Regi Rejeki Patandung, UAS Bahasa Indonesia Hukum2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PANDANGAN MASYARAKAT INDONESIA TERHADAP


HUKUM ADAT

Nama : Regi Rejeki Patandung


Nim : 2021021014224

Lembaga
Prodi : Ilmu Hukum
Jurusan : Hukum
Fakultas : Hukum
Universitas Cendrawasih Jayapura
2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas berkah dan karunia ,sehingga saya dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul : Kesadaran Masyarakat Indonesia Terhadap Hukum Adat
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh
dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia Hukum

Pada kesempatan kali ini saya berterima kasih kepada sumber dari Buku dan Jurnal
sebagai refrensi. Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini walau jauh dari kata
sempurna

Mungkin dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan yang belum saya ketahui. Maka
dari itu saya mohon saran dan kritik dari teman – teman maupun dosen. Demi tercapainya
Makalah yang sempurna.

Sentani ,09 Juni 2022

Penulis
Regi Rejeki Patandung
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum Adat, jika kita mendengar kata itu yang terlintas di pikiran kita mungkin adalah
suatu Corak kedaerahan yang begitu kental didalamnya. Karena sifatnya yang tidak
tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka sangat perlu
dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup
, apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.

1Di era Modern ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita
kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia asia
lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa
Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum
adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan

Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum
adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“.[1]Bagaimana
tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung
kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya-
politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Lingkungan dan Masyarakat hukum adat?


2. Bagaimana Kedudukan Hukum Adat?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Agar pembaca mengetahui dan memahami sejarah penemuan hukum adat


sehingga pembaca dapat melestarikan hukum adat di Indonesia ini pada
era Modern.

2. Agar pembaca memahami bagaimana kedudukan Hukum Adat di


Indonesia.

D. MANFAAT PENULISAN

Supaya masyarakat menyadari kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan


pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu
sendiri terhadap Hukum Adat
BAB II

LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

1.1 PENGERTIAN HUKUM ADAT

Istilah hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Prof.Dr.Christian Snouck Hurgronye
dalam bukunya yang berjudul “De Accheers”(Orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti
oleh Prof.Mr.Cornelis Van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat

Recht Van Nederland Indie”[2]

Dengan adanya istilah ini, maka pemerintah kolonial Belanda pada akhir tahun 1929
mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangan Belanda.[3] Hukum adat
pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat istiadat mencakup
konsep yang sangat luas.

Hukum Adat adalah Hukum N2on Statuir yang berarti Hukum Adat pada umumnya
memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum
memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan pula.
Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam
hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan
apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.

Definisi dari hukum adat sendiri adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus
menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.[4]

Prof. Mr. B. TerHaar BZN menyebutkan bahwa hukum adat ialah keseluruhan aturan
yang menjelma dalam keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa dan
pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara spontan dan dipatuhi dengan
sepenuh hati.

Prof. Dr. Mr. Sukanto menyatakan bahwa hukum adat adalah komplek adat-istiadat yang
kebanyakan tidak dikodifikasikan dan bersifat memaksa, mempunyai sanksi atau akibat
hukum.
Prof. Dr. Mr. R. Supomo, Hukum adat adalah hukum yang non statuter, yang sebagian
besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum islam.

Prof. Mr. Kusumadi Pujosewoyo, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku
yang

“adat” dan sekaligus “hukum” pula.[5]


Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah3
laku positip yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam
keadaan tidak dikodifikasi (adat).[6]
Dari beberapa pendapat para ahli hukum mengenai pengertian Hukum Adat, dapat
disimpulkan bahwa Hukum Adat ialah Norma-norma yang bersumber pada perasaan
peradilan rakyat yang meliputi aturan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam
kehidupan sehari-hari, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi senantiasa ditaati dan
dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat tertentu.[7]
1.2 SEJARAH PENEMUAN HUKUM ADAT

Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah
Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the
tendency to view the law of other cultures through theconcepts and assumptions of
Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a)
cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b)
cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan
penyusunan kebijakan.

Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden
(1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris,
kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh
Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan 4istilah “adatrecht” (hukum adat),
dan ia sebagai peletak teori Receptie, ia memandang hukum adat identik dengan hukum
kebiasaan. Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906,
ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk
adat yang mempunyai konsekwensi hukum[8].

Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai


acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1).
Memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2)kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan
keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda
(Indonesiasekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan
itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti:
masyarakat hukum atau persekutuan hu5kum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau
pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).

Untuk memperoleh suatu pengertian tentang hukum adat itu, dapat di kemukakan
beberapa pertanyaan seperti di bawah ini.
a. Sejak kapan di peroleh pengertian yang di kemukakan di atas itu?
b. Sejak kapan timbul sedikit perhatian atas hukum adat?
c. Sejak kapan orang mulai meninjau dan memeriksa hukum adat di
lapangan?
d. Sejak kapan hukum adat itu di dapatkan atau di ketemukan orang?
Apa gunanya pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukankah kita ini bangsa indonesia yang
hidup dalam hukum adat kita sendiri? Apakah hukum adat kita harus di ketemukan?
Memang, kita adalah orang indonesia yang hidup dalam suasana adat kita sendiri, akan
tetapi adat ini harus di ungkapkan, di ketahui, dan dimengerti untuk menyadari bahwa,
hukum adat kita adalah hukum yang tidak dapat di abaikan begitu saja. Hukum ini harus
di temukan supaya mendapat penghargaan yang selayaknya, bukan oleh kita sendiriakan
tetapi juga oleh bangsa lain.[9]
Tokoh-tokoh penemu hukum adat yaitu
Wilken ,wilken adalah pangreh praja belanda, mula-mula ia di buru, kemudia di
gorontalodan minahasa barat, selanjutnya di sipirok dan mandailing. Tentang semua
daerah ituia membukukan segala sesuatu yang di lihatnya seperti tentang hak hutan di
buru, hak tanah hakullah di sipirok, tentang agraria di minahasa.
Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan hukum sebagai pegawai pangreh
prajabelanda di indonesia. Seperti halnya dengan wilken, ia juga memberi tempat
tersendiri kepada hukum adat. Tetapi ia lebih membatasi penyelidikanya hanya hanya
pada satu lingkungan hukum adat yaitu bali dan lombok.
Snouck Hurgronje adalah sarjana sastra yang menjadi politikus. Dia mendapat
gelar doktordalam bahasa semit ( rumpun bahasa yang meliputi bahasa yahudi dan arab).
Karya utamanya yaitu de atjehers yang terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum.[10]

1.3 CIRI-CIRI HUKUM ADAT

1. Bercorak Relegiues- Magis :

Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh ke6kuatan


gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain.
Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara
berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah
nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang
sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap
kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah,
menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara
relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada
halangan dan selalu berhasil dengan baik.

2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan


Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu
kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri,
manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan
bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.

3. Bercorak Demokrasi

Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan


bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai
dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan
hasil musyawarah dan lain sebagainya.

4. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan
yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.

5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam
setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang
berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan
nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
BAB III

PEMBAHASAN

2.1 LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan Hukum
adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum.
Adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut
di bagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw).

Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)

2. Tanah Gayo, Alas dan Batak

- Tanah Gayo (Gayo Lueus)

- Tanah Alas

- Tanah Batak (Tapanuli)


Ø Tapanuli Utara : Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak Simelungun, Batak

Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu).

Ø Tapanuli Selatan : Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola Mandailinag

(Sayurmatinggi).

Ø Nias (Nias Selatan).

3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota,


Tanah

Kampar, Kerinci).

4. Mentawai (Orang Pagai) 5. Sumatra Selatan - Bengkulu (Renjang).

- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Reban, Gedingtataan,


Tulang

Bawang).

- Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah,


Semendo) Jambi (Orang Rimba, Batin dan Penghulu).

- Enggano.

6. Tanah Melayu (Lingga-Riau,Indragiri, Sumatra Timur, Orang Banjar)

7. Bangka dan Belitung


8. Kalimantan ( Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,
Kenya,Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan,

Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayak Maayan, Dayak Maanyan Siung, Dayak
Ngaju,

Dayat Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).

10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi,

Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).

11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,

Makasar, Selayar, Muna).

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).

13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram,

Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).

14. Irian
15. Kep. Timor (Kep. Timor-timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba
Tengah,Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima).

16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-pagrisingan, Kastala, Karrang Asem,

Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).

17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,

Tulungagug, Jawa Timur, Surabaya, Madura).

18. Daerah Kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta) 19. Jawa Barat (Priangan, Sunda,
Jakarta, Banten).

Masyarakat Hukum Adat

Sebelum kita mempelajari suatu sistem hukum tertentu, perlu kita ketahui terlebih dahulu
susunan (struktur) masyarakat yang mempunyai hukum itu, karena bentuk dan system
hokum yang berlaku itu merupakan pencerminan dari masyarakat yang menetapkan
hukum tersebut.

Susunan masyarakat hukum Indonesia dalam garis besarnya dapat dibedakan dalam
empat system, yaitu :

1. Masyarakat hukum yang Genealogis (tunggal Darah), ialah suatu masyarakat


hukum yang anggota-anggotanya merasa bersatu karena adanya persamaan
asalusul keturunan atau nenek moyangnya.

- Masyarakat genealogis ini dapat dibedakan dalam :

a. Masyarakat Patrilineal, yaitu yang pertalian kekeluargaannya


dilacak darigaris keturunan laki-laki; misalnya : Marga di Batak.
b. Masyarakat Matrilineal, yaitu yang pertalian kekeluargaannya
dilacak darigaris keturunan perempuan, misalnya Paruik di
Minangkabau.

c. Masyarakat Parental, yaitu yang pertalian kekeluargaannya


dilacak darigaris keturunan laki-laki dan perempuan (kedua
orang tuanya) seperti : Pandam di Dayak (Kalimantan Tengah).

Masyarakat dalam susunan Patrilineal dan Matrilineal termasuk dalam susunan yang
Unilateral/ satu Garis, sedangkan yang Parental termasuk susunan yang Bilateral (Dua
garis)

2. Masyarakat hukum territorial (tunggal daerah), ialah masyarakat hukum yang


anggota-anggotanya mewrasa bersatu karena bersama-sama menempati suatu
dearah tertentu. Masyarakat yang semacam ini biasanya disebut masyarakat Desa,
yang mempunyai bentuk bermacam-macam, Antara lain :

a. Desa Kesatan atau Persekutuan Desa, yaitu suatu tempat tinggal


bersamayang merupakan pusat dimana warga desa bersama-
sama tinggal dalam wilayahnya sendiri. Misalnya : Desa di Jawa
dan Bali.

b. Desa Serikat atau Persekutuan wilayah, yaitu suatu tempat


tinggal yangterdiri dari beberapa pusat yang masing-masing
berdiri sendiri, tetapi bersamasama merupakan bagian yang
tercakup dalam suatu masyarakat territorial yang lebih besar.
Misalnya : Kuria dengan huta-hutanya di Mandailing, Marga
dengan dusundusunnya di Sumatra Selatan.

c. Perserikatan Desa-desa (Dorpen bond), ialah perserikatan


beberapa desayang berdiri sendiri dengan tujuan
menyelenggarakan kepentingan bersama. Misalnya :
Perserikatan Desa di Bali dalam mengatur masalah pengairan sawahsawah dan
sebagainya.
3. Masyarakat hokum yang merupakan campuran dari keduasistem diatas;
jadimempunyai bentuk genealogis tetapi juga territorial, misalnya : Marga di
Tapanuli yang menempati suatu daerah tertentu Nagari di Minagkabau yang di
dalamnya terdapat Paruik-paruik dan Jurai yang genealogis, Kurai dan
Hutahutanya di

Batak,Dusun di daerah Rejang (Bengkulu) dan sebagainya.

4. Masyarakat hokum yang bedasarkan pemufakatan, ialah suatu masyarakathukum


adat yang terjadi karena adanya kehendak bersama dari para anggotanya untuk
menyelenggarakan kepentingan bersama./ misalnya Subak di Bali, Darma Tirta di
Jawa dan sebagainya.

2.2 HUKUM ADAT

Warganegara Indonesia asli masih berelaku hukum adat. Keadaan semacam ini masih
berlaku sampai sekarang, karena adanya Pasal II Aturan UUD 1945 yang menegaskan
bahwa : Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut UUD ini.

UUD 1945 memang tidak mengatur sacara tegas bagaimana sikapnya terhadap ketentuan
hukum adat yang masih berlaku dalam masyarakat, namun pada dasarnya masih
mengakui perlunya hukum dasar yang tidak tertulis (lihat Penjelasan UUD 1945).
Berbeda halnya dengan konstitusi RIS dan UUD 1950 yang tegas-tegas mengakui
berlakunya hukum adat, seperti tercantum pada pasal 31 Konstitusi RIS (Pasal 32 UUDS)
yang menegaskan bahwa

: “Setiap orang yang ada di daerah Negara hurus patuh pada undang-undang, termasuk
aturanaturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang
bertindak sah”. Bahkan dalam pasal 146 Konstitusi RIS/ps. 104 UUDS ditegaskan bahwa
: “Segala keputusan kehakiman (Pengadilan) harus berisi alas an-alasan dan dalam
perkara hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum
adat yang dijadikan dasar hukum itu”.
Meskipun UUD 1945 tidak mengatur secara tegas tentang berlakunya hukum adat,
namun Tap.MPRS No. II/MPRS/1960 menegaskan bahwa: pembangunan hukum
nasional harus di arahkan kepada homoge nitet hukum dengan memperhatikan
kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia, harus sesuai dengan Haluan Negara dan
berlandaskan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat yang adil
dan makmur .

Dalam GBHN 1993 [Tap. MPR No. II/MPR/1993], meskipun tidak secara tegas
menjamin berlakunya hukum adat, namun digariskan bahwa pembangunan hukum ini
dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan
tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan hukum adat
mereka. Sedang mengenai materi hukum yang digariskan oleh GBHN 1993 untuk ditaati
oleh masyarakat, tidak hanya materi hukum yang tertulius, melainkan juga materi hukum
yang tidak tertulis yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan
bermasyarakat.

Di samping kedudukan hukum adat sebagai hukum yang tak tertulis ini di sebutkan pula
dalam UU. No. 19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman (LN. 1964
No. 107) yang telah diganti dengan UU. No. 14 tahun 1970 juga tentang pokok-pokok
kekuasaan kehakiman (LN. tahun 1970 No. 74) yang dalam pasal 23 ayat 1 menegaskan
bahwa:” segala putusan pengadilan selain memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan
itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Dengan adanya ketentuan tersebut diatas yang harus di taati oleh semua hakim yang
mengadili perkara pada semua lingkungan pengadilan, maka hukum adat mempunyai
kedudukan yang kuat, karena hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis itu tidak
hanya dapat dijadikan landasan untuk mengambil keputusan, melainkan juga dianggap
setaraf dengan hukum yang tertulis. Dengan menyebut istilah “atau sumber hukum yang
tidak tertulis” berarti hukum adat sendiri tanpa hukum tertulis sudah dapat menjadi
landasan untuk mengambil keputusan hakim.
BAB IV

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal
ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh
orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan
itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh
masyarakat yang bersangkutan.

Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan
jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi
karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat
kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk
dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat,
dll.
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,
norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu
sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi
senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat
tertentu.

3.2 SARAN

Saya berharap kepada mahasiswa Fakultas Hukum bahwa kita harus melihat Hukum
Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum itu sendiri dari aspek
psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang ada
sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bushar, Muhammad. 1981. Asas-Asas Hukum Adat (suatu pengantar). Jakarta:

_______Pradnya Paramitha.

H.A.M. Effendy. 1994. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Mahdi Offset.

Id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat

Keebet von Benda-Beckmann. 2006. Pluraisme Hukum. Jakarta: Ford Fondation.

Lukito, Ratno. 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia.
______Jakarta: INIS.

Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesoia. Jakarta: CV.Rajawali.

Soepomo. 1993. Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Sudiyat, Imam. 1978. Asas-asas Hukum Adat, sebagai Bekal Pengantar.

________Yogyakarta: Liberty.

Wignjodipoero, Soerojo. 1967. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:

_____________CV. Haji Masagung.

Warjiyati, Sri. 2006. Memahami Hukum Adat. Surabaya: IAIN Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai