting karena kita akan belajar dan mengetahui tasawuf dari para tokoh yang
akan kita bahas dengan konsep penting yang mereka hasilkan (Asmaran, 2002).
a. Hasan Al-Basri
Zahid pertama dan sangat terkenal dalam sejarah tasawuf dari kalangan tabiin
adalah Hasan al-Basri, beliau diberi gelar Abu Said. Lahir di Madinah pada Tahun 624
M, tepat dua malam sebelum meninggalnya khalifah Umar bin Khattab. Meninggal
dunia di Basrah pada tahun 728 M. Ajaran beliau yang terkenal adalah kesatuan antara
zuhud terhadap dunia, menolak kemegahannya semata-mata menuju kepada Allah,
tawakal, khauf (takut) dan raja. Dalam konsep khauf dan raja’, beliau mengatakan
bahwa kita tidak boleh takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan
pengharapan yaitu takut akan murkanya dan mengharapkan Karunianya.
b. Al –Junaid Al-Baghdadi
Al-junaid termasuk salah satu sufi yang luar biasa. Di dalam menjalankan
syariat ia sangat teguh. Ia memperdalam kenaikan jiwa sufiah ke tempat yang sangat
tinggi. Namun, ia tidak pernah melupakan untuk berusaha tentang hal yang bersifat
keduniawian. Misalnya, untuk memperoleh sekedar apa yang akan dimakannya. AlQusyairi meriwayatkan di dalam kitabnya Al-Risalah, bahwasanya Abu Ali-Daqqaq,
murid yang utama dari Al-Junaid menceritakan bahwa pada sauatu masa ia melihat di
tangan gurunya ada seuntai tasbih, lalu bertanya : Tuan masih memakai tasbih? Lalu
beliau menjawab: tasbih ini hanya semata alat ditangan dalam perjalanan menuju Dia.
Tuhanku Yang Maha Kuasa. Maka tidaklah dia akan kulepaskan.
Setiap hari beliau masuk ke pasar kemudian membuka kedainya.
Ditentukannya beberapa waktu untuk melakukan jual-beli. Setelah waktu jual beli
selesai, ia kemudian menerima murid-muridnya yang sangat banyak jumlahnya.
Selesai memberikan ajaran kebatinan beliaupun menutup kedainya, lalu ia akan
mengambil air wudhu dan sembayang 400 rakaat. Ketika akan meninggal dunia.
Beliau masih tetap mengerjakan sembayang sunah di samping yang fardu, walaupun
tidak bisa bangun lagi. Beliau wafat tahun 297 H/910 M.
c. Husain bin Mansur Al-Hallaj
Husain bin Mansur Al-Hallaj barang kali adalah syekh sufi abad IX dan X
yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata : “akulah kebenaran”, sebuah ucapan
105 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
yag membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodoks, kematian ini
dijustifikasi dengan alasan bidah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan
bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena kebenaran (al-haqq)
adalah salah satu nama Allah. Maka hal ini berarti bahwa Al-hallaj menyatakan
ketuhanannya sendiri. Al-hallaj dilahirkan di kota Tur yang bercorak Arab di kawasan
Baidah, iran tenggara, pada 866 M.
Ajaran-ajaran Al-Hallaj, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, doktrindoktrin al-Hallaj sangat mengguncangkan ulama-ulama fikih. Doktrin-doktrin yang
sangat kontroversial antara lain:
1) Hulul, secara terminilogis Hulul artinya, menjelma/ menyusupnya sesuatu ke
dalam benda lain, seperti air menyusup ke dalam pohon, menurut keterangan Abu
Nass al-Tusi dalam al-Luma, Hulul ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh dilenyapkan. Menurut AlHallaj, Allah memiliki dua sifat dasar ketuhanan (lahut) dan kemanusian (nasut).
Jadi, hulul adalah ketuhanan yang menjelma ke dalam diri insan. Manusia
mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Sebaliknya, Tuhan mempunyai sifat
kemanusiaan dalam dirinya, agar dapat bersatu (hulul), maka sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuh harus dilenyapkan melalui fana. Dengan
demikian, hulul dapat diartikan manusia tertentu sebagai tempatnya, menjelma
setelah sifat-sifat kemanusiannya (masut) yang ada dalam tubuhnya dilenyapkan.
2) Al-Haqiqatul Muhammadiyah, Al-Haqiqatul Muhammadiyah atau Nur
Muhammad adalah anggapan bahwa alam semesta beserta isinya berasal dari Nur
Muhammad. Dalam dunia tasawuf, teori ini diperenalkan oleh Mansur Al-Hallaj.
Menurut Al-Hallaj, awal yang diciptakan Allah adalah Nur Muhammad serta
terciptanya segala apa yang ada (di dalam alam semesta) ini. Nur Muhammad ini
bersifat azali dan qadim mendahului setiap makhluk. Sedang dalam
kedudukannya sebagai Rasullah adalah manusia bersifat baru, menjadi penutup
segala Nabi. Di antara segala Nur, tidak ada Nur-nya segala Nur yang amat terang
dan qadim, selain Nur-nya Muhammad yang adanya mendahuli Adam, dan
namanya mendahului lalam, lantaran wujud sebelum adanya segala Makhluk.
3) Wahdatul Adyan, Wahdatul adyan dapat diartikan, kesatuan segala agama, Hindu,
Budha, Kristen, Islam dan lain sebagainya. Semuaya adalah satu dalam
hakikatnya. Perbedaannya, hanya ada dalam nama dan tata cara beribadah. Tak
ubahnya seperti orang yang menuju puncak sebuah bukit. Ada yang mendaki dari
arah timur, barat, utara, selatan, tapi, tujuan mereka adalah satu. Dalam hal ini
Abd. Al-Hakim Hasan mengatakan bahwa Al-Hallaj adalah orang pertama pada
kalangan Sufi Muslim. Dia memandang bahwa semua agama ini, walaupun
berbeda-beda ungkapan lahiriah ( syariatnya), namun sama dalam esensinya.
Lantaran semuanya menuju ke tujuan (hakikat) yang sama (Tuhan). Paham
kesatuan dan kesamaan segala agama pada dasarnya menyimpang dari ajaran AlQuran. Karena Al-Quran hanya mendorong untuk bersikap rukun dan simpatik,
menghargai penganut agama lain tanpa harus mengorbankan prinsip keimanan
masing-masing agama.
106 | A L I R S Y A D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
4) Al-Ghazali, Diantara pemikiran tasawuf al-Gazali adalah: pertama, makrifat. Ilmu
sejati atau makrifat bukan semata-mata didapat dengan akal. Makrifat itu
mengenal Tuhan, tentang Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala
wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Allah dan perbuatan Allah. Allah dan
perbuatannya adalah dua bukan satu. Disinilah Al-Ghazali menjelaskan
pendirianya yang berbeda dengan Hallaj dan sufi lain yang terkesan bahwa wujudNya itu ialah kesatuan semesta (Wahdatul Wujud). Seluruh alam ini adalah
makhluk. Alam ini adalah bukti kekuasaan dan kebesaran-Nya. Apabila telah jelas
dalam hati makrifat akan hakikat ke-Tuhanan itu, dengan sifat-sifat serta
perbuatan-perbuatan dan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan
akhirat, itulah letak kebahagiaanya. Oleh filsuf itulah yang disebut surga, dan oleh
ahli Haq, itulah sebab-sebab yang pantas membuat seseorang masuk dalam surga.
5) Rabiatul Adawiyah, Kezuhudan Rabiah Al-Adawiyah, seperti yang telah
dikatakan sebelumny, sejak kecil rabiah sudah memiliki karakter yang tidak
begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan ia
sangat hato-hati terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya.
Bahkan saking zuhud, Rabiah sering menolak setiap bantuan yang datang dari
para sahabatnya. Tetapi sebalikanya, rabiah malah menyibukkan diri untuk
melayani Tuhannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi ini benar-benar ia
jalankan secara konsisten.
Konsep Cinta Ilahi Rabiah Al-Adawiyah, sepanjang sejarahnya, konsep
Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkanalkan Rabiah telah dibahas oleh
berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabiah memiliki makna dan
hakikat yang terdalam dari sekedar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi,
mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (jenjang) bahkan, puncak dari
semua maqam. Rabiah telah mencapai puncak dari maqam itu, mahabbatullah.
Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu
kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya
sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (girah), bila
ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah
Syair mengatakan:
Aku cemburu kepada-Nya
Karena aku Cinta kepada-Nya
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku
Akhirnya aku dapat mengendalikan Cemburuku
Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain
dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak
meminta dimasukkan ke surga. Cinta murni kepada Tuhan, itulah puncak tasawuf
Rabiah.
6) Muhyiddin Ibnu Arabi, Beberapa ajaran Ibnu Arabi, diantaranya, Wihdatul
Wujud. Wihdatul Wujud merupakan paham puncak yang tumbuh dalam pikiran
ahli-ahli tasawuf. Beliau telah menegakkan paham itu berdasarkan renungan
pikiran filsafat dan zauq tasawuf. Dalam pandangan Ibnu Arabi, Wujud (yang
Ada) itu hanya satu. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Kalau
dikatakan bahwa wujud keduanya berbeda, hal itu hanyalah lantara pendeknya
paham dan kurang dalam pencapaian mengetahui hakikat. Ibn Arabi juga berkata:
107 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
Wujud Alam adalah ain Wujud Allah. Allah itulah hakikat Alam. Tidak ada dasar
perbedaan anatar wujud yang qadim yang digelari Khaliq itu dengan wujud yang
baru, yang dinamakan Makhluk. Tidak ada perbedaan Abid dengan Ma’bud.
Bahkan abid dan Ma’bud adalah satu. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari
hakikat yang Esa.
Kedua, Al-Haqiqat al-Muhammadiyah, Tuhan adalah sesuatu dan satu.
Dialah wujud yang mutlak. Maka Nur (Cahaya) Allah itu sebagian adalah diri
Nabi. Hakikat Muhammadiyah itulah kenyataan yang pertama dan Uluhiyyah.
Melalui perantaranya, yang terjadi segala alam dalam setiap tingkatannya, seperti
Alam Jabarut, Alam Malakut, alam Misal, alam Ajam, dan Alam Arwah. Dia
merupakan seluruh kesempurnaan Ilmu dan amal, yang ternyata pada Nabi sejak
Adam sampai Muhammad, dan sampai kepada wali-wali dan segala tubuh, Insan
Yang Kamil. Jadi agama itu semuanya, walaupun beragam nama, tujuan, tetapi
isinya hanya satu. Tidaklah patut ada perselisihan diantara satu dengan yang lain.
Hendaklah orang mengetahui sirr atau rahasia dalam agama
D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik sebuah benang merah berupa
kesimpulan, diantaranya: Mistisisme dalam Islam cenderung disebut dengan kata tasawuf dan
oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme oleh mereka khusus dipakai untuk
mistisisme Islam, dan tidak untuk agama-agama yang lain. Tasawuf dalam dunia akademik
dibagi menjadi tiga macam yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Sejarah
Perkembangan Mistisisme dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu: Periode pada Abad I
dan II H, periode abad III dan IV H, periode abad V H, periode abad VI H, periode abad VII H,
periode abad VIII H, dan periode abad IX dan X serta sesudahnya. Maqamat dalam tasawuf
antara lain: al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faraq,al-tawadlu,al-taqwa,al-tawakkal,al-ridla,alma-habbah,dan al-marif, mahabbah, ma'rifat, fana' dan baqa', ittihad. Dan persatuan (ittihad)
dapat mengambil bentuk al-hulul atau wahdat al- wujud. Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam
perkembangan tasawuf diantaranya ialah Hasan Al-Bashri, Junaid Al-Baghdadi, Rabiatul
Adawiyah, Al-Ghazali, Muhyidin Ibnu Arabi, Husain bin Mansur Al-Hallaj, dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. (2014). Perkembangan Mistisisme Dalam Islam Dan Maqamatnya. Jurnal Sulesana,
09(01). 52-62
Anwar, R. (2004). Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Asmaran. (2002). Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Baharun, H., et al. (2016). Metodologi Studi Islam: Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Labib, M. (2004). Mengurai Tasawuf, Ifran dan Kebatinan. Jakarta: PT Lentera Basritama
Muthahhari, M. (2003). Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj Ibrahim Husain dkk. Jakarta: Pustaka
Zahra.
108 | A L I R S Y A D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Al Irsyad: Jurnal Studi Islam, 2022, 1(2), Pages 95-109
Nasution, H. (1973). Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, A. (1999). Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada.
Nata, A. (2012). Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Grafindo Persada
109 | A L I R S A Y D
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.