Papers by Asrudin Azwar
Jurnal Academia Praja , 2021
Dwifungsi (dual-function) of the Indonesian Arm Forces has been evolved and
reached its peak in t... more Dwifungsi (dual-function) of the Indonesian Arm Forces has been evolved and
reached its peak in the New Order era. The social and political role of Indonesian
Arm Forces became dominant in every aspects of the life of society. After the regime
downfall in 1998, with the monetary crisis which accompanied it, Indonesian civil
society demanded the state to be fully democratic. Thus, the Dwifungsi is left
behind. Nevertheless, the effort to restore Dwifungsi is still strong. By now, many
of Indonesian military generals has occupies public offices. It is of course a
backward and making Indonesia to its darker past. The plan of Jokowi’s
administration to give posts for military officers in ministries and civil institutions
is not accord with democratic spirit and tend to bring back authoritarianism to life.
Jurnal Alternatif, 2024
This article explores the role of the Religion Twenty Forum (R20) in realizing world peae through... more This article explores the role of the Religion Twenty Forum (R20) in realizing world peae through a religious approach. Initiated by the General Chairman of PBNU, Yahya Cholil Staquf and Sheikh Abdurrahman al-Khayyat, the forum aims to facilitate interfaith dialogue to address global issues involving religion. With 388 participants from 32 countries. R20 seeks to address interfaith onflits openly, presenting honest perspectives from various religious leaders. Through the participation of leaders from religion, politics, and economics of G20 Member States, the forum aims to prevent the use of identity as a weapon, limit the spread of communal hatred, and promote solidarity among diverse cultures. R20 has been recognized as an Engagement Group of the G20 Indonesia 2022 Presidency, with plans to continue in various countries. This research attemps to answer the question of the solutions that R20 can provide through religion to achieve world peace, detailing the issues of religious problems and designing a theoretical framework as the basis for concrete steps forward.
Jurnal Ilmiah Kosmopolitan, Volume IV No. 1, Januari - Juni, 2016
Benedict Anderson, yang meninggal pada usia 79 tahun di Malang, Jawa Timur (13/12/2015), secara i... more Benedict Anderson, yang meninggal pada usia 79 tahun di Malang, Jawa Timur (13/12/2015), secara internasional terkenal karena bukunya Imagined Communities (1983), merupakan studi yang paling berpengaruh mengenai bangsa dan asionalisme. Dalam Imagined Communities, Ben mendefinisikan bangsa sebagai komunitas politik yang dibayangkan – Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas (limited) secara inheren sekaligus berkedaulatan... Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka..Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas karena bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis, di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tidak satu pun angsa yang membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat lantaran konsep itu lahir dalam kurun
waktu di mana Pencerahan dan Revolusi memporak-porandakan keabsahan ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri... Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin terjadi disetiap peristiwa aktual, bangsa selalu dipahami sebagai komunitas horisontal yang mendalam. Artikel ini akan menjelaskan pemikiran Ben tentang bangsa, nasionalisme, dan bagaimana karya Ben, "Imagined Communities" telah memberikan kontribusi penting bagi studi hubungan internasional.
Tulisan ini menjelaskan persepsi ancaman dalam kerangka konstruktivisme. Penulis menemukan adanya... more Tulisan ini menjelaskan persepsi ancaman dalam kerangka konstruktivisme. Penulis menemukan adanya konstruksi dalam pikiran para pembuat kebijakan luar negeri dari satu negara ketika memandang cara kerja negara lain. Cara pandang realisme yang menjelaskan ancaman dalam sistem negara internasional sebagai sesuatu yang nyata, rupanya tidak sepenuhnya tepat. Dalam tulisan ini, realisme ditempatkan hanya sebagai cara pandang, nilai, atau ideologi yang melekat dalam pikiran para pembuat kebijakan. Cara pandang ini memunculkan berbagai konstruksi dalam bentuk doktrin strategis yang bersifat sebagai penangkal untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan ancaman yang ditimbulkan oleh negara lain atas negaranya. Akibat dari cara pandang ini juga Iran dan Israel menolak untuk ikut ambil bagian dalam konferensi yang diadakan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) untuk menciptakan zona bebas senjata nuklir di Timur Tengah yang berlangsung di Wina, Austria, pada 21-22 November 2011.
Sejak debat Hubungan Internasional (HI) yang berlangsung dari tahun 1940an-1900an, teori Hubungan... more Sejak debat Hubungan Internasional (HI) yang berlangsung dari tahun 1940an-1900an, teori Hubungan Internasional masih didominasi oleh pendekatan sejarah dan positivisme. Pendekatan Semiotik masih jarang dibahas oleh sarjana-sarjana Hubungan Internasional. Artikel ini berargumen bahwa semiotik sangat penting dijadikan bahan penelitian dalam Hubungan. Semiotik adalah fondasi untuk eksplorasi pengetahuan tentang politik dunia sebab hubungan antara tanda dalam bahasa adalah refleksi realitas politik dunia.Jadi sesungguhnya HI sejak awal sudah memakai semiotik, yaitu milik pendekatan de Saussure. Kedua, perubahan politik dunia membuat adanya rekonstrusi atau/dan dekonstruksi hubungan antara tanda-tanda dalam bahasa dengan realitas (penanda dengan yang ditandai). Kondisi ini yang mengharuskan semiotik HI berubah (ditambah) ke pendekatan poststrukturalis. Tujuan artikel ini fokus pada pemaparan pendekatan psotstrukturalis yang sangat jarang dibahas di indonesia. Semiotik adalah bukan pemik...
Jurnal Academia Praja (FISIP UNJANI) , 2021
Dwifungsi (dual-function) of the Indonesian Arm Forces has been evolved and reached its peak in t... more Dwifungsi (dual-function) of the Indonesian Arm Forces has been evolved and reached its peak in the New Order era. The social and political role of Indonesian Arm Forces became dominant in every aspects of the life of society. After the regime downfall in 1998, with the monetary crisis which accompanied it, Indonesian civil society demanded the state to be fully democratic. Thus, the Dwifungsi is left behind. Nevertheless, the effort to restore Dwifungsi is still strong. By now, many of Indonesian military generals has occupies public offices. It is of course a backward and making Indonesia to its darker past. The plan of Jokowi’s administration to give posts for military officers in ministries and civil institutions is not accord with democratic spirit and tend to bring back authoritarianism to life.
Majalah Parlementaria (DPR RI), 2018
Alternatif: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional (Universitas Jayabaya), 2016
Berbicara tentang Uni Eropa (EU), narasi yang muncul pada beberapa literatur Hubungan Internasion... more Berbicara tentang Uni Eropa (EU), narasi yang muncul pada beberapa literatur Hubungan Internasional (HI) sebagian besar mengungkapkan keberhasilan integrasi Uni Eropa. Hanya beberapa dari mereka berbicara tentang kegagalan integrasi Uni Eropa. Literatur yang sering dikutip oleh peneliti-peneliti HI untuk mengukur integrasi Uni Eropa masih mengacu tulisan-tulisan lama dari David Mitrany, Ernst B. Haas, Karl Deutsch, Joseph Nye, dll. Oleh karena itu, tak heran jika para peneliti HI selalu optimis tentang integrasi Uni Eropa. Artikel ini berusaha untuk tidak
mengikuti pakem dari kebanyakan peneliti HI dan ingin mengawalinya dari skeptisisme. Dari kecenderungan saat ini, penulis menolak untuk mengatakan bahwa Uni Eropa telah berhasil atas integrasinya. Penolakan ini didasarkan pada kasus pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit), dan juga oleh kebangkitan nasionalisme negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Dari kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa kohesi integrasi Uni
Eropa terancam, lebih tepatnya mengarah pada keruntuhan.
Buletin Global Medina (Universitas Al Azhar, Jakarta), 2016
Unifikasi UE dinilai banyak teorisi hubungan internasional sebagai obat penawar paling ampuh bagi... more Unifikasi UE dinilai banyak teorisi hubungan internasional sebagai obat penawar paling ampuh bagi kawasan Eropa untuk meninggalkan sebuah era kegelapan seperti yang pernah terjadi pada masa Perang Dunia I dan II. Namun persoalannya kini - meminjam istilah John Naisbitt (2007) di dalam bukunya Mind Set! - meski tidak mengalami konflik militer, Eropa justru mulai memasuki tahap “kemerosotan yang diusahakan secara bersama-sama.” Kemerosotan itu menurut hemat penulis bukan disebabkan oleh faktor ekonomi seperti yang diyakini oleh Naisbitt, tapi dikarenakan oleh defisit demokrasi: terdapatnya gap antara opini masyarakat negara-negara Eropa dengan opini elite di tubuh UE itu sendiri.
Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi (JIPSI, Universitas Komputer Indonesia), 2015
Since the first debate in International Relations (IR) in 1940s until 1990s, the Theory of IRs ha... more Since the first debate in International Relations (IR) in 1940s until 1990s, the Theory of IRs have been dominated by historical apparoach and then positivism. There has been very limited scholarsof IR in exploring semiotic approach in particular. This article argues that semiotic is an important subject of research that need to be cosidered as one of the significant approach in International Relations. First, semiotic is the basic foundation to explore knowledge of world politics because the relations of signs in language is the reflection of the reality of the
world politics. Therefore, since the beginning, IR has utilized simiotic apparoach in a general way, particulary de Saussure’s semiotic apparoach. Second, The change of the world politics reconstruct or/and deconstruct the relations between the signs in language and the reality. This circumstances should also change (add more) the common semiotic approach towhat scholar known as post-strcturalist semiotic approach. The purpose of this article is focussing on post-structuralist semiotic approach because it has not been explored and discussed yet,
particulary in Indonesia. Semiotic is not a school of thought or ideology or particular perspective. Semiotic is just doors or windows that give us many choices to see the world politics. Therefore, semiotic in particular, the post-structuralist apparoach is conducting the pluralistic reflection of the world politics while in the previous time, semiotic approach was creating the ortodoxy of IR which provided narrow perception of the world politics. This narrow perception tend to construct fake reality of world politics or named as hyperreal/hyperrational of world politics. In additon, the post-structuralist approach is not conducting a study to destroy previous semiotic appoarch, but to comprehend the theory of IR and the theory of IR itself can able to reflect the world politics comprehensively.
Global: Jurnal Politik Internasional (Universitas Indonesia), 2013
This article examines that internet social media have influenced the Egypt Revolution from the au... more This article examines that internet social media have influenced the Egypt Revolution from the authoritarian government to the democratic transition. There are two theories: Cyber-Optimist that argues internet social media is significant in changing a rezim and Cyber-Realist that believes internet is a status quo regime's arsenal in controlling their citizen. Based on cyber-optimist argument, this article believes that internet social media is not supporting the authoritarian government of Husni Mubarak in Egypt, but as the citizen's arsenal to change the authoritarian government of Husni Mubarak.
Indonesian Journal of International Studies (IJIS, Universitas Gadjah Mada), 2014
This writing is the writer's objections against Peter Van Ness' claim on realist paradigm. In ref... more This writing is the writer's objections against Peter Van Ness' claim on realist paradigm. In reference to Thomas Kuhn's paradigm shift, Van Ness argued that realism, as what Kuhn would call "normal science" in international relations theory, is in a crisis because of its inability to explain some anomalies. According to Van Ness, rampant number of states doing security cooperation is enough to call realism is in a crisis as a paradigm. Through several cases on international anarchy, the writer argues that realism is still relevant and worthy to be called a paradigm in Kuhnian category.
Books by Asrudin Azwar
Malang: Intrans Publishing, 2022
Hubungan Internasional (HI) sebagai suatu disiplin ilmu, lahir dari rahim modern Eropa dan Amerik... more Hubungan Internasional (HI) sebagai suatu disiplin ilmu, lahir dari rahim modern Eropa dan Amerika Serikat (Barat). Premisnya dibangun berdasarkan logika Barat (negara-negara berkuasa). Pun konsepsi dan aturan-aturan intinya juga memiliki konsekuensi pada logika politik kekuasaan Barat. Akibat dari ini semua adalah pelegalan kolonialisme dan imperialisme Barat terhadap non-Barat (Timur).
Buku ini dirancang untuk memberikan kontribusi keilmuan HI non-Barat yang sifatnya membebaskan, keluar dari belenggu kolonialisme dan imperialisme akademis. Melalui pendekatan non-Barat dengan alur pikir ke-Indonesiaan (perspektif Indonesia), para kontributor mengajak penstudi HI di Indonesia tidak lagi tergiring untuk menerima logika berpikir kekuasaan Barat mengenai anarki -- yang kuat mendominasi, yang lemah terpinggirkan. Pendekatan yang menindas ini jelas menguntungkan kepentingan Barat karena surplus power yang dimilikinya (politik, ekonomi, militer, budaya, dll), jauh melebihi negara-negara lemah, termasuk Indonesia.
Sudah saatnya bagi penstudi HI di Indonesia menyuarakan perspektifnya sendiri, membiasakan diri berbicara dengan pendekatan Pancasila, politik bebas aktif, dll. dalam merespons situasi internasional yang anarki itu. Dengan begitu, upaya untuk membangun Ilmu Hubungan Internasional Indonesia bukanlah suatu hal yang tidak mungkin.
Buku ini diharapkan bisa menjadi kunci untuk membuka pintu bagi pengembangan ilmu HI Indonesia lebih lanjut dan utuh, dan dijadikan referensi teoretik oleh para mahasiswa HI dan politik, serta panduan praktis bagi para pembuat kebijakan luar negeri Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2019
"Apa yang menarik dari buku ini adalah upaya kedua penulis untuk menerapkan pendekatan Oksidental... more "Apa yang menarik dari buku ini adalah upaya kedua penulis untuk menerapkan pendekatan Oksidentalisme Hassan Hanafi ke dalam kajian Hubungan Internasional. Penerapan ini dilakukan tidak hanya untuk mengkritik pendekatan Orientalisme Barat yang subyektif dan hegemonik terhadap Timur, tetapi juga dimaksudkan untuk menilai Barat secara moderat dengan tujuan untuk menciptakan relasi internasional (Barat-Timur) yang lebih setara tanpa saling mendominasi/menghegemoni satu sama lain”
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Malang: Intrans Publishing, 2014
Buku ini sangat bermanfaat tidak hanya bagi mahasiswa hubungan internasional tetapi juga para dos... more Buku ini sangat bermanfaat tidak hanya bagi mahasiswa hubungan internasional tetapi juga para dosen yang mengajar mata kuliah ini. Para penyunting: Asrudin Azwar, Mirza Jaka Suryana, dan Musa Maliki, telah bekerja keras untuk menyusun secara sistematis tema-tema yang relevan dalam mempelajari metodologi hubungan internasional. Keragaman latar belakang paradigmatik dari para penulisnya menunjukkan bahwa para penyunting telah mencoba menampilkan perkembangan terbaru dalam perdebatan tentang masalah metodologi dalam hubungan internasional.
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009
Fenomena hubungan internasional semakin lama semakin mendekat ke persoalan sehari-hari penduduk d... more Fenomena hubungan internasional semakin lama semakin mendekat ke persoalan sehari-hari penduduk di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Cara kita menjalani kehidupan sehari-hari sangat jelas dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di arena internasional. Keberhasilan kita untuk memenuhi kebutuhan fisik, seperti pangan, sangat ditentukan oleh fenomena internasional. Upaya kita untuk menjadi pintar, juga sangat terkendala oleh banyak hal yang terjadi di luar wilayah kita. Itu berarti bahwa kita mesti belajar untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Kita mesti belajar mendiskripsikan apa yang terjadi. Mencoba mengerti mengapa itu terjadi dan bagaimana mengatasi dampaknya terhadap kehidupan kita. Karena itulah saya menyambut dengan gembira penerbitan karya-karya seperti yang terhimpun dalam buku ini: Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer. Buku yang tidak hanya menyajikan analisis ilmiah, tetapi juga menyajikan perspektif nilai mengenai apa yang mesti dilakukan sehingga kehidupan di arena internasional itu bisa relevan dan bermanfaat bagi upaya manusia menyelesaikan masalah keseharian mereka.
Prof. Dr. Mohtar Mas’oed
Malang: Intrans Publishing, 2016
“Di tengah arus globalisasi dan demokratisasi saat ini dunia ada pandangan yang optimis bahwa pen... more “Di tengah arus globalisasi dan demokratisasi saat ini dunia ada pandangan yang optimis bahwa penyebaran ide demokrasi akan membawa perdamaian dan stabilitas. Buku ini merupakan telaah kritis terhadap harapan tersebut dengan melihat sepak terjang Amerika Serikan dan Uni Eropa. Penulis mempertanyakan apakah kita memiliki landasan yang kokoh untuk percaya bahwa demokrasi pada akhirnya akan menciptakan perdamaian dan stabilitas yang dibutuhkan pada level nasional, regional maupun global. Dengan menelaah kebijakan luar negeri AS dan Uni Eropa belakangan ini penulis juga mencoba untuk menyajikan refleksi untuk kebijakan luar negeri Indonesia dewasa ini. Buku ini layak dibaca oleh mahasiswa, akademisi maupun praktisi hubungan luar negeri tidak hanya untuk memperdalam teori liberal tentang keterkaitan demokrasi dan perdamaian tetapi juga pemahaman realitas dunia politik global yang semakin kompleks.”
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D
News Paper by Asrudin Azwar
Koran Sindo, 2021
Setidaknya terdapat dua masalah yang mengemuka di Myanmar: rancangan konstitusional yang menentuk... more Setidaknya terdapat dua masalah yang mengemuka di Myanmar: rancangan konstitusional yang menentukan bagaimana negara diatur, dan peran militer. Di Myanmar, konstitusi adalah bagian dari proses pakta politik. Melalui pakta politik itu, konstitusi yang dibuat kemudian mendapatkan legitimasi demokrasi dan ini seakan mencerminkan keinginan pemerintahan sipil. Padahal kita tahu bahwa konstitusi itu telah ditulis oleh rezim militer Myanmar pada 2008, sebelum transisi dimulai. NLD tidak memiliki suara politik sama sekali dalam mendesain konstitusi yang dimaksud. Apalagi untuk dapat mengubahnya. Konstitusi itu dirancang untuk tetap tahan amandemen tanpa persetujuan militer. Konstitusi juga mengalokasikan 25 persen kursi legislatif untuk militer. Militer bahkan diberikan kewenangan untuk mengontrol kementerian utama, seperti pertahanan dan urusan dalam negeri, serta hak veto pada masalah-masalah konstitusional.
Uploads
Papers by Asrudin Azwar
reached its peak in the New Order era. The social and political role of Indonesian
Arm Forces became dominant in every aspects of the life of society. After the regime
downfall in 1998, with the monetary crisis which accompanied it, Indonesian civil
society demanded the state to be fully democratic. Thus, the Dwifungsi is left
behind. Nevertheless, the effort to restore Dwifungsi is still strong. By now, many
of Indonesian military generals has occupies public offices. It is of course a
backward and making Indonesia to its darker past. The plan of Jokowi’s
administration to give posts for military officers in ministries and civil institutions
is not accord with democratic spirit and tend to bring back authoritarianism to life.
waktu di mana Pencerahan dan Revolusi memporak-porandakan keabsahan ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri... Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin terjadi disetiap peristiwa aktual, bangsa selalu dipahami sebagai komunitas horisontal yang mendalam. Artikel ini akan menjelaskan pemikiran Ben tentang bangsa, nasionalisme, dan bagaimana karya Ben, "Imagined Communities" telah memberikan kontribusi penting bagi studi hubungan internasional.
mengikuti pakem dari kebanyakan peneliti HI dan ingin mengawalinya dari skeptisisme. Dari kecenderungan saat ini, penulis menolak untuk mengatakan bahwa Uni Eropa telah berhasil atas integrasinya. Penolakan ini didasarkan pada kasus pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit), dan juga oleh kebangkitan nasionalisme negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Dari kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa kohesi integrasi Uni
Eropa terancam, lebih tepatnya mengarah pada keruntuhan.
world politics. Therefore, since the beginning, IR has utilized simiotic apparoach in a general way, particulary de Saussure’s semiotic apparoach. Second, The change of the world politics reconstruct or/and deconstruct the relations between the signs in language and the reality. This circumstances should also change (add more) the common semiotic approach towhat scholar known as post-strcturalist semiotic approach. The purpose of this article is focussing on post-structuralist semiotic approach because it has not been explored and discussed yet,
particulary in Indonesia. Semiotic is not a school of thought or ideology or particular perspective. Semiotic is just doors or windows that give us many choices to see the world politics. Therefore, semiotic in particular, the post-structuralist apparoach is conducting the pluralistic reflection of the world politics while in the previous time, semiotic approach was creating the ortodoxy of IR which provided narrow perception of the world politics. This narrow perception tend to construct fake reality of world politics or named as hyperreal/hyperrational of world politics. In additon, the post-structuralist approach is not conducting a study to destroy previous semiotic appoarch, but to comprehend the theory of IR and the theory of IR itself can able to reflect the world politics comprehensively.
Books by Asrudin Azwar
Buku ini dirancang untuk memberikan kontribusi keilmuan HI non-Barat yang sifatnya membebaskan, keluar dari belenggu kolonialisme dan imperialisme akademis. Melalui pendekatan non-Barat dengan alur pikir ke-Indonesiaan (perspektif Indonesia), para kontributor mengajak penstudi HI di Indonesia tidak lagi tergiring untuk menerima logika berpikir kekuasaan Barat mengenai anarki -- yang kuat mendominasi, yang lemah terpinggirkan. Pendekatan yang menindas ini jelas menguntungkan kepentingan Barat karena surplus power yang dimilikinya (politik, ekonomi, militer, budaya, dll), jauh melebihi negara-negara lemah, termasuk Indonesia.
Sudah saatnya bagi penstudi HI di Indonesia menyuarakan perspektifnya sendiri, membiasakan diri berbicara dengan pendekatan Pancasila, politik bebas aktif, dll. dalam merespons situasi internasional yang anarki itu. Dengan begitu, upaya untuk membangun Ilmu Hubungan Internasional Indonesia bukanlah suatu hal yang tidak mungkin.
Buku ini diharapkan bisa menjadi kunci untuk membuka pintu bagi pengembangan ilmu HI Indonesia lebih lanjut dan utuh, dan dijadikan referensi teoretik oleh para mahasiswa HI dan politik, serta panduan praktis bagi para pembuat kebijakan luar negeri Indonesia.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D
Prof. Dr. Mohtar Mas’oed
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D
News Paper by Asrudin Azwar
reached its peak in the New Order era. The social and political role of Indonesian
Arm Forces became dominant in every aspects of the life of society. After the regime
downfall in 1998, with the monetary crisis which accompanied it, Indonesian civil
society demanded the state to be fully democratic. Thus, the Dwifungsi is left
behind. Nevertheless, the effort to restore Dwifungsi is still strong. By now, many
of Indonesian military generals has occupies public offices. It is of course a
backward and making Indonesia to its darker past. The plan of Jokowi’s
administration to give posts for military officers in ministries and civil institutions
is not accord with democratic spirit and tend to bring back authoritarianism to life.
waktu di mana Pencerahan dan Revolusi memporak-porandakan keabsahan ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri... Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin terjadi disetiap peristiwa aktual, bangsa selalu dipahami sebagai komunitas horisontal yang mendalam. Artikel ini akan menjelaskan pemikiran Ben tentang bangsa, nasionalisme, dan bagaimana karya Ben, "Imagined Communities" telah memberikan kontribusi penting bagi studi hubungan internasional.
mengikuti pakem dari kebanyakan peneliti HI dan ingin mengawalinya dari skeptisisme. Dari kecenderungan saat ini, penulis menolak untuk mengatakan bahwa Uni Eropa telah berhasil atas integrasinya. Penolakan ini didasarkan pada kasus pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit), dan juga oleh kebangkitan nasionalisme negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Dari kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa kohesi integrasi Uni
Eropa terancam, lebih tepatnya mengarah pada keruntuhan.
world politics. Therefore, since the beginning, IR has utilized simiotic apparoach in a general way, particulary de Saussure’s semiotic apparoach. Second, The change of the world politics reconstruct or/and deconstruct the relations between the signs in language and the reality. This circumstances should also change (add more) the common semiotic approach towhat scholar known as post-strcturalist semiotic approach. The purpose of this article is focussing on post-structuralist semiotic approach because it has not been explored and discussed yet,
particulary in Indonesia. Semiotic is not a school of thought or ideology or particular perspective. Semiotic is just doors or windows that give us many choices to see the world politics. Therefore, semiotic in particular, the post-structuralist apparoach is conducting the pluralistic reflection of the world politics while in the previous time, semiotic approach was creating the ortodoxy of IR which provided narrow perception of the world politics. This narrow perception tend to construct fake reality of world politics or named as hyperreal/hyperrational of world politics. In additon, the post-structuralist approach is not conducting a study to destroy previous semiotic appoarch, but to comprehend the theory of IR and the theory of IR itself can able to reflect the world politics comprehensively.
Buku ini dirancang untuk memberikan kontribusi keilmuan HI non-Barat yang sifatnya membebaskan, keluar dari belenggu kolonialisme dan imperialisme akademis. Melalui pendekatan non-Barat dengan alur pikir ke-Indonesiaan (perspektif Indonesia), para kontributor mengajak penstudi HI di Indonesia tidak lagi tergiring untuk menerima logika berpikir kekuasaan Barat mengenai anarki -- yang kuat mendominasi, yang lemah terpinggirkan. Pendekatan yang menindas ini jelas menguntungkan kepentingan Barat karena surplus power yang dimilikinya (politik, ekonomi, militer, budaya, dll), jauh melebihi negara-negara lemah, termasuk Indonesia.
Sudah saatnya bagi penstudi HI di Indonesia menyuarakan perspektifnya sendiri, membiasakan diri berbicara dengan pendekatan Pancasila, politik bebas aktif, dll. dalam merespons situasi internasional yang anarki itu. Dengan begitu, upaya untuk membangun Ilmu Hubungan Internasional Indonesia bukanlah suatu hal yang tidak mungkin.
Buku ini diharapkan bisa menjadi kunci untuk membuka pintu bagi pengembangan ilmu HI Indonesia lebih lanjut dan utuh, dan dijadikan referensi teoretik oleh para mahasiswa HI dan politik, serta panduan praktis bagi para pembuat kebijakan luar negeri Indonesia.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D
Prof. Dr. Mohtar Mas’oed
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D