Kurniawan Fadil Adha-Fst

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 77

UJI TOKSISITAS KRONIS FORMULA EKSTRAK

DAUN SALAM (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)


TERHADAP GAMBARAN HATI TIKUS PUTIH SPRAGUE
DAWLEY

KURNIAWAN FADIL ADHA

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1444 H
LY
ABSTRAK
Kurniawan Fadil Adha. Uji toksisitas kronis formula ekstrak daun salam
(syzygium polyanthum (wight) walp.) terhadap gambaran hati tikus putih Sprague
Dawley. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2023. Dibimbing oleh Narti
Fitriana dan Kurnia Agustini.

Daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) merupakan tanaman obat herbal
yang diketahui memiliki aktivitas antikolesterol. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
toksisitas kronis formula ekstrak daun salam terhadap gambaran hati menggunakan
tikus putih galur Sprague Dawley jantan dan betina. Metode penelitian yang digunakan
adalah eksperimen dengan Rancangan Acak lengkap, perlakuan berupa dosis.
Kelompok terdiri dari kontrol yang diberikan larutan pembawa Carboxymethyl
Cellulose Sodium (CMC Na) 0,5%, kelompok perlakuan diberi formula ekstrak dosis
400, 700 dan 1.000 mg/Kg BB. Pemberian formula ekstrak dilakukan secara oral setiap
hari selama 9 bulan. Parameter pengujian terdiri dari uji standarisasi formulasi ekstrak,
pengukuran berat badan, bobot organ relatif, dan diameter vena sentralis hati. Hasil uji
menunjukkan bahwa formula ekstrak secara kualitatif terbukti mengandung flavonoid,
fenol, saponin dan alkaloid. Ekstrak formula daun salam memiliki bentuk kental,
berwarna coklat kekuningan, dengan rasa pahit dan asam. Hasil pengukuran berat
organ relatif tikus jantan menunjukkan adanya penambahan signifikan (p<0,05) antara
kelompok kontrol dan perlakuan. Analisis lanjutan histologi hati menunjukkan adanya
perbedaan signifikan pelebaran diameter vena sentralis hati tikus jantan pada dosis
1.000 mg/Kg BB sedangkan pada tikus betina tidak ada perbedaan secara signifikan
P>0,05) baik berat organ relatif dan juga diameter vena sentralis. Penggunaan dosis
terapi 400 mg/Kg BB menunjukkan efek farmakologis dan tidak ada perubahan
struktur pada hati tikus putih jantan dan betina penggunaan jangka Panjang
Kata kunci: Daun salam (Syzygium polyanthum); obat herbal; uji toksisitas kronis; vena
sentralis hati

v
ABSTRACT
Kurniawan Fadil Adha. Chronic Toxicity Test of Bay Leaf Extract (Syzygium
polyanthum (Wight) Walp.) on the Liver Profile of Sprague Dawley Rats.
Undergraduate Thesis. Biology Study Program. Faculty of Science and
Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2023.
Supervised by Narti Fitriana and Kurnia Agustini.

ay Leaf (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) is a herbal medicinal plant known for
its anti-cholesterol activity. This study aims to examine the chronic toxicity of a
formulated bay leaf extract on liver histology using 40 male and 40 female Sprague
Dawley white rats. The research method used was an experimental study with a
Randomized Block Design, where the treatments were different doses of the extract.
The rats were divided into 2 groups. Each group consisted of a control group receiving
0,5% Carboxymethyl Cellulose Sodium (CMC Na) carrier solution, and a treatment
group receiving the formulated extract at doses of 400, 700, and 1,000 mg/kg body
weight. The extract formula was done orally every day for 9 months. The testing
parameters included extract formulation standardization, body weight measurement,
relative organ weight, and central vein diameter of the liver. The results of the analysis
showed that the extracted formula qualitatively contained flavonoids, phenols,
saponins, and alkaloids. The measurement of relative organ weight in male rats showed
a significant increase (p<0,05) between the control group and the treatment groups.
Further histological analysis of the liver showed a significant increase in the central
vein diameter in male rats at the highest dose of 1.000 mg/kg body weight, while in
female rats, there was no significant difference (p>0,05) in both relative organ weight
and central vein diameter. The use of a therapeutic dose of 400 mg/kg body weight
showed pharmacological effects and no structural changes in the liver of male and
female white rats with long-term use.
Keywords: Bay Leaf (Syzygium polyanthum); chronic toxicity testing; central vein of
the liver; herbal medicine.

vi
KATA PENGATAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi yang berjudul "Uji toksisitas kronis formula ekstrak daun salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) terhadap gambaran hati tikus putih Sprague
Dawley" merupakan hasil dari perjuangan dan kerja keras selama proses penelitian
yang telah penulis lakukan.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan dorongan selama penulisan
skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:

1. Husni Teja Sukmana, S.T, M.Sc, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2. Dr. Agus Salim, S.Ag., M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada
penulis
3. Narti Fitriana, M.Si selaku pembimbing II yang telah membimbing,
mengingatkan dan berusaha selalu hingga akhir sampai penulisa bisa
menyelesaikan penulisan skripisi ini
4. Dr. Kurnia Agustini, MSi, Apt. selaku Pembina laboratorium dan pembimbing
II yang telah mengizinkan dan membimbing penulis dalam penelitian hingga
penilisan skripsi ini
5. Dr Sri Ningsih, M.Si Apt selaku Pembina laboratorium yang telah membantu
dalam kegiatan dan memberikan saran dalam kegiatan penelitian skripsi ini
6. Idah Rosidah, M.Farm, Apt, sekalu Pembina lanoratorium yang telah
membantu dan memberikan saran dalam kegiatan penelitian skripsi ini
7. Staf laboratorium, yang telah menjadi guru dan mentor serta membimbing
dalam proses pengerjaan skripsi ini.
8. Kedua orang tua dan adik penulis yang selalu memberikan semangat dan
dorongan selalu kepada penulis.
9. Teman-teman biologi 2016 yang selalu memotivasi penulisa hingga akhirnya
selesai dalam penulisan skripsi ini.

vii
Skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Meskipun masih terdapat keterbatasan dan kekurangan dalam
penelitian ini, kami berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan
manfaat yang positif dalam bidang ilmu biologi dan kesehatan. Akhir kata, kami
berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan
yang berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini dapat menjadi
langkah awal yang baik bagi kami dalam mengembangkan pengetahuan dan keilmuan
di masa depan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Jakarta, Juli 2023

Penulis

viii
DAFTAR ISI

haliman
PENGESAHAN UJIAN ............................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGATAR .................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3
1.3. Hipotesis ................................................................................................................... 3
1.4. Tujuan ....................................................................................................................... 3
1.5. Manfaat ..................................................................................................................... 3
1.6. Kerangka Berfikir ..................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 5
2.1. Kolesterol .................................................................................................................. 5
2.2. Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) ................................................ 7
2.3. Uji Toksisitas .......................................................................................................... 12
2.4. Struktur Anatomi dan Fisiologi Hati ....................................................................... 15
2.5. Tikus putih .............................................................................................................. 18
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 21
3.1. Waktu dan Tempat .................................................................................................. 21
3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................................ 21
3.3. Metode Penelitian ................................................................................................... 22
3.4. Cara Kerja ............................................................................................................... 22
3.5 Analisis Data ........................................................................................................... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 30
4.1 Uji Standarisasi Formula Ekstrak yang Mengandung Daun Salam .............................. 30
4.2. Pengukuran Berat Badan.............................................................................................. 35
4.3. Perhitungan Bobot Organ Relatif (BOR) Hati ............................................................. 38
4.4. Pengamatan Mikroskopis Hati ..................................................................................... 41
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... 48
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 48
5.2 Saran ......................................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 49
LAMPIRAN ............................................................................................................... 53

ix
DAFTAR GAMBAR

halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir ...................................................................................... 4
Gambar 2. Morfologi tanaman salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.). .......... 8
Gambar 3. Gambaran mikroskopik hati normal ........................................................ 15
Gambar 4. Gambaran histologi hati tikus. ................................................................. 16
Gambar 5. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (Akbar, 2010) .. 19
Gambar 6. Formula ekstrak daun salam .................................................................... 31
Gambar 7. Rata-rata berat badan tikus jantan selama 9 bulan................................... 35
Gambar 8. Rata-rata berat badan tikus betina selama 9 bulan................................... 36
Gambar 9. Hasil pengamatan makroskopik organ hati tikus jantan ......................... 39
Gambar 10. Hasil pengamatan makroskopik organ hati tikus betina ........................ 39
Gambar 11. Rata-rata Bobot Organ Relatif (BOR) ................................................... 40
Gambar 12. Histologi tikus jantan ............................................................................. 42
Gambar 13. Histologi tikus betina ............................................................................. 43
Gambar 14. Rata-rata pengukuran diameter pada hati tikus .................................... 44

x
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1. Pengelompokan hewan uji ........................................................................... 26
Tabel 2. Hasil uji parameter spesifik formula ekstrak daun salam............................. 30
Tabel 3. Hasil uji parameter nonspesifik formula ekstrak daun salam....................... 31
Tabel 4. Hasil uji penapisan fitokimia formula ekstrak daun salam .......................... 34

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical clearance Uji Tokisitas Kronis ................................................. 53


Lampiran 2. Perhitungan dalam pembuatan suspensi sampel pengujian .................. 54
Lampiran 3. Rata- rata berat badan tikus jantan dan betina selama 37 minggu ........ 55
Lampiran 4. Hasil analisis statistik terhadap berat badan tikus putih ....................... 56
Lampiran 5. Hasil analisis statistik berat organ relatif hati tikus jantan ................... 58
Lampiran 6. Hasil analisis statistik berat organ relatif tikus betina .......................... 61
Lampiran 7. Data berat organ relatife tikus putih jantan dan betina ......................... 62
Lampiran 8. Data Rata rata diameter vena sentralis hati ........................................... 64
Lampiran 9. Hasil analisis statistik diameter vena sentralis hati tikus jantan ........... 65
Lampiran 10. Hasil analisis statistik diameter vena sentralis hati tikus betina ........ 66
Lampiran 11. Dokumentasi kandang hewan perlakuan. ........................................... 67

xii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian umum nomor satu di dunia.


Berdasarkan data World Health Organization (2012), jumlah kematian akibat
kardiovaskular sejumlah 17,5 juta orang atau sekitar 31% dari 56,6 juta kematian di
seluruh dunia. Kematian akibat Penyakit Jantung Koroner (PJK) sejumlah 7,4 juta dan
6,7 juta disebabkan oleh stroke. Angka kematian akibat penyakit kardiovaskular
diprediksi akan terus meningkat dari tahun ke tahun dan diperkirakan pada tahun 2030
akan mencapai 23,3 juta kematian.

Penelitian mengenai risiko terjadinya aterosklerosis mendapatkan hasil bahwa


penyebab PJK meningkat akibat pengaruh kadar kolesterol total yang melebihi batas
normal di dalam darah (Yoeantafara & Martini, 2017). Pada tahun 2006 para dokter di
Amerika meneliti data dari ribuan wanita dan menemukan bahwa semakin tinggi kadar
kolesterol pada wanita berusia sekitar 43,5±6 tahun, semakin rentan dirinya mengalami
hipertensi. Sebaliknya, pada wanita dengan jumlah High Density Lipoprotein (HDL)
tinggi, resiko hipertensi lebih rendah (Nikolov et al., 2015).

Penurunan kadar kolesterol dapat dilakukan dengan diet, olahraga maupun dengan
menggunakan obat-obatan hipolipidemia golongan statin seperti simvastatin.
Berdasarkan perusahan pembuatan obat di Inggris (2010), statin memiliki beberapa
efek samping jika dikonsumsi jangka panjang, diantaranya miopati, rhabdomyolisis
dan hepatotoksisitas. Kontra indikasi simvastatin adalah bila terdapat alergi
simvastatin, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, konsumsi alkohol tinggi,
kehamilan dan ibu menyusui. Akibatnya, pengobatan hiperkolesterolemia dengan
simvastatin terkadang harus dihentikan untuk mengurangi efek samping. Hal ini
memicu banyaknya penggunaan herbal sebagai penurun kolesterol.

1
2

Penggunaan obat-obat tradisional yang berasal dari alam sudah banyak dilakukan
masyarakat Indonesia. Salah satu tanaman obat yang mulai diteliti saat ini adalah
tumbuhan dari genus Syzygium. Daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)
merupakan tanaman obat herbal yang dikenal masyarakat Indonesia sebagai bumbu
masakan tradisonal. Daun salam memiliki khasiat yang besar dalam dunia kesehatan.
Tumbuhan herbal ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pencegahan terjadinya
dislipidemia, antioksidan, antiinflamasi, antidiabetes, antidiare, dan antihipertensi
(BPOM, 2006).

Kandungan kimia yang terdapat dalam daun salam adalah saponin, triterpenoid,
flavonoid, polifenol, alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang terdiri dari sesquiterpen,
lakton dan fenol (Giri, 2008). Daun salam juga mengandung selenium, vitamin A,
vitamin C, dan vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan (Kuswara, 2015).
Kandungan daun salam yang mampu menurunkan kadar kolesterol darah adalah
flavonoid, tanin, saponin, dan niacin (Peluso, 2006; Sumiwi et al., 2019).

Masyarakat beranggapan bahwa obat-obatan yang berasal dari alam memiliki efek
samping lebih rendah dibandingkan dengan obat-obatan kimia (sintetik). Anggapan ini
sebenarnya belum tentu benar karena obat herbal pun dapat berdampak tidak baik bagi
tubuh jika penggunaannya tidak tepat baik dari segi bahan, dosis, waktu, maupun cara
mengonsumsinya. Kajian untuk menyatakan bahwa obat herbal tertentu aman
dikonsumsi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sangat perlu dilakukan
sebelum obat tersebut dapat digunakan secara luas oleh masyarakat.

Meskipun berbagai penelitian telah mengujikan bahwa ekstrak daun salam


memiliki berbagai khasiat untuk kesehatan, hingga saat ini laporan mengenai
keamanannya baru sebatas studi toksisitas akut dan subkronik saja. Berdasarkan uji
toksisitas akut, ekstrak daun salam memiliki nilai Lethal Dose 50 (LD50) lebih dari
8100 mg/KgBB mencit dan tergolong tidak toksik pada paparan akut (Muhtadi et al.,
3

2011). Nilai Lowest Observed Adverse Effect Level (LAOEL) ektrak daun salam
sebesar 1000mg/KgBB (Sumiwi et al., 2019).

Ekstrak daun salam telah diketahui memiliki aktivitas antikolesterol pada dosis
efektifnya. Akan tetapi, toksisitas kronis ekstrak daun salam pada dosis tersebut, dalam
hal ini adanya efek toksik pada fungsi hati akibat pemberian ekstrak tersebut belum
diketahui. Informasi ini tentu belum cukup untuk menjamin ekstrak tersebut tidak
berbahaya dan tidak memiliki efek merugikan bagi tubuh, apalagi dalam penggunaan
jangka panjang. Oleh karena itu evaluasi keamanan terhadap ekstrak daun salam perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut.

1.2. Rumusan Masalah


Terkait dengan latar belakang di atas, masalah yang muncul dalam penelitian ini
adalah apakah formula ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)
memiliki toksisitas kronis terhadap gambaran hati tikus putih Sprague Dawley?
1.3. Hipotesis
Hipotesis peneliti bahwa terdapat toksisitas kronis formula ekstrak daun salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) terhadap gambaran hati tikus putih Sprague
Dawley.
1.4. Tujuan
Untuk mengetahui toksisitas kronis formula ekstrak daun salam (Syzygium
polyanthum (Wight) Walp.) terhadap gambaran hati tikus putih Sprague Dawley.
1.5. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keamanan dosis
formula ekstrak daun salam penggunaan jangka panjang kepada instansi kesehatan dan
juga balai penelitian kesehatan.
4

1.6. Kerangka Berfikir

Uji keamanan formula


Gambaran umum Perkenalan alternatif
ekstrak daun salam (uji
tentang efek penggunaan pengobatan herbal dengan
toksitas kronis terhadap
obat kimia antikolesterol formula ekstrak daun salam
fungsi hati) dalam
jangka panjang. (Syzygium polyanthum).
penggunaan jangka panjang

parameter yang diamati


Di uji coba pada hewan tikus
analisis parameter uji BB, Berat organ relatif ,
putih
dan histologi hati

Efek toksisitas kronis formula


ekstrak daun salam (syzygium
polyanthum (wight) walp.)
terhadap fungsi hati tikus putih

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian uji toksisitas kronik formula ekstrak daun
salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) terhadap fungsi hati tikus
putih Sprague Dawley
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kolesterol
Kolesterol adalah salah satu komponen lemak, selain trigliserida, fosfolipid, dan
asam lemak bebas. Sebagaimana zat gizi yang lain, lemak juga sangat berguna bagi
tubuh. Menurut dr John Gullota, ketua American Medical Association (AMA)
Therapeutics Committee, sebagaimana dikutip ‟Good Health & Medicine‟, kolesterol
berfungsi membentuk dinding sel (membran sel) dalam tubuh. Selain itu juga berperan
penting dalam produksi hormon seks, vitamin D, serta untuk fungsi otak dan saraf.
Manusia rata-rata membutuhkan 1.100 mg kolesterol per hari untuk memelihara
membran sel dan fungsi fisiologis lain (Astawan & Leomitro, 2009)

Kolesterol terdapat hampir di seluruh sel pada hewan dan manusia. Pada tubuh
manusia kolesterol terdapat dalam darah, empedu, hati, kelenjar adrenal bagian luar
(adrenal cortex) dan jaringan saraf. Salah satu contoh kolesterol adalah empedu.
Apabila terdapat kolesterol yang berkonsentrasi tinggi pada empedu, kolesterol akan
mengkristal dalam bentuk krista yang tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau,
yang mempunyai titik lebur 150-151oC. Adapun endapan kolesterol yang terjadi di
dalam pembuluh darah, maka dapat menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah
karena dinding pembuluh darah menjadi tebal dan mengakibatkan berkurangnya
elastisitas dan kelenturan pembuluh darah (Poedjjiadi & FMT, 2006).

Menurut Poedjiadi (2006), terjadinya penyempitan pembuluh darah dan


berkurangnya kelenturan pembuluh darah, mengakibatkan jantung bekerja lebih keras
dalam memompa darah, sebagai bentuk reaksi hemeostasis. Kolesterol yang terdapat
dalam tubuh manusia berasal dari dua sumber utama, yaitu dari makanan yang
dikonsumsi dan dari pembentukan oleh hati. Kolesterol yang berasal dari makanan
terdapat pada daging, unggas, ikan, dan produk olahan susu. Jeroan daging seperti hati

5
6

memiliki kandungan kolesterol yang tinggi, sedangkan makanan yang berasal dari
tumbuhan justru tidak mengandung kolesterol sama sekali (Poedjjiadi & FMT, 2006).

Konsep asupan makanan diperlukan keseimbangan untuk mempertahankan


suatu keadaan yang fisiologis pada sistem metabolisme untuk mencapai kondisi tubuh
yang sehat. Adanya perubahan pola konsumsi makanan yang banyak mengandung
lemak jenuh dan kolesterol merupakan pemicu terjadinya ketidakseimbangan sistem
metabolisme. Hiperkolesterolemia merupakan salah satu contoh ketidakseimbangan
sistem metabolisme yang akhirnya dapat mengganggu kesehatan. Perubahan ini
tentunya tidak akan secara langsung menimbulkan gejala yang nyata akan tetapi dapat
menyebabkan munculnya penyakit degeneratif yang mungkin membutuhkan waktu
yang lama sampai menimbulkan gejala yang nyata (Fatmawati et al., 2012).

Proses ekskresi kolesterol diproses didalam tubuh. Sekitar setengah dari


kolesterol yang dikeluarkan dari tubuh dieskresikan dalam bentuk feses setelah diubah
menjadi garam empedu. Sebagian besar kolesterol yang disekresi dalam empedu
diserap kembali, dan dianggap bahwa kolesterol yang berperan sebagai substrat untuk
sterol feses berasal dari mukosa usus. Koprostanol adalah sterol utama dalam feses,
dibentuk dari kolesterol dalam usus bagian bawah oleh bakteri yang ada di sana
(Fadhilah et al., 2015).

Sebagian besar ekskresi garam-garam empedu dalam empedu diserap kembali


ke dalam sirkulasi vena porta, diambil oleh hati, dan diekskresi kembali ke dalam
empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai siklus enterohepatik. Garam-garam empedu yang
tidak diserap kembali, atau derivat-derivatnya, diekskresi dalam feses. Garam-garam
empedu mengalami perubahan yang dilakukan oleh bakteri usus. Kecepatan
pembentukan asam-asam empedu dari kolesterol dalam hati menurun oleh infus garam-
garam empedu, ini menunjukkan adanya mekanisme pengaturan umpan balik lainnya
dirintis oleh hasil suatu reaksi (Fadhilah et al., 2015).
7

Kolesterol yang berasal dari makanan berupa kolesterol bebas dan kolesterol
ester. Kolesterol ester dihidrolisis oleh kolesterol esterase menjadi kolesterol yang
berada dalam usus. Kolesterol diabsorpsi dari usus dan dimasukkan ke dalam
kilomikron yang dibentuk di dalam mukosa, yang kemudian diangkut menuju hati. Dari
hati, kolesterol dibawa oleh VLDL (Very Low-Density Lipoproteins) untuk membentuk
LDL (Low Density Lipoproteins) melalui perantara IDL (Intermediate Density
Lipoprotein). LDL akan membawa kolesterol ke seluruh tubuh, tetapi dalam keadaan
kadar kolesterol berlebih dalam darah, akan mempergunakan HDL dalam darah untuk
mengangkut kelebihan kolesterol menuju ke hati agar terjadi metabolisme kembali dan
bisa disebarkan keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Setelah makan, kolesterol
akan diserap oleh usus halus untuk selanjutnya masuk ke sirkulasi darah dan disimpan
dalam suatu mantel protein. Mantel protein-kolesterol ini kemudian dikenal dengan
nama kilomikron (Poedjjiadi & FMT, 2006).

2.2.Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)

Tanaman salam secara ilmiah mempunyai nama latin Eugenia polyantha Wight
dan memiliki nama ilmiah lain, yaitu Syzygium polyanthum Wight. dan Eugenia
lucidula Miq. Tanaman ini termasuk suku Myrtaceae. Di beberapa daerah Indonesia,
daun salam dikenal sebagai salam (Jawa, Madura, Sunda); gowok (Sunda); kastolam
(kangean, Sumenep); manting (Jawa), dan meselengan (Sumatera). Nama yang sering
digunakan dari daun salam, di antaranya ubar serai, (Malaysia); Indonesian bay leaf,
Indonesian laurel, Indian bay leaf (Inggris); Salamblatt (Jerman) (Utami &
Puspaningtyas, 2013). Berdasarkan falsafah Jawa tanaman salam yang ditanam
mempunyai makna yang tersirat, yang dapat diambil filosofinya oleh masyarakat untuk
diterapkan dalam kehidupan, pohon salam bermakna keselamatan. Tujuan hidup
manusia adalah untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di alam akhirat nanti.
8

A B C

D E
124 cm

Gambar 2. Morfologi tanaman salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.). A.


Perawakan dengan bagian batang hingga daun; B. Daun; C. Bunga; D.
Buah mentah; E. Buah matang (Ismail & Ahmad, 2019)
Daun salam mengandung zat bahan warna, zat samak dan minyak atsiri yang
bersifat antibakteri. Zat tanin yang terkandung bersifat menciutkan (astringent).
Manfaat daun secara tradisional digunakan sebagai obat sakit perut. Daun salam juga
dapat digunakan untuk menghentikan buang air besar yang berlebihan. Pohon salam
bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat, stroke, kolesterol tinggi,
melancarkan peredaran darah, radang lambung, gatal- gatal, dan kencing manis
(Kloppenburg-Vesteegh, 1983).

2.2.1. Kandungan kimia daun salam

Tanaman salam mempunyai kandungan kimia minyak atsiri 0,2% (sitral,


eugenol), flavonoid (katekin dan rutin), tannin dan metil kavicol (methyl chavicol)
yang dikenal juga sebagai estragole atau p-allylanisole Senyawa tersebut mempunyai
aktivitas sebagai antioksidan. Tanin dan flavonoid merupakan bahan aktif yang
mempunyai efek antiinflamasi dan antimikroba (Adjirni, 1999; Agus & Agustin, 2009;
Lelono & Tachibana, 2013). Minyak atsiri secara umum mempunyai efek sebagai
antimikroba, analgesik, dan meningkatkan kemampuan fagosit. Minyak atsiri daun
9

salam terdiri dari fenol sederhana, asam fenolat misal asam galat, seskuiterpenoid, dan
lakton. Juga mengandung saponin, lemak, dan karbohidrat.

Daun salam mengandung tanin, minyak atsiri, seskuiterpen, triterpenoid,


steroid, sitral, saponin, dan karbohidrat (Moeloek, 2006). Daun salam juga
mengandung beberapa vitamin, di antaranya vitamin C, vitamin A, vitamin E, thiamin,
riboflavin, niacin, vitamin B6, vitamin B12, dan folat. Beberapa mineral pada daun
salam yaitu selenium, kalsium, magnesium, seng, sodium, potassium, besi, dan
phosphor (Sembiring et al., 2003; Wartini, 2009). Selanjutnya Wartini (2009), ekstrak
flavor daun salam mengandung senyawa utama terdiri dari cis-4-dekenal (27,12%),
oktanal (11,98%), a-pinen (9,09%), farnesol (8,84%), ß-osimen (7,62%), dan nonanal
(7,60%).

Dengan berbagai kandungan zat yang terdapat pada tanaman salam, diharapkan
tanaman ini di samping sebagai penyedap alami pada masakan dapat juga berfungsi
menurunkan kadar kolesterol yang tinggi, dengan mekanisme kerja yaitu, merangsang
sekresi cairan empedu sehingga kolesterol akan keluar bersama cairan empedu menuju
usus, dan merangsang sirkulasi darah sehingga mengurangi terjadinya pengendapan
lemak pada pembuluh darah. Selain daun yang dapat dimanfaatkan untuk masakan dan
obat herbal, oleh (Manganti, 2011) dijelaskan bahwa kulit pohon salam berwarna
cokelat muda keabu-abuan, biasa digunakan oleh nelayan sebagai pewarna jala ikan
atau juga untuk pewarna anyaman bambu. Bunga salam kecil, berwarna putih
kecoklatan, tumbuh pada malai di ujung ranting. Buah salam berupa beri, bentuk,
karakter, dan warnanya mirip buah jamblang (Eugenia cuminii) tetapi ukurannya lebih
kecil sekitar 0,6 cm dengan panjang 1cm. Buah salam sangat disukai burung, hingga
hal ini dimanfaatkan Dinas Pertamanan DKI Jakarta sebagai elemen taman agar burung
pemakan buah mau tinggal menetap di taman tersebut. Buah salam bisa dikonsumsi
dan enak dimakan, karena daging buahnya sangat tipis maka tidak pernah
dimanfaatkan secara ekonomis. Buah yang sudah tua yang tidak dimakan oleh burung
akan berjatuhan di bawah tajuk, biasanya buah ini dikumpulkan dan disemai (Foragri,
10

2012). Dari uraian tersebut tanaman salam dapat ditegaskan sebagai tanaman multi
fungsi.

2.2.2. Sifat Kimia dan Efek Farmakologis

Daun salam mempunyai rasa kelat, wangi, dan bersifat astringent. Untuk
pengobatan, bagian daun yang paling banyak digunakan. Bagian tanaman lain yang
digunakan sebagai obat adalah akar, buah, dan kulit batang. Pengobatan secara
tradisional menggunakan daun salam untuk mengobati kolesterol tinggi, kencing
manis, hipertensi, gastritis, dan diare (Harismah & Chusniatun, 2016). Mekanisme
toksisitas fenol pada mikroorganisme meliputi inhibitor enzim oleh senyawa yang
teroksidasi, kemungkinan melalui reaksi dengan grup sufhidril atau melalui interaksi
non spesifik dengan protein. Adapun mekanisme sekuisi terpenoid yang terdapat dalam
minyak atsiri dispekulasi terlibat dalam kerusakan membrane sel kuman oleh senyawa
lipofilik (Heni et al., 2015).

Flavonoid adalah senyawa polifenol dengan struktur kimianya terdiri dari


flavonol, flavon, flavanon, isoflavon, katekin, antosianidin dan kalkon. Flavonoid
bermanfaat sebagai antiviral, antialergik, antiplatelat, antiinflamasi, anti umor dan
antioksidan sebagai sistem pertahanan tubuh. Flavonoid diketahui telah disintesis oleh
tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba.

2.2.3. Manfaat Daun Salam untuk Kesehatan

Tanaman salam dikenal sebagai salah satu tanaman yang sering dimanfaatkan
masyarakat untuk pengobatan alternatif. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
oleh Dorlan (2002) Boyer dan Liu (2004), Hardhani (2008), Pidrayanti (2008), dan
Muhtadi (2010) dapat ditunjukkan tentang berbagai manfaat dari daun salam.

Manfaat dari daun salam mengurangi dislipidemia, khususnya hipertrigliseridemia


(Hardhani, 2008). Pemberian ekstrak daun salam pada tikus putih jantan galur Wistar
hiperlipidemia dengan dosis bertingkat yang diperoleh dari daun salam segar sebesar
11

0,18-gram, 0,36 gram, dan 0,72-gram setiap hari selama 15 hari, dapat menurunkan
kadar trigliserida serum tikus tersebut, dengan penurunan paling besar pada pemberian
dosis 0,72-gram daun salam segar. Adanya penurunan kadar trigliserida setelah
pemberian ekstrak daun salam membuktikan bahwa terdapat senyawa-senyawa aktif
dalam daun salam yang mampu menurunkan kadar trigliserida serum. Hanya dalam
kurun waktu yang singkat yaitu selama 15 hari, pada dosis 0,72 gam/hari didapatkan
rata-rata kadar trigliserida yang lebih rendah dari kadar trigliserida hewan uji pada awal
masa adaptasi (pengambilan darah hari ke-0). Senyawa-senyawa yang diduga mampu
menurunkan kadar nitrigliserida tersebut adalah niasin, serat, tannin, dan vitamin C.
Mekanisme kerja tannin yaitu bereaksi dengan protein mukosa dan sel epitel usus
sehingga menghambat penyerapan lemak (Dorland, 2002). Berdasarkan hal tersebut
maka daun salam berpotensi dipakai sebagai bahan obat untuk menurunkan kadar
trigliserida pada manusia.

Menurunkan kadar LDL Pemberian diet ekstrak daun salam peroral pada tikus
wistar hiperlipidemia dengan dosis 0,18 g daun salam segar/hari; 0,36 g daun salam
segar/hari; 0,72 g daun salam segar/ hari selama 15 hari dapat menurunkan kadar LDL
kolesterol serum tikus secara bermakna (p<0,05). Semakin tinggi dosis yang diberikan
semakin tinggi penurunan kadar LDL kolesterol serum tikus (Pidrayanti, 2003). Daun
salam dapat menurunkan kadar LDL kolesterol serum secara bermakna sesuai dengan
peningkatan dosis yang diberikan karena daun salam mengandung senyawa aktif
seperti quercetin yang terkandung dalam flavonoid selain sifatnya sebagai antioksidan,
dapat menghambat sekresi dari Apo-B100 ke intestinum, sehingga jumlah Apo B akan
mengalami penurunan. Apo-B merupakan pembentuk VLDL dan LDL. Berdasarkan
surveI yang dilakukan terhadap 40.000 wanita dewasa di Amerika Serikat, didapatkan
bahwa wanita yang mengkonsumsi makanan dengan kandungan flavonoid, 35% di
antaranya terbebas dari penyakit-penyakit kardiovaskuler. Kandungan quercetin yang
tinggi dalam suatu makanan dapat memodulasi aktivitas dari platelet untuk mencegah
timbulnya penyakit kardiovaskuler (Nikolov et al., 2015).
12

Tanaman salam selain juga dimanfaatkan sebagai bumbun masakan juga memiliki
efek farmakologis karena memiliki kadungan senyawa aktif yang memiliki potensi
sebagai obat. Allah SWT berfirman pada surat Luqman (31) ayat ke 10

Artinya: “Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis
binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya
segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”
Manusia sebagai makhluk yang diberkahi dengan akal oleh Allah SWT memiliki
tanggung jawab untuk mempelajari, meneliti, dan memahami berbagai jenis tumbuhan
yang telah diciptakan-Nya di bumi ini. Tumbuhan yang telah diciptakan-Nya memiliki

nilai dan manfaat yang tidak sia-sia. Istilah “zaujing karīm” mengacu pada
tumbuhan yang baik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang subur, keindahan visual,
beragam jenisnya, dan mampu memberikan nutrisi bagi manusia dan hewan. Selain itu,
tumbuhan yang baik juga memiliki khasiat sebagai obat, karena mengandung senyawa
aktif yang bermanfaat. Dengan memahami dan menghargai tumbuhan yang baik ini,
manusia dapat mengambil manfaat dari sumber daya alam yang telah Allah SWT
berikan (Ar Rifai, 2000).

2.3.Uji Toksisitas

Uji toksisitas Uji toksisitas merupakan suatu metode awal yang digunakan untuk
mempelajari aktivitas farmakologi suatu senyawa. Prinsip dasar dari uji toksisitas
adalah bahwa komponen bioaktif cenderung memiliki sifat toksik ketika diberikan
dalam dosis tinggi, namun dapat memiliki efek obat ketika diberikan dalam dosis
rendah (Fadli, 2015). Dalam ilmu kimia, toksisitas merujuk pada kerusakan yang
13

diakibatkan oleh berbagai jenis aksi kimia, seperti asam kuat atau alkalis. Ketika zat-
zat tersebut bersentuhan langsung dengan mata, kulit, atau saluran pencernaan, mereka
dapat menyebabkan kerusakan jaringan bahkan kematian pada sel-sel.

Uji toksisitas dilakukan dengan menggunakan hewan sebagai model untuk


mengobservasi reaksi biokimia, fisiologi, dan patologi yang mungkin terjadi pada
manusia terkait dengan suatu agen atau sediaan yang diuji. Terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi hasil dari uji toksisitas secara in vivo, antara lain pemilihan
spesies hewan uji, galur hewan yang digunakan, jumlah hewan yang terlibat dalam
pengujian, metode pemberian sediaan uji, dosis yang digunakan, efek samping yang
mungkin timbul, serta teknik dan prosedur pengujian yang digunakan, termasuk
perawatan dan penanganan hewan uji selama percobaan. Secara umum, uji toksisitas
meliputi uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis (BPOM
RI, 2014a).

Uji toksisitas akut dirancang untuk memberikan gambaran kasar mengenai dosis
median yang mematikan (LD50) dari suatu bahan toksik. LD50 adalah ukuran statistik
yang menunjukkan dosis tunggal suatu bahan yang dapat menyebabkan kematian pada
50% hewan uji yang diberi dosis tersebut. Setelah pemberian dosis tunggal, dilakukan
pengamatan intensif, cermat, dan berulang dalam jangka waktu tertentu, biasanya
antara 7 hingga 14 hari, atau bahkan lebih lama tergantung pada pemulihan gejala
toksik. Pengamatan pada uji toksisitas akut meliputi perubahan gejala klinis, seperti
perubahan nafsu makan, perubahan berat badan, kondisi mata dan bulu, serta tingkah
laku hewan. Jumlah hewan yang mati juga dicatat dalam pengujian ini (Fadli, 2015).

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian yang dilakukan untuk


mengidentifikasi efek toksik yang terjadi setelah pemberian dosis berulang sediaan uji
secara oral pada hewan uji selama periode waktu tertentu, namun tidak melebihi 10%
umur total hewan (BPOM RI, 2014a).
14

Prinsip uji toksisitas subkronik secara oral melibatkan pemberian sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis setiap hari kepada kelompok hewan uji selama periode waktu
sekitar 28 atau 90 hari. Selama periode pemberian sediaan uji, hewan tersebut diamati
secara harian untuk mendeteksi adanya tanda-tanda toksisitas. Apabila ada hewan yang
meninggal selama periode pemberian sediaan uji sebelum mencapai periode rigor
mortis (keadaan kaku tubuh), maka hewan tersebut segera diotopsi untuk melakukan
pemeriksaan makropatologi dan histopatologi organ dan jaringan. Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup akan diotopsi dan dilakukan
pemeriksaan makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu, dilakukan pula
pemeriksaan histopatologi untuk melihat perubahan pada tingkat mikroskopis. (BPOM
RI, 2014a).

Tujuan utama dari uji toksisitas subkronik adalah untuk menentukan dosis tertinggi
yang dapat diberikan tanpa menimbulkan efek merugikan pada hewan uji, serta untuk
mempelajari pengaruh senyawa kimia tersebut pada tubuh ketika diberikan secara
berulang. Uji ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai efek toksik yang mungkin
timbul akibat pemberian senyawa uji, dan juga untuk menentukan apakah efek toksik
tersebut berkaitan dengan dosis yang diberikan (Fadli, 2015).

Uji toksisitas kronis oral merupakan pengujian yang dilakukan untuk


mengidentifikasi efek toksik yang timbul setelah pemberian sediaan uji secara berulang
selama seluruh umur hewan uji. Prinsip dasar uji toksisitas kronis serupa dengan uji
toksisitas subkronis, namun sediaan uji diberikan selama periode yang lebih panjang,
antara 5-12 bulan. Tujuan dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk memahami profil
efek toksik yang terjadi setelah pemberian sediaan uji secara berulang dalam jangka
waktu yang lama, serta menentukan dosis yang tidak menimbulkan efek toksik. Uji
toksisitas kronis dirancang sedemikian rupa agar dapat menghasilkan informasi yang
komprehensif mengenai efek toksisitas, termasuk efek neurologis, fisiologis,
hematologis, biokimia klinis, dan histopatologi
15

2.4.Struktur Anatomi dan Fisiologi Hati

Hati (bahasa Yunani: ἡπαρ, hēpar), merupakan organ kelanjar paling besar,
terletak di dalam rongga perut. Permukaan bagian atasnya cembung, melekat di
diafragma. Sedangkan pada bagian bawah, permukaan cekung dan bersentuhan dengan
organ lambung dan deudenum (Anggraini, 2008). Pada bagian bawah permukaan hepar
terdapat pembuluh darah masuk (vena porta dan arteri hepatika), dan duktus hepatikus
kiri dan kanan yang keluar dari organ ini di daerah yang disebut portal hepatis.
Pembuluh darah vena dari bagian caudal yaitu vena cava interior melekat pada bagian
ini (Junqueira et al., 1995).

Gambar 3. Gambaran mikroskopik hati normal pada manusia dengan perbesaran 30x
(Eroschenko, 2010)

Hepar yang terletak di antara persimpangan antara saluran pencernaan dan


bagian tubuh lainnya, mempunyai tugas yang sangat berat untuk mempertahankan
homeostasis metabolik tubuh. Tugas tersebut mencakup mengolah asam amino,
karbohidrat, lemak, dan vitamin dari makanan, membentuk protein serum, serta
mendetoksifikasi dan mengeluarkan produk sisa endogen dan xenobiotik polutan ke
dalam empedu (Robbins et al., 2004). Hepar adalah organ yang sangat bertanggung
16

jawab dalam melaksanakan proses metabolisme obat terutama obat- obatan yang
diberikan melalui oral. Secara alami, tubuh mengeluarkan toksin-toksin melalui hepar
dengan detoksifikasi. Hati yang sehat melakukan detoksifikasi dengan 2 mekanisme,
disebut fase I dan fase II. Pada fase I, enzim-enzim dalam tubuh menggerakkan zat-zat
racun agar lebih mudah diproses di fase II. Di fase II ini ada lagi enzim-enzim lain yang
mengubah racun-racun menjadi bentuk yang lebih mudah larut dalam air. Tubuh
kemudian akan membuangnya lewat urin atau feses. Sementara hati yang tidak sehat
tidak bisa melakukan detoksifikasi secepat yang dilakukan oleh hati yang sehat, maka
bila proses detoksifikasi lebih lambat dan hati yang belum selesai bekerja
mendetoksifikasi itu sudah diberi serangan racun-racun yang harus didetoksifikasi,
akibatnya akan lebih banyak racun yang beredar ke seluruh tubuh lewat darah (BPOM,
2004)

A B

Gambar 4. Gambaran Histologi hati tikus normal dengan perbesaran 40x10 (A), dosis
2000 mg/Kg BB dengan perbesaran 40x10 (B) yang memperlihatkan
bagian: 1. kongesti pada sinusoid, 2. degenerasi lemak, 3. kariolisis, 4.
karioreksis, 5. sel kupper (Susanti, 2015)
Sebagian racun yang tidak dapat diubah atau hanya sedikit berubah akan sulit
dibuang dari tubuh karena lolos dari kerja hati. Akhirnya racun-racun itu bersembunyi
dalam jaringan tubuh berlemak, otak, dan sel sistem saraf. Racun-racun yang tersimpan
itu pelan-pelan akan ikut aliran darah dan menyumbang penyakit-penyakit kronis.
Misalnya, sakit liver yang bisa berujung pada hepatitis, dan semakin kronis menjadi
17

sirosis. Salah satu cara mengenali gejala-gejala awal bahwa fungsi kerja detoksifikasi
hati terganggu karena banyak toksin yang tak bisa diproses tubuh dan mengendap
adalah mudah lelah, rasa letih, kulit kusam, dan mudah jatuh sakit. Beberapa contoh
gejala yang penting karena bisa menjadi petunjuk penyakit hati yang lebih serius, yaitu
perubahan warna kulit atau menjadi kuning, perut bengkak atau nyeri hebat pada perut,
gatal pada kulit yang berkepanjangan, warna urin sangat gelap atau feses berwarna
pucat, kelelahan kronis, mual atau kehilangan nafsu makan (BPOM, 2004).

Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan
panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia
berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati terbentuk megelilingi sebuah vena
sentralis yang mengalir ke vena hepatika kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri
dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara sentrifugal
dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu
sampai dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli biliaris kecil yang
mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati
yang berdekatan (Guyton & Hall, 1997)

Pembagian lobulus hepar sebagai unit fungsional dibagi menjadi. Tiga zona:
zona 1: zona aktif, sel-selnya paling dekat dengan pembuluh darah, akibatnya zona ini
yang pertama kali dipengaruhi oleh perubahan darah yang masuk, zona 2: zona
intermedia, sel-selnya memberi respon kedua terhadap darah, zona 3: zona pasif,
aktifitas sel-selnya rendah dan tampak aktif bila kebutuhan meningkat (Lesson et al.,
1996).

Di dalam septum terdapat venula porta kecil yang menerima darah terutama
dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula ini darah mengalir ke
sinusoid hepar gepeng dan bercabang yang terletak di antar lempeng-lempeng hepar
kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian sel hepar terus menerus terpapar dengan
darah vena porta. Selain vena porta juga ditemukan arteriol hepar dalam septum
18

interlobularis. Arteriol ini menyuplai darah arteri ke jaringan septum di antara lobulus
yang berdekatan, dan banyak arteriol kecil juga yang mengalir langsung ke sinusoid
hati, paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis (Guyton & Hall, 1997).

Selain sel-sel hepar, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain (1) sel
endotel khusus dan (2) sel Kupffer besar, yang merupakan makrofag jaringan (juga
disebut sel retikuloendotelial), yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing
lain dalam darah sinus hepatikus. Lapisan endotel sinusoid vena mempunyai pori yang
sangat besar, beberapa diantaranya berdiameter hampir 1 mikrometer. Di bawah
lapisan ini, terletak di antara sel endotel dan sel hepar, terdapat ruang jaringan yang
sangat sempit yang disebut ruang disse. Jutaan ruang disse kemudian menghubungkan
pembuluh limfa di dalam septum interlobularis. Oleh karena itu, kelebihan cairan di
dalam ruangan ini dikeluarkan melalui aliran limfatik. Karena besarnya pori di endotel,
zat di dalam plasma bergerak bebas ke dalam ruang disse. Bahkan banyak protein
plasma yang berdifusi dengan bebas ke ruangan ini (Guyton & Hall, 1997).

2.5.Tikus putih

Tikus putih yang sering digunakan untuk uji farmakologi obat adalah jenis
Rattus norwegiens atu Rattus norvegicus galur (Wistar dan Sprague Dawley). Anatomi
fisiologik tubuh tikus adalah spesifik, yaitu tidak memiliki kandung empedu. Esofagus
bermuara ke dalam lambung dan memiliki struktur anatomi yang tidak lazim sehingga
tikus tidak dapat muntah. Hewan ini relatif tahan terhadap infeksi, tergolong cerdas,
aktif di malam hari dan dapat tinggal di kandang sendirian asal masih dapat melihat
atau mendengar suara tikus lain (Akbar, 2010). Biasanya tikus mulai kawin pada usia
8-9 minggu. Tiap 4-5 hari biasanya terjadi fase estrus dan segera sesudah beranak.
Biasanya fase estrus tersebut berlangsung sekitar 12 jam, dan lebih sering terjadi pada
malam hari daripada siang hari. Pada fase ini hanya sel-sel epitel yang mengalami
penandukan dan seringkali tanpa inti. Kemudian 15 hari selanjutnya terjadi fase
metestrus I, yang terlihat sel-sel epitel yang mengalami penandukan. Pada fase
19

metestrus II berlangsung sekitar enam jam, pada sel epitel yang mengalami
penandukan mulai tampak leukosit. Dilanjutkan tahap akhir yakni fase diestrus yang
berlangsung antara 57-60 jam, yang terlihat sel epitel dan leukosit (Akbar, 2010)

Gambar 5. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (dokumentasi


pribadi. 2020)

Tikus menjadi dewasa setelah berumur 40-60 hari. Bobot badan normal tikus
jantan dewasa adalah 300-400 g dan maksimum 500 g, sedangkan tikus betina 250-300
g dengan bobot maksimumnya 350 g. Masa hidup tikus putih singkat yaitu tidak lebih
dari 3 tahun. Keuntungan penggunaan hewan uji tikus putih yaitu lebih mudah untuk
berkembang biak, lebih cepat menjadi dewasa dan tidak memperlihatkan musim kawin.

Tikus putih yang digunakan untuk pengujian laboratorium yang dikenal ada
tiga macam galur yaitu Sprague Dawley, Long Evans dan Wistar. Tikus galur Sprague-
Dawley dinamakan demikian, karena ditemukan oleh seorang ahli kimia dari
Universitas Wisconsin, Dawley. Dalam penamaan galur ini, dia mengombinasikan
dengan nama pertama dari istri pertamanya yaitu Sprague dan namanya sendiri menjadi
Sprague Dawley (Akbar, 2010)

Menurut (Kusumawati, 2004), penggunaan tikus dalam penelitian ini


disebabkan karena tikus mudah diadaptasikan dalam lingkungan laboraturium. Tikus
berbeda dengan mencit sebagai hewan uji untuk pengukuran kadar kolesterol dan
perlemakan dihati, karena dari ukuran tubuh dan organ ditubuhnya lebih besar untuk
mempermudah pengamatan pada hati. Selain itu juga tikus lebih resisten terhadap
20

penyakit. Penggunaan tikus yang berjenis jantan dalam penelitian ini karena
mempunyai hormon estrogen dalam jumlah yang sedikit dan dapat berpengaruh
terhadap kadar kolesterol dalam darah (Ganong, 1995). Tikus jantan mempunyai kadar
kolesterol yang tidak berpengaruh pada variasi hormonnya (Siepoe, 1993).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan dari bulan Januari 2020 sampai dengan
April 2021. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi dan Medika
(PTFM) LAPTIAB, Badan Riset dan Inovasi Nasional (RISTEK-BRIN) Serpong.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya timbangan analitik, hot plate,
magnetic stirrer, refrigerator, water bath, alat alat gelas (botol schoot, corong kaca,
gelas ukur, gelas piala, labu ukur dan Erlenmeyer), cawan patri, spatula, lumping,
mortar dan pestle untuk penyiapan sampel uji dan analisi spesifik kandungan daun
salam, syringe 3 mL, jarum sonde modifikasi oral, pipet tetes, kandang tikus, serutan
kayu, kapas, beserta tempat makan dan botol minum, sedangkan untuk kegiatan
analisis diperlukan alat seperti microtube, kuvet, pipa kapiler, alat bedah, dan
mikroskop Cahaya (Zeiss Aziocam 105 color), microlab 300 LX, Spektofotometer
(Thermo electron corporation genesis UV-10), dan Sentrifuge (Mikro220R)

Bahan penelitian yang digunakan adalah hewan uji tikus jantan dan betina dalam
kisaran usia 35 hari yang galur Sprague Dawley (SD) yang diperoleh dari BPOM
Salemba. Pelet sebagai pakan dan air besih untuk minum digunakan untuk
pemeliharaan tikus selama penelitian, Bahan-bahan sampel uji yang digunakan dalam
penelitian adalah formula ektrak daun salam yang telah terstandarisasi oleh Pusat
Teknologi Famasi dan Medika (PTFM), CMC Na 0,5% sebagai larutan pelarut, dan
aquabidest. Bahan untuk analisis yaitu formalin 4%, Buffer Neutral Formalin 10% dan
etanol. Bahan untuk analisis histologi diperlukan bahan seperti pewarna jaringan
Hemtaoksilin-Eosin (HE) etanol, parafin dan air besih.

21
22

3.3. Metode Penelitian


Penelitian ini merupakan metode eksperimental dengan desain penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap, dengan empat perlakuan berupa perbedaan
dosis formulasi daun salam. Setiap perlakuan diberikan ulangan sebanyak 10
pengulangan seperti pada Tabel 1. Selama 9 bulan pengamatan. Dokumen Ethical
clearance telah mendapat persetujuan Komisi Etik FKUI dengan nomor
794/UN2.F1/ETIK/PPM.00.02/2019 (Lampiran 1)

3.4.Cara Kerja
3.4.1 Persiapan formula ekstrak daun salam
Ekstrak yang digunakan merupakan kombinasi ekstrak dengan kandungan daun
salam yang diekstraksi dengan etanol dan berasal dari Laboratorium Pengembangan
Teknik Industri Agro dan Biomedika Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (RISTEK-
BRIN) Serpong.

3.4.2 Pembuatan stok pelarut CMC Na 0,5 %


CMC Na merupakan turunan dari selulosa yang digunakan sebagai pengental dan
bahan pengikat. Proses pembuatannya yaitu diambil sebanyak 5-gram serbuk CMC Na
0,5%, dan diletakkan di dalam cawan petri. Dimasukkan air sebanyak 1-liter ke dalam
gelas piala berukuran besar, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur sampai batas tera.
Selanjutnya sebagian air (kurang lebih 500 mL) ke dalam gelas piala dan dipanaskan
di atas hot plate, serbuk CMC Na dimasukkan dan diaduk menggunakan magnetic
stirrer. Setelah serbuk CMC Na larut dimasukkan sisa air sebanyak 500 mL ke dalam
gelas piala dan dipanaskan hingga larutan menjadi bening dan tidak ada gumpalan atau
gelembung udara yang tersisa. Larutan CMC Na dipindahkan ke dalam botol
penampung dan diberi label.
23

3.4.3 Penyiapan ektrak daun salam


Sampel ekstrak daun salam disiapkan dalam bentuk suspensi homogen dalam
larutan pembawa larutan CMC Na 0,5%. Sampel uji ditimbang sesuai dengan dosis uji
yaitu, 8 g, 14 g, dan 20 g (Lampiran 2) dan jumlah hewan uji yang akan digunakan.
Volume pemberian suspensi sampel uji maksimal 1ml/200 g bb (BPOM RI, 2014b).
Sampel di masukkan ke dalam mortal, kemudian ditambahkan CMCNa 0,5% dan
dicampur hingga homogen menggunakan stampler. Suspensi sampel yang telah
homogen dimasukan ke dalam gelas kimia yang telah ditara sampai volume tertentu,
kemudian ditambahkan larutan pembawa sedikit demi sedikit hingga volume yang
diinginkan. Selanjutnya diaduk perlahan-lahan menggunakan pengaduk bermagnetik
hingga homogen. Suspensi sampel uji pada setiap dosis dimasukan ke dalam botol
bersih dan diberi kode, sampel siap untuk diberikan pada hewan uji.

3.4.4 Pengujian parameter spesifik ekstrak (Departemen Kesehatan RI, 2000)


1) Uji Organoleptik
Uji parameter spesifik dengan melakukan pemeriksaan organolaptik dengan
menggunakan pancaindara untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa. Untuk
melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam penilaian suatu mutu
atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak sebagai instrumen atau
alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu
komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut
panelis. Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel
perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel konsumen dan
panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam
melakukan penilaian organoleptik.
3.4.5 Pengujian parameter non spesifik ekstrak (Departemen Kesehatan RI,
2000)
24

1) Pengukuran kadar air


Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri. Ekstrak
kental ditimbang sebanyak 10 gram. Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC selama
5 jam dan ditimbang kembali. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang kembali pada
pada interval waktu 1 jam sampai diperoleh hasil dari penimbangan tersebut memiliki
perbedaan tidak lebih dari 0,25%.

2) Pengukuran kadar abu


Ekstrak kental ditimbang sebanyak 2-3 gram (W0), kemudian dimasukkan ke krus
silikat yang telah dipijar dan ditara. Krus silikat dipijarkan lalu abukan pada tanus
listrik dengan suhu 550 oC secara perlahan sampai arang habis. Kemudian didinginkan
dan ditimbang (W1). Kadar abu ekstrak didapatkan dari perhitungan W0 – W1.

3) Pengukuran kadar abu tidak larut asam


Hasil dari proses pembuatan abu sebelumnya didinginkan dengan eksikator (W1),
abu yang didapat dilarutkan dengan 25 mL HCl 10 %, didihkan selama 5 menit. Saring
larutan dengan kertas saring tak berabu dan cuci dengan air suling sampai bebas
klorida. Kemudian, dipijarkan dan timbang sampai bobot tetap (W2). Kadar abu tidak
larut asam didapatkan dengan pengurangan W1 dengan W2

3.4.6 Pengujian spesifik senyawa aktif yang terkandung pada ekstrak daun
salam (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000)
a) Uji Saponin
Sebanyak 0,2-gram FH dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10
ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, disaring dan didinginkan. Formula
ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan larutan dikocok selama 10 menit.
Adanya buih yang stabil selama 5 menit menunjukkan positif saponin.
25

b) Uji Alkaloid
Formula ekstrak dilarutakan dalam larutan basa. Kemudian larutan ditetesi dengan
pereaksi Dragendorf. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan
merah batu bata.
c) Uji Fenol
Formula Ekstrak diambil sedikit dan dilarutkan dengan etanol, kemudian ditetesi
dengan FeCl3 1%. Positif adanya fenolik ditunjukkan dengan terjadinya
perubahan warna menjadi hijau, merah, biru, ungu dan hitam.
d) Uji Flavonoid
Formula Ekstrak diambil sedikit dan dilarutkan dengan etanol, kemudian ditambah
0,05mg serbuk Magnesium dan Asam Klorida tetes demi tetes lalu dikocok kuat.
Positif flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau
jingga.
3.4.7 Penyiapan hewan uji tikus putih
Hewan uji diaklimatisasi di laboratorium selama sekitar 4 hingga 7 hari. Hewan
uji ditempatkan dalam kandang polikarbonat yang berisi 5 ekor dengan jenis kelamin
yang sama. Setiap kandang dilengkapi dengan alas serutan kayu sebagai bahan tidur
yang diganti dua kali seminggu pada hari Senin dan Kamis. Kondisi lingkungan
pemeliharaan diatur kelembapan udara relatif antara 50 hingga 70%, dengan
pencahayaan selama 12 jam terang dan 12 jam gelap, serta sirkulasi udara yang baik
dengan suhu antara 21 hingga 23°C. Hewan uji diberi makan dan minum dengan
kebebasan, sesuai kebutuhan mereka. Tikus yang menunjukkan tanda-tanda sakit
seperti mata keruh, bulu berdiri, atau aktivitas motorik yang lemah, tidak digunakan
dalam pengujian, dan mereka dikelompokkan secara acak.
3.4.8 Pengelompokan hewan uji
Setiap kelompok dosis terdiri dari hewan jantan dan betina dengan jumlah
tertentu dan mendapatkan perlakuan masing-masing sesuai dengan ketentuan.
Pengukuran parameter uji dilakukan pada 9 bulan pemberian sampel. Hewan uji diberi
26

kode pada bagian ekornya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengelompokan
hewan uji disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelompokan hewan uji tikus putih.

Jumlah Tikus
Kelompok uji Perlakuan
Jantan Betina
Normal Suspensi CMC Na 0,5 % 10 10
Dosis 1 Formula Herbal 400 mg/kg BB 10 10
Dosis 2 Formula Herbal 700 mg/kg BB 10 10
Dosis 3 Formula Herbal 1000 mg/kg BB 10 10
Total 40 40
Keterangan: Normal: mendapat pembawa larutan CMC 0,5%. Dosis 1: mendapat
sampel uji dosis efektif khasiat, 400 mg/kg BB; Dosis 2: mendapat sampel uji dosis
tengah, 700 mg/kg BB; Dosis 3: mendapat sampel uji dosis tertinggi 1000 mg/kg BB.

3.4.9 Perlakuan sampel uji


Ekstrak daun salam diberikan secara oral menggunakan sonde lambung dengan
ujung tumpul setiap (Senin sampai Minggu) secara per oral selama 9 bulan. Pemberian
sampel uji dilakukan pada jam yang tertentu yaitu 08.00-10.00 WIB. Hewan pada
kelompok normal diberikan larutan pembawa CMCNa 0,5%.

3.4.10 Penimbangan Berat Badan


Penimbangan berat badan dan monitoring kenaikan berat badan dilakukan
seminggu 2 kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis antara pukul 8.00 – 10.00 WIB.
Penimbangan berat badan digunakan sebagai dasar pemberian sampel uji.

3.4.11 Pengamatan efek toksik


Jika ada kematian hewan uji yang ditemukan belum dalam keadaan kaku, dilakukan
pembedahan untuk diambil organnya. Dilakukan pencatatan adanya kematian dan
tanda-tanda yang ada.
27

3.4.12 Teknik pengambilan sampel biologis


3.4.10.2. Pengambilan organ
Tikus dipuasakan selama 16-18 jam namun tetap diberikan air minum dalam
jumlah yang cukup. Hewan dimatikan dengan cara dislokasi servikal. Setelah hewan
mati, hewan ditimbang. Selanjutnya, hewan uji diposisikan terlentang pada papan
bedah dan dilakukan pembedahan pada bagian perut. Mula-mula kulit hewan dibuka,
kemudian dilanjutkan dengan memotong daging dari bagian perut menuju ke dada atas.
Organ yang diambil adalah hati. Segera setelah diambil dibersihkan dari lemak dan
darah dan ditimbang dengan rumus berikut:

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡


𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛

Selanjutnya ditetes dengan lautan NaCl fisiologis supaya tidak kering dan
dilakukan pengamatan makroskopis organ terlebih dahulu, baru kemudian organ
dipotong pada posisi yang sama kemudian dimasukkan kedalam cairan fiksasi Bufer
Neutral Formalin 10% (perbandingan 1:20 v/v). Tata cara pemotongan harus seragam
supaya menghilangkan bias antar pengukuran. Teknik pemotongan organ hati,
memotong secara melintang pada bagian tengah lobus paling besar Pemotongan
idealnya setebal 5-10 mm, dimasukan ke dalam botol yang berisi larutan fiksasi, 1 ekor
1 botol. Selanjutnya setiap organ dilakukan pembuatan preparat histologi dengan
prosedur standar, setiap ekor akan dibuat menjadi 2 slide yang terdapat 2-3 irisan organ.

3.4.13 Pembuatan preparat histologi hati


Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat kerusakan yang terjadi pada organ
hati (Jusuf, 2009). Tahapannya sebagai berikut:

a) Fiksasi
Fiksasi bertujuan untuk mempertahankan susunan jaringan agar mendekati kondisi
sewaktu masih hidup. Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan, lalu botol sampel
diambil dan diberi nama atau kode tikus dan organ. Formalin 10% dimasukkan ke
28

dalam wadah sekitar 15-20x volume jaringan sampel. Hati yang sudah diambil
kemudian dimasukkan ke dalam wadah berisi formalin 10%.

b) Dehidrasi
Dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam
jaringan yang telah difiksasi sehingga nantinya jaringan dapat diisi dengan paraffin
atau zat lain yang digunakan untuk membuat blok preparat. Setelah jaringan difiksasi,
jaringan dipindahkan ke dalam alkohol dan diproses dengan konsentrasi bertingkat
(70%, 80%, 90%, dan 100%) (Jusuf, 2009).

c) Clearing
Clearing bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan dengan suatu larutan
yang dapat berikatan dengan paraffin. Bahan pembening yang digunakan yaitu xylol.
Setelah jaringan dikeluarkan dari cairan dehidrasi (alkohol) jaringan dimasukkan ke
dalam xylol I selama 1 jam, kemudian jaringan dipindahkan ke cairan xylol II. Lama
inkubasi di dalam xylol tergantung pada besarnya jaringan, umumnya berkisar 30-60
menit. Jaringan kemudian direndam dalam paraffin cair dan diletakkan di dalam oven
selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu jaringan siap untuk dimasukkan ke dalam
blok parafin.

d) Embedding
Embedding merupakan cara untuk mengeluarkan cairan pembening dari jaringan
dan diganti dengan parafin. Pada proses ini jaringan dibenamkan ke dalam parafin atau
paraplast I selama 120 menit, lalu dipindahkan ke dalam parafin atau paraplast II
selama 60 menit. Selanjutnya jaringan dimasukkan ke dalam parafin atau paraplast III
selama 120 menit. Setelah pembenaman dilanjutkan dengan pengecoran atau blocking.

e) Blocking
Blocking merupakan proses pembuatan blok preparat agar dapat dipotong dengan
mikrotom. Cairan parafin dituangkan sedikit ke dalam cetakan, lalu potongan organ
dimasukkan secara perlahan dan parafin dituangkan kembali hingga organ terendam.
29

f) Pemotongan jaringan
Proses ini meliputi pemotongan blok preparat dengan menggunakan mikrotom.
Blok parafin direkatkan di atas blok kayu dengan cara memanaskan salah satu sisi blok
parafin hingga sedikit mencair, lalu ditempelkan. Blok parafin dan blok kayu
ditempelkan pada holder (pemegang) di mikrotom dan dikencangkan. Sudut
kemiringan pisau mikrotom diatur pada kisaran sudut 20-30 derajat. Pemotongan
jaringan dilakukan dengan ketebalan antara 5 µm.

Setelah jaringan terpotong, pita-pita parafin yang mengandung jaringan


dipindahkan secara hati-hati menggunakan sengkelit atau kuas ke dalam waterbath
yang temperaturnya diatur 37-40°C dan dibiarkan beberapa saat hingga pita parafin
mengembang. Selanjutnya pita parafin ditempelkan pada kaca objek yang telah
dicoated dengan cara kaca objek dimasukkan ke dalam waterbath dan digerakkan ke
arah pita parafin. Setelah itu pita parafin ditempelkan pada kaca objek dan digerakkan
keluar dari waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat.

Kaca objek yang berisi pita parafin diletakkan di atas hotplate dengan temperatur
40-45°C, dibiarkan selama beberapa jam. Cara lainnya yaitu kaca objek dilewatkan di
atas api hingga pita parafin melekat di kaca objek. Setelah air kering dan pita parafin
melekat dengan kuat, kaca objek berisi potongan parafin dan jaringan disimpan untuk
diwarnai.

g) Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)


Proses ini meliputi pemberian warna pada jaringan yang telah dipotong sehingga
unsur jaringan menjadi kontras dan dapat diamati dengan mikroskop. Deparafinisasi
dilakukan menggunakan xylol (2 Χ 2 menit), lalu dihidrasi dengan serial alkohol 100%
(2 Χ 2 menit) – 95% (2 menit) – 90% (2 menit) – 80% (2 menit) – 70% (2 menit) –
Distilled water (3 menit). Selanjutnya diinkubasi dalam larutan hematoksilin Mayers
selama 15 menit, lalu dicuci dengan air mengalir selama 15- 20 menit. Dilakukan
pengamatan di bawah mikroskop, apabila warnanya masih terlalu biru dicuci lagi
30

dengan air mengalir selama beberapa menit. Bila sudah cukup warnanya, maka
dilanjutkan ke langkah berikutnya yaitu counterstaining dalam larutan Eosin working
solution selama 15 detik hingga 2 menit tergantung pada umur eosin dan kedalaman
warna yang diinginkan. Setelah itu dilakukan dehidrasi dalam serial alcohol dengan
gradasi meningkat perlahan mulai dari 70% hingga 100% masing-masing selama 2
menit. Langkah selanjutnya dilakukan penjernihan dan dealkoholisasi dalam xylol 2 Χ
2 menit dan tutup dengan balsam kanada

h) Pengamatan preparat
Preparat yang telah jadi diamati secara mikroskopik dan difoto menggunakan
mikroskop cahaya (Zeiss Axiocam 105 color) dan aplikasi Zen 10 pada perbesaran
100Χ, dan 400Χ. Data histologi organ hati diperoleh berdasarkan rata-rata perubahan
ukuran diameter vena sentralis setiap perlakuan.

3.5 Analisis Data

Setiap data dari parameter uji diolah dan ditabulasi di Ms Office. Pengolahan data
dilakukan dengan uji satu arah ANOVA (untuk data parameterik) dan Kruskall Wallis
(untuk data non parameterik) dan dilanjutkan uji post hoc dengan uji LSD (Least
Square Significance) untuk mengetahui perbedaan antara kelompok lebih lanjut
untuk data parameterik dan Mann Whitney untuk non parameterik (Dahlan, 2009).
Data diolah menggunakan program SPSS 22.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Standarisasi Formula Ekstrak yang Mengandung Daun Salam
Uji standarisasi formula ekstrak adalah proses untuk mengukur dan memastikan
kualitas, kemurnian, dan konsistensi senyawa atau kandungan tertentu dalam sebuah
formula ekstrak. Tujuannya adalah untuk mengukur jumlah atau konsentrasi komponen
aktif yang ada dalam ekstrak, sehingga penggunaan ekstrak tersebut dapat dikontrol
secara lebih efektif dan konsisten. Uji standarisasi formula ekstrak daun salam meliputi
uji parameter spesifik dan nonspesifik
A. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik ekstrak melibatkan evaluasi terhadap bentuk, warna,
aroma, dan rasa (Departemen Kesehatan RI, 2000). Uji organoleptik ini dilakukan
dengan memanfaatkan indera manusia, seperti penglihatan, penciuman, dan
pengecapan, untuk mengidentifikasi karakteristik fisik yang terdapat pada sampel.

Tabel 2. Hasil uji parameter spesifik formula ekstrak daun salam

No. Organoleptik Hasil

1 Bentuk Ekstrak kental


2 Warna Coklat kekuningan
3 Bau Khas Ekstrak
4 Rasa Pahit dan asam
Hasil pengujian menunjukkan bahwa formula ekstrak daun salam memiliki
ekstrak dengan konsistensi kental, memiliki aroma khas ekstrak, berwarna coklat
kekuningan, dan memiliki rasa yang pahit. Pengujian organoleptik ini merupakan
bagian dari pengujian makroskopik. Uji organoleptik dilakukan dengan cara sederhana
dan obyektif, dengan tujuan untuk mengamati secara langsung sifat-sifat khusus yang
dimiliki oleh ekstrak berdasarkan informasi umum yang tersedia. ((Sari, 2022).

30
31

Uji organoleptik, juga dikenal sebagai uji indera atau uji sensori, adalah metode
pengujian yang melibatkan penggunaan indera manusia sebagai alat utama untuk
mengukur respons terhadap produk. Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengukur
kesan yang timbul dan memberikan penilaian terhadap produk berdasarkan sensor atau
rangsangan yang diterima oleh indera manusia (Gusnadi et al., 2021).

Gambar 6. Formula ekstrak daun salam


B. Uji kadar Air, Kadar Abu dan Kadar Abu tidak larut asam
Penetapan kadar air bertujuan untuk menentukan persentase air yang
terkandung dalam suatu bahan atau produk. Prinsip penetapan ini dengan
menggunakan metode gravimetri. Penetapan kadar abu untuk menentukan persentase
abu yang tersisa setelah bahan atau produk terbakar pada suhu tinggi. Sedangkan kadar
abu tidak larut asam untuk menentukan abu yang tidak larut dalam asam setelah bahan
atau produk terbakar dan direaksikan dengan asam. Hasil penetapan kadar air dan kadar
abu serta kadar abu tidak larut asam sebesar dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Hasil uji parameter nonspesifik formula ekstrak daun salam

No Parameter Uji Hasil Uji (%) Standarisasi (FHI 2017) (%)

1 Kadar air 1,67 10


2 Kadar abu 7,88 2,5
3 Kadar abu tidak larut asam 4,66 < 0,2

31
33

Kadar air yang diperoleh dalam penelitian kali ini 1,67%. Kadar tersebut sudah
sesuai standar Farmakope Herbal Indonesia yaitu <10%. Kadar air yang tinggi dapat
mempengaruhi stabilitas, daya simpan, dan kualitas fisik dan kimia suatu bahan atau
produk. Pengetahuan tentang kadar air sangat diperlukan dalam pengendalian mutu dan
produksi yang baik.
Kadar abu dan kadar abu tidak larut asam secara berurutan di penelitian ini
sebesara 7,88% dan 4,66%. Penetapan kadar abu dilakukan untuk menganalisis
kandungan mineral pada ekstrak atau formula yang sedang diuji. Sementara itu,
pengujian kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan
pengotor pada ekstrak yang berasal dari pasir atau tanah bersilikat. Hasil penentuan
kadar abu dan kadar abu tidak larut asam dalam penelitian ini menunjukkan tingkat
yang masih tinggi, yang menandakan bahwa sampel belum memenuhi standar yang
ditetapkan. Nilai kadar abu yang tinggi dalam penelitian ini menunjukkan adanya
kandungan mineral yang signifikan dalam formula yang mengandung ekstrak daun
salam. Kandungan mineral ini dapat berasal dari daun salam atau bahan lain yang
digunakan dalam formula. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi mengindikasikan
adanya pengotor yang berasal dari pasir atau tanah bersilikat. Pengotor ini dapat masuk
ke dalam formula selama proses pengolahan atau pengemasan. Penting untuk
memperhatikan tingkat kadar abu dan kadar abu tidak larut asam ini untuk memastikan
keamanan dan kualitas produk (Departemen Kesehatan RI, 2000).
Data pendukung hasil uji standarisasi juga didapatkan dari penilitan Farianita
(2022) yang mengukur parameter susut pengeringan sebesar 3,52 ± 0,58 % dengan nilai
rujukan FHI < 10% dan juga dari penelitian Sari (2022) yang mengukur kadar sari larut
air dan kadar sari larut etanol pada formula ektrak daun salam secara berurut sebesar
56,16 ± 0,9 % dan 53,74% ± 0,8 %.
C. Uji Penapisan Fitokimia Formula Ekstrak Daun Salam
Uji penapisan fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi
keberadaan dan kandungan metabolit sekunder dalam suatu ekstrak, seperti alkaloid,
flavonoid, tanin, dan saponin. Metabolit sekunder ini dapat memberikan informasi
34

tentang potensi farmakologis yang dimiliki oleh ekstrak tersebut. Hasil dari uji
penapisan fitokimia juga dapat digunakan sebagai parameter mutu untuk mengevaluasi
kualitas ekstrak dan menentukan tingkat keberhasilan dalam mengekstraksi senyawa-
senyawa penting. Hasil uji penapisan dapat dilihat pada Tabel 4.
Dari hasil penapisan fitokimia, formula ekstrak daun salam memiliki
kandungan senyawa alkaloid, flavonoid, fenol dan juga saponin. Berdasarkan
penelitian (Departemen Kesehatan RI, 2000; Sari, 2022), ekstrak daun salam
mengandung metabolit sekunder berupa senyawa alkaloid, flavonoid, tanin dan
saponin serta fenol. Hal ini menjelaskan hasil penelitian penapisan fitokimia yang
telah dikerjakan sesuai dengan penelitian tersebut.

Tabel 4. Hasil uji penapisan fitokimia formula ekstrak daun salam

No. Senyawa Indikator Hasil

1 Saponin -Terbentuknya busa stabil +


selama 10 menit
2 Alkaloid -Terbentuk warna merah atau jingga pada kertas saring +
(Dragendorff)

-Terdapat endapan putih (mayer)


3 Fenol Terbentuk perubahan warna menjadi hijau hingga hitam +
4 Flavonoid Terbentuk perbedaan warna pada amil alkohol (kuning +
kemerahan)
Ket: + Terdapat kandungan senyawa zak aktif
Tujuan standarisasi ekstrak adalah untuk mengidentifikasi dan memastikan
kandungan senyawa aktif yang terkandung dalam bahan alami yang digunakan sebagai
bahan dasar dalam obat herbal. Proses standarisasi melibatkan serangkaian metode
analisis kimia berdasarkan data farmakologis, serta analisis fisik berdasarkan kriteria
keamanan dan toksikologi. Melalui standarisasi, ekstrak alami dapat diproduksi dalam
skala industri dengan kualitas yang konsisten dan sesuai dengan spesifikasi yang
ditetapkan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa ekstrak memiliki kandungan
35

senyawa aktif yang diharapkan dan memenuhi standar keamanan yang telah ditetapkan.
Standarisasi juga membantu memastikan bahwa ekstrak tersebut memiliki efek
terapeutik yang diinginkan dan memberikan manfaat yang sesuai bagi pengguna.
4.2. Pengukuran Berat Badan
Dalam penelitian ini, diperlukan pengukuran berat badan pada hewan uji.
Tujuan dari pengukuran berat badan adalah untuk menghitung dan menentukan volume
formula ekstrak yang akan diberikan setelah hewan uji mengalami adaptasi terhadap
lingkungan baru. Selain itu, pengukuran berat badan juga bertujuan untuk mengamati
efek pemberian formula ekstrak secara oral terhadap perubahan berat badan.
Pengukuran berat badan dilakukan setiap 2 minggu sekali, dengan data yang diambil
di hari Senin dan Kamis.
Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap berat badan tikus selama
periode 9 bulan. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi empat kelompok: kelompok dosis
normal (CMC Na 0,5%), dosis 1 (400 mg/kg BB), dosis 2 (700 mg/kg BB), dan dosis
3 (1000 mg/kg BB). Gambar 7 menunjukkan perubahan berat badan pada tikus jantan
selama periode pengamatan 9 bulan.

Gambar 7. Rata-rata berat badan tikus jantan selama 9 bulan. Kelompok JN (normal)
(CMC Na 0.5%), JD1 (400 mg/Kg BB), JD2 (700 mg/Kg BB), JD3 (1.000
mg/Kg BB). Bar menunjukkan standar deviasi.
36

Dari hasil yang terlihat pada Gambar 7, dapat diamati bahwa tikus jantan yang
termasuk dalam empat kelompok dosis menunjukkan peningkatan berat badan yang
konsisten selama periode pengamatan. Namun, pada akhir pengamatan di pekan ke-37,
terlihat bahwa berat badan tikus dalam kelompok kontrol (dosis normal) dan tikus yang
diberikan dosis 1 dari formula ekstrak mengalami sedikit penurunan. Informasi
mengenai pengukuran berat badan tikus betina selama periode pengamatan 9 bulan
dapat ditemukan dalam Gambar 8.

Gambar 8. Rata-rata berat badan tikus betina selama 9 bulan. Kelompok BN


(normal) (CMC Na 0.5%), BD1 (400 mg/Kg BB), BD2 (700 mg/Kg BB),
BD3 (1.000 mg/Kg BB). Bar menunjukkan standar deviasi
Berdasarkan informasi yang terlihat pada Gambar 8, terlihat bahwa terjadi
peningkatan berat badan pada tikus betina seiring berjalannya waktu mulai dari pekan
awal. Namun, terdapat penurunan berat badan yang terjadi dua kali pada tikus kontrol
(dosis normal) di pekan ke-17 dan pekan ke-31. Penurunan juga terjadi pada dosis
perlakuan 1, 2 dan 3. Dosis 1 terdapat penurunan sebanyak 3 kali di pekan ke-19, 25
dan 29. Dosis 2 di pekan ke-37, dosis 3 di pekan ke-25, 29 dan pekan ke-37 (Lampiran
3).
Hasil pengukuran berat badan tikus jantan selama 9 bulan diuji normalitas
menunjukkan hasil data berat badan tikus jantan terdistribusi dengan normal (p>0,05)
dan data berat dan tikus jantan tersebut homogen (p>0,05), dilanjutkan dengan uji One
37

Way ANOVA yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok dosis perlakuan (p>0,05) dengan nilai p= 0,923 (Lampiran 4). Sedangkan
data berat badan tikus betina selama 9 bulan diuji normalitas Kolmogorov Smirnov
menunjukkan hasil data berat badan tikus betina tidak terdistribusi dengan normal
(p<0,05). Selanjutnya berat badan tikus betina diuji Kruskal Wallis dan menunjukkan
tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam berat badan tikus betina usia 9 bulan
antara kelompok perlakuan yang berbeda (p > 0,05).
Berat badan tikus adalah salah satu daya pendukung guna melihat pengaruh
toksisitas. Pertumbuhan hewan uji melibatkan peningkatan berat jaringan dan organ
tubuh. Laju pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk hormon dan
faktor lingkungan eksternal. Berat badan digunakan sebagai ukuran untuk
menggambarkan massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan secara sensitif
merespons perubahan yang tiba-tiba, baik akibat infeksi penyakit maupun konsumsi
makanan. (Amelia, 2022).
Hasil pengujian menunjukkan adanya hubungan antara bertambahnya usia tikus
dan peningkatan berat badan, yang serupa dengan temuan penelitian (Sumiwi et al.,
2019). Penelitian tersebut juga menemukan bahwa pemberian ekstrak etanol dari daun
salam menyebabkan peningkatan berat badan tikus.
Fluktuasi berat badan pada tikus jantan dan betina dapat disebabkan oleh
pemberian formula ekstrak daun salam yang mengandung senyawa aktif seperti
flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin. Senyawa-senyawa ini memiliki efek yang
berbeda namun saling berkaitan dalam mempengaruhi berat badan tikus. Flavonoid dan
alkaloid dapat mengendalikan peningkatan berat badan dengan menghambat enzim
lipase pankreas, mengurangi akumulasi lipid di hati, dan meningkatkan pengeluaran
lemak melalui feses. Saponin dan tanin juga berperan dalam menurunkan berat badan
dengan mempengaruhi penyerapan glukosa di usus, mengontrol pengikatan protein,
dan mengurangi penyerapan lemak. Dengan demikian, pemberian formula herbal
dengan kandungan senyawa tersebut dapat membantu tikus dalam menjaga kesehatan
tubuh dan mengontrol berat badan (Sari, 2022)
38

Faktor lain yang mempengaruhi adalah perilaku alamiah tikus dan adanya strata
dalam suatu wilayah yang menyebabkan penurunan nafsu makan pada beberapa
individu, seperti kandang tempat pemeliharaan tikus. Dalam kandang tersebut terdapat
strata tinggi dan strata rendah, dan individu pada strata rendah biasanya akan
memberikan prioritas makanan kepada individu pada strata tinggi. Sisa makanan baru
akan dimakan oleh individu pada strata rendah. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan
berat badan antara individu satu dengan individu lainnya dalam kandang tersebut.
Dari pengamatan berat badan tikus, dapat disimpulkan bahwa pemberian
formula ekstrak daun salam tidak menunjukkan efek toksik pada hewan uji. Tidak ada
efek negatif yang terlihat pada parameter berat badan yang diukur. Selain itu, tidak ada
penurunan berat badan yang terjadi sejalan dengan peningkatan dosis yang diberikan.
4.3. Perhitungan Bobot Organ Relatif (BOR) Hati
Hasil pengamatan makroskopik pada organ hati tikus jantan dan betina dalam
semua kelompok menunjukkan bahwa organ hati masih dalam kondisi normal. Organ
hati memiliki warna merah kecoklatan, permukaan yang licin, dan konsistensi yang
kenyal. Untuk memenuhi kriteria normalitas pada organ hati, tidak ada perubahan
warna, struktur, permukaan, maupun tidak mengalami pengerasan atau kondisi yang
abnormal. Hasil pengamatan pada organ hati tikus jantan dan betina menunjukkan
bahwa pemberian formula ekstrak daun salam tidak mengakibatkan kerusakan pada
organ tersebut. Cuplikan gambar pengamatan makroskopik organ hati dapan dilihat
pada gambar 9 dan 10.
Selanjutnya dilakukan penimbangan bobot organ untuk menghitung bobot
organ relatif hati (BOR), yang merupakan salah satu indikator efek dari formula ekstrak
daun salam dapat dilihat dari perbedaan signifikan antara BOR hati kontrol dan
kelompok uji. Bobot organ relatif hati dihitung dengan membagi bobot organ hati
dengan bobot badan. Hasil pengukuran bobot relatif organ hati pada tikus Jantan dan
betina dapat dilihat pada Gambar 11.
39

Gambar 9. Hasil pengamatan makroskopik organ hati tikus jantan normal (A), dosis
400 mg/kg BB (B), dosis 700 mg/kg BB (C) dan dosis 100 mg/kg BB (D)

Gambar 10. Hasil pengamatan makroskopik organ hati tikus betina normal (A) dosis
400 mg/kg BB (B), dosis 700 mg/kg BB (C) dan dosis 100 mg/kg BB (D)
40

Gambar 11. Rata-rata Bobot Organ Relatif (BOR) hati tikus jantan dan tikus betina 9
bulan. a* menunjukkan bahwa BOR berbeda secara signifikan (p<0,05)
pada ketiga dosis terhadap dosis normal. Bar Menentukan standar
deviasi
Hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov menunjukkan bahwa Bobot Organ
Relatif (BOR) hati tikus jantan dan tikus betina selama pemberian formula ekstrak 9
bulan adalah berdistribusi normal (p>0,05). Namun hasil uji homogenitas menunjukan
bahwa data berat organ relatif jantan tidak homogen (p<0,05), maka data BOR jantan
dilanjutkan dengan analisis Kruskal Wallis dan menunjukkan ditemukan perbedaan
yang signifikan dalam berat organ relatif tikus jantan usia 9 bulan antara kelompok
perlakuan normal terhadap perlakuan dosis (p<0,05). Hasil analisis tikus jantan
selanjutnya diuji dengan Uji Mann-Whitney Test yang dilakukan untuk mengetahui
perbedaan antara kelompok lebih lanjut untuk data non parametrik. Hasil Uji Mann
Whitney Test menjelaskan nilai p yang berbeda antara kelompok dosis normal dengan
dosis 1,2 dan 3) (Lampiran 5). Hasil uji homogenitas BOR tikus betina menunjukkan
data tersebut homogen (p>0,05), maka data dianalisis lanjutan dengan uji ANOVA.
Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak adanya perbedaan secara signifikan (p>0,05)
(Lampiran 6).
41

Hasil pengamatan Bobot Organ Relatif (BOR) hati, seperti yang ditampilkan
dalam Gambar 11, menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara tikus jantan
pada dosis normal dengan dosis 1, 2 dan 3. Bobot organ hati meningkat seiring dengan
peningkatan dosis. Data Bobot Organ Relatif (BOR) hati menunjukkan angka 26,71
mg untuk dosis normal, sementara dosis 1,2 dan 3 memiliki angka 28,48 mg, 28,70 mg
dan 31,67 mg (Lampiran 7). Dari pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa pemberian formula ekstrak daun salam dengan dosis yang berbeda dapat
mempengaruhi bobot organ hati, karena terjadi perubahan pada berat organ hati.
Peningkatan rasio bobot hati dibandingkan dengan kondisi normal dapat
menunjukkan kemungkinan adanya pembengkakan hati yang disebabkan oleh nekrosis
sel hati. Nekrosis ini mengakibatkan pecahan partikel sel dan organel (debris) yang
rusak, menyebabkan reaksi inflamasi atau peradangan, serta penumpukan cairan di area
tersebut yang kemudian dapat menyebabkan penumpukan sel darah putih untuk
melakukan fagositosis hingga kembali ke kondisi normal (Nessa et al., 2022). Paparan
senyawa toksik pada hati juga dapat menyebabkan perubahan berat pada hati. Hal ini
terjadi karena proses detoksifikasi senyawa toksik terjadi di sel hati. Pada dosis 1,2 dan
3 bulan 9, terlihat secara kasar bahwa Bobot Organ Relatif (BOR) hati lebih tinggi
daripada kelompok perlakuan dosis normal, menunjukkan adanya kelainan. Untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, dilakukan pengamatan mikroskopis.

4.4. Pengamatan Mikroskopis Hati


Pada pengamatan mikroskopis, dilakukan perbandingan antara preparat
histologi hati dari kelompok normal dengan preparat hati dari kelompok dosis
perlakuan. Hal ini dilakukan menggunakan mikroskop untuk mendapatkan gambaran
yang lebih detail mengenai struktur hati. Pada analisis mikroskopis, dilakukan
pengukuran rata-rata diameter vena sentralis hati dengan mengukur panjang diameter
terpanjang dan diameter terpendek vena sentralis. Pengambilan objek pada preparat
hati menggunakan 1 lapang pandang dengan mengamati 3 vena sentralis menggunakan
perbesaran mikroskop sebesar 100x. Mikroskop yang digunakan adalah tipe Zeiss
42

Axiocam 105 color yang langsung terhubung pada komputer untuk langsung mengukur
diameter terpanjang dan diameter terpendek dari sebuah vena sentralis. Hasil
pengamatan histologi hati tikus jantan dapat dilihat pada Gambar 12 dibawah ini.

A B

C D

Gambar 12. Histologi tikus jantan setelah diberikan formula ekstrak daun salam (Syzygium
polyanthum (Wight.) Walp) perbesaran 100x dengan dosis normal (A), dosis 1
(B), dosis 2 (C), dan dosis 3 (D); VS: Vena Sentralis. Gambar diambil dengan
skala 20µm
43

A B

C
D

Gambar 13. Histologi tikus betina setelah diberikan formula ekstrak daun salam (Syzygium
polyanthum (Wight.) Walp) perbesaran 100x dengan dosis normal (A), dosis 1
(B), dosis 2 (C), dan dosis 3 (D); VS: Vena Sentralis. Gambar diambil dengan
skala 20µm

Dari gambar histologi hati tikus jantan yang disajikan di atas, terdapat sedikit
perbedaan morfologi antara kelompok normal dan kelompok perlakuan dengan dosis
perlakuan, terutama pada dosis 1000 mg/kg BB. Vena sentralis dosis perlakuan
mengalami perluasan atau pelebaran abnormal. Hal ini dapat terlihat melalui
peningkatan diameter atau ukuran vena sentralis yang melebihi ukuran normalnya.
44

Pengamatan mikroskopis histologi preparat hati pada kelompok normal dan


dosis 400 mg/Kg BB dapat dilihat vena sentralis terlihat utuh dan relatif normal dengan
sel endotelium yang masih tersusun dengan rapi. Hasil dari kelompok dosis 700 mg/Kg
BB dan juga 1000 mg/Kg BB memperlihatkan vena sentralis dan sel endotelium mulai
rusak dan beberapa sel tidak tersusun rapi. Jika kita melihat kembali hasil pengamatan
mikroskopis terhadap Bobot Organ Relatif (BOR) hati pada tikus jantan selama 9 bulan
dengan dosis perlakuan, dapat diamati bahwa temuan tersebut konsisten dengan
perubahan diameter vena sentralis yang lebih besar. Analisis lebih lanjut perlu
dilakukan untuk menganalisis diameter vena pada kelompok normal dan kelompok
dosis perlakuan, sebagaimana terlihat dalam Gambar 13.

Gambar 14. Rata-rata pengukuran diameter pada hati tikus jantan danbetina 9 bulan.
a*menunjukkan bahwa diameter vena sentralis berbeda secara signifikan
(p<0,05) pada dosis 3 terhadap dosis normal. Bar menunjukkan standar
deviasi
Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov, data diameter vena
sentralis pada organ hati tikus jantan 9 bulan berdistribusi normal (p>0,05).
Selanjutnya, hasil uji homogenitas juga menunjukkan bahwa data tersebut homogen
45

(p>0,05). dilakukan analisis lanjutan menggunakan uji ANOVA. Hasil uji ANOVA
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada data diameter vena
sentralis. Dilakukan uji Least Significant Difference (LSD) untuk memperoleh
informasi tentang perbedaan yang lebih rinci antara kelompok dalam data parametrik.
Hasil uji ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok dosis normal
dan dosis 3 (Lampiran 9.) Analisis hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov, data
diameter vena sentralis pada organ hati tikus betina 9 bulan berdistribusi normal
(p>0,05). Selanjutnya, hasil uji homogenitas juga menunjukkan bahwa data tersebut
homogen (p>0,05). dilakukan analisis lanjutan menggunakan uji ANOVA. Hasil uji
ANOVA menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05) pada data
diameter vena sentralis.
Hasil analisis lebar diameter vena sentralis hati tikus betina, kelompok normal
memiliki rerata lebar diameter terendah (52,09 ± 6.80 µm). Sementara itu, kelompok
dengan rerata lebar diameter vena sentralis tertinggi yaitu kelompok perlakuan Dosis
3 (53,27 ± 5.90 µm). Hasil serupa juga didapatkan pada analisis diameter vena sentralis
hati tikus jantan, kelompok normal memiliki rerata lebar diameter vena sentralis
terendah (46,04 ± 3.40 µm) dan kelompok dosis 3 memiliki rerata diameter vena
sentralis tertinggi (55,46 ± 8.83 µm) (Lampiran 8).
Peningkatan berat organ dan perluasan diameter hati dapat disebabkan oleh
peningkatan fungsi kerja hati, terutama pada dosis 3 yang melebihi dosis terapi
sebanyak 2,5 kali lipat. Fungsi hati mencakup kemampuannya dalam mendetoksifikasi
dan mengubah metabolit seperti obat-obatan, hormon, dan zat kimia lainnya yang tidak
lagi dibutuhkan oleh tubuh, sehingga dapat dikeluarkan. Proses detoksifikasi ini
melibatkan berbagai enzim hati yang melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau
konjugasi terhadap zat-zat yang secara alami tidak aktif. Efek langsung dan toksin dari
bakteri, obat-obatan, dan bahan kimia dapat berdampak pada sel-sel hati, terutama pada
sel-sel yang berdekatan dengan vena sentralis. Sel-sel ini menerima jumlah nutrisi yang
lebih sedikit dari darah dibandingkan dengan sel-sel hati lainnya, sehingga mereka
46

memiliki kekebalan yang lebih rendah terhadap zat-zat beracun yang dapat merusak
hati (hepatotoksin) (Atuqotul, 2019).
Pembuluh darah, termasuk vena sentralis, memiliki peran penting dalam
sirkulasi. Vena sentralis berfungsi sebagai penerima darah dari sinusoid-sinusoid di
hati. Darah yang mengalir melalui vena sentralis mengandung nutrisi dan zat-zat hasil
metabolisme, baik yang bersifat toksik maupun non-toksik. Karena vena sentralis
menampung sejumlah besar darah, konsentrasi zat yang bersifat toksik dapat menjadi
lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kerusakan pada vena sentralis
(Hasti et al., 2022).
Hal ini juga sependapat dengan penelitian Hoehme et al., (2010) Dalam hepar,
aliran darah akan melalui sinusoid dan kemudian mengalir menuju vena sentralis.
Proses ini memungkinkan terjadinya pertukaran maksimal antara darah dan sel-sel hati
(hepatosit). Selama pertukaran ini, darah membawa hasil metabolisme dari hepatosit,
termasuk hasil metabolisme yang dapat memiliki sifat toksik. Hasil metabolisme ini
akan terkumpul di vena sentralis dan menyebabkan lisis atau pecahnya sel-sel endotel
di dalam vena sentralis. Pecahnya sel-sel endotel ini menjadi penyebab utama dari
pelebaran diameter vena sentralis.
Kerusakan hati akibat zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis
zat kimia, dosis yang diberikan, dan durasi paparan zat tersebut, baik itu dalam bentuk
paparan akut, subkronik, atau kronik. Semakin tinggi konsentrasi senyawa yang
diberikan, maka dampak toksik yang terjadi pada hati juga semakin besar. Kerusakan
hati dapat terjadi secara cepat atau mungkin membutuhkan waktu beberapa minggu
hingga beberapa bulan untuk terlihat secara nyata.
Berdasarkan hasil uji fitokimia, diketahui bahwa formula ekstrak daun salam
yang digunakan mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, dan tannin (Tabel
4). Senyawa-senyawa aktif ini memiliki manfaat bagi tubuh jika dikonsumsi dalam
dosis yang tepat. Namun, perlu diingat bahwa jika dikonsumsi dalam dosis yang
berlebihan, senyawa-senyawa tersebut dapat memiliki potensi toksik.
47

Fenomena ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa tanaman menghasilkan


senyawa-senyawa beracun alami sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap ancaman
luar. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan dosis yang sesuai dan
memperhatikan aturan penggunaan agar mendapatkan manfaat maksimal dari
senyawa-senyawa aktif tersebut tanpa menimbulkan efek negatif (Amelia, 2022).
Seperti range jumlah kebutuhan flavonoid bervariasi antara 20 mg dan 500 mg (Arifin
& Ibrahim, 2018).
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada penelitianan ini dosis efektif
yang dapat dapat memberikan efek farmakologis dan tidak memberikan efek toksik
serta perubahan struktur pada hati tikus putih jantan dan betina penggunaan jangka
panjang yaitu pada dosis 1 (400 mg/Kg BB),walaupun pada dosis 3 (2,5 kali dosis
efektif) sempat terjadi pelebaran diameter vena sentralis(berbeda signifikan terhadap
kelompok normal) dan penambahan berat organ tikus putih ini sesuai dengan penelitian
Sumiwi, et.al 2019 yang menjelaskan Nilai Lowest Observed Adverse Effect Level
(LAOEL) ekstrak daun salam sebesar 1000 mg/KgBB
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dikerjakan dapat disimpulkan bahwa
pemberian formula mengandung ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum (Wight.)
Walp) hingga dosis 400 mg/kg BB selama 9 bulan tidak menyebabkan perubahan pada
organ hati tikus putih Sprague Dawley jantan dan betina.
5.2 Saran
Perlu adanya pengamatan tambahan untuk analisis hati secara kualitatif untuk
mengetahui perubahan histologi hati yang lebih akurat dan penambahan kelompok
satelit untuk melihat efek revessible dari formula ekstrak daun salam

48
DAFTAR PUSTAKA

Adjirni. (1999). Warta tumbuhan obat Indonesia. (V). Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan
Obat Indonesia. Jakarta
Agus, S., & Agustin, W. (2009). Kemampuan air rebusan daun salam (Eugenia polyantha W)
dalam menurunkan jumlah koloni bakteri Streptococcus sp. Capability of boiling water
of bay leaf (Eugenia polyantha W) for reducing Streptococcus sp. colony. Majalah
Farmasi Indonesia, 20(3), 112–117.
Akbar, B. (2010). Tumbuhan dengan kandungan senyawa aktif yang berpotensi sebagai
bahan antifertilitas (1st ed.). Adabia Press. Jakarta
Amelia, N. (2022). Uji toksisitas kronis formula mengandung ekstrak daun salam (syzygium
polyanthum (wight.) Walp) terhadap histologi ginjal tikus putih galur Sprague Dawley.
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Anggraini, D. R. (2008). Gambaran makroskopis dan mikroskopis hati dan ginjal akibat
pemberian plumbum Asetat. Universitas Sumatra Utara. Medan
Ar Rifai. (2000). Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani Press.
Kepulauan Riau
Arifin, B., & Ibrahim, S. (2018). Struktur, bioaktivitas dan antioksidan flavonoid. Jurnal
Zarah, 6(1), 21–29.
Astawan, M., & Leomitro, A. (2009). Khasiat whole grain. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Atuqotul, F. (2019). pengaruh ekstrak daun pepaya (carica papaya l.) terhadap kadar sgot
dan sgpt serum darah tikus putih jantan (rattus novergicus strain wistar) yang diinduksi
msg (momosodium glutamate). Universitas Muhamadiyah Malang. Malang
BPOM. (2004). Kajian keamanan bahan tambahan pangan pemanis buatan. BPOM. Jakarta
BPOM. (2006). Acuan sedian herbal (Edisi 1). Badan POM RI. Jakarta
BPOM RI. (2014a). Pedoman toksisitas nonklinik secara in vivo. Jakarta
BPOM RI. (2014b). Pedoman uji toksisitas nonklinis secara in vivo. Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta
Dorland, W. A. (2002). Kamus kedokteran dorland (H. Hartanto, Ed.; 24th ed.). EGC. Jakarta

49
Eroschenko, V. (2010). Atlas histologi diFiore dengan korelasi fungsional, (11th ed.). EGC.
Jakarta
Fadhilah, N. A., Hafsan, & Nur, F. (2015). Penurunan kadar kolesterol oleh bakteri asam
laktat asal Dangke secara in vitro. Prosiding Seminar Mikrobiologi Kesehatan Dan
Lingkungan.
Fadli, M. Y. (2015). Uji toksisitas ekstrak etanol daun sambung nyawa (Gynura procumbens
(lour.) merr) Terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Pada Tikus Galur Sprague
dawley. Universitas Lampung. Lampung
Fatmawati, N. K., Ali, M., & Widjajanto, E. (2012). Efek proteksi kombinasi minyak wijen
(sesame oil) dengan α-Tocopherol terhadap Steatosis melalui penghambatan stres
oksidatif pada tikus hiperkolesterolemia. The Journal of Experimental Life Sciences,
2(2), 56–64.
Foragri. (2012). Budidaya tanaman salam. http://www.agropustaka.com/2012/04/ diakses 7
Juni 2023
Ganong, W. (1995). Fisiologi kedokteran (M. D. Widjajakusumah, Ed.; 17th ed.). EGC.
Jakarta
Giri, L. N. (2008). Potensi antioksidasi daun Salam: kajian in vivo pada tikus
hiperkolesterolemia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Gusnadi, D., Taufiq, R., & Baharta, E. (2021). uji organoleptik dan daya terima pada produk
mousse berbasis tapi singkong sebagai komoditi UMKM di kabupaten bandung. Jurnal
Inovasi Penelitian, 1, 2883–2888.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (1997). Fisiologi kedokteran (9th ed.). EGC. Jakarta
Hardhani, A. S. (2008). Pengaruh pemberian ekstrak daun salam (Eugenia polyantha)
terhadap kadar trigliserida serum tikus jantan galur Wistar hiperlipidemia. Universitas
Dipenogoro. Semarang
Harismah, K., & Chusniatun. (2016). Pemanfaatan daun salam (Eugenia polyantha) sebagai
obat herbal dan rempah penyedap makanan. Warta LPM, 19(2), 110–118.
Hasti, S., Musdalifah, Renita, L., Santi, F., Anggraini, S., Sinata, N., & Rusnedy, R. (2022).
Uji toksisitas subkronis ekstrak etanol daun pucuk merah (syzygium myrtifolium walp.)
terhadap fungsi hati dan ginjal . Junal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 1, 30–37.
Heni, Arreneuz, S., & Zaharah, T. A. (2015). Efektivitas antibakteri ekstrak kulit batang
belimbing hutan (Baccaurea abgulata Merr.) Terhadap Staphylococcus aureus dan
Eschericia coli. JKK, 4(1), 84–90.
Hoehme, S., Brulport, M., Bauer, A., Bedawy, E., Schormann, W., Hermes, M., Puppe, V.,
Gebhardt, R., Zellmer, S., Schwarz, M., Bockamp, E., Timmel, T., Hengstler, J. G., &

50
Drasdo, D. (2010). Prediction and validation of cell alignment along microvessels as
order principle to restore tissue architecture in liver regeneration. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 107(23), 10371–10376.
Ismail, A., & Ahmad, W. A. N. W. (2019). Syzygium polyanthum (Wight) Walp: A Potential
Phytomedicine. Pharmacognosy Journal, 11(2), 429–438.
Junqueira, L. C., Carneiro, J., & Kelley, R. O. (1995). Histologi dasar (8th ed.). EGC. Jakarta
Kloppenburg-Vesteegh, J. (1983). Petunjuk lengkap mengenai tanaman-tanaman di
Indonesia dan khasisatnya sebagai obat-obatan tradisional. Yayasan Dana Sejahtera.
Yogyakarta
Kusumawati, D. (2004). Bersahabat dengan hewan coba. UGM Press. Yogyakarta
Kuswara, R. (2015). Uji toksisitas akut infusa daun salam (Syzygium polyanthum (Wight)
Walp.) terhadap gambaran hispatologi hepar tikus galur wistar. Universitas
Tanjungpura. Pontiakan
Lelono, R. A. A., & Tachibana, S. (2013). Bioassay-guided isolation and identification of
antioxidative compounds from the bark of Eugenia polyantha. Pakistan Journal of
Biological Sciences: PJBS, 16(16), 812–818.
Lesson, C. R., Leeson, T. S., & Paparo, A. A. (1996). Histologi (T. Yann, Ed.). Kedokteran
EGC. Jakarta
Manganti, I. (2011). 40 resep ampuh Tanaman obat untuk menurunkan kolesterol dan
mengobati asam urat. Pinang Merah Publisher. Yogyakarta
Moeloek, F. (2006). Herbal and traditional medicine: National perspectivesand policies in
Indonesia. Bahan Alam Indonesia, 5 (1), 293–297.
Muhtadi, M., Suhendi, A., Nurcahyanti, W., & Sutrisna, E. M. (2011). Uji toksisitas akut dari
kombinasi ekstrak herba meniran (Phyllanthus niruri auct. Non-L.), daun tempuyung
(Sonchus arvensis L.) dan biji jinten hitam (Nigella sativa L.). Pharmacon, 12(2), 69–
72.
Nessa, Martinus, & Oktarina, S. (2022). Uji toksisitas subakut ekstrak etanol rambut jagung
(stigma maydis) terhadap fungsi hati tikus putih jantan. Jurnal Akademi Farmasi
Prayoga, 7.
Nikolov, P., Nikolova, J., Orbecova, M., Deneva, T., Vladimirova, L., Atanasova, P.,
Hrischev, P., Georgieva, E., & Nikolov, F. (2015). Flow mediated vasodilation and
some biomarkers of endothelial activation in pre-hypertensive objects. West Indian
Medical Journal. Bulgaria

51
Peluso, M. R. (2006). Flavonoids attenuate cardiovascular disease, inhibit phosphodiesterase,
and modulate lipid homeostasis in adipose tissue and liver. Experimental Biology and
Medicine, 231(8), 1287–1299.
Pidrayanti, L. T. M. U. (2003). Pengaruh pemberian ekstrak daun salam (Eugenia polyantha)
terhadap kadar LDL kolesterol serum tikus jantan galur Wistar. Universitas
Diponogoro. Semarang
Poedjjiadi, A., & FMT, S. (2006). Dasar-dasar biokimia. Univeristas Indonsesia (UI-Press).
Depok
Robbins, S. L., Kumar, V., & Cotran, R. S. (2004). Buku ajar patologi I dan II (7th ed.).
EGC. Jakarta
Sari, I. O. (2022). Struktur histopatologi jantung tikus setelah pemberian formula herbal yang
mengandung ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum (wight) walp.) selama 9 bulan.
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta
Sembiring, B. S., Winarti, C., & Baringbing. (2003). Identifikasi komponen kimia minyak
daun salam (Eugenia polyantha) dari Sukabumi dan Bogor. Buletin Tanaman Rempah
Dan Obat, 14 (2), 9–16.
Siepoe, M. (1993). Kolesterol fobia dan keterkaitannya dengan penyakit jantung. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarat
Sumiwi, S. A., Zuhrotun, A., Hendriani, R., Rizal, M., Levita, J., & Megantara, S. (2019).
Subchronic toxicity of ethanol extract of Syzygium polyanthum (Wight) Walp. leaves
on wistar rat. Indonesian Biomedical Journal, 11(1), 30–35.
Susanti, E. (2015). Gambaran histopatologi hati tikus putih (Rattus norvrgicus) yang diberi
insektisida golongan piretroid (sipermetrin). Universitas Hasanudin. Makasar
Utami, P., & Puspaningtyas, D. E. (2013). The miracle of herbs (Y. Indah, Ed.; 1st ed.). Agro
Media Pustaka. Jakarta
Wartini, N. M. (2009). Senyawa penyusun ekstrak flavor daun salam (Eugenia polyantha
Wight) hasil distilasi uap menggunakan pelarut n-Heksana dan tanpa n-Heksana.
Agrotekno, 15(2), 72–77.
Yoeantafara, A., & Martini, S. (2017). Pengaruh pola makan terhadap kadar kolesterol total.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 13(4), 304.

52
LAMPIRAN
Lampiran 1. Ethical clearance Uji Tokisitas Kronis Formula Ekstrak Daun Salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Fungsi Hati Tikus Putih Sprague
Dawley

53
Lampiran 2. Perhitungan dalam pembuatan suspensi sampel pengujian
Tiga variasi dosis yang berbeda digunakan yaitu;
1. Dosis khasiat 400 mg/kg BB,
2. Dosis tengah 700 mg/kg BB
3. Dosis tinggi 1000 mg/kg BB.
Pemberian sampel sebanyak 1 ml/200 g BB dari tikus (BPOM RI, 2014b).
Penimbangan formula ekstrak:
1. Dosis 1: 400 mg/kg BB
400 𝑚𝑔
𝑥 200 𝑔 = 80 𝑚𝑔/200 g BB
1000 𝑚𝑔

Jumlah hewan uji pada dosis 1 = 20 ekor


Stock suspensi akan digunakan dalam 5 hari, sehingga:
20 x 5 = 100 ml
Formula extrak yang ditimbang: 80mg x 100 ml = 8.000 mg = 8 g
2. Dosis 2: 700 mg/kg BB
700 𝑚𝑔
𝑥 200 𝑔 = 140 𝑚𝑔 /200g BB
1000 𝑚𝑔

Jumlah hewan uji pada dosis 2 = 20 ekor


Stock suspensi akan digunakan dalam 5 hari, sehingga:
20 x 5 = 100 ml
Formula extrak yang ditimbang: 140mg x 100 ml = 14.000 mg = 14 g
3. Dosis 3: 1000 mg/kg BB
700 𝑚𝑔
𝑥 200 𝑔 = 200 𝑚𝑔 /200g BB
1000 𝑚𝑔

Jumlah hewan uji pada dosis 3 = 20 ekor


Stock suspensi akan digunakan dalam 5 hari, sehingga:
20 x 5 = 100 ml

54
Formula extrak yang ditimbang: 2000mg x 100 ml = 20.000 mg = 20 g
Setiap formula ekstrak akan diencerkan dengan CMC Na 0,5% kemudian
ditara sesuai volume stock yang akan dibuat

Lampiran 3. Rata- rata berat badan tikus jantan dan betina selama 37 minggu
Rata-rata BB Kelompok
(g) per-2
pekan BN BD1 BD2 BD3 JN JD2 JD2 JD3
M1 117.9 132.4 124.5 108.2 126.58 147.295 161.9 159.37
M3 154.2 175.3 154.9 148.5 179.49 200.745 210.355 211.505
M5 177.7 188.8 178.2 177.0 231.5 239.705 242.785 239.405
M7 197.5 207.2 200.6 199.7 265.32 265.86 273.715 257.925
M9 208.0 220.0 218.0 218.3 292.305 282.36 301.585 286.055
M11 214.6 230.9 229.9 223.1 320.83 307.43 335.15 295.38
M13 234.0 243.2 242.9 234.1 341.73 327.03 343.215 318.675
M15 238.3 246.9 248.8 238.0 369.26 345.875 351.81 342.14
M17 233.0 259.8 251.1 239.0 380.315 363.13 370.145 352.49
M19 250.8 257.2 252.6 239.6 403.77 376.12 380.31 370.815
M21 255.0 267.8 256.0 245.6 414.49 390.575 405.415 388.865
M23 261.0 270.0 262.0 248.6 432.81 405.845 418.43 401.17
M25 263.1 267.7 262.7 245.5 441.67 421.08 424.215 407.065
M27 265.1 275.1 268.5 253.9 452.285 432.14 437.16 422.24
M29 267.2 274.6 269.4 250.9 460.205 442.73 446.075 427.07
M31 265.3 275.8 271.4 253.8 465.83 452.65 451.815 427.345
M33 273.0 279.2 280.9 261.2 464.3 451.295 452.235 430.065
M35 276.9 283.2 286.0 261.7 476.415 465.01 462.075 438.02
M37 277.7 285.1 280.9 261.2 468.21 448.185 464.065 449.56

55
Lampiran 4. Hasil analisis statistik terhadap berat badan tikus putih jantan dan
betina menggunakan aplikasi IBM® SPSS® Statistics 22
a. Uji Normalitas dan homogenitas serta Anova tikus jantan
Uji Normalitas menunjukkan data berat badan tikus jantan berdistribusi
dengan normal (p>0,05)
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Perlakuan Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Berat_Badan_Tikus_Jantan DOSIS1 .124 19 .200* .917 19 .101

DOSIS2 .146 19 .200* .904 19 .058

DOSIS3 .153 19 .200* .912 19 .079

NORMAL .160 19 .200* .881 19 .023

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction


Hasil uji tes homogenitas menunjukkan data bersifat homogen p>0,05
Test of Homogeneity of Variances
Berat_Badan_Tikus_Jantan

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.297 3 72 .828

Dilanjutkan dengan uji Anova, p>0,05


ANOVA
Berat_Badan_Tikus_Jantan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4284.435 3 1428.145 .160 .923


Within Groups 641381.501 72 8908.076
Total 645665.936 75

b. Uji Normalitas dan homogenitas serta Anova tikus betina


Uji Normalitas menunjukkan data berat badan tikus berdistribusi tidak berdistribusi
dengan normal (p<0,05). Dilanjutkan dengan uji non parametrik Kruskal-Wallis

56
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Perlakuan Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Berat_Badan_Tikus_Betina DOSIS1 .200 19 .045 .845 19 .006

DOSIS2 .223 19 .014 .844 19 .005

DOSIS3 .257 19 .002 .770 19 .000

NORMAL .185 19 .088 .859 19 .010

a. Lilliefors Significance Correction

Uji Kruskal-Wallis menunjukkan data berat badan tikus tidak berbeda signifikan
dengan antarkelompok (P>0,05)
Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Berat_Badan_Tikus_Betina DOSIS1 19 45.11

DOSIS2 19 41.37

DOSIS3 19 30.05

NORMAL 19 37.47

Total 76

Test Statisticsa,b

Berat_Badan_Tik
us_Betina

Chi-Square 4.842
df 3
Asymp. Sig. .184

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable: Perlakuan

57
Lampiran 5. Hasil analisis statistik berat organ relatif hati tikus jantan
a. Uji normalitas p>0,05. Data berdistribusi dengan normal
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Berat_relatif_hati Normal .185 10 .200* .949 10 .656

Dosis 1 .259 10 .055 .901 10 .225


*
Dosis 2 .195 9 .200 .930 9 .483

Dosis 3 .205 10 .200* .929 10 .440

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

b. Uji homogenitas p<005. Data tidak homogen di lanjutkan dengan uji non
prametrik Kruskal-Wallis
Test of Homogeneity of Variances
Berat_relatif_hati

Levene Statistic df1 df2 Sig.

8.699 3 35 .000

c. Uji Kruskal Wallis p<0,05. Terdapat peebedaan yang signifikan terhadap


kelompok normal

Kruskal-Wallis Test
Ranks

Kelompok N Mean Rank

Berat_relatif_hati Normal 10 8.70

Dosis 1 10 20.00

Dosis 2 9 21.72

Dosis 3 10 29.75

Total 39

Test Statisticsa,b

58
Berat_relatif_hati

Chi-Square 17.368
df 3
Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable: Kelompok

d. Dilanjutkan uji Mann-Whitney Test yang dilakukan untuk mengetahui


perbedaan antara kelompok lebih lanjut untuk data non parametrik.
e. Hasil Mann-Whitney Test menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan
antara kelompok normal dengan semua dosis perlakuan

59
60
Lampiran 6. Hasil analisis statistik berat organ relatif tikus betina
a. Hasil uji normalitas dan homogenitas. Data terdistribusi dengan normal dan
bersifat homogen (P>0,05).
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Berat_relatif_hati Normal .186 10 .200* .906 10 .252

Dosis 1 .147 10 .200* .922 10 .372

Dosis 2 .123 10 .200* .962 10 .811

Dosis 3 .179 10 .200* .896 10 .197

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variances


Berat_relatif_hati

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.914 3 36 .444

b. Dilanjutkan dengan uji ANOVA. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok normal dengan pelakuan dosis
ANOVA
Berat_relatif_hati

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .000 3 .000 .944 .429


Within Groups .000 36 .000
Total .000 39

61
Lampiran 7. Data berat organ relatif tikus putih jantan dan betina
a. Berat organ relatif hati tikus jantan dan betina

b. Data mentah berat organ relatif hati tikus jantan

62
c. Data mentah berat organ relatif hati tikus betina

63
Lampiran 8. Data Rata rata diameter vena sentralis hati
a. Diameter vena sentralis hati tikus jantan

b. Diameter vena sentralis hati tikus betina

c. Rata-rata diameter vena sentralis tikus jantan dan betina

64
Lampiran 9. Hasil analisis statistik diameter vena sentralis hati tikus jantan
a. Uji normalitas dan homogenitas. Data diameter vena sentralis hati tikus putih
berdistribusi normal dan bersifat homogen P>0,05 dilanjutkan dengan uji
analisis ANOVA
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Rata_rata_diameter_VS_janta Normal .197 10 .200* .955 10 .730


n Dosis 1 .140 10 .200* .925 10 .401

Dosis 2 .213 10 .200* .930 10 .450

Dosis 3 .177 10 .200* .923 10 .379

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variances


Rata_rata_diameter_VS_jantan

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.802 3 36 .054

b. Uji ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara kelompok


normal dengan kelompok perlakuan dosis (P<0,05). Dilajutkan dengan
analisis Lanjutan LSD.
ANOVA
Rata_rata_diameter_VS_jantan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 446.950 3 148.983 3.193 .035


Within Groups 1679.645 36 46.657
Total 2126.595 39

c. Uji LSD menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara kelompok normal


dan kelompok dosis 3 (P<0,05)

65
Lampiran 10. Hasil analisis statistik diameter vena sentralis hati tikus betina

a. Uji normalitas dan homogenitas. Data diameter vena sentralis hati tikus putih
berdistribusi normal dan bersifat homogen P>0,05 dilanjutkan dengan uji
analisis ANOVA
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Rata_rata_diameter_VS_beti Normal .230 8 .200* .881 8 .191


na Dosis 1 .189 8 .200* .953 8 .742

Dosis 2 .217 8 .200* .905 8 .322

Dosis 3 .259 8 .121 .938 8 .595

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variances


Rata_rata_diameter_VS_betina

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.235 3 28 .871

b. Uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara


kelompok normal dengan kelompok perlakuan dosis (P>0,05).

ANOVA
Rata_rata_diameter_VS_betina

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 9.837 3 3.279 .083 .969


Within Groups 1110.542 28 39.662
Total 1120.379 31

66
Lampiran 11. Dokumentasi kandang hewan perlakuan.

67

Anda mungkin juga menyukai