Budidaya perairan di Indonesia
Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara paling produktif di dunia dalam hal produksi budidaya perairan tahunan kotor dengan perkiraan 14,4 juta ton pada tahun 2014.[1] Indonesia diuntungkan dengan statusnya sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang membentang sepanjang lebih dari 81.000 km, terletak di iklim tropis. Produk budidaya perairan utama yang diekspor meliputi udang, ikan, dan rumput laut.[2]
Budidaya perairan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan luar biasa dalam kontribusinya terhadap pasokan ikan di Indonesia, meningkat dari 10,6% pada tahun 1960 menjadi 40,2% pada tahun 2014,[1] dan diperkirakan akan melampaui output perikanan tangkap pada tahun 2026 dalam skenario bisnis seperti biasa.
Indonesia memproduksi 490.000 ton udang pada tahun 2004, yang merupakan 8% dari produksi dunia untuk tahun tersebut.[3] Pada tahun 1999, 507.513 ha lahan Indonesia digunakan untuk budidaya perairan, 60% di antaranya berupa tambak air payau, 28% berupa pertanian padi-ikan terpadu, dan 12% berupa kolam air tawar.[4]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dibentuk pada tahun 2000, telah ada dorongan kuat untuk pengembangan budidaya perairan oleh pemerintah Indonesia dengan penciptaan zona pengembangan, investasi di perusahaan penetasan swasta, saluran distribusi dan pemasaran untuk ikan dan benih ikan, pelatihan, peningkatan sistem informasi dan dukungan untuk sertifikasi produk serta akses ke modal.[1]
Lokasi
[sunting | sunting sumber]Perairan darat meliputi sungai, danau, rawa, waduk atau bendungan, sawah, dan kolam. Budidaya perairan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu perikanan air payau dan perikanan air tawar.[5] Perikanan air payau Indonesia banyak terdapat di pantai utara Jawa, pantai timur Aceh, Riau, Sumatera Utara and Sumatera Selatan.[5]
Spesies
[sunting | sunting sumber]Delapan spesies menyumbang sekitar 90% dari produksi budidaya perairan Indonesia pada tahun 2014: ikan nila; lele; bandeng; udang raja; ikan mas; patin; dan udang windu[6]
Tantangan
[sunting | sunting sumber]Ada sejumlah tantangan sosial dan lingkungan termasuk hilangnya ekosistem mangrove dan lahan basah, pencemaran aliran air, pengolahan ikan yang dapat dimakan menjadi tepung ikan dan minyak untuk pakan budidaya perairan, petani lokal yang terpinggirkan, meningkatnya ketegangan sosial, dan wabah penyakit ikan.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d Tran, Nhuong; Rodriguez, U.-Primo; Chan, Chin Yee; Phillips, Michael John; Mohan, Chadag Vishnumurthy; Henriksson, Patrik John Gustav; Koeshendrajana, Sonny; Suri, Sharon; Hall, Stephen (May 2017). "Indonesian aquaculture futures: An analysis of fish supply and demand in Indonesia to 2030 and role of aquaculture using the AsiaFish model". Marine Policy. 79: 25–32. doi:10.1016/j.marpol.2017.02.002. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama ":0" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ "Indonesia's Aquaculture Industry: Key Sectors for Future Growth". Ipsos. Diakses tanggal 2019-08-07.
- ^ PingSun Leung; Carole Ruth Engle (2006). Shrimp Culture: Economics, Market, and Trade. Wiley-Blackwell. hlm. 5. ISBN 0-8138-2655-1.
- ^ J. Kooiman (2005). Fish for Life: Interactive Governance for Fisheries. Amsterdam University Press. hlm. 94. ISBN 90-5356-686-4.
- ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaYani
- ^ "FAO Fisheries & Aquaculture - Home". www.fao.org. Diakses tanggal 2019-08-07.