Skripsi Amba Oke BISMILLAH

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 65

HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT GURU PAI DENGAN KEMAMPUAN

MENGINTERNALISASI NILAI-NILAI RELIGIUS SISWA


DI SMA MUHAMMADIYAH 1 PURBOLINGGO

SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh :
AMBA NIKTO MARCEDESTA
NPM : 20250002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
TAHUN. 2024 M/ 1445 H
ii
HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT GURU PAI DENGAN KEMAMPUAN
MENGINTERNALISASI NILAI-NILAI RELIGIUS SISWA
DI SMA MUHAMMADIYAH 1 PURBOLINGGO

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh :
AMBA NIKTO MARCEDESTA
NPM : 20250002

Pembimbing I : Iswati, M.Pd.I


Pembimbing II : Dr. cahaya Khaeroni, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
TAHUN. 2024 M/ 1445 H

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Selama ini, pengkajian mengenai pembelajaran hanya memberikan
sedikit perhatian terhadap peran dan dampak emosi terhadap proses dan hasil
belajar seseorang. Namun, dewasa ini emosi mulai mendapat perhatian seiring
dengan meningkatnya perhatian akan besarnya peran otak dalam segala bentuk
perilaku manusia, termasuk peran emosi dalam meningkatkan hasil belajar.
Emosi kini dipandang sebagai sumber kecerdasan, kepekaan, dan berperan
dalam mendorong perkembangan serta penalaran yang baik, tidak lagi
dipandang sebagai hambatan dalam hidup seperti pandangan konvensional.
Bahkan saat ini telah diakui bahwa emosi berpengaruh dalam meraih
keberhasilan belajar, untuk itu proses belajar yang dijalani harus
menyenangkan1
Hasil penelitian mengungkapkan, kecerdasan emosional memiliki
peran yang jauh lebih penting dibandingkan kecerdasan intelektual (IQ).
Karena kecerdasan emosional (EQ), merupakan kekuatan pendorong di balik
pencapaian pencapaian yang luar biasa. Meskipun beberapa individu mungkin
memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, mereka sering kali kesulitan
untuk unggul dalam lingkungan yang kompetitif. Sebaliknya, mereka yang
memiliki kecerdasan emosional berkembang menjadi orang yang unggul
dalam pekerjaan, wirausahawan berprestasi, pengusaha sukses serta pemimpin
berpengaruh dalam berbagai kelompok.2
Emosi dapat mempengaruhi fungsi psikologis lainnya, jika suatu objek
disertai dengan emosi positif maka individu akan mampu mengamati dan
bereaksi secara positif, sebaliknya jika suatu objek disertai dengan emosi
negatif maka individu akan mengamati dan bereaksi secara negative pula.

1
Wahab, Rohmalina, Psikologi Belajar, 1st, Rajawali Pers, Depok, 2018, h. 157
2
Nita Wahyuni dan Abd. Rahman Bahtiar, Hubungan Emotional Quotient Dengan
Kemampuan Guru PAI Dalam Menanamkan Nilai- Nilai Moral Keagamaan, Jurnal Tarbawi, vol .
1, no. 1, h. 78

1
2

Secara umum, manusia mempunyai sekurang-kurangnya 7 (tujuh)


fungsi emosi. Masing-masing fungsi tersebut memiliki peran yang penting
dalam kelangsungan hidup manusia, karena membantu dalam beradaptasi
dengan lingkungan. Adapun tujuh fungsi emosi tersebut antara lain: Pertama,
menimbulkan respon secara spontan sebagai persiapan menghadapi kesulitan.
Kedua, menyesuaikan reaksi tergantung dengan kondisinya. Ketiga,
memberikan motivasi bertindak untuk pencapaian tujuan tertentu. Keempat,
mengkomunikasikan niat pada orang lain. Kelima, meningkatkan ikatan sosial.
Keenam, mempengaruhi memori dan evaluasi pada suatu kejadian. Ketujuh,
meningkatkan daya ingat terhadap memori tertentu.
Belakangan ini marak diberitakan adanya gejala dekadensi moral,
terutama di kalangan remaja (pelajar), masalah akhlak dan moralitas
merupakan permasalahan yang mendasar karena, nilai suatu bangsa
didasarkan pada karakter atau moralitas bangsa tersebut. Bangsa yang tidak
berakhlak pada hakikatnya telah rusak, tidak lagi memiliki harkat dan
martabat, yang akan berakibat pada kehancuran bangsa tersebut.
Pendidikan dapat menjadikan seseorang yang menuntut ilmu diangkat
derajatnya oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam QS. Al-
Mujadilah: 11

Ayat diatas menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai keagamaan


serta nilai-nilai sosial dan akhlak pada manusia, khususnya remaja (pelajar)
yang dimulai sejak usia dini. Tugas guru Pendidikan Agama Islam (PAI),
adalah untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang materi
yang diberikan yang dalam hal ini adalah pendidikan agama islam.
Pemahaman ini akan lebih efektif dan mudah diterima apabila pendidikan
agama dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dan tidak terbatas hanya pada
kegiatan yang bersifat monoton atau hafalan semata.
Mengingat kondisi kehidupan modern yang semakin kompleks, yang
mana hal ini dapat memberikan dampak buruk terhadap keadaan emosional
seseorang. Individu perlu memiliki, memahami serta memperhatikan aspek
kecerdasan emosional yang penting untuk perkembangan diri. Kecerdasan
emosional membantu manusia memotivasi dan mengelola emosinya serta
3

membantu untuk menentukan kapan dan di mana seorang indvidu dapat


mengungkapkan perasaannya.
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama para siswa-siswi akan
melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas. SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo adalah sekolah swasta di bawah naungan Muhammadiyah.
Berdiri sejak 7 September 1980, sekolah ini dibina di bawah bimbingan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang terletak di Jl. K.H.A. Dahlan
No. 1 Toto Harjo, Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur,
Provinsi Lampung.
Sekolah swasta berbasis agama islam ini memiliki visi yaitu,
“Berakhlak mulia, Berprestasi Dan Berjiwa Wirausaha Pada Tahun 2025”,
seta memiliki misi yaitu Pertama, Meningkatkan penghayatan dan
pengamalan nilai-nilai ajaran agama islam. Kedua, Membudayakan prilaku 5S
(Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun). Ketiga, Menyelenggarakan dan
mengembangkan pendidikan kader muhammadiyah yang berkemajuan.
Keempat, Melaksanakan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.
Kelima, Membina dan menumbuhkan semangat berprestasi peserta didik
dalam bidang akademik dan non-akademik. Keenam, Berkolaborasi dengan
orang tua dalam meningkatkan prestasi peserta didik. Ketujuh,
Mengembangkan minat dan bakat siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler yang
berorientasi pada pembinaan wirausaha. Kedelapan, Menjalin kerjasama antar
warga sekolah dan lembaga lain yang relevan untuk menunjang
pengembangan wirausaha.
Berdasarkan visi, misi tersebut menunjukkan bahwa SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo memiliki tujuan untuk menghasilkan lulusan
yang beriman, cerdas, terampil, mandiri, dan berwawasan global, dengan
ikhtiarnya yaitu menanamkan pengetahuan agama atau religius dalam kegiatan
pembelajarannya, serta membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT. Seiring dengan perkembangan zaman, SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo di tuntut untuk menyiapkan lulusan yang kompeten dan
menanamkan nilai-nilai religius. Guna menjawab tuntunan perkembangan
zaman, SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo haruslah memiliki guru-guru
4

yang memiliki kompetensi yang unggul pula, termasuk guru PAI, selain itu
diperlukan peningkatan sarana dan prasarana di sekolah untuk mendukung visi
dan misi ini.
Hasil survey pra-penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan
bahwa, guru PAI di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo memiliki
kepribadian yang baik dan berkualitas, karena guru PAI harus menjadi
percontohan dan panutan bagi peserta didik untuk memperbaiki akhlak atau
moral, serta menanamkan keimanan dan ketaqwaan dalam hati. Peneliti juga
menemukan fakta di lapangan, bahwa terdapat beberapa peserta didik yang
melakukan tindakan tidak terpuji dan tidak taat peraturan, Tindakan siswa ini
dapat dilihat dari cara mereka berbicara kepada guru, berpakaian, dan cara
mereka berperilaku terhadap teman sejawat.
Hal ini disebabkan oleh fakta dimana banyak siswa SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo yang memiliki latar belakang keluarga yang
kurang memberikan perhatian maupun pendidikan akhlak, juga faktor
pergaulan yang tidak sehat (bergaul dengan orang yang tidak baik). Untuk ini,
pihak sekolah tidak tinggal diam terhadap siswa yang kurang berakhlak,
karena tujuan dari SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo adalah membantu
serta membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Seiring dengan semakin majunya perkembangan zaman, yang berdampak pada
menurunnya nilai-nilai spiritual, dimana masyarakat kehilangan nilai-nilai
moral yang telah dianutnya sejak lama. Kurangnya pemahaman atas kesadaran
beragama terutama pada peserta didik disebabkan oleh pendidikan agama
Islam yang cenderung menitikberatkan pada aspek teoritis, sehingga nilai-nilai
religius hanya dihafal tanpa diimani dengan hati, diucapkan melalui lisan dan
dilakukan serta diamalkan.
Salah satu upaya dalam membantu siswa mengembangkan nilai-nilai
religius adalah dengan mengamalkan ajaran agama Islam yaitu menanamkan
perilaku-perilaku yang baik, mempunyai sopan santun, berbudi pekerti yang
baik, dan berperilaku baik. Disinilah kecerdasan emosional guru PAI berperan
penting dalam menginternalisasi nilai-nilai religius dalam keseharian peserta
5

didik agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab, mandiri, bijak, dan
memiliki akhlak yang baik.3
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, peneliti tertarik
untuk meneliti lebih lanjut yaitu melaksanakan penelitian yang berjudul
“Hubungan Emotional Quotient Guru PAI Dengan Kemampuan
Menginternalisasi Nilai-Nilai Religius Siswa Di SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih mendalam yang terkait dengan hubungan
emotional quotient guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai
religius Siswa Di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo sehingga penulis
merumuskan masalah sebagai berikut, bagaimana hubungan emotional
quotient guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius
siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan emotional
quotient guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa
di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo

3
Dodi Setiawan, M.Pd, wawancara, “SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo”. Pada hari
senin, 29 Januari 2024, pukul 08.15-09.15 WIB
6

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain:
1. Kegunaan Teoritis
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
informasi dan wawasan bagi pembaca mengenai emotional quotient
dengan menginternalisasi niai-nilai religius, khususnya dalam bidang
tarbiyah. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
perkembangan emotional quotient guru PAI dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius siswa, serta seberapa besar pengaruh
emotional quotient dan internalisasi nilai-nilai religius dalam
membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan
hubungan emotional quotient guru PAI dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo
b. Bagi Siwa
Sebagai bahan informasi agar meningkatkan nilai-nilai religius
c. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pegangan dan masukan dalam
profesional guru PAI pada hubungan emotional quotient dengan
kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa dan untuk
meningkatkan mutu sekolah

E. Kegunaan penelitian
Peneliti melakukan penelitian di sekolah SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo dan yang menjadi objek penelitian adalah guru PAI dan siswa-
siswi kelas XI dan XII dengan pemahaman emosional quotient guru PAI
terhadap kemampuan internalisasi nilai-nilai religius siswa
BAB II
KAJIAN LITERATUR

A. Emotional Quotient
1. Pengertian Emotional Quotient
Emosi merupakan suatu perasaan yang mendorong seseorang untuk
merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus dan dialami serta
berdampak pada kehidupan setiap manusia. Emosi seringkali
dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan pada beberapa budaya
emosi diartikan sebagai kemarahan. Pada hakikatnya emosi merupakan
kekuatan pribadi (personal power) yang memungkinkan manusia untuk
berpikir secara keseluruhan, mengenali emosinya sendiri maupun emosi
orang lain serta mengetahui cara yang tepat untuk mengekspresikannya.
Psikolog memiliki definisi berbeda tentang emosi dari sudut pandang
yang berbeda, anatara lain adalah sebagai berikut:
a. Goleman menyatakan bahwa kecerdasan intelektual atau Intelligence
Quotient (IQ) hanya menyumbang 20% bagi keberhasilan individu,
sedangkan 80% lainnya merupakan sumbangan dari faktor strength
yang lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (EQ) yaitu kemampuan pengendalian suasanan hati (mood),
berempati serta kemampuan bekerja sama. Terbukti dalam pengukuran
kecakapan emosi, terdapat keraguan pada seseorang yang rendah
kesadaran dirinya, apakah dapat dipercaya untuk mengevaluasi
kekuatan dan kelemahannya sendiri.
b. Menurut William James emosi adalah keadaan jiwa yang
menampakkan dirinya dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh.
William James membagi jenis religiusitas menjadi dua, yaitu the
heatlhy minded dan the sick soul. Yang merupakan alternatif dan
kepribadian manusia dalam memandang dunia seperti persepsi mereka,
sehingga dapat memperngaruhi cara pandang mereka mengenai agama
pula. Uraian teori William James menyimpulkan bahwa iseseorang
dengan the healthy-minded atau jiwa yang sehat secara intelektual

7
8

lebih condong memandang segala sesuatu sebagai hal yang positif dan
berfikir optimis terhadap masa depan.
c. Dalam Lawrence, -Salovey dan Mayer menyatakan bahwa kecerdasan
emosional (Emotional Quotient) adalah kumpulan bagian dari
kecerdasan sosial yang meneakup kemampuan untuk menyadari dan
menggunakan perasaan dan emosi baik diri sendiri maupun orang lain
untuk mengimbangi pikiran dan tindakan. Menurut Pater Salovey dan
Jhon Mayer, kualitas emosional yang tampaknya penting untuk
keberhasilan kualitas ini adalah kemmapuan mengenali emosi diri,
kepekaan, keindahan, dan kemmapuan menjalin hubungan sosial.
d. Johanes Pap mengemukakan bahwa kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan
memotivasi diri dan mengatasi kemunduran, mengendalikan impuls
dan emosi, kemampuan untuk tidak membesar-besarkan kebahagiaan,
kemampuan mengatur emosi dan mencegah. stres karena
melumpuhkan pemikiran. Membaca perasaan terdalam (empati) orang
lain dan doa untuk menjaga hubungan semaksimal mungkin,
keterampilan resolusi konflik dan keterampilan kepemimpinan.
e. Crow & Crow, menyatakan bahwa emosi adalah “An emotion, is an
affective experience that accompaniies generallized inner adjustment
and mental and physiological stirredup states in the individuaI, and
that shows it self in his evert behaviour”. warna afektif yang kuat dan
ditandai oleh perubahan-perubahan baik.
Jadi kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mengenali emosi, dan mengenali perasaanya sendiri.
Ketika perasaan atau emosi itu muncul, individu ini dapat mengenali
emosinya sendiri dengan baik dan menyalurkannya dengan cara yang baik
pula. Orang dengan kecerdasan emosional memiliki kepekaan yang tinggi
atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil
keputusan-keputusan secara mantap.
9

2. Komponen Emotional Quotient


Menurut Daniel Goleman dasar kecakapan emosi dan sosial terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut:
a. Pengenalan Diri (Self Awareness), merupakan kemampuan individu
dalam mengidentifikasi perasaan pribadi kemudian menggunakannya
untuk membuat keputusan yang terbaik bagi diri sendiri, serta
membuat seseorang memiliki acuan yang realistis atas kemampuan diri
dan memiliki kepercayaan diri yang kuat. Unsur-unsur kesadaran diri,
yaitu:
1) Kesadaran emosi (emotional awareness), yaitu mengenali
emosinya sendiri dan efeknya.
2) Penilaian diri secara akurat (accurate self awareness), yaitu
mengetahui kekuatan dan batas diri sendiri.
3) Percaya diri (self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri
dan kemampuan sendiri.
b. Pengendalian Diri (Self Regulation), merupakan kemampuan
menangani emosi pribadi dan akan menimbulkan dampak yang positif
pada pelaksanaan tugas, peka terhadap perkataan hati, sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu
segera pulih dari tekanan emosi. Unsur-unsur pengendalian diri, yaitu:
1) Kendali diri (self-control), yaitu mengelola emosi dan menahan
desakan hati yang dapat merusak apabila diikuti.
2) Sifat dapat dipercaya (trustworthiness), yaitu dengan tidak
berbohong dan memelihara norma kejujuran dan integritas.
3) Kehati-hatian (conscientiousness), yaitu bertanggungjawab atas
kinerja pribadi.
4) Adaptabilitas (adaptability), yaitu adaptif dan luwes dalam
menghadapi perubahan.
5) Inovasi (innovation), yaitu mudah menerima dan terbuka terhadap
gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.
c. Motivasi (Motivation). Motivasi adalah seluruh dorongan, keinginan,
kebutuhan, dan daya yang sejenis yang menggerakkan perilaku
10

seseorang. Dalam artian lebih luas, motivasi adalah pengaruh dari


energi dan arahan terhadap perilaku yang meliputi kebutuhan, minat,
sikap, keinginan, dan perangsang (incentives). Unsur unsur motivasi,
yaitu:
1) Dorongan prestasi (achievement drive), yaitu dorongan untuk
menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
2) Komitmen (commitmen), yaitu menyesuaikan diri dengan sasaran
kelompok atau lembaga.
3) Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan
kesempatan.
4) Optimisme (optimisme), yaitu kegigihan dalam memperjuangkan
sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
d. Empati (Empathy), yaitu kemampuan memahami perspektif orang lain,
berada di kondisi orang lain dan menimbulkan hubungan saling
percaya, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, serta mampu
menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. Unsur-unsur empati,
yaitu:
1) Memahami orang lain (understanding others), yaitu peka terhadap
perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif
terhadap kepentingan mereka.
2) Mengembangkan orang lain (developing other), yaitu dapat
merasakan kebutuhan akan perkembangan orang lain dan berusaha
menumbuhkan kemampuan orang lain.
3) Orientasi pelayanan (service orientation), yaitu mengantisipasi,
mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
4) Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity), yaitu
menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-
macam orang.
5) Kesadaran politis (political awareness), yaitu mampu membaca
arus arus emisi sebuah kelompok dan hubungannya dengan
perasaan.
11

e. Ketrampilan Sosial (Social Skills). Ketrampilan sosial adalah


kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah,
menyelasaikan perselisihan, dan bekerjasama dalam tim. Unsur-unsur
ketrampilan sosial, yaitu:
1) Pengaruh (influence), yaitu memiliki taktik untuk melakukan
persuasi.
2) Komunikasi (communication), yaitu mengirim pesan yang jelas
dan meyakinkan.
3) Manajemen konflik (conflict management), yaitu negoisasi dan
pemecahan silang pendapat.
4) Kepemimpinan (leadership), yaitu membangkitkan inspirasi dan
memandu kelompok dan orang lain.
5) Katalisator perubahan (change catalyst), yaitu memulai dan
mengelola perusahaan. Membangun hubungan (building bond),
yaitu menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
6) Kolaboratif dan kooperatif (collaboration and cooperation),
merupakan bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
7) Kemampuan tim (team capabilities), yaitu kemampuan dalam
menciptakan hubungan yang menguntungkan dalam kelompok
untuk memperjuangkan tujuan bersama.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emotional Quotient


a. Faktor Pembawaan (hereditas)
Dalam teori kromosom dikemukakan oleh Morgan seorang ahli
genetika berasal dari Amerika. Ia menyebutkan bahwa faktor-faktor
keturunan disebutnya gen tersimpan dalam setiap segmen atau lokus
yang khas dalam kromosom. Setelah penemuan Morgan tersebut para
ahli kebanyakan sepakat bahwa gen terdapat dalam sel kelamin
manusia sehingga sangat masuk akal jika gen merupakan faktor
keturunan karena ia akan terpindahkan dari orangtua kepada keturunan
12

saat terjadinya fertilisasi atau konsepsi (pembuahan), yaitu bertemunya


sel spermatozoon dari pihak ayah dengan sel ovum dari pihak ibu.
Para ahli genetika juga sepakat bahwa gen yang diwariskan kepada
anak atau keturunannya akan menentukan sifat-sifat anak dalam
menanggapi lingkungannya seperti cerdas atau tidaknya si anak,
kemungkinan anak menjadi pemurung atau periang, lincah atau kaku,
dan lain-lain. Hal itu sangat ditentukan saat terjadinya konsepsi atau
fertilisasi sel ovum oleh sel spermatozoon. Dikatakan saat terjadinya
konsepsi atau fertilisasi merupakan periode pembentukan temperamen
individu atau anak sebagai hasil keturunan dari orangtuanya.
b. Faktor lingkungan (environment)
Sebagian ahli berpendapat bahwa faktor lingkungan tidak
berpengaruh terhadap sifat-sifat keturunan yang dihasilkan seperti
telah dikemukakan dalam subbab sebelumnya. Tetapi, banyak pula
para ahli meyakini bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan sifat-sifat keturunan dari individu-individu.
Pada kenyataannyalah faktor lingkungan tidak dapat dilepaskan begitu
saja dengan keberadaan individu-individu yang hidup di dunia. Sebab,
dengan lingkungan sekitarnya individu mengadakan interaksi secara
terus-menerus dan tanpa henti hingga individu tersebut berakhir masa
hidupnya di dunia.
Lingkungan yang dimaksud disini meliputi lingkungan fisik dan
lingkungan psikologis. Lingkungan fisik dapat berupa rumah atau
tempat tinggal seseorang, keluarga atau orang tua, tempat belajar
(sekolah/perguruan tinggi), teman bermain, tetangga, rekan kerja dan
lain-lain. Sementara itu, lingkungan psikologis mencakup keinginan,
cita-cita, atau harapan individu terhadap kehidupan ini, serta segala
persoalan yang melingkupi kehidupan individu.
Beberapa ahli juga membagi faktor lingkungan yang
mempengaruhi karakteristik atau perilaku individu menjadi lingkungan
pribadi dan lingkungan non-manusia. Lingkungan orang tersebut
meliputi orang tua individu, saudara kandung, teman bermain, segala
13

harapan, keinginan, dan semua perlakuan individu lain terhadap


individu yang bersangkutan. Sedangkan lingkungan bukan manusia
meliputi rumah atau tempat tinggalnya, sekolah, peralatan yang
digunakannya, batu-batuan, pepohonan, dan lain-lain.

4. Pandangan Islam Tentang Emotional Quotient


Mendidik anak untuk cerdas secara emosional supaya ia mampu
mengenali dan mengelola emosinya, memanfaatkannya secara efektif,
serta berempati dan kesanggupan membina hubungan antar pribadi
menjadi bagian dari pendidikan agama islam. Dalam perspektif islam,
segala macam emosi dan ekspresinya, diciptakan oleh Allah SWT. melalui
ketentuannya. Allah SWT menciptakan emosi untuk membentuk manusia
yang lebih sempurna.
Dalam Al-Qur‟an dan hadist banyak terdapat pembahasa mengenai
ekspresi emosi manusia. Emosi-emosi dasar manusia, mulai dari
kesedihan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan dan lainnya tersampaikan
dengan bahasa yang indah dalam Al-Qur‟an dan hadist. Emosi lain yang
lebih kompleks, seperti sombong, malu, bangga, dengki, iri hati,
penyesalan, dan lain-lain juga terangkaikan dalam berbagai kalimat.
Begitu pula tentang cinta dan benci tidak luput dari pembahasan.
Adapun beberapa ayat didalam Al-Qur‟an terkait dengan emotional
quotient sebagai berikut
a. QS. Al-Israa‟ (17): 83
Ayat diatas menjelaskan bahwa sifat manusia memiliki kencendrungan
salah satu sifat lebih dominan daripada sifat lainnya, yang akan
mengakibatkan ketimpangan atau gangguan emosional yang cukup parah.
Itulah sifat manusia bila mendapat kesenangan dia sombong, bila ditimpa
kesusahan dia putus asa.
b. QS. An-Nuur (24): 11
Penting untuk memahami bahwa tujuan utama hidup dari manusia
adalah untuk beribadah yang mana semua perbuatan atau amal-amal kita
dilakukan hanya semata-mata kepada Allah ta’ala tanpa pamrih dan syarat
14

apapun. Bahkan untuk mencari kesenangan, jika hidup hanya bertujuan


mencari kesenangan maka jadilah pula kesenangan tersebut sebagai
Tuhan, bukan atas dasar keikhlasan hanya kepada Allah. Dan pahamilah
bahwa hidup kita di dunia hanya sementara saja dan ada yang lebih baik
dari sebuah kesenangan.
c. QS. Fushshilat (41): 30
Sedih dan gembira adalah emosi yang timbul dari emosi cinta dan
benci. Sedih adalah perasaan tidak nyaman, kehilangan atau perasaan tak
memiliki apa-apa, sedangkan gembira adalah perasaan memiliki
segalanya. Kesedihan adalah sesuatu yang hilang yang terjadi pada masa
lalu, sedangkan takut adalah perasaan kehilangan sesuatu yang akan terjadi
di masa depan. Takut dan sedih inilah yang dalam ayat diatas menjadi
tolak ukur keimanan seseorang. Seperti dijelaskan pada ayat di atas.
Kehilangan merupakan refleksi dari mencintai sesuatu secara berlebihan,
dan sesuatu itu seperti pada ayat sebelumnya yaitu kecintaan akan harta,
anak, pasangan, dan kekuasaan. Dan perasaan kehilangan akan timbulah
penyesalan, lalu munculah tangisan sebagai wujud refleksi diri kesedihan
itu sendiri.
d. QS. At-Taubah (9): 82
e. QS. „Abasa (80): 38-41

5. Implementasi Emotional Quotient Dalam Pembelajaran


Untuk menciptakan pembelajaran yang optimal dengan hasil belajar
yang maksimal terdapat beberapa cara untuk mengembangkan emotional
quotient dalam pembelajaran antara lain:
a. Menyediakan lingkungan yang kondusif
Agar pembelajaran optimal dan memaksimalkan hasil belajar
peserta didik, lingkungan belajar harus kondusif.
b. Menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis
Dalam demokrasi pembelajaran, bertujuan untuk menciptakan
komitmen bersama antara guru dan siswa bahwa pendidik dan anak
didik memiliki posisi yang sedang belajar bersama sehingga kelas
15

menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak untuk belajar


bersama serta dapat leluasa dalam mengaktualisasikan dirinya.
c. Mengembangkan sikap empati
Empati juga dikenal sebagai kecakapan sosial adalah
kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Dalam
pembelajaran seorang pendidik harus merasakan atau peka terhadap
apa yang dirasakan oleh anak didik, contohnya ketika anak didik
merasa jenuh dalam pembelajaran, pendidik hendaknya dapat berusaha
membuat suasana lebih ceria dan menyenangkan sehingga anak didik
dapat belajar dengan baik.
d. Student Center (terpusat pada siswa)
Dalam menyukseskan pembelajaran, baik secara fisik, sosial
maupun emosional, penting untuk melibatkan peserta didik secara
optimal dalam pembelajaran. Contohnya melibatkan siswa secara fisik,
dapat dilakukan dengan meminta siswa mencari informasi tentang
pembelajaran, dan mengerjakan soal di depan kelas. Sedangkan secara
emosional dapat dilakukan dengan meminta anak didik untuk saling
berinteraksi dengan guru, dan sesama teman di dalam kelas.
e. Ketanggapan Guru
Selama proses pembelajaran, akan ada banyak tindakan di kelas
yang bervariasi, dan guru harus merespon setiap prilaku peserta didik
secara positif dan menghindari respons negatif. Agar pembelajaran
berlangsung dengan baik dan hasil belajar yang optimal, seorang guru
harus mampu menanggapi dan merespon prilaku peserta didik apabila
mereka mengalami kesulitan dalam pelajaran, dengan menggunakan
kata-kata yang baik dan tidak menyinggung perasaan siswa seperti
“kamu bodoh!”, “soal mudah saja tidak bisa!”, “siswa payah!” dll. Hal
itu berakibat pada psikis siswa dan menyebabkan siswa menjadi putus
asa dan tidak lagi memiliki semangat untuk belajar.
f. Keteladanan
Karena contoh pendidik dapat memengaruhi perilaku dan
tindakan siswa, pendidik harus menjadi teladan dalam penegakkan
16

disiplin bukan hanya dengan mengucapkan kata-kata. Anak didik saat


ini biasanya lebih suka melihat contoh daripada mendengarkan
percakapan panjang. Guru harus dapat menjadi role model bagi
siswanya di semua aspek kehidupan.

B. Guru Pendidikan Agama Islam


1. Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
Guru dan anak didik adalah dua unsur penting dalam proses
pendidikan. Mereka berada dalam relasi kejiwaan yang saling
mempengaruhi dan memiliki peranan yang berbeda dalam interaksi
edukatif. Guru berperan sebagai pengajar, sedangkan anak didik berperan
sebagai penerima bahan pelajaran yang diberikan guru di kelas.
Guru Agama Islam memainkan peran penting dalam pendidikan
keagamaan bagi anak-anak. Mereka berada di garda terdepan setelah orang
tua dalam memberikan pendidikan keagamaan. Seorang pendidik bertugas
memberikan pengarahan, dan pengajaran mengenai pendidikan ilmu
kepada anak didik di sekolah karena agama berorientasi pada ajaran
kebaikan dan tuntunan dalam hidup.
Selain sebagai seorang pendidik, Guru Pendidikan Agama Islam (PAI),
memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada guru pendidikan
lainnya. Karena selain bertanggung jawab dalam pembentukan
kepribadian siswa sesuai ajaran agama Islam, Guru PAI juga bertanggung
jawab kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman
(31): 13

2. Tugas Guru Pendidikan Agama Islam


Guru memiliki banyak tanggung jawab sebagai konsekuensi dari
pengabdiannya, baik di dalam maupun di luar pekerjaan mereka. Ada tiga
kategori tugas guru yaitu dalam bidang: profesi, kemanusiaan, dan
kemasyarakatan. Menurut Imam Al-Ghazali, tugas utama guru (pendidik)
adalah menyempurnakan, membersihkan, dan menyucikan, serta
membawa hati manusia untuk mendekatkan dirinya pada Allah SWT.
17

Zakiah Darajat menyatakan bahwa tanggung jawab guru Pendidikan


Agama Islam adalah sebagai berikut:
a. Memperbaiki pendidikan agama yang telah terlanjur salah diterima
anak, baik dalam keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.
b. Membantu membina pribadi anak, sembari melaksanakan dan
mengajarkan pendidikan agama.
c. Guru PAI selain sebagai guru, hendaknya dapat menjadi seorang
konsultan jiwa bagi anak didik.

Adapun tugas-tugas pendidik Islam dirangkum dengan menggunakan


berbagai istilah seperti:
a. Sebagai Ustadz, orang yang berkomitmen terhadap terhadap mutu
proses dan hasil kerja, komitmen profesionalitas yang melekat
pada dirinya sikap dedaktif.
b. Sebagai Mu’allim, yaitu orang yang menguasai ilmu serta
menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi
praktis dan teoritisnya, sekaligus berlaku sesuai ilmu atau
pengetahuan, internalisasi serta amaliyah (implementasi).
c. Sebagai Murabbi, orang yang mendidik dan mengharapkan peserta
didik agar mampu berkreasi, mampu memelihara dan mengatur
hasil kreasi untuk tidak meninbulkan mala petaka bagi dirinya,
orang banyak/masyarakat dan alam sekitarnya.
d. Sebagai Mursyid, orang yang mampu menjadi model atau sentral
identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan
bagi peserta didiknya.
e. Sebagai Mudarris, orang yang memiliki kepekaan intelektual dan
informasi, mampu memperbaharui keahlian dan pengetahuannya
secara bekelanjutan, serta berusaha melatih ketrampilan sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuan juga mencerdaskan peserta
didiknya untuk memberantas kebodohan,.
18

f. Sebagai Muaddib, orang yang mampu menjadikan peserta didik


sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam rangka
membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
Dengan demikian, cara bersikap, ucapan, dan tingkah laku seorang
guru diperlukan sebagai contoh agar siswa bisa menjadi insan kamil, yakni
sempurnba dalam kacamata peradaban manusia dan sempurna dalam
standar agama. Cara meraihnya, sebagai process of becoming dan process
of education bagi siswa serta liberating dan civilizing bagi guru.

C. Internalisasi Nilai-Nilai Religius


1. Pengertian Internalisasi
Menurut KBBI, "internalisasi" didefinisikan sebagai penghayatan
terhadap ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan
kesadaran akan kebenaran ajaran atau nilai yang diwujudkan dalam sikap
dan perilaku.
Internalisasi adalah proses memasukkan sikap ideal yang
sebelumnya dianggap di luar agar dapat masuk ke dalam pemikiran,
keterampilan, serta perspektif hidup seseorang. Tujuan internalisasi ada 3
yaitu: Pertama, agar siswa mengetahui (knowing), Kedua, agar siswa
mengerjakan apa yang mereka ketahui (doing), dan Ketiga, agar siswa
menjadi orang seperti yang mereka ketahui (being).

2. Tahapan Internalisasi
Dalam dunia pendidikan, penilaian memiliki makna dari berbagai
segi, yakni bagi peserta didik, bagi guru, bagi sekolah. Menurut Suharsimi
Arikunto dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah pengukuran sebagai
terjemahan dari measurement dan istilah penilaian yang merupakan
terjemahan dari evaluasion. Ada tiga istilah yang saling berdekatan, yakni
evaluasi, pengukuran (assessment), dan assessment. Ketiga pengertian
tersebut digunakan dalam rangka penilaian.
19

1. Pengukuran (measurement), adalah pemberian angka pada suatu


karakteristik atau atribut tertentu yang dimiliki oleh objek lain atau
orang menurut aturan yang jelas.
2. Penilian (assessment), merupakan suatu pernyataan berdasarkan fakta
yang ada untuk menjelaskan karakteristik seseorang. Penilian
mencakup semua proses pembelajaran.
3. Evaluasi (evaluation), merupakan kegiatan pengumpulan kenyataan
mengenai proses pembelajaran secara sistematis untuk menetapkan
apakah terjadi perubahan dan sejauh apakah perubahan tersebut
memengaruhi kehidupan peserta didik dan sejauh apakah.
4. Tes, merupakan suatu instrumen atau suatu prosedur untuk mengukur
suatu perilaku. Tes hasil belajar dilakukan untuk mengukur sejauh
mana kemampuan peserta didik dalam memahami materi-materi
pembelajaran.

3. Metode Penanaman Nilai-Nilai Religius


Internalisasi dapat dimaknai sebagai penghayatan atau pendalaman
suatu nilai. Namun yang dimaksud internalisais disini adalah pendalaman
ilmu di sekolah. Dengan pendalaman ilmu ini diharapkan siswa-siswi
terbiasa untuk melakukan aktifitas positif yang diberikan di sekolah.
Dalam upaya menumbuh kembangkan potensi akhlak siswa, ada beberapa
metode yang dapat dilakukan yaitu:
a. Metode keteladanan
Dalam Al-Qur'an, teladan disebut dengan istilah “uswah“ dan
“iswah” atau “al-qudwah” dan “al qidwah” yang berarti suatu
keadaan di mana seseorang manusia mengikuti/meneladani manusia
lain, baik dalam kebaikan ataupun keburukan. Jadi “keteladanan”
didefinisikan sebagai tindakan. yang ditiru atau dicontoh oleh
seseorang dari orang lain. Namun keteladanan yang dimaksud di sini
adalah keteladanan yang baik, yang dapat digunakan sebagai alat
pendidikan Islam, sesuai dengan pengertian “uswatun hasanah”.
20

Dengan mempertimbangkan definisi di atas, metode keteladanan


dapat diartikan sebagai metode di mana seseorang menggunakan
tingkah laku atau tindakan yang patut ditiru (modeling) sebagai bagian
dari proses pendidikan.
b. Metode latihan dan pembiasaan
Pembiasaan adalah sebuah cara yang dilakukan untuk mebiasakan
anak didik berfikir, bertindak, dan bersikap sesuai dengan apa yang
diajarkan dalam ajaran agama Islam. Pembiasaan merupakan proses
pembentukan sikap/perilaku yang relativ menetap melalui proses
pembelajaran yang berulang-ulang.
Pembiasaan sangat ampuh untuk diterapkan pada pembelajaran
sejak usia dini, karena anak masih memiliki ingatan yang kuat,
merekam dengan baik serta kondisi kepribadian yang belum matang.
Sehingga mereka mudah terlarut dengan kebiasaan-kebiasaan yang
mereka lakukan sehari-hari. Dalam proses awal pendidikan
pembiasaan adalah cara paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai
akhlak ke dalam jiwa peserta didik.
c. Metode mengambil pelajaran
Cara atau jalan yang ditempuh oleh pendidik untuk menyampaikan
materi pembelajaran dengan maksud tercapainya tujuan pembelajaran.
d. Metode pemberian nasehat
Nasehat berfungsi untuk memberitahukan orang lain mengenai
mana yang baik dan yang buruk, karena kemampuan memahami nilai
kebaikan dan keburukan tidak dimiliki setiap orang. Metode ini akan
efektif diaplikasikan kepada anak apabila seseorang yang memberi
nasehat juga mengaplikasikan perkataannya dalam kehiduan sehari-
hari dan dibarengi dengan teladan atau uswah. Nasehat dari teladan
yang baik akan berpengaruh terhadap jiwa anak didik dan akan
menjadi suatu yang sangat besar manfaatnya dalam pendidikan rohani.
e. Metode pemberian janji dan ancaman ( targhib wa tarhib)
21

Metode untuk meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah


SWT melalui janji-Nya, yaitu kenikmatan bagi yang melakukan amal
shaleh dan ancaman bagi mereka yang bermaksiat kepada-Nya.
f. Metode kedisiplinan
Kedisiplinan sekolah erat kaitannya dengan karajinan peserta didik
di sekolah dan juga dalam proses belajar. Kedisiplinan mencakup
kedisiplinan guru dalam mengajar dan melaksanakan tata tertib,
denhan adanya disiplin peserta didik dapat mengembangkan minat
bakat serta motivasi yang kuat.

4. Nilai-Nilai Religius
Berhubungan dengan hal-hal religius terutama nilai religius,
zulkarnain berpendapat tentang macam-macam nilai religius hal itu
diantaranya seperti nilai tauhid/aqidah, nilai ibadah, nilai akhlak, dan juga
nilai sosial.
a. Nilai Tauhid/Aqidah
Nilai ketuhanan atau tauhid merupakan sebuah kepercayaan
terhadap adanya tuhan yang terletak di semua ranah kehidupan dan hal
itu ada tingkatnya. Monoteisme merupakan kata yang memiliki makna
yang sama dengan tauhid. Dari pendapat Abdullah bin Abdul Hamid
Al-Atsari, tauhid atau aqidah memiliki makna keyakinan dan hal itu
akan tertanam kuat di hati, yang memiliki sifat terikat dengan agama
dan berisi sebuah perjanjian.
Hal ini perlu diajarkan sejak dini karena nilai tauhid itu urgen
untuk kekuatan Iman pada seseorang ketika beragama dengan
meyakini tentang kebenaran ajaran Islam. Manusia yang yakin dengan
apa yang diimani dan mematuhi semua norma yang ada dalam agama
maka kepribadian akan terbentuk dengan hal tersebut.
b. Nilai Ibadah
Kata Ibadah muncul dari bahasa Arab, yaitu kata masdar „abada
yang memiliki arti Penyembahan. Sementara itu kata ibadah menurut
kajian terminologi yang memiliki arti takzim terhadap tuhan, patuh
22

menjalankan semua yang diperintahkan dan dilarangnya. Maka dapat


dikatakan bahwa ibadah adalah sebuah sikap ketaatan terhadap tuhan
dengan diwujudkan di dalam kehidupan sehari-hari contohnya salat,
zakat, puasa, ibadah haji dan lain-lain.
Esensi ibadah dapat harus ditanamkan kepada peserta didik
supaya peserta didik mengetahui makna pentingnnya itu ibadah hanya
untuk Allah. Karena dianggap sangat penting nilai dari ibadah itu
sendiri maka perlu diajarkan sedari dini. Hal ini akan berdampak
menjadi sebuah kebiasaan ketika mereka beranjak dewasa.
c. Nilai Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab dalam bentuk jama‟ yaitu
“khuluq”, artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan.
Sedangkan di tinjuan secara terminologis, ada berbagai pengertian
salah satunya pendapat yang dikemukakan oleh Al-Ghazali yang
dirujuk oleh Abidin Ibn Rusn, berpendapat bahwa: “akhlak merupakan
sebuah sikap yang menyatu di dalam diri manusia dan dari sikap itu
lahirlah berbagai perbuatan yang muncul secara natural, tanpa perlu
lagi melakukan pemikiran atau pertimbangan”.
Akhlak merupakan suatu tindakan keseharian dan akan nampak
dari dalam pribadi seseorang apabila melakukannya sudah tidak
melakukan proses pemikiran karena hal tersebut sudah menjadi bagian
dalam dirinya dan diaktualisasikan ke dalam tindakan atau tingkah
laku serta responsif dalam interaksi sosial. Oleh sebab itu akhlak
merujuk pada tampilan diri dalam keseharian yang muncul dari dalam
diri seseorang. Asalkan akhlaknya baik secara langsung yang nampak
juga kebaikan dan apabila akhlaknya buruk maka yang muncul juga
keburukan.

d. Nilai Sosial (Kemasyarakatan)


Nilai sosial itu sendiri merupakan sebuah pergaulan yang sudah
diatur dalam kehidupan manusia di atas bumi di dalam ranah dimensi
sosial. Hal ini perlu diajarkan guru kepada murid sebab nilai sosial ini
23

adalah tolak ukur ketika berinteraksi di dalam lingkungan sosial


sehingga kehadiran seseorang dapat diterima dalam lingkungan
masyarakat. Di dalam lingkungan bermasyarakat nilai sosial ini sangat
penting karena mengajarkan bagaimana cara bergaul atau bersosialisasi
dengan kultur masyarakat yang berbeda-beda sesuai adab, norma, yang
telah diatur dalam masyarakat tersebut, hal itu akan mengiring manusia
pada kesejahteraan, kebahagiaan, serta keselamatan seseorang, baik di
alam dunia atupun keselamatan di akhirat.
Nilai sosial ini memiliki tujuan supaya membentuk pribadi seseorang
untuk menguasai keterampilan bersosial serta berkomunikasi dengan
masyarakat dengan baik yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang
berlaku

5. Tujuan Penanaman Nilai-Nilai Religius


Chabib Thoha menuturkan bahwa secara umum tujuan penanaman
nilai-nilai akhlak dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Tujuan Umum
Menurut Barmawy Umary, tujuan penanaman nilai-nilai akhlak
secara umum antara lain:
1) Agar terbiasa melakukan hal yang baik, mulia, terpuji, indah, serta
menghindari perilaku yang jelek, hina, buruk, dan tercela.
2) Terpeliharanya hubungan yang baik dan harmonis dengan Allah
SWT dan sesama makhluk-Nya.
Sedangkan Ali Hasan berpendapat bahwa tujuan pokok akhlak
adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), berperangai atau beradat
istiadat serta bertingkah laku (tabiat) baik dan sesuai dengan ajaran
Islam. Dari beberapa pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa tujuan
umum penanaman nilai-nilai akhlak adalah dengan mengetahui tentang
baik buruknya suatu perbuatan, mereka dapat membiasakan dan
mengamalkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Tujuan Khusus
Tujuan spesifik dari penanaman nilai-nilai akhlak di sekolah
meliputi :
24

1) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia dan


beradat kebiasaan yang baik.
2) Membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dengan
memantapkan rasa keagamaan.
3) Membimbing siswa ke arah sikap yang sehat yang dapat membantu
mereka berinteraksi sosial dengan baik, suka menolong, jiwa
penyayang, merangkul yang lemah, dan menghargai orang lain.
4) Membiasakan siswa untuk bersikap dan bicara sopan santun serta
bergaul dengan baik di sekolah maupun di luar sekolah.
5) Membiasakan siswa untuk selalu tekun dan mendekatkan diri
kepada Allah dan bermuamalah yang baik.
Selain itu, diharapkan bahwa upaya untuk menanamkan nilai-nilai
religius ini kedepannya akan dapat menghasilkan individu yang secara
konsisten mengakui dirinya sebagai hamba Allah SWT dan
mengabdikan seluruh jiwa raganya untuk menyembah kepada-Nya,
seperti firman Allah da;am QS. Adz-Dzariyat : 56
25

D. Penelitian Relevan
Adapun penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Agung Priambodo,1 dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh
Kecerdasan Emosional terhadap Akhlak Siswa di MTs Ma’arif Bakung
Udanawu Blitar”. Menyimpulkan bahwa (1) Terdapat pengaruh yang
nyata antara Kecerdasan Emosional dalam Mengelola Emosi terhadap
Akhlak Siswa di MTs Ma‟arif Bakung Udanawu Blitar. (2) Terdapat
pengaruh yang signifikan antara program Kecerdasan Emosional dalam
Mengelola Emosi dan Memotivasi diri sendiri terhadap Akhlak Siswa
di MTs Ma‟arif Bakung Udanawu Blitar yang ditunjukkan oleh nilai F
hitung = 60,598 dan pengaruhnya sebesar 17,0% (3) Terdapat pengaruh
signifikan antara Kecerdasan Emosional dalam Memotivasi diri sendiri
terhadap Akhlak Siswa di MTs Ma‟arif Bakung Udanawu Blitar
2. Muhammad Nur Muslim2, dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh
Kecerdasan Emosional Terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Aqidah
Akhlak Siswa Kelas XI Man 4 Sleman, Yogyakarta”. Diperoleh
kesimpulan bahwa : (1) Tingkat hasil belajar siswa dengan kategori
rendah sebesar 25,7%., kategori sedang sebesar 54,3% dan kategori tinggi
sebesar 20%. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut menunjukan bahwa
siswa kelas XI MAN 4 Sleman memiliki tingkat hasil belajar dengan
kategori sedang. (2) Tingkat kecerdasan emosional siswa dengan kategori
rendah sebesar 14,3%., kategori sedang sebesar 71,4% dan kategori tinggi
sebesar 14,3%. Berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan bahwa
73 siswa kelas XI MAN 4 Sleman memiliki tingkat kecerdasan
emosional dengan kategori sedang. (3) Pengaruh kecerdasan emosional
terhadap hasil belajar siswa adalah sebesar 16,1%. Artinya, masih ada
sisa 83,9% yang merupakan variable atau faktor lain yang tidak

1
Agung Priambodo,“Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Akhlak Siswa di MTs
Ma’arif Bakung Udanawu Blitar”. ( Tulungagung: skripsi tidak diterbitkan, 2014)
2
Muhammad Nur Muslim, “Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Hasil Belajar
Mata Pelajaran Aqidah Akhlak Siswa Kelas XI Man 4 Sleman, Yogyakarta”. ( Tulungagung:
skripsi tidak diterbitkan, 2019)
26

diteliti dalam penelitian ini yang memungkinkan memiliki pengaruh


terhadap hasil belajar siswa kelas XI MAN 4 Sleman.
3. Ayu Mufarichah, dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh
Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Pada Mata Pelajaran Aqidah
Akhlak Terhadap Perilaku Sopan Santun Peserta Didik Di Madrasah
Tsanawiyah Negeri 1 Sidoarjo”.Diperoleh kesimpulan bahwa : (1)
Kecerdasan spiritual pada mata pelajaran aqidah akhlak di MTs Negeri 1
Sidoarjo dalam kategori baik, hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis
data yang menunjukkan perolehan nilai prosentase sebesar 84,5 %. (2)
Kecerdasan emosional pada mata pelajaran aqidah akhlak di MTs
Negeri 1 Sidoarjo dalam kategori baik, hasil tersebut dapat dilihat dari
hasil analisis data yang menunjukkan perolehan nilai prosentase sebesar
84 %. Tabel 1.1 Penelitian Relevan
27

E. Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir merupakan model konseptual mengenai bagaimana
teori berhubungan dengan factor-factor yang telah didefinisikan sebagai
masalah yang penting.
Hubungan emotional quetient Guru PAI dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo dikembangkan melalui landasan teori.dan tinjauan penelitian
terdahulu, .adapun kerangka berfikirnya adalah: guru PAI, kecerdasan
emosional, nilai-nilai religius, dan peserta didik SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo
Hubungan .emotional. .quotient (EQ) dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius merupakan salah satu misi utama yang
wajib dilakukan oleh guru PAI untuk seluruh peserta didik. Keterlibatan guru
PAI dalam peningkatan emotional quotient (EQ) dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius pada dasarnya akan berdampak pada
tingkat pemahaman dan pengalaman emotional quotient (EQ) peserta didik itu
sendiri.
Dalam hal ini peneliti berusaha menganalisis upaya-upaya apa saja
yang dilakukan oleh guru PAI di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo untuk
dapat meningkatkan emotional quotient (EQ) dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius peserta didik. Dengan kata lain peneliti
ingin mendeskripsikan hubungan emotional quetient guru PAI dengan
kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa SMA Muhammadiyah
1 Purbolinggo, agar terwujudnya mutu pendidikan yang berkualitas tinggi,
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak baik.
28

Tabel 1.2 Kerangka Berfikir

Guru PAI

Teori Ruang Lingkup

Kecerdasan Emosional Nilai-Nilai Religius

Pengenalan Diri Tauhid/ Aqidah


Pengendalian Diri Ibadah
Motivasi Akhlak
Empati Sosial
Ketrampilan Sosial (kemasyarakatan)

Peserta Didik SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo

Berdasarkan tabel 1.2 tersebut dapat diberi penjelasan sebagai berikut:


“Hubungan Emotional Quotient Guru PAI Dengan Kemampuan
Menginternalisasi Nilai-Nilai Religius Siswa Di SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo” yang ditingkatkan dari landasan teoti tersebut yang telah
disebutkan serta ditinjau penelitian terdahulu mengenai emotional quotient
dan internalisasi nilai-nilai religius.
29

F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian yang dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Hipotesis ikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru hanya
didasari pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang
diperoleh melalui pengumpulan data.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam
penelitian adalah :
1. Ha: Ada hubungan yang signifikan antara emotional quotient guru PAI
dengan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo.
2. Ho: Tidak ada hubungan signifikan antara emotional quotient guru PAI
dengan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini mengupas tentang Hubungan Emotional Quetient Guru
PAI Dengan Kemampuan Menginternalisasi Nilai-Nilai Religius Siswa Di
SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo. Maka, seperti yang dinyatakan dalam
rumusan masalah, penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Menurut Sugiyono, penelitian kuantitatif sebagai metode ilmiah karena telah
memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu obyektif, konkrit/empiris, terukur,
rasional, dan sistematis. Karena data penelitian berupa angka-angka dan
analisis menggunakan statistik.

B. Populasi, Sampel Dan Teknik Sampling


1. Populasi
Menurut sugiyono, populasi adalah wilayah generelisasi yang
terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulannya. Dan dalam penelitian ini subjeknya adalah guru PAI dan
siswa-siswi kelas XI dan XII di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo.
Dari populasi guru di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo yang
berjumlah 37 dan untuk pengambilan sampel dalam penelitian ini peneliti
mengambil sempel pada guru PAI berjumlah 3 guru. Sebab dalam
penelitian ini peneliti mengambil judul hubungan emotional quotient guru
PAI terhadap kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di
SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo, maka dari itu sampel di khususkan
pada guru PAI.

30
31

Tabel 2.1 Populasi Siswa SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo


KELAS JURUSAN JENIS JUMLAH TOTAL
KELAMIN
L P
MIA 10 17 27
X ISOS 11 7 18 45
Jumlah 21 24 45
XI MIA 1 8 16 24 72
MIA 2 9 15 24
ISOS 15 9 24
Jumlah 33 39 72
MIA 10 14 24
XII ISOS 13 10 23 47
Jumlah 23 24 47
Total 164
Tabel diatas menyatakan bahwa terdapat 7 cluster yakni XII MIA
jumlah populasi= 24, XII ISOS jumlah populasi= 23, XI MIA 1 jumlah
populasi= 24, XI MIA 2 jumlah populasi= 24, XI ISOS jumlah
populasi= 24, X MIA jumlah populasi= 27, DAN X ISOS jumlah
populasi= 18. Total unit pada ketujuh cluster tersebut sebanyak 164
unit.

2. Sampel
Sugiyono mendefinisikan sampel sebagai bagian dari
keseluruhan karakteristik yang dimiliki oleh sebuah populasi.
Pengambilan sampel dilakukan karena jumlah suatu objek penelitian
sangat besar dan peneliti tidak mungkin meneliti objek satu per satu
secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sampel siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo.
32

Rumus slovin adalah sebagai berikut:

Keterangan:
n = jumlah sampel
N= jumlah populasi
e = batas kesalahan (error tolerance)
Berdasarkan rumus slovin di atas dengan batas kesalahan (error
tolerance) sebesar 10% (0,1), maka jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka dapat diketahui jumlah


sampel dalam penelitian ini adalah 62 siswa. Adapun teknik yang
digunakan dalam pengambilan sampel adalah dengan teknik cluster
sampling.
Cluster sampling adalah metode pengambilan sampel daerah
yang digunakan untuk menentukan sampel dalam kasus di mana objek
yang akan diteliti atau sumber data sangat luas, contohnya penduduk
dalam jumlah besar suatu negara, provinsi, atau kabupaten. Untuk
menentukan populasi mana yang akan digunakan sebagai sumber data,
pengambilan sampel didasarkan pada daerah populasi yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Dalam cluster sampling, pupolasi dipartisi (dibagi) menjadi
beberapa kelompok yang disebut cluster. Setiap cluster terdiri dari
33

elemen-elemen (unit) yang tidak harus berukuran sama dengen elemen


pada cluster lainnya. Pada penelitian ini, sampel dari cluster ini dipilih
menggunakan teknik simple random sampling.
Pada penelitian ini, terdapat 5 cluster yakni XII MIA, XII ISOS,
XI MIA 1, XI MIA 2 dan XI ISOS 1. Total unit pada kelima cluster
tersebut sebanyak 191 unit. Selanjutnya adalah dengan melakukan
penarikan sampel dari tiap-tiap cluster yang terpilih dengan
menggunakan rumus n = (populasi cluster/ jumlah populasi cluster
terpilih) x jumlah sampel yang ditentukan. Sehingga hasilnya adalah
sebagai berikut.
Cluster XII MIA : 24/ 166 x 62 = 9
Cluster XII ISOS : 23/ 166 x 62 = 8
Cluster XI MIA 1 : 24/ 166 x 62 = 9
Cluster XI MIA 2 : 24/ 166 x 62 = 9
Cluster XI ISOS 1 : 24/ 166 x 62 = 9

3. Teknik Sampling
Menurut Sugiyono Teknik Sampling merupakan teknik
pengambilan sampel. Terdapat berbagai teknik sampling yang dapat
diaplikasikan untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian.
Dalam penelitian ini, metode sampling yang digunakan adalah
simple random sampling. Metode ini disebut simple (sederhana) karena
anggota sampel dipilih secara acak dari populasi tanpa mempertimbangkan
strata yang ada pada suatu populasi.

C. Definisi Operasional Variabel


Definisi Operasional dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Variabel bebas adalah “variabel penyebab atau diduga memberikan suatu
pengaruh atau efek terhadap peristiwa lain”. Yang menjadi variabel bebas
dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional (X)
34

b. Variabel terikat adalah “variabel-variabel yang ditimbulkan atau efek dari


variabel bebas”. Dalam hal ini yang menjadi variabel terikat adalah
internalisasi nilai-nilai religius (Y)

D. Teknik Pengumpulan Data


1. Metode Angket
Metode agket merupakan tenik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
untuk dijawab oleh responden. Angket adalah suatu daftar yang berisikan
rangkaian pertanyaan mengenai suatu masalah atau bidang yang akan di
teliti.
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kompetensi
kepribadian dan perilaku atau sifat guru PAI baik di dalam maupun di luar
kelas, serta data mengnai etos kerja guru dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik. Angket ini diberikan kepada siswa sebagai sebagai
responden dan data primer, serta rekan guru dan kepala sekolah sebagai
responden dan data sekunder.
Jenis angket yang digunakan adalah angket tertutup. Angket tertutup
merupakan kuesioner yang berisikan pertanyaan yang dilengkapi dengan
jawaban dimana setiap pertanyaan telah tersedia jawaban dengan 4
kategori pilihan. Responden harus memilih pilihan jawaban tanpa
memungkinkan pemberian alternatif jawaban lain (sangat setuju, setuju,
tidak setuju, sangat tidak setuju). Adapun angket yang dibuat
menggunakan alternatif jawaban sebagai berikut:

2. Metode Observasi
Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu
proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis yang
kompleks,. Dua diantara yang terpenting adalah proses- proses
pengamatan dan ingatan.
Observasi dibagi menjadi dua diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Observasi berperan serta
35

Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari- hari


orang yang digunakan sebagai sumber data penelitian atau.yang sedang
diamati.
b. Observasi non partisipan
Dalam observasi ini peneliti terlibat langsung dengan aktivitas
orang-orang yang sedang diamati, sedangkan dalam observasi non
partisipan peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat
independen.
Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah tentang
hunungan emotional quotient guru PAI dalam menginternalisasi nilai-
nilai religius. Metode yang digunakan dalam observasi ini yaitu
metode observasi non partisipan, seorang peneliti tidak mengamati
dalam kesehariannya akan tetapi hanya selama yang dibutuhkan dalam
penelitian apa yang terdapat di lapangan tentang hunungan emotional
quotient guru PAI dalam menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di
SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo.
3. Metode Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gamabar, atau karya-karya
monumental dari seseorang.
Dalam metode ini, peneliti melakukan dengan cara pengambilan data
di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo seperti data tentang sejarah SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo, visi, misi, tujuan, letak geografi, struktur
organisasi SMA Muhammadiyah 1 Purbolibggo.

E. Kisi-Kisi Instrumen
Dalam penelitian ini prosedur pengelolaan yang data ditempuh
adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Editing, yaitu meninjau ulang, memeriksa serta memperbaiki,
kelengkapan dan kejelasan angket/kuesioner yang telah dikumpulkan.
2. Scoring, yaitu pemberian skor pada pernyataan angket dengan cara
mengkonversikan jawaban yang berupa huruf menjadi angka
36

3. Coding, yaitu pemberian simbol, tanda, maupun kode untuk setiap data
yang termasuk dalam kategori yang sama.
4. Tabulating, yaitu memasukkan jawaban dari angket yang berhasil
dikumpulkan ke dalam tabel-tabel yang telah di persiapkan.

Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur fenomena alam atau sosial yang diamati secara spesifik, dimana
fenomena-fenomena ini disebut dengan variabel penelitian.
1. Uji validitas
Uji validitas adalah langkah pengujian yang dilakukan terhadap isi
atau isi (content) dari suatu instrument, untuk mengukur ketepatan
instrumen yang digunakan dalam penelitian. Uji ini digunakan untuk
mengetahui ketepatan alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan
data variable serta untuk menguji butir-butir kuesioner apakah valid
atau tidak. Jika nilai lebih besar dari r tabel maka butir kuesioner
valid dan jika < r tabel maka kuesioner tidak valid. JIka dinyatakan
tidak valid maka butir kuesioner tersebut tidak digunakan.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas artinya dapat diandalkan yang menunjuk
pada.tingkat.keterandalan. sesuatu. Suatu instrumen dapat dipercaya
atau reliabel untuk digunakan sebagai pengumpul data apabila kualitas
instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat
tendensius yaitu mengarahkan.responden.untuk memilih jawaban-
jawaban tertentu. Instrumen yang.sudah dapat .dipercaya dan reliabel,
akan menghasilkan.data.yang dapat dipercaya pula.
Apabila.datanya memang sesuai dengan kenyataannya, maka
berkali-kali diambilpun tetap akan sama. Alat.ukur itu.reliabel.bila alat
itu dalam.mengukur suatu gejala pada waktu yang berlainan.senantiasa
menunjukkan hasil yang sama. Jadi alat yang reliabel.secara konsisten
memberi hasil ukuran yang sama.
37

Dalam penelitian ini peneliti mengambil uji reliabilitas


karena instrumen yang valid berarati alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarati instrumen
tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya
dikur.

3. Uji Validitas
Uji Validitas merupakan ketepatan atau kecermatan suatu
instrumen dalam mengukur apa yang ingin di ukur. Soal yang di uji
cobakan dalam penelitian ini ada 26 butir soal dalam bentuk
pernyataan. Dan dinyatakan validnya angket tersebut dengan
Rhitung > RTabel sedangkan soal yang tidak dinyatakan tidak valid
dengan Rhitung < RTabel.
Tabel 2.5: Hasil Uji Validitas Kecerdasan Emosional (X)

Tabel diatas menyatakan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang kecerdasan emosional (x) semunya dinyatakan
valid dan yang valid bisa digunakan untuk dilakukan pengujian
selanjutnya, untuk menentukan valid atau tidaknya item itu
ditentukan dengan nilai r hitung > r table dan jika sudah r hitung
sudah melebihi nilai r tabel maka item tersebut bisa dilanjutkan
untuk diuji ke tahap selanjutnya.
Tabel 2.6 : Hasil Uji Validitas Internalisasi Nilai-Nilai Religius (Y)

Tabel diatas menyatakan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang internalisasi nilai-nilai religius (Y) semunya
dinyatakan valid dan yang valid bisa digunakan untuk dilakukan
pengujian selanjutnya, untuk menentukan valid atau tidaknya item
itu ditentukan dengan nilai r hitung > r table dan jika sudah r hitung
sudah melebihi nilai r tabel maka item tersebut bisa dilanjutkan
untuk diuji ke tahap selanjutnya, yaitu uji reabilitas.

4. Uji Reabilitas
38

Uji reabilitas dipergunakan untuk.memperoleh.kestabilan


alat ukur, sehingga jika. alat.ukur.tersebut.digunakan selalu
memberikan hasil yang konsisten. Setelah angket valid kemudian
dilakukan. uji reabilitas, dengan dasar keputusan dalam uji reabilitas
Alpha cranbach‟s dengan ketentuan: 1) jika uji Cranbach‟s Alpha >
0,60, maka kuesioner atau angket dinyatakan reliabel atau konsisten.
2) sementara jika nilai Cranbach‟s Alpha < 0,60, maka kuesioner
atau angket dinyatakan tidak reliabel atau tidak konsisten.
Dasar pengambilan keputusan 1) jika nilai Cranbach‟s Alpha
hasil Reabiliti Cronbach‟s Alpha > Signifikansi (α), maka kuesioner
dinyatakan reliabel. 2) jika nilai Cranbach‟s Alpha < Signifikansi
(α), maka kuesioner dinyatakan tidak reliabel

Tabel 2.7 : Hasil Uji Reablitas Variabel X Dan Variabel Y

Semua hasil dari dua variabel yang telah diuji dapat dibaca
ditabel dengan hasil yang semuanya reliabel karena nilai Cranbach‟s
Alpha > 0,60 Signifikansi (α).
39

F. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kuantitatif
sudah jelas, yaitu diarahkan untuk menjawab rumusan masalah dan menguji
hipotesis yang telah dirumuskan pada proposal. Karena data bersifat
kuantitatif, maka teknik analisis data menggunakan metode statistik yang telah
tersedia. Pada penelitian ini, untuk menganalisis data yang di peroleh dari
setelah data terkumpul, maka data tersebut akan dianalisis oleh peneliti dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas data bertujuan untuk menunjukkan bahwa data sampel
dari populasi yang berdistribusi normal. Salah satu teknik yang dapat
digunakan untk menguji normalitas data adalah uji chi-kuadrat, uji chi-
kuadrat menjadi acuan dalam penelitian ini yang mengunakan SPSS 26
dalam pengujiannya
Dalam penelitian ini rumus yang digunakan adalah dengan uji shi-
kuadrat.
Rumus :
Dalam penelitian ini peneliti mengambil rumusan tersebut karena
untuk menilai penyebaran data pada sebuah kelompok data atau variable
apakah sebaran data tersebut berdistribusi normal atau tidak.

2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas adalah suatu prosedur uji statistik yang bertujuan
untuk menunjukkan bahwa dua atau lebih kelompok data sampel yang
telah diambil berasal dari populasi yang memiliki variansi yang sama. Uji.
homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah himpunan data yang
sedang .diteliti memiliki karakteristik yang sama atau tidak. Dalam
penelitian ini .pengujian homogenitas memakai uji F yang memakai alat
bantu yaitu aplikasi SPSS 26 adapun rumus untuk mengujinya sebagai
berikut.
Uji Homogenitas dengan uji F
40

Rumus :

Dimana :
= Variansi Kelompok 1
= Variansi Kelompok 2
Dalam penelitian ini peneliti mengambil rumusan tersebut karena
sampel yang digunakan berbeda kelas, oleh sebab itu untuk menentukan
homegen (sama) peneliti memakai uji homogenitas.

3. Uji Hipotesis
Merupakan pernyataan mengenai keadaan populasi. yang akan di uji
kebenarannya. berdasarkan .data yang diperoleh .dari sampel penelitian.
Rumus:
Ho: = 0,0 berarti tidak ada hubungan
Ha: 0, “tidak sama dengan nol” berarti lebih besar atau kurang
(-) dari nol berarti ada hubungan, = nilai korelasi dalam formulasi yang
dihipotesiskan
Dalam penelitian ini menggunakan rumus hipotesis assosiatif yang
diuji dengan mengunakan aplikasi SPSS 26, adalah hipotesis yang
menunjukkan dugaan adanya hubungan atau pengaruh antara dua variabel
atau lebih.

4. Korelasi Product Moment


Digunakan .untuk mengetahui .kekuatan hubungan. antara korelasi
kedua variabel .dimana variabel .lainnya yang dianggap berpengaruh
dikendalikan atau dibuat tetap.
Dalam penelitian ini peneliti .mengambil rumusan .tersebut yang
dibantu. dengan aplikasi SPSS .26 karena .untuk mengetahui kekuatan
hubungan antara korelasi kedua variabel dimana. variabel .lainnya yang
dianggap .berpengaruh dikendalikan atau dibuat tetap.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


1. Sejarah Berdirinya SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo
SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo berdiri pada tahun 1980,
awal mula berdirinya sekolah ini atas kesepakatan bersama antara
pengurus dan anggota Muhahammadiyah, berdirilah sekolah swasta
yakni sekolah SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo. Awal berdirinya
sekolah ini hanya memiliki siswa 12 orang dalam 1 ruangan.
Para dewan guru dan pengurus Muhammadiyah yang ikut
berperan mendukung dan membantu dalam berdirinya sekolah yang
sampai saat ini masih menjadi pengurus dan anggota yayasan, antara
lain :
1. Bapak Parmin BA
2. Bapak Drs. Mujadi
3. Bapak Drs. Sukandar
4. Bapak Supar BA
5. Bapak Musliman Azali
6. Bapak Dr. Jamal
Tokoh-tokoh tersebut terutama Bapak Parmin BA sebagai kepala
sekolah yang pertama di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo
memulai dengan kedisiplinan, sehingga dari tahun ke tahun
mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Latar belakang
berdirinya SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo yakni unutk
menampung lulusan SLTP yang tidak melanjutkan sekolah diluar
daerah Purbolinggo karena tidak ada biaya, ikut membantu
pemerintah mencerdaskan anak bangsa, agar masyarakat tahu tentang
Muhammadiyah dan tidak benci Muhammadiyah, dengan memiliki
tujuan agar mencerdaskan masyarakat dengan cara agamis. SMA
Muhammadiyah merupakan SMA yang pertama di Muhammadiyah
pada waktu itu. Masa periode kepemimpinan kepala sekolah SMA

41
42

Muhammadiyah 1 Purbolinggo dari tahun pertama hingga sekarang


yaitu :
1. Parmin BA (1980-1989)
2. Hi. Supar BA (1989-2001)
3. Drs Sedono, S.Pd. MM.Pd (2001-2013)
4. Drs. Mujadi (2013-2014)
5. Hazmi Al Askhan, M.Pd (2014 – 2021)
6. Dodi Setiawan, M.Pd. (2021-2025)

2. Visi Dan Misi


a. Visi SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo
“Berakhlak mulia, Berprestasi Dan Berjiwa Wirausaha Pada
Tahun 2025”
b. Misi SMA Muhammadiyah I Purbolinggo
(1) Meningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran
agama islam
(2) Membudayakan prilaku 5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan
Santun)
(3) Menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan kader
muhammadiyah yang berkemajuan.
(4) Melaksanakan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi
(5) Membina dan menumbuhkan semangat berprestasi peserta
didik dalam bidang akademik dan non-akademik
(6) Berkolaborasi dengan orang tua dalam meningkatkan prestasi
peserta didik
(7) Mengembangkan minat dan bakat siswa melalui kegiatan
ekstrakurikuler yang berorientasi pada pembinaan wirausaha
(8) Menjalin kerjasama antar warga sekolah dan lembaga lain
yang relevan untuk menunjang pengembangan wirausaha.
43

3. Keadaan Sarana dan Prasarana


Tabel 3.1 : Tabel Sarana dan Prasarana
4. Keadaan Guru dan Struktur organisasi
Tabel 3.2 : Keadaan Guru
44

B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data
Penelitian dengan judul Hubungan Emosional Quotient Guru PAI
Dengan Kemampuan Menginternalisasi Nilai-Nilai Religius Siswa Di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo sudah dilakukan pengambilan data di
lapangan dengan waktu satu bulan, dengan menggunakan pengumpulan
data seperti angket, observasi dan dokumentasi. Dengan hasil sebagai
berikut:
a. Keadaan Emosional Quotient Guru PAI
Dalam penelitian ini peneliti mengunakan pengamatan objek secara
cermat dengan datang langsung ke lokasi penelitian karena data yang
akan disajikan adalah data yang dikumpulkan langsung di lokasi
penelitian. Yakni dengan memakai tehnik pengumpulan data
mengunakan angket. Hasil dari angekt ini diharakan bisa memberikan
gambaran terkait dengan keadaan emosional quotient guru pendidikan
agama Islam dalam menginternalisasi nilai-nilai religius di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo
Tabel 3.3 : Rekapitulasi skor angket Emotional Quotient (X)

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang kecerdasan emosional (X) yang diberikan kepada
guru pendidikan Agama Islam yang menyatakan sangat setuju sebanyak
17 atau 16%, lalu yang menyatakan ke setuju sebanyak 26 atau 25 %,
setelah itu ada yang menyatakan tidak setuju sebanyak 14 atau 13%,
dan yang menyatakan sangat tidak setuju sebanyak 21 atau 20%.
Tabel 3.4 : rekapitulasi keseluruhan frekuensi pada item jawaban
kecerdasan emosional (X).

Dari hasil tabel di atas bisa diketahui jumlah skor untuk variabel
kecerdasan emosional memperoleh jumlah skor dari hasil penjumlahan
kuesioner sebanyak 195 pengkategorian itu didasarkan pada rentang
skor ideal dimana:
45

1. Jumlah skor maksimal didapatkan dari ; 4 (skor tertinggi)


dikali jumlah item pertanyaan dikali jumlah responden, yakni 4
× 26 × 3 = 312
2. Jumlah skor minimal diperoleh dari hasil : 1 × 26 × 3 = 78

Berdasarkan hasil penyebaran angket tentang kecerdasan emosional


di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo ada 3 responden yang diambil
dari guru SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo yang mengampu
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan diperoleh skor sebesar 195
yang tergolong kategori sangat lemah apabila dipresentasikan maka

dihitung yakni : × 100% = 62% atau 0,625, nilai tersebut jika

diinterpretasikan berada pada interval 0,60 – 0,799 yang masuk ke


dalam kategori kuat, hal itu ketegori tersebut bisa dilihat pada Tabel 3.9
: Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi. Maka
tingkatan intensitas kecerdasan emosional variabel (X) yakni 62% yang
bisa dikatakan bahwa tingkat kecerdasan emosional guru pendidikan
agama Islam itu dikategorikan kuat
b. Keadaan Internalisasi Nilai-Nilai Religius Siswa

1. Keadaan internalisasi nilai-nilai religius siswa kelas XI MIA 1


Tabel 3.5 : Rekapitulasi skor angket internalisasi nilai-nilai religius (Y)
kelas XI MIA 1

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) yang diberikan
kepada para siswa SMA Muhammadiyah kelas XI MIA 1 yang
menyatakan sangat setuju sebanyak 147 atau 12%, lalu yang
menyatakan ke setuju sebanyak 220 atau 28 %, setelah itu ada yang
menyatakan tidak setuju sebanyak 180 atau 35 %, dan yang menyatakan
sangat tidak setuju sebanyak 76 atau 23%.
46

Tabel 3.6 : rekapitulasi keseluruhan frekuensi pada item jawaban


Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).

Dari hasil tabel di atas bisa diketahui jumlah skor untuk variabel
kecerdasan emosional memperoleh jumlah skor dari hasil penjumlahan
kuesioner sebanyak 1684 pengkategorian itu didasarkan pada rentang
skor ideal dimana:
a. Jumlah skor maksimal didapatkan dari ; 4 (skor tertinggi)
dikali jumlah item pertanyaan dikali jumlah responden, yakni 4
× 26 × 24 = 2.496
b. Jumlah skor minimal diperoleh dari hasil : 1 × 26 × 24 = 624
Berdasarkan hasil penyebaran angket tentang internalisasi nilai-
nilai religiusitas di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo ada 24
responden yang diambil dari siswa kelas 11 MIA 1 SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo yang diperoleh skor sebesar 1.684 yang
tergolong kategori kuat apabila dipresentasikan maka dihitung yakni :
× 100% = 67% atau 0.67, nilai tersebut jika diinterpretasikan

berada pada interval 0,60 – 0,799 yang masuk kedalam kategori kuat,
hal itu ketegori tersebut bisa dilihat pada Tabel 3.9 : Pedoman Untuk
Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi. Maka internalisasi nilai-
nilai religius (Y) yakni 67% yang bisa dikatakan bahwa tingkat keadaan
internalisasi nilai-nilai religius dikategorikan kuat

2. Keadaan internalisasi nilai-nilai religius kelas XI MIA 2


Tabel 3.7 Rekapitulasi skor angket internalisasi nilai-nilai religius (Y)
kelas XI MIA 1

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) yang diberikan
kepada para siswa SMA Muhammadiyah kelas XI MIA 2 yang
menyatakan “sangat setuju” sebanyak 106 atau 16%, lalu yang
47

menyatakan ke setuju sebanyak 159 atau 25 %, setelah itu ada yang


menyatakan tidak setuju sebanyak 217 atau 34 %, dan yang menyatakan
sangat tidak setuju sebanyak 141 atau 22 %.

Tabel 3.8 : rekapitulasi keseluruhan frekuensi pada item jawaban


Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).

Dari hasil tabel di atas bisa diketahui jumlah skor untuk variabel
kecerdasan emosional memperoleh jumlah skor dari hasil penjumlahan
kuesioner sebanyak 1476 pengkategorian itu didasarkan pada rentang
skor ideal dimana:
a. Jumlah skor maksimal didapatkan dari ; 4 (skor tertinggi)
dikali jumlah item pertanyaan dikali jumlah responden, yakni 4
× 26 × 24 = 2.496
b. Jumlah skor minimal diperoleh dari hasil : 1 × 26 × 24 = 624
Berdasarkan hasil penyebaran angket tentang internalisasi nilai-
nilai religiusitas di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo ada 24
responden yang diambil dari siswa kelas XI MIA 2 SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo yang diperoleh skor sebesar 1476 yang
tergolong kategori sedang apabila dipresentasikan maka dihitung yakni
: × 100% = 59% atau 0.59, nilai tersebut jika diinterpretasikan

berada pada interval 0,40 – 0. 599 yang masuk kedalam kategori


sedang, hal itu ketegori tersebut bisa dilihat pada Tabel 3.9 : Pedoman
Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi. Maka proses
internalisasi nilai-nilai religius (Y) yakni 59% yang bisa dikatakan
bahwa keadaan internalisasi nilai-nilai religius di kelas XI MIA 2
masuk kategori sedang

3. Keadaan Internalisasi nilai-nilai religiusitas kelas XI ISOS (Y)


Tabel 3.9 Rekapitulasi skor angket internalisasi nilai-nilai religius (Y)
XI ISOS (Y)
48

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) yang diberikan
kepada para siswa SMA Muhammadiyah kelas XI ISOS yang
menyatakan “sangat setuju” sebanyak 187 atau 29%, lalu yang
menyatakan ke setuju sebanyak 214 atau 34 %, setelah itu ada yang
menyatakan tidak setuju sebanyak 134 atau 21 %, dan yang menyatakan
sangat tidak setuju sebanyak 89 atau 14 %.

Tabel 4.0 : rekapitulasi keseluruhan frekuensi pada item jawaban


Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).

Dari hasil tabel di atas bisa diketahui jumlah skor untuk variabel
kecerdasan emosional memperoleh jumlah skor dari hasil penjumlahan
kuesioner sebanyak 1747 pengkategorian itu didasarkan pada rentang
skor ideal dimana:
a. Jumlah skor maksimal didapatkan dari ; 4 (skor tertinggi)
dikali jumlah item pertanyaan dikali jumlah responden, yakni 4
× 26 × 24 = 2.496
b. Jumlah skor minimal diperoleh dari hasil : 1 × 26 × 24 = 624
Berdasarkan hasil penyebaran angket tentang internalisasi nilai-
nilai religiusitas di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo ada 24
responden yang diambil dari siswa kelas XI ISOS yang diperoleh skor
sebesar 1.684 yang tergolong kategori kuat apabila dipresentasikan
maka dihitung yakni : × 100% = 69% atau 0.69, nilai tersebut jika

diinterpretasikan berada pada interval 0,60 – 0,799 yang masuk


kedalam kategori kuat, hal itu ketegori tersebut bisa dilihat pada Tabel
3.9 : Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi.
Maka tingkatan internalisasi nilai-nilai religiusitas variabel (Y) yakni
69% yang bisa dikatakan bahwa internalisasi nilai-nilai religius di kelas
XI ISOS masuk kategori kuat

4. Keadaan internalisasi nilai-nilai religius kelas XII MIA


49

Tabel 4.1 Rekapitulasi skor angket internalisasi nilai-nilai religius (Y)


kelas XII MIA.

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) yang diberikan
kepada para siswa SMA Muhammadiyah kelas XII MIA yang
menyatakan “sangat setuju” sebanyak 189 atau 31%, lalu yang
menyatakan ke setuju sebanyak 175 atau 29 %, setelah itu ada yang
menyatakan tidak setuju sebanyak 138 atau 23 %, dan yang menyatakan
sangat tidak setuju sebanyak 96 atau 16 %.

Tabel 4.2 : rekapitulasi keseluruhan frekuensi pada item jawaban


Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).

Dari hasil tabel di atas bisa diketahui jumlah skor untuk variabel
kecerdasan emosional memperoleh jumlah skor dari hasil penjumlahan
kuesioner sebanyak 1653 pengkategorian itu didasarkan pada rentang
skor ideal dimana:
a. Jumlah skor maksimal didapatkan dari ; 4 (skor tertinggi)
dikali jumlah item pertanyaan dikali jumlah responden, yakni 4
× 26 × 23 = 2.392
b. Jumlah skor minimal diperoleh dari hasil : 1 × 26 × 24 = 624

Berdasarkan hasil penyebaran angket tentang internalisasi nilai-


nilai religiusitas di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo ada 23
responden yang diambil dari siswa kelas XII MIA yang diperoleh skor
sebesar 1653 yang tergolong kategori sangat lemah apabila

dipresentasikan maka dihitung yakni : × 100% = 69% atau 0.69,

nilai tersebut jika diinterpretasikan berada pada interval 0,60 –


0,799yang masuk kedalam kategori kuat, hal itu ketegori tersebut bisa
dilihat pada Tabel 3.9 : Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi
Koefisien Korelasi. Maka tingkatan internalisasi nilai-nilai religiusitas
50

variabel (Y) yakni 69% yang bisa dikatakan bahwa internalisasi nilai-
nilai religius di kelas XII MIA masuk dalam kategori kuat

5. Keadaan internalisasi nilai-nilai religius siswa kelas XII ISOS


Tabel 4.3. Rekapitulasi skor angket internalisasi nilai-nilai religius (Y)
kelas XII ISOS

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada 26 item pernyataan


kuesioner tentang Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) yang diberikan
kepada para siswa SMA Muhammadiyah kelas XII ISOS yang
menyatakan “sangat setuju” sebanyak 133 atau 22%, lalu yang
menyatakan ke setuju sebanyak 226 atau 37 %, setelah itu ada yang
menyatakan tidak setuju sebanyak 140 atau 23 %, dan yang menyatakan
sangat tidak setuju sebanyak 98 atau 16 %.

Tabel 4.4 : rekapitulasi keseluruhan frekuensi pada item jawaban


Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).

Dari hasil tabel di atas bisa diketahui jumlah skor untuk variabel
kecerdasan emosional memperoleh jumlah skor dari hasil penjumlahan
kuesioner sebanyak 1588 pengkategorian itu didasarkan pada rentang
skor ideal dimana:
a. Jumlah skor maksimal didapatkan dari ; 4 (skor tertinggi)
dikali jumlah item pertanyaan dikali jumlah responden, yakni 4
× 26 × 23 = 2.392
b. Jumlah skor minimal diperoleh dari hasil : 1 × 26 × 24 = 624

Berdasarkan hasil penyebaran angket tentang internalisasi nilai-


nilai religiusitas di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo ada 23
responden yang diambil dari siswa kelas XII MIA yang diperoleh skor
sebesar 1588 yang tergolong kategori sangat lemah apabila

dipresentasikan maka dihitung yakni : × 100% = 66% atau 0.66,


51

nilai tersebut jika diinterpretasikan berada pada interval 0,60 – 0,799


yang masuk kedalam kategori kuat, hal itu ketegori tersebut bisa dilihat
pada Tabel 3.9 : Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien
Korelasi. Maka tingkatan internalisasi nilai-nilai religiusitas variabel
(Y) yakni 66% yang bisa dikatakan bahwa keadaan internalisasi nilai-
nilai religius di kelas XII ISOS masuk kategori kuat

b. Keadaan Hubungan Antara Emosional Quotient Guru PAI Dengan


Kemampuan Menginternalisasi Nilai-Nilai Religius Siswa
Berdasarkan hasil analisis korelasi person product menggunakan
SPSS 26 for windows di atas diketahui bahwa taraf signifikan sebesar
0.003 < 0.5 sehingga keputusannya adalah menerima hipotesis yang
menyatakan terdapatnya hubungan signifikan antara emotional quotient
guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius
siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo, sedangkan pearson
correlation 1.000 yang menunjukan bahwa terdapat hubungan antara
emotional quotient guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi
nilai-nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo,
tingkat keeratan hubungan (korelasi) antara variabel emotional quotient
guru PAI dengan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo bisa dilihat bahwa sangat kuat.

6. Uji Persyaratan
1) Uji Normalitas Data
Dasar pengambilan keputusan Uji Chi Square/ Chi Kuadrat

Tabel 3.3 : Tabel Case Processing Summary

Tabel 3.4 : Jenis Kelamin Dan Jenjang Kelas Crosstabulation


Pada tabel Case Processing Summary menunjukan tentang
jumlah sampel itu sebanyak 119 dan pada kolom percent itu
menunjukan bahwa semua sampel dimasukan semua dengan
menunjukan nilai 100.0%. lalu pada tabel jenis kelamin dan tingkat
52

pendidikan itu menjabarkan tentang jumlah laki-laki dan perempuan


pada setiap kelas atau pada tiap jenjang kelas. Yang menunjukan
jumlah total laki-lakinya sebanyak 60 siswa dan perempuan sebanyak
64 siswi, dengan total keseluruhan itu 119. Lalu pada tabel Chi-
Square Tests yang menunjukan tentang hasil uji Chi-Square atau bisa
disebut juga dengan Chi-kuadrat sebagai berikut:
Tabel 3.5 : Chi-Square Tests

Terlihat dari hasil nilai Asymp Sig sebesar 0.255 > 0.05, maka
dapat disimpulkan bahwa “tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dan tingkat pendidikan dengan nilai religius
siswa SMA Muhamamdiyah 1 Purbolinggo”. Hal ini bisa diartikan
bahwa jenis kelamin dan tingkat Pendidikan siswa tidak memiliki
korelasi dengan tingkat religus mereka.
Dalam perhitungan ditemukan chi-kuadrat hitung 5.335 yang
terdapat di tabel valule pada baris pearson chi-square, lalu
selanjutnya harga ini dibandingkan dengan harga chi-kuadrad tabel
dengan dk (derajat kebebasan) 119 – 1 = 118, berdasarkan tabel chi-
kuadrat, bisa diketahui bahwa bila dk = 118 dan kesalahan yang
ditetapkan = 5%, maka harga chi kuadrat tabel = (164.814), maka
distribusi data nilai statistik dari 119 siswa tersebut dapat
dinyatakan berdistribusi normal.

2) Uji Homogenitas
Untuk menguji pengaruh semua variabel terikat dan bebas, maka
dilakukan uji anova (uji F). Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah
ada atau tidak variabel kecerdasan emosional terhadap prestasi
internalisasi nilai-nilai religius siswa, pengujian homogenitas ini
dilakukan secara serentak atau bersama-sama. Hipotesis penelitian uji
F pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : Tidak ada pengaruh antara kecerdasan emosional dan internalisasi
nilai-nilai religius siswa SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo
53

Ha : Ada pengaruh kecerdasan emosional dengan internalisasi nilai-


nilai religius siswa SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo
Dasar pengambilan keputusan uji F dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Apabila nilai F hitung < F tabel maka Ha ditolak
Apabila nilai F hitung > F tabel, Maka Ha diterima

Tabel 3.6: Hasil Uji F Dengan Mengunakan SPSS Versi 26

Berdasarkan tabel di atas maka bisa dilihat bahwa hasil Output


SPSS 26 uji F kecerdasan emosional dengan Internalisasi nilai-nilai
religius. Dengan harga Fhitung perlu di perbandingkan dengan F tabel
dengan dk pembilang (126-2) dan dk penyebut (2-1), maka
berdasarkan dipembilang diperoleh nilai 124 dan dk penyebut itu 1
didapatkan nilai 3.92 dengan taraf signifikan 0.05, maka diperoleh
hasil yang menunjukan 4. 177 > 3.92 (Fhitung > Ftabel) maka artinya
varians homogen.

3) Uji Hipotesis
Uji Hipotesis Asosiatif merupakan dugaan adanya hubungan
antara variabel dalam populasi, melalui data hubungan variabel dalam
sample, korelasi merupakan angka yang menunjukan arah dan kuatnya
hubungan antara dua variabel atau lebih. Arah dinyatakan dalam
bentuk hubungan positif atau negatif, sedangkan kuatnya hubungan
dinyatakan dalam besarnya koefesien korelasi.
Hubungan dua variabel atau lebih dinyatakan positif apabila
nilai suatu variabel ditingkatkan akan meningkatkan variabel yang lain,
dan sebaliknya jika suatu variabel diturunkan maka akan menurunkan
variabel yang lain. Jika nilai suatu variabel dinaikan maka akan
menurunkan nilai variabel yang lain, dan juga sebaliknya bila nilai satu
variabel diturunkan, maka akan menaikan nilai variabel yang lain,
Kuatnya hubungan antara variabel dinyatakan dalam koefesien
korelasi. Koefesien korelasi positif sebesar = 1 dan koefesien negatif
54

terbesar adalah -1, sedangkan yang terkecil adalah 0, bila hubungan


antara dua variabel atau lebih itu mempunyai koefesien korelasi = 1
atau -1, maka hubungan tersebut sempurna Dalam penelitian ini uji
hipotesis dilakukan dengan menggunakan program SPSS 26 dengan uji
hipotesis asosiatif. Dalam pengambilan keputusan untuk menentukan
terdapat atau tidaknya hubungan, adalah cukup dengan melihat pada
nilai signifikansi yang terdapat dalam tabel correlations. Jika
signifikansinya kurang dari 0,05 maka kesimpulannya terdapat
hubungan, jika signifikansi lebih besar dari 0,05 maka tidak terdapat
hubungan.
Dasar Asumsi
a) Jika nilai Sig < 0,05 maka ada korelasi positif antara dua variabel
tersebut
b) Jika nilai Sig > 0.05, maka tidak ada korelasi antara kedua variabel
tersebut
Hasil perhitungan uji hipotesis variabel X dan variabel Y
dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 3.7 : Hasil Uji Hipotesis Asosiatif

Dengan mengunakan uji hipotesis asosiatif didapatkan hasil


bahwa pearson Correlation diperoleh nilai 1.000 yang mendapatkan
nilai signifikan sebesar 0.003 < 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa
hipotesis dalam penelitian ini dinyatakan bahwa Ha : p ≠ 0 yang
menunjukan “tidak sama dengan nol” berarti lebih besar atau kurang
(-) dari nol berarti ada hubungan yang menandakan bahwa nilai
korelasi dalam formulasi yang dihipotesiskan yaitu adanya hubungan
kecerdasan emosional dengan Internalisasi nilai-nilai religius siswa
SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo. Lalu arah dari kedua variabel
ini adalah positif atau searah yang sangat kuat yang ditunjukan dengan
nilai positif 1.000. Kesimpulan dari kedua variabel ini yaitu bahwa
terdapat hubungan signifikan antara hubungan emotional quotient
55

guru pendidikan agama Islam dalam menginternalisasi nilai-nilai


religius siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo

7. Uji Korelasi Product Moment Emosional Quotient Dengan


Internalisasi Nilai-Nilai Religius

Tabel 3.8 : Hasil Uji Korelasi Product Moment

Berdasarkan hasil analisis korelasi person product


menggunakan SPSS 26 for windows di atas diketahui bahwa taraf
signifikan sebesar 0.003 < 0.5 sehingga keputusannya adalah
menerima hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara emotional quotient guru PAI dengan
kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo, sedangkan pearson correlation -
1.000 yang menunjukan bahwa terdapat hubungan antara
emotional quotient guru PAI dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo, tingkat keeratan hubungan
(korelasi) antara variabel emotional quotient guru PAI dengan
menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo bisa dilihat bahwa sangat kuat.
Maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara emotional
quotient guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi nilai-
nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo
diterima. Dengan demikian hipotesis nol (Ho) yang menyatakan
bahwa tidak tedapat hubungan signifikan antara emotional
quotient guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi nilai-
nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo
ditolak.
Tabel 3.9 : Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi
56

Dengan berpedoman tabel diatas dan setelah diketahui r


hitung sebesar 1.000, maka hubungan antara dua variabel
tergolong sangat kuat, hal ini karena 1.000 terletak pada interval
0,00–1.000, hal ini menunjukan bahwa kecerdasan emosional
dengan internalisasi nilai-nilai religius berbanding lurus, artinya
apabila guru yang memiliki kecerdasan emosional yang baik
maka ada hubungannya dalam proses menginternalisasi dan hal
itu sangat kuat hasilnya.
Kesimpulan dari hasil uji signifikansi kecerdasan emosional
di ketahui bahwa hasil signifikansinya 0,003 < 0,05 maka Ho
ditolak dan H1 diterima artinya “H1” ada hubungan yang
signifikan dan positif antara kecerdasan emosional guru dalam
menginternalisasi nilai-nilai religius. Lalu dari hasil uji
signifikansi internalisasi nilai-nilai religius didapatkan hasil
dengan sig 0.003 < 0,05 maka “H1” (ada hubungan yang
signifikan dan positif antara internalisasi nilai-nilai religius
dengan kecerdasan emosional guru PAI).

C. Pembahasan
Setelah dilakukan penelitian dan juga sudah dilakukan pengolahan data
dan didapatkan hasil dari uji hipotesis dari kedua variabel yaitu antara
kecerdasan emosional guru PAI dalam menginternalisasi nilai-nilai religius
siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo.
1. Hubungan emotional quotient guru pendidikan agama Islam dengan
kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo dari hasil yang diperoleh dari hasil uji
hipotesis assosiatif diketahui signifikan sebesar 0.003 hal itu menunjukan
adanya hubungan, karena nilai signifikansi diperoleh hasil 0.003 < 0.05
maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dinyatakan
bahwa Ha : p ≠ 0 yang menunjukan “tidak sama dengan nol” berarti lebih
besar atau kurang (-) dari nol berarti ada hubungan. Lalu dalam uji
korelasi product moment memperoleh hasil pearson korelasion sebesar
57

1.000, yang menunjukan terdapat hubungan yang sangat kuat antara


emotional quotient guru pendidikan agama Islam dengan kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo, tingkat keeratan hubungan (korelasi) antara variabel
emotional quotient guru Pendidikan Agama Islam dengan
menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1
Purbolinggo bisa dilihat bahwa sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari tabel 9
dari kriteria Sugiono yang menyatakan bahwa nilai 1.000 itu terletak di
bawah nilai 0.80-1.000.1 Dari hasil yang sudah diperoleh dapat dimengerti
bahwa ketika guru memiliki kecerdasan emosional yang baik dalam
menginternalisasi nilai-nilai religius maka akan berbanding lurus dengan
nilai-nilai religius yang telah teriinternalisasi kepada siswa. Jika dilihat
dari hasil uji normalitas data dengan uji chi-kuadrat bisa dilihat dan
dipastikan bahwa ketika mereka berbeda jenis kelamin dan juga berbeda
jenjang kelas yang lebih tinggi tidak memiliki pengaruh terhadap nilai
religius yang ada pada diri mereka.
2. Kecerdasan emosional itu merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang
ikut melibatkan kemampuan dari seseorang untuk mengontrol perasaan
dan emosi diri sendiri bahkan juga bisa mengantrol emosi orang lain,
mampu memilih berbagai informasi sehingga dapat membimbing pikiran
maupun tindakannya. Menurut Daniel golemen kecerdasan emosional bisa
diukur dari beberapa aspek yakni, yang pertama itu memiliki kesadaran
diri yang baik, yang kedua dapat mengendalikan diri dalam mengelola
perasaan sehingga mengenal dirinya sendiri dengan baik dan bisa
mengembangkan semua aspek dan kemampuan yang terdapat dalam diri
mereka sendiri, memiliki sikap inisiatif, dan optimis, sama seperti guru
pendidikan agama Islam yang setiap hari mereka mengkoordisanikan para
siswa untuk melaksanakan proses internalisasi nilai-nilai religius baik itu
di dalam sekolah maupun di luar sekolah sebab mereka akan menjadi
tauladan bari para siswa dan siswi. Ketiga memiliki rasa sosial seperti
empati terhadap sesama, dan memiliki manajemen bersosialisasi yang

1
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. h. 274
58

baik dalam organisasi maupun masyarakat ada umumnya hal itu seperti
saat mereka mendapati siswa yang marah atau berkelahi mereka mampu
meredam dan bisa menyelesaikan masalah-masalah lainnya yang
berhubungan dengan sosial serta kepekaan terhadap para siswa, karena
mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda.2
3. William James, mendefinisikan emosi sebagai keadaan jiwa/rohani yang
menampakkan dirinya dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh. The
heatlhy minded dan the sick soul adalah dua jenis religiusitas yang
menjadi alternative dan kepribadian manusia untuk memandang dunia
seperti persepsi mereka, juga dapat mempengaruhi cara pandang mereka
mengenai agama.
Pola guru Pendidikan Agama Islam dalam menginternalisasi nilai-
nilai religius siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo, dalam proses
internalisasi nilai-nilai religius dimaksudkan untuk memperdalam ilmu
keagamaan yang ada di sekolah hal itu dilakukan oleh guru Pendidikan
Agama Islam dengan cara :
a. Memberikan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari baik itu di
sekolah ataupun ketika berada di luar sekolah mengajak murid-murid
untuk melaksanakan salat secara berjama‟ah lalu ketika berada di
rumah seperti mengucapkan salam ketika bertemu dengan guru atau
saat ada tamu datang mereka menyambut dengan hangat dan juga
santun dalam bersikap, lalu ketika mereka berpapasan atau bertemu
siswa diluar sekolah mereka tidak segan untuk menyapa mereka
walaupun mereka adalah guru ketika di sekolah, memberikan contoh
yang baik ketika berada di masyarakat.
b. lalu memberikan pembiasaan di sekolah yaitu dengan menerapkan
pembiasan sebelum pembelajaran dimulai para siswa melakukan salat
dhuha secara berjama‟ah setelah itu dikoordinir oleh ketua kelas
melakukan muroja‟ah surat-surat pendek dengan mengunakan
juz‟ama, di dalam kelas, lalu ketika setelah salat dzuhur para aktivis

2
Goleman, D., & dkk. Kepemimpinan Berdasarkan kecerdasan Emosi, terj. Susi Purwoko.
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2014), h. 32
59

IPM melakukan kultum, jadwal kultum itu sudah ada jadwal masing-
masing pada setiap kelas.
c. Dalam proses pembelajaran juga demikian guru Pendidikan Agama
Islam yang memberikan materi pembelajaran itu seperti pendapat
zulkarnain yang berpendapat tentang macam-macam nilai religius hal
itu diantaranya seperti nilai tauhid/aqidah, nilai ibadah, nilai akhlak,
dan juga nilai sosial, yang diberikan oleh guru pendidikan agama
Islam di dalam kelas, ketika siswa melakukan kesalahan pola yang
diterapkan oleh guru yaitu mereka melakukan pemberian nasihat
kepada siswa dan siswi yang disandingkan dengan keteladan atau
uswah yang diberikan oleh guru seperti mereka menunjukan kebaikan
dan keburukan bila mereka melakukan tindakan ini hal itu akan
berpengaruh terhadap jiwanya dan akan menjadi suatu yang sangat
bermanfaat dalam pendidikan rohani mereka.
d. Pemberian janji dan ancaman (targhib wa tarhib), proses internalisasi
seperti ini itu diberikan ketika mereka bermaksiat kepada allah seperti
mereka tidak melaksanakan salat maka guru akan memberikan nasihat
atau ancaman bagi yang tidak melaksanakannya sebab hukum salat itu
wajib jika mereka sudah masuk usia balig. Lalu guru akan
memberikan janji bila mereka melakukan pelangaran yang sama.
e. Melakukan kedisiplinan baik itu guru dan juga peserta didik, seperti
datang dengan tepat waktu lalu salat dengan tepat waktu, taat pada tata
tertib sekolah. Hal itu akan berdampak pada pengembangan motivasi
siswa.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis yang telah dilakukan serta hasil dari pembahasan data maka
peneliti memperoleh sebuah kesimpulan tentang hubungan emotional quotient
guru PAI dengan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa di
SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo yang memiliki pengaruh signifikan yang
negatif namun saling berhubungan hal itu bisa dilihat di bawah ini ;
1. Berdasarkan hasil uji hipotesis dan juga hasil dari uji korelasi product
moment dengan perolehan nilai hipotesis Assosiatif diketahui signifikan
sebesar 0.003 yang menandakan adanya hubungan dari kedua variabel
yakni emotional quetient guru pendidikan agama islam dengan
kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius siswa karena nilai
signifikansi kurang dari 0.05 yang menunjukan adanya hubungan, karena
tujuan utama dari pengujian hipotesis assosiatif ini adalah untuk
mengetahui adanya hubungan atau tidaknya dari dua variabel sebagai
penganti dari uji linearitas, dari hasil uji korelasi product moment ini bisa
dilihat dari tabel 9 dari kriteria Sugiono yang menyatakan bahwa nilai
interval 1.000 itu terletak pada interval 0.80-1.000, yang menandakan
bahwa adanya hubungan yang saling berpengaruh dan sangat kuat antara
kecerdasan emosional guru dalam menginternalisasi nilai-nilai religius
pada siswa di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo, seperti hasil uji Chi-
Kuadrat yang menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin dan jenjang
kelas itu tidak berpengaruh dengan hasil internalisasi nilai-nilai religius,
karena mereka berlatar belakang yang berbeda dan juga pola asuh yang
dilakukan di rumah yang berbeda.
B. Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pembahasan pada bab IV
peneliti memiliki saran serta masukan dalam penelitian ini untuk sekolah
sebagai berikut:
1. Bagi Pihak Sekolah
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumbangan pemikiran
bagi sekolah SMA Muhammadiyah 1 purbolinggo. Dengan kepribadian

60
61

emosional quotient guru PAI yang baik diharapkan mampu


menginternalisasikan nilai-nilai religius bagi peserta didik sehingga
terciptalah perilaku yang religius dilingkungan sekolah SMA
Muhammadiyah 1 Purbolinggo.
2. Bagi siswa
Dari hasil penelitian ini diharapkan siswa perlu mempunyai jiwa
nilai-nilai religius dalam pribadi siswa agar menjadikan lulusan yang
beriman, cerdas, terampil, mandiri, dan berwawasan global dengan
ikhtiarnya yaitu menanamkan pengetahuan agama dalam kegiatan belajar
mengajar, serta membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
peneliti selanjutnya dalam peningkatan rancangan penelitian yang relevan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, selain itu peneliti selanjutnya
diharapkan menjadikan penelitian ini sebagai wawasan untuk meneliti hal
lain yang masih berkaitan dengan hubungan emotional quotient dengan
kemampuan menginternalisasi nilai-nilai religius.
62

Anda mungkin juga menyukai