Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
ISSN: 1979-7486 (p); 2580-5088(e) Vol. 3 No. 2. p. 121-145
Available online at https://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/albayyinah
PEMENUHAN HAK-HAK KAUM DIFABEL DALAM
KERANGKA HAK AZASI MANUSIA
Fajar1
Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone
Jl. Hos Cokroaminoto, Watampone, Kabupaten Bone, Indonesia.
Email:
[email protected]
Abstract
This study describes the rights of persons with disabilities in the eyes of
human rights. Nowadays, the disabled are positioned as second-class people
whose rights are often neglected, both from the aspect of policy as well as state
development. The state and society as a totality of structures are ignorant in
presenting a space that accommodates the rights of people with disabilities based
on diversity of every human ability. Therefore, the problems of people with
disabilities can be resolved by the approach of social welfare or compassion as a
result of the failure of the state to see the core issuesof the diffable holistically.
Therefore, in the future there should be a special institution in the form of the
Commission for the Protection of the Rights of People with Disabilities (KPHD)
to resolve the complexity of disability issues in terms of social, cultural,
educational, legal, and political aspects.
Keywords: Fulfilment of rights, diffable, Human Rights.
Abstrak
Kajian ini menjelaskan tentang hak-hak kaum difabel atau disabilitas
dalam kacamata Hak Azasi Manusia (HAM). Dimana selama ini kaum difabel
diposisikan sebagai masyarakat kelas dua yang seringkali terabaikan hak-haknya,
baik dari aspek kebijakan maupun dari aspek pembangunan negara.Negara dan
masyarakat sebagai satu totalitas struktur abai dalam menghadirkan suatu ruang
yang mengakomodir hak-hak kaum difabel yang didasarkan pada keragaman
kemampuan setiap manusia atau difabilitas. Sehingga permasalahan kaum difabel
seringkali diselasaikan dengan pendekatan kesejahteraan sosial atau belas kasih
sebagai akibat dari kegagalan negara melihat inti permasalahan difabel secara
holistik. Oleh karena itu, kedepannya semestinya ada lembaga khusus berupa
Komisi Perlidungan Hak-hak Kaum Difabel (KPHD) untuk menyeselaikan
kompleksitas permasalahan difabel baik dari sisi sosial, budaya, pendidikan,
hukum, maupun politik.
Kata kunci: Pemenuhan hak, Difabel, HAM.
121
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
PENDAHULUAN
Berubahnya paradigma pembangunan Nasional ke arah demokratisasi dan
desentralisasi, menumbuhkan kesadaran yang luas tentang perlunya peran serta
masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan. Partisipasi dan pemenuhan
hak-hak sipil muncul sebagai dua kata yang banyak diungkapkan ketika berbicara
tentang demokrasi. Paradigma demokrasi meniscayakan pemenuhan Hak Azasi
Manusia (HAM), dimana kebebasan dan persamaan hak dalam ruang publik
menjadi basis untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memperjuangkan
hak-haknya dalam berbagai sektor kehidupan. Melalui tatanan demokrasi dengan
semangat inklusi dan partisipasi yang ada di dalamnya, sangat memungkinkan
mewujudkan hak-hak dan partisipasi penuh masayarakat di dalam ruang publik,
untuk mendorong terciptanya masyarakat yang berdaya saing serta mandiri secara
sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Tatanan demokrasi yang berorientasi pada inklusi, sangat dibutuhkan
sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat sipil (civil society). Karena
berdayanya civil society memiliki koherensi terhadap tegaknya fungsi HAM.
Sedangkan pengakuan terhadap HAM, membawa konsekuensi nyata akan adanya
pengakuan terhadap kebebasan, persamaan, dan keadilan bagi seluruh warga
negara tanpa ada pengecualian sedikit pun. Termasuk dalam hal ini pemenuhan
hak-hak kaum difabel dalam arena publik.
Pemenuhan hak-hak kaum difabel serta seluruh warga negara dalam
makna HAM, pada dasarnya adalah bagian dari upaya untuk membentuk suasana
kemanusiaan yang adil dan bermartabat. Dalam konteks hari ini, tidak sedikit
untuk tidak mengatakan masih banyak kebijakan pemerintah yang belum
menyentu seluruh lapisan masyarakat secara holistik, dan tentunya tidak salah jika
dikatakan kebijakan itu masih diskiriminatif. Salah satu kelompok masyarakat
yang seringkali terabaikan hak-haknya oleh pemerintah adalah kaum difabel.
Sampai saat ini kaum difabel masih menjadi masyarakat kelas dua, yang selalu
menjadi korban diskriminasi secara sosio-kultural mapaun secara politik. Alienasi
serta subordinasi kaum difabel secara sosio-kultural seringkali ditemui dalam
kehidupan sehari-hari, ditambah kebijakan pemerintah yang juga seringkali
122
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
diskiriminatif serta bias normalitas-difabilitas. Dalam artian kabijakan pemerintah
belum menyentu secara universal aspek-aspek difabilitas yang notabene menjadi
harapan dan cita-cita kaum difabel.
Kajian tentang pemenuhan hak-hak kaum difabel dalam konteks HAM
menjadi sengat relevan dan menarik. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan
penjelasan normatif, melainkan untuk memberikan peta jalan untuk melepaskan
kaum difabel dari diskriminasi yang selama ini mereka alami. Untuk itu,
penelitian ini difokuskan pada pemenuhan hak-hak kaum difabel dalam konteks
HAM. Wacana HAM sebagai dasar gerakan kaum difabel, dipahami sebagai
wacana yang berorientasi pada perubahan struktur sosial, budaya dan politik. Agar
masyarakat dan negara sebagai totalitas struktur adaptif terhadap visi kesetaraan
dan pemenuhan hak-hak kaum difabel dalam segala sektor kehidupan publik.
PEMBAHASAN
1. Kontestasi Makna Disabilitas
Pemenuhan hak-hak warga disabilitas dalam konstruksi HAM, perlu
kiranya dijelaskan terlebih-dahulu bebarapa paradigma dan pendekatan dalam
memahami wacana disabilitas (difabilitas). Secara garis besar, ada tiga konsepsi
dalam perkembangan sejarah perubahan sosial serta penteorian disabilitas yang
cukup dominan, yaitu pendekatan medikal model dan sosial model. Sedang dalam
konteks Indonesia adalah pendekatan difabilitas.
a. Pendekatan Medical Model
Pandangan medis individual, yang melihat dan menempatkan kecacatan
sebagai
sebuah permasalahan individu.
Secara ringkas,
pandangan ini
menganggap impairment (kecacatan) sebuah tragedi personal. Impairment selalu
diposisikan sebagai akar permasalahan serta penyebab atas hambatan aktifitas
serta berbagai bentuk ketidakberuntungan sosial yang dialami.1
Switzer seperti dikutip Ishak Salim, perspektif medis memandang bahwa
persoalan yang disebabkan oleh „disabilitas‟ dianggap berada dan bersumber
Joni Yulianto, “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam M.Syafi‟ie,
dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara (Yogyakarta: Sigab, 2014), h. 6
1
123
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
dalam diri individu tersebut dan terlepas dari konteks sosial, atau mengidentifiasi
difabel sebagai masalah biologis. Tujuannya bagi difabel kemudian adalah untuk
menemukan obat medis demi menyembuhkan “kecacatannya‟.Secara bersamaan,
perspektif ini fokus pada disabilitas sebagai sebuah masalah yang dapat ditangani
melalui kemajuan medis dan teknologi.2
Kelompok difabel adalah korban kuasa diskursus medis. Kedudukan
profesional medis (dokter), menurut Foucault, memang memiliki kedudukan
istimewa dibanding yang lain atau peradaban manapun. Menyandang status ini
adalah orang tidak bisa terdeferensiasi atau bertukar tempat (interchangeable).
Pernyataan medis tidak dikeluarkan oleh sembarang orang; nilai pernyataanpernyataan tersebut, keampuhan, kekuatan terapi yang dimilikinya. Eksistensinya
sebagai pernyataan-pernyataan medis tidak bisa dipisahkan dari status-status yang
dimiliki orang tertentu yang punya hak untuk mengeluarkan pernyataanpernyataan itu, seperti siapa yang sakit, rasa sakit atau kematian.3
Bahasa (ucapan) professional medis ini mengandung kuasa karena pada
dirinya melekat modalitas simbolik, jadi ucapannya memiliki nilai kuasa yang
berorientasi pada “kebenaran”. Untuk menjelaskan bahasa sebagai alat kekuasaan,
Bourdieu sebagaimana dikutip Yasraf A. Piliang menggunakan istilah kompetensi,
yang bermakna bahwa orang yang mempunyai kecakapan dan otoritas untuk
berbicara, menafsirkan, menilai, atau melegitimasi bahasa. Kompetensi ini
biasanya dikaitkan dengan kepemilikan apa yang disebut Bourdieu sebagai
modalitas simbolik. Artinya, semakin besar seseorang (kelompok orang, negara)
modal simbolik, semakin besar otoritasnya dalam menentukan arah pasar simbol.4
Modalitas simbolik itu melekat pada diri professional medis modalitas itu pun
memberikan otoritas kepadanya untuk menilai siapa yang sakit dan tidak sakit,
serta menilai siapa yang cacat dan tidak cacat. Akhirnya mewujud menjadi
Ishak Salim, “Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 danKontribusi Gerakan Difabel
Indonesia bagiTerbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia”, (Jurnal The Politics, Vol. 1, No. 2,
Juli 2015), h. 131.
2
3
Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan (terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2012), h. 100.
4
Yasraf A. Piliang, Transpolitika: Dinamikan Politik di dalam Era Virtualitas
(Yogyakarta: Jalasutra, 2005), h. 202.
124
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
kebenaran yang diyakini dan dibatinkan, disitulah praktik kuasa dalam
pewacanaan ilmu pengetahuan dipermainkan.
Peranan kuasa medis cukup sentral dan ekslusif dalam menentukan
standar-standar tentang normalitas dan disabilitas (penyandang cacat), selanjutnya
standar-standar medis tersebut kemudian melahirkan pelabelan siapa yang cacat
dan siapa yang normal. Pelabelan sosial yang melahirkan semiotika sosial
(pemaknaan sosial), berdampak pada persepsi atau konsepsi seseorang dalam
melihat disabilitas. Tindakan yang mengeksklusi kelompok disabilitas pun lahir
dalam praktik sosial dan akhirnya menjadi kebiasaan sosial yang membudaya.
Dikatakan membudaya karena telah menjadi pemahaman yang laten atau terpola
dalam kebiasaan sosial dan praktik sosial yang berulang dalam lintasan ruang dan
waktu.
Implikasi dari paradigma medical model adalah institusionalisasi
disabilitas dengan didirikannya lembaga-lembaga atau panti-panti sosial dan panti
rehabilitasi untuk memampukan kembali/menormalkan, sebagai pendekatan
utama dalam mengatasi permasalahan disabilitas. Penyandang disabiltas dianggap
sebagai center of the problem, dan ketidakberfungsian dan kerusakan fungsi fisik
atau mental yang terjadi pada individu disabilitas dianggap sebagai penyebab
utama yang membutuhkan penyembuhan atau perbaikan. Namun yang menjadi
problem, tanpa sadar sebagian besar kelompok disabilitas menerima diri mereka
sebagai kelompok yang kurang mampu (tidak normal). Sehingga tidak mampu
melihat wajah institusionalisasi tersebut sebagai sebuah kekerasan simbolik dan
diskriminasi yang berupaya meminggirkan mereka dari dunia sosial yang
seharusnya mereka juga ada di dalamnya bersama warga masyarakat lainnya.
Kekerasan simbol, menurut Bourdieu seperti dikutip Yasraf, adalah sebuah
bentuk kekerasan yang halus dan tidak tampak yang menyembunyikan dibaliknya
pemaksaan dominasi. Kekerasan simbol bukanlah sekedar bentuk dominasi
melalui bahasa dan (media) komunikasi; ia adalah penggunaan dominasi
sedemikian rupa, sehingga dominasi tersebut diakui sebagai legitimate.5
5
Yasraf A. Piliang, Transpolitika: Dinamikan Politik, h. 200-201.
125
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
Kekerasan simbol terhadap kelompok difabel berlangsung melalui pelabelan,
sistem tanda, simbol, dan interpretasi atasnya yang semuanya berujung pada
pemahaman yang laten dan menstruktur menjadi sebuah budaya dan praktik sosial
politik yang segregatif, yaitu peminggiran kaum difabel dalam arena publik.
Menurut Yasraf, kekerasan simbol menciptakan sebuah mekanisme sosial
yang di dalamnya relasi bahasa (language relation) saling bertautan dengan relasi
kekuasaan. Sebuah sistem kekuasaan berupaya melanggengkan posisi dominan
kelompok tertentu dengan cara mendominasi dan mendistorsi bahasa yang
digunakan dalam komunikasi. Sehingga yang dikembangkan adalah prinsip monosignification dan monosemy pertandaan dan pemaknaan serba tunggal.6
Pemaknaan tunggal terhadap disabilitas di praktikkan oleh profesional medis,
melalui serangkaian standar keilmuan yang sepihak tanpa melihat faktor lain yang
membuat kelompok disabilitas menjadi tidak mampu menjalani kehidupan sosial
sebagaiamana kelompok masyarakat pada umumnya.
Kekerasan simbol terjadi ketika orang yang didominasi menerima sebuah
simbol (konsep, gagasan, ide, kepercayaan, prinsip) dalam bentuknya yang
terdistorsi dan memberikan pengakuan atas apa yang diterima secara disrtortif
tersebut, untuk kemudian menggiring mereka menerapkan kriteria evaluasi
dominan yang telah terdistorsi tersebut, dalam menilai diri dan kehidupan mereka
sendiri. Proses dominasi tersebut, sebetulnya terjadi sebuah bentuk pemaksaan
simbolik yang sangat halus, akan tetapi orang yang didominasi tidak menyadari
adanya pemaksaan atau menerima pemaksaan tersebut sebagai commonsense.7
Secara simbolik pelembagaan dan institusionalisasi kelompok difabel dalam
bentuk panti sosial dan rehabilitasi individu adalah sebuah bentuk kekerasan
simbolik yang diterima warga difabel sebagai suatu bentuk kebenaran tunggal.
Kesadaran kritis mereka tersandera oleh wacana dominan yang di praktikkan oleh
kaum medis tersebut.
Benny H. Hoed menyatakan, tanpa sadar, masing-masing secara
bersamaan mengikuti warga lainnya dalam memberikan makna tertentu kepada
6
Yasraf A. Piliang, Transpolitika: Dinamikan Politik, h. 201.
7
Yasraf A. Piliang, Transpolitika: Dinamikan Politik, h. 201-202.
126
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
orang lain, yakni realitas sosial budaya disekitar. Inilah yang terjadi dalam
kehidupan sosial sehari-hari dari zaman ke zaman. Gejala inilah yang disebut
semiotika sosial, yakni makna yang terbentuk dalam masyarakat tentang berbagai
realitas sosial budaya.8 Label “penyandang cacat” menciptakan semiotika sosial
budaya yang membentuk makna atau konotasi negatif terhadap difabel, yakni,
kekurangan, ketidakmampuan dan ketidakberfungsian fisik dan mental. Tentunya
label negatif ini secara geneologis selain bersumber dari nilai budaya masyarakat
tertentu, juga bersumber dari pandangan medis yang bias normalitas, yang
mayoritas dianggap normal, sedangkan yang minoritas atau yang berbeda
dianggap tidak normal atau cacat. Akhirnya kecacatan itu diterima sebagai
kenyataan sosial (fakta sosial).
Disinilah awal mula dimulainya praktik segregasi dan eksklusi kelompok
difabel, seperti contoh institusionalisasi difabel melalui panti-panti rehabilitasi,
pemisahan difabel dalam institusi pendidikan melalui sekolah khusus semisal
Sekolah Luar Biasa (SLB), penerimaan masyarakat dalam kehidupan sosial
terhadap difabel lebih negatif, dan celakanya keluarga difabel pun ikut melakukan
praktik eksklusi karena adanya rasa malu memiliki anak difabel.
b. Pendekatan Social Model
Barton seperti dikutip Ro‟fah, dalam upaya untuk melemahkan dominasi
pendekatan medis dan individu dalam dunia disabilitas, dibutuhkan hampir satu
abad. Baru pada dekade 1960-an seiring dengan munculnya gerakan masyarakat
sipil diberbagai belahan Amerika dan Eropa. Kelompok-kelompok difabel mulai
mengkritisi bahwa model individual telah cukup lama meminggirkan peran
mereka dari kehidupan masyarakat. Asumsi-asumsi model individual yang
menganggap difabel adalah individu yang kurang dan tidak bisa menjalankan
peran penuh dalam masyarakat telah melahirkan opresif dari ketakutan sampai
over-proteksi dan kebijakan serta layanan yang parsial.9 Kritik-kritik ini
8
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2011), h. 176.
9
Ro‟fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur” dalam Kamil Alfi Arifin (ed.),
Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas
(Jurnal DIFABEL, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Vol. 2, No. 2, Tahun 2015),
h. 146.
127
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
melahirkan apa yang disebut social model of disability atau model sosial
disabilitas yang mengubah fokus pembahasan disabilitas dari isu individu ke isu
sosial dan politik.10
Konseptualisasi disabilitas yang terlahir atas dominasi konsepsi disabilitas
dan bagaimana semestinya lingkungan sosial memandang diri mereka. Pandangan
ini disebut dengan social model, yang belakangan kemudian berkembang menjadi
pandangan yang melihat disabilitas dalam pendekatan HAM, pendekatan ini
dibangun atas sebuah prinsip dasar bahwa kecacatan/impairment maupun
keterbatasan fungsional sesungguhnya tidak pernah mempunyai korelasi langsung
terhadap apa yang dikatakan sebagai disabilitas/ketidakmampuan aktifitas,
maupun juga partisipasi sosial.11
Model sosial mengubah arah permasalahan difabel dari kekurangan
fungsional, psikologis dan kognitif yang dimiliki individu kepada struktur
masyarakat. Secara sistematis menindas dan mendiskriminasi terhadap difabel
serta perilaku negatif masyarakat yang harus dialami oleh difabel setiap hari.
Dengan kata lain, persolan disabilitas terletak pada faktor yang labih luas dan
bersifat eksternal yakni lingkungan sosial, dan bukan konsekuensi dari
kekurangan fisik atau mental individu.12
Jika diamati, landasan teori yang digunakan oleh model sosial sangat
diwarnai oleh ideologi Marxis dan Strukturalis. Pemisahan antara impeirment dan
disability yang dimunculkan UPIAS merupakan analisa dengan kacamata
materialisme yang mengasumsikan bahwa konstruksi sosial bagi individu yang
mengalami impairment berawal dari bagaimana masyarakat mengorganisir
akitivitas-aktivitas materialnya.
Siebers seperti dikutip Ishak, perspektif sosial kontras dengan perspektif
medis,
perspektif
sosial
memandang disabilitas
seseorang (dan
bukan
kecacatannya) lebih sebagai akibat dari faktor eksternal yang dikenakan pada
seseorang
daripada
sekadar
fungsi
biologis
difabel.
Perspektif
sosial
Ro‟fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur”, h. 146.
10
11
Ro‟fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur”, h. 9.
12
Ro‟fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur”, h. 147.
128
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
memungkinkan untuk melihat disabilitas sebagai efek dari lingkungan eksternal
yang tidak bersahabat bagi sejumlah bentuk tubuh dan bukan hal yang lain. Untuk
itu difabel lebih membutuhkan kemajuan dalam keadilan sosial dan bukan dalam
kemajuan kedokteran. Keyakinan-keyakinan dan fungsi-fungsi sosial yang
kemudian meminggirkan dan melemahkan peran difabel dapat dilihat sebagai
hambatan untuk hidup sepenuhnya bersandar pada jenis kemampuan mereka.13
Dengan dimikian, fokus perhatian untuk melihat persoalan difabel bukan
pada person melainkan pada masyarakat sebagai suatu sistem. Apabila paradigma
medis menganggap individu sebagai sumber masalah, maka paradigma sosial
model lebih melihat sumber permasalahan dari struktur masyarakatnya. Jadi yang
sakit bukan individunya, melainkan masyarakat sebagai satu sistem sosial.
Pandangan sosial ini menaruh perhatian pada struktur dan sistem sosial sebagai
pusat permasalahan. Pandagan ini menunjukan, kecacatan tidaklah bersumber dari
kelemahan individual, melainkan bersumber dari struktur dan institusi sosial
dalam masyarakat yang tidak menggambarkan distribusi penguasaan resources
dan penguasaan fasilitas serta berbagai sarana sosial yang tidak merata.
Pergeseran makna dari medical model ke social model amat penting,
karena ada upaya untuk menggugat perspektif yang sebelumnya sangat dominan.
Memahami dan mendefinisikan “kecacatan” sebagai persoalan individu medis,
menuju persepsi baru yang lebih menilai “kecacatan” sebagai permasalahan sosial
dan politik. Maksudnya, masalah “kecacatan” tidak dapat “semena-mena”
menjadi urusan kuasa medis yang men-judge seseorang sebagai “orang cacat”
akan tetapi kecacatan itu sendiri merupakan pertarungan makna dalam
masyarakat. Sehingga “cacat” merupakan sebuah konstruksi sosial, dan setiap
konstruksi merupakan kekaburan yang dipaksakan menjadi benar.14
Disabilitas,
menurut
pandangan
ini
dikarenakan
atas
kegagalan
masyarakat, lingkungan serta negara dalam mengakomodasi apa yang menjadi
Ishak Salim, “Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 danKontribusi Gerakan Difabel
Indonesia bagiTerbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia”, h. 132.
13
Ro‟fah Mudzakir dan Slamet Thohari, 2010, “Kaum Difabel dalam Pergulatan Makna:
Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di Indonesia”, dalam Sahiron dan Asep
Jahidin (ed.), Ontologi Pekerjaan Sosial, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, h. 65.
14
129
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
kebutuhan penyandang disabilitas. Dengan kata lain, disabilitas yang dimaksud
merupakan buah dari sebuah interaksi lingkungan yang gagal mengakomodasi
penyandang disabilitas.15Singkatnya kecacatan merupakan akibat dari konstruksi
sosial dan struktur sosial yang bias normalitas.
Dari konsepsi sosial model inilah HAM kemudian terintegrasi dengan isuisu disabilitas sebagai sebuah bagian integral atas isu HAM, dimana berangkat
dari salah satu prinsip bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang secara
inheren melekat pada setiap manusia, maka kondisi social exclusion yang dialami
oleh kelompok penyandang disabilitas yang diakibatkan atas interaksi yang gagal
tersebut sudah seharusnya dipandang sebagai suatu bentuk pelanggaran HAM.
Dengan kata lain, jaminan atas kesetaraaan, kesamaan hak serta partispasi penuh
juga semestinya melekat pada setiap individu penyandang disabilitas yang juga
mesti dilindungi.
Untuk aksi politik gerakan difabel social model-lah yang melahirkan
gerakan hak dfabel (Disability Right Movement) dengan tuntutan perubahan
sistem dan struktur yang selama ini dianggap gagal mengakomodasi difabel. Hal
ini memunculkan tuntutan perubahan strategi negara terhadap difabel dari
pemenuhan kebutuhan khusus difabel yang diberikan melalui program-program
sosial dalam welfare state dan pendekatan-pendekatan yang berbasis karitas
kepada kesamaan hak akan akses.16
Melihat aksi dan praktik sosial yang dikembangkan oleh kaum difabel,
tidak salah jika penulis mengatakan bahwa preferensi kaum difabel dalam
memandang kecacatan lebih kepada pendekatan kedua, yaitu sosial model. Kaum
difabel melihat kecatatan ini sebagai hasil dari konstruksi sosial, yakni kecacatan
bersumber dari pelabelan, lingkungan sosial yang tidak aksesibel. Lain kata
adalah kegagalan masyarakat, lingkungan sosial, dan negara selaku pemegang
kebijakan dalam mengakomodasi kebutuhan kelompok disabilitas.
Ro‟fah Mudzakir dan Slamet Thohari, 2010, “Kaum Difabel dalam Pergulatan Makna:
Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di Indonesia”, h. 10.
15
Ro‟fah Mudzakir dan Slamet Thohari, 2010, “Kaum Difabel dalam Pergulatan Makna:
Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di Indonesia”, h. 77.
16
130
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
Aktor-aktor difabel sebagai agensi lebih ke faktor sosial dalam
memandang sumber kecacatan itu, tindakannya pun terhadap kaum difabel, lebih
mengedapankan nilai-nilai HAM dan demokrasi. Membangun kesetaraan bagi
kaum difabel serta pemberdayaan difabel dalam rangka meningkatkan partisipasi
difabel dalam ruang publik secara cerdas dan mandiri. Dengan begitu kelompok
difabel diharapkan menemukan makna dan eksistensinya sebagai manusia, yang
sudah selayaknya memiliki kuasa dan kebebasan atas dirinya sendiri, serta
menentukan nasibnya sendiri tanpa ada eksklusi dan diskriminasi padanya, baik
diskriminasi secara sosial maupun secara struktural.
c. Pendekatan Difabilitas
Di Indonesia konsepsi kecacatan/difabilitas pun terus berkembang. Di era
tahun 90-an, ketika para aktivis difabel mulai menggagas penolakan atas istilah
dan pemaknaan istilah penyandang cacat, yang sampai akhirnya memunculkan
istilah “difabel” sebagai akronim dari differently abled people yang dimaknai
dengan “orang yang memiliki kemampuan berbeda”. Pertama kali digagas oleh
Mansour Faqih dan Setya Adi Purwanta (seorang difabel netra) bukanlah serta
merta pengganti dari istilah penyandang cacat. Gagasan atas ditawarkannya
pengistilahan ini adalah lebih merupakan ide atas perubahan konstruksi sosial
memahami difabilitas, atau yang saat itu dikenal sebagai kecacatan/penyandang
cacat.17 Istilah difabel-difabilitas digunakan kaum disabilitas saat ini sebagai jalan
untuk mempejuangkan hak-hak kelompoknya di dalam ruang publik.
Baik istilah penyandang cacat maupun penyandang disabilitas merupakan
istilah yang sudah pernah dipakai dalam kebijakan setingkat Undang-Undang.
Misalnya UU penyadangan cacat dan UU ratifikasi Konvensi Hak-hak
Penyandang Disabilitas. Sementara istilah difabel merupakan wacana tanding atas
istilah penyadang cacat. Istilah penyadang cacat sangat lazim diucapkan dimasa
lalu. Khsususnya setelah pemerintah Orde Baru menggunakan istilah penyadang
cacat dalam nomenklatur hukum dan politik dengan memuatnya dalam satu UU
khusus, yakni UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Istilah ini
Ro‟fah Mudzakir dan Slamet Thohari, 2010, “Kaum Difabel dalam Pergulatan Makna:
Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di Indonesia”, h. 11-12.
17
131
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
dipakai dengan asumsi medis yang kental yang menganggap sebagai tubuh yang
tak lengkap adalah sebuah kerusakan fisik dan fisiologis. Kerusakan itulah yang
kemudian disebut cacat, sebagaimana istilah ini sering dipakai untuk barang yang
rusak. Kerusakan tentu saja bermakna sakit dalam dunia medis atau kesehatan.18
Melihat pergeseran makna dari penyandang cacat, penyandang ketunaan,
penyandang disabilitas, dan terakhir “difabel”, penulis menilai itu sebagai upaya
kelompok disabilitas untuk melawan stigmatisasi dan steriotipe negatif yang
dialami selama dalam kehidupan sosial. Istilah difabel diperlukan untuk
mengubah stigmatisasi negatif dari “penyandang cacat” yang berkonotasi
ketidakmampuan fisik dan mental, menjadi “difabel” yang dikonotasikan sebagai
orang yang mampu dengan cara yang berbeda. Artinya, istilah difabel dianggap
lebih adil dan representatif.
Istilah difabel diwacanakan untuk menekankan bahwa orang-orang yang
memiliki sebagian anggota tubuh yang berbeda dengan orang lain bukanlah
orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berkarya. Orang-orang ini
diakui memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sebagaimana orang lain,
namun dengan cara yang berbeda. Jika orang-orang yang memiliki tangan melukis
dengan tangannya, maka orang-orang yang tidak memiliki tangan tetap mampu
melukis tetapi dengan menggunakan kaki atau mulutnya. Perubahan penyebutan
dari disability menjadi diffable (diffability) bukan hanya perubahan istilah belaka.
Namun, ada makna sangat dalam yang terkandung di dalamnya, yaitu pengakuan
akan kemampuan dimiliki oleh orang-orang yang memiliki bentuk tubuh berbeda.
Perubahan ini dilakukan untuk secara bertahap mengubah stigma yang dibangun
oleh masyarakat “normal”, bahwa kaum “cacat” tidak memiliki manfaat bagi
kehidupan dan hanya menjadi beban bagi kaum “normal”.19
Pengistilahan difabel mencoba melepaskan hubungan kausatif antara
keterbatasan fungsi (fisik dan mental), hambatan aktifitas, serta ketidakberuntungan sosial. Tiga hal tersebut boleh jadi berkaitan namun bukan
Ishak Salim, “Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 danKontribusi Gerakan Difabel
Indonesia bagiTerbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia”, h. 244.
18
Asyhabuddin, “Difabilitas dan Pendidikan Inklusif: Kemungkinannya di STAIN
Purwokerto,” (Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 13, No. 3, Sep-Des 2008), h. 2-3.
19
132
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
merupakan keterkaitan yang mutlak. Konsepsi difabilitas mengakui bahwa setiap
individu mempunyai perbedaan, dan sebagai konsekuensi dari perbedaan itulah,
maka sangat penting bagi lingkungan dan masyarakat untuk merespon positif
bentuk perbedaan tersebut. Konsepsi ini juga mengakui realitas akan keterbatasan
fungsi (fisik atau mental) sebagai suatu realitas yang normal.20
Konsepsi ini juga menggeser standar normalisme sebagai sebuah realitas.
Berbeda dangan standar medis dimana normalisme didasarkan pada standarstandar mayoritas dan yang berbeda/minoritas dikatakan sebagai tidak normal,
dalam konsepsi difabilitas standar kenormalan adalah realitas itu sendiri dimana
manusia adalah sejatinya beragam.21
Setya Adi Purwanta, menegaskan bahwa dalam hal memberikan “label”
terhadap sesuatu tidaklah dapat dilepaskan dari efek dari pelabelan tersebut.
Penggunaan sebutan (label) itu dapat menimbulkan berbagai jenis dan intensitas
keseriusan
efeknya,
misalnya
penyebutan
dapat
berefek
penghormatan,
keakraban, kecintaan, merendahkan, penghinaan, dan bahkan diskriminasi.22
Pendekatan difabalitas secara epistemologi memiliki kesamaan paradigma
dengan pendekatan sosial model. Dikonstruksi sebagai antitesis terhadap
paradigma medical model. Paradigma difabilitas cenderung melihat manusia
sebagai makhluk ciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaannya masingmasing. Dengan demikian, konsepsi difabilitas, sangat menghormati keberagaman
latar belakang, kondisi, potensi, dan kemampuan setiap individu. Kondisi fisik
yang berbeda merupakan instrumen yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk
menjalankan tugas hidupnya di dunia. Maka konsepsi difabilitas lebih melihat
“keragaman” atau “perbedaan kemampuan” sebagai sebuah realitas objektif.
Kecacatan dalam makna difabilitas, dipandang sebagai konstruksi sosial. Jika
kecacatan dipahami sebagai konstruksi sosial berarti ia bukan realitas, melainkan
Joni Yulianto, “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam M.Syafi‟ie,
dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, h. 15.
20
Joni Yulianto, “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam M.Syafi‟ie,
dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, h. 15.
21
Setya Adi Purwanta, “Bagaimana Aku menyebut Mereka? Penyandang Cacat,
Disabilitas, atau Difabel”, dalam http://komitedisabilitasdiy.blogspot.co.id, diakses: 3 Februari
2015.
22
133
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
ia adalah bangunan sosial yang menghambat, dimana jika hambatan itu
dihilangkan maka dengan sendirinya kecacatan akan terhapus.
Untuk itulah wacana difabilitas ini dihadirkan dalam wacana publik untuk
melawan disabelisme. Bagi para pengkaji disabilitas tentu paham apa itu
disabelisme. Ishak Salim, menjelaskan, disabelisme adalah pemahaman seseorang
atau sekolompok orang dalam skala masyarakat maupun negara yang
mengabaikan keberadaan dan keterlibatan orang lain hanya karena orang tersebut
memiliki struktur dan fungsi tubuh dan mental yang berbeda dengan mayoritas
atau masyarakat pada umumnya. Jika rasisme adalah pengucilan orang-orang
tertentu dengan alasan karena memiliki ras yang berbeda, maka demikianlah cara
disabelisme bekerja. Jadi, begitu memasuki pintu disabelisme ini maka akan
bertemu ruang-ruang lain yang terkait dengan banyak sektor dalam kehidupan
dimana praktik disablement atau pengabaian difabel bekerja atau berjalan dalam
mayarakat.23
Sebagian besar organisasi difabel tampil mendorong mainstreaming
difabilitas dalam wacana publik. Salah satu yang bisa dilihat, adalah tindakan
komunikatif kaum difabel dalam menyuarakan perlawanan melalui workshop dan
seminar-seminar. Bahasan-bahasan dalam workshop tersebut bukan hanya untuk
mengenali berbagai bentuk diskriminasi dan subordinasi warga difabel. Arahan
untuk memahami lebih dalam bagaimana praktik tersebut bekerja dan menjadi
cara pandang yang hegemonik.
Mansour Fakih seperti dikutip Ro‟fah dan Slamet, yang memang sangat
Gramcian, menilai bahwa, “cacat” merupakan konstruksi sosial. Cacat adalah
sejenis pelabelan yang semena-mena dilekatkan oleh orang normal pada warga
difabel. Mansour menegaskan, nalar developmentalisme yang memang selalu
menghendaki kerapian dan ketertiban demi terciptanya pembangunan ekonomi
yang diimpikan masyarakat kelas atas.24
Ishak Salim, “Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 danKontribusi Gerakan Difabel
Indonesia bagiTerbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia”, h. 85.
23
Ro‟fah Mudzakir dan Slamet Thohari, 2010, “Kaum Difabel dalam Pergulatan Makna:
Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di Indonesia”, h. 87.
24
134
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
Lanjut Mansour, pada dasarnya untuk memulai membongkar salah satu
jenis ketidakadilan sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang dialami oleh
sebagian warga masyarakat yang sering disebut sebagai “penyadang cacat” justeru
bermula dari keyakinan ideologis masyarakat, akademisi, birokrat tentang apa
yang disebut penyandang cacat itu. Apa yang dianggap sebagai suatu realitas
sosial penyadang cacat adalah dikonstruksi secara sosial.
Dengan kata lain apa yang dianggap sebagai suatu realitas mengenai
“cacat” merupakan suatu kesepakatan sosial atau suatu konvensi sosial. Apa yang
oleh suatu masyarakat diyakini di sekitar mereka yang mendapat label “cacat” dan
“tidak cacat” adalah suatu konvensi sosial. Bahkan, mulai dari label “cacat” ini
tersembunyi pengertian “baik” dan “tidak baik”, bahkan tersembunyi juga
“normal” dan “tidak normal”. Konstruksi sosial atau konvensi sosial yang berlaku
adalah bahwa mereka yang cacat adalah “tidak normal” dan mereka yang tidak
cacat adalah “normal”.25 Konsepsi keadilan yang dijelaskan oleh Mansour
terhadap kaum-kaum difabel perlu diteletakkan pada tatanan yang proporsional,
agar hak-hak kaum difabel dalam konsep sosial dimaknai baik.
2. Landasan Yurdis dan Urgensi Pemenuhan Hak-hak Kaum Difabel dalam
Kerangka HAM
a. Landasan Yuridis Pemenuhan Hak-hak Kaum Difabel
Berikut
beberapa
Undang-Undang
yang
berkaitan
dengan
jaminan
perlidungan hak-hak difabel. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan
hak dan kesempatan setiap warga negara, termasuk warga negara difabel
(khususnya lihat Pasal 28 H ayat 2, dan Pasal 28 I ayat 2). UU No. 69 tahun 1999
tentang HAM (khususnya lihat Pasal 3, 5, dan 41), UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (khususnya lihat Pasal 28), UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (khususnya lihat Pasal 8, 9, 11, 12, 13), UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya lihat Pasal 5 dan 23).26
Mansour Faqih, “Akses Ruang yang Adil: Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi
Kaum Difabel”, dalam Suharto dan Haris Munandar (ed.), Pokok-pokok Pikiran Dr. Mansour
Fakih: Refleksi Kawan Seperjuangan (Yogyakarta: SIGAB, 2014), h. 167-168.
25
26
Sunarman Sukamto, Best Practice Advokasi Kebijakan Daerah Perperspektif Difabel:
Pengalaman PPRBM Solo (Solo: PPRBM Solo, t.th.), h. 2.
135
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
Secara normatif, terdapat tiga peraturan perundang-undangan utama terkait
dengan penyandang disabilitas di Indonesia: UU No. 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat dan peraturan untuk pelaksanaannya, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 43 tahun 1998 (tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat), ratifikasi CRPD ke dalam UU No. 19 Tahun 2011 Tentang
Hak-Hak Penyadang Disabilitas, dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas. Akan tetapi, kurangnya perhatian dan masih adanya diskriminasi
terhadap para penyandang disabilitas di Indonesia masih sangat dalam mengakar
pada stigma serta persepsi yang tidak tepat terkait dengan kemampuan para
penyandang disabilitas di dalam menjalankan kegiatan sehari-hari mereka,
termasuk di dalamnya juga terkait dengan kontribusi yang mereka berikan secara
aktif di semua sektor ekonomi.27
Khusus di negara berkembang seperti Indonesia, terabaikannya masalah
“difabel” ini disebabkan oleh adanya faktor sosial budaya, selain faktor ekonomi
dan lemahnya kebijakan dan penegakan hukum yang memihak komunitas
difabel.28 Adalah UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, bisa
dianggap sebagai respon pemerintah atas wacana-wacana kesamaan hak bagi
warga difabel yang telah menjadi agenda global. Seperti Undang-Undang anti
diskriminasi difabel di belahan dunia lain, UU No. 4 Tahun 1997 ini bertujuan
untuk menjamin kesamaan hak dan partisipasi difabel. Ada sedikitnya 10 Pasal
dalam UU ini yang secara eksplisit menyatakan hak-hak difabel dan kesamaan
partisipasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan penyediaan aksesibilitas.29
Termasuk Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(selanjutnya disingkat CRPD) yaitu konvensi tentang Hak-hak Penyandang
Disabilitas, telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam UndangUndang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 (selanjutnya disingkat
27
Paper dipresentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas: ILO
(PROPEL-Indonesia) & World Bank (DPO Window) (Jakarta tanggal 26-27 September 2012), h.
5.
Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap
Penyandang Disabilitas MenurutConvention on the Rights of Persons With Disabilities (CRPD),”
Jurnal Inovatif (Volume VIII, Nomor I, Januari 2015), h. 7.
28
29
Ro‟fah Mudzakir dan Slamet Thohari, h. 91.
136
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
UU No. 19 Tahun 2011) tentang Pengesahan CRPD. CRPD merupakan
instrument HAM internasional dan nasional dalam upaya Penghormatan,
Pemenuhan dan Perlindungan Hak difabel di Indonesia (Developmenttool and
Human Rights Instrument). Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan,
melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi
semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang
disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity).30
Ratifikasi CRPD oleh Pemerintah Indonesia adalah sebuah tindakan yang
memberikan pergeseran mendasar dari pendekatan kesejahteraan sosial menjadi
pendekatan hak asasi manusia.Termasuk di dalamnya adalah untuk memfokuskan
pada penghalang-penghalang yang menghambat di lingkungan fisik, sosial,
budaya dan ekonomi sehingga para penyandang disabilitas bisa berpartisipasi dan
memberikan kontribusi mereka sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Terlebih lagi, pendekatan ini juga menerima pemikiran untuk mengadopsi
perundang-undangan dan kebijakan non diskriminatif.31
CRPD menetapkan hak-hak penyandang disabilitas secara luas yaitu setiap
penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam,
tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi,
kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan
penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan
orang lain. CRPD juga menetapkan kewajiban umum setiap Negara peserta
disamping kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan secara eksplisit dan rinci.
Negara wajib mengadopsi semua kebijakan legislatif dan administratif sesuai
dengan Konvensi ini. Artinya, seluruh Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku positif di Indonesia serta peraturan dibawahnya haruslah disesuaikan serta
disinkronikasikan sesuai dengan konvensi ini, mulai dari substansi di dalam
Perundang-undangannya hingga sampai klausul-klausul pasalnya.32
30
Rahayu dan Bustanuddin, h. 19.
31
Paper di Presentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas: ILO
(PROPEL-Indonesia) & World Bank (DPO Window) (Jakarta tanggal 26-27 September 2012), h.
5.
32
Paper di Presentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas, h. 7.
137
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
Pelaksanaan kewajiban tersebut, Negara harus mengacu pada prinsipprinsip umum yakni; Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi
individual, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan
perseorangan; (1) Nondiskriminasi; (2) Partisipasi penuh dan efektif dan
keikutsertaan dalam masyarakat; (3) Penghormatan atas perbedaan dan
penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan
kemanusiaan; (4) Kesetaraan kesempatan; (5) Aksesibilitas; (6) Kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan.33
Selain itu, Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga
perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan
khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dalam Pasal
5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.34
Secara etik-filosofis, konsepsi difabilitas memiliki relevansi dengan
falsafah Pancasila, dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti
berbeda-beda tapi satu tujuan. Ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia pada
prinsipnya memiliki nilai-nilai yang menghargai keragaman, keberbedaan, serta
pluralitas. Maka secara kritis dapat dikatakan bahwa apabila masyarakat dan
pemerintah selaku pemangku kebijakan publik tidak menghargai keberadaan
difabel yang notabene sebagai bagian dari keragaman warga negara, maka
sesungguhnya telah menodai Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara.
Pancasila yang berorientasi pada keragaman dan pluralitas, seyogyanya tidak
hanya diinternalisasikan dalam diri individu masyarakat, melainkan seharusnya di
transformasikan ke dalam tindakan sosial, dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ini penting, agar proses pengambilan kebijakan publik juga
memperhatikan aspek-aspek difabilitas.
33
Paper di Presentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas, h. 25-
26.
34
Paper di Presentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas, h. 18.
138
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
b. Urgensi Pemenuhan Hak-hak Kaum Difabel
Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Internasional (DUHAM)
1948 setiap orang berhak atas hak dan kebebasan dengan tidak ada pengecualian
seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, politik, atau
pandangan lain, asal usul kebangsaan. Sedangkan menurut UU No 39 Tahun
1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerahnya yang harus
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.35
Pemahaman
seperti
itu,
maka
penghormatan,
perlindungan,
dan
pemenuhan HAM terhadap warga negara harus dijamin dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ruang lingkup warga negara
dalam hal ini luas, mencakup siapapun tanpa terkecuali sebagaimana diatur dalam
Pasal 25 ayat (1) UUD 1945, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas.
Penegasan mengenai lingkup itu sangat penting, karena HAM bagi penyandang
disabilitas masih kerap diabaikan, bahkan dilanggar. Pelanggaran terjadi karena
penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai bagian dari warga negara, bahkan
juga tidak dianggap manusia.36
Salah satu bentuk negara terkait upaya penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak difabel adalah sikap pemerintah Indonesia yang terlibat secara
proaktif dalam mengadopsi instrument HAM bagi difabel. Komitmen tersebut
ditunjukkan
kesepekatan
Indonesia
untuk
menjadi
salah
satu
negara
penandatangan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD)
pada 30 Maret 2007. Ratifikasi tersebut merupakan sebuah momentum penting
untuk meningkatkan harkat dan martabat difabel.37
35
Tim Kontras, Panduan untuk Pekerja HAM: Pemantaun dan Inevetigasi Hak Asasi
Manusia (Kontras, 2009), h. 29-31.
36
Fajri Nursyamsi, dkk, Kerangka Hukum Disabilitas Di Indonesia: Menuju Indonesia
Ramah Disabilitas (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2015), h. 9.
Faiq Tobrani, “Rekonstruksi Kelembagaan atas Hak Dasar Difabel yang lumpuh di
Indonesia”, dalam Kamil Alfi Arifin (Ed.), Analekta Disabilitas: Sumbangsi untuk Pengayaan
Rancangan Undang-undang Disabilitas (Jurnal Difabel, Vol. 2, No. 2, 2015), h. 352.
37
139
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
Semangat
penghormatan,
pemajuan,
perlindungan,
pemberdayaan,
penegakan, dan pemenuhan hak-hak difabel yang termuat dalam CRPD mengacu
sepenuhnya pada prinsip Hak Azasi Manusia.38 Berikut beberapa bentuk
pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak difabel dalam bagian
pembukaan konvensi tersebut:
a) Mengakui bahwa disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang
dan disabilitas merupakan hasil dari interaksi antara orang-orang dengan
keterbatasan kemampuan dan sikap dan lingkungan yang menghambat
partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan
kesetaraan dengan yang lainnya,
b) Mengakui pentingnya pedoman prinsip-prinsip dan kebijakan yang termuat
dalam Program Aksi Dunia mengenai Penyandang Disabilitas (World
Programme of Action concerning Disabled Persons) dan Peraturan-peraturan
Standar mengenai Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Disabilitas
(Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with
Disabilities);
c) Menekankan pentingnya pengarusutamaan isu-isu disabilitas sebagai bagian
integral dari strategi yang relevan bagi pembangunan yang berkesinambungan,
d) Mengakui juga bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas
merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap
orang,
e) Mengakui pula keragaman penyandang disabilitas.
f) Mengakui perlunya memajukan dan melindungi hak asasi manusia semua
penyandang disabilitas, termasuk mereka yang memerlukan dukungan intensif
yang lebih.39
Selanjutnya Pasal 5 konvensi menekankan persamaan dan non-diskriminasi:
1. Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah sama di
hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa diskriminasi, untuk
mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang sama;
2. Negara-Negara Pihak wajib mencegah semua diskriminasi yang
difundamentalkan disabilitas serta menjamin perlindungan hukum yang sama
dan efektif bagi penyandang disabilitas terhadap dikriminasi dengan
fundamental alasan apa pun;
3. Dalam rangka memajukan persamaan dan menghapuskan diskriminasi,
Negara Pihak wajib mengambil Iangkah-Iangkah yang Iayak untuk menjamin
bahwa penyesuaian-penyesuaian yang beralasan diberikan;
Faiq Tobrani, “Rekonstruksi Kelembagaan atas Hak Dasar Difabel yang lumpuh di
Indonesia”, h. 353.
38
39
Lihat bagian Pembukaan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention On
The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD).
140
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
4. Langkah-Iangkah khusus yang diperlukan untuk mempercepat atau mencapai
persamaan bagipenyandang disabilitas secara de facto tidak boleh dianggap
sebagai diskriminasi di bawah Konvensi ini;40
Sebagaimana dalam dua dasawarsa terakhir, masyarakat penyandang
disabilitas global telah berusaha untuk memerangi pandangan terhadap isu
disabilitas atau penyandang disabilitas sebagai objek kegiatan amal atau orang
sakit yang membutuhkan kesembuhan. Mereka juga berusaha untuk mendefinisi
ulang penyandang disabilitas sebagai anggota penuh dan setara dari masyarakat,
yang memiliki kontribusi penting dalam keluarga dan masyarakatnya. Pemikiran
yang telah berubah ini, menekankan bahwa kesempatan penyandang disabilitas
dalam mencapai potensi penuh mereka bukan terhalang oleh kelemahan atau
kekurangan mereka, namun oleh perilaku tidak sehat dan tidak mendukung dari
masyarakat, serta hambatan-hambatan sosial para penyandang disabilitas.
Untuk mewujudkan agenda pemenuhan hak-hak difabel dalam kerangka
hak azasi manusia, menurut Mansour Fakih, perlu dipikirkan beberapa usaha
sosial: Pertama, perlu mendidik kasadaran manusia “normal” akan hak azasi
difabel kepada setiap individu di setiap rumah tangga, sampai pada kebijakan
pembangunan negara melalui badan-badan pemerintah. Secara lebih kongkret
misalnya implikasi dari ratifikasi UU penyandang disabilitas dalam perencanaan
pembangunan. Tidak hanya pengorganisasian kaum difabel, melainkan juga
bangkitnya gerakan terhadap kaum difabel (kaum difabel movement) bagi gerakan
NGOs yang sudah ada. Hal ini karena tegaknya hak azasi difabel tidaklah
merupakan hadiah dari negara, melainkan harus diperjuangkan oleh kaum difabel
sendiri.41
Kedua, gerakan untuk menciptakan kota yang ramah terhadap kaum
difabel terutama seluruh fasilitas publik. Ini berarti membalik cara berpikir
dominan bahwa jika seseorang yang duduk di atas kursi roda dan tidak bisa
beribadah di tempat ibadah karena tidak ada tangga (jalan khusus) dan akses
40
Lihat pasal 5 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities CRPD).
Mansour Fakih, “Akses Ruang yang Adil Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum
Difabel”, dalam Suharto dan Aris Munandar (Ed.), Pokok-pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih:
Refleksi Kawan Seperjuangan (Yogyakarta: SIGAB, 2004), h. 179.
41
141
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
terhadap difabel, maka yang dipersalahkan janganlah kaum difabel, melainkan
perlu introspeksi akan adanya diskiriminasi dalam arsitektur bangunan tersebut.
Demikian halnya jika kaum difabel tidak mampu memasuki arena politik,
ekonomi, dan budaya, yang perlu dipersalahkan bukanlah kaum difabel yang
menjadi “victim” dari sistem yang diskriminatif tersebut.42
Ketiga, gerakan mengenai bagaimana proses diseminasi ideologi kritis
tentang kaum difabel pada setiap program dan kebijakan kelembagaan dan
keorganisasian, baik lembaga pemerintah, pendidikan, program kemasyarakatan,
maupun keagamaan, bahkan kalangan NGOs. Masuk dalam agenda ini kajian
bagaimana melakukan pendidikan sensitifitas difabel pada para pengambil
keputusan, melakukan pengawasan dan kritik terhadap kebijakan dan praktik
organisasi pemerintah maupun NGOs yang bias terhadap kaum difabel.43Keempat,
dikemudian hari perlu usaha yang lebih bersifat law inforcement. Usaha ini
termasuk melakukan audit diskriminasi terhadap kaum difabel, monitoring dan
evaluasi terhadap proses, ataupun projek dan institusi pembangunan sosial yang
masih melanggengkan diskriminasi terselubung kaum difabel, serta usaha-usaha
advokasi terhadap perubahan kebijakan yang lebih ramah terhadap difabel.44
Semestinya permasalahan kaum difabel tidak hanya diselesaikan dengan
pendekatan yang bersifat social based, dengan memandang pemenuhan hak-hak
difabel sebatas sebagai sebuah masalah social. Melainkan harus melihat
permasalahan difabel dalam sudut pandang yang lebih holistik dan terintegrasi.
Faiq Tabroni menyampaikan hal senada, bahwa “Pengaturan pemenuhan
hak difabel cenderung lebih bersifat sosial menimbulkan berbagai permasalahan.
Salah satunya melahirkan sudut pandang bahwa sektor lain seperti kesehatan,
pendidikan, dan ketenagakerjaan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, lebih berfungsi sebagai sektor penunjang dalam pelaksanaan
Mansour Fakih, “Akses Ruang yang Adil Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum
Difabel”, h. 179-180.
42
Mansour Fakih, “Akses Ruang yang Adil Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum
Difabel”, h. 180.
43
Mansour Fakih, “Akses Ruang yang Adil Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum
Difabel”, h. 180.
44
142
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
pemenuhan hak difabel. Pola pikir semacam itu tentu saja menyebabkan
pemenuhan hak difabel di luar masalah sosial kurang tersentuh. Selama satu
dekade terakhir, masih terdengar adanya praktik diskrimanatif terhadap difabel di
luar jaminan kesejahteraan social, sebagai contoh, bidang pendidikan. Kecacatan
(impairment) bisa menyebabkan difabel seringkali mengalami penolakan dan
hambatan terhadap akses memperoleh pendidikan dari lembaga pendidikan.45
Hadirnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang cacat adalah bagian
dari upaya peningkatan perlindungan hak-hak kaum difabel. Karena selama ini
UU No. 4/1997 dirasa kurang mampu menyelesaikan persoalan difabel secara
holistik dan integral. Maka dibutuhkan suatu lembaga khusus untuk menangani
permasalahan difabel, yang tidak hanya melihat permasalahan difabel dari sudut
pandang pemenuhan kesejahteraan sosial, melainkan lebih jauh harus melihat
seluruh aspek persoalan difabel baik dari sisi sosial, maupun dari sisi kesehatan,
pendidikan, politik, dan budaya termasuk dalam hal ini adalah agama. Mungkin
lembaga itu bisa berupa Komisi Perlindungan Hak-hak Kaum Difabel (KPHD).
PENUTUP
Pemenuhan hak-hak kaum difabel semestinya tidak hanya dipandang dari
sisi kesejahteraan sosial dalam wujud belas kasih, dengan memandang
permasalahan difabel sebatas sebagai permasalahan sosial, melainkan pemenuhan
hak-hak harus memuat berbagai sektor di dalam kehidupan publik. Pemenuhan
hak-hak kaum difabel dalam akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, pekerjaan,
politik, budaya, dan agama. Artinya pemenuhan hak-hak difabel dilakukan secara
holistik dan integral, di samping pemenuhan hak-hak yang berbasis kebutuhan,
juga mempertimbangkan aspek akses dan kesempatan yang dibuka pada semua
sektor kehidupan. Selain itu, untuk menguatkan posisi kaum difabel dalam arena
publik, semestinya ada lembaga khusus berupa Komisi Perlidungan Hak-hak
Kaum Difabel (KPHD) untuk menyeselaikan berbagai kompleksitas permasalahan
difabel baik dari sisi sosial, budaya, pendidikan, hukum, maupun politik.
Faiq Tobrani, “Rekonstruksi Kelembagaan atas Hak Dasar Difabel yang lumpuh di
Indonesia”, h. 350.
45
143
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
DAFTAR PUSTAKA
Michel Foucault, 2012, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Muzir,
Yogyakarta: IRCiSoD.
Yasraf A. Piliang, 2005, Transpolitika: Dinamikan Politik di dalam Era
Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra.
Benny H. Hoed, 2011, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok: Komunitas
Bambu.
Majda El Muhtaj, 2009, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Jakarta: Rajawali Pers.
Tim Kontras, 2009, Panduan untuk Pekerja HAM: Pemantaun dan Inevetigasi
Hak Asasi Manusia, Kontras.
Fajri Nursyamsi, dkk, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas Di Indonesia: Menuju
Indonesia Ramah Disabilitas, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK).
Mansour Faqih, 2014, “Akses Ruang yang Adil: Meletakkan Dasar Keadilan
Sosial bagi Kaum Difabel”, dalam Suharto dan Haris Munandar (ed.),
Pokok-pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih: Refleksi Kawan Seperjuangan,
Yogyakarta: SIGAB.
Joni Yulianto, 2014, “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam
M.Syafi‟ie, dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara,
Yogyakarta: sigab
Ishak Salim, “Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 danKontribusi Gerakan
Difabel Indonesia bagiTerbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia”, Jurnal
The Politics, Vol. 1, No. 2, Juli 2015.
Ro‟fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur” dalam Kamil Alfi Arifin
(ed.), Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan
Undang-undang Difabilitas, Jurnal DIFABEL, Sasana Integrasi dan
Advokasi Difabel (SIGAB), Vol. 2, No. 2, Tahun 2015.
Ro‟fah Mudzakir dan Slamet Thohari, 2010, “Kaum Difabel dalam Pergulatan
Makna: Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di
Indonesia”, dalam Sahiron dan Asep Jahidin (ed.), Ontologi Pekerjaan
Sosial, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Asyhabuddin, “Difabilitas dan Pendidikan Inklusif: Kemungkinannya di STAIN
Purwokerto,” Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 13, No. 3,
Sep-Des 2008.
Sunarman Sukamto, Best Practice Advokasi Kebijakan Daerah Perperspektif
Difabel: Pengalaman PPRBM Solo, Solo: PPRBM Solo.
144
Al-BayyinaH
Jurnal of Islamic Law/ Jurnal Hukum Islam
Fajar:
“Pemenuhan Hak-Hak Kaum Difabel…”
Paper dipresentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas:
ILO (PROPEL-Indonesia) & World Bank (DPO Window), Jakarta tanggal
26-27 September 2012.
Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap
Penyandang Disabilitas MenurutConvention on the Rights of Persons With
Disabilities (CRPD),” Jurnal Inovatif, Volume VIII, Nomor I, Januari
2015.
Paper di Presentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas:
ILO (PROPEL-Indonesia) & World Bank (DPO Window), Jakarta tanggal
26-27 September 2012.
145