Obat ototoksik adalah obat yang berpotensi menimbulkan reaksi toksik pada struktur di koklea, ves... more Obat ototoksik adalah obat yang berpotensi menimbulkan reaksi toksik pada struktur di koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolith. Kanamisin merupakan obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis resisten obat ganda (multidrug resistant/TB MDR) dan berpotensi ototoksik. Penelitian ini bertujuan mengetahui peluang terjadinya ototoksisitas sebagai langkah awal deteksi dini pada penggunaan kanamisin dalam pengobatan TB MDR. Penelitian ini berupa studi deskriptif yang dilakukan secara prospektif di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-Juni 2014 dengan subjek adalah penderita TB MDR. Pemeriksaan awal, yaitu audiometri nada murni, timpanometri dan DPOAE dilakukan sebelum terapi, kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan DPOAE setiap 3 hari selama 1 bulan pertama pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan gangguan koklea pada telinga kanan dan kiri mulai frekuensi 10.000 Hz pada hari ke-19-21, kemudian mengenai frekuensi 8.000 Hz pada hari ke-25-27. Terdapat hubungan negatif gangguan koklea akibat kanamisin dengan usia, namun tidak terdapat hubungan negatif gangguan koklea dengan jenis kelamin dan indeks masa tubuh. Simpulan, peluang kejadian ototoksik pada penderita TB MDR yang mendapat terapi kanamisin terjadi mulai pada akhir minggu kedua serta mengenai frekuensi tinggi terlebih dahulu serta berlanjut ke frekuensi yang lebih rendah. [MKB. 2015;47(4):224-30]
Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya ya... more Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya yang cukup banyak. Para pekerja pabrik mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan dengar. Bunyi dengan intensitas yang cukup kuat (>85 dB) dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, baik sementara maupun tetap. Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia serta usia harapan hidup. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan dengar yang terjadi serta jenis dan derajat ketulian pada pekerja di salah satu pabrik tekstil di Majalaya kabupaten Bandung Jawa Barat. Subjek berjumlah 109 orang pekerja terdiri atas 47 orang laki-laki dan 62 orang perempuan yang dipilih secara total sampling, mulai tanggal 26 Agustus sampai 9 September 2004 dengan penelitian bersifat deskriptif potong lintang. Dilakukan anamnesis dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis telinga, dan pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan dengar pada laki-laki 68,1% lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan 37,2%. Jenis gangguan dengar terbanyak akibat bising 41% kemudian gangguan dengar tipe sensori-neural 32%, tipe konduktif 23%, dan tipe campuran 4%. Prevalensi derajat gangguan dengar ringan 46,8%; sedang 3,7%; dan berat 0,9%. Simpulan, gangguan dengar yang sering ditemukan pada pekerja pabrik yaitu gangguan dengar yang diakibatkan oleh bising. [MKB. 2012;44(2):96-100].
Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya ya... more Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya yang cukup banyak. Para pekerja pabrik mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan dengar. Bunyi dengan intensitas yang cukup kuat (>85 dB) dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, baik sementara maupun tetap. Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia serta usia harapan hidup. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan dengar yang terjadi serta jenis dan derajat ketulian pada pekerja di salah satu pabrik tekstil di Majalaya kabupaten Bandung Jawa Barat. Subjek berjumlah 109 orang pekerja terdiri atas 47 orang laki-laki dan 62 orang perempuan yang dipilih secara total sampling, mulai tanggal 26 Agustus sampai 9 September 2004 dengan penelitian bersifat deskriptif potong lintang. Dilakukan anamnesis dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis telinga, dan pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan dengar pada laki-laki 68,1% lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan 37,2%. Jenis gangguan dengar terbanyak akibat bising 41% kemudian gangguan dengar tipe sensori-neural 32%, tipe konduktif 23%, dan tipe campuran 4%. Prevalensi derajat gangguan dengar ringan 46,8%; sedang 3,7%; dan berat 0,9%. Simpulan, gangguan dengar yang sering ditemukan pada pekerja pabrik yaitu gangguan dengar yang diakibatkan oleh bising. [MKB. 2012;44(2):96-100].
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit kronik mengenai multisistem, merupakan gangg... more Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit kronik mengenai multisistem, merupakan gangguan autoimun yang ditandai oleh produksi autoantibodi dan deposisi kompleks imun di jaringan. Manifestasi klinis dapat meliputi berbagai organ termasuk telinga. Pada telinga dapat menimbulkan gangguan dengar, tinitus, dan vertigo. Gangguan dengar terjadi bilateral pada frekuensi tinggi. Prednison merupakan kortikosteroid oral yang memiliki efek glukokortikoid yang bersifat anti-inflamasi dan imunosupresif. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh prednison terhadap perbaikan pendengaran penderita LES. Penelitian dilakukan periode Maret-Mei 2013 di Poliklinik Gangguan Dengar dan Bicara, Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung menggunakan metode quasi-experimental dengan rancangan one group pretestposttest design dan hasilnya dihitung secara statistik menggunakan uji Rank Spearman. Pada 28 subjek pasien LES dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, audiometri nada murni, timpanometri, dan distortion production otoacoustic emissions. Subjek diberi prednison 1 mg/kgBB/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) selama 4 minggu, kemudian dilakukan evaluasi ulang. Sebelum terapi, 26 subjek mengalami gangguan dengar sedang pada frekuensi tinggi, simetris. Sesudah terapi, 24 subjek ambang dengar menjadi normal dan 4 subjek tetap mengalami gangguan dengar (Rs=0,734; p<0,01). Simpulan, prednison dapat memperbaiki status pendengaran penderita LES. [MKB. 2016;48(2):112-7] Kata kunci: Gangguan dengar, lupus eritematosus sistemik, prednison
Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya ya... more Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya yang cukup banyak. Para pekerja pabrik mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan dengar. Bunyi dengan intensitas yang cukup kuat (>85 dB) dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, baik sementara maupun tetap. Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia serta usia harapan hidup. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan dengar yang terjadi serta jenis dan derajat ketulian pada pekerja di salah satu pabrik tekstil di Majalaya kabupaten Bandung Jawa Barat. Subjek berjumlah 109 orang pekerja terdiri atas 47 orang laki-laki dan 62 orang perempuan yang dipilih secara total sampling, mulai tanggal 26 Agustus sampai 9 September 2004 dengan penelitian bersifat deskriptif potong lintang. Dilakukan anamnesis dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis telinga, dan pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan dengar pada laki-laki 68,1% lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan 37,2%. Jenis gangguan dengar terbanyak akibat bising 41% kemudian gangguan dengar tipe sensori-neural 32%, tipe konduktif 23%, dan tipe campuran 4%. Prevalensi derajat gangguan dengar ringan 46,8%; sedang 3,7%; dan berat 0,9%. Simpulan, gangguan dengar yang sering ditemukan pada pekerja pabrik yaitu gangguan dengar yang diakibatkan oleh bising. [MKB. 2012;44(2):96-100].
Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehing... more Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehingga deteksi dan rehabilitasi dini yang tepat dapat meningkatkan perkembangan bicara dan berbahasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek gangguan dengar kongenital dari segi klinik maupun sosiologik. Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital selama periode April 2002-April 2005. Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sebanyak 286 anak termasuk dalam penelitian terdiri atas 149 (52,1%) laki-laki dan 137 (47,9%) perempuan. Sebanyak 58,7% terdeteksi pada usia >1-3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan dengar mulai dari usia 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia pada saat mulai dicurigai adanya gangguan dengar dan dilakukan BERA adalah 82 (28,7%) <6 bulan, 72 (25,2%) antara >6 bulan sampai <1 tahun, dan 70 (24,4%) antara >1 sampai< 2 tahun. Penderita lebih banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu 149 (52,1%) anak dan sebagian besar dirujuk oleh spesialis THT sebanyak 129 (45,1%). Derajat gangguan dengar terbanyak adalah berat 181 (63,3%) dan sangat berat 96 (33,6%), sebagian besar bersifat simetris (71%). Faktor risiko terbanyak tidak teridentifikasi (51,1%), prematur/BBLR (13,6%), asfiksia (13,3%), hiperbilirubinemia (8,7%), dan rubela (7,3%). Simpulan, usia curiga pada saat anak dideteksi mengalami gangguan dengar masih tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat serta upaya pencegahan terhadap faktor risiko. [MKB. 2011;43(2):77-82].
Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehing... more Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehingga deteksi dan rehabilitasi dini yang tepat dapat meningkatkan perkembangan bicara dan berbahasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek gangguan dengar kongenital dari segi klinik maupun sosiologik. Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital selama periode April 2002-April 2005. Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sebanyak 286 anak termasuk dalam penelitian terdiri atas 149 (52,1%) laki-laki dan 137 (47,9%) perempuan. Sebanyak 58,7% terdeteksi pada usia >1-3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan dengar mulai dari usia 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia pada saat mulai dicurigai adanya gangguan dengar dan dilakukan BERA adalah 82 (28,7%) <6 bulan, 72 (25,2%) antara >6 bulan sampai <1 tahun, dan 70 (24,4%) antara >1 sampai< 2 tahun. Penderita lebih banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu 149 (52,1%) anak dan sebagian besar dirujuk oleh spesialis THT sebanyak 129 (45,1%). Derajat gangguan dengar terbanyak adalah berat 181 (63,3%) dan sangat berat 96 (33,6%), sebagian besar bersifat simetris (71%). Faktor risiko terbanyak tidak teridentifikasi (51,1%), prematur/BBLR (13,6%), asfiksia (13,3%), hiperbilirubinemia (8,7%), dan rubela (7,3%). Simpulan, usia curiga pada saat anak dideteksi mengalami gangguan dengar masih tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat serta upaya pencegahan terhadap faktor risiko. [MKB. 2011;43(2):77-82].
Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehing... more Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehingga deteksi dan rehabilitasi dini yang tepat dapat meningkatkan perkembangan bicara dan berbahasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek gangguan dengar kongenital dari segi klinik maupun sosiologik. Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital selama periode April 2002-April 2005. Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sebanyak 286 anak termasuk dalam penelitian terdiri atas 149 (52,1%) laki-laki dan 137 (47,9%) perempuan. Sebanyak 58,7% terdeteksi pada usia >1-3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan dengar mulai dari usia 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia pada saat mulai dicurigai adanya gangguan dengar dan dilakukan BERA adalah 82 (28,7%) <6 bulan, 72 (25,2%) antara >6 bulan sampai <1 tahun, dan 70 (24,4%) antara >1 sampai< 2 tahun. Penderita lebih banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu 149 (52,1%) anak dan sebagian besar dirujuk oleh spesialis THT sebanyak 129 (45,1%). Derajat gangguan dengar terbanyak adalah berat 181 (63,3%) dan sangat berat 96 (33,6%), sebagian besar bersifat simetris (71%). Faktor risiko terbanyak tidak teridentifikasi (51,1%), prematur/BBLR (13,6%), asfiksia (13,3%), hiperbilirubinemia (8,7%), dan rubela (7,3%). Simpulan, usia curiga pada saat anak dideteksi mengalami gangguan dengar masih tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat serta upaya pencegahan terhadap faktor risiko. [MKB. 2011;43(2):77-82].
Obat ototoksik adalah obat yang berpotensi menimbulkan reaksi toksik pada struktur di koklea, ves... more Obat ototoksik adalah obat yang berpotensi menimbulkan reaksi toksik pada struktur di koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolith. Kanamisin merupakan obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis resisten obat ganda (multidrug resistant/TB MDR) dan berpotensi ototoksik. Penelitian ini bertujuan mengetahui peluang terjadinya ototoksisitas sebagai langkah awal deteksi dini pada penggunaan kanamisin dalam pengobatan TB MDR. Penelitian ini berupa studi deskriptif yang dilakukan secara prospektif di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-Juni 2014 dengan subjek adalah penderita TB MDR. Pemeriksaan awal, yaitu audiometri nada murni, timpanometri dan DPOAE dilakukan sebelum terapi, kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan DPOAE setiap 3 hari selama 1 bulan pertama pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan gangguan koklea pada telinga kanan dan kiri mulai frekuensi 10.000 Hz pada hari ke-19-21, kemudian mengenai frekuensi 8.000 Hz pada hari ke-25-27. Terdapat hubungan negatif gangguan koklea akibat kanamisin dengan usia, namun tidak terdapat hubungan negatif gangguan koklea dengan jenis kelamin dan indeks masa tubuh. Simpulan, peluang kejadian ototoksik pada penderita TB MDR yang mendapat terapi kanamisin terjadi mulai pada akhir minggu kedua serta mengenai frekuensi tinggi terlebih dahulu serta berlanjut ke frekuensi yang lebih rendah. [MKB. 2015;47(4):224-30]
Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya ya... more Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya yang cukup banyak. Para pekerja pabrik mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan dengar. Bunyi dengan intensitas yang cukup kuat (>85 dB) dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, baik sementara maupun tetap. Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia serta usia harapan hidup. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan dengar yang terjadi serta jenis dan derajat ketulian pada pekerja di salah satu pabrik tekstil di Majalaya kabupaten Bandung Jawa Barat. Subjek berjumlah 109 orang pekerja terdiri atas 47 orang laki-laki dan 62 orang perempuan yang dipilih secara total sampling, mulai tanggal 26 Agustus sampai 9 September 2004 dengan penelitian bersifat deskriptif potong lintang. Dilakukan anamnesis dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis telinga, dan pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan dengar pada laki-laki 68,1% lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan 37,2%. Jenis gangguan dengar terbanyak akibat bising 41% kemudian gangguan dengar tipe sensori-neural 32%, tipe konduktif 23%, dan tipe campuran 4%. Prevalensi derajat gangguan dengar ringan 46,8%; sedang 3,7%; dan berat 0,9%. Simpulan, gangguan dengar yang sering ditemukan pada pekerja pabrik yaitu gangguan dengar yang diakibatkan oleh bising. [MKB. 2012;44(2):96-100].
Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya ya... more Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya yang cukup banyak. Para pekerja pabrik mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan dengar. Bunyi dengan intensitas yang cukup kuat (>85 dB) dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, baik sementara maupun tetap. Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia serta usia harapan hidup. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan dengar yang terjadi serta jenis dan derajat ketulian pada pekerja di salah satu pabrik tekstil di Majalaya kabupaten Bandung Jawa Barat. Subjek berjumlah 109 orang pekerja terdiri atas 47 orang laki-laki dan 62 orang perempuan yang dipilih secara total sampling, mulai tanggal 26 Agustus sampai 9 September 2004 dengan penelitian bersifat deskriptif potong lintang. Dilakukan anamnesis dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis telinga, dan pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan dengar pada laki-laki 68,1% lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan 37,2%. Jenis gangguan dengar terbanyak akibat bising 41% kemudian gangguan dengar tipe sensori-neural 32%, tipe konduktif 23%, dan tipe campuran 4%. Prevalensi derajat gangguan dengar ringan 46,8%; sedang 3,7%; dan berat 0,9%. Simpulan, gangguan dengar yang sering ditemukan pada pekerja pabrik yaitu gangguan dengar yang diakibatkan oleh bising. [MKB. 2012;44(2):96-100].
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit kronik mengenai multisistem, merupakan gangg... more Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit kronik mengenai multisistem, merupakan gangguan autoimun yang ditandai oleh produksi autoantibodi dan deposisi kompleks imun di jaringan. Manifestasi klinis dapat meliputi berbagai organ termasuk telinga. Pada telinga dapat menimbulkan gangguan dengar, tinitus, dan vertigo. Gangguan dengar terjadi bilateral pada frekuensi tinggi. Prednison merupakan kortikosteroid oral yang memiliki efek glukokortikoid yang bersifat anti-inflamasi dan imunosupresif. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh prednison terhadap perbaikan pendengaran penderita LES. Penelitian dilakukan periode Maret-Mei 2013 di Poliklinik Gangguan Dengar dan Bicara, Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung menggunakan metode quasi-experimental dengan rancangan one group pretestposttest design dan hasilnya dihitung secara statistik menggunakan uji Rank Spearman. Pada 28 subjek pasien LES dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, audiometri nada murni, timpanometri, dan distortion production otoacoustic emissions. Subjek diberi prednison 1 mg/kgBB/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) selama 4 minggu, kemudian dilakukan evaluasi ulang. Sebelum terapi, 26 subjek mengalami gangguan dengar sedang pada frekuensi tinggi, simetris. Sesudah terapi, 24 subjek ambang dengar menjadi normal dan 4 subjek tetap mengalami gangguan dengar (Rs=0,734; p<0,01). Simpulan, prednison dapat memperbaiki status pendengaran penderita LES. [MKB. 2016;48(2):112-7] Kata kunci: Gangguan dengar, lupus eritematosus sistemik, prednison
Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya ya... more Pabrik tekstil di Indonesia merupakan sumber devisa yang penting untuk negara karena jumlahnya yang cukup banyak. Para pekerja pabrik mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan dengar. Bunyi dengan intensitas yang cukup kuat (>85 dB) dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, baik sementara maupun tetap. Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia serta usia harapan hidup. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan dengar yang terjadi serta jenis dan derajat ketulian pada pekerja di salah satu pabrik tekstil di Majalaya kabupaten Bandung Jawa Barat. Subjek berjumlah 109 orang pekerja terdiri atas 47 orang laki-laki dan 62 orang perempuan yang dipilih secara total sampling, mulai tanggal 26 Agustus sampai 9 September 2004 dengan penelitian bersifat deskriptif potong lintang. Dilakukan anamnesis dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis telinga, dan pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan dengar pada laki-laki 68,1% lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan 37,2%. Jenis gangguan dengar terbanyak akibat bising 41% kemudian gangguan dengar tipe sensori-neural 32%, tipe konduktif 23%, dan tipe campuran 4%. Prevalensi derajat gangguan dengar ringan 46,8%; sedang 3,7%; dan berat 0,9%. Simpulan, gangguan dengar yang sering ditemukan pada pekerja pabrik yaitu gangguan dengar yang diakibatkan oleh bising. [MKB. 2012;44(2):96-100].
Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehing... more Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehingga deteksi dan rehabilitasi dini yang tepat dapat meningkatkan perkembangan bicara dan berbahasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek gangguan dengar kongenital dari segi klinik maupun sosiologik. Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital selama periode April 2002-April 2005. Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sebanyak 286 anak termasuk dalam penelitian terdiri atas 149 (52,1%) laki-laki dan 137 (47,9%) perempuan. Sebanyak 58,7% terdeteksi pada usia >1-3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan dengar mulai dari usia 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia pada saat mulai dicurigai adanya gangguan dengar dan dilakukan BERA adalah 82 (28,7%) <6 bulan, 72 (25,2%) antara >6 bulan sampai <1 tahun, dan 70 (24,4%) antara >1 sampai< 2 tahun. Penderita lebih banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu 149 (52,1%) anak dan sebagian besar dirujuk oleh spesialis THT sebanyak 129 (45,1%). Derajat gangguan dengar terbanyak adalah berat 181 (63,3%) dan sangat berat 96 (33,6%), sebagian besar bersifat simetris (71%). Faktor risiko terbanyak tidak teridentifikasi (51,1%), prematur/BBLR (13,6%), asfiksia (13,3%), hiperbilirubinemia (8,7%), dan rubela (7,3%). Simpulan, usia curiga pada saat anak dideteksi mengalami gangguan dengar masih tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat serta upaya pencegahan terhadap faktor risiko. [MKB. 2011;43(2):77-82].
Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehing... more Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehingga deteksi dan rehabilitasi dini yang tepat dapat meningkatkan perkembangan bicara dan berbahasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek gangguan dengar kongenital dari segi klinik maupun sosiologik. Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital selama periode April 2002-April 2005. Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sebanyak 286 anak termasuk dalam penelitian terdiri atas 149 (52,1%) laki-laki dan 137 (47,9%) perempuan. Sebanyak 58,7% terdeteksi pada usia >1-3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan dengar mulai dari usia 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia pada saat mulai dicurigai adanya gangguan dengar dan dilakukan BERA adalah 82 (28,7%) <6 bulan, 72 (25,2%) antara >6 bulan sampai <1 tahun, dan 70 (24,4%) antara >1 sampai< 2 tahun. Penderita lebih banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu 149 (52,1%) anak dan sebagian besar dirujuk oleh spesialis THT sebanyak 129 (45,1%). Derajat gangguan dengar terbanyak adalah berat 181 (63,3%) dan sangat berat 96 (33,6%), sebagian besar bersifat simetris (71%). Faktor risiko terbanyak tidak teridentifikasi (51,1%), prematur/BBLR (13,6%), asfiksia (13,3%), hiperbilirubinemia (8,7%), dan rubela (7,3%). Simpulan, usia curiga pada saat anak dideteksi mengalami gangguan dengar masih tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat serta upaya pencegahan terhadap faktor risiko. [MKB. 2011;43(2):77-82].
Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehing... more Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehingga deteksi dan rehabilitasi dini yang tepat dapat meningkatkan perkembangan bicara dan berbahasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek gangguan dengar kongenital dari segi klinik maupun sosiologik. Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital selama periode April 2002-April 2005. Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sebanyak 286 anak termasuk dalam penelitian terdiri atas 149 (52,1%) laki-laki dan 137 (47,9%) perempuan. Sebanyak 58,7% terdeteksi pada usia >1-3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan dengar mulai dari usia 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia pada saat mulai dicurigai adanya gangguan dengar dan dilakukan BERA adalah 82 (28,7%) <6 bulan, 72 (25,2%) antara >6 bulan sampai <1 tahun, dan 70 (24,4%) antara >1 sampai< 2 tahun. Penderita lebih banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu 149 (52,1%) anak dan sebagian besar dirujuk oleh spesialis THT sebanyak 129 (45,1%). Derajat gangguan dengar terbanyak adalah berat 181 (63,3%) dan sangat berat 96 (33,6%), sebagian besar bersifat simetris (71%). Faktor risiko terbanyak tidak teridentifikasi (51,1%), prematur/BBLR (13,6%), asfiksia (13,3%), hiperbilirubinemia (8,7%), dan rubela (7,3%). Simpulan, usia curiga pada saat anak dideteksi mengalami gangguan dengar masih tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat serta upaya pencegahan terhadap faktor risiko. [MKB. 2011;43(2):77-82].
Uploads
Papers by Ratna Agustian