Papers by Anggina Mutiara

Dalam negara yang menganut demokrasi tentu sudah tidak asing dengan otonomi daerah. Otonomi daera... more Dalam negara yang menganut demokrasi tentu sudah tidak asing dengan otonomi daerah. Otonomi daerah ini biasanya diterapkan di negara serikat dan kesatuan. Otonomi daerah bisa diartikan sebagai kewajiban yang dikuasakan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan juga hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di indonesia sendiri otonomi daerah sudah dilaksanakan dalam beberapa zaman yaitu zaman Hindia Belanda hingga sekarang ini. Sampai saat ini sudah enam kali dilakukan perubahan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dari enam kali perubahan tersebut, masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang diwarnai oleh jiwa dan semangat sesuai perkembangan situasi politik pada saat undang-undang tersebut disusun. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dinilai lebih cenderung bernuansa sentralistik karena menenkankan desentralisasi pada konteks dekonsentrasi kepada pusat.
Dalam konteks Daerah Aceh, Implikasi kebijakan sentralistik yang tidak memperdulikan kultur lokal sangat di rasakan oleh Masyarakat Aceh semenjak pemberlakuan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah dan UU No. 5/1979 tentang pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua Undang-undang tersebut, identitas sosio-kultural Aceh tereliminasi dan pemberlakuan Undang-undang tersebut telah menyebabkan rusaknya struktur pemerintahan tradisional dan sistem budaya Aceh. Pemberlakuan Undang-undang tersebut juga merekayasa lahirnya elit baru yaitu elit birokratis yang ternyata tidak berakar dalam masyarakat.

We live in an era of democracy; for the first time in history, most people in the world live unde... more We live in an era of democracy; for the first time in history, most people in the world live under tolerably democratic rule. This upsurge in democracy reflects the transformation of the world’s political landscape in the final quarter of twentieth century. As democracy continues to spread, so it becomes more varied, only over this short period, the number of democratic countries increase more than doubled compare to the previous era. Understanding the forms taken by democracy in today’s world has become important.
…..‘In the expressions democratic pluralism and pluralist democracy, the term democracy may refer either to an ideal or to a specific type of actual regime. Historically, the term democracy has been applied to two specific types of actual regimes, the second regime can be understood as an attempt to democratize large-scale governments where its relatively democratized nation-states (countries), which may also be called polyarchy.

Proses modernisasi Negara-negara dunia ketiga (new nations state) pada umumnya menggunakan sistem... more Proses modernisasi Negara-negara dunia ketiga (new nations state) pada umumnya menggunakan sistem mobilisasi politik. Ketika modernisasi politik di the new nations state tidak berjalan dengan lancar—akibat stabilitas politik yang masih rentan—cenderung merubah sistem pemerintahan Negara tersebut menjadi otoritarian. Kondisi demikian mengarahkan the leader untuk menempatkan satu ideologi Negara dengan fungsi utama yaitu menciptakan stabilititas politik dan sebagai pemersatu bangsa. Ideologi yang “disucikan” tersebut dikenal dengan istilah "Political Religion".
Dengan dijadikannya pancasila sebagai ideologi Negara, sebagai political religion di masa Orba dapat dinilai selain membantu terwujudnya nation building, menjamin stabilitas politik dan fungsionalisasi sistem mobilisasi politik yang ada. Dan tidak dapat dipungkiri efektifitasnya dalam upaya Orba untuk memperkecil konflik-konflik yang diakibatkan oleh tingginya keanekaragaman bangsa Indonesia. Namun, disisi lain kebijakan asas tunggal Pancasila menjadikan Pancasila sebagai alat pembenaran rezim otoritarian Soeharto, dengan penerapan P4; indoktrinisasi nilai-nilai pancasila dalam sistem pendidikan Nasional sejak dini. Sehingga yang terjadi dalam proses pembangunan nasional juga memberikan efek negative, yaitu dengan menekan partisipasi politik rakyat secara masif, menjadikan sistem pemerintahan Orba sebagai pemerintahan demokratik-otoritarian, dengan single system of central authority/sentralisasi kekuasaan oleh partai tunggal (Golkar), membatasi ruang gerak rakyat dalam mengekspresikan kebebasan berpolitiknya dan memperkuat legitimasi otoritas Negara.
Istilah Demokrasi lazimnya digunakan untuk menggambarkan ideologi dan mekanisme Suatu pemerintah.... more Istilah Demokrasi lazimnya digunakan untuk menggambarkan ideologi dan mekanisme Suatu pemerintah. Amerika Serikat dan Republik Indonesia menyelenggarakan sistem pemerintahan kedua negara berdasarkan kaedah-kaedah demokrasi. Dalam merealisasikan kondisi perpolitikan demokrasi yang stabil selalu berjalan dengan peran dan fungsi pokok partai politik yang dianggap sebagai atribut Utama dalam demokrasi. Pemetaan partai-partai politik di kedua negara memiliki perbedaan bentuk sistem kepartaian, sehingga berdampak kepada stabilitas penyelenggaraan demokrasi di negara. Kajian ilmiah Ini akan berupaya menjelaskan indikator-indikator Utama yang mempengaruhi proses demokratisasi di kedua negara dengan mempertimbangkan Satu fenomena politik global; plutocracry dalam negara demokrasi.
Critical Review ini mengkaji secara singkat mengenai gagasan-gagasan pemikiran yang diuraikan di ... more Critical Review ini mengkaji secara singkat mengenai gagasan-gagasan pemikiran yang diuraikan di dalam buku ‘Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa’ yang disusun oleh Guru Besar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo. Di dalam buku tersebut bisa ditelusuri beberapa bahasan yang menguraikan konsep kekuasaan dari beberapa varian tertentu dan juga perspektif mengenai kekuasaan dari sudut pandang Jawa Tradisional.
Dimana ditekankan oleh penulis, bahwa untuk dapat memahami pemikiran Koentjaraningrat, analisa awal harus berangkat dari konsep kekuasaan yang dibahas oleh Miriam Budiardjo dalam aspek epistemologi ilmu sosial dan gagasan mengenai kekuasaan Jawa tradisional Benedict Anderson, hal ini dikarenakan konsepsi yang diuraiikan oleh Koentjaraningrat merupakan pembatahan atas gagasan Anderson.

Proses politik dalam Ilmu sosial bisa dianalisa melalui konsep kekuasaan, berangkat dari aspek e... more Proses politik dalam Ilmu sosial bisa dianalisa melalui konsep kekuasaan, berangkat dari aspek espitemologi ilmu sosial dan tinjauan kepustakaannya, kekuasaan merupakan pilar penting dalam perubahan sosial, ekonomi dan tentu saja politik. Berbicara mengenai politik tidak dapat dilepaskan dengan power, In Politics, everything is all about power! Sehingga kekuasaan atau power secara umum dapat didefinisikan sebagai ‘kapabilitas seseorang untuk mencapai keinginannya’, politik menjadi instrumen yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan tersebut adalah dengan merujuk kepada siapa yang mendapatkannya, apa bentuk dari kekuasaan tersebut, kapan kekuasaan tersebut bisa diterapkan dan bagaimana cara pemilik kekuasaan untuk mendapatkan kekuasaan serta menjalankannya. Dimana kekuasaan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan (decision making process,-red), yang melipatkan hubungan antar individu, kelompok-kelompok kepentingan dan Negara.

Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan an... more Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada abad Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M) mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan.
Hal demikian mengarahkan gagasan utama yang kemudian muncul ke permukaan dimana gagasan yang ada mencari alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para Raja Eropa dengan legitimasi Gereja—The Traditional authority of the church was undermine by scientific discoveries, and the idea of monarchs ruling by divine right—. Di Eropa khususnya di Perancis, banyak pemikir politik mulai menginvestigasi/mempertanyakan kekuasaan monarki, klerus dan aristokrasi. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan JJ Rouseau (1712-1778).
Era ini juga ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) dan demokrasi modern (JJ Rouseau) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis, tokoh-tokoh tersebut merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan
Critical Review ini akan memberikan ulasan singkat mengenai dua tokoh penting yang muncul pada masa itu; Montesquieu dan Rousseau, memaparkan essensi-essensi pemikiran keduanya dan bagaimana konsepsi yang dirumuskan telah diadopsi dalam praktik demokrasi dari Era Medieval hingga ke era kontemporer.

Japan created a state-administered system of licensed prostitutions and within itself and its col... more Japan created a state-administered system of licensed prostitutions and within itself and its colonies. The “Comfort Women” (Jugun Ianfu) system had been drafted over 200,000 Asian women into sexual slavery for the Japanese military during the Pacific War. They were from Japan, South-Korea, China, Taiwan, The Philippines, The Netherlands, Malaysia, Timor Leste and Indonesia.
In Indonesia, there are around 22,000 former Jugun Ianfu as reported Ex-Heiho Forum, and, 1,156 as reported by Legal Aid Institute – Yogyakarta. This does not include unreported cases because some former Jugun Ianfu are ashamed or passed away. Hence, many of the survivors have been faced with new forms of violence. The wounds of Japanese colonialism and war still fester in several nations in East and Southeast Asia. Particularly, in Indonesia, the plight of Jugun Ianfu has come to symbolize imperial Japan’s war crimes.
In general, attitudes regarding the proper place of the Jugun Ianfu in the social landscape both nationally and internationally have not changed significantly. Today, these Jugun Ianfu survivors, who are now in their late eighties and nineties, still live with terrifying memories of their captivity and sexual enslavement. Many suffer from irreparable psychological and physical wounds.
This paper examines the Japan colonialism over the Jugun Ianfu system In Indonesia and attempts to analyze how Jugun Ianfu testimony and history relevant to Indonesian politics situation nowadays. The objectives of the paper are not only as a reminder of the history, but also a wake-up call for the public and Indonesian government to address the problems of the past human rights violation.

Penelitian Sosial Politik dengan fokus penyelenggaraan demokrasi di Negara-negara bekas Jajahan (... more Penelitian Sosial Politik dengan fokus penyelenggaraan demokrasi di Negara-negara bekas Jajahan (yang kekiniaan dikenal dengan istilah Negara-negara dunia ketiga) merupakan salah satu kajian penting bagi para ilmuwan sosial dan politik, sebagai upaya merumuskan solusi-solusi ilmiah dengan mempelajari esensi perilaku politik dan historical experiences dalam masyarakat di Negara-negara dunia Ketiga. Hal ini dikarenakan banyaknya bukti empiris yang menunjukkan secara jelas bahwa berakhirnya kolonialisme tidak serta merta membuat Negara yang baru memerdekakan dirinya (Indonesia termasuk di dalam kategori ini) dapat menjalankan pemerintahan yang demokratis, sehingga realitas perilaku politik seorang pemimpin secara normatif bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut barat.
Critical Review ini akan mengulas secara singkat masalah Demokrasi yang terjadi di Indonesia melalui realitas politik dari 10 essai yang ditulis oleh William Raymond Liddle selama periode 1984-1994, kesepuluh studi tersebut terangkum dalam buku Leadership and Culture in Indonesian Politics. William Raymond Liddle yang juga dikenal dengan sapaan Bill Liddle, berasal dari Ohio State University, Amerika Serikat. Liddle telah melakukan penelitian ilmiah secara mendalam terhadap perkembangan politik di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga dewasa ini, sehingga wajar apabila beliau dikenal sebagai Ahli Ilmuwan Sosial Politik bidang kajian Indonesia.

In the Malay World (South East Asia region), 90 percent of over 250 million of its population are... more In the Malay World (South East Asia region), 90 percent of over 250 million of its population are Muslims. This makes Islam the most powerful religion in the region. Indonesia and Malaysia are the two largest majority Muslim nation-states in Southeast Asia, both known as homes to approximately one-fifth of the world’s Muslim population; Indonesia (total population 243 million, 86 percent Muslim) and Malaysia (total population 26 million, 60 percent Muslim). In terms of scale, Islam has the largest number of adherents compared to other religions in Indonesia and Malaysia.
Throughout the years, the rise of Political Islam in both countries has posed particular challenges to democratic principles of governance, human rights and women’s rights. The emerge of Islamic Revivalists in Democratic society; Islam was used as a source of law and public policy, in order to govern the public and private lives of citizens, then the question of who decides what is Islamic and what is not of paramount importance. What are the implications for democratic governance when only a small exclusive group of people has the right to interpret the Text and codify it.
The comparative case studies in this research illuminate the differences between ‘Islamization’ process in Indonesia and Malaysia and the implications from Islamic Revivalism and how it delves into the democratization process.
Untuk dapat melengkapi pemahaman kita atas perubahan-perubahan sistem politk di Indonesia, diperl... more Untuk dapat melengkapi pemahaman kita atas perubahan-perubahan sistem politk di Indonesia, diperlukan penggabungan antara beberapa pendekatan : pendekatan sistem, pendekatan struktural-fungsional dan sejarah Indonesia sendiri. Dengan penggabungan tersebut kedepannya kita dapat menganalisa kecenderungan perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Dengan melihat struktur dan fungsi kelembagaan yang terkandung dalam sistem politik Indonesia saat ini baik itu partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan, lembaga eksekutif, legislative, yudikatif dan jajaran birokrasi yang memainkan peranan di struktur kelembagaan Indonesia.
Semua faktor tersebut untuk membantu kita menganalisa secara makro ataupun mikro revolusi sistem politik Indonesia.
Uploads
Papers by Anggina Mutiara
Di indonesia sendiri otonomi daerah sudah dilaksanakan dalam beberapa zaman yaitu zaman Hindia Belanda hingga sekarang ini. Sampai saat ini sudah enam kali dilakukan perubahan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dari enam kali perubahan tersebut, masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang diwarnai oleh jiwa dan semangat sesuai perkembangan situasi politik pada saat undang-undang tersebut disusun. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dinilai lebih cenderung bernuansa sentralistik karena menenkankan desentralisasi pada konteks dekonsentrasi kepada pusat.
Dalam konteks Daerah Aceh, Implikasi kebijakan sentralistik yang tidak memperdulikan kultur lokal sangat di rasakan oleh Masyarakat Aceh semenjak pemberlakuan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah dan UU No. 5/1979 tentang pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua Undang-undang tersebut, identitas sosio-kultural Aceh tereliminasi dan pemberlakuan Undang-undang tersebut telah menyebabkan rusaknya struktur pemerintahan tradisional dan sistem budaya Aceh. Pemberlakuan Undang-undang tersebut juga merekayasa lahirnya elit baru yaitu elit birokratis yang ternyata tidak berakar dalam masyarakat.
…..‘In the expressions democratic pluralism and pluralist democracy, the term democracy may refer either to an ideal or to a specific type of actual regime. Historically, the term democracy has been applied to two specific types of actual regimes, the second regime can be understood as an attempt to democratize large-scale governments where its relatively democratized nation-states (countries), which may also be called polyarchy.
Dengan dijadikannya pancasila sebagai ideologi Negara, sebagai political religion di masa Orba dapat dinilai selain membantu terwujudnya nation building, menjamin stabilitas politik dan fungsionalisasi sistem mobilisasi politik yang ada. Dan tidak dapat dipungkiri efektifitasnya dalam upaya Orba untuk memperkecil konflik-konflik yang diakibatkan oleh tingginya keanekaragaman bangsa Indonesia. Namun, disisi lain kebijakan asas tunggal Pancasila menjadikan Pancasila sebagai alat pembenaran rezim otoritarian Soeharto, dengan penerapan P4; indoktrinisasi nilai-nilai pancasila dalam sistem pendidikan Nasional sejak dini. Sehingga yang terjadi dalam proses pembangunan nasional juga memberikan efek negative, yaitu dengan menekan partisipasi politik rakyat secara masif, menjadikan sistem pemerintahan Orba sebagai pemerintahan demokratik-otoritarian, dengan single system of central authority/sentralisasi kekuasaan oleh partai tunggal (Golkar), membatasi ruang gerak rakyat dalam mengekspresikan kebebasan berpolitiknya dan memperkuat legitimasi otoritas Negara.
Dimana ditekankan oleh penulis, bahwa untuk dapat memahami pemikiran Koentjaraningrat, analisa awal harus berangkat dari konsep kekuasaan yang dibahas oleh Miriam Budiardjo dalam aspek epistemologi ilmu sosial dan gagasan mengenai kekuasaan Jawa tradisional Benedict Anderson, hal ini dikarenakan konsepsi yang diuraiikan oleh Koentjaraningrat merupakan pembatahan atas gagasan Anderson.
Hal demikian mengarahkan gagasan utama yang kemudian muncul ke permukaan dimana gagasan yang ada mencari alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para Raja Eropa dengan legitimasi Gereja—The Traditional authority of the church was undermine by scientific discoveries, and the idea of monarchs ruling by divine right—. Di Eropa khususnya di Perancis, banyak pemikir politik mulai menginvestigasi/mempertanyakan kekuasaan monarki, klerus dan aristokrasi. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan JJ Rouseau (1712-1778).
Era ini juga ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) dan demokrasi modern (JJ Rouseau) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis, tokoh-tokoh tersebut merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan
Critical Review ini akan memberikan ulasan singkat mengenai dua tokoh penting yang muncul pada masa itu; Montesquieu dan Rousseau, memaparkan essensi-essensi pemikiran keduanya dan bagaimana konsepsi yang dirumuskan telah diadopsi dalam praktik demokrasi dari Era Medieval hingga ke era kontemporer.
In Indonesia, there are around 22,000 former Jugun Ianfu as reported Ex-Heiho Forum, and, 1,156 as reported by Legal Aid Institute – Yogyakarta. This does not include unreported cases because some former Jugun Ianfu are ashamed or passed away. Hence, many of the survivors have been faced with new forms of violence. The wounds of Japanese colonialism and war still fester in several nations in East and Southeast Asia. Particularly, in Indonesia, the plight of Jugun Ianfu has come to symbolize imperial Japan’s war crimes.
In general, attitudes regarding the proper place of the Jugun Ianfu in the social landscape both nationally and internationally have not changed significantly. Today, these Jugun Ianfu survivors, who are now in their late eighties and nineties, still live with terrifying memories of their captivity and sexual enslavement. Many suffer from irreparable psychological and physical wounds.
This paper examines the Japan colonialism over the Jugun Ianfu system In Indonesia and attempts to analyze how Jugun Ianfu testimony and history relevant to Indonesian politics situation nowadays. The objectives of the paper are not only as a reminder of the history, but also a wake-up call for the public and Indonesian government to address the problems of the past human rights violation.
Critical Review ini akan mengulas secara singkat masalah Demokrasi yang terjadi di Indonesia melalui realitas politik dari 10 essai yang ditulis oleh William Raymond Liddle selama periode 1984-1994, kesepuluh studi tersebut terangkum dalam buku Leadership and Culture in Indonesian Politics. William Raymond Liddle yang juga dikenal dengan sapaan Bill Liddle, berasal dari Ohio State University, Amerika Serikat. Liddle telah melakukan penelitian ilmiah secara mendalam terhadap perkembangan politik di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga dewasa ini, sehingga wajar apabila beliau dikenal sebagai Ahli Ilmuwan Sosial Politik bidang kajian Indonesia.
Throughout the years, the rise of Political Islam in both countries has posed particular challenges to democratic principles of governance, human rights and women’s rights. The emerge of Islamic Revivalists in Democratic society; Islam was used as a source of law and public policy, in order to govern the public and private lives of citizens, then the question of who decides what is Islamic and what is not of paramount importance. What are the implications for democratic governance when only a small exclusive group of people has the right to interpret the Text and codify it.
The comparative case studies in this research illuminate the differences between ‘Islamization’ process in Indonesia and Malaysia and the implications from Islamic Revivalism and how it delves into the democratization process.
Semua faktor tersebut untuk membantu kita menganalisa secara makro ataupun mikro revolusi sistem politik Indonesia.
Di indonesia sendiri otonomi daerah sudah dilaksanakan dalam beberapa zaman yaitu zaman Hindia Belanda hingga sekarang ini. Sampai saat ini sudah enam kali dilakukan perubahan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dari enam kali perubahan tersebut, masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang diwarnai oleh jiwa dan semangat sesuai perkembangan situasi politik pada saat undang-undang tersebut disusun. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dinilai lebih cenderung bernuansa sentralistik karena menenkankan desentralisasi pada konteks dekonsentrasi kepada pusat.
Dalam konteks Daerah Aceh, Implikasi kebijakan sentralistik yang tidak memperdulikan kultur lokal sangat di rasakan oleh Masyarakat Aceh semenjak pemberlakuan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah dan UU No. 5/1979 tentang pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua Undang-undang tersebut, identitas sosio-kultural Aceh tereliminasi dan pemberlakuan Undang-undang tersebut telah menyebabkan rusaknya struktur pemerintahan tradisional dan sistem budaya Aceh. Pemberlakuan Undang-undang tersebut juga merekayasa lahirnya elit baru yaitu elit birokratis yang ternyata tidak berakar dalam masyarakat.
…..‘In the expressions democratic pluralism and pluralist democracy, the term democracy may refer either to an ideal or to a specific type of actual regime. Historically, the term democracy has been applied to two specific types of actual regimes, the second regime can be understood as an attempt to democratize large-scale governments where its relatively democratized nation-states (countries), which may also be called polyarchy.
Dengan dijadikannya pancasila sebagai ideologi Negara, sebagai political religion di masa Orba dapat dinilai selain membantu terwujudnya nation building, menjamin stabilitas politik dan fungsionalisasi sistem mobilisasi politik yang ada. Dan tidak dapat dipungkiri efektifitasnya dalam upaya Orba untuk memperkecil konflik-konflik yang diakibatkan oleh tingginya keanekaragaman bangsa Indonesia. Namun, disisi lain kebijakan asas tunggal Pancasila menjadikan Pancasila sebagai alat pembenaran rezim otoritarian Soeharto, dengan penerapan P4; indoktrinisasi nilai-nilai pancasila dalam sistem pendidikan Nasional sejak dini. Sehingga yang terjadi dalam proses pembangunan nasional juga memberikan efek negative, yaitu dengan menekan partisipasi politik rakyat secara masif, menjadikan sistem pemerintahan Orba sebagai pemerintahan demokratik-otoritarian, dengan single system of central authority/sentralisasi kekuasaan oleh partai tunggal (Golkar), membatasi ruang gerak rakyat dalam mengekspresikan kebebasan berpolitiknya dan memperkuat legitimasi otoritas Negara.
Dimana ditekankan oleh penulis, bahwa untuk dapat memahami pemikiran Koentjaraningrat, analisa awal harus berangkat dari konsep kekuasaan yang dibahas oleh Miriam Budiardjo dalam aspek epistemologi ilmu sosial dan gagasan mengenai kekuasaan Jawa tradisional Benedict Anderson, hal ini dikarenakan konsepsi yang diuraiikan oleh Koentjaraningrat merupakan pembatahan atas gagasan Anderson.
Hal demikian mengarahkan gagasan utama yang kemudian muncul ke permukaan dimana gagasan yang ada mencari alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para Raja Eropa dengan legitimasi Gereja—The Traditional authority of the church was undermine by scientific discoveries, and the idea of monarchs ruling by divine right—. Di Eropa khususnya di Perancis, banyak pemikir politik mulai menginvestigasi/mempertanyakan kekuasaan monarki, klerus dan aristokrasi. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan JJ Rouseau (1712-1778).
Era ini juga ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) dan demokrasi modern (JJ Rouseau) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis, tokoh-tokoh tersebut merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan
Critical Review ini akan memberikan ulasan singkat mengenai dua tokoh penting yang muncul pada masa itu; Montesquieu dan Rousseau, memaparkan essensi-essensi pemikiran keduanya dan bagaimana konsepsi yang dirumuskan telah diadopsi dalam praktik demokrasi dari Era Medieval hingga ke era kontemporer.
In Indonesia, there are around 22,000 former Jugun Ianfu as reported Ex-Heiho Forum, and, 1,156 as reported by Legal Aid Institute – Yogyakarta. This does not include unreported cases because some former Jugun Ianfu are ashamed or passed away. Hence, many of the survivors have been faced with new forms of violence. The wounds of Japanese colonialism and war still fester in several nations in East and Southeast Asia. Particularly, in Indonesia, the plight of Jugun Ianfu has come to symbolize imperial Japan’s war crimes.
In general, attitudes regarding the proper place of the Jugun Ianfu in the social landscape both nationally and internationally have not changed significantly. Today, these Jugun Ianfu survivors, who are now in their late eighties and nineties, still live with terrifying memories of their captivity and sexual enslavement. Many suffer from irreparable psychological and physical wounds.
This paper examines the Japan colonialism over the Jugun Ianfu system In Indonesia and attempts to analyze how Jugun Ianfu testimony and history relevant to Indonesian politics situation nowadays. The objectives of the paper are not only as a reminder of the history, but also a wake-up call for the public and Indonesian government to address the problems of the past human rights violation.
Critical Review ini akan mengulas secara singkat masalah Demokrasi yang terjadi di Indonesia melalui realitas politik dari 10 essai yang ditulis oleh William Raymond Liddle selama periode 1984-1994, kesepuluh studi tersebut terangkum dalam buku Leadership and Culture in Indonesian Politics. William Raymond Liddle yang juga dikenal dengan sapaan Bill Liddle, berasal dari Ohio State University, Amerika Serikat. Liddle telah melakukan penelitian ilmiah secara mendalam terhadap perkembangan politik di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga dewasa ini, sehingga wajar apabila beliau dikenal sebagai Ahli Ilmuwan Sosial Politik bidang kajian Indonesia.
Throughout the years, the rise of Political Islam in both countries has posed particular challenges to democratic principles of governance, human rights and women’s rights. The emerge of Islamic Revivalists in Democratic society; Islam was used as a source of law and public policy, in order to govern the public and private lives of citizens, then the question of who decides what is Islamic and what is not of paramount importance. What are the implications for democratic governance when only a small exclusive group of people has the right to interpret the Text and codify it.
The comparative case studies in this research illuminate the differences between ‘Islamization’ process in Indonesia and Malaysia and the implications from Islamic Revivalism and how it delves into the democratization process.
Semua faktor tersebut untuk membantu kita menganalisa secara makro ataupun mikro revolusi sistem politik Indonesia.