18 - O11114013 (FILEminimizer) ..Ok 1-2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 28

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

INSANG, LABIRIN, DAN HEPATOPANKREAS


IKAN SEPAT SIAM, Trichopodus pectoralis Regan, 1910
DI DANAU LAPOMPAKKA KABUPATEN WAJO
DAN DI WADUK BORONG KOTA MAKASSAR

SKRIPSI

NURUL WAHIDAH TAHANG


NIM O 111 14 013

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
INSANG, LABIRIN, DAN HEPATOPANKREAS
IKAN SEPAT SIAM, Trichopodus pectoralis Regan, 1910
DI DANAU LAPOMPAKKA KABUPATEN WAJO
DAN DI WADUK BORONG KOTA MAKASSAR

NURUL WAHIDAH TAHANG

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nurul Wahidah Tahang
NIM : O11114013
Program Studi : Kedokteran Hewan
Fakultas : Kedokteran
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya skripsi saya adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skrisi ini, terutama dalam bab
hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia
dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan
seperlunya.

Makassar, 11 Februari 2019


Pembuat pernyataan,

Nurul Wahidah Tahang

iv
ABSTRAK

NURUL WAHIDAH TAHANG. Gambaran Histopatologi Insang, Labirin,


dan Hepatopankreas Ikan Sepat Siam, Trichopodus Pectoralis Regan, 1910 di
Danau Lapompakka Kabupaten Wajo, dan di Waduk Borong Kota
Makassar. Di bawah bimbingan DWI KESUMA SARI dan SHARIFUDDIN BIN
ANDY OMAR

Ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis) merupakan salah satu jenis ikan
yang banyak diminati oleh masyarakat karena memiliki rasa yang cukup enak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histopatologi
insang, labirin, dan hepatopankreas dari ikan sepat siam. Sampel ikan sepat siam
yang berasal dari Danau Lapompakka berukuran 163,0000 – 181,0000 mm
(169,0000 ± 6,6332 mm) dengan bobot tubuh 32,9000 – 41,8000 g (37,0000 ±
2,0726 mm). Sebaliknya, sampel ikan sepat siam yang berasal dari Waduk Borong
berukuran 142,0000 – 161,0000 mm (149,5000 ± 6,9498 mm) dengan bobot
tubuh 28,4000 – 32,0000 g (30,2000 ± 1,4052 g). Preparat organ (insang, labirin,
dan hepatopankreas) difiksasi menggunakan Neutral Buffered Formalin (NBF)
10%, dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat, embedding dengan
menggunakan parafin, pemotongan dengan ketebalan 5 µm yang diwarnai dengan
menggunakan HE (Haematoksilin Eosin) kemudian diamati. Analisis data yang
digunakan adalah dekriptif kualitatif. Hasil pengamatan menunjukkan insang
mengalami hiperplasia, atropi, edema, fusi lamela sekunder, hemoragi, sel-sel
epitelium yang lepas, dan nekrosis. Labirin mengalami hemoragi infiltrasi sel
radang dan nekrosis. Hepatopankreas mengalami Melano-Macrophage Centres
(MMC), degenerasi lemak, degenerasi hidrofik, hemoragi, kongesti, dan nekrosis.
Tingkat kerusakan organ yang diambil di Waduk Borong lebih besar
dibandingkan dengan yang ada di Danau Lapompakka.
Kata kunci: hepatopankreas, histopatologi, insang, labirin, sepat siam

v
ABSTRACT

NURUL WAHIDAH TAHANG. Histopathological Overview of Gills,


labyrinth and Hepatopancreas of Gourami snakeskin fish, Trichopodus
Pectoralis Regan, 1910 in Lapompakka Lake Wajo District, and in Borong
Reservoir Makassar City. Advisor: DWI KESUMA SARI and SHARIFUDDIN
BIN ANDY OMAR

Gourami snakeskin (Trichopodus pectoralis) is one type of fish that is


much in demand by the community because of it has a price that is relatively
cheaper than chicken and beef. The purpose of this study was to describe the
histopathology of gills, labyrinths, and hepatopancreas of gourami snakeskin fish.
Gourami snakeskin fish samples from Lapompakka Lake were 163,0000 –
181,0000 mm (169,0000 ± 6,6332 mm) with body weights of 32,9000 – 41,8000 g
(37,0000 ± 2,0726 mm). In contrast, gourami snakeskin fish samples from the
Borong Reservoir were 142,0000 – 161,0000 mm (149,5000 ± 6,9498 mm) with a
body weight of 28,4000 – 32,0000 g (30,2000 ± 1,4052 g). Organ preparations
(gills, labyrinths, and hepatopancreas) were fixed using Neutral Buffered
Formalin 10%(NBF), dehydration using multilevel alcohol, embedding using
paraffin, cutting with a thickness of 5 µm stained using HE (Haematoxilin Eosin),
and then was observed. The data analysis used was descriptive qualitative and
quantitative using the T-test analysis method. The results showed that gills
experience hyperplasia, atrophy, edema, fusion of secondary lamellae,
hemorrhages, loose epithelial cells, and necrosis. Labyrinths experience
hemorrhage with inflammatory cell infiltration and necrosis. Hepatopancreas
experience Melano-Macrophage Centers (MMC), fatty degeneration, hydrophic
degeneration, hemorrhage, congestion, and necrosis. The level of organ damage of
fish in the Borong Reservoir is greater than that on Lapompakka Lake.

Keyword: hepatopancreas, histopatology, gills, labyrinth, gourami snakeskin

vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Sang Pemilik Kekuasaan dan Rahmat, yang telah melimpahkan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Gambaran Histopatologi Insang, Labirin, dan Hepatopankreas Ikan Sepat Siam,
Trichopodus pectoralis Regan, 1910 di Danau Lapompakka, Kabupaten Wajo,
dan di Waduk Borong, Kota Makassar” ini. Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, sejak persiapan, pelaksanaan,
hingga pembuatan skripsi setelah penelitian selesai.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian
sarjana kedokteran hewan. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih
banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan
keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis. Namun adanya doa, restu, dan
dorongan dari orang tua yang tidak pernah putus menjadikan penulis bersemangat
untuk melanjutkan penulisan skripsi ini. Untuk itu, dengan segala bakti penulis
memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada mereka: ayahanda Alm. Drs. H. Tahang, MBA, ibunda
Dra. Hj. Asima, M.Si, serta adik-adikku Nurul Aisyah Tahang, Asma Zainab
Tahang, dan Nursyahruni Rusman.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan, bimbingan, motivasi dan dorongan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penyusun mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. dr. Budu, Ph.D., Sp.M (K), MMed.Ed., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran.
2. Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari sebagai Pembimbing Utama skripsi serta Prof. Dr.
Ir Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc sebagai Pembimbing Anggota skripsi
yang tak hanya memberikan bimbingan selama masa penulisan skripsi ini,
namun juga menjadi tempat penulis berkeluh-kesah.
3. dr. Triani Hastuti H.,Sp.KK.,M.Kes dan Prof. Dr. Ir. Hilal Anshary, M.Sc.
sebagai dosen pembahas dan penguji dalam seminar proposal dan hasil yang
telah memberikan masukan-masukan dan penjelasan untuk perbaikan
penulisan ini.
4. Dosen pengajar yang telah banyak memberikan ilmu dan berbagi pengalaman
kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi Kedokteran
Hewan Unhas serta staf tata usaha Program Studi Kedokteran Hewan Unhas.
5. Kakanda Andi Rezky Muwardani, dan “kakak-kakak koas Bagian Patologi”
yang senantiasa mendampingi dan memberikan bantuan selama proses
meneliti di Laboratorium Klinik Hewan Pendidikan Universitas Hasanuddin.
6. Staf akademik Program Studi Kedokteran Hewan: Ibu Tuti, Pak Akram, Ibu
Ida, Ibu Oda, dan Pak Budi, yang telah membantu dalam kelancaran jalannya
seminar proposal, seminar hasil, dan ujian meja.
7. Wastuti Aritonang, sebagai teman seperjuangan suka duka dalam penelitian
dan penyusunan skripsi. Terima kasih atas segala dorongan dan motivasi yang
telah diberikan saat semangat penulis mulai menurun dalam mengerjakan
skripsi.

vii
8. Teman seperjuangan, suka duka, berbagi cerita: Mirna Mualim, Milawarni,
Hani Damayanti, A. Fidiah Fasirah Jafar, Nurmauliah, dan Anggun Widja
Arlin. Terima kasih atas dukungan dan kesediannya untuk selalu
mendengarkan keresahan penulis, kalian luar biasa dan tidak akan terlupakan.
9. Sri Ravida yang sangat membantu dalam pengerjaan skripsi terutama dalam
pengolahan data. Terima kasih sebanyak-banyaknya atas bantuannya
10. Teman seangkatan 2014 „ROLLVET‟,yang menjadi keluarga baru buat
peneliti yang sudah berbagi canda dan tawa serta persahabatan yang luar
biasa selama empat tahun bersama berjuang meraih sarjana.
11. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu yang telah ikut menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan


dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun agar dalam penyusunan karya berikutnya dapat
lebih baik.Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap jiwa yang
bersedia menerimanya.

Makassar, 11 Februari 2018

NURUL WAHIDAH TAHANG

viii
DAFTAR ISI
Nomor Halaman
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1.Latar Belakang 1
1.2.Rumusan Masalah 2
1.3.Tujuan Penelitian 2
1.4.Manfaat Penelitian 2
1.5.Hipotesis Penelitian 3
1.6.Keaslian Penelitian 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1. Ikan Sepat siam (Trichopodus pectoralis) 4
2.2. Insang 5
2.3. Labirin 10
2.4. Hepatopankreas 11
2.5. Perairan tawar 14
2.6. Pembuatan Preparat Histologi 15
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 17
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 17
3.2. Metode Pengambilan Sampel 17
3.3. Alat dan Bahan 17
3.4. Prosedur Penelitian 17
3.4.1. Pengambilan Sampel 17
3.4.2. Pembuatan Sediaan Histologi 17
3.4.3. Pengamatan Mikroskopik 18
3.5. Analisis Data 18
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 20
4.1. Pengamatan Makroskopik 20
4.2. Pengamatan Mikroskopik 21
4.2.1. Insang 21
4.2.2. Labirin 24
4.2.3. Hepatopankreas 27
4.3. Tingkat Kerusakan Organ 30
BAB 5 PENUTUP 34
5.1. Kesimpulan 34
5.2. Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 40

ix
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
Perbandingan kerusakan organ insang ikan di Danau 30
1
Lapompakkan dan di Waduk Borong
2 Perbandingan kerusakan organ labirin ikan di Danau 31
Lapompakkan dan di Waduk Borong
3 Perbandingan kerusakan organ hepatopankreas ikan di Danau 32
Lapompakkan dan di Waduk Borong

x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Ikan sepat siam 4
2 Insang dan bagian-bagiannya 6
3 Histologi insang potongan sagittal arcus brachialis Pimephales
promelas pembesaran 100x 6
4 Histologi pada insang ikan nila dengan pewarnaan HE 7
5 Histologi lamela sekunder 8
6 Histologi insang ikan nila (gill rakers) 9
7 Histologis labirin ikan gurami 10
8. Organ labirin, insang dan hati ikan sepat siam 12
9. Histologi parenkim hati Rutilus rutilus 12
10 Histologi hati Ikan Baronang 13
11 Patologi Anatomi organ respirasi pada ikan sepat siam 20
12 Patologi Anatomi organ hati pada ikan sepat siam 21
13 Histopatologi insang ikan sepat siam di Danau Lapompakka 22
pewarnaan HE 40x dan 100x
14 Histopatologi insang ikan sepat siam di Waduk Borong 22
pewarnaan HE 40x dan 100x
15 Histopatologi insang dari Danau Lapompakka pewarnaan HE 23
100x dan 400x
16 Histopatologi insang ikan sepat siam di Waduk Borong 23
pewarnaan HE 100x dan 400x
17 Histopatologi organ labirin ikan sepat siam di Danau 25
Lapompakka pewarnaan dan si Waduk Borong Pewarnaan HE
40x
18 Histopatologi organ labirin ikan sepat siam di Danau 26
Lapompakka pewarnaan HE 100x dan 400x
19 Histopatologi organ labirin ikan sepat siam di Waduk Borong 26
pewarnaan HE100x dan 400x
20 Histopatologi Hati ikan sepat siam dari Danau Lapompakka 27
Pewarnaan HE 40x dan 100x
21 Histopatologi Hati ikan sepat siam dari Waduk Borong 27
Pewarnaan HE 40x dan 100x
22 Histopatologi hati yang ikan sepat siam di Danau Lapompakka 28
Pewarnaan HE 400x
23 Histopatologi hati yang ikan sepat siam di Waduk Borong 29
Pewarnaan HE 400x

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Prosedur penelitian 41
2 Tahapan pembuatan preparat histologi 42
3 Hasil analisis uji t 45

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi
oleh masyarakat karena memiliki harga yang relatif lebih murah dibanding daging
sapi dan ayam. Permintaan terhadap ikan terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya populasi masyarakat. Konsumsi ikan perkapita di Indonesia
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan, konsumsi ikan pada tahun 2010 mencapai 30,46 kg
kapita-1 tahun-1, tahun 2011 mencapai 32,25 kg kapita-1 tahun-1, dan tahun 2012
mencapai 33,89 kg kapita-1 tahun-1 (Saparinto, 2013). Salah satu jenis ikan yang
banyak diminati oleh masyarakat adalah ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis)
karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Awalnya, ikan sepat siam (T.
pectoralis) hanya dijadikan sebagai sumber protein di daerah pedesaan, namun
sekarang ikan sepat siam (T. pectoralis) ini mudah ditemukan di daerah perkotaan.
Selain dijual dalam keadaan segar di pasaran, ikan sepat siam (T. pectoralis) juga
biasanya diawetkan dalam bentuk ikan asin yang diperdagangkan antarpulau di
Indonesia.
Danau Lapompakka merupakan salah satu danau di Kabupaten Wajo yang
keberadaannya masih jarang diketahui oleh masyarakat luas. Saat musim kering,
Danau Tempe, Danau Lapompakka dan Danau Sidenreng masing-masing adalah
satu danau yang berdiri sendiri. Namun ketika musim penghujan ketiga danau
tersebut bergabung membentuk satu danau yang luas (Haerunnisa, 2014). Kondisi
tersebut kemudian membentuk pola pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat
dalam rangka mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari keberadaan
sumberdaya tersebut.
Selain Danau Lapompakka, Waduk Borong atau yang dikenal sebagai
Waduk Tunggu juga merupakan perairan tawar yang dijadikan oleh masyarakat
sebagai sumber ekonomi. Waduk ini dibuat untuk mencegah banjir pada daerah
perkotaan. Aliran air di Waduk Borong ini salah satunya berasal dari Kanal
Tunggu yang dijadikan warga sekitar sebagai tempat pembuangan limbah rumah
tangga karena minimnya tempat pembuangan sampah yang disediakan. Danau
Lapompakka dan Waduk Borong beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya
penurunan kualitas perairan yang secara struktural memicu kerusakan organ pada
ikan.
Insang merupakan salah satu organ vital pada ikan yang merupakan media
masuknya berbagai macam partikel tersuspensi yang ada di dalam perairan, selain
melalui kulit dan sistem pencernaan (Indrayani et al., 2014). Oksigen yang terlarut
dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh
hemoglobin untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Karbondioksida
dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang. Oleh
sebab itu, apapun perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan perairan akan
secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada struktur dan fungsi insang
dan labirin (Veronica et al., 2017). Selain insang dan labirin, hepatopankreas
merupakan organ penting yang berperan dalam mensekresi zat-zat buangan dalam
tubuh ikan. Hepatopankreas merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh,

1
mempunyai selubung peritoneum dan menerima suplai darah dari vena porta dan
arteri hepatika, sedangkan darah keluar dari alat tubuh ini melalui vena hepatika
yang masuk ke dalam vena cava caudalis. Hepatopankreas berperan dalam
menjaga homeostatis melalui metabolisme dan penyimpanan nutrien serta
detoksifikasi pada ikan (Sari et al., 2016). Insang, labirin, dan hepatopankreas
merupakan organ yang sangat berperan penting dalam metabolisme ikan.
Terjadinya penyakit pada ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan
tempat ikan tersebut berada. Oleh karena itu, dalam melakukan analisis suatu
penyakit, perlu diketahui hal-hal yang berhubungan dengan timbulnya penyakit
tersebut
Pemeriksaan histopatologi telah lama dikenal sebagai salah satu metode
pemeriksaan yang akurat pada ikan. Perubahan histopatologis banyak digunakan
sebagai metode dalam evaluasi kesehatan ikan yang terpapar kontaminan, baik di
laboratorium maupun di lapangan. Salah satu keuntungan besar penggunaan
metode histopatologis adalah metode ini memungkinkan pemeriksaan organ
target secara spesifik dan perubahan yang ditemukan pada organ biasanya lebih
mudah dikenali (Hadi dan Alwan, 2012). Selain itu, dengan melihat gambaran
histopatologi, kerusakan-kerusakan yang terjadi di dalam tubuh dapat diketahui
kemudian dikaitkan dengan kondisi lingkungan yang mungkin saja bisa menjadi
faktor penyebab terjadinya kerusakan itu.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah gambaran histopatologi insang, labirin, dan hepatopankreas
ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis)?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Mengetahui gambaran histopatologi insang, labirin, dan hepatopankreas ikan
sepat siam (Trichopodus pectoralis)?
1.3.2. Membandingkan gambaran histopatologi insang, labirin, dan
hepatopankreas ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis) di Danau
Lapompakka, Kabupaten Wajo, dan di Waduk Borong, Kota Makassar

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi manfaat pengembangan teori
dan aplikatif:
1.4.1 Manfaat pengembangan ilmu teori
Sebagai tambahan pengetahuan dan literatur mengenai ikan sepat siam
(Trichopodus pectoralis yang ada di Danau Lapompakka, Kabupaten
Wajo, dan di Waduk Borong, Kota Makassar
1.4.2 Manfaat untuk aplikasi
a. Untuk peneliti
Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.
b. Untuk masyarakat
Sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya tentang gambaran
histopatologi ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis) dan membantu

2
dalam penyampaian informasi maupun penanganan kasus yang berkaitan
dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh ikan, utamanya ikan
sepat siam (Trichopodus pectoralis)

1.5 Hipotesis
Ditemukan adanya gambaran histopatologi insang, labirin, dan
hepatopankreas ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis) di Danau Lapompakka,
Kabupaten Wajo, dan di Waduk Borong, Kota Makassar.

1.6 Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai “Perbandingan Gambaran Histopatologi Insang, Labirin, dan
Hepatopankreas Ikan Sepat Siam, Trichopodus pectoralis Regan, 1910 di Danau
Lapompakka, Kabupaten Wajo, dan di Waduk Borong, Kota Makassar” belum
pernah dilakukan. Penelitian terkait yang pernah dilakukan dengan judul
“Prevalence and histopathology of Trichogaster pectoralis harbouring
metacercaria of Clinostomum piscidium (Southwell and Prashad, 1918) in Central
Thailand” dilakukan oleh Tansatit dan kawan-kawan pada tahun 2013 dan
“Histopathological changes induced by paraquat on some tissues of gourami fish
(Trichogaster trichopterus)” dilakukan oleh Banaee dan kawan-kawan pada tahun
2013.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Sepat Siam


Ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan
yang potensial untuk dikembangkan menjadi komoditas budidaya ekonomis.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan penting suatu komoditas potensial
budidaya adalah tingginya nilai ekonomis dan jumlah produksi yang tinggi.
Jumlah produksi ikan sepat siam (T. pectoralis) relatif lebih tinggi dibandingkan
ikan-ikan lokal lainnya (Ath-thar et al., 2014). Di Kalimantan dan Sulawesi, sepat
siam (T. pectoralis) dipelihara bersama ikan air tawar lainnya seperti betok,
gabus, tambakan, dan toman, sedangkan di beberapa daerah di Jawa Barat, ikan
sepat siam (T. pectoralis) dipelihara di dalam kolam (Kordi, 2010).

Gambar 1. Ikan sepat siam, Trichopodus pectoralis Regan, 1910 (Putri, 2011)

Klasifikasi ikan sepat siam adalah sebagai berikut (Nelson, 2006; Andy
Omar, 2012; Froese dan Pauly, 2018):
Filum : Chordata,
Subfilum : Craniata,
Superkelas : Gnathostomata,
Kelas : Actinopterygii,
Subkelas : Neopterygii,
Divisi : Teleostei,
Subdivisi : Euteleostei,
Superordo : Acanthopterygii,
Seri : Percomorpha,
Ordo : Perciformes,
Subordo : Anabantoidei,
Famili : Osphronemidae,
Subfamili : Luciocephalinae,
Genus : Trichopodus,
Spesies : Trichopodus pectoralis Regan, 1910.
Ikan Sepat siam (T. pectoralis) merupakan ikan yang diintroduksi dari
Thailand ke Indonesia pada tahun 1934. Di tempat asalnya, sepat siam (T.

4
pectoralis) dijadikan sebagai ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomi yang
tinggi. Ikan sepat siam (T. pectoralis) diintroduksi ke Indonesia dengan tujuan
untuk ikan budidaya di kolam kecil dan lahan persawahan. Saat ini, ikan sepat
siam (T. pectoralis) merupakan salah satu sumber protein penting dan sebagai
ikan konsumsi segar atau diolah asin (Tampubolon dan Rahardjo, 2011).
Ikan sepat siam (T. pectoralis) memiliki tubuh memanjang dan pipih,
bermulut kecil dengan bibir yang tipis, memiliki sirip dada lebih panjang daripada
kepala. Jari-jari sirip perut mengalami modifikasi menjadi semacam benang
panjang yang memanjang hingga mencapai sirip ekor. Tubuhnya ditutupi sisik
kecil dengan sisik bagian punggung berwarna hijau kehitaman dan bagian perut
berwarna lebih terang. Garis hitam melintang miring juga terdapat pada tubuhnya
mulai dari belakang sirip dada dan berakhir pada ekor. Sirip dubur dipenuhi
dengan 2-3 garis memanjang. Ikan sepat siam (T. pectoralis) mampu mencapai
panjang maksimal 25 cm. Sirip dorsal memiliki 7 jari-jari keras dan 10–11 jari-jari
lunak, 36–38 sirip anal, dan 55-63 garis rusuk (Susanto, 1989; Murtidjo, 2001 ).
Ikan sepat dapat hidup di danau, waduk, sungai, genangan air sempit, dan
air kubangan. Ikan ini hidup di perairan yang derajat keasamannya (pH) rendah,
dan kurang oksigen karena memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut
labirin. Sebagai ikan rawa-rawa, sepat siam (T. pectoralis) dapat hidup dengan
baik pada perairan umum dengan ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut
(dpl), suhu antara 25°-35°C, pH air antara 4-9. Sepat siam (T. pectoralis)adalah
ikan omnivora yang memakan segala jenis makanan, baik hewan maupun
tumbuhan. Ikan yang masih muda lebih banyak memakan fitoplankton yang
masih lembut (Kordi, 2010)

2.2 Insang
Insang (branchia) pada ikan merupakan organ respirasi utama dengan
mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida)
antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air diabsorbsi ke dalam kapiler-
kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin yang kemudian didistribusikan ke
seluruh tubuh. Sebaliknya, karbondioksida dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk
dilepaskan ke air. Semua perubahan yang terjadi di lingkungan perairan akan
secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada struktur dan fungsi insang
serta hemoglobinnya (Saputra et al., 2013). Pada Elasmobranchii, air masuk ke
faring melalui mulut atau spirakel (katup kranial untuk masuknya air), kemudian
melewati filamen insang dan mengikuti septum interbranchial sampai keluar
melalui celah insang. Sebaliknya, pada Teleostei, air memasuki faring dari mulut,
kemudian melewati filamen dan mengikuti dinding bagian dalam operkulum
sampai keluar melalui pembukaan kaudal operkulum (Evans et al.., 2005).
Pada ikan, insang secara bilateral terletak di kedua sisi faring dan terdiri atas
serangkaian kantong dengan struktur melengkung (Wilson dan Laurent, 2002).
Setiap insang terdiri atas lembaran atau daun insang, tapis insang, dan tulang
lengkung insang yang terbagi menjadi tulang lengkung insang atas dan tulang
lengkung insang bawah (Andy Omar, 2012). Lembar filamen (hemibranchia = gill
filament), berbentuk seperti sisir melekat pada lengkung insang, berwarna merah
dan mengandung jaringan lunak. Lembar filamen ini merupakan tempat terjadinya
pengikatan oksigen terlarut dari dalam air dan banyak mengandung kapiler darah
sebagai cabang dari arteri branchialis. Tulang lengkung insang (arcus branchialis

5
= gill arch) merupakan tempat melekatnya filamen dan tapis insang, berwarna
putih serta memiliki saluran darah (arteri aferen dan eferen) yang memungkinkan
terjadinya pertukaran darah dalam insang. Tapis insang (gill rakers) merupakan
sepasang deretan tulang rawan yang pendek dan sedikit bergerigi, melekat pada
bagian depan tulang lengkung insang serta berfungsi menyaring air pernapasan
(Andy Omar, 2012). Morfologi insang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Insang dan bagian-bagiannya (Andy Omar, 2012)


Filamen insang terdiri atas lamela primer, dan di sepanjang lamela primer
terdapat lamela sekunder (Gambar 3). Lamela sekunder inilah yang berfungsi
untuk mengambil oksigen dari air (Pertiwi et al., 2017). Lamela primer terdiri atas
jaringan kartilago, sistem vaskuler, dan berlapis-lapis epitel. Di sepanjang dua sisi
lamela primer terdapat lamela sekunder yang memiliki dua lapis sel epitel.
Lapisan terluar terdiri atas sel-sel epitelium dengan mikrovili yang kecil dan tipis,
sedangkan lapisan dalamnya didukung oleh sel epitelium di sepanjang permukaan
membran. Ruang interstisial kadangkala terdapat di antara dua lapisan epitelium.
Lamela sekunder didukung oleh sel-sel pilar yang dapat mengerut dan
memisahkan saluran pembuluh (Takashima dan Hibiya, 1995).

Gambar 3. Gambaran histologi potongan sagittal arcus brachialis Pimephales


promelas dengan pembesaran 100x. 1) tapis insang; 2) epitel mukosa;
3) membran dasar; 4) submukosa; 5) tulang; 6) jaringan adiposa; 7)
arteriol insang eferen; 8) arteri Insang aferen; 9) lamela primer; 10)
lamela sekunder (Yonkos et al., 2000)

6
Selain sel epitel, sel-sel lain yang ditemukan yaitu yang berhubungan
dengan sistem pernafasan, seperti sel-sel eritrosit yang ada di setiap bagian
lamela, eritrosit lamela primer yang mengalir di pembuluh darah (disebut sinus
vena) yang menghubungkan arteriol aferen yang terletak di dasar lamela primer
dan arteri eferen yang terletak pada akhir lamela primer, dan lamela sekunder
yang berada dalam dalam lumen kapiler, kemudian bagian terluarnya ditutupi oleh
sel epitel (Pinontoan et al., 2018)
a. Lamela primer
Lamela primer didukung oleh tulang rawan, arteriol aferen dan eferen, dan
anastomosis pembuluh darah lainnya. Permukaan epitel lamela primer dilapisi
oleh sel epitel kuboid dan sel skuamosa, sel mukosa pucat, dan sel klorida yang
mensekresi garam. Sel-sel klorida ini paling banyak ditemukan di bagian basal
(proksimal) lamela dan berfungsi dalam transportasi ionik, mungkin juga dalam
detoksifikasi. Pada lamela primer, epidermis jauh lebih tebal dan biasanya
mengandung banyak sel mukosa (Gambar 4). Di bawah epidermis terdapat
berbagai jumlah limfosit, eosinofil, dan sel fagositik (Mokhtar, 2017). Pada ikan
air tawar, sel sel klorida tersebar disepanjang sisi lamela primer, baik di sekitar
arteri aferen maupun pada dasar lamela sekunder. Berbeda halnya dengan ikan air
laut yang memiliki sel klorida lebih banyak dan lebih besar ukurannya daripada
yang ada di air tawar. Sel-sel kloria tersebut sebgian besar tersebar hanya pada
permukaan lamela (Carmona et al., 2004; Al-Amoudi dan Aguis, 1991).

A
Gambar 4. Gambaran histologi pada insang ikan nila dengan pewarnaan HE. 1.
lamela primer; 2. lamela sekunder; VS = sinus vena sentral (Mokhtar,
2017)

b. Lamela sekunder
Pertukaran gas terjadi di seluruh permukaan lamela sekunder (Gambar 5)
terutama pertukaran arus balik darah yang mengalir ke arah yang berlawanan dari
eksternal air. Permukaan ini terdiri atas sel epitel skuamosa yang saling tumpang
tindih, biasanya didukung satu lapisan tebal, dan dipisahkan oleh sel-sel pilar,
yang tersusun dalam 9-10 μm baris terpisah. Fungsi utama sel-sel pilar adalah

7
pendukung dan terdiri atas membran basal yang tersebar membentuk saluran yang
menyatu dengan sel-sel pilar lainnya untuk membentuk lapisan saluran darah.
Darah datang langsung dari aorta ventral dengan tekanan tinggi. Elemen kontraktil
berfungsi untuk menahan distensi agar tetap dalam keadaan normal. Permukaan
epitel pipih membentuk mikrovili yang berfungsi untuk membantu dalam
menghasilkan lendir kutikular (epidermal) yang disamping perannya dalam
mengurangi infeksi dan abrasi, juga memiliki peran penting dalam mengatur
pertukaran gas, air, dan ion. Ketebalan gabungan kutikula, epitel pernapasan, dan
dinding sel-sel pilar berkisar 0,5-4 μm. Sel goblet ditemukan tersebar di antara sel
epitel skuamosa lamela insang, serta di wilayah basal lamela (Mumford et al.,
2007).
KD

SP

SK
SM

A B
Gambar 5. Lamela sekunder. SP = sel-sel pilar, KD = kapiler darah, SM = sel
mukosa, SK = sel klorida dalam basis ruang interlamelar (Mokhtar,
2017)

c. Tapis insang
Permukaan bagian dalam lengkungan insang terdiri atas satu atau lebih
deretan saringan kaku yang disebut tapis insang (gill rakers). Tapis insang ini
berfungsi untuk memilah dan mengumpulkan bahan makanan partikulat dan untuk
menampung makanan yang lebih besar sebelum makanan dilewatkan ke esofagus
dan kemudian masuk ke lambung atau usus. Secara histologi, setiap tapis terdiri
atas tulang atau rawan yang mendukung lapisan epitelium faring dan jaringan
adiposa (Mokhtar, 2017). Fungsi sekunder insang terkait dengan kebiasaan makan
yang terlihat dari struktur tapis insangnya. Ikan karnivora memiliki tapis insang
yang cukup panjang, sedangkan pada jenis omnivora dan herbivora cenderung
lebih pendek (Abumandour dan Gewaily, 2016).
Tapis insang ikan air tawar dan ikan air laut memiliki beberapa perbedaan.
Perbedaan utamanya yaitu sisi eksternal tapis insang ikan air laut terdiri atas
tulang rawan dan tulang keras yang mendukung lapisan jaringan ikat. Lapisan ini
diikuti oleh tulang rawan dengan banyak kondrosit. Sebaliknya, pada ikan air
tawar tidak ditemukan adanya tulang keras. Tulang rawan pada lengkung insang
dan saringan insang di sisi buccal ditutupi oleh lapisan epitel. Selain itu, tapis
insang ikan air laut mengandung lapisan otot rangka dan jaringan adiposa yang
cukup banyak (Gambar 6). Lapisan otot rangka tersebut kemungkinan berfungsi
sebagai pelindung. Sebaliknya, pada ikan air tawar, jaringan adiposa berjumlah

8
lebih sedikit. Jumlah sel klorida dan sel pelindung pada ikan air laut juga lebih
banyak dibanding ikan air tawar. Sel yang relatif lebih kecil dengan kerapatan
elektron yang lebih sempit dan jumlah mitokondria yang sedikit ditemukan pada
ikan yang hidup di air tawar, sedangkan sel-sel yang berkembang baik dengan
organel yang sangat aktif ditemukan pada ikan yang beradaptasi di air laut
(Khuder et al., 2016).
T
JA

AB

LI

A FI

Gambar 6. Histologi insang ikan nila dengan pembesaran 1000x yang


menunjukkan barisan filament insang (FI) yang membentang dari
lengkung insang (LI) serta tulang (T) dan diikuti oleh jaringan adiposa
(JA) dan arteri brakialis (AB) (Mokhtar, 2017)

Insang ikan kaya akan mitokondria, sel pelindung, sel mukosa, dan sel
neuroepitelial. Sel-sel pelindung berfungsi dalam pertukaran gas dan meliputi
lebih dari 90% dari semua sel-sel insang. Sel-sel mitokondria bertanggung jawab
untuk pengaturan ion dan kadar asam. Sel-sel ini kurang jumlahnya dibandingkan
dengan sel-sel pelindung. Sel mukosa melindungi insang terhadap
mikroorganisme patogen dan berkontribusi dalam pertukaran ion melalui sekresi
lendir. Peningkatan jumlah dan sekresi sel mukus pada ikan telah terbukti
berkorelasi dengan peningkatan salinitas, derajat keasaman (pH), dan konsentrasi
amonia, serta infeksi mikroba dan parasit (Oguz, 2015).
Perubahan yang terjadi di lingkungan perairan secara langsung maupun
tidak langsung akan berdampak kepada struktur dan fungsi insang serta
hemoglobinnya. Perubahan histopatologis yang umum ditemukan pada insang
yaitu edema (pembengkakan sel), hiperplasia, epitel yang lepas dari jaringan di
bawahnya, fusi (peleburan) lamela sekunder akibat hiperplasia epitelium insang,
dan hilangnya struktur lamela sekunder. Kerusakan lain yang biasanya juga
ditemukan yaitu clubbing (jaringan berbentuk seperti pemukul bisbol) dan
penebalan tulang rawan elastis (Saputra et al., 2013).
Hiperplasia insang pada lamela primer disebabkan oleh pembelahan sel-sel
klorida secara berlebihan sedangkan pada lamela sekunder terjadi akibat adanya
pembelahan sel epitel yang tidak terkontrol. Hiperplasia sel-sel lamela diawali
dengan adanya edema, kematian sel dan lepasnya sel-sel epitelium pada lamela
insang. Hiperplasia lamela tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan sel epitel,

9
tapi bisa juga bersinergi dengan proliferasi sel mukus dan fusi lamela sekunder
(lamela insang menyatu). Fusi lamela terjadi akibat peningkatan patologi
hiperplasia secara terus menerus dan menyebabkan terisinya ruang antarlamela
sekunder oleh sel-sel baru yang kemudian memicu terjadinya perlekatan pada
kedua sisi lamela. Fusi lamela merupakan level kerusakan berat karena fusi lamela
merupakan kerusakan tahap lanjutan dari kerusakan hiperplasia (Sipahutari et al.,
2013; Utami et al., 2017).
Gangguan lain yang biasanya terjadi adalah adanya gangguan sirkulasi
berupa kongesti dan edema. Kongesti merupakan peningkatan jumlah darah yang
berlebih dalam pembuluh darah sehingga kapiler darah membengkak. Kongesti
dapat terjadi karena kenaikan jumlah darah dan vasodilatasi pembuluh darah yang
diakibatkan oleh timbulnya reaksi inflamasi. Sebaliknya, edema disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik intravaskular sehingga darah dan cairan plasma
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstisium. Hal tersebut
dapat diakibatkan oleh berbagai kondisi patologik di antaranya inflamasi yang
berkaitan dengan permeabilitas vaskular, juga dapat merupakan perubahan lanjut
pasca kongesti (Alifia, 2013)

1.3. Labirin
Semua spesies Anabantoidei memiliki organ labirin khusus untuk
membantu pertukaran gas. Organ ini berupa peredaran brankhial dan sistemik
yang mirip dengan sistem sirkulasi ganda. Insang anterior (lengkungan insang I
dan II) menerima darah dari jantung dan merupakan tempat pertukaran gas,
kemudian mengalir ke organ labirin untuk pengambilan oksigen lebih lanjut
sebelum kembali ke hati (Huang dan Lin, 2011).
Labirin berbentuk seperti kelopak bunga mawar berwarna merah dan
terletak pada suatu rongga di belakang insang atau di atas insang. Bentuk yang
seperti bunga mawar ini disebabkan oleh ukuran kepala yang besar sehingga
labirinnya melebar disertai dengan lekukan (Veronica et al., 2017). Organ labirin
bernama divertikula ini memungkinkan penyerapan oksigen dari udara sehingga
mampu hidup di tempat yang kekurangan air. Ikan yang memiliki alat bantu
pernapasan mampu memanfaatkan oksigen yang ada di atmosfer sebagai sumber
gas pernapasan, sehingga mampu bertahan hidup beberapa jam tanpa air (Pertiwi
et al., 2017).

Gambar 7. Histologis labirin ikan gurami. Arteriole (a), tulang rawan elastic (tre),
epitel pipih selapis (eps), perikondrium (p), dan jaringan ikat (ji). HE.
Pembesaran 100x (Veronica et al., 2017)

Pada ikan gurami, labirin mulai terlihat pada umur 27 hari setelah
penetasan. Struktur labirin berupa kartilago yang memiliki banyak pembuluh

10
darah dan diselubungi lapisan sel epitelium berlapis. Modifikasi sirip ventral
dapat terlihat pada umur 29 hari setelah penetasan. Struktur filamen berupa
sepasang hemitrichia yang berupa kartilago dan kolagen, dilapisi sel epitelium,
serta terdapat saraf dan pembuluh darah. Labirin berfungsi sebagai organ respirasi
dan filamen berfungsi sebagai organ sensori (Yuda, 2013).
Labirin terdiri atas tunika mukosa dan tunika submukosa. Pada tunika
mukosa terdapat epitelium pipih berlapis dan sel mukus, sedangkan pada tunika
submukosa terdapat pembuluh darah, sel lemak, jaringan ikat, dan tulang rawan
elastis yang dibungkus oleh perikondrium (Gambar 7). Tulang rawan elastis
tersusun dari kondroblas dan kondrosit. Tulang rawan elastis mengandung serat
elastin sehingga tulang menjadi fleksibel. Junqueira et al. (2007) menyatakan
bahwa tulang rawan ditandai dengan matriks ekstrasel yang banyak mengandung
glikosaminoglikan dan proteoglikan, yaitu makromolekul yang berinteraksi
dengan serat kolagen dan elastin, yang berfungsi menyangga jaringan lunak.
Karena permukaannya yang licin dan lentur, tulang rawan merupakan peredam
benturan dan daerah pergeseran bagi sendi serta memudahkan pergerakan tulang.

1.4. Hepatopankreas
Hati pada ikan secara umum memiliki dua tipe dasar yaitu yang
mengandung jaringan pankreas dan tidak mengandung jaringan pankreas. Hati
ikan dengan eksokrin jaringan pankreas biasa disebut hepatopankreas (Genten et
al., 2009). Hepatopankreas merupakan pankreas yang tidak begitu jelas dan
bersatu dengan hati (Gambar 8). Hepatopankreas tersusun dari sel parenkim
(hepatosit) dan menghasilkan enzim pencernaan yang kemudian disekresikan ke
dalam saluran pencernaan (intestine) (Takashima dan Hibiya, 1995).
Hepatopankreas memiliki fungsi ganda sebagai organ hati dan organ
pankreas. Sebagai organ hati, hepatopankreas berperan dalam berbagai proses
metabolisme penting seperti metabolisme nutrisi, daur ulang senyawa tak terpakai,
dan detoksifikasi. Bila dibandingkan dengan mamalia, jaringan hati ikan hanya
berperan kecil dalam metabolisme glukosa. Vitelogenesis atau pembentukan
membran vitelin pada telur merupakan fungsi lain organ hati ikan yang lebih
dominan bila dibandingkan pada mamalia (Pousis et al., 2011).
Hati ikan merupakan kelenjar terbesar di luar organ saluran pencernaan
yang memiliki fungsi yang sama pada mamalia. Fungsi hati termasuk asimilasi
nutrisi, produksi empedu, detoksifikasi, dan pemeliharaan homeostasis
metabolisme tubuh termasuk pengolahan karbohidrat, protein, lipid, dan vitamin.
Hati juga berperan dalam sintesis plasma protein, seperti albumin, fibrinogen, dan
komplemen (Genten et al., 2009). Hati ikan terletak pada bagian anterior perut,
dalam rongga peritoneal, dan pada beberapa spesies melingkupi viscera. Biasanya
hati berwarna coklat kemerahan pada jenis ikan karnivora dan coklat muda pada
ikan herbivora, namun pada waktu-waktu tertentu kemungkinan dapat berwarna
kuning atau bahkan putih (Mumford et al., 2007).
Hati mendapat pasokan darah dari vena porta dan arteri hepatika. Setelah
darah melewati parenkim hati, maka akan dikumpulkan oleh vena hepatika dan
dibawa ke jantung (Amin dan Poppe, 1992). Saluran empedu juga terdapat dalam
parenkim hati. Di antara hepatosit yang saling berdekatan, anastomosa saluran
empedu menghasilkan saluran yang menyatu dan berakhir di dalam kantong
empedu. Struktur hati biasanya bervariasi tergantung dari jenis kelamin, usia,

11
makanan yang tersedia (terutama yang berkaitan dengan glikogen dan lemak),
atau suhu, dan dengan struktur endokrin ikan (Genten et al., 2009).

Insang
Hepatopankreas
Labirin

Gambar 8. Organ labirin, insang dan hepatopankreas ikan sepat siam


(Trichopodus pectoralis) (dokumentasi pribadi)

Parenkim hati terbungkus oleh kapsul tipis dari jaringan fibroconnective


(Gambar 9). Parenkim terdiri atas hepatosit polihedral dengan inti sentral (Genten
et al., 2009). Parenkim hati ikan tidak tersusun oleh lobulus yang jelas sehingga
ada tiga pola parenkim hati yang digunakan. Pola pertama terdiri atas hepatosit,
yang disusun secara radial di sekitar vena sentral. Pola kedua disebut pola tubular
dalam bentuk tubulus dan bentuk jaringan sinusoid di sekitar tubulus. Pola ketiga
ditemukan pada beberapa Teleostei dan ikan laut yaitu hepatosit terletak pada
anastomosis di sekitar vena sentral. Struktur saluran empedu juga diklasifikasikan
menjadi empat tipe yaitu: tipe terisolasi, tipe biliary-arteriolar tract (BAT), tipe
biliary-venous tract (BVT), dan type portal tract (Mokhtar, 2017). Menurut
Faccioli et al. (2014), hepatosit merupakan sel-sel polihedral dengan nukleus
bulat. Sel-sel ini berfungsi khusus dalam akumulasi zat cadangan, terutama
glikogen dan lipid

Gambar 9. Gambaran histologi parenkim hati Rutilus rutilus (MT/400-640x).


Hepatosit dipisahkan oleh sinusoid (panah panjang) yang
mengandung eritrosit (oranye). Hepatosit dengan inti nucleolus
menonjol (panah pendek) (Genten et al., 2009)

Histologi hati ikan berbeda dengan mamalia karena kecenderungan


disposisi hepatosit di lobulus jauh lebih sedikit dan triad portal khas dari hati
mamalia jarang terlihat (Gambar 10). Sinusoid dikelilingi oleh sel-sel endotel
membentuk lembaran sitoplasma yang sangat tipis. Inti sel-sel ini memanjang dan

12
menonjol ke dalam lumen sinusoidal. Sel macrophagic kupffer tidak ditemukan
pada Teleostei, Saluran empedu juga terjadi di dalam parenkim hati. Di antara
hepatosit yang berdekatan, anastomosis saluran biliaris menghasilkan duktus
dengan diameter yang lebih besar. Salurannya menyatu dan hampir selalu berakhir
di kantung empedu (kecuali pada beberapa jenis ikan hiu). Empedu kemudian
mengalir ke duodenum melewati saluran empedu. Saluran yang lebih kecil di
dalam hati dilapisi satu lapisan sel epitel kuboid sedangkan saluran yang lebih
besar dapat menggabungkan jaringan ikat dan muskularis tipis (Genten et al.,
2009). Terjadinya mukosubstansi netral dan asam pada sel epitel saluran empedu
menjadi fungsi pelindung yang penting untuk mencegah kemungkinan cedera
yang disebabkan oleh sekresi hepatosit. Melano-macrophage berpusat di dekat
arteri hepatika, saluran empedu, dan hepatopankreas hati, mengandung banyak
pigmen gelap, termasuk melanin, terutama di sel perifer. Melano-macrophage
berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh ikan, dan jumlahnya meningkat pada
umur yang tua atau terjadi penyakit (Faccioli et al., 2014).

SE
VC

Gambar 10. Histologi hati ikan baronang (A) Hepatosit yang terletak di sekitar
vena central (VC) mengandung Periodic Acid Schiff glycogen (panah)
(Pewarnaan HE 800x); (B) Saluran empedu (SE) dengan struktur
bulat, dinding duktus empedu terdiri atas sel epitel kuboid yang
dikelilingi oleh lapisan otot polos (panah) (Pewarnaan HE 1200x)
(Agamy, 2012)

Perubahan histopatologi yang biasa terjadi pada ikan yaitu inflamasi,


inklusi fibrilasi hepatoseluler, lesi prenoplastik dan neoplastik, perubahan
degeneratif seperti degenerasi granular, vakuolar, hidropik, dan degenerasi lemak
yang berasal dari gangguan biokimia, termasuk penghambatan atau aktivasi
aktivitas enzim, perubahan sintesis protein, terganggunya regulasi ion, dan
penipisan sumber energi, spongiosis hepatis, proliferasi saluran empedu, kongesti,
dan megalositosis (Agamy, 2012; Yancheva et al., 2015).
Keparahan kerusakan suatu organ dapat digolongkan dalam tiga tingkatan.
Melano makrofag centres (MMC), edema, hiperplasia, dan degenerasi tergolong
pada tingkat kerusakan ringan; kongesti dan hemoragi tergolong pada tingkat
kerusakan sedang; sedangkan nekrosis dan atropi tergolong pada tingkat
kerusakan berat (Wikiandy et al., 2013).
Kongesti ditandai terjadinya pembendungan aliran darah yang disebabkan
karena gangguan sirkulasi sehingga mengakibatkan darah akan kekurangan
oksigen dan zat-zat gizi. Pada hati, kongesti dimulai dari vena sentralis yang
kemudian akan meluas hingga sinusoid yang tersusun tidak teratur dan di
dalamnya terdapat eritrosit, diduga akibat pecahnya dinding sinusoid. Jika

13
pembendungan ini terjadi secara terus menerus, maka sel-sel hati akan tampak
hilang. Hal ini karena darah yang mengalir dari perifer lobulus hati telah
kehilangan zat-zat gizi sebelum tiba di vena sentralis (Triandayani et al., 2010).
Pada tingkat yang paling berat, kongesti akan menyebabkan pembuluh darah
pecah dan aliran darah keluar dari sirkulasi kardiovaskuler (arteri, vena, dan
kapiler), yang pada akhirnya akan menyebabkan nekrosis (Wikiandy et al. 2013).

1.5. Perairan Tawar


Ekosistem perairan tawar yang terdapat di daratan secara umum terbagi
dua yaitu perairan mengalir atau disebut sebagai perairan lotik dan perairan
tergenang yang disebut lentik. Perairan mengalir dicirikan adanya arus yang terus
menerus dengan kecepatan bervariasi sehingga perpindahan massa air
berlangsung terus-menerus. Contoh perairan lotik adalah sungai, kali, kanal, dan
parit. Pada perairan tergenang, aliran air lambat atau bahkan tidak ada dan massa
air terakumulasi dalam periode waktu yang lama. Contoh perairan tergenang
adalah danau, waduk, dan rawa (Barus, 2002).
Danau merupakan badan air yang berbentuk cekungan berisi air yang
dikelilingi oleh daratan, baik terbentuk secara alami maupun buatan, sedangkan
waduk merupakan tempat pada permukaan tanah yang digunakan untuk
menampung air saat terjadi kelebihan air pada Musim Penghujan sehingga air itu
dapat dimanfaatkan pada Musim Kemarau. Sumber air waduk terutama berasal
dari aliran permukaan ditambah dengan air hujan langsung (Ahmad et al., 2015;
Kartini dan Permata, 2016). Perairan waduk sebenarnya adalah sebuah danau
yang terbentuk sebagai akibat adanya aktivitas manusia yang membendung aliran
sungai dengan jalan membuat bendungan yang menghalangi air sungai (Widiyanti
dan Prihadi, 2007).
Danau mempunyai kecepatan arus yang sangat lambat (0.001 – 0.01 m
-1
detik ) atau tidak ada arus sama sekali dan memiliki waktu tinggal (resident time)
yang berlangsung sangat lama. Waduk dicirikan dengan arus yang sangat lambat
(0.001 – 0.01 m detik-1) atau tidak ada arus sama sekali. Arus air waduk dapat
bergerak ke berbagai arah. Perairan waduk atau danau umumnya memiliki
stratifikasi kualitas air secara vertikal. Stratifikasi ini terjadi karena perbedaan
intensitas cahaya dan perbedaan suhu pada kolom air. Stratifikasi tersebut
tergantung pada kedalaman air dan musim. Zonasi perairan tergenang dibagi
menjadi dua, yaitu zona bentik dan zona kolom air. Zona bentik (zona dasar)
terdiri atas supralitoral, litoral, sublitoral, dan profundal. Zona kolom air terdiri
atas zona limnetik, tropogenik, kompensasi, dan tropolitik (Effendi, 2003).
Sumber daya perairan umum daratan menyimpan potensi ekonomi yang
cukup besar untuk dimanfaatkan. Hal ini disadari sepenuhnya, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu, pada umumnya pemanfaatan
pada kawasan perairan umum daratan telah dilakukan secara intensif. Sumber
daya perairan telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan di antaranya adalah
penangkapan sumber daya ikan, pertanian, dan transportasi air (Ramadhan et al.,
2008).
Beberapa jenis ikan yang biasanya ditemukan di perairan tawar antara lain
ikan nila (Oreochromis niloticus), jambal siam (Pangasius hypophthalmus), tawes
(Barbodes gonionotus), saga (Mystus nemurus), lukas (Dangila cuviera), nilem
(Osteochilus hasselti), betutu (Oxyeleotris marmorata), gabus (Channa striata),

14
karper lumut (Osteochilus schlegeli), keprek abang (Barbodes balleroides), dan
wader (Rasbora spp) (Sriwidodo et al., 2013). Kondisi perairan sangat
menentukan kelimpahan dan persebaran organisme di dalamnya. Setiap organisme
memiliki kebutuhan dan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan
karakteristik lingkungannya (Wahyuni et al., 2014).

1.6. Pembuatan Preparat Histologi


Histoteknik atau teknik histologi merupakan ilmu atau seni mengenai
persiapan organ, jaringan, atau bagian jaringan, untuk dapat diamati dan ditelaah.
Pengamatan dan penelaahan biasanya dilakukan dengan bantuan mikroskop
karena struktur jaringan secara terperinci pada dasarnya sangat kecil dan tak
memungkinkan untuk dilihat dengan mata telanjang, Selain dilekatkan pada kaca
preparat, spesimen biasanya dilindungi atau ditutupi dengan kaca atau plastik
yang tipis dan tembus pandang (Safrida, 2012).
Pembuatan preparat dengan metode parafin merupakan suatu metode yang
paling umum digunakan. Metode ini banyak digunakan karena pembuatannya
lebih mudah dan lebih cepat serta material kering dapat disimpan lebih lama.
Kelebihan metode ini yaitu irisan jauh lebih tipis daripada menggunakan metode
beku atau metode seloidin. Tebal irisan dengan metode beku rata-rata di atas 10
mikron, tetapi dengan metode parafin tebal irisan dapat mencapai rata-rata 6
mikron. Kelemahan dari metode ini yaitu jaringan menjadi keras, mengerut, dan
mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat dikerjakaan dengan
menggunakan metode ini karena sebagian besar enzim yang terdapat pada
jaringan akan larut (Kiernan, 1990). Sebelum membuat preparat histologi,
pengambilan sampel dilakukan dengan beberapa persyaratan yaitu (Muntiha,
2001):
a. Sampel untuk pemeriksaan histologi harus segar, artinya jaringan diambil
secepat mungkin setelah hewan mati. Keterlambatan pengambilan jaringan,
terlebih pada suhu lapangan yang panas, mengakibatkan jaringan cepat
menjadi busuk.
b. Apabila di dalam kelompok hewan yang mati masih ada hewan lain yang
sedang sakit, maka dianjurkan untuk mengambil sampel dari hewan
tersebut. Pada jaringan yang mengalami perubahan maka diambil jaringan
pada perbatasan antara jaringan yang sakit (mengalami perubahan) dengan
jaringan yang sehat.
c. Ukuran jaringan yang diambil sekitar 1 cm. Jaringan tersebut harus segera
difiksasi. Potongan jaringan yang terlalu besar mengakibatkan jaringan yang
terletak di dalamnya tidak terfiksasi dengan sempurna sehingga dapat
membusuk.
d. Jika jaringan berupa tulang, maka perlu dilunakkan terlebih dahulu dalam
larutan dekalsifikasi dengan perbandingan antara jaringan dan larutan 1:20
dengan waktu perendaman selama 24 jam.

Tahapan dalam persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi, clearing,


impregnasi dan embedding, blocking dan trimming, pemotongan, pewarnaan, dan
perekatan jaringan. Fiksasi merupakan tahap awal pembuatan preparat histologi
yang dilakukan agar tidak terjadi autolisis dan dekomposisi postmortem suatu
jaringan atau organ. Selain itu, fiksasi akan membuat jaringan lunak menjadi

15
padat. Hal ini karena bahan fiksatif akan mengkoagulasi protein dalam sel dan
jaringan. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi
jaringan sehingga jaringan tetap seperti keadaan semula sewaktu hidup, serta
memudahkan pemulasan atau pewarnaan jaringan yang akan dilakukan pada
tahapan selanjutnya (Cormack, 1992).
Setelah fiksasi, tahap selanjutnya yaitu dehidrasi jaringan. Dehidrasi
dilakukan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat di dalam jaringan
yang telah difiksasi sehingga nantinya dapat diisi dengan parafin atau zat lainnya
yang dipakai untuk membuat blok preparat. Hal ini perlu dilakukan karena air
tidak dapat bercampur dengan cairan parafin atau zat lainnya yang dipakai untuk
membuat blok preparat. Penarikan air keluar dari sel/jaringan dilakukan dengan
cara merendam jaringan dalam bahan kimia yang berfungsi sebagai dehidrator
(penarik air) yang secara progresif konsentrasinya meningkat, yakni alkohol.
Selanjutnya, dijernihkan dalam xylol (clearing), sebelum akhirnya ditanam dalam
parafin (embedding) (Pratiwi dan Manan, 2015).
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) merupakan jenis pewarnaan yang
paling umum dipakai. Prosedur ini digunakan dalam proses pembuatan preparat
histopatologi dari berbagai spesies hewan, sakit atau mati, dan memerlukan
pemeriksaan histopatologi untuk peneguhan diagnosis hewan yang bersangkutan
(Muntiha, 2001). Pada pulasan HE, kompleks warna hemaktosilin berwarna ungu
tua. Pewarna eosin memberikan warna merah muda sampai merah pada
komponen jaringan yang tidak terpulas ungu-biru oleh hemaktosilin.
Hematoksilin bekerja sebagai pewarna basa. Zat ini mewarnai unsur basofilik
pada jaringan. Eosin bersifat asam serta memulas komponen asidofilik pada
jaringan (Cormack, 1992). Jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat
yang lebih awet dengan cara mounting yaitu proses perekatan sayatan jaringan
pada kaca sediaan menggunakan bahan perekat (adhesive) kemudian diamati di
bawah mikroskop. Mikroskop yang biasa digunakan adalah mikroskop binokuler
(Pratiwi dan Manan, 2015).

16

Anda mungkin juga menyukai