Lompat ke isi

La Maddukelleng

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari La Madukelleng)
Infobox orangLa Maddukelleng

Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran1r Januari 1700 Edit nilai pada Wikidata
Kematian1765 Edit nilai pada Wikidata (65 tahun)
Penghargaan


La Maddukelleng (sekitar 1700–1765) merupakan seorang petualang Bugis yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Wajo pada perempat kedua abad ke-18. Ia kini dianggap sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal

[sunting | sunting sumber]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu Gowa-Tallo) dengan aliansi Bone dan VOC dalam Perang Makassar. Penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi merantau ke Johor, Kalimantan, Nusa Tenggara, kawasan Selat Malaka, serta bagian Nusantara lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.[1]

La Maddukelleng sendiri lahir di Tippulue, Belawa sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo.[2] Menurut sumber lontaraʼ yang ditelusuri oleh Andi Zainal Abidin (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukkelleng bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan Arung (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan Arung Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai Patola (putera/puteri calon pengganti raja [[Kerajaan Wajo#)).[3]

Tidak terlalu lengkap detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo.[4][5] Riwayat paling banyak didapat dari Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (Sejarah Lengkap Wajo) menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa puan (tempat sirih) bagi Arung Matoa (pemimpin tertinggi Wajo) La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri Arumpone (penguasa Bone) La Patauʼ yang bernama I Wale' di Cenrana, Bone.[a] Ketika itu La Maddukkelleng kemungkinan masih remaja (usia 13–14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai dikhitan.[7]

Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam.[7] Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, terjadi kericuhan yang puncaknya seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala Arung Matoa Wajo. La Maddukkelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo.[4] Sesampainya di Tosora (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi sang arung matoa melindungi La Maddukkelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo.[4] Meski begitu, La Maddukelleng tetap khawatir Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, sehingga ia pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo.[4]

Petualangan di perantauan

[sunting | sunting sumber]

Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ mengisahkan bahwa sebelum La Maddukkelleng berangkat merantau, Sang Arung Matoa menanyakan padanya apa saja bekal yang ia bawa menuju tanah rantau. La Maddukkelleng menjawab secara filosofis bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman badiknya, dan tuah ujung kemaluannya.[8][9] Ketiga hal ini lazim disebut sebagai tellu cappaʼ ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis. Secara harafiah tiga cappa (ujung) itu disebutkan Cappa lila (ujung lidah), Cappa Kawali (ujung badik), dan Cappa Katawang (Ujung kelelakian). Secara kiasan masing-masing berarti kecakapan dalam diplomasi, keberanian dan kekesatriaan, serta jalinan pernikahan. Tiga-tiganya itulah yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau (Bugis: Passompe'). Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng dengan sangat efektif untuk memenuhi misi dan ambisi politiknya.[10]

Pada masa pemerintahan Arung Matoa La Salewangeng (menjabat 1715–1736), perdagangan Wajo berkembang pesat dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara.[11] Ketika La Maddukkelleng meninggalkan Wajo, ia mengunjungi komunitas-komunitas rantau sampai ke Johor. Di sana saudara tuanya Daeng Matekko terlibat dalam perang Johor antara Sultan Sulaiman (Raja Johor) yang dibantu Opu Lima Bersaudara dengan Raja Kecil dari Siak. Kakaknya dan perantau-perantau Wajo memihak Raja Kecil. Perang dimenangkan oleh Sultan Sulaiman bersama Daeng Parani bersaudara. Tapi ia sampai di Johor di saat perang telah usai.

Meski demikian, bersama pasukannya ia membuat keonaran di sekitar Selat Malaka sebagai pelampiasan kemarahannya atas tewasnya kakaknya dalam perang tersebut. Ia digelari Gora'e (penyamun Laut). Namun ia tidak lama di sana. Ia kembali ke Selat Makassar dan menjadi penguasa tidak resmi beberapa pulau kecil dan pesisir. Ia kerap terlibat bentrok dengan Belanda VOC yang sangat dibencinya. Ia membuat Selat Makassar sebagai tempat tidak aman bagi kapal-kapal yang melintas terutama kapal dagang VOC. Belanda kemudian memberinya gelar sebagai Raja Bajak Laut dan terus memburunya.

Melalui kapal-kapal rampasan dan upeti-upeti, ia membangun armada besar yang dibelinya dari orang-orang Inggris sebelum akhirnya menetap di Muara Kandilo Paser, Kalimantan Timur. Di sana, ia membangun diplomasi yang baik dengan Sultan Pasir dan tidak butuh waktu lama untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, Ia kemudian mampu menikahi putri dari penguasa Paser, Andin Anjang.

Saat sebelum Sang Sultan wafat, ia menunjuk puterinya sebagai calon pengganti sultan. Namun, terjadi perselisihan dengan beberapa bangsawan dan perwira Pasir soal pewarisan tahta. Terjadi banyak penolakan. La Maddukelleng mengartikannya sebagai pembangkangan titah sultan. Ia bersama pasukannya dan orang-orang Pasir pendukung istrinya, terlibat perang pada pertengahan 1720-an. Ia memenangkan perang secara mutlak.

Secara de jure, istrinya menjadi Ratu Pasir namun secara de facto La Maddukelleng lebih banyak yang disebut sebagai Sultan Paser.[12] Pasukan La Maddukelleng kemudian dikirim untuk menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Paser yang melarikan diri ke sana. Tapi mengingat persahabatan yang telah terjalin sebelumnya, ia mengampuni para pelarian ke Kutai. Para pemberontak banyak yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan.La Maddukkelleng bersama istrinya memimpin Paser sampai 1738.[13][14]

Selain membuat persekutuan berdasarkan pernikahan dengan penguasa setempat, La Maddukelleng juga bergiat menyokong komunitas-komunitas rantau Wajo di Kalimantan Timur. La Maddukelleng menjalin komunikasi yang baik dengan Sultan Kutai yang telah memberi pemukiman kepada perantau-perantau Wajo di Samarinda. Jauh sebelum La Maddukkelleng merantau, telah ada pemukim orang-orang Bugis yang mendirikan perkampungan baru di Samarinda di bawah legitimasi kesultanan. Mereka dipimpin seorang panglima Wajo yang merantau usai kekalahan di Perang Makassar bernama La Mohang Daeng Mangkona. Ia merupakan pendiri kampung Bugis Samarinda di tepi wilayah muara Sungai Mahakam yang strategis. Dari Sultan Kutai, ia memperoleh hak monopoli atas barang-barang ekspor dari pedalaman (seperti emas, kapur barus, damar, rotan, hingga lilin lebah) dan hasil laut seperti cangkang penyu, agar-agar dan teripang. Komunitas Bugis Samarinda juga memperoleh hak monopoli atas impor beras, garam, rempah, kopi, tembakau, opium, tekstil, besi, senjata api, hingga budak.[15] Masyarakat Wajo di Kutai bahkan diperbolehkan memiliki pemerintahan sendiri, dengan seorang pemimpin yang digelari pua ado (Bugis: Puang Ade' _Pemangku Adat) [16] serta sebuah dewan perwakilan yang beranggotakan para nakhoda dan pedagang kaya-raya.[17] Walaupun demikian, mereka tetap berada di bawah Kesultanan Kutai dan menjadi pembela setia kepentingan kerajaan. Hal ini karena sejak semula kedatangan mereka telah mengikrarkan sumpah setia kepada kerajaan.

La Maddukkelleng saat di Johor mendapat kabar bahwa kakaknya, Daeng Matekko yang awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang Melayu, komunitas Bugis Riau, serta Raja Kecik dari Minangkabau. Pada perang yang dimenangkan Sultan Sulaiman itu membuat kakaknya, Daeng Matekko, ditewaskan oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor. Sepanjang hidup La Maddukkelleng mengejar To Passarai dan berhasil mengambil kembali harta benda yang dirampasnya dari kakaknya. Sebagian catatan Lontara Sukkuna Wajo (LSW) menyebutkan bahwa La Maddukkelleng membunuh To Passarai, tetapi ada pula yang menyebut bahwa ia hanya menyergap dan merampas harta To Passarai.[18]}} Sejarawan Kahtryn Anderson Wellen berpendapat bahwa kolaborasi kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.[19]

Dalam pertempuran-pertempurannya, La Maddukelleng dibantu oleh seorang kapitan laut bernama To Assa. Dia ini adalah panglima paling diandalkannya selain Cambang Balolo, Puanna Dekke, Puanna Pabbola dan lainnya. La Banna adalah tulang punggung La Maddukkelleng, ia pula yang memimpin pasukan La Maddukkelleng dalam banyak peperangan. Ia bisa disebut panglima kepercayaan La Maddukkelleng. Ia juga sempat menyerang Banjarmasin pada tahun 1730, walaupun armadanya berhasil dipukul mundur.[20] Meski sempat berpisah dengannya, namun pada awal 1735, La Maddukkelleng dan La Banna To Assa bergabung kembali untuk panggilan perang dari Wajo untuk membebaskan Wajo dari Bone dan Belanda. Kehadiran armada La Maddukelleng di pesisir Sulawesi meresahkan Belanda sehingga mereka mencoba menghadangnya di laut, tetapi La Maddukelleng berhasil lolos.[21] Bahkan ia banyak memenangkan perang dengan Belanda.

Kembali ke Wajo

[sunting | sunting sumber]

Melemahnya hegemoni Bone di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-18 membuat Wajo mampu memperluas jaringan perdagangannya tanpa halangan yang berarti.[22] Hubungan antara komunitas rantau Wajo dan tanah airnya pun tumbuh semakin erat, dan mencapai puncaknya sewaktu La Maddukelleng pulang kembali ke Wajo pada tahun 1730-an.[23] Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ secara khusus menyebut bahwa Arung Matoa La Salewangeng mengirimkan utusan ke Paser pada 1735 untuk meminta La Maddukelleng pulang, karena Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer bila mesti menghadapi Bone.[24][25] Walaupun begitu, beberapa riwayat menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.[26]

La Maddukelleng berangkat menuju Sulawesi beserta sejumlah besar pasukan dari Paser.[27] Pada Desember 1735, ia tiba di perairan Majene disertai armada 40 kapal dan terlibat konflik dengan Arung Lipukasiʼ (dari Tanete) serta Maraʼdia Balanipa. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa pasukan La Maddukelleng pimpinan To Assa berhasil dipukul mundur. Ia kemudian merampas perahu milik seorang dari Mangngarancang (Tanete) dan berlayar menuju Binuang, tetapi pada Februari 1736 ia disergap dan 12 pengikutnya terbunuh, sehingga ia mundur lagi ke selatan menuju Puteanging.[28][29] Riwayat lain menyebut bahwa La Maddukelleng memenangkan pertempuran di Mandar setelah pengepungan selama 75 hari.[30] Sebagai pembalasan atas penyerangan terhadap To Assa, La Maddukelleng pun merampas harta orang-orang Binuang serta menyerang pemukiman-pemukiman di sana.[31]

Setelah itu, La Maddukelleng menuju Sabutung dan menyerang dua pulau di sekitar Makassar pada bulan Maret. Kemudian ia meneruskan perjalanan hingga tiba di Bone.[32][33] Pada awalnya, ia hendak menuju pusat Wajo melalui muara Sungai Cenrana (yang dikuasai oleh Bone), tetapi karena armadanya tidak diperbolehkan masuk, ia melanjutkan perjalanan ke utara menuju Doping di pesisir timur Wajo. Di sana ia menunggu selama 40 hari, sebelum diperbolehkan turun dari kapal bersama ratusan orang pasukannya pada Mei 1736.[32][34] La Maddukelleng kemudian berangkat menuju Sengkang, dan mendapatkan banyak pengikut baru dalam perjalanannya, sehingga jumlah pasukannya mencapai lebih 1000 orang ketika sampai di Sengkang.[32] Persekutuan Tellumpoccoe kemudian mengadakan sidang di Tosora untuk membahas tuduhan-tuduhan kejahatan yang diajukan oleh Bone terhadap La Maddukelleng, tetapi ia kemudian dibebaskan dari segala tuduhan setelah menyampaikan pembelaannya.[35][36][37] Menurut Wellen, terbebasnya La Maddukelleng dari tuduhan kemungkinan juga dipengaruhi oleh kekuatan yang ia miliki saat itu.[35]

Masa kepemimpinan di Wajo

[sunting | sunting sumber]

Pembebasan Wajo

[sunting | sunting sumber]

Atas permintaan Arung Matoa La Salewangeng, La Maddukelleng berangkat meninggalkan Sengkang.[38] Ia pun menuju Peneki dan dilantik sebagai arung di sana.[35][39] Begitu dilantik, ia menitahkan agar orang-orang Bone meninggalkan wilayah negerinya, sehingga memicu konflik terbuka. Pasukan Bone pun mengepung Peneki untuk menangkap La Maddukelleng.[40] Berita pengepungan ini sampai di Gowa pada tanggal 5 Juli 1736.[41] Konflik semakin meluas ketika Bone tidak hanya menyerang wilayah Peneki saja, tetapi juga membakar pemukiman di wilayah Wajo yang lain. Salah satu putra La Maddukelleng tewas dalam penyerangan ini, dan panji negeri Tempe (salah satu wanua Wajo) dirampas oleh Bone.[42] Aksi ini menyulut kemarahan orang-orang Wajo, sehingga banyak di antara mereka yang turut membantu La Maddukelleng melawan pasukan Bone.[35][40]

Pada saat yang sama, Belanda yang merupakan sekutu utama Bone mesti menghadapi pemberontakan di wilayah Marusu yang dipimpin oleh Karaeng Bontolangkasa (sekutu dekat La Maddukelleng) dan Arung Kaju.[40][43] Perhatian Belanda pun terpecah, meski mereka tetap membantu Bone dengan mengirimkan persenjataan serta sekelompok kecil pasukan di bawah pimpinan Kapten Steinmetz.[44]

Penilaian dan peninggalan sejarah

[sunting | sunting sumber]

Sebagai penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998. Meski begitu, menurut Wellen, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh "purwa-nasionalis" yang "berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih" tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Naskah Bugis tentang pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai "penghasut perang" yang "tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco". Bahkan, ia mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda. Tapi fakta lain menyebutkan La Maddukkelleng telah diberi gelar oleh kerajaan Wajo sebagai Petta Pammaradekaingngi Wajo cukup gambaran betapa ia telah berhasil mengalahkan Bone dan Belanda yang saat itu menguasai Sulawesi Selatan. Petta Pammaredakaengngi Wajo berarti Sang Pemerdeka atau Sang Pembebas Wajo.[45]

Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukkelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam banyak kisah dan imaji orang-orang dari daerahnya.[46] Bagi orang-orang Wajo, La Maddukkelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda.[47]

Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bepergian, dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" tanah air mereka dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali atas hak-hak kemerdekaan ini.[48] Namun, begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo.[49]

Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukkelleng dan bangsawan Paser alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Ikatan perkawinan sebagaimana bekal falsafah tiga ujung yang dipegang oleh La Maddukkelleng ternyata efektif merekatkan sejarah tiga kerajaan, Wajo, Kutai dan Paser.

Dari pernikahannya dengan Andin Anjang Ratu Paser, ia memiliki puteri yang kemudian dinikahkan dengan Sultan Kutai Aji Muhammad Idris. Tradisi lokal dari pernikahan-pernikahan ini menempatkan La Maddukkelleng sebagai leluhur samping bagi para sultan Kutai sejak Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut menjadi Sultan Kutai. Ia adalah cucu La Maddukkelleng, putera Sultan Aji Muhammad Idris dan dibesarkan di Wajo.

Walaupun sebagian detail dari tradisi-tradisi ini tidak bersesuaian dengan beberapa Belanda, namun fakta-fakta bahwa menantunya, Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai yang ikut berperang membantu mertuanya dan kemudian gugur di medan laga, dan kemudian dikuburkan di Wajo memberi penegas hubungan yang sangat kental antara Wajo dan Kutai waktu itu. Sultan Kutai itu menjadi satu-satunya bangsawan di luar Wajo yang mendapatkan gelar anumerta di tanah Bugis, Petta La Darise Matinroe ri Kawanne.

Kuburan Sultan Muhammad Idris yang berada di Wajo dan berdampingan dengan Kuburan La Maddukkelleng menjadi fakta sejarah betapa kuat hubungan itu. Bahkan kemudian Sultan Muhammad Idris dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia. Gelar ini menyusul gelar pahlawan bagi La Maddukkelleng yang telah diberikan sebelumnya. Di Kabupaten Wajo saat ini, jalan terpanjang di sana diberi nama Jalan Sultan Muhammad Idris. Tradisi-tradisi lain juga menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut.[50].

Keterangan

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, bagian kisah ini sedikit janggal, karena masa pemerintahan La Patauʼ dan La Salewangeng sebetulnya tidak beririsan; La Patauʼ mangkat pada tahun 1714, sementara La Salewangeng baru menjabat sebagai arung matoa pada tahun 1715.[4] Namun, Abidin berpendapat bahwa La Salewangeng memerintah dari tahun 1712.[6]
  1. ^ Wellen (2009), hlm. 81–82.
  2. ^ Noorduyn (1972), hlm. 61.
  3. ^ Abidin (2017), hlm. 281, 283, 301.
  4. ^ a b c d e Wellen (2014), hlm. 138.
  5. ^ Noorduyn (1955), hlm. 127a: "La Maʼdukěllěng Arung van Singkang stamde blijkbaar uit het vorstenhuis van deze Wadjorese vazalplaats, maar over zijn afkomst en het begin van zijn levensloop zijn geen details te vinden."
  6. ^ Abidin (2017), hlm. 279.
  7. ^ a b Abidin (2017), hlm. 281.
  8. ^ Wellen (2014), hlm. 88.
  9. ^ Abidin (2017), hlm. 283–284.
  10. ^ Wellen (2014), hlm. 88, 95.
  11. ^ Wellen (2009), hlm. 82–83.
  12. ^ Wellen (2014), hlm. 95, 139.
  13. ^ Abidin (2017), hlm. 286–287.
  14. ^ Wellen (2014), hlm. 139.
  15. ^ Pelras (1996), hlm. 321–322.
  16. ^ Wellen (2014), hlm. 52.
  17. ^ Pelras (1996), hlm. 322.
  18. ^ Noorduyn (1972), hlm. 63.
  19. ^ Wellen (2014), hlm. 101–102.
  20. ^ Wellen (2014), hlm. 139–140.
  21. ^ Wellen (2014), hlm. 141.
  22. ^ Wellen (2014), hlm. 30, 69.
  23. ^ Wellen (2014), hlm. 137.
  24. ^ Wellen (2014), hlm. 140, 197.
  25. ^ Abidin (2017), hlm. 289.
  26. ^ Wellen (2018), hlm. 55.
  27. ^ Wellen (2014), hlm. 140.
  28. ^ Noorduyn (1955), hlm. 127–128: "Eind 1735 (Donderdag 12 December, PP) kwam ook Arung Singkang in Mandar, in Madjenneʼ [...] met veertig schepen. Toevallig was daar ook La Pasonriʼ Arung van Lipukasiʼ (een plaats in Tanete), die mensen van Mangindanao kwam manen. Een Makasaar, Kare Patasaʼ, die door Arung Singkang gemaand werd, vluchtte naar Arung Lipukasiʼ. Deze bracht hem naar de Maraʼdia van Balannipa en de beide vorsten bevochten nu Arung Singkang en toAssa: Arung Lipukasiʼ in Batu (in Madjenneʼ) en toAssa op zee. De laatste werd op de vlucht gejaagd en ging naar Ululabuang en maakte er een schip van mensen uit Mangngarantjang (in Tanete) buit. Daarna ging hij naar Binnuang. Maar daar werden zijn mensen verrast, toen zij naar de markt gingen en twaalf van hen werden gedood; het was op de eerste Sjawwal (d.i. 14 Februari 1736). Vervolgens voeren ze door naar Puteanging (een eiland voor de kust)."
  29. ^ Abidin (2017), hlm. 292–293.
  30. ^ Noorduyn (1955), hlm. 128a: "In tegenstelling tot het voorgaande vermeldt PP een overwinning van Arung Singkang op de Mandarezen, nadat hij 75 dagen in Mandar geweest was."
  31. ^ Abidin (2017), hlm. 293.
  32. ^ a b c Wellen (2014), hlm. 142.
  33. ^ Noorduyn (1955), hlm. 128b: "Arung Singkangs vloot [...] voer vervolgens langs de kust Zuidwaarts, aanleggende bij Udjung Lero (vóór Parepare) en op het eiland Sabutung. Hij werd tweemaal — tevergeefs — door Nederlandse schepen beschoten, nadat hij de voor Makasar gelegen eilandjes Běrrang en Kodingareng (Balanglompo en Balang-tjaʼdi volgens QQ) geplunderd had, eenmaal op 18 Maart (dagboek van Goa) en de tweede maal bij Batubatu [...] Hij verliet Batubatu op Zaterdag (1 Apríl) 19 Dzuʼl-ḳaʼdah [...] Zeven dagen later kwam hij bij Pallětte voor de kust van Bone aan."
  34. ^ Noorduyn (1955), hlm. 128–129: "De toegang werd hem daar geweigerd (H) en hij voer door naar de monding van Doping aan de kust van Wadjoʼ [...] veertig dagen (en geen zeven maanden, zoals de Kr. wil) voor Doping lag te wachten, totdat er eindelijk een Bonees gezant, de Gěllarrěng Bontoalaʼ I Djakkoloʼ, kwam, die hem de vergunning overbracht aan land te gaan. Op Donderdag 14 Muḥarram (= 24 Mei) ging hij aan land."
  35. ^ a b c d Wellen (2014), hlm. 143.
  36. ^ Abidin (2017), hlm. 299–300.
  37. ^ Noorduyn (1972), hlm. 63–64.
  38. ^ Abidin (2017), hlm. 300.
  39. ^ Patunru (1983), hlm. 62.
  40. ^ a b c Noorduyn (1955), hlm. 129b: "[Arung Singkang] liet zich in Peneki tot Arung benoemen. De daar geplaatste Boneěrs ruimden het veld. Deze in bezit neming van Peneki was dus op zichzelf al reden tot oorlog voor Bone, dat er alles aan gelegen was — niet minder dan de Nederlanders — om hem in handen te krijgen. Peneki werd belegerd door de Boneěrs, waarvan op 5 Juli het bericht in Makasar kwam (dagboek van Goa). Toen zij echter ook andere Wadjorese plaatsen in de buurt plat brandden, was het geduld der Wadjorezen ten einde en zij keerden zich tegen de Boneěrs op Maandag 15 Rabīʼ al-awwal (= 23 Juli 1736). Twee dagen later vertrokken de Goarese en Bonese "rebellen" Karaeng Bontolangkasaʼ en Arung Kadju uit Goa naar Maros (dagboek van Goa) en begonnen daar een opstand tegen de Nederlanders. Zo was er terzelfder tijd op twee verschillende punten een strijd tegen de gevestigde toestanden ontbrand. De Nederlanders besteedden het eerst aandacht aan hun eigen gebied (Maros) en lieten Wadjoʼ nog bijna geheel ongemoeid."
  41. ^ Cummings (2010), hlm. 280.
  42. ^ Wellen (2018), hlm. 56.
  43. ^ Abidin (2017), hlm. 301.
  44. ^ Wellen (2014), hlm. 144.
  45. ^ Wellen (2018), hlm. 48, 68.
  46. ^ Noorduyn (1953), hlm. 144: "Het tamelijk grote aantal historische aantekeningen dat over deze vorst in Boeginese handschriften te vinden is, getuigt reeds voor de bijzondere mate waarin hij tot de verbeelding van zijn volk heeft weten te spreken."
  47. ^ Noorduyn (1972), hlm. 61–63.
  48. ^ Reid (1998), hlm. 147–148.
  49. ^ Wellen (2014), hlm. 158.
  50. ^ Wellen (2014), hlm. 96–97, 132–134.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Abidin, Andi Zainal (2017). Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar: Social Politic Genius. ISBN 9786026183323. 
  • Cummings, William P., ed. (2010). The Makassar Annals. Bibliotheca Indonesia. 35. Diterjemahkan oleh William Cummings. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789067183666. 
  • Noorduyn, Jacobus (1953). "Een Boeginees geschriftje over Arung Singkang". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 109 (2): 144–152. 
  • ——— (1955). Een Achttiende-Eeuwse Kroniek van Wadjo’: Buginese Historiografie. ‘s-Gravenhage: H. L. Smits. 
  • ——— (1972). "Arung Singkang (1700-1765): How the victory of Wadjo' began" (PDF). Indonesia. 13 (13): 61–68. doi:10.2307/3350682. JSTOR 3350682. 
  • Patunru, Abdurrazak Daeng (1983) [1964]. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. OCLC 215821862. 
  • Pelras, Christian (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers. ISBN 9780631172314. 
  • Reid, Anthony (1998). "Merdeka: The Concept of Freedom in Indonesia". Dalam David Kelly; Anthony Reid. Asian Freedoms: The Idea of Freedom in East and Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 141–160. ISBN 9780521637572. 
  • Wellen, Kathryn Anderson (2009). "Credit among the Early Modern To Wajoq". Dalam David Henley; Peter Boomgaard. Credit and Debit in Indonesia: From Peonage to Pawnshop, from Kongsi to Cooperative. Leiden: KITLV Press. hlm. 102–123. ISBN 9789067183505. 
  • ——— (2014). The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora. DeKalb: Northern Illinois University Press. ISBN 9780875807126. 
  • ——— (2018). "La Maddukelleng and Civil War in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring Societies of Pre-Colonial Southeast Asia: Local Cultures of Conflict Within a Regional Context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 47–71. ISBN 9788776942281. 
Didahului oleh:
Sultan Aji Muhammad Alamsyah
Raja Paser
1726—1736
Diteruskan oleh:
Sultan Sepuh I Alamsyah
Didahului oleh:
La Salewangeng To Tenriruwa
Arung Matoa Wajo
1736—1754
Diteruskan oleh:
La Maddanaca