T.1.4. Demonstrasi Kontekstual Kelompok 5
T.1.4. Demonstrasi Kontekstual Kelompok 5
T.1.4. Demonstrasi Kontekstual Kelompok 5
Negara Indonesia sangat kaya akan kelompok suku, etnis, agama serta budaya di negara
Indonesia, hal itu menjadikan Indonesia disebut sebagai negara multikultural terbesar. Dunia
pendidikan adalah titik awal untuk pengimplementasian multikultural dalam masyarakat yang
demokratis. Melalui sekolah, tenaga pendidikan dapat menanamkan sifat kemajemukan bagi
para siswa. Guru harus bertindak kreatif dalam menjembatani pluralitas menjadi budaya yang
majemuk dan tercipta perdamaian.
Dasar negara Indonesia menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hal yang jadi pondasi,
dukungan atau alat untuk mengembangkan mutu hidup serta kemakmurannya tanpa
menyusahkan orang lain. Satu hal yang menjadi pedoman mutu hidup serta ketentraman adalah
pendidikan.
1. Diskriminasi Pendidikan
Diskriminasi adalah hal yang biasa ditemui dalam masyarakat, karena manusia sering
melakukan diskriminasi satu sama lain. Dan seorang diperlakukan namun secara tidak adil
dikarenakan ras, kelas, jenis kelamin, suku, keyakinan, status ekonomi, bentuk fisik atau
hal yang berkaitan diskriminasi. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses
pendewasaan pribadi yang tidak diskriminatif, dinamis, dan intensif yang berlangsung
secara adaptif dan tanpa akhir.
Kemudian, berkaitan dengan fasilitas sarana dan prasarana juga penting dalam
peningkatan kualitas pendidikan. Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai serta jauh
dari standar yang memadai, seperti gedung sekolah dan kurang memungkinkannya ruang
pembelajaran, menjadi penyebab diskriminasi sering terjadi dalam pendidikan, sebab
sekolah yang memiliki prasarana yang kurang lengkap akan mudah mendapatkan
diskriminasi oleh orang yang belajar di lingkungan dengan fasilitas lengkap.
Kasus lain terkait peningkatan serta penguatan bahasa dari Badan Bahasa (2016),
menyatakan ada sebelas Bahasa wilayah yang telah mengalami kelangkaan. Bahasa
Hukumina, Keyeli, Piru, Moksela, Ternateno, Nila, Palumatu, Te’un, Mapia, Tandia
Tabada. Sedangkan menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kemendikbud RI Dadang Sunendra di tahun 2018 ada 19 bahasa wilayah terancam langka,
4 bahasa kritis, 2 bahasa hadapi kemerosotan, 16 bahasa sudah dalam keadaan renta, dan
19 berstatus nyaman.
Ada pun faktor-faktor secara umum terkait diskriminasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. Masalah dengan pemerintah negara lain;
b. Memadukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing atau bahasa daerah;
c. Cenderung senang menggunakan hal apa pun yang berasal dari luar negara;
d. Semangat generasi anak muda dalam mewariskan kultur asli Indonesia semakin
berkurang;
e. Sedikitnya pengetahuan terhadap berharganya profil bangsa; dan
f. Membuka akses terhadap perbedaan kultur yang berada di luar Indonesia.
Secara garis besar, diskriminasi biasanya datang dari individu seseorang yang kurang baik,
seperti:
a. Mekanisme pertahanan psikologis, artinya seseorang menghasut orang lain dengan hal
yang tidak disukainya.
b. Frustrasi, orang yang kecewa menjadikan kekecewaannya sebagai kambing hitam;
c. Merasa terancam dan memiliki harga diri rendah, untuk menenangkan diri, mereka
berusaha mempermalukan orang atau kelompok lain;
d. Memiliki cerita buruk di masa lalu yang kini diteruskan ke orang lain sebagai bentuk
diskriminasi.
e. Persaingan dan pendayagunaan masyarakat saat ini materialistis dan fokus pada
kekayaan.
f. Individual atau kelompok bersaing satu sama lain untuk kekayaan, kegelamoran dan
kewenangan.
g. Model pemasyarakatan diskriminasi merupakan fenomena yang dieksplorasi dan
ditransmisikan secara turun temurun melalui proses sosial.
h. Kemudian terbentuknya pandangan stereotip mengenai peran suatu bangsa dengan
bangsa lain dalam masyarakat, yaitu perilaku, cara hidup, dan lain-lain.
Berdasarkan pernyataan di atas pendidikan multikultural dapat dijadikan sebagai upaya
pencegahan untuk menghilangkan segala diskriminasi dalam pendidikan di Indonesia.
3. Pendidikan multikultural
Multikultural terdiri dari dua kata yaitu multi dan kultur yang mana multi artinya
banyak sedangkan kultur artinya budaya. Suparlan (2002) menyatakan bahwa multikultural
merupakan budaya, yaitu budaya yang terlihat melalui fungsinya menjadi panduan untuk
berlangsungnya hidup masyarakat. Dalam pembangunan bangsa, multikultural telah
membentuk suatu ideologi yang disebut sebagai multikulturalisme.
Namun, dilihat dari realitanya masih ada diskriminasi pendidikan dalam masyarakat
yang menyebabkan pendidikan tidak berjalan maksimal seperti yang ada pada daerah kota.
Maka tedapat hal-hal yang dapat diterapkan dalam pendidikan multikultural ini, yaitu:
Pendidikan multikultural memiliki empat nilai yaitu, nilai kesetaraan, nilai toleransi,
nilai demokrasi, dan nilai pluralisme. Nilai–nilai ini mempunyai pandangan yang saling
memenuhi satu dengan lainnya dalam menyikapi pendidikan multikulturalisme. Tidak
hanya itu perkembangan kreatif, adanya keadilan, dan merdeka belajar bagi peserta didik
tidak dapat tercapai tanpa adanya dorongan dari para tenaga pendidik dan campur tangan
pemerintah. Sebagai tenaga pendidik harus memahami keperluan ataupun kebutuhan dari
peserta didik menjadikan modal untuk terciptanya pendidikan yang dapat memanusiakan
manusia, nilai ini penting dan tidak hanya dipandang sebagai nilai kuantitatif saja.
Penyeimbang dalam hal EQ, IQ serta SQ yang menjadi modal dalam hal membentuk
peserta didik yang berkualitas dan seimbang sebagai SDM. Pendidikan dapat dikatakan
seimbang bila dapat menghasilkan setiap individu yang mampu imbang. Pendidikan yang
sepadan melahirkan pribadi yang bisa membentuk program politik yang adil dan sepadan,
bukan berpolitik berdasarkan kelompok tertentu. Di sisi lain, perkembangan globalisasi di
zaman modern telah melahirkan berbagai gagasan tentang penghormatan dan penghargaan
terhadap orang lain serta memperkuat pesan tentang pentingnya pendidikan yang ideal, adil
dan manusiawi.