GODLOB
GODLOB
GODLOB
Karya Danarto
LELAKI TUA : (membentak) Bangsat! Sinting! Kau kira, kami ini bangkai, hah?!
Pergi!!! (mendekat kepada seseorang yang masih bergerak) Anakku.
(memapah ke arah gerobak) Kau lihat… kau lihat, baru sekarang aku
takjub atas pemandangan ini.
LELAKI MUDA : (mengeliat dan mengaduh karena sakit) Ayah, cukuplah. (merebahkan
badan) Bukankah aku kemarin juga seperti mereka, sebelum Ayah
mendapatkan diriku?
LELAKI TUA : Yah, seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan kau. Berhari-hari
tanganmu yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-
burung gagak yang mengerumunimu karena mengira kau sudah jadi
bangkai. Hidungmu yang mewarisi hidung ibumu itu sudah kebal untuk
bau busuk bangkai kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu Dan, udara
mengantarkan kuman-kuman untuk mengunyah sedikit demi sedikit luka
yang parah itu.
LELAKI TUA : (berdiri dan merentangkan tangannya) Oh, bunga penyebar bangkai
LELAKI TUA : (membentak) Bangsat, kamu sinting! (melemparkan kaleng) Kau kira
kami ini bangkai, hah?! (mendekati anaknya) Malam datang, Anakku.
Sedang gagak-gagak itu masih belum kenyang. Kalau malam gelap
seperti ini, aku sangsi, apakah besok matahari sanggup menembusnya.
Siang berganti siang, malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang
baru dalam hidup kita. Rutin… rutin.
LELAKI MUDA : Ayah, kenapa aku tak memilih lapangan yang lain? Seandainya pilihanku
itu suatu bencana bagiku, sang nasiblah yang mengantarkan aku ke
sana, jadi seharusnya manusia merasa senang juga.
LELAKI TUA : Apa yang ada ini mempunyai pasangan-pasangan. Kalau sesuatu meleset
dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya. Satu centi
meleset mengakibatkan melesetnya seratus centi yang lain.
Sebagaimana perang ini terjadi, umpamanya. Bukankah begitu,
Anakku? Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas yang
mengakibatkan, puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur. Dan
yang setetes itu harus diselidiki betul-betul. Mungkin perkara sepuluh
persen komisi atau membela celana kolor yang cengeng.
LELAKI TUA : Belum cukup! Aku harus memutuskan seseuatu yang hebat, biar aku tidak
dirugikan habis-habisan! Lihatlah, Anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan
pekat. Saking gelapnya hampir-hampir aku tak bisa melihat tubuhku
sendiri. Tak ada setitik cahaya pun. Florence Nightngale telah digondol
gagak-gagak. Lembah kebenaran telah diganti padang kurus
kesangsian. Kau lihat di sana, katedral telah di sapu habis rata dengan
tanah dan sekarang ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana masjid
digerayangi cacing-cacing dan ulat-ulat. Kau lihat di sana, perawan-
perawan telah disekap di kamar-kamar,. Kau lihat di sana, kursi-kursi
pemerintahan sudah digadaikan. Apakah yang bisa diharapkan lagi,
Anakku?
LELAKI MUDA : Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang
susul menyusul, kita telah mampu menyumbangkan tenaga kita.
LELAKI TUA : Berbangga? Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus
memutuskan seseuatu yang hebat, biar aku tak dirugikan habis-habisan.
Anakku, aku minta sumbanganmu? (diam) Lukamu cukup parah,
bukan?
LELAKI TUA : Tiap hari banyak orang-orang berbondong-bondong di batas kota dari
pagi hingga petang atau dari petang hingga pagi untuk menjemput, kalau-
kalau suaminya, saudaranya, anaknya, kawannya, pulang dari
pertempuran. Betapa setianya mereka. O, seandainya mereka tahu apa
yang terjadi sesungguhnya di padang gundul ini! Ibumu akan
LELAKI MUDA : (gelisah) Ayah! Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang
terkandung dalam semua kejadian ini?
LELAKI TUA : Tidak! Aku tidak melihatnya, sebab di situ memang tidak ada apa-
apanya! (diam) Supaya aku tidak terlalu rugi. Supaya nasibku sedikit
baik, aku minta seumbanganmu.
Betapa lezatnya sajak itu, Anakku. Apakah kau tidak bisa melihat
kenikmatan pembunuhan dalam sajak itu?
PENDUDUK : (saling berceloteh) Siapakah wanita aneh itu? Tidak jijikkah ia? Aduh,
seorang perempuan yang berani. Benar? Mayat pahlawan kemarin?
Ya…, betul! Digali lagikah ia?
PENDUDUK : (saling berceloteh)Ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri. Jadi yang
membopong itu ibunya sendiri? Mau dia apakan? Ada sesuatu yang
salah? Bagaimana mungkin?
LELAKI TUA : (menunjuk seseorang pembesar yang datang) Sebaliknya, aku kena
tipu oleh mereka! (yang ditunjuk berhenti) Kita semuanya kena tipu
mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada sesuatu
pun yang kudapatkan!
LELAKI TUA : Menurut hukum yang bagaimanakah seseorang berhak menyebut orang
lain pengkhianat atau pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak
yang penghabisan dari empat orang lainnya yang sudah hancur duluan.
Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya.
Dalam sekejap mata mayat ini diangkat menjadi pahlawan. Aku sudah
mengira, aku sudah menduga. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng
air mata mengantarkannya ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-
pingkal melihatnya!
PEMBESAR : Dengan berpijak pada nilai-nilai objektip, tidak akan ada tipuan-tipuan.
LELAKI TUA : Apa yang bisa aku harapkan dari kalian? (memandang sekeliling dan
menatapi wajah demi wajah). Kalian orang-orang kecil, sekali-sekali
boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa juga berbicara tentang
perang! Lihatlah, Sang politikus! Ia bicara tentang negara, tentang
kebun binatang, tentang perempuan, tentang ekonomi, tentang sajak.
Semuanya sudah diborongnya. Lantas kita disuruh bicara tentang apa?
PEREMPUAN : (menggeliat) Oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah
saja! (mencabut pistol)
LELAKI TUA : (mengeliat dan menoleh) Perang demi perang berlalu, iseng demi
iseng berpadu.(meraih mayat anaknya dan jatuh mati)
SELESAI