Iacob

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 16

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022

ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN BEDAH SARAF DI


RUANG ICU RSUD Dr. R SOSODORO DJATIKOESOEMO BOJONEGORO

Sebilah Sabil Noer1, Rika Yulia1, Fauna Herawati1, Achmad Zamroni2


1
Program Magister Farmasi, Universitas Surabaya, Indonesia
2
RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected],
[email protected]

Abstrak
Kraniotomi adalah operasi bedah saraf yang membuka tempurung kepala sehingga
beresiko tinggi mengalami infeksi dan memerlukan antibiotik profilaksis. Tujuan
penelitian yang dilakukan di ruang ICU RSUD dr R Sosodoro Djatikoesoemo
Bojonegoro adalah untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotik dalam satuan
defined daily dose (DDD)/100 patient-days, mengetahui peta kuman pasien bedah
saraf dan mengetahui tingkat kesesuaian penggunaan antibiotik dengan hasil
pemeriksaan mikrobiologi dan pedoman penggunaan antibiotik. Penelitian
dilakukan secara observasional bersifat deskriptif dengan arah pengambilan data
secara prospektif. Pada penelitian ini diperoleh 34 pasien dengan 85,29% berusia
18-60 tahun, 11,76% berusia lebih dari 60 tahun dan 2,94% berusia kurang dari 18
tahun, berdasarkan jenis kelamin sampel laki-laki 41,18% dan perempuan 58,82%
yang seluruhnya pembiayaan ditanggung BPJS, 85,29% pasien menjalani lama
rawat inap lebih dari 5 hari dan 14,71% pasien menjalani lama rawat inap kurang
dari 5 hari. Kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien bedah saraf kraniotomi
dihitung dengan defined daily dose (DDD)/100 patient-days dan diperoleh hasil
nilai DDD 46,16 sefepim, seftriakson 20,21 fosfomisin 9,90. Peta kuman bedah
saraf tidak didapatkan pada penelitian ini karena seluruh pemeriksaan mikrobiologi
menunjukkan tidak ada pertumbuhan mikroba. Kualitas penggunaan antibiotik
pada pasien bedah saraf 100% telah sesuai dengan peta kuman RSUD Dr R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro tahun 2021 dan pedoman penggunaan
antibiotik.

Kata Kunci: antibiotik, DDD/100patient-days, kraniotomi, infeksi, peta kuman

Abstract
Craniotomy is an operation on the field of neurosurgery that opens the cranium at
high risk of infection. The effort to prevent infection is the wise use of antibiotics.
The purpose of the study conducted in the ICU room of RSUD dr R Sosodoro
Djatikoesoemo Bojonegoro was to determine the quantity and quality of antibiotic
use of neurosurgery patients. The research conducted observationally is descriptive
with prospective data collection. The sample inclusion criteria are patients
undergoing craniotomy, attached to a vacuum drain after the procedure and
patients over 12 years of age. The exclusion criteria in this study were forced
discharge patients, patients died less than 3 days of treatment and patients were
How to cite: Sebilah Sabil Noer. et al (2022) Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU
RSUD Dr. R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, 7 (7)
E-ISSN: 2548-1398
Published by: Ridwan Institute
Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

referred. In this study, 34 patients were obtained with 85.29% aged 18-60 years,
male 41.18% and female 58.82% who were all covered by BPJS and the length of
hospitalization was mostly more than 5 days. The quantity of antibiotic use in
craniotomy neurosurgical patients was calculated with a defined daily dose
(DDD)/100 patient-days and obtained the results of DDD values of 46.16
cephroxone, ceftriaxone 20.21 phosphomycin 9.90. The results of the
microbiological examination of the drain fluid all showed that there was no
microbial growth. The quality of antibiotic use is known to be 100% in accordance
with the antibiotic use guidelines and germ maps of inpatients.

Keywords: antibiotics, DDD/100patient-days, craniotomy, infection, germ maps

Pendahuluan
Bedah saraf merupakan tindakan dalam rangka penegakan diagnosa atau
tindakan berdasarkan patofisiologi yang diderita pasien. Secara umum terdapat beberapa
jenis tindakan bedah saraf salah satunya adalah kraniotomi yang merupakan tindakan
membuka membuka sebagian tulang kepala untuk dapat mengakses rongga kepala.
Kraniotomi (craniotomy) berasal dari kata cranium yang berarti tulang kepala atau
tengkorang dan -tomia yang berarti memotong (Morales-Valero et al. 2014).
Kraniotomi beresiko menyebabkan infeksi daerah operasi hingga sepsis. Penelitian yang
dilakukan Patel menunjukkan bahwa 198 dari 16.513 pasien bedah saraf mengalami
infeksi. Tindakan bedah diluar bedah saraf spinalis memiliki resiko infeksi terkecil
dibandingkan tindakan lainnya (Patel et al. 2019). Karhade pada tahun 2017
menunjukkan 132.063 dari 3.723.797 pasien bedah saraf mengalami infeksi. Resiko
infeksi pasien bedah saraf meningkat 5,3% pada hari ke 30 setelah operasi. Infeksi pada
luka operasi terjadi pada 1,8% pasien dan 3,9% diantaranya menjadi infeksi lain seperti
pneumonia dan infeksi saluran kemih (Karhade et al. 2017).
Resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah terkait kasus infeksi dan
menjadi masalah kesehatan dunia. Kemunculan dan perkembangan resistensi antibiotik
terjadi karena kondisi yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik dan penyebaran
mikroba resisten. Penelitian yang dilakukan Savoldi tahun 2017 terhadap 178 studi yang
menggunakan 66.142 isolat dari 65 negara menunjukkan tingkat resistensi primer dan
sekunder (Savoldi et al. 2018). Penelitian di rumah sakit dr. H Adam Malik Medan juga
menunjukkan tingginya resistensi antibiotik, 76 dari 90 jenis antibiotik yang ada di
formularium nasional telah menyentuh nilai ambang batas antibiotic susceptibility test
(AST) (Tillasman, Saragih, and Umar 2018). Data badan kesehatan dunia juga
menunjukkan bahwa terjadi 2.049.442 kasus kesakitan karena resistensi antibiotik
dengan 23.000 diantaranya meninggal dunia (World Health Organisation 2013).
Infeksi dan resistensi antibiotik merupakan masalah yang mengancam mutu
pelayanan kesehatan. Resistensi antibiotik meningkat karena penggunaan obat antibiotik
dengan spektrum yang luas, terjadinya transmisi silang dan penurunan daya tahan tubuh
pasien. Pemilihan antibiotik yang tepat selama masa pemulihan berperan terhadap
perbaikan kondisi klinis pasien dan sebaliknya pemilihan antibiotik yang tidak tepat

9038 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022


Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU RSUD Dr. R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

akan berpotensi menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik. Resistensi antibiotik dan


penyebaran mikroba resisten dapat terjadi melalui transmisi vertikal dan transmisi
horisontal. Transmisi vertikal terjadi ketika bakteri memiliki kekebalan akibat
akumulasi perubahan genetis selama proses duplikasi genom secara alami. Transmisi
vertikal mengakumulasikan kesalahan genom dalam proses replikasi. Akumulasi
kesalahan menyebabkan satu dari seribu bakteri yang berkembang akan mengalami
kesalahan genom yang dinamakan mutasi. Mutasi menyebabkan resistensi bakteri
terhadap antibiotik. Transmisi horisontal merupakan proses terjadinya transfer gen dari
bakteri yang mengalami mutasi menjadi resisten. Proses transmisi horisontal diawali
dengan perpindahan gen penyebab resistensi dari satu bakteri ke bakteri lainnya dengan
perantara plasmid. Plasmid merupakan elemen genetik yang dapat berpindah antar sel.
Fragmen bakteri ini berpindah menuju sel lain melalui tiga mekanisme transformasi,
transduksi, dan konjugasi (Blair et al. 2015); (Lowe 1982).
Perkembangan resistensi mikroba diharapkan dapat dikendalikan dengan
program penggunaan antibiotik secara bijak dan penyebaran mikroba resisten dapat
dihambat dengan program pengendalian infeksi secara optimal (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia 2015). Penelitian yang dilakukan Anggriani pada tahun 2018
mengidenfifikasi bahwa penggunaan antibiotik 100% sesuai indikasi penyakit, 100%
sesuai dosis pemberian, 92,31% telah sesuai interval waktu pemberian dan 92,31% telah
sesuai waktu pemberian. Penggunaan antibiotik kombinasi menunjukkan manfaat
sinergisme pada 7,69% seftriakson dengan meropenem, seftazidim dengan levofloksasin
dan metronidazol dengan levofloksasin (Anggriani, Lisni, and Kusnandar 2018).
Pemberian antibiotik secara tepat dapat memberikan manfaat pada pengobatan dan
pencegahan kasus infeksi
Antibiotik dapat diberikan dengan tujuan pengobatan infeksi atau pencegahan
infeksi pada pasien yang beresiko tinggi.Pemberian antibiotik dengan tujuan
pencegahan kejadian infeksi disebut dengan profilaksis. Pemberian antibiotik profilaksis
direkomendasikan sebanyak satu dosis 30 menit sebelum insisi pertama dan satu dosis
tambahan jika operasi berlangsung lebih dari tiga jam (Patel et al. 2019). Antibiotik
profilaksis pada bedah saraf dapat mencegah kejadian komplikasi sistemik, meningitis,
celulitis, abses serebral, abses tulang belakang dan osteomielitis. Antibiotik profilaksis
juga memiliki resiko terhadap gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, reaksi
alergi dan resistensi antibiotic (Iacob and Iacob 2010). Penggunaan antibiotik
profilaksis sebaiknya memperhatikan kaidah resiko infeksi tindakan bedah, kesesuaian
spektrum antibiotik terhadap kuman yang mungkin mengkontaminasi dan ketepatan
dosis pemberian.
Program pengendalian resistensi antibiotik (PPRA) merupakan upaya
pemerintah sebagai tindaklanjut program pengendalian antibiotik yang dicanangkan
badan kesehatan dunia sejak tahun 2011. PPRA dimasukkan sebagai program promosi
kesehatan pemerintah dan masuk penilaian program kerja rumah sakit pada standar
akreditasi rumah sakit versi edisi tahun 2018. PPRA dilaksanakan secara kolaboratif
komite farmasi dan terapi, panitia pencegahan dan pengendalian infeksi, farmasi klinik

Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022 9039


Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

dan mikrobiologi klinik yang menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik untuk


mencegah infeksi dan resistensi antibiotik. Penggunaan antibiotik secara bijak bertujuan
untuk mengatur penggunaan antibiotik profilaksis, empiris dan definitif sehingga
memberikan hasil terapi yang optimal. Penggunaan antibiotik secara bijak dapat dimulai
dengan penggunaan antibiotik spektrum sempit berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi atau perkiraan bakteri penyebab, indikasi ketat, dosis cukup, durasi cukup
dan tidak berlebihan, menggunakan antibiotik empirik spektrum luas untuk dalam
keadaan tertentu dengan evaluasi klinis pada tiga hari penggunaan, melaksanakan
kebijakan pembatasan peresepan antibiotik, optimalisasi dosis dengan
mempertimbangkan kondisi klinis kuman penyebab, lokasi infeksi, sifat
farmakodinamik dan farmakokinetik obat; dan mengubah terapi dari parenteral ke oral
sesegera mungkin (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015, 2020a; Lekok,
Natadidjaja, and Dharmayanti 2020).
Kementerian kesehatan melalui standar akreditasi rumah sakit tahun 2022
menyebutkan bahwa PPRA sebagai standar nomor 8 pada pelayanan kefarmasian dan
pengelolaan obat. Rumah sakit diwajibkan untuk melakukan peningkatan pemahaman
dan kesadaran penggunaan antimikroba bijak bagi seluruh tenaga kesehatan dan staf di
rumah sakit, serta pasien dan keluarga, melalui pelatihan dan edukasi, optimalisasi
penggunaan antimikroba secara bijak melalui penerapan penatagunaan antimikroba
(PGA), surveilans penggunaan antimikroba secara kuantitatif dan kualitatif, surveilans
resistansi antimikroba dengan indikator mikroba multi drugs resistance organisme,
peningkatan mutu penanganan tata laksana infeksi, melalui pelaksanaan forum kajian
kasus infeksi terintegrasi (FORKKIT). Surveilens penggunaan antibiotik secara
kuantitatif dapat dilakukan dengan rumus defined daily dose. Surveilens penggunaan
antibiotik secara kualitatif dapat dilakukan melalui penilaian kesesuaian penggunaan
antibiotic (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2022). Hasil monitoring dan
evaluasi penggunaan antibiotik dapat menjadi salah satu parameter untuk penilaian
ketepatan penggunaan obat. Penggunaan antibiotik yang berlebihan juga dapat
menjadi beban biaya pengobatan (Lekok et al. 2020). Biaya yang besar dan tidak tepat
dapat memberikan pengaruh buruk terhadap efisiensi dan efektivitas pengobatan karena
diera jaminan kesehatan nasional biaya perawatan dibayar berdasar jenis tindakan bukan
berdasarkan ruang perawatan pasien.
RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro merupakan rumah sakit kelas
B yang merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Jawa Timur bagian barat dengan
pasien berasal dari daerah Tuban, Nganjuk, Lamongan dan Blora Jawa Tengah. Bedah
saraf merupakan salah satu layanan unggulan di RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo
Bojonegoro dengan rata- rata 15 pasien perbulan yang menjalani operasi selama tahun
2020 dengan sebagian besar merupakan tindakan kraniotomi. Pasien kraniotomi
mendapatkan perawatan diruang intensive care unit setelah operasi. Pasien di ruang
tersebut merupakan salah satu indikasi pasien dengan resiko tinggi infeksi. Instalasi
farmasi merupakan bagian dari tim PPRA yang wajib melaksanakan monitoring dan
evaluasi penggunaan antibiotik. Penelitian observasional terkait evaluasi penggunaan

9040 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022


Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU RSUD Dr. R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

antibiotik baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada pasien dengan resiko tinggi
infeksi dapat memberikan kontribusi terhadap pemenuhan standar akreditasi di RSUD
Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan secara observasional bersifat deskriptif dengan
pengambilan data secara prospektif pada pasien bedah saraf di ruang insentive care unit
RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro pada November 2021 sampai dengan
Maret 2022. Pengambilan data dilakukan dari rekam medis, catatan pemberian obat dan
hasil pemeriksaan mikrobiologi yang diakses melalui sistem informasi manajemen
rumah sakit. Variabel penelitian ini adalah kuantitas penggunaan antibiotik pasien
bedah saraf di ruang intensive care unit RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo
Bojonegoro dalam satuan defined daily dose (DDD)/100 patient-days, peta kuman,
kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan kesesuaian penggunaan antibotik dengan
peta kuman dan pedoman penggunaan antibiotik. Sampel pada penelitian ini adalah
seluruh pasien bedah saraf di RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro pada
November 2021 sampai dengan Maret 2022 yang memiliki kriteria inklusi sebagai
pasien yang menjalani kraniotomi, terpasang drain vakum setelah tindakan dan pasien
berusia lebih dari 12 tahun. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut
pasien pulang paksa, pasien meninggal kurang dari 3 hari perawatan, pasien dirujuk.
Analisis data dilakukan untuk memperoleh informasi profil sampel, profil penggunaan
antibiotik, profil hasil pemeriksaan mirobiologi, kuantitas dan kualitas penggunaan
antibiotik. Profil sampel merupakan deskripsi terhadap data penelitian yang meliputi
informasi usia, jenis kelamin dan lama hari rawat inap. Profil penggunaan antibiotik
merupakan deskripsi terhadap data penelitian yang meliputi informasi nama, rute
pemakaian, dosis pemakaian dan lama pemakaian antibiotik.

Hasil dan Pembahasan


Kasus tumor otak dan cidera kepala merupakan sebagian indikasi untuk
dilakukan operasi kraniotomi. Perawatan paska operasi kraniotomi rata- rata
memerlukan waktu selama 12,5 hari dan apabila semakin lama waktu perawatan di
rumah sakit akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi luka operasi. Resiko infeksi
sistemik meningkat pada pasien bedah saraf yang dirawat selama 30 hari atau lebih
(Penfold et al. n.d.); (Klein et al. 2020). Profil pasien dan lama rawat inap bedah saraf di
RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1
Profil Demografi Pasien Bedah Saraf
Total sampel = 34 pasien
Usia (tahun) (Kementerian
Kesehatan Republik Jumlah Persentase
Indonesia 2020b)
12-18 1 2,94

Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022 9041


Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

18-60 29 85,29
>60 4 11,76
Jenis kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 14 41,18
Perempuan 20 58,82
Lama Rawat Inap (hari) Jumlah Persentase (%)
< 5 5 14,71
>5 29 85,29
Lama Rawat Inap (hari) 256
Status pembayaran Jumlah Persentase (%)
BPJS 34 100
Non-BPJS 0 0

Kondisi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vinodkumar, et al.
dan Dipika, et al. yang menyebutkan bahwa penggunaan antibiotik tertinggi pada pasien
dengan usia dewasa antara 18 sampai dengan 60 tahun (Bansal et al. n.d.);
(Antimikrobiyal and Seçilmiş 2021). Penggunaan antibiotik dapat meningkatkan resiko
gangguan fungsi hepar dan ginjal pada pasien dengan kriteria beresiko tinggi. Pasien
dengan resiko tinggi yang dimaksud adalah pasien neonates, pediatri, geriatri dan
seluruh pasien yang telah mengalami masalah penurunan fungsi hepar/ renal sebelum
menerima antibiotic (Antimikrobiyal and Seçilmiş 2021). Berdasarkan literatur tersebut
maka pasien dengan rentang usia 18 sampai dengan 60 tahun tidak memerlukan
penyesuaian dosis dan kondisi sesuai dengan data yang diperoleh. Pasien dengan usia
18 sampai dengan 60 tahun tidak memerlukan penyesuaian dosis antibiotik karena
pengaruh farmakodinamik (Eyler and Shvets 2019). Profil demografi sampel juga
menunjukkan bahwa sampel penelitian lebih banyak perempuan (58,82%) dan laki-laki
(41,18%).
Lama rawat inap keseluruhan sampel adalah 256 hari dengan 85,29%
diantaranya memerlukan perawatan selama lebih dari 5 hari, hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Penfold, et al. yang menunjukkan bahwa perempuan
memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita tumor otak dan laki- laki memliki
resiko yang besar untuk menderita cidera kepala dengan resiko yang fatal. Kasus tumor
otak dan cidera kepala merupakan sebagian indikasi untuk dilakukan operasi
kraniotomi. Perawatan paska operasi kraniotomi rata- rata memerlukan waktu selama
12,5 hari dan apabila semakin lama waktu perawatan di rumah sakit akan meningkatkan
resiko terjadinya infeksi luka operasi. Resiko infeksi sistemik meningkat pada pasien
bedah saraf yang dirawat selama 30 hari atau lebih (Penfold et al. n.d.); (Klein et al.
2020). Pasien paling lama menjalani perawatan selama 44 hari dan paling cepat selama
3 hari. Pasien dengan masa perawatan 44 hari merupakan pasien kasus stroke yang pada
awalnya menjalani perawatan di ruang highcare unit saraf dengan mendapat terapi
antibiotik seftriakson dari dokter spesialis saraf yang merupakan dokter
penganggungjawab pasien, selanjutnya berdasarkan pertimbangan klinis keluarga pasien
memberikan persetujuan untuk dilakukan operasi bedah saraf dan alih rawat. Kondisi ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2017 yang menunjukkan

9042 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022


Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU RSUD Dr. R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

bahwa responden terbanyak adalah lama rawat inap lebih dari 5 hari dengan tidak ada
infeksi luka operasi sebanyak 61%. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pasien pasca
operasi yang tidak ada infeksi luka operasi lebih cenderung lama rawat inap lebih dari
lima hari di ruang rawat inap bedah. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
responden terbanyak dengan lama rawat inap lebih dari lima hari dengan jenis operasi
mayor sebanyak 76,9% responden. Pasien pasca operasi mayor lebih cenderung lama
rawat inap lebih dari lima hari di ruang rawat inap bedah (Rahmayati, Asbana, and
Aprina 2018).
Data profil penggunaan antibiotik sampel penelitian berdasarkan penggunaannya
didiskripsikan dalam tabel 2.

Tabel 2
Profil Penggunaan Antibiotik
Total sampel = 34 pasien
Penggunaan antibiotik Jumlah Persentase
Tunggal 3 8,82
Kombinasi 31 91,18
Kombinasi antibiotik Jumlah Persentase
2 jenis 27 87,10
3 jenis 4 12,90
2 Jenis kombinasi antibiotik Jumlah Persentase
Sefepim dan Seftriakson 7 25,93
Sefepim dan Fosfomisin 20 74,07
3 Jenis kombinasi antibiotik
Seftriakson dan Fosfomisin dan Sefepim 4 100,00

Data profil penggunaan antibiotik sampel menunjukkan 3 pasien dengan


antibiotik tunggal (8,82%) dan 31 pasien dengan antibiotik kombinasi (91,18%).
Penggunaan antibiotik dalam tindakan bedah bergantung dari jenis operasi yang
dilaksanakan. Jenis-jenis operasi adalah operasi bersih, operasi bersih terkontaminasi,
operasi terkontaminasi, dan operasi kotor. Operasi bersih adalah luka operasi yang tidak
terinfeksi, tidak ada peradangan, bukan merupakan saluran kemih, pernapasan,
pencernaan atau genital. Selain itu, luka bekas operasi bersih ditutup dengan aseptis dan
dikeringkan dengan drainase tertutup. Tindakan bedah saraf merupakan tindakan
operasi bersih, meskipun demikian penggunaan antibiotik profilaksis dan rumatan
diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi selama pemulihan (Protzer et
al. n.d.). Penggunaan 2 kombinasi antibiotik ditemukan pada 87,10% pasien dan
12,90% lainnya menggunakan 3 kombinasi antibiotik. Kombinasi antibiotik yang terdiri
dari fosfomisin sebagai profilaksis dilanjutkan dengan sefepime ditemukan pada
74,07% pasien diikuti dengan seftriakson selama perawatan sebelum operasi dilanjutkan
setelah operasi ditemukan pada 25,93% pasien. Kombinasi 3 antibiotik adalah
penggunaan antibiotik seftriakson kurang dari 3 hari kemudian teindikasi memerlukan
tindakan bedah saraf sehingga diberikan fosfomisin pada saat akan menjalani
kraniotomi dan sefepim untuk terapi setelah operasi. Penggunaan antibiotik kombinasi 3

Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022 9043


Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

jenis ini ditemukan pada 4 pasien. Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan terhadap cairan
drain yang diambil antara hari kedua sampai dengan kelima paska operasi. Waktu
pengambilan sampel ini sesuai dengan rekomendasi lama pemakaian drain vakum yaitu
hingga cairan yang dihasilkan dari subgaleal paling banyak 100 ml atau empat hari
pemakaian (Ma et al. 2013). Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan pada
saat akan melepas drain apabila drain dilepas kurang dari empat hari atau paling lambat
pada hari kelima. Pengambilan sampel dilakukan melalui ujung selang yang terhubung
dengan wadah penampung. Pelepasan drain dilakukan oleh perawat berdasar advise dari
dokter penanggungjawab. Pada saat pengambilan sampel hal pertama yang disiapkan
oleh perawat adalah menyiapkan tabung sampel dan label identitas sampel. Perawat
melakukan hand hygine kemudian membersihkan area sambungan selang dan tabung
dengan alkohol 70% setelah itu sambungan antara selang dan penampung dilepas dan
dibuang cairan yang berada diujung selang minimal 2 ml. Sisa cairan berikutnya pada
wadah sampel yang telah diberi label. Sampel segera dikirim ke bagian laboratorium
beserta formulir permohonan uji mikrobiologi. Perlakukan pada saat pengambilan
sampel ini sesuai dengan standar operasional pengambilan sampel cairan tubuh lain
yang berlaku di RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. Pada penelitian ini
34 sampel yang dipemeriksa mikrobiologi meliputi pewarnaan gram dan pertumbuhan
bakteri seluruhnya menunjukkan tidak ada mikroba dari pewarnaan gram dan
pertumbuhan bakteri. Hasil pemeriksaan mikrobiologi terlampir pada tabel 4.3.

Tabel 3
Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi
Pewarnaan Gram
Hasil pemeriksaan Sampel Persentase
Ditemukan 0 0,00
Tidak ditemukan 34 100,00
Pertumbuhan bakteri
Hasil pemeriksaan Sampel Persentase
Ditemukan 0 0,00
Tidak ditemukan 34 100,00
Sensitivitas
Hasil pemeriksaan Sampel Persentase
Ditemukan 0 0,00
Tidak ditemukan 34 100,00

Penggunaan antibiotik pada pasien bedah saraf diperlukan untuk mencegah


terjadinya infeksi. Hasil penelitian yang menunjukkan 100% tidak ada pertumbuhan
bakteri telah sesuai dengan tujuan penggunaan antibiotik. Infeksi pada pasien bedah
saraf harus dicegah karena tingkat fatalitasnya. Berdasar penelitian yang dilakukan
pusat bedah saraf rumah sakit Huashan Cina antara Januari 2009 hingga Desember 2018
menunjukkan terdapat 1,41% pasien mengalami infeksi intrakranial. Pada penelitian itu
diperoleh 123 strain bakteri yang dikultur dari cairan serebrospinal. Bakteri gram
negatif sebanyak 96 strain dan 27 strain bakteri gram positif. Bakteri gram negatif

9044 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022


Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU RSUD Dr. R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

meningkat 75% pada periode akhir penelitian. Klebsiella pneumoniae juga


menunjukkan tren naik dibandingkan dengan Acineto- bakter baumannii. Bakteri
tersebut sebagian besar juga merupakan bakteri resisten terhadap beberapa antibiotik.
Penelitian ini juga membandingkan kultur terhadap cairan serebrospinal dan kultur
dahak dari pasien yang sama hingga diketahui bahwa rasio kesamaan ditemukannya
Klebsiella pneumoniae dan Acinetobacter baumannii sebesar 77,0% dan 62,0% (Yang
et al. 2020). Otak secara alamiah harus terlindung dari segala bentuk ancaman yang
berasal dari internal maupun eksternal. Sistem blood brain barrier melindungi otak dari
zat asing atau mengganggu yang terbawa dalam sistem peredaran darah. Sistem fisiologi
tengkorak hingga kulit kepala melindungi otak dari ancaman eksternal (Alquisiras-
burgos, Peralta-arrieta, and Alonso-palomares 2021; Majerova et al. 2019; Saunders,
Liddelow, and Dziegielewska 2012; Veiga-fernandes et al. 2017). Ancaman eksternal
salah satunya adalah kontaminasi lingkungan terhadap luka operasi. Hasil pemeriksaan
sampel tersebut sesuai dengan fisiologi serebral yang merupakan area bersih dan dapat
diartikan bahwa selama tindakan pembedahan hingga perawatan luka bekas operasi
telah menerapkan prosedur aseptis yang mampu mencegah terjadinya infeksi luka
operasi.

Tabel 4
Hasil Perhitungan Kuantitatif
DDD DDD/100 patient-
Nama antibiotik Kode ATC DDD
standar days
Seftriakson J01DD04 2 52 20,16
Sefepim J01DH01 2 118 45,80
Fosfomisin J01XX01 8 25 9,82
Total 75,78

Penggunaan antibotik pada pasien bedah daraf terdiri dari tiga jenis yaitu
seftriakson, sefepim dan fosfomisin. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung
nilai defined daily dose (DDD)/ 100 patient-days. Hasil penghitungan kuantitatif
penggunaan antibiotik sampel tercantum pada tabel 4. Analisa kuantitatif pada
penelitian ini menggunakan metode defined daily dose (DDD) per 100 hari perawatan.
DDD merupakan sebuah metode untuk menghitung angka pemanfaatan obat yang
dinyatakan dalam satuan unit. Metode ini dapat memberikan ukuran paparan atau
intensitas terapeutik dalam suatu populasi yang ditentukan, memungkinkan
perbandingan di berbagai periode waktu dan kelompok populasi. Badan kesehatan dunia
merekomendasikan metode analisa DDD dengan suatu penyebut yang relevan untuk
konteks kesehatan seperti jumlah DDD per 1000 penduduk per hari, DDD per penduduk
per tahun, atau sebagai DDD per 100 hari perawatan. DDD per 100 hari perawatan
dapat diterapkan ketika penggunaan obat pasien rawat inap dipertimbangkan. Hari
perawatan adalah hari di mana seseorang dirawat menginap menginap di rumah sakit
(World Health Organisation 2022). Lama rawat inap pada penelitian ini adalah jumlah
hari sejak pasien masuk rumah sakit sampai dengan pasien keluar dari rumah sakit.

Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022 9045


Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

Dalam penelitian ini diperoleh data kuantitas penggunaan antibiotik berdasar nilai DDD
yaitu fosmisin 9,90 dan sefepim 46,16. Nilai DDD ini dapat diartikan bahwa 9,90%
pasien bedah saraf menerima terapi 1 DDD fosfomisin perhari dan 46,16% pasien bedah
saraf menerima terapi sefepim. Penggunaan seftriakson diketahui merupakan terapi
antibiotik yang diterima pasien sebelum pasien dialih rawat atau dikonsultasikan dengan
bidang bedah saraf. Data penggunaan seftriakson turut teramati karena pengamatan
dilakukan secara utuh terhadap proses perawatan pasien dari masuk rumah sakit hingga
keluar rumah sakit sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap perhitungan DDD.
Perhitungan nilai DDD yang melibatkan pasien dengan satu bidang penanggungjawab
diharapkan dapat dilakukan kemudian hari sehingga dapat memberikan gambaran
perhitungan nilai DDD yang lebih baik.
Pada penelitian ini tidak ditemukan pertumbuhan pada pemeriksaan
mikrobiologi sehingga analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan peta kuman
rumah sakit dan pedoman penggunaan antibiotik seperti yang tercantum pada tabel 5.

Tabel 5
Analisis Kualitatif
Kesesuaian dibandingkan dengan pedoman penggunaan antibiotik rumah sakit
Rincian Informasi Ketepatan
Pedoman Ketepatan
No Antibiotik Sampel Persentase
Penggunaan Tidak (%)
Antibiotik Ya
Sefepim dan
1 7 20,59 Profilaksis dengan
Seftriakson
fosfomisin
Sefepim dan
2 20 58,82 Perawatan dengan
Fosfomisin
sefepim 31 91,18
Seftriakson
Kecuali telah
dan
3 4 11,76 menerima antibiotik
Fosfomisin
spektrum luas
dan Sefepim
sebelum operasi
4 Sefepim 3 8,82 3 8,82
Kesesuaian dibandingkan dengan peta kuman rumah sakit
Rincian Informasi Ketepatan
Ketepatan
No Antibiotik Sampel Persentase Peta Kuman
Tidak (%)
Rumah Sakit Ya
Sefepim dan
1 7 20,59 Fosfomisin, sefepim
Seftriakson
dan seftriakson
Sefepim dan
2 20 58,82 sensitivitas baik
Fosfomisin
(Peta kuman rawat
Seftriakson 34 0 100,00
inap RSUD Dr R
dan
3 4 11,76 Sosodoro
Fosfomisin
Djatikoesoemo
dan Sefepim
Bojonegoro 2021)
4 Sefepim 3 8,82

Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan kesesuaian penggunaan


antibiotik terhadap hasil pemeriksaan mikrobiologi, kesesuaian peta kuman dan atau

9046 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022


Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU RSUD Dr. R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

kesesuaiannya terhadap pedoman penggunaan antibiotik. Kualitas penggunaan


antibiotik dilakukan dengan menilai kesusuaiannya terhadap hasil pemeriksaan
mikrobiologi dan pedoman penggunaan antibiotik. Hasil pemeriksaan mikrobiologi
terhadap 34 sampel menunjukkan tidak ada pertumbuhan kuman sehingga tidak dapat
dilanjutkan uji sensitivitas antibiotik. Analisis kualitatif selanjutnya dilakukan dengan
membandingkan kesesuaian penggunaan antibiotik berdasar peta kuman yang
dilekuarkan Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro
pada Maret 2022 dan pedoman penggunaan antibiotik. Peta kuman dan kepekaannya
terhadap antimikroba disusun berdasarkan dua kategori yaitu rawat inap dan rawat jalan
(RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro 2021b). Pedoman penggunaan
antibiotik RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro merupakan dokumen yang
disusun untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien melalui penggunaan antibiotik
terapetik dan profilaksis serta dimungkinkan memperoleh pemilihan dengan harga lebih
murah, menekan timbulnya serta menghindari penyebaran bakteri resisten dan
meningkatkan pelayanan rasional, dan menghindari penggunaan antibiotik yang tidak
perlu termasuk preparat potensial yang mahal sehingga tidak efektif. Penggunaan
antibiotik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu antibiotik yang dapat
digunakan secara empiris, antibiotik yang penggunaannya harus berdasarkan kultur
kuman dan tes sensitivitas dan antibiotik yang penggunaannya dibatasi (RSUD Dr R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro 2021a). Berdasarkan hasil analisis kualitatif pada
tabel 5 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik seluruhnya telah sesuai dengan peta
kuman RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro tahun 2021 dan pedoman
penggunaan antibiotik. Fosofomisin merupakan antibiotik yang direkomendasikan
pemakaiannya untuk preoperatif bedah saraf dan fosfomisin menunjukkan hasil
sesnsitivitas yang baik. Analisis kualitatif dilakukan melalui penilaian kesesuaian
pemakaian antibiotik pasien dengan pedoman penggunaan antibiotik dan hasil
pemeriksaan sampel yang periksa pertumbuhan kuman serta sensitivitas antibiotiknya.
Sampel untuk pemeriksaan pertumbuhan kuman dan sensitivitas antibiotik diambil dari
cairan serebral melalui drain vakum. Perlakuan pada saat proses pengambilan sampel
mengikuti standar operasional yang berlaku sehingga sampel terbebas dari kontaminasi
lingkungan.

Kesimpulan
Kuantitas penggunaan antibiotik dengan metode defined daily dose (DDD)/100
patient-days pada pasien bedah saraf di RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo
Bojonegoro tertinggi adalah sefepim 46,16 selanjutnya seftriakson 20,21 dan fosfomisin
9,90. Peta kuman pasien bedah saraf tidak dapat diperoleh karena seluruh hasil
pemeriksaan mikrobiologi sampel menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri.
Kualitas penggunaan antibiotik pada pasien bedah saraf 100% telah sesuai dengan peta
kuman RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro tahun 2021 dan pedoman
penggunaan antibiotik. Penelitian terkait penggunaan antibiotik di RSUD Dr R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro merupakan upaya aktif dalam program

Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022 9047


Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

pencegahan resistensi antibiotik kementerian kesehatan. Penelitian yang berfokus pada


bidang dengan resiko tinggi misalkan bedah saraf ini dapat dilanjutkan dengan fokus
kasus infeksi. Kasus infeksi yang memerlukan tindakan bedah saraf dapat dikarenakan
meningitis tuberkulosis maupun meningitis non tuberkulosis. Penelitian yang berfokus
pada kasus infeksi bedah saraf sebaiknya dilakukan secara prospektif dengan waktu
penelitian yang cukup lama. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi masukkan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.

9048 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022


Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU RSUD Dr. R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

BIBLIOGRAFI

Alquisiras-burgos, Iván, Irlanda Peralta-arrieta, and Luis Antonio Alonso-palomares.


2021. “Neurological Complications Associated with the Blood-Brain Barrier
Damage Induced by the Inflammatory Response During SARS-CoV-2 Infection.”
520–35. Google Scholar

Anggriani, Ani, Ida Lisni, and Kusnandar Kusnandar. 2018. “Kajian Rasionalitas
Penggunaan Antibiotik Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Di Salah Satu Rumah
Sakit Swasta Di Bandung.” PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia
(Pharmaceutical Journal of Indonesia) 15(2):171. doi:
10.30595/pharmacy.v15i2.3061. Google Scholar

Antimikrobiyal, Hastanelerde, and İlgili Seçilmiş. 2021. “Evaluation of Prescribing


Patterns of Antibiotics Using Selected Indicators for Antimicrobial Use in
Hospitals and the Access , Watch , Reserve ( AWaRe ) Classification by the World
Health Organization.” 18(3):282–88. doi: 10.4274/tjps.galenos.2020.11456.
Google Scholar

Bansal, Dipika, S. Mangla, K. Undela, K. Gudala, S. D. Cruz, A. Sachdev, and P.


Tiwari. n.d. “Measurement of Adult Antimicrobial Drug Use in Tertiary Care
Hospital Using Defined Daily Dose and Days of Therapy.” 211–17. Google
Scholar

Blair, Jessica M. A., Mark A. Webber, Alison J. Baylay, David O. Ogbolu, and Laura J.
V. Piddock. 2015. “Molecular Mechanisms of Antibiotic Resistance.” Nature
Reviews Microbiology 13(1):42–51. doi: 10.1038/nrmicro3380. Google Scholar

Eyler, Rachel F., and Kristina Shvets. 2019. “Clinical Pharmacology of Antibiotics.”
Clinical Journal of the American Society of Nephrology 14(7):1080–90. doi:
10.2215/CJN.08140718. Google Scholar

Iacob, G., and Simona Iacob. 2010. “Prophylactic Antibiotherapy in Neurosurgery.”


321–26. Google Scholar

Karhade, Aditya V., David J. Cote, Alexandra M. G. Larsen, and Timothy R. Smith.
2017. “Neurosurgical Infection Rates and Risk Factors: A National Surgical
Quality Improvement Program Analysis of 132,000 Patients, 2006–2014.” World
Neurosurgery 97:205–12. doi: 10.1016/j.wneu.2016.09.056. Google Scholar

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba Di Rumah Sakit. Google Scholar

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020a. Profil Kesehatan Indonesia 2019.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020b. “Standar Antropometri Anak.”


(3):1–78.

Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022 9049


Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2022. Standar Akreditasi Rumah Sakit.

Klein, Eili Y., Maja Milkowska-shibata, Katie K. Tseng, Mike Sharland, Sumanth
Gandra, Céline Pulcini, and Ramanan Laxminarayan. 2020. “Articles Assessment
of WHO Antibiotic Consumption and Access Targets in 76 Countries , 2000 – 15 :
An Analysis of Pharmaceutical Sales Data.” The Lancet Infectious Diseases
3099(20). doi: 10.1016/S1473-3099(20)30332-7. Google Scholar

Lekok, Widyawati, Ronald Irwanto Natadidjaja, and Anti Dharmayanti. 2020. “Guna
Antibiotik Untuk Kendali Mutu Dan Kendali Biaya Di Rumah.” 12(1):83–88.
Google Scholar

Lowe, Johna. 1982. “Mechanisms of Antibiotic Resistance.” Annual Reports in


Medicinal Chemistry 17(C):119–27. doi: 10.1016/S0065-7743(08)60495-9.
Google Scholar

Ma, Jun, Huan Li, Linggang Cheng, and Song Lin. 2013. “Vaccum Drainage System
Application in the Management of Operation-Related Non-Regional Epidural
Hematoma.” 1–8. Google Scholar

Majerova, Petra, Alena Michalicova, Martin Cente, Jozef Hanes, Jozef Vegh, Agnes
Kittel Id, Nina Kosikova, Viera Cigankova, Sandra Mihaljevic, Santosh Jadhav,
and Andrej Kovac Id. 2019. “Trafficking of Immune Cells across the Blood- Brain
Barrier Is Modulated by Neurofibrillary Pathology in Tauopathies.” 1–27. Google
Scholar

Morales-Valero, Saul F., Jamie J. Van Gompel, Ioannis Loumiotis, and Giuseppe
Lanzino. 2014. “Craniotomy for Anterior Cranial Fossa Meningiomas: Historical
Overview.” Neurosurgical Focus 36(4):1–7. doi: 10.3171/2014.1.FOCUS13569.
Google Scholar

Patel, S., D. Thompson, S. Innocent, V. Narbad, R. Selway, and K. Barkas. 2019. “Risk
Factors for Surgical Site Infections in Neurosurgery.” Annals of the Royal College
of Surgeons of England 101(3):220–25. doi: 10.1308/rcsann.2019.0001. Google
Scholar

Penfold, Ms Clarissa, Alexis J. Joannides, William Sage, Andrew Brodbelt, Michael D.


Jenkinson, Stephen Price, Colin Watts, Joyce Bell, and Margaret Johnson. n.d.
“Understanding Missed Opportunities For More Timely Diagnosis Of Brain
Cancer.” 1:886. Google Scholar

Protzer, Lauren, Christina M. Pinkston, Cody Tucker, and David Seligson. n.d.
“Surgical Wound Classification and Surgical Site Infections in The.” doi:
10.5435/JAAOSGlobal-D-17-00022. Google Scholar

Rahmayati, El, Zaid Al Asbana, and Aprina Aprina. 2018. “Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Lama Perawatan Pasien Pasca Operasi Di Ruang Rawat Inap

9050 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022


Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Saraf di Ruang ICU RSUD Dr. R
Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

Bedah Rumah Sakit.” Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik 13(2):195. doi:
10.26630/jkep.v13i2.929. Google Scholar

RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. 2021a. Panduan Penggunaan


Antibiotik.

RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. 2021b. Peta Bakteri Dan


Kepekaannya Terhadap Berbagai Antibiotika Di Rsud Dr R Sosodoro
Djatikoesoemo Tahun 2021.

Saunders, Norman R., Shane A. Liddelow, and Katarzyna M. Dziegielewska. 2012.


“Barrier Mechanisms in the Developing Brain.” 3(March):1–18. doi:
10.3389/fphar.2012.00046. Google Scholar

Savoldi, Alessia, Elena Carrara, David Y. Graham, Michela Conti, and Evelina
Tacconelli. 2018. “Prevalence of Antibiotic Resistance in Helicobacter Pylori: A
Systematic Review and Meta-Analysis in World Health Organization Regions.”
Gastroenterology 155(5):1372-1382.e17. doi: 10.1053/j.gastro.2018.07.007.
Google Scholar

Tillasman, N. S., R. H. Saragih, and N. Umar. 2018. “Prevalence of Antibiotic


Resistance in Adult Septic Patients of H. Adam Malik Central General Hospital,
Medan under Indonesia’s Mandatory Health Scheme.” IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science 125(1). doi: 10.1088/1755-1315/125/1/012039.
Google Scholar

Veiga-fernandes, Henrique, Daniel Mucida, De Medicina Molecular, and Egas Moniz.


2017. “HHS Public Access.” 165(4):801–11. doi:
10.1016/j.cell.2016.04.041.Neuro-immune.

World Health Organisation. 2013. Antibiotic Resistance Threats in the United States.

World Health Organisation. 2022. “DDD Indicator.” Retrieved


(https://www.who.int/tools/atc-ddd-toolkit/indicators#:~:text=DDD per 100 bed
days%3A The DDDs per,which the patient stays overnight in a hospital.).

Yang, Weijian, Xing Wu, Zhiqi Li, Qiang Yuan, Gang Wu, Jian Yu, Xuehai Wu,
Zhuoying Du, Jin Hu, and Liangfu Zhou. 2020. “Trends of Intra-Cranial Bacterial
Infection in Patients Requiring Emergency Neurosurgery.” Surgical Infections
21(8):677–83. doi: 10.1089/sur.2019.317. Google Scholar

Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022 9051


Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni

Copyright holder:
Sebilah Sabil Noer, Rika Yulia, Fauna Herawati, Achmad Zamroni (2022)

First publication right:


Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under:

9052 Syntax Literate, Vol. 7, No. 7, Juli 2022

Anda mungkin juga menyukai