Masjid Dukuh Tawangsari
Masjid Dukuh Tawangsari adalah masjid yang berdiri di kota Yogyakarta yang memiliki luas bangunan 100m dan bagian serambi 10x5 m. Bangunan masjid ini telah mengalami berbagai renovasi dan penambahan, diantaranya pada sisi utara didirikan bangunan tambahan seluas 5 x 15 m, yang dibangun pada tahun 1954. pada sisi lain selatan masjid juga terdapat penambahan bangunan dengan luas yang sama yang di bangun pada 1960. pada bagian depan masjid sendiri bergandengan denga serambi lama, yang dibangun bangunan dengan luas 2x20 m yang dibangun tahun 1999. Masjid ini berdiri kokoh di atas lahan yang dimiliki oleh kesultanan.
Sejarah Berdiri
[sunting | sunting sumber]Seperti Masjid-masjid lainnya, Masjid Tawangsari juga mempunyai sejarah awal berdiri. Menurut penuturan H. Fadlan ketua Ta'mir Masjid Tawangsari berdiri awal mulanya berawal dari seorang tokoh penyebar agama islam Zaman dahulu yang bernama Pangeran Aryo Puger. Beliau adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Beliau tinggal di wilayah Suryodiningratan, letaknya kurang lebih 600 meter ke arah timur dari lokasi Masjid sekarang. Tapi sayangnya rumah peninggalan dari Pangeran Aryo Puger ini sudah hilang berganti dengan bangunan baru karena tergerus perkembangan zaman.
Suatu hari pangeran berkata kepada adidalem bahwa jika beliau meninggal, beliau ingin di kuburkan didukuh. Setelah itu, pangeran pugeran mengajak beberapa adidalem untuk membuat kuburan yang hingga sekarang bisa kita lihat sampai sekarang. bahkan yang dimakamkan di sana tidak hanya Aryo Pugar. dalam perkembangannya untuk memperkuat dakwah Islam dan menjadi cambuk peringatan untuk masyarakat sekitar maka di samping makam di dirikan bangunan masjid. Masjid tersebut dinamakan Tawangsari, yang mempunyai arti bahwa orang - orang mengingat hal - hal yang baik atau tawang kebaikan.[1]
Tata Arsitektur
[sunting | sunting sumber]Masjid Tawangsari ini memeliki desain arsitektur bergaya Hindu. Pada bagian atas masjid terdapat mustoko berbentuk MERU. di bagian tengah terdapat sebuah godho, pada sisi kiri dan kanan dihias dengan plengkung-plengkung janur. tapi sangat disayangkan karena plengkung janur ini berusia tua sehingga sekarang sudah rapuh. didalam masjid terdapat empat tiang penyangga bagian atap, yang pada di bagian bawah terdapat umpak batu. Berbeda dengan masjid-masjid lain yang pada bagian tiangnya terdapat beraneka ukiran, namun tiang masjid ini di buat polos tanpa ukiran yang masih dijamin keasliannya karena belum pernah mengalami penggantian dari pertama kali didirikan. Sementara untuk bagian lain seperti lantai, atap dan genteng sudah mengalami beberapa kali pergantian.
Masjid ini memiliki satu pintu utama dengan dua jendela yang terletak pada bagian kanan dan kiri pengimaman masjid. Mimbar masjid terletak pada sisi utara masjid. Dalam hal bangunannya, Masjid ini memiliki bangunan yang dari awal cukup tinggi dan tanpa mengalami perombakan dibandingkan masjid - masjid lainnya seperti Masjid mataram Kotagede atau Masjid Kauman.
Masjid Keramat yang Bersejarah
[sunting | sunting sumber]Indonesia tidak pernah bisa lepas dari sejarah. apalagi yang berkaitan dengan penjajahan. Rata-rata di setiap daerah Indonesia sendiri punya cerita berbeda mengenai hal tersebut. Tak terkecuali Masjid Tawangsari ini sendiri. Karena posisinya yang strategis, Masjid ini pernah menjadi pos para pejuang dibawah komando Komarudin pada saat serangan 1 maret 1949 waktu terjadi pemberontakan PKI tahun 1960. Seperti Masjid pada keraton lain, masjid ini dulunya dikelola oleh abdi dalem yang karena perkembangan waktu masjid ini sekarang dielola oleh seorang muadzin saja. Menilik dari sejarahnya dan awal didirikan masjid ini ada hubungannya dengan keraton maka masjid ini begitu di hormati keberadaanya oleh masyarakat setempat. Ada beberapa masyarakat sekitar yang percaya kalau cungkup makam Pangeran Puger tidak bisa dinuka kalau orang tidak memberi hormat terlebih dahulu, selain itu ada aturan yang telah dibuat dari dulu yaitu dilarang dibunyikan gong diarea Masjid Tawangsari. Hal ini berkaitan dengan berita bahwa gong lanang (gong yang di gantung) yang digunakan untuk acara gamelan sekitar masjid, selalu tidak bisa digunakan. Hal ini konon kabarnya salah satu hal yang diarang oleh pangeran puger. hal ini menurut H. Fadlan, ketua takmir masjid memberikan arti agar seorang senantiasa menjaga kesucian dan keagungan masjid.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Hamzah, Slamet, dkk (2007). Masjid Bersejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.