Analisis Bahan Ajar Nursamah Modul 2
Analisis Bahan Ajar Nursamah Modul 2
Analisis Bahan Ajar Nursamah Modul 2
Perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa disegala bidang.pada abad ini, terutama bidang
Information and Communication Technology (ICT) yang serba canggih (sophisticated) membuat
dunia ini semakin sempit, karena kecanggihan teknologi ICT ini beragam informasi dari berbagai
sudut dunia mampu diakses dengan instant dan cepat oleh siapapun dan dari manapun,
komunikasi antar personal dapat dilakukan dengan mudah, murah kapan saja dan di mana saja.
Perubahan-perubahan tersebut semakin terasa, termasuk didalamnya pada dunia pendidikan.
Guru saat ini menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari era sebelumnya. Guru
menghadapi klien yang jauh lebih beragam, materi pelajaran yang lebih kompleks dan sulit,
standard proses pembelajaran dan juga tuntutan capaian kemampuan berfikir siswa yang lebih
tinggi, untuk itu dibutuhkan guru yang mampu bersaing bukan lagi kepandaian tetapi kreativitas
dan kecerdasan bertindak (hard skills- soft skills). Menurut Susanto (2010), terdapat 7 tantangan
guru di abad 21, yaitu : 1. Teaching in multicultural society, mengajar di masyarakat yang
memiliki beragam budaya dengan kompetensi multi bahasa. 2. Teaching for the construction of
meaning, mengajar untuk mengkonstruksi makna (konsep). 3. Teaching for active learning,
mengajar untuk pembelajaran aktif 4. Teaching and technology, mengajar dan teknologi. 5.
Teaching with new view about abilities, mengajar dengan pandangan baru mengenai
kemampuan. 6. Teaching and choice, mengajar dan pilihan. 7. Teaching and accountability,
mengajar dan akuntabilitas. Untuk memecahkan masalah tersebut di atas, guru dituntut mampu
untuk membaca setiap tantangan yang ada pada masa kini. guru harus mampu untuk mencari
sendiri pemecahan masalah yang timbul dari dampak kemajuan zaman karena tidak semua
kemajuan zaman berdampak baik, dampak negatif juga harus diperhitungkan.
Kompetensi Guru Guru yang mampu menghadapi tantangan tersebut adalah guru yang
profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan memiliki kompetensi-kompetensi antara lain
kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial
yang kualifaid. a. Kompetensi profesional Kompetensi profesioanal sekurang-kurangnya
meliputi : 1. Menguasai subtansi bidang studi dan metodologi keilmuannya 2. Menguasai
struktur dan materi kurikulum bidang studi 3. Menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi dalam pembelajaran 4. Mengorganisasikan materi kurikulum bidang studi 5.
Meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas b. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik sekurang-kurangnya meliputi: 1. Memahami karakteristik peserta didik
dari aspek fisik, sosial, kultural, emosional, dan intelektual 2. Memahami latar belakang keluarga
dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks kebhinekaan budaya 3.
Memahami gaya belajar dan kesulitan belajar peserta didik 4. Memfasilitasi pengembangan
potensi peserta didik 5. Menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaranYang mendidik 6.
Mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran 7.
Merancang pembelajaran yang mendidik 8. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik 9.
Mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran c. Kompetensi kepribadian Kompetensi kepribadian
sekurang-kurangnya meliputi: 1. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa,
arif dan berwibawa 2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai
teladan bagi peserta didik dan masyarakat 3. Memiliki sikap, perilaku, etika, tata cara
berpakaian, dan bertutur bahasa yang baik 4. Mengevaluasi kinerja sendiri 5. Mengembangkan
diri secara berkelanjutan d. Kompetensi sosial Kompetensi sosial sekurang-kurangnya meliputi:
1. Berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan peserta didik, orang tua peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat 2. Berkontribusi terhadap pengembangan
pendidikan di sekolah dan masyarakat 3. Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di
tingkat lokal, regional, nasional dan global 4. Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT) untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri 5. Memiliki sikap, perilaku,
etika, tata cara berpakaian dan bertutur bahasa yang baik
Orientasi Guru Abad 21 Tuntutan dunia internasional terhadap tugas guru memasuki abad ke-21
tidaklah ringan. Guru diharapkan mampu dan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran
yang bertumpu dan melaksanakan empat pilar belajar yang dianjurkan oleh Komisi Internasional
UNESCO untuk Pendidikan, hal ini didasari bahwa Pendidikan merupakan komunikasi
terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang untuk menumbuhkan kegiatan belajar pada diri
peserta didik (education as organized and sustained communication designed to bring about
Learning). UNESCO merekomendasikan empat pilar dalam bidang pendidikan, yaitu: a.
Learning to know (belajar untuk mengetahui) Learning to know, yaitu proses belajar untuk
mengetahui, memahami, dan menghayati cara-cara pemerolehan pengetahuan dan pendidikan
yang memberikan kepada peserta didik bekal-bekal ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran ini
memungkinkan peserta didik mampu mengetahui, memahami, dan menerapkan, serta mencari
informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan. b. Learning to do (belajar melakukan atau
mengerjakan) Learning to do, yaitu proses belajar melakukan atau mengerjakan sesuatu. Belajar
berbuat dan melakukan (Learning by doing) sesuatu secara aktif ini bermakna pendidikan
seharusnya memberikan bekal-bekal kemampuan atau keterampilan. Peserta didik dalam proses
pembelajarannya mampu menggunakan berbagai konsep, prinsip, atau hukum untuk
memecahkan masalah yang konkrit. c. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
Learning to live together, yaitu pendidikan seharusnya memberikan bekal kemampuan untuk
dapat hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk sehingga tercipta kedamaian hidup dan
sikap toleransi antar sesama manusia. d. Learning to be (belajar untuk menjadi/mengembangkan
diri sendiri). Learning to be, yaitu pendidikan seharusnya memberikan bekal kemampuan untuk
mengembangkan diri. Proses belajar memungkinkan terciptanya peserta didik yang mandiri,
memiliki rasa percaya diri, mampu mengenal dirinya, pemahaman diri, aktualisasi diri atau
pengarahan diri, memiliki kemampuan emosional dan intelektual yang konsisten, serta mencapai
tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri
Uji Kompetensi Guru Standar Kelulusan UKG
UKG (Ujian Kompetensi Guru) merupakan sebuah kegiatan berupa ujian yang berfungsi untuk
mengukur kompetensi dasar mengenai bidang studi atau subject matter dan juga pedagogik
dalam domain seorang pengajar, dalam hal ini guru sekolah UKG memiliki tujuan untuk
memperkuat peran guru dalam melaksanakan pendidikan. Sehingga guru mampu memberikan
dan juga meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. UKG juga dapat digunakan untuk
memetakan kondisi objektif setiap guru sehingga dapat dijadikan sebagai informasi penting bagi
pemerintah ketika akan mengambil sebuah kebijakan yang terkait dengan materi dan juga
strategi dalam memberikan pembinaan yang dibutuhkan oleh guru. UKG ( Ujian Kompetensi
Guru ) kali pertama dilaksanakan pada tahun 2014 silam, pada saat itu standar kelulusan untuk
UKG hanya sekitar 4.7 saja. Hal ini sangatlah wajar karena ini adalah kali pertama sistem ini
dilaksanakan. Namun, seperti yang sudah dijelaskan pada tujuan UKG tadi, tentunya setiap tahun
standar kelulusan untuk UKG selalu meningkat
Hakekat Pembimbingan Guru
Pembimbingan saat ini dipandang sebagai salah satu strategi pengembangan kompetensi guru
abad 21, guru yang sesuai tuntutan guru profesional dan sekolah abad 21 (Hargreavas, 1997;
Hargreaves & Fullan, 2000). Pembimbingan melekatkan pembelajaran pada praktek profesional
guru di sekolah, juga merupakan bentuk berbagi tanggung jawab dalam upaya peningkatan mutu
sekolah. Lebih dari itu, pembimbingan juga efektif mengembangkan kepemimpinan guru dan
budaya pembelajaran profesional di sekolah (Walkinton, 2005) dimana kedua hal tersebut
merupakan komponen penting kesuksesan sekolah di abad 21 (Hargreaves dan Fullan, 2000;
Beare, 2001). Menurut Reinman & Sprinthall (1998), pembimbingan merupakan bagian dari
supervisi. Walaupun demikian, pembimbingan memiliki karakteristik yang membedakannya dari
supervisi yaitu penekanan pembimbingan pada refleksi dan pembelajaran profesional. Supervisi
lebih dekat dengan peran sosialisasi untuk ‘membentuk’ guru menjadi sosok guru yang sesuai
dengan dengan lingkungan sekolah dimana guru mengajar. Fungsi supervisi ini meliputi
penyambutan (guru baru), enkulturasi, pemodelan, penjelasan, diskusi, dan pemberian umpan
balik. Fungsi ini dilakukan dalam pembimbingan namun dengan tuntutan komitmen yang lebih
holistik dan hubungan yang lebih multi arah. Pembimbing mungkin menjadi pelatih, motivator,
sumberinformasi, dan pasangan belajar, bergantung pada konteks (Walkington, 2005). Di
Inggris, istilah pembimbingan menjadi popular melebihi supervisi di saat semakin banyak guru
sekolah yang melakukan pembimbingan terhadap calon guru di sekolah mereka (Hawkey, 1998)
Pembimbingan berbasis sekolah berpotensi mengembangkan komunitas pembelajaran di
sekolah. Daresh (2003) mengatakan bahwa secara umum, hubungan pembimbingan- baik yang
terjadi secara alami melalui kontak informal dengan seseorang (misalnya pembimbingan dari
guru favorit) ataupun melalui program formal dan terstruktur (seperti pembimbingan untuk guru-
guru baru di sekolah) merupakan kesempatan besar untuk pembelajaran. Baik pembimbing dan
yang dibimbing akan banyak belajar tentang kehidupan profesional mereka dan memperoleh
akan memperoleh pemahaman yang lebih tentang kebutuhan personal, visi, dan nilai-nilai
melalui setiap pengalaman pembelajaran mereka. Pembimbingan merupakan bantuan dari
seorang individu terhadap individu yang lain. Pembimbingan biasanya dilakukan oleh atasan
atau individu yang dipandang lebih senior dalam jabatan. Namun, seringkali terjadi,
pembimbingan terjadi antar teman sebaya atau bahkan dari yang lebih junior kepada yang lebih
senior dari sisi usia. Dengan demikian pembimbingan tidaklah selalu terjadi antara atasan dengan
bawahan. Pembimbingan yaitu “off-line help by one person to another in making significant
transitions in knowledge, work or thinking” (Megginson, Clutterbuck, Garvey, Stokes, & Harris,
2006: 5). Pembimbingan merupakan “the relationship between someone of greater expertise in a
given setting working with someone of lesser expertise (although it is not necessarily just one-
on-one relationship)” (Walkington, 2005: 12). Dalam pembimbingan, hubungan dibangun secara
sadar dan sengaja antara pembimbing dan yang dibimbing. “Mentoring involves the relationships
built around shared purposes and mu-tual goals among the adults involved’ (Carr, Nancy, &
Harries, 2005). Tujuan pembimbingan yaitu menghasilkan perubahan yang signifikan pada
pengetahuan, pekerjaan atau pemikiran individu yang dibimbing dengan cara membantu individu
memahami sesuatu yang sedang terjadi terkait dengan pekerjaan atau karir individu yang pada
awalnya mungkin dipandang sepele atau tidak penting (Megginson, dkk., 2006). Pembimbingan
dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang reflektif bagi individu yang dibimbing dalam
menghadapi isu-isu yang sedang dihadapi maupun diprediksikan terjadi, diantaranya: karir,
pertumbuhan pribadi, pengelolaan hubungan dan manajemen situasi (Megginson, dkk., 2006).
Dalam praktek, pembimbingan lebih seperti seperti ‘coaching’atau pendampingan dan
kolaborasi. Terjadi proses berbagi antara pembimbing dan yang dibimbing dengan komitmen
untuk pengembangan pelaksanaan pembelajaran yang efektif bagi siswa (Carr, Nancy, &
Harries, 2005). Terlebih, pengajaran di era 21 sangat lah kompleks and sulit sehingga tak
satupun ahli dapat menjawab dengan mudah permasalahan atau memiliki jawaban paling benar.
Dengan kata lain, dalam pembimbingan, kedua belah pihak saling belajar (Hargreavas & Fullan,
2000) sehingga manfaat dan hasil pembimbingan tidak hanya bagi individu yang dibimbing,
namun juga pembimbing. “The mentor is highly likely to grow as the partners in the
relationships share and reflect” (Walkington, 2005:12). Dengan demikian, pembimbingan
berbeda dengan evaluasi (Portner, 2003). Pembimbingan merupakan proses yang berkelanjutan
yang berupaya membangun kepercayaan diri guru. Kerahasiaan data individu yang dibimbing
dijaga dan digunakan semata-mata untuk refleksi. Penilaian manfaat pembimbingan pun
dilakukan oleh individu yang dibimbing. Evaluasi lebih merupakan suatu kunjungan yang
diaturoleh suatu kebijakan, berorientasi pada penilaian kinerja, dan ditujukan untuk pengisian
data yang akan diproses untuk penilaian guru. Semua kegiatan evaluasi dibuat dan merupakan
kewenangan supervisor atau pengawas Di sekoiah, pembimbingan mungkin diberikan oleh guru,
kepala sekoiah, supervisor, dan atau akademisi perguruan tinggi kepada mahasiswa calon guru,
kepala sekoiah, guru dan atau kepala sekoiah, baik secara individual ataupun kelompok
(Walkington, 2005) Praktek pembimbingan yang sering terjadi di sekoiah yaitu ketika seorang
guru belajar pada guru lain atau di saat seorang guru mendengarkan permasalahan dari guru lain
kemudian memberikan tip-tip praktis dan berbagi rencana pengajaran dan bahan-bahan pelajaran
(Reiman & Sprinthall, 1998). Hal ini biasanya terjadi secara alami tanpa suatu program yang
terencana (Bartell, 2005). Namun demikian, tidak berarti pembimbingan yang efektif dapat
terjadi secara otomatis di sekolah. Bahkan, menurut Hargreaves & Fullan (2000), walaupun
pembimbingan telah banyak dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan dan juga
mengelola stress guru, dalam prakteknya, kadangkala masih mengecewakan. Oleh karena itu,
sekolah dan institusi terkait perlu menyusun program-program pembimbingan untuk
memberikan bantuan dan praktek yang lebih terstruktur dan efektif pada guru. Di samping itu,
pemrograman pembimbingan di sekolah memberikan pengakuan dan penghargaan kegiatan
pembimbingan sebagai salah satu layanan bantuan profesional guru. Hal ini berimplikasi pada
pengakuan dan penghargaan peran-peran yang dijalankan pembimbing dan yang dibimbing
dalam hubungan pembimbingan sehingga peluang keberhasilan pembimbingan pun akan lebih
besar (Walkington, 2005)
Pembimbingan yang efektif
Pembimbingan yang efektif perlu memperhatikan hal-hal yang mempengaruhi keefektifan
hubungan pembimbingan, seperti berbagi pemahaman dan harapan pembimbingan sejak awal
antara pembimbing dan individu yang dibimbing, pengetahuan pembimbing tentang strategi dan
kegiatan pembimbingan, ketrampilan memelihara kepercayaan dalam hubungan, pengetahuan
bagaimana mengatasi konflik dan perbedaan yang mungkin (Walkington, 2005). Oleh karena itu,
struktur organisasi pembimbingan yang mencakup penentapan tujuan program pembimbingan,
strategi pembimbingan dan metode yang akan digunakan untuk mengukur keberhasilan
pembimbingan perlu ditetapkan bersama antara pembimbing dan yang dibimbing sebelum
pembimbingan dimulai (Megginson, dkk., 2006) Hal penting yang perlu diperhatikan dalam
penetapan struktur organisasi pembimbingan ini adalah tahap perkembangan guru – tahap-tahap
kognitif, ego, dan moral, dan juga tahap karir mereka (Reiman & Sprinthall, 1998). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa guru-guru menunjukkan sikap kerja yang berbeda-beda di tiap
tahap perkembangan yang berarti mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan profesional yang
berbeda yang berkaitan erat dengan tahap-tahap perkembangan mereka. Guru-guru juga
menunjukkan sikap lebih reseptif pada pengembangan profesional yang paling sesuai dengan
kebutuhan mereka (Bartel, 2005). Keefektifan pembimbingan memerlukan kontrak yang dibuat
sebelum pembimbingan dimulai berdasarkan hasil diskusi dan musyawarah antara pembimbing
dan individu yang dibimbing. Kontrak pembimbingan merupakan kesepakatan etis and praktis
dalam pelaksanaan kerja yang tidak hanya tentang salah atau benar, tepat atau tidak, tapi juga
apa yang sebaiknya diiakukan atau tidak dengan mempertimbangkan konteks (St James ethic
center, online: attachment:/2/attachment2.htm). Kontrak pembimbingan hendaknya terbuka
untuk direview guna mendukung keefektifan pembimbingan yang mensyaratkan fleksibelitas
seiring pertumbuhan dan juga perkembangan pengalaman pembimbing dan individu yang
dibimbing (Walkington, 2005). Pembahasan kontrak mencakup: kerahasiaan, batas-batas
hubungan dan konflik peran, waktu, tempat, skala waktu, cara pelaksanaan pekerjaan, review,
harapan dan keterbatasan (Connor & Pokora, 2007) yang berfungsi memberikan kejelasan
kepada pembimbing dan individu yang dibimbing tentang batas-batas dan penerapan prinsip-
prinsip moral dalam proses pembimbingan. Terlebih, percakapan dalam pembimbingan kadang-
kadang melibatkan emosi dan masalahmasalah pribadi. Selain itu, pada kenyataannya terdapat
isu-isu dalam praktek pembimbingan yang perlu diperhatikan. Isu-isu tersebut antara lain: 1)
pembimbingan lintas jender. Mungkinkan pembimbingan antara kolega laki-laki dengan wanita
(atau sebaliknya) terlaksana baik? Dalam pembimbingan, pembimbing dan individu yang
dibimbing mungkin harus bekerja bersama selama berjam-jam untuk mendiskusikan suatu
masalah. Hal ini mungkin akan menimbulkan masalah atau dipandang tidak etis. 2)
Pembimbingan antar tingkat organisasi. Misalnya, seorang kepala sekolah atau wakil kepala
sekolah bertindak sebagai pembimbinga bagi guru yang kadangkala lebih menguasai materi dan
kelas dibandingkan kepala sekolah? Selain itu, dapatkah guru SMA menjadi pembimbing guru
SMP atau SD? 3) Perbedaan di usia. Dapatkan guru yang lebih muda namun lebih
berpengalaman bertindak sebagai pembimbing bagi koleganya yang lebih tua namun mungkin
baru mengawali karirnya mengajar di kelas? Dapatkan orang yang datang dari luar sekolah dan
berpengalaman bertindak sebagai pembimbing bagi guru-guru di sekolahnya yang baru?
(Daresh, 2003). Kontrak pembimbingan akan sangat membantu ketika satu atau beberapa isu
tersebut muncul
Rangkuman Materi: Tantangan Guru Abad 21 dan
Kompetensi yang Dibutuhkan
Tantangan Guru Abad 21
Guru di abad ke-21 menghadapi tantangan yang semakin kompleks akibat perkembangan
teknologi dan globalisasi. Beberapa tantangan utama yang dihadapi guru meliputi:
Keberagaman siswa: Guru harus mampu mengajar siswa dengan latar belakang budaya,
sosial, dan kemampuan yang sangat beragam.
Perkembangan teknologi yang cepat: Guru perlu terus belajar dan mengadopsi
teknologi baru untuk mendukung pembelajaran.
Tuntutan kemampuan berpikir tingkat tinggi: Siswa diharapkan mampu berpikir
kritis, kreatif, dan menyelesaikan masalah kompleks.
Akuntabilitas yang tinggi: Guru dituntut untuk mencapai hasil belajar yang optimal dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, guru perlu memiliki kompetensi yang memadai, meliputi:
UKG: Diadakan untuk mengukur kompetensi guru dan sebagai dasar untuk
meningkatkan kualitas guru.
Pembimbingan: Merupakan proses yang berkelanjutan untuk mengembangkan
kompetensi guru, melibatkan berbagai pihak seperti kepala sekolah, supervisor, dan rekan
sejawat.
Kesimpulan
Guru abad 21 memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk generasi mendatang. Untuk
menghadapi tantangan yang semakin kompleks, guru perlu terus mengembangkan kompetensi
diri dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Pembimbingan dan dukungan dari berbagai pihak
sangat diperlukan untuk membantu guru mencapai tujuan tersebut.
Kata Kunci: Guru abad 21, kompetensi guru, tantangan pendidikan, pembelajaran abad 21,
UKG, pembimbingan guru.
2. Dalam konteks yang lebih luas, profesionalisme guru memiliki dampak yang signifikan
terhadap:
Kualitas pendidikan: Guru yang profesional akan menghasilkan lulusan yang berkualitas
dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Perkembangan masyarakat: Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan generasi yang
cerdas, kreatif, dan berkarakter.
Penguatan demokrasi: Pendidikan yang berkualitas akan menumbuhkan kesadaran warga
negara yang kritis dan partisipatif.