Kel. 6 - Kaidah Umum - Qawaidh Fiqhiyyah B
Kel. 6 - Kaidah Umum - Qawaidh Fiqhiyyah B
Kel. 6 - Kaidah Umum - Qawaidh Fiqhiyyah B
oleh :
KELAS B
FAKULTAS SYARIAH
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan lancar. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW., keluarga, sahabat, dan para umatnya yang senantiasa menjalankan
kemudahan, dan kelancaran dalam menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Qawaidh
Fiqhiyyah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Qawaidh
Fiqhiyyah, yaitu Bapak Ahsin Dinal Mustafa, M.H., yang telah memberi tugas makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, inspirasi, dan menambah
pengetahuan pembaca.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan tugas yang kami buat ini yang
masih jauh dari kesempurnaan. Kami memohon maaf apabila ada kekurangan ataupun
kesalahan pada teknik penulisan maupun materi. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
diharapkan agar tugas ini menjadi lebih baik serta berguna di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi kami khususnya, sebagai
penulis.
Qawaidh Fiqhiyyah | i
DAFTAR ISI
C. Tujuan .........................................................................................................................2
A. Kesimpulan................................................................................................................23
Qawaidh Fiqhiyyah | ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Para Pakar ushul fiqih pada zaman dahulu telah merumuskan kaidah-kaidah dalam
menghadapi praktik fiqih yang diambil dari teks nash al-Quran dan Sunnah, dengan
adanya rumusan dengan konsep pemikiran yang berbeda-beda maka tak heran kaidah
yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tergantung kondisi tempat dan waktu, Ibn Qayyim
Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya ‘Ilamul Muwaqqi’in ‘an Rabb ‘Alamin bahwa;
“Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat,
beragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar didapati jalan keluar untuk
penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-
cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut.
Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan
ilmukarenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum islam. Masih jarang diantara
Qawaidh Fiqhiyyah | 1
persoalan hukumdalam islam karen aproses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan
hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
3. Untuk mnegetahui contoh kasus kaidah al-‘ammah dalam kehidupan sehari hari
Qawaidh Fiqhiyyah | 2
BAB II
PEMBAHASAN
ruang lingkup dalam bahasan ilmu fiqh. Secara zhahir, Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-
‘Ammah terdiri dari tiga kata yakni qawa’idh, fiqhiyyah, dan al-‘ammah. Secara bahasa,
qawa’idh merupakan bentuk jamak dari qaidah yang artinya dasar atau pondasi, baik
dalam artian konkrit (pondasi rumah) dan abstrak (pondasi agama, pondasi ilmu, dan
ۗ ۗ
"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya
berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha
"Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh
1
Andiko Toha, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2001), 1
Qawaidh Fiqhiyyah | 3
menimpa mereka dari atas, dan siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak
mereka sadari."
Jadi, secara etimologi kata qawa’idh memiliki artian sebuah dasar-dasar atas sesuatu
atau dapat didefinisikan suatu hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-
bagiannya. Sedangkan fiqhiyyah adalah kata yang berasal dari al-fiqh yang berarti paham
atau pemahaman yang mendalam. Adapun al-‘Amm secara bahasa arab memiliki artian
umum atau sesuatu yang universal (kulli). Dengan demikian secara kebahasaan, qawa’idh
fiqhiyyah al-‘amm adalah sebuah dasar, aturan, atau patokan suatu hal yang bersifat
bahasan kaidah fikih, terdapat beberapa tingkatan kaidah dalam mencari sebuah jalan
1. Kaidah Inti, contohnya adalah seperti pada lafaz “Jalbu al - Mashalih wa Daf’u al -
2. Kaidah Asasiyah, yaitu kaidah fikih yang lima. Contohnya seperti pada lafadz kaidah
4. Kaidah Khusus, yaitu kaidah-kaidah yang hanya berlaku sebuah cakupan bidang
fikih yang tertentu. Contohnya seperti fikih muamalah, fikih ibadah, fikih
2
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah
yang Praktis (Jakarta:Prenada Group, 2006), 90
Qawaidh Fiqhiyyah | 4
Kaidah-kaidah fikih secara general terbagi menjadi dua jenis. Pertama, kaidah fikih
yang benar-benar asli karena zat nya (al-ash fi dzatihi) bukan penjelas dari cabang fikih
yang lain.Kedua, kaidah yang merupakan subdividen (sub-bahasan) dari kaidah fikih lain
yang sudah ada, para ulama sering menyebut kaidah ini dengan kaidah makro, kaidah
fiqhiyyah al-amm atau kaidah fiqhiyyah al-kulliyah. Kaidah fikih al-‘ammah ini termasuk
dalam klasifikasi pembahasan cabang fikih yang nantinya menghasilkan kaidah yang
sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya jika dilihat dari segi objek pembahasannya.3
1. Kaidah Pertama
"Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian"
Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa pada perinsipnya suatu hasil ijtihad yang
dilakukan pada masa yang lalu tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad yang dilakukan
kemudian, baik oleh seseorang mujtahid itu sendiri maupun mujtahid yang lain.4 kaidah
fiqh ini dilandaskan pada ijma’ sahabat seperti yang dinukilkan Ibn Sibagh bahwasanya
Abu Bakar memberikan ketetapan hukum terhadap sejumlah masalah yang kemudian
diperselisihkan Umar. Umar tidak membatalkan keputusan Abu Bakar dan ia tetap
mengakuinya. Demikian pula dengan Umar bin Khattab pernah memutuskan dua kali
dalam masalah pembagian harta warisan musyarakah yang saling berbeda. Keputusan
pertama berbeda dengan keputusannya yang kedua.5 Pada masalah pembagian harta
3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), 2
4
Duski Ibrahim, ‘Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah’ (Kaidah-Kaidah Fikih) (Palembang: CV Amanah, 2019), 101
5
Jala al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2 (Beirut: Mu’assasah al-Kutub
al-Tsaqafiyah, 1996), 134.
Qawaidh Fiqhiyyah | 5
warisan yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dan dua orang saudara seibu dan
saudara sekandung ini pada mulanya, berdasarkan ijtihad Umar, menetapkan bahwa
saudara kandung yang ashabah itu tidak mendapat bagian karena tidak ada sisa lagi. Pada
saat yang lain, dalam kasus yang sama, Umar menetapkan bahwa saudara kandung
tersebut sama dengan dua orang saudara seibu dalam pembagian warisan yakni (1/3) harta
“Itu adalah keputusan kami pada masa lalu,sedangkan ini adalah keputusan kami pada
masa sekarang.”6
Alasannya, keputusan hukum yang dihasilkan dari ijtihad sebelumnya tidak bisa dicabut
oleh keputusan hukum yang dihasilkan dari ijtihad yang dilakukan belakangan. Ini karena
keputusan ijtihad yang terakhir tidak berarti memiliki kekuatan atau bobot yang lebih
besar daripada keputusan ijtihad yang pertama. Selain itu, jika suatu keputusan hukum
dari ijtihad dapat dicabut oleh keputusan ijtihad yang lain, maka akan menyebabkan
ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan
yang besar, juga akan terjadi tasalsul hukum, yaitu terjadi mata rantai pembatalan hukum
Contohnya, ketika hakim berijtihad menghukum pelaku kejahatan ta’zir dengan hukuman
6
Jala al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2 (Beirut: Mu’assasah al-Kutub
al-Tsaqafiyah, 1996), 71-72.
Qawaidh Fiqhiyyah | 6
tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, pelaku kejahatan dihukum penjara
seumur hidup, karena pertimbangan lain dari hakim yang berbeda dengan hukuman
berubah. Namun, terdapat pengecualian yakni apabila hasil ijtihad atau keputusan hakim
menyalahi nash atau dalil yang qath’i maka hasil ijtihad tersebut dapat dibatalkan.7
Melalui kaidah fiqh ini dapat dipahami bahwa orang yang melakukan ijtihad terhadap
suatu peristiwa hukum, lalu menetapkan fatwa atau keputusan hukum di pengadilan
berdasarkan ijtihad tersebut, kemudian terjadi peristiwa lain yang serupa dengan
peristiwa hukum yang telah difatwakan tersebut, sementara orang itu merubah ijtihadnya
kepada hukum yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan ijtihad tersebut tidak
membatalkan fatwa dan keputusan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini,
perubahan terhadap hasil ijtihad merupakan hal yang biasa karena perubahan dalam
menilai dan memahami dalil.8 Namun, untuk masalah hukum yang datang kemudian
Wujud penerapan kaidah fiqh ini dapat diamati dalam kasus orang yang sholat
dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat. Pada sholat berikutnya berubah
anggapannya tentang kiblat, maka ia harus menghadap ke arah yang dianggapnya qiblat
dan tidak wajib mengulang sholatnya yang telah dilakukan sebelumnya. Begitu pula
tentang ijtihad seseorang yang telah menetapkan kesucian salah satu dari dua bejana. Lalu
7
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr,
1322 H), 382.
8
Musthafâ Ahmad Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhi al-Aam, Jilid 2 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1968), 1010
Qawaidh Fiqhiyyah | 7
ia menggunakan salah satu bejana itu dan tidak tidak memakai yang lainnya. Kemudian
berubah anggapan orang itu, maka ia tidak boleh melakukan seperti anggapan kedua,
tetapi harus melakukan tayamum.9 Contoh lain dari kaidah ini ketika seorang hakim
berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian ijtihadnya berubah dari
ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah (tidak rusak).10
2. Kaidah Kedua
“Ketika dua perkara sejenis berkumpul dan maksudnya tidak berlawanan, maka secara
Makna dari kaidah ini ialah menjelaskan mengenai bahwa telah cukup untuk
melaksanakan salah satu dari dua perkara yang memiliki kedudukan yang sama dengan
memilih perkara yang lebih besar. Karena perkara yang lebih besar telah mencakup atas
perkara yang kecil, hingga dapat dikatakan bahwa sudah mencakup kedua perkara
“Dari Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap
orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang
9
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 101.
10
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 61.
Qawaidh Fiqhiyyah | 8
ingin ia raih atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu
kepada apa yang menjadi tujuannya.”
tujuan serta hukum yang tekandung di dalamnya. Sebagaimana mandi yang dikerjakan
setelah terputusnya darah haid dengan mandi setelah berhentinya darah nifas, dimana
keduanya merupakan kewajiban dengan pertalian karakteristik dan praktek yang serupa
antara satu dengan yang lain, serta memiliki maksud selaras pula. Pada contoh lain,
seperti mandi sunnah Hari Raya yang serupa bentuk dan maksudnya dengan mandi
sunnah pada hari Jum’at. Dalam hal ini antara satu dengan yang lain dapat menggabung
menjadi satu (tadakhkhul). Sehingga ketika akan melakukan mandi untuk dua maksud
diatas, maka yang dilakukan cukup sekali dan dengan satu niat saja. Namun, hukum
penggabungan satu aktifitas dengan yang lain ternyata tidak secara mutlak berlaku pada
1) Tadakhkhul dalam ibadah Menurut al-Zarkashi bahwa tadakhkhul yang masuk pada
a) Dua ibadah wajib yang sama-sama terdapat tuntutan namun maksudnya berbeda,
maka tidak terjadi tadakhkhul. Contoh: Tawaf Wada’ dan Tawaf Ifadah yang
b) Ibadah wajib yang diperintahkan namun memiliki mempunyai maksud yang sama.
Bagian ini bisa digabungkan menjadi satu pekerjaan (tadakhkhul). Contoh: mandi
karena haid, dan mandi karena mengeluarkan cairan sperma. Keduanya dapat
digabungkan dalam satu kali pelaksanaan mandi, sebab kedua bentuk ibadah tersebut
Qawaidh Fiqhiyyah | 9
merupakan suatu yang disyariatkan, karena mempunyai maksud yang sama yakni
a) ‘Uqubat yang berhubungan dengan hak-hak Allah. Bila berasal dari satu jenis, maka
bisa masuk dalam bingkai tadakhkhul, seperti seorang gadis (bikr), atau perjaka yang
berkali-kali melakukan perbuatan zina, maka ia dikenai hukuman had satu kali.
b) ‘Uqubat yang berhubungan dengan hak Adami. Contoh: hubungan seksual berulang-
ulang yang terjadi pada pernikahan fasid. Maka orang yang melakukannya
seorang yang melakukan haji qiran membunuh hewan buruan di tanah Haram hanya
karena melakukan satu kali perbuatan, yakni membunuh binatang, ia telah dianggap telah
melakukan dua pekerjaan yang haram dilakukan, yakni merusak nilai kesakralan haji dan
Hal yang tidak terjadi dalam Tadakhkhul dalam pandangan Izzuddin Abd. Salam
adalah dalam hal shalat, zakat, sadaqah, hutang, haji dan umrah. Seorang yang melakukan
ihram dengan dua kali haji, maka ia hanya akan mendapatkan nilai haji satu kali. Ataupun
melakukan ihram dengan dua kali umrah, maka ia hanya mendapatkan satu umrah.
Qawaidh Fiqhiyyah | 10
Dengan demikian, bila ia menginginkan ihram yang bernilai haji dan umrah sekaligus,
Tadakhkhul yang masih mukhtalaf ‘alayh diantaranya dalam masalah kafarat, wudlu
yang dapat ber-tadakhkhul dalam mandi. Untuk kafarah menurut Abu hanifah
menyatakan ada tadakhkhul seperti contoh, orang yang berhubungan badan berkali-kali
di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar satu kafaratsaja. Berbeda dengan pendapat
kuantitas hubungan badan yang dilakukan pada waktu puasa dengan argumentasi bahwa
hukum asal dalam terminologi figh adalah tidak terjadi Tadakhkhul, atau dengan kata lain
3. Kaidah Ketiga
Dari kaidah fiqh ini dapat dipahami bahwa sesuatu yang mengikut kepada yang lain,
maka hukumnya sama dengan hukum yang diikuti. Kaidah fiqh ini meliputi sejumlah
a. Dasar Kaidah
Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar ra.:
11
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 64.
12
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 105.
Qawaidh Fiqhiyyah | 11
“Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasanya Rasulullah SAW. melarang jual beli anak
hewan ternak yang masih dalam kandungan. Itu merupakan jual beli yang biasa
kandungan, hingga induk unta melahirkan, kemudian anak unta itu melahirkan lagi.”13
b. Contoh Kaidah
1) Seandainya ada transaksi jual-beli binatang yang sedang bunting, maka anak dalam
kandungannya tersebut termasuk ke dalam akad jual beli yang diadakan itu.
2) Seandainya ada sembelihan hewan yang sedang bunting, ternyata ditemukan anak
yang telah mati dalam kandungannya. Dalam hal ini, sembelihan anaknya tersebut
3) Seandainya ada ulat dalam buah-buahan, seperti dalam biji petai, jengkol, alpukat,
apel dan sayur-sayuran, maka hukumnya boleh dimakan selama tidak dipisahkan.
4) Seandainya ada transaksi jual-beli tanah, maka tanaman apapun yang ada di
4. Kaidah Keempat
13
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqiyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat, 2015), 259.
14
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqhiyah) (Palembang: CV Amanah, 2019),
105.
Qawaidh Fiqhiyyah | 12
“Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti.”
Berdasarkan kaidah ini, dapat dipahami bahwa apabila gugur hukum yang diikuti
dengan sendirinya gugur pula hukum yang mengikuti. Dalam kaitan ini dapat
dikemukakan contoh tentang sholat. Bagi orang gila tidak ada kewajiban melaksanakan
sholat fardhu. Atas dasar ini pula, ia tidak dianjurkan melakukan sholat sunat rawatib.
Dengan gugurnya kewajiban sholat fardhu (matbu’) bagi orang gila, maka gugur pula
sholat sunah (tabi’) bagi orang tersebut. Ketentuan yang sama berlaku pula bagi orang
yang terlambat wukuf di padang Arafah. Dengan terlambatnya orang itu melakukan
sa’i dan mencukur, bukan tahallul dengan melempar jumrah dan bermalam di Mina
(mabit). Sebab, melempar jumrah dan mabit adalah amalan yang mengikuti wukuf.
a. Orang gila tidak wajib menunaikan shalat fardhu, karena tidak memenuhi syarat
taklif. Oleh karena itu, ia juga tidak disunnatkan shalat sunnat rawatib. Gugurnya
b. Orang yang terlambat wuquf di Arafah, ia harus tahallul dengan mengerjakan amalan
umrah (thawaf, sa’i, dan mencukur rambut; bukan tahalul dengan melempar jumrah
dan bermalam (mabit) di Mina. Alasanya, karena melempar jumrah dan mabit adalah
perkerjaan yang mengikuti wukuf (tabi’), sedangkan wukufnya (matbu’) telah gugur.
Seandainya ada penyakit atau luka di muka umpamanya, maka seseorang boleh tidak
membasuh muka ketika berwudhu. Oleh karena itu ia juga tidak disunnatkan lagi
membasuh bagian muka lainya yang tidak terkena penyakit atau luka. Sebab, membasuh
Qawaidh Fiqhiyyah | 13
muka (matbu’) telah gugur, sehingga membasuh bagian bagian yang berkaitan dengan
muka itu (tabi’) juga gugur. Kendatipun demikian, dikecualikan pada kasus lengan yang
putus sampai sebatas siku. Dalam hal ini, membasuh bagian atas siku masih tersisa tetap
disunnatkan demikian juga orang yang sedang ihram, yang kepalanya botak tidak
berambut sama sekali, masih disunatkan mencukur rambut secara simbolis dengan
5. Kaidah Kelima
Berdasarkan kaidah ini, sesuatu yang diikuti lebih dahulu dari yang mengikut. Hal
ini logis, karena mustahil yang mengikut lebih dahulu dari yang diikuti. Penerapan kaidah
ini dapat diamati dalam kasus sholat berjamaah. Dalam hal ini, makmum tidak boleh
mendahului imam dalam pelaksanaan sholat berjamaah tersebut mulai dari awal ketika
a. Contoh Kaidah
berdirinya, takbiratul ihram, atau salamnya, termasuk semua gerakan gerakan shalat
lainya.
2) Ketika shalat berjamaah yang shaf-nya banyak sekali, biasanya memerlukan seorang
15
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqhiyah) (Palembang: CV Amanah, 2019),
108.
Qawaidh Fiqhiyyah | 14
shaf bagian belakang. Maka makmum lain tidak boleh mendahului takbiratul
6. Kaidah Keenam
Ungkapan yang terdapat dalam kaidah fiqh ini cukup rasional mengingat yang
mengikuti tentu mesti sejalan dengan yang diikuti. Atas dasar ini, hukum yang ada pada
yang diikuti tentu berlaku pula pada yang mengikuti. Dengan kata lain, jika ada sesuatu
yang berstatus sebagai tabi’, ia tidak dapat memiliki hukum tersendiri; ia harus selalu
notabene timbul dari dalam buah itu. Jika seseorang memakan buah sekaligus ulatnya,
maka tidak akan ada masalah (boleh). Karena memakan buahnya (matbu’-nya) hukumnya
boleh. Sehingga memakan ulatnya pun juga diperbolehnya, karena ulat itu hanya tabi’.17
Penerapan kaidah ini dapat diamati dalam masalah jual beli. Apabila terjadi jual beli
binatang yang sedang bunting, maka anak yang ada dalam perut binatang itu termasuk
dalam transaksi jual beli tersebut. Begitu pula menyembelih hewan yang sedang bunting.
Setelah dikeluarkan ternyata anak yang terdapat dalam kandungan hewan itu mati, maka
ia sudah termasuk dalam penyembelihan induknya. Hal yang sama berlaku pula untuk
jual beli tanah. Tanaman apapun yang terdapat pada tanah termasuk dalam transaksi jual
16
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 106.
17
Muhammad ibn ‘Umar Sadr al-Din ibn Wakil, al-Ashbah wa al-Nazair, ed. Dr. Adil Ibn Abd. Allah al-
Thuwayk (Saudi Arabia: al-Rushd, 1997), 426.
Qawaidh Fiqhiyyah | 15
beli itu meskipun tidak disebutkan secara nyata dalam transaksi, kecuali apabila dibuat
7. Kaidah Ketujuh
“Dapat dimaafkan dalam hal-hal yang mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainnya”.
“Dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak dimaafkan bagi yang memulai”
Substansi kaidah ini adalah bahwa toleransi hukum yang diberikan pada tabi’ tidak
dapat diberlakukan pada matbu’. Contohnya seperti masalah serambi masjid. Sebagai
tabi’ dari masjid, serambi masjid diperbolehkan untuk di diami oleh orang yang sedang
dalam keadaan junub. Padahal apabila orang yang dalam keadaan junub tersebut berdiam
diri di dalam masjid jelas tidak diperbolehkan (haram). Namun karena ia hanya berdiam
diri di tabi’ masjid, maka masih diperbolehkan dan diberi toleransi. Sub kaidah cabang
ini ternyata juga menelorkan subk aidah yang memiliki esensi sama, namun dengan
ungkapan yang sedikit berbeda. Sub kaidah tersebut antara lain berbunyi:
“Sesuatu yang tidak ditolerir bila dilakukan secara sengaja, dapat ditoleransi secara
“tersimpan” (implikatif)”. Dengan kata lain, ada beberapa pekerjaan yang apabila
sengaja dilakukan, maka ia tidakakan ditolerir. Namun jika terjadi tanpa kesengajaan,
atau hanya ‘kandungan’ (implikasi) dari pekerjaan lain, maka ia diperbolehkan dan
Qawaidh Fiqhiyyah | 16
ditolerir.18 Contohnya, apabila seseorang mewakafkan barang untuk dirinya, maka hukum
wakafnya tidak sah. Sebab, merupakan suatu hal yang tidak berguna mewakafkan barang
“Sesuatu yang dapat ditolerir pada tahap lanjutan, terkadang tidak dapat ditolerir tahap
permulaan.” Dalam kaidah ini dinyatakan ada beberapa hal yang bila terjadi pada
permulaan suatu pekerjaan ia tidak dapat ditolerir, namun jika terjadi pada tahapan
(muhrim) tidak diperbolehkan melakukan akad nikah (tidak sah). Namun jika yang
dilakukan bukan prosesi pernikahan, melainkan hanya sekedar ruju’, maka dihukumi sah.
Sebab ruju’ adalah usaha melanjutkan pernikahan. Artinya, ia hanya mengikat kembali
tali pernikahan yang sebelumnya sempat terputus akibat perceraian. Selain itu arti ruju’
pernikahan itu. Akad nikahlah yang merupakan permulaan dari segala proses yang akan
terjadi sesudahnya, baik berupa talak, khulu’, ataupun, ruju’. Karena itu, akad nikah tidak
8. Kaidah Kedelapan
Kaidah fiqh ini mengandung pengertian yang sama dengan kaidah fiqh di bawah ini:
18
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 79.
Jala al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2 (Beirut: Mu’assasah al-
19
Qawaidh Fiqhiyyah | 17
“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya.”
Kata kunci dalam kaidah fikih yang menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah
kata “ridha” yang perlu dipahami agar lebih mengerti makna dari kaidah fikih yang
dimaksud. Ridha berasal dari bahasa Arab radiya yang artinya senang hati (rela). Ridha
dapat diartikan menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah Swt. baik
Nya.
Dari kaidah di atas, dapat dipahami bahwa manakala seseorang telah ridha atau rela
akan sesuatu atau telah menerima atau mengizinkan sesuatu, maka segala akibat dari apa
yang direlakannya itu haruslah ia terima. Kerelaan terhadap sesuatu menuntut pula untuk
rela menerima segala rentetan persoalan yang muncul dari sesuatu yang telah diterima
itu. Dengan kata lain, rela menerima segala bentuk akibat dan resiko sebagai konsekwensi
penerimaan terhadap sesuatu. Contoh dalam lingkup kaidah ini, ketika seseorang sengaja
membeli barang yang jelas ada cacatnya dengan maksud agar harganya lebih murah, ia
harus bersedia menerima dengan rela segala bentuk keadaan cacat yang terkait dengan
Kemudian contoh lainnya adalah dalam kasus perkawinan, yakni ketika seorang
wanita rela dikawinkan dengan seorang laki-laki miskin, lalu ternyata selama perkawinan
ekonomi rumah tangganya semakin sulit, lalu kondisi demikian dijadikan alasan oleh
wanita itu untuk meminta fasakh nikahnya. Permintaan wanita ini tidak dapat dikabulkan
Qawaidh Fiqhiyyah | 18
karena kemiskinan laki-laki itu yang semakin parah muncul dari kemiskinan yang dahulu
sudah direlakannya.20
Ketentuan kaidah ini berlaku pula pada hal yang menyangkut perbuatan maksiat di
lingkungan masyarakat. Atas dasar hal tersebut, orang yang membolehkan adanya dan
adanya perbuatan maksiat di sekitar tempat tersebut. Dalam kaitan dengan kaidah ini, ada
beberapa pengecualian yang dibolehkan dari ketentuan itu. Apabila sejak semula sudah
disyaratkan terhindar dari akibat, seperti pukulan guru terhadap muridnya, suami terhadap
istrinya atau wali terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya, maka tidak berlaku
9. Kaidah Kesembilan
“Perkataan tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang
Kaidah ini menjelaskan bahwa diamnya seseorang tidak dapat dijadikan acuan
sebagai keputusan dari jawabannya, kecuali terdapat qarinah, tanda-tanda, atau alasan
lain yang menguatkannya. Apabila terdapat tiga hal tersebut, maka diamnya seseorang
dapat dijadikan keputusan atau keterangan atas jawabannya. Sebagai contoh, terdapat
seorang tergugat dan ia ditanya oleh hakim, lalu ia diam saja tidak berkutik. Maka untuk
mendapatkan jawaban atau keputusan diperlukan adanya bukti-bukti lain sebagai penguat
20
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 128.
Qawaidh Fiqhiyyah | 19
atas gugatan sang penggugat. Dalam kasus lain, apabila seorang pemuda meminta izin
kepada wali seorang perempuan, lalu sang wali bertanya apakah si perempuan ini bersedia
untuk dinikahkan dengan pemuda tersebut, lalu si perempuan diam saja tidak memberikan
keputusan maka dapat dikatakan bahwa itu adalah keterangan atas jawaban bahwa
“Sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula"
Dalam bentuk lain dengan maksud yang sama, para ulama mengungkapkan kaidah
Dalam kajian ushul fiqh, wajib ialah suatu perbuatan yang dituntut Syari’ (Allah dan atau
Rasul-Nya) agar dilaksanakan mukallaf dengan tuntutan yang pasti lagi tegas. Misalnya,
perintah membayar zakat harta. Orang yang melakukan perbuatan yang diwajibkan
Menurut jumhur ulama, wajib sinonim dengan istilah fardhu dalam semua masalah,
kecuali dalam haji. Dalam haji, wajib berbeda dengan fardhu. Fardhu dalam haji sama
dengan rukun, apabila tertinggal salah satu dari rukun berimplikasi tidak sah atau batal
ibadah haji tersebut, seperti tertinggal wukuf di Arafah. Sementara, apabila tertinggal
Qawaidh Fiqhiyyah | 20
salah satu dari wajib haji tidak menyebabkan haji batal, hanya diwajibkan membayar
(dam).21
Bagi ulama Hanafiyyah, istilah wajib tidak identik dengan fardhu. Wajib adalah
suatu tuntutan yang mengikat mukallaf, tetapi ditetapkan berdasarkan dalil-dalil zanni
(relatif). Orang yang tidak melaksanakan yang wajib dikenai siksa oleh Allah dan orang
melaksanakan kurban, dan perintah membaca al-Fatihah dalam sholat. Sementara fardhu
menurut kalangan Hanafiyyah adalah suatu perbuatan yang dituntut Syari’ dilakukan
mukallaf dengan didasarkan pada dalil-dalil qath’i. Orang yang tidak melaksanakan
kewajiban ini dikenai siksa dan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Misalnya,
kewajiban sholat fardhu, zakat harta dan membaca al-Qur’an dalam sholat.
merupakan suatu perbuatan yang penting untuk dilakukan muslim sehingga orang yang
dapat dikalahkan oleh ketentuan yang sunat atau ketentuan yang berada di bawahnya.
Sesuatu yang wajib dapat ditinggalkan apabila ada sesuatu yang wajib menghendakinya
untuk ditinggalkan. Penerapan kaidah fiqh ini dapat diamati dari beberapa contoh
berikut:22
a. Wajib bagi orang yang terpaksa memakan bangkai, kalau hal itu tidak dilakukan
21
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 133.
22
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 133.
Qawaidh Fiqhiyyah | 21
b. Kembali dari berdiri pada rakaat ketiga untuk duduk tasyahud awal adalah wajib
karena mengikuti imam, sebab mengikuti imam hukumnya wajib. Ini sesuai dengan
ketentuan bahwa, baik imam maupun makmum tidak boleh meninggalkan yang
Ada sejumlah persoalan yang dikecualikan dari kaidah fiqh di atas, yaitu:23
a. Sujud sahwi dan tilawah hukumnya tidak wajib, tetapi jika tidak disyariatkan tentu
b. Melihat calon wanita yang akan dinikahi memang tidak wajib hukumnya, tetapi jika
c. Mengangkat kedua tangan sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali
pada rakaat kedua pada sholat id ketika takbir memang tidak wajib hukumnya,
apabila tidak disyariatkan tentu perbuatan tersebut dapat membatalkan sholat id.
d. Membunuh ular yang membahayakan ketika sholat tidak wajib, tetapi bila tidak
Inilah beberapa pengecualian dari ketentuan kaidah fiqh di atas, dimana dalam
23
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 107.
Qawaidh Fiqhiyyah | 22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
asasiyyah berarti kaidah-kaidah fiqih yang bukan kaidah pokok (asasiyyah) yang sudah
diuraikan sebelumnya. Ruang lingkup dan cakupan kaidah-kaidah umum itu luas, berlaku
dalam berbagai cabang hukum fiqih. Diantaranya dalam muamalah, peradilan, jinayah
dan hukum keluarga. Kaidah fikih umum memiliki pengertian kaidah-kaidah umum yang
Para ulama sering menyebut kaidah ini dengan kaidah makro, kaidah fiqhiyyah al-amm
atau kaidah fiqhiyyah al-kulliyah Kaidah fikih al ammah ini termasuk ke dalam klasifikasi
Qawaidh Fiqhiyyah | 23
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. Al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh.
Beirut: Dar al-Fikr, 1322 H.
Al-Suyuthi, Jala al-Din ‘Abd al-Rahman. al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2. Beirut:
Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 1996.
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqiyah Muamalah. Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015.
Darmawan. Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah. Surabaya: Revka Prima Media, 2020.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta:Prenada Group, 2006.
Firdaus. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh.
Padang: Imam Bonjol Press, 2015.
Ibrahim, Duski. ‘Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah’ (Kaidah-Kaidah Fikih). Palembang: CV
Amanah, 2019.
Toha, Andiko. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Yogyakarta: Teras, 2001.
Wakil, Muhammad ibn ‘Umar Sadr al-Din ibn. al-Ashbah wa al-Nazair, ed. Dr. Adil Ibn
Abd. Allah al-Thuwayk. Saudi Arabia: al-Rushd, 1997.
Zarqa’, Musthafâ Ahmad. al-Madkhal al-Fiqhi al-Aam, Jilid 2. Damaskus: Dar al-Fikr,
1968.
Qawaidh Fiqhiyyah | 24