Papers by Diah Suradiredja
Series Paper nomor Tujuh adalah tentang bagaimana perkembangan Regulasi Hijau Tiongkok. Hal ini... more Series Paper nomor Tujuh adalah tentang bagaimana perkembangan Regulasi Hijau Tiongkok. Hal ini paralel dengan Regulasi EUDR yang semakin dekat implementasinya, perkembangan panggilan hijau Tiongkok yang terus bergulir dan disiapkan pemerintahnya untuk melindungi para pelaku pasar di Tiongkok dalam melakukan praktik berkelanjutan.
Sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Tiongkok memegang peran krusial dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Langkah ini semakin diperkuat dengan komitmen Presiden Xi Jinping yang menargetkan puncak emisi sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Komitmen ini diikuti oleh serangkaian target spesifik yang diumumkan pada Desember 2020 dan diintegrasikan ke dalam environmental goals dalam Tiongkok Vision 2035.
Series Paper nomor enam adalah tentang bagaimana kebijakan EUDR mengalami proses up and down, se... more Series Paper nomor enam adalah tentang bagaimana kebijakan EUDR mengalami proses up and down, serta gelombang penolakan dari negara anggota EU maupun negara-negara produsen. Situasi ini ini menarik karena gelombang penolakan ini mempengaruhi proses persiapan regulasi hijau di US dan Tiongkok.
Paper Series, 2024
Series Paper nomor lima adalah tentang apa yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan EUDR. Pema... more Series Paper nomor lima adalah tentang apa yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan EUDR. Pemahaman terhadap persyaratan yang harus dipenuhi dalam regulasi ini diperlukan untuk dapat melihat apakan kebijakan green memiliki dampak yang baik untuk lingkungan, karena ketelusuran asal muasal komoditi menjadi hal yang harus dibuktikan.
Paper Series, 2024
Series Paper nomor empat adalah tentang Green Regulation di Uni Eropa yaitu EUDR, yang saat ini ... more Series Paper nomor empat adalah tentang Green Regulation di Uni Eropa yaitu EUDR, yang saat ini menjadi pembahasan para pihak, dan menjadi kajian dari ranah politik dagang sampai dengan kesiapan smallholder yang akan secara langsung terkena dampaknya. Paper ke empat ini meringkaskan catatan dari beberapa studi yang dapat dipakai untuk landasan pengetahuan terkait EUDR.
Series Paper #3, 2024
Series Paper ini disusun sebagai bagian proses dalam penulisan Riset “Konflik dan Keselarasan Keb... more Series Paper ini disusun sebagai bagian proses dalam penulisan Riset “Konflik dan Keselarasan Kebijakan Hijau Nasional vis a vis Regulasi Lingkungan Internasional (Amerika, Tiongkok dan Uni Eropa): Dilema Tata Kelola Multi Aras” pada Program Doktoral berdasarkan Penelitian pada Sekolah Pascasarjana IPB University Fakultas Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Proses riset ini sudah berlangsung sejak penulis terlibat dalam proses fasilitasi antara kementerian dan multipihak terkait kebijakan kebijakan internasional yang berpengaruh pada pasar dan perdagangan di Indonesia. Pada tahun 2007 sampai 2014, penulis terlibat langsung dalam kesepakatan Indonesia dan Uni Eropa tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT -VPA) dan pembangunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); dan sejak 2015 terlibat dalam perkembangan EU Green Deal, The Renewable Energy Directive (RED2) dan sampai dengan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) saat ini.
Series Paper nomor tiga adalah tentang Green Regulation di Amerika Serikat, yang akan memberikan catatan pengingat pada Pemerintah, Pelaku Usaha dan publik tentang perilaku negara konsumen yang selalu menekan Indonesia dari sisi isu deforestrasi untuk komoditi strategis eksport Indonesia.
Paper Series, 2024
Paper Series ke 2 tentang Panggilan Hijau Tiongkok sudah saya tulis sejak Bulan Januari 2024 dan ... more Paper Series ke 2 tentang Panggilan Hijau Tiongkok sudah saya tulis sejak Bulan Januari 2024 dan diterbitkan di Forest Digest: https://lnkd.in/gDQNBuQd
Perkembangannya sampai saat ini terus saya ikuti dan updatenya akan saya sampaikan pada paper series. Silahkan menyimak.
Paper Series, 2024
Series Paper ini disusun sebagai bagian proses dalam penulisan Riset “Konflik dan Keselarasan Keb... more Series Paper ini disusun sebagai bagian proses dalam penulisan Riset “Konflik dan Keselarasan Kebijakan Hijau Nasional vis a vis Regulasi Lingkungan Internasional (Amerika, Tiongkok dan Uni Eropa): Dilema Tata Kelola Multi Aras” pada Program Doktoral berdasarkan Penelitian pada Sekolah Pascasarjana IPB University Fakultas Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Proses riset ini sudah berlangsung sejak penulis terlibat dalam proses fasilitasi antara kementerian dan multipihak terkait kebijakan kebijakan internasional yang berpengaruh pada pasar dan perdagangan di Indonesia. Pada tahun 2007 sampai 2014, penulis terlibat langsung dalam kesepakatan Indonesia dan Uni Eropa tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT -VPA) dan pembangunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); dan sejak 2015 terlibat dalam perkembangan EU Green Deal, The Renewable Energy Directive (RED2) dan sampai dengan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) saat ini.
Paper Series nomor satu adalah kesejarahan dari regulasi hijau secara global. Tujuan dari penulisan sejarah ini adalah untuk mengingatkan semua pihak yang sedang bekerja dan riset terkait EUDR, agar bisa memahami sejarah jelas rujukan masing masing negara di dunia dalam menetapkan regulasi hijau mereka.
Sustainability
Nowadays, Indonesian palm oil faces agrarian, environmental, and social issues and has been subje... more Nowadays, Indonesian palm oil faces agrarian, environmental, and social issues and has been subject to sharp criticism from the international community for many years. To answer this problem, the Indonesian government implemented a strategy through certification which ensured the achievement of sustainability standards, especially on the upstream side of the palm oil supply chain. The implementation of Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) was an ultimate instrument that applied in particular to smallholders oriented towards managing land legal issues, plantation business licenses, plant seeds, and environmental management and to farmer organizations at the local level. However, this process faced quite complex challenges in the form of structural barriers that are very constraining. This study revealed the occurrence of the phenomenon of hollow governance when regulations are absent or collide with each other. The study also revealed institutional power and multi-level governance ...
Oil palm has been widely adopted and cultivated as monoculture plantations in Indonesia. Research... more Oil palm has been widely adopted and cultivated as monoculture plantations in Indonesia. Research suggests that these monoculture practices have led to adverse impacts both on natural and human systems and smallholder farmers have been severely impacted by these unsustainable practices. This chapter aims to analyze how oil palm agroforestry (OPAF) has been adopted by smallholder farmers in the Jambi and Central Kalimantan provinces of Indonesia as part of the social forestry (SF) program to solve the tenure-related conflict in the designated forest areas which are disturbed by monoculture oil palm plantations managed by smallholder farmers. This chapter shows that although oil palm is widely adopted as monoculture plantations for the sake of high yielding, smallholder farmers tend to adopt OPAF to maintain the stability of household incomes amidst the uncertainty of oil palm price in the global market and secure their tenurial access to the designated forest lands. Their perception ...
Oil palm has been widely adopted and cultivated as monoculture plantations in Indonesia. Research... more Oil palm has been widely adopted and cultivated as monoculture plantations in Indonesia. Research suggests that these monoculture practices have led to adverse impacts both on natural and human systems and smallholder farmers have been severely impacted by these unsustainable practices. This chapter aims to analyze how oil palm agroforestry (OPAF) has been adopted by smallholder farmers in the Jambi and Central Kalimantan provinces of Indonesia as part of the social forestry (SF) program to solve the tenure-related conflict in the designated forest areas which are disturbed by monoculture oil palm plantations managed by smallholder farmers. This chapter shows that although oil palm is widely adopted as monoculture plantations for the sake of high yielding, smallholder farmers tend to adopt OPAF to maintain the stability of household incomes amidst the uncertainty of oil palm price in the global market and secure their tenurial access to the designated forest lands. Their perception ...
Social Forestry Policy, 2019
“Pelaku Sejarah tak pernah alpa mencatat, menarik benang halus, memilin dan menjalinnya menjadi s... more “Pelaku Sejarah tak pernah alpa mencatat, menarik benang halus, memilin dan menjalinnya menjadi sebuah bola sejarah untuk anak negeri….”
Perkembangan sejarah tentang Perhutanan Sosial, diawali dengan catatan adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat, yaitu pengelolaan hutan yang harus melibatkan dan mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Kebijakan tersebut, saat ini dikenal sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hal mendasar yang diamanahkan dalam kebijakan HKm adalah Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) berbentuk Izin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan mewajibkan pemegang izin untuk menyusun Rencana Pemanfaatan yang dapat dinilai oleh pemerintah, lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum.
Catatan Akhir Tahu, 2019
"Ketika konsep dapur bagi perempuan diterjemahkan lebih luas, sesungguhnya tak ada pagar yang dir... more "Ketika konsep dapur bagi perempuan diterjemahkan lebih luas, sesungguhnya tak ada pagar yang dirusak dan tak ada langkah yang keluar dari lingkar takdir" Suatu pagi, di meja yang berumur tua di ruang kerjaku, kalimat di atas tertulis begitu saja dalam catatan pagiku. Kubaca ulang tanpa ku edit, sambil menerawang pada banyak catatan wawancara dengan beberapa perempuan "hebat" di tahun ini. Setumpuk bahan bacaan dan lembaran questioner, sempat membuat galau dan merusak alur tulisan yang harus aku selesaikan. Saat itu, tidak mudah untuk memanfaatkan "switch tasking" yang dimiliki perempuan sepertiku. Lalu dengan memugar banyak sudut di ruang kerjaku, dan ditemani wangi Bunga Salam yang memancing burung liar datang di sekitar halaman dapurku, akhirnya buku yang aku tulis bersama Bang Aal di tahun 2019 ini, "Perempuan di Singgasana Lelaki", selesai disajikan ke publik. Catatan pinggir dari proses penulisan buku ini yang akan aku jadikan catatan akhir tahunku kali ini. Tahun yang aku lalui dengan hal yang harus diselesaikan dalam waktu bersamaan, terutama memecah antara wacana dan kondisi lapangan, setumpuk pekerjaan memehuni layar laptopku tentang kelapa sawit, tentang carut marutnya kebijakan Pemerintah yang dicoba disederhanakan, tentang diplomasi luar negeri, tentang pilpres yang merusak hubungan keluarga dan persahabatanku, tentang penelitian putriku menjelang akhir kuliahnya, tentang kebijakan Pemerintah memberikan ruang kelola rakyat, dan tentang banyak hal….. Buku harianku mencatat banyak hal yang berbeda, yang pada akhirnya terlihat bahwa catatan dalam tahun ini (mungkin di catatan tahun tahun sebelumnya), memang dipengaruhi oleh banyak perdebatan kecil yang terus berlangsung yaitu memadankan pandangan tentang Negeri yang dikuasai kaum lelaki dengan mangajegkan budaya partiarki, dan mulai biasnya pandangan-pandangan tentang peran perempuan dalam budaya itu. Persoalan-persoalan yang dihadapi dari semua isu yang terbuka dalam laptopku adalah masalah Leadership. Kepemimpinan! Itulah sejak awal tentang Perempuan dan Lelaki, dalam konteks kepemimpinan, aku membaca kembali pemikiran (yang tidak biasa dilihat) Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam. Buku ini (bagiku) lebih mudah untuk dicerna dan membongkar pandanganku tentang Pola Relasi. Konsep yang digunakan Sachiko Murata untuk menjelaskan relasi gender adalah melalui teori kosmologi. Catatan kutipan dari pandangannya adalah ketika lelaki dan perempuan mempunyai kelebihan, tentu masing-masing memiliki kekurangan. Untuk menyempurnakan antara kekurangan dan kelebihan tersebut, harus ada relasi saling melengkapi dan saling membutuhkan, sehingga muncul kesejajaran tanpa adanya ketimpangan yang menunjukkan superior dan inperior. Sedikit rangkuman, pendekatan yang dipakai untuk menjelaskan relasi gendernya Murata, kadang-kadang terpengaruh oleh pemikiran Taoisme dari dalam kerangka Yin dan Yang. Konsep ini berlatar kultur Asia Timur. Ajaran ini
Mempertahankan sebuah Sistem Tatakelola, 2019
Usulan pelaku usaha mebel kayu dan rotan dalam rapat terbatas bertopik "Peningkatan Ekspor Permeb... more Usulan pelaku usaha mebel kayu dan rotan dalam rapat terbatas bertopik "Peningkatan Ekspor Permebelan, Rotan dan Kayu", pada Tanggal 10 September 2019, untuk menghapus SVLK pada IKM dan tidak diberlakukan bagi produk ke negara yang tidak memberlakukan verifikasi kayu, sangatlah tidak tepat.
Beberapa pelaku usaha mebel kayu dan rotan mengeluhkan kepada Presiden terkait sulitnya perizinan dan produk yang terkena pajak, dan pembiayaan, terutama tingginya tingkat bunga pinjaman. Kesulitan tersebut dianggap sebagai kendala bagi eksport produk-produk tersebut.
Ibarat “nila” persoalan tersebut terjadi hanya di beberapa pelaku usaha yang sejak awal tidak sepenuhnya berusaha di produk-produk berbasis kayu. Spekulan dan broker eksport sangat sulit terakomodasi dalam sistem SVLK, dan sulit dibenahi.
Dalam kurun 10 tahun, hambatan implementasi SVLK terutama bagi pelaku bisnis kecil dan menengah yang terkait pemenuhan standard legalitas dan biaya sertifikasi sepatutnya diatasi melalui bantuan pendampingan dan pembiayaan sertifikasi oleh pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya sebagaimana yang telah bergulir hingga saat ini. Telah banyak investasi para pihak, waktu dan dana untuk mengajegkan sistem hulu hilir. Jika benar Pemerintah akan melakukan penghapusan tersebut, maka ibarat Nila setitik, rusak susu sebelanga!
Pemikiran Perbaikan Tatakelola KLHK, 2019
Konsolidasi sektor ekonomi strategis berbasis lahan Pertumbuhan ekonomi masih harus menjadi prior... more Konsolidasi sektor ekonomi strategis berbasis lahan Pertumbuhan ekonomi masih harus menjadi prioritas kebijakan nasional. Sektor-sektor berbasis lahan masih menjadi primadona, namun menghadapi paradoks. Sektor kehutanan, yang menguasai dua pertiga lahan, kontribusinya terhadap pendapatan nasional terus menurun, bahkan sampai di bawah 1 persen. Sudah saatnya peranan ekonomi sektor berbasis lahan harus ditingkatkan; memperkuat dan memperluas manfaatnya bagi rakyat; dan tetap memperhatikan kebajikan ekologi. Yang terakhir ini masih jadi tantangan besar di sektor ekonomi berbasis lahan. Sementara itu, perkebunan (sawit) yang sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan justru menjadi primadona baru. Kita telah menguasai hampir 60% pangsa pasar sawit dunia. Dalam perekonomian nasional, sawit menjadi kontributor terbesar devisa negara. Kedepan, Sawit akan menjadi komoditas strategis nasional untuk program biodiesel dan penyediaan lapangan kerja baru. Sinergi dan koordinasi yang baik antar sektor berbasis lahan menjadi krusial karena masifnya budidaya sawit di kawasan hutan. Digitasi citra satelit yang dilakukan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) pada 2018 menunjukkan sekitar 3,47 juta hektar perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan, baik kawasan hutan produksi, lindung, maupun konservasi. Ini masalah pelik yang harus segera diatasi. Mengintegrasikan sektor perkebunan ke dalam struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa dilihat sebagai alternatif untuk mengatasi problem pelik tersebut. Integrasi ini secara langsung atau tidak langsung, akan mensinergikan kegiatan ekonomi strategis berbasis lahan. Diharapkan akan berdampak pada penyelesaian keterlanjurantumpang tindih kewenangan dan konflik lahan. Integrasi juga akan mendorong percepatan penyelesaian penguasaan lahan dalam kawasan hutan seperti amanat Peraturan Presiden No. 88/ 2017. Sebagai contoh, saat ini ada 23.349 desa di seluruh Indonesia di dalam dan sekitar kawasan hutan yang berisiko tinggi merambah kawasan hutan dan berpotensi menimbulkan sengketa. Penyelesaian konflik lahan dapat memperbaiki akses masyarakat pada lahan, melalui berbagai skema Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.
Climate change became the world’s central issues and concerns of all stakeholders in local,
regio... more Climate change became the world’s central issues and concerns of all stakeholders in local,
regional, national, and international levels. Global warming and climate change takes place
because of the greenhouse gas (GHG) effects produced by development activities of various
business sectors, such as land use, land conversion, forest arson, forest degradation due to
uncontrolled exploitation, and combustion of fossil energy. Indonesia has a commitment to
reducing the GHG in 2010 down to 26 percent of Business as Usual (BAU) with its own
expense and 41 percent of the BAU with international support. Forestry subsector - which is
included in the international organization's Land Use, Land Use Change, and Forest (LULUCF)
- will contribute in slowing down the carbon emission by 14 percent. Thus, the advanced
countries should provide support to countries which have huge forests to be managed in a
sustainable way
Uploads
Papers by Diah Suradiredja
Sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Tiongkok memegang peran krusial dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Langkah ini semakin diperkuat dengan komitmen Presiden Xi Jinping yang menargetkan puncak emisi sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Komitmen ini diikuti oleh serangkaian target spesifik yang diumumkan pada Desember 2020 dan diintegrasikan ke dalam environmental goals dalam Tiongkok Vision 2035.
Proses riset ini sudah berlangsung sejak penulis terlibat dalam proses fasilitasi antara kementerian dan multipihak terkait kebijakan kebijakan internasional yang berpengaruh pada pasar dan perdagangan di Indonesia. Pada tahun 2007 sampai 2014, penulis terlibat langsung dalam kesepakatan Indonesia dan Uni Eropa tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT -VPA) dan pembangunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); dan sejak 2015 terlibat dalam perkembangan EU Green Deal, The Renewable Energy Directive (RED2) dan sampai dengan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) saat ini.
Series Paper nomor tiga adalah tentang Green Regulation di Amerika Serikat, yang akan memberikan catatan pengingat pada Pemerintah, Pelaku Usaha dan publik tentang perilaku negara konsumen yang selalu menekan Indonesia dari sisi isu deforestrasi untuk komoditi strategis eksport Indonesia.
Perkembangannya sampai saat ini terus saya ikuti dan updatenya akan saya sampaikan pada paper series. Silahkan menyimak.
Proses riset ini sudah berlangsung sejak penulis terlibat dalam proses fasilitasi antara kementerian dan multipihak terkait kebijakan kebijakan internasional yang berpengaruh pada pasar dan perdagangan di Indonesia. Pada tahun 2007 sampai 2014, penulis terlibat langsung dalam kesepakatan Indonesia dan Uni Eropa tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT -VPA) dan pembangunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); dan sejak 2015 terlibat dalam perkembangan EU Green Deal, The Renewable Energy Directive (RED2) dan sampai dengan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) saat ini.
Paper Series nomor satu adalah kesejarahan dari regulasi hijau secara global. Tujuan dari penulisan sejarah ini adalah untuk mengingatkan semua pihak yang sedang bekerja dan riset terkait EUDR, agar bisa memahami sejarah jelas rujukan masing masing negara di dunia dalam menetapkan regulasi hijau mereka.
Perkembangan sejarah tentang Perhutanan Sosial, diawali dengan catatan adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat, yaitu pengelolaan hutan yang harus melibatkan dan mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Kebijakan tersebut, saat ini dikenal sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hal mendasar yang diamanahkan dalam kebijakan HKm adalah Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) berbentuk Izin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan mewajibkan pemegang izin untuk menyusun Rencana Pemanfaatan yang dapat dinilai oleh pemerintah, lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum.
Beberapa pelaku usaha mebel kayu dan rotan mengeluhkan kepada Presiden terkait sulitnya perizinan dan produk yang terkena pajak, dan pembiayaan, terutama tingginya tingkat bunga pinjaman. Kesulitan tersebut dianggap sebagai kendala bagi eksport produk-produk tersebut.
Ibarat “nila” persoalan tersebut terjadi hanya di beberapa pelaku usaha yang sejak awal tidak sepenuhnya berusaha di produk-produk berbasis kayu. Spekulan dan broker eksport sangat sulit terakomodasi dalam sistem SVLK, dan sulit dibenahi.
Dalam kurun 10 tahun, hambatan implementasi SVLK terutama bagi pelaku bisnis kecil dan menengah yang terkait pemenuhan standard legalitas dan biaya sertifikasi sepatutnya diatasi melalui bantuan pendampingan dan pembiayaan sertifikasi oleh pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya sebagaimana yang telah bergulir hingga saat ini. Telah banyak investasi para pihak, waktu dan dana untuk mengajegkan sistem hulu hilir. Jika benar Pemerintah akan melakukan penghapusan tersebut, maka ibarat Nila setitik, rusak susu sebelanga!
regional, national, and international levels. Global warming and climate change takes place
because of the greenhouse gas (GHG) effects produced by development activities of various
business sectors, such as land use, land conversion, forest arson, forest degradation due to
uncontrolled exploitation, and combustion of fossil energy. Indonesia has a commitment to
reducing the GHG in 2010 down to 26 percent of Business as Usual (BAU) with its own
expense and 41 percent of the BAU with international support. Forestry subsector - which is
included in the international organization's Land Use, Land Use Change, and Forest (LULUCF)
- will contribute in slowing down the carbon emission by 14 percent. Thus, the advanced
countries should provide support to countries which have huge forests to be managed in a
sustainable way
Sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Tiongkok memegang peran krusial dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Langkah ini semakin diperkuat dengan komitmen Presiden Xi Jinping yang menargetkan puncak emisi sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Komitmen ini diikuti oleh serangkaian target spesifik yang diumumkan pada Desember 2020 dan diintegrasikan ke dalam environmental goals dalam Tiongkok Vision 2035.
Proses riset ini sudah berlangsung sejak penulis terlibat dalam proses fasilitasi antara kementerian dan multipihak terkait kebijakan kebijakan internasional yang berpengaruh pada pasar dan perdagangan di Indonesia. Pada tahun 2007 sampai 2014, penulis terlibat langsung dalam kesepakatan Indonesia dan Uni Eropa tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT -VPA) dan pembangunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); dan sejak 2015 terlibat dalam perkembangan EU Green Deal, The Renewable Energy Directive (RED2) dan sampai dengan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) saat ini.
Series Paper nomor tiga adalah tentang Green Regulation di Amerika Serikat, yang akan memberikan catatan pengingat pada Pemerintah, Pelaku Usaha dan publik tentang perilaku negara konsumen yang selalu menekan Indonesia dari sisi isu deforestrasi untuk komoditi strategis eksport Indonesia.
Perkembangannya sampai saat ini terus saya ikuti dan updatenya akan saya sampaikan pada paper series. Silahkan menyimak.
Proses riset ini sudah berlangsung sejak penulis terlibat dalam proses fasilitasi antara kementerian dan multipihak terkait kebijakan kebijakan internasional yang berpengaruh pada pasar dan perdagangan di Indonesia. Pada tahun 2007 sampai 2014, penulis terlibat langsung dalam kesepakatan Indonesia dan Uni Eropa tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT -VPA) dan pembangunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); dan sejak 2015 terlibat dalam perkembangan EU Green Deal, The Renewable Energy Directive (RED2) dan sampai dengan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) saat ini.
Paper Series nomor satu adalah kesejarahan dari regulasi hijau secara global. Tujuan dari penulisan sejarah ini adalah untuk mengingatkan semua pihak yang sedang bekerja dan riset terkait EUDR, agar bisa memahami sejarah jelas rujukan masing masing negara di dunia dalam menetapkan regulasi hijau mereka.
Perkembangan sejarah tentang Perhutanan Sosial, diawali dengan catatan adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat, yaitu pengelolaan hutan yang harus melibatkan dan mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Kebijakan tersebut, saat ini dikenal sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hal mendasar yang diamanahkan dalam kebijakan HKm adalah Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) berbentuk Izin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan mewajibkan pemegang izin untuk menyusun Rencana Pemanfaatan yang dapat dinilai oleh pemerintah, lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum.
Beberapa pelaku usaha mebel kayu dan rotan mengeluhkan kepada Presiden terkait sulitnya perizinan dan produk yang terkena pajak, dan pembiayaan, terutama tingginya tingkat bunga pinjaman. Kesulitan tersebut dianggap sebagai kendala bagi eksport produk-produk tersebut.
Ibarat “nila” persoalan tersebut terjadi hanya di beberapa pelaku usaha yang sejak awal tidak sepenuhnya berusaha di produk-produk berbasis kayu. Spekulan dan broker eksport sangat sulit terakomodasi dalam sistem SVLK, dan sulit dibenahi.
Dalam kurun 10 tahun, hambatan implementasi SVLK terutama bagi pelaku bisnis kecil dan menengah yang terkait pemenuhan standard legalitas dan biaya sertifikasi sepatutnya diatasi melalui bantuan pendampingan dan pembiayaan sertifikasi oleh pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya sebagaimana yang telah bergulir hingga saat ini. Telah banyak investasi para pihak, waktu dan dana untuk mengajegkan sistem hulu hilir. Jika benar Pemerintah akan melakukan penghapusan tersebut, maka ibarat Nila setitik, rusak susu sebelanga!
regional, national, and international levels. Global warming and climate change takes place
because of the greenhouse gas (GHG) effects produced by development activities of various
business sectors, such as land use, land conversion, forest arson, forest degradation due to
uncontrolled exploitation, and combustion of fossil energy. Indonesia has a commitment to
reducing the GHG in 2010 down to 26 percent of Business as Usual (BAU) with its own
expense and 41 percent of the BAU with international support. Forestry subsector - which is
included in the international organization's Land Use, Land Use Change, and Forest (LULUCF)
- will contribute in slowing down the carbon emission by 14 percent. Thus, the advanced
countries should provide support to countries which have huge forests to be managed in a
sustainable way