Laporan Praktikum Antaraksi Obat Dengan Tubuh

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 15

Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi I

FA2241
Praktikum 1
Antaraksi Obat dengan Tubuh

Tanggal Praktikum : Jumat, 5 Maret 2021


Tanggal Pengumpulan : Jumat, 12 Maret 2021
Nama Asisten : Sandi Tyas Pangestu (10717036)

Kelompok 2
11619006 Fakhri Dhiya Hidayat
11619013 Maureen Stefani Valentina
11619020 Alfina Mithwa Anisa
11619028 Muhammad Ricko Nugroho
11619035 Safira Santosa
11619042 Edwin Evryandi Gultom

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIK KOMUNITAS


SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Praktikum


Berasal dari bahasa Yunani yakni pharmakon yang berarti obat dan logos yang
berarti ilmu pengetahuan (Nuryati, 2017), farmakologi merupakan suatu ilmu yang
mempelajari tentang sejarah, asal-usul, sifat fisik, sifat kimia, cara mencampur dan
membuat obat. Farmakologi juga mempelajari efek obat terhadap fungsi biokimia sel
tubuh, fungsi fisiologi tubuh, cara kerja obat, farmakokinetik, biotransformasi obat, efek
obat, dan hal lain yang berhubungan dengan obat, termasuk aspek antaraksi obat.
Saat seseorang mengonsumsi suatu obat, obat akan mengalami kontak dengan
zat-zat yang ada dalam tubuh kita baik sesuatu yang berasal dari dalam tubuh kita sendiri
atau sesuatu dari luar tubuh yang masuk ke dalam tubuh seseorang. Inilah yang menjadi
dasar sehingga obat bisa terserap, terdistribusi, dan termetabolisme hingga diharapkan
dapat menimbulkan efek terapi yang diinginkan. Namun pada kenyataannya, perjalanan
obat dalam tubuh kita tidak semulus yang dibayangkan. Ada banyak faktor yang
memengaruhi obat dalam tubuh kita sehingga memengaruhi pula hasil akhir yang
diinginkan. Faktor-faktor tersebut bisa ditimbulkan dari dalam objek itu sendiri ataupun
pengaruh dari luar objek. Oleh karena itu, untuk dapat mendapatkan hasil yang optimal
dalam suatu penyembuhan atau terapi, perlu dilakukan pula analisis antaraksi obat ini.

1.2. Tujuan Praktikum


1. Mengetahui berbagai faktor yang dapat memodifikasi obat
2. Menentukan pengaruh dari faktor-faktor yang memodifikasi obat terhadap efek obat.
3. Menentukan rumus pendekatan-pendeatan teoritis maupun praktis untuk mengoreksi
dan atau memanfaatkan faktor yang dapat memodifikasi obat.
4. Menentukan cara merancang eksperimen untuk memperoleh DE50 dan DL50
5. Menentukan indeks terapi dan implikasi-implikasinya.

1.3. Prinsip Praktikum


Faktor-faktor yang memengaruhi efek obat dapat dikelompokkan menjadi faktor
lingkungan luar tubuh penerima obat dan faktor internal penerima obat. Kedua faktor ini
saling berkaitan. Faktor lingkungan luar tubuh penerima obat, dapat memberikan
perubahan fundamental dalam diri penerima obat yang kemudian memiliki perubahan
yang permanen sebagai ciri khasnya, atau memperoleh perubahan sementara yang
reversibel. Keduanya dapat turut memengaruhi efek obat (Sukandar, dkk., 2021)
Dalam praktikum ini hanya ada beberapa factor dibahas yang dapat memengaruhi
efek obat ini, yakni diantaranya variasi biologik dan kelamin, toleransi yang diperoleh,
dan antagonisme efek obat. Seluruh percobaan ini dilakukan pada mencit. Pada variasi
biologik dan kelamin, digunakan mencit yang beda-beda asal usulnya sebanyak 12 ekor
dan dari jenis kelamin yang berbeda (jantan dan betina) untuk mengetahui perbedaan
efek yang akan terjadi dari adanya variasi biologik ini. Untuk bagian toleransi, dilakukan
pada mencit jantan sebanyak 3 ekor (2 ekor untuk obat dan 1 ekor untuk kontrol), yang
nantinya akan diberikan obat secara berkala untuk mengetahui adanya toleransi.
Sementara pada percobaan antagonisme obat, dilakukan pada tiga ekor tikus yang diberi
perlakuan berbeda, yakni mencit yang disuntikkan hanya dengan satu jenis obat dan tikus
yang diberikan dua jenis obat yang diduga bersifat berkebalikan untuk mengetahui
adanya pengaruh atau efek antagonisme obat tersebut.
BAB II
METODE

2.1.Variasi Biologis dan Kelamin


Mencit diamati kelakuannya selama 10 menit dan disuntikkan diazepam secara
intraperitoneal. Lalu mencit ditempatkan ke dalam kandang secara terpisah sambil
diamati efeknya selama 45 menit. Hasilnya dapat ditulis dalam bentuk tabel untuk
setiap mencit.
2.2.Toleransi yang Diperoleh
Mencit I dan II disuntik diazepam secara intraperitoneal, sedangkan mencit III diberi
NaCl 0,9% selama 7 hari. Diamati semua mencit di hari ke-8 dan dilakukan righting
reflex untuk mengecek ada tidaknya toleransi. Hasil ditulis dalam bentuk tabel.
2.3.Antagonisme Obat
Ketiga tikus diamati kelakuannya selama 10 menit dan disuntikkan CoCl2 dengan dosis
sama. Perhatikan warna daun telinga, laju dan sifat pernapasan, ada atau tidaknya
tremor lalu tikus ditempatkan di bejana pengamatan. Tikus I disuntik Ca-EDTA dan
CoCl2, sedangkan tikus II dan III dengan CoCl2. Jika ada tikus yang mati, semua
dikorbankan dengan gas CO2. Lalu kulit tikus digunting secara midsagital sepanjang
abdomen dan toraks serta secara lateral pada bagian anterior dan posterior dari torehan
sagital. Perbedaan perbedaan yang mungkin dan gejala-gejala yang muncul akibat
CoCl2, Ca-EDTA, dan saat muncul gejala dicatat.
2.4.Dosis Obat dan Respon
Dibentuk beberapa kelompok, untuk setiap kelompok menggunakan tiga mencit dan
ditandai sehingga mudah diketahui. Tiap kelompok menyuntikkan NaCl dengan dosis
berbeda pada ketiga mencit. Mencit yang kehilangan righting reflex dicatat.
2.5.Efek Obat pada Kulit dan Membran Mukosa
2.5.1. Efek menggugurkan bulu
Kulit tikus yang sudah dikorbankan dipotong masing-masing 2,5 cm x 2,5 cm.
Lalu diletakkan di atas kertas saring dan diteteskan larutan obat yang digunakan
ke atasnya. Dioleskan Veet cream® ke kulit lalu setelah beberapa menit,
diamati apakah ada bulu yang gugur dengan batang pengaduk
2.5.2. Efek korosif
Usus tikus dipotong-potong sepanjang 5 cm. Diletakkan di atas kleenex/kertas
saring lembab dan diteteskan cairan obat. Serap cairan berlebih dengan kertas
saring setelah 15 menit lalu potongan-potongan kulit tikus direndam. Dibilas
dengan air dan serap lagi cairan berlebih dengan kertas saring.
2.5.3. Efek fenol dalam berbagai pelarut
Isi wadah kaca yang sudah disiapkan dengan larutan fenol. Masukkan empat
jari serentak dalam wadah kaca selama 15 menit. Jika jari terasa nyeri sebelum
5 menit, jari diangkat dan dibilas dengan etanol.
2.5.4. Efek astringen
Mulut dibilas dengan larutan tanin 1 %. Sadari jenis sensasi di mulut dan catat
apa yang dirasakan.
BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

3.1.Pembahasan
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari tentang interaksi obat dengan
tubuh. Interaksi ini terbagi menjadi farmakodinamik yaitu efek obat terhadap tubuh
serta farmakokinetik. Faktor yang memengaruhi efek obat terhadap tubuh terbagi
menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal berasal dari luar tubuh
penerima obat yakni lingkungan di sekitarnya serta makanan yang dikonsumsi. Faktor
internal berasal dari dalam tubuh yaitu usia, jenis kelamin, fungsi organ, bobot tubuh
dan luas permukaan tubuh, genetik, spesies, rute administrasi obat, toleransi, dan faktor
psikologis (Tripathi, 2013).
Salah satu faktor yang memengaruhi efek dari obat adalah jenis kelamin. Jenis
kelamin berdasarkan organ reproduksi dan fungsinya terbagi menjadi pria dan wanita.
Keduanya memiliki perbedaan dalam farmakokinetik dan farmakodinamik obat,
sehingga respon obat yang dihasilkan juga berbeda. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan fisiologis seperti berat tubuh, panjang, luas permukaan tubuh, cairan total
tubuh, serta perbedaan cairan ekstraseluler dan intraseluler.

Tabel 1. Perbedaan anatomis antara pria dan wanita


Referensi Pria Referensi Wanita Wanita
Parameter
Dewasa Dewasa Hamil
Berat badan (kg)* 78 68 72.5
Panjang tubuh (cm)* 176 162 162
2
Luas permukaan tubuh (cm ) 18,000 16,000 16.500
Total cairan tubuh (L) 42.0 29.0 33.0
Cairan ekstraseluler (L) 18.2 11.6 15.0
Cairan intraseluler (L) 23.8 17.4 18.8
*CDC Advance Data No. 347 October 27, 2004

Wanita memiliki total cairan tubuh yang lebih sedikit daripada pria. Hal itu
menyebabkan konsentrasi obat bebas di dalam tubuh dengan pemberian dosis yang
sama pada pria dan wanita akan lebih tinggi pada wanita. Selain itu, eliminasi obat dari
dalam tubuh wanita lebih lambat. Hal itu berkaitan dengan perbedaan farmakokinetik,
serta menyebabkan efek samping pada wanita akan lebih tinggi, meskipun penelitian
ini masih belum terbukti jelas. Selain itu, pemberian obat pada wanita perlu
memerhatikan mestruasi, kehamilan, serta laktasi (Tripathi, 2013).
Sejumlah besar obat tidak langsung berikatan dengan efektor, tetapi berikatan
dengan makromolekul khusus yang bertugas mengontrol efektor. Makromolekul yang
dimaksud disebut reseptor. Interaksi antara obat dan reseptor terbagi menjadi agonist,
inverse agonist, antagonist, serta partial agonist. Agonist berarti obat bekerja sebagai
agen yang mengaktifkan reseptor untuk menghasilkan efek yang mirip dengan molekul
sinyal fisiologis. Inverse agonist berati obat bekerja sebagai agen yang mengaktifkan
reseptor untuk menghasilkan efek berlawanan dengan agonist. Antagonist berarti obat
bekerja sebagai agen yang mencegah kerja agonist pada reseptor atau respon
berikutnya, tetapi tidak memiliki efeknya sendiri. Sedangkan partial agonist berarti
agen yang mengaktivasi reseptor untuk menghasilkan efek submaksimal atau sebagian
tetapi berlawanan dengan aksi full agonist (Tripathi, 2013).
Pada percobaan ini, dilakukan pemberian obat diazepam pada mencit jantan dan
mencit betina dengan dosis yang sama. Diazepam adalah obat golongan benzodiazepine
yang digunakan sebagai ansiolitik, obat penenang, obat tidur, antikonvulsan, dan
relaksan otot. Benzodiazepin bekerja dengan mengikat reseptor benzodiazepin (BDZ)
di berbagai wilayah otak dan sumsum tulang belakang. Ikatan ini meningkatkan efek
penghambatan asam gamma-aminobutytic acid (GABA). GABA berfungsi termasuk
dalam keterlibatan SSP dalam induksi tidur dan juga dalam pengendalian hipnosis,
memori, kecemasan, dan epilepsi.
Pemberian diazepam pada sampel 12 mencit jantan dan betina memberikan
hasil sebagai berikut:
t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances (Onset)

Jantan Betina
Mean 71.06333333 411
Variance 2524.456067 76616
Observations 6 6
Hypothesized Mean Difference 0
df 5
t Stat -2.95988176
P(T<=t) one-tail 0.015761599
t Critical one-tail 2.015048373
P(T<=t) two-tail 0.031523198
t Critical two-tail 2.570581836

t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances (Durasi)

Jantan Betina
Mean 39.61 44.82783333
Variance 145.2605 0.177848167
Observations 5 6
Hypothesized Mean Difference 0
df 4
t Stat -0.967564663
P(T<=t) one-tail 0.194026524
t Critical one-tail 2.131846786
P(T<=t) two-tail 0.388053048
t Critical two-tail 2.776445105

Toleransi dalam farmakologi merupakan perubahan distribusi atau perubahan


metabolisme suatu obat setelah dilakukan pemberian berulang yang mengakibatkan
efek obat menjadi semakin berkurang dibandingkan dengan dosis yang sama pada
pemberian pertama kali, sehingga dosis perlu ditingkatkan untuk mendapatkan efek
yang diinginkan. Berbeda dengan resistensi, umumnya digunakan dalam antibiotik.
Pada toleransi, efeknya diterima setelah pemberian obat secara berulang, sedangkan
pada resistensi dari awal sudah tidak memberikan efek apapun karena suatu
mikroorganisme tertentu mampu melawan efek obat (resisten). Beberapa contoh obat
yang bisa berakibat toleransi yaitu diazepam, obat golongan opioid (seperti morfin,
oksikodon, fentanil), laktulosa.
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadi nya toleransi obat, diantaranya
adalah karena banyaknya jenis obat yang ditemukan memberikan sinyal lebih dari satu
jalur yang mengakibatkan semakin banyak reseptor yang bekerja untuk menormalkan
paparan obat seperti contohnya adalah m-opioid receptor agonists dan golongan obat
benzodiazepines (Diazepam). Penyebab yang lain adalah karena adanya penggunaan
obat terlalu lama, beberapa obat apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat
mengakibatkan toleransi. Apabila sudah terjadi toleransi maka efek obat tersebut akan
menurun sehingga saat digunakan diperlukan dosis yang lebih besar agar didapatkan
efek terapi yang diinginkan. Untuk mengetahui ada tidak nya toleransi yang diperoleh,
maka dapat dilihat dari Righting Reflex. Righting Refleks adalah refleks yang diberikan
oleh hewan percobaan (pada uji toleransi menggunakan mencit) yang apabila tubuhnya
dibalik dan posisi yang terlentang, maka akan kembali tertelungkup. Perilaku Righting
Refleks ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya toleransi.
Penggunaan obat tidak akan lepas kaitannya dengan dosis. Dosis merupakan
kadar yang dalam obat yang digunakan untuk memberikan respon biologis. Dosis
dibagi menjadi beberapa jenis diantaranya adalah dosis terapi yaitu dosis yang
memberikan efek terapi atau dosis untuk menyembuhkan pasien, dosis
maksimal/minimal yaitu dosis yang terbesar/terkecil yang memberikan efek terapi,
dosis letal yaitu dosis toksik yang memberikan efek kematian, dosis toksik yaitu dosis
yang memberikan efek toksik, dosis efektif adalah dosis yang secara efektif
memberikan efek.
Selain variasi biologi dan toleransi obat, aspek efek antagonisme obat juga
dianalisis untuk mengetahui mekanisme dan keberadaannya. Efek antagonisme obat
merupakan suatu efek yang saling menghilangkan yang diakibatkan oleh antaraksi dua
obat yang bertemu secara bersamaan, sehingga efek terapi yang diinginkan pada suatu
obat tersebut tidak tercapai atau bahkan pada beberapa kasus dapat menimbulkan efek
lain yang tidak diinginkan. Hal ini terjadi apabila sesorang mengonsumsi dua obat
sekaligus yang memiliki efek farmakologi atau efek terapi yang saling berkebalikan.
Dalam percobaan digunakan obat CoCl2 dan Ca-EDTA. CoCl2 pada percobaan
ini berperan sebagai zat yang mengandung logam yang dapat meracuni objek, yakni
pada percobaan ini tikus. sementara Ca-EDTA merupakan obat yang dapat menetralkan
seseorang dari keracunan yang diakibatkan oleh suatu zat logam. Dari keterangan dua
jenis zat ini, terlihat fungsi yang saling berkebalikan, hal inilah yang diduga akan
terjadinya efek antagonis obat apabila diberikan secara bersamaan. Dilakukan tiga jenis
perlakuan kepada tiga jenis tikus yang berbeda, yakni dilakukannya penyuntikan CoCl2
saja, penyuntikan CoCl2 kemudian Ca-EDTA, dan penyuntikkan Ca-EDTA kemudian
CoCl2. Seperti yang terlampir pada tabel, terlihat bahwa pada tikus yang disuntikkan
CoCl2 dan Ca-EDTA mengalami kondisi akhir yang kembali normal, baik pada
perlakuan tikus yang disuntikkan CoCl2 terlebih dahulu atau Ca-EDTA terlebih dahulu,
meskipun sempat terjadi efek keracunan pada tikus yang disuntikkan CoCl2 terlebih
dahulu dan kemudian kembali normal setelah disuntikkan Ca-EDTA.
Ca-EDTA dapat mengikat zat logam dan menetralkannya sehingga akan
tercapai kondisi akhir yang kembali normal atau seakan tidak terjadi efek terapatik. hal
ini menunjukkan bahwa ada efek antagonisme obat yang terjadi ketika ada dua zat yang
bertemu secara bersamaan, yang memiliki efek terapi yang saling berlawanan. Ca-
EDTA memiliki pengaruh fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan Na-EDTA
karena Ca-EDTA tidak menyebabkan hipokalsemia. Dalam mekanismenya, setelah
EDTA mengkompleks ion logam berat, ion kalsium akan lepas dan menggantikan kerja
kalsium yang hilang. EDTA yang terkandung dalam Ca-EDTA hanya dapat berikatan
dengan logam berat bervalensi 2 untuk membentuk suatu kompleks dan mampu
mempercepat ekskresi ion logam yang beracun. Oleh karena itu, Ca-EDTA tidak dapat
digunakan untuk mengatasi keracunan akibat timbal (4 elektron valensi) maupun arsen
(5 elektron valensi). Setidaknya dibutuhkan CaNa 2EDTA untuk mengatasi timbal
dalam tubuh.
Hubungan dosis-respon menggambarkan suatu distribusi frekuensi individu
yang memberikan respons pada rentang dosis tertentu. Bila distribusi frekuensi tersebut
dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang umumnya disebut
kurva dosis-persen responder. Pada dasarnya kurva hubungan dosis-respon
menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan untuk minimbulkan suatu
efek tertentu (Toksikologi Lingkungan, 2017, hlm. 52).
Indeks terapi adalah perbandingan antara dosis efektif 50 (DE 50) dengan dosis
letal 50 (DL50) sedangkan pada hewan adalah perbandingan antara DE50 dengan dosis
toksik 50 (DT50). Pada manusia ada pembatas sebelum memasuki DL 50 karna ketika tes
klinis tentu saja tidak mau ada yang meninggal maka hewan batas atasnya adalah DL50
agar diketahui lebih dahulu sebelum di uji coba ke manusia. Philippus Aureolus
Theophratus Bombast von Hohenheim (1493-1541), toksikolog besar, yang pertama
kali meletakkan konsep dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya menyatakan: “Semua
zat adalah racun dan tidak ada zat yang tidak beracun, hanya dosis yang membuatnya
menjadi tidak beracun”. Indeks terapi merupakan parameter keamanan obat yaitu
perbandingan dosis yang menyebabkan kematian pada 50% hewan uji (DL50) dengan
dosis yang menghasilkan efek terapi pada 50% hewan uji (DE 50). Ada juga suatu
fenomena dimana obat mempunyai indeks terapi datar/sempit itu dikarnakan
perbandingan DE50 dengan DL50 sangat berdekatan hingga hasilnya sangat kecil ini
berakibat pada penetapan dosis untuk pasien

Efektifitas obat dapat diubah dengan cara mengontrol pada masing-masing fase
farmakokinetik. Pada absorpsi, efektifitas dapat ditingkatkan dengan memilih rute
administrasi obat yang tepat. Pada distribusi, juga dapat ditingkatkan tetapi ini beresiko
untuk menyebarkan obat lokal secara sistemik. Pada metabolisme jika ada kesalahan
obat akan menjadi toksik. Pada ekskresi, jika pada organ-organ eksresi memiliki
kendala maka residu obat akan berkumpul disitu dan mengurangi efektifisitas obat.
Anestetik lokal bekerja dengan cara menyebabkan blokade yang reversibel atas
konduksi sepanjang serat saraf. Efek toksik yang dikaitkan dengan anestetik lokal
biasanya dihasilkan oleh kadar plasma yang sangat tinggi; pemberian tunggal lidokain
topikal biasanya tidak menimbulkan efek samping sistemik. Efek pada awalnya
meliputi perasaan mabuk dan tak bisa berpikir dengan jelas diikuti dengan sedasi,
paraestesia di sekitar mulut, dan kedutan (twitching). Kebanyakan anestetik lokal,
kecuali kokain, menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Penambahan vasokonstriksi
seperti adrenalin mengurangi aliran darah setempat, menurunkan kecepatan absorbsi
anestetik lokal, dan memperpanjang efek lokalnya (BPOM.toksisitas anestetik lokal).
Pada pasien yang mengidap penyakit ginjal kronis akan ada perubahan dosis
obat karena fungsi ginjal yang menurun. Dikhawatirkan obat tidak bisa disekresi
dengan benar oleh ginjal karna ada gangguan. Dengan menggunakan persamaan
Cockroft-Gault atau the Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) untuk
memperkirakan klirens kreatinin (CrCl) dapat membantu mendapatkan dosis yang tepat
untuk obat-obat yang diekskresikan melalui ginjal (Munar MY, et al.). Karena pasien-
pasien lanjut usia cenderung mengalami penurunan fungsi ginjal, mempertimbangkan
faktor klirens kreatinin sangat penting saat menentukan dosis obat yang dieliminasi
melalui ginjal. Kerusakan ginjal dapat memengaruhi klirens metabolit obat aktif,
berpotensi menyebabkan akumulasi (Doogue MP, et al.).
Pada obat yang metabolisme utamanya melalui hati, farmakokinetika harus
diperhitungkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Ketika meresepkan obat yang
eliminasi utama melalui hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati, adalah sangat
mungkin untuk melakukan penurunan dosis pemeliharaan dari dosis normal.
Menurunkan dosis normal dan memperpanjang interval dosis, atau memodifikasi
keduanya. Metoda aktual yang digunakan untuk menurunkan dosis pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan normal adalah dengan membandingkan beberapa rute
pemberian obat dengan beberapa bentuk sediaan (Bauer, 2008).
Berdasarkan efek yang ditimbulkan, obat digolongkan menjadi dua, yakni
sistemik dan lokal. Obat sistemik bekerja dengan masuk ke dalam peredaran darah,
sementara obat lokal bekerja dengan hanya mempengaruhi bagian tertentu yang dituju
oleh obat itu. Obat lokal dapat diberikan melalui saluran pernapasan, lensa mata,
vagina, dan rektum, berbeda dengan obat topikal yang terbatas di area permukaan kulit
atau bagian luar tubuh saja, meski termasuk obat lokal. Obat yang bekerja secara lokal
memiliki beberapa persyaratan seperti tidak boleh terdistribusi sistemik, tidak merusak
jaringan tubuh, dan lain-lain. Faktor yang memengaruhi efek obat lokal yakni sediaan
obat, rute pemberian obat, dan kondisi patologis pasien, khususnya di daerah yang
ditargetkan obat. Selain itu, dosis obat juga berpengaruh terhadap intensitas obat yang
bekerja secara lokal. Jika pemberian obat anestesi lokal melebihi dosis maksimum,
maka akan timbul gejala toksik seperti gelisah, frekuensi nadi dan tekanan darah
meningkat, mual dan muntah, hingga dapat menyebabkan kejang. Tindakan
penanganannya yakni jika terjadi kejang pada pasien, baringkan pasien di lantai lalu
dimasukkan rubber wedge ke dalam mulutnya dengan posisi di antara gigi untuk
mencegah tongue biting, kemudian pasien segera diberi oksigen dan asisten diminta
untuk menghubungi ambulans atau mencari pertolongan serta jangan diberikan obat
analgetik.
Pada percobaan kali ini, dilakukan percobaan yang melibatkan obat lokal
dengan jaringan kulit dan membran mukosa. Ada empat percobaan yang dilakukan,
yakni efek menggugurkan bulu, efek fenol, efek korosif, dan efek astringen. Pada
percobaan untuk mengetahui efek menggugurkan bulu, prosedur dilakukan seperti yang
tercantum dalam bab metode. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 5 di Lampiran.
Berdasarkan hasil percobaan, dapat dilihat jika Veet cream memiliki kemampuan yang
lebih kuat dalam menggugurkan bulu ketimbang NaOH 20%. Selain Veet cream dan
NaOH 20%, senyawa yang dapat menggugurkan bulu juga yakni asam sulfat dan asam
klorida. Senyawa-senyawa ini bersifat korosif. Namun, obat yang bersifat korosif
mungkin saja bekerja tanpa menghilangkan bulu, tetapi kemungkinannya hanya sedikit
sekali sebab mekanisme obat penggugur bulu ini bekerja dengan cara memecah ikatan
disulfida pada keratin kulit yang menyebabkan bulu menjadi mudah rusak dan gugur.
Hal ini dikarenakan bulu atau rambut merupakan struktur protein yang kompleks. Efek
pemecahan ikatan disulfida ini juga menimbulkan bau yang menyengat.
Pada percobaan untuk mengetahui efek fenol, prosedur dilakukan seperti yang
tercantum dalam bab metode. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 6 di Lampiran.
Berdasarkan hasil percobaan, dapat dilihat jika efek fenol dalam etanol lebih kuat
dibanding larutan fenol yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan koefisien partisi
larutan dan permeabilitas kulit sehingga mempengaruhi perembesan fenol ke dalam
jaringan kulit.
Pada percobaan untuk mengetahui efek korosif, prosedur dilakukan seperti yang
tercantum dalam bab metode. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 7 di Lampiran.
Berdasarkan hasil percobaan, setiap cairan dapat menimbulkan efek yang berbeda
dalam aspek perubahan warna usus, kerusakan membran mukosa, ukuran usus, ataupun
ketebalan usus. Hal ini disebabkan senyawa yang menimbulkan efek korosif bekerja
dengan cara mengendapkan protein melalui reaksi oksidasi sehingga membran mukosa
menjadi rusak.
Pada percobaan untuk mengetahui efek astringen, prosedur dilakukan seperti
yang tercantum dalam bab metode. Larutan yang dipakai pada percobaan kali ini adalah
teh. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 8 di Lampiran. Berdasarkan hasil
percobaan, efek yang ditimbulkan oleh larutan teh yakni munculnya rasa kebas pada
mulut dan terasa agak pahit. Hal ini disebabkan karena tanin merupakan komponen zat
organik yang sangat kompleks, terdiri dari senyawa fenolik yang cenderung bersifat
asam, mudah teroksidasi, dan dapat membentuk polimer Selain itu, tanin bekerja
dengan cara mengkoagulasikan protein sehingga permeabilitas sel pada kulit dan
membran mukosa menjadi turun.

3.2.Perhitungan Dosis
Pada studi kasus yang diberikan tentang pengaruh berat dan luas permukaan,
seorang anak berumur 3 tahun, BB 12kg, dan TB 78 cm, mengalami demam dan akan
diberikan ibuprofen. Tersedia ibuprofen dengan dosis 400mg. Untuk menghitung dosis
anak tersebut, maka dapat dihitung salah satunya berdasarkan luas permukaan.
𝑆 = 𝑊 0,425 × 𝐻 0,725 × 0,007184
𝑆 = 120,425 × 780,725 × 0,007184 = 0,486 𝑚2
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑎𝑘 0,486
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑎𝑛𝑎𝑘 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎 × 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎 = × 400 = 112,4 mg
1,73

Perhitungan dosis anak tersebut dapat dihitung juga dengan menggunakan rumus Clark yang
berdasarkan berat badan anak tersebut. Diketahui berat badan nya adalah (12kg = 26,455 lb).
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑙𝑏) 26,455
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑎𝑛𝑎𝑘 = × 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎 = × 400 = 70,5 mg
150 150

Dengan demikian, didapat dosis ibuprofen untuk AC yaitu 112,4 mg apabila berdasarkan luas
permukaan badan dan 70,5 mg apabila berdasarkan berat badan.
BAB IV
KESIMPULAN

A. Variasi biologis dan kelamin terhadap diazepam pada mencit hanya berpengaruh pada
onset dan tidak berpengaruh pada durasi kerja obat.
B. Pada percobaan toleransi, hanya mencit ketiga yang menunjukkan adanya toleransi
terhadap pemberian diazepam karena onsetnya semakin tinggi dan durasi kerja obat
semakin kecil.
C. Efek antagonis antara CoCl2 dan Ca-EDTA terhadap tikus terjadi pada tikus yang hanya
diinjeksikan CoCl2 dan ditandai dengan meningkatnya laju pernapasan dan detak
jantung. Pada tikus yang diinjeksikan Ca-EDTA sebelum CoCl2, tidak menunjukkan
adanya perubahan perilaku. Sedangkan pada tikus yang diinjeksikan Ca-EDTA setelah
CoCl2, mengalami keracunan CoCl2 yang menurun secara signifikan hingga kondisinya
kembali normal.
D. Efek toksisitas anestetika lokal biasanya dihasilkan oleh kadar plasma yang sangat
tinggi dan yang teramati adalah timbulnya perasaan mabuk dan tak bisa berpikir dengan
jelas diikuti dengan sedasi, paraestesia di sekitar mulut, dan kedutan (twitching).
E. Efek Veet cream dalam proses pengguruan bulu pada kulit tikus adalah terpecahnya
ikatan disulfida pada keratin kulit, sedangkan efek NaOH tidak sekuat efek Veet cream
karena NaOJ hanya merusak bagian permukaan kulit yang ditumbuhi oleh bulu.
F. Efek senyawa korosif terhadap usus tikus adalah rusaknya membrn mukosa usus
dengan cara pengendapan protein.
G. Efek dari fenol dengan etanol yang memiliki efek maksimum terhadap kulit jari
dipengaruhi oleh perbedaan koefisien partisi larutan dan permeabilitas kulit sehingga
mempengaruhi perembesan fenol ke dalam jaringan kulit.
H. Efek senyawa astringen adalah munculnya rasa kebas pada mulut akibat koagulasi
protein yang menurunkan permeabilitas sel pada kulit dan membran mukosa serta terasa
agak pahit.
I. Berdasarkan perhitungan dosis ibuprofen yang dibutuhkan untuk anak berusia 3 tahun
dari ketiga rumus, maka hasil perhitungan diperoleh dari penurunan rumus Clark yaitu
sebesar 70,5 mg.
DAFTAR PUSTAKA
Anestetik Lokal. (2015). Retrieved March 11, 2021, from Pusat Informasi Obat Nasional
BPOM RI: pionas.pom.go.id
Diazepam. (2005, June 13). Retrieved March 11, 2021, from Drugbank: go.drugbank.com
Soldin, O. P., & Mattison, D. R. (2009). Sex differences in pharmacokinetics and
pharmacodynamics. Clinical pharmacokinetics, 48(3), 143-157. Retrieved from
https://doi.org/10.2165/00003088-200948030-00001
Tripathi, K. (2013). Essentials of Medical Pharmacology (7th ed.). New Delhi, India: Jaypee
Brothers Medical Publishers.
Yulianto, A. Nurul. (2017). Bahan Ajar Kesehatan Lingkungan: Toksikologi lingkungan.
Kementrian kesehatan Republik Indonesia.
Baspalov, Anton.(May 2016). Drug Tolerence : A known Unknown In Translation
Neuroscience. Trends in Pharmacological Sciences, May 2016, Vol. 37, No. 5
Noviani, Nita dan Nurilawati, Vitri. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi.
Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Nuryati. 2017. Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK): Farmakologi.
Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Sukandar, dkk. 2021. Penuntun Praktikum Farmakologi I: FA2241. Laboratorium
farmakologi dan Toksikologi Sekolah Farmasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Siegel, Shepard.2005. Drug Tolerance, Drug Addiction, and Drug Anticipation. McMaster
University, Hamilton, Ontario, Canada
LAMPIRAN
Tabel 1. Variasi biologi dan kelamin

Kelompok Mencit Berat Badan (gram) Onset (s) Durasi (menit)


Jantan 1 18 0 45
1 Jantan 2 24 60 45
Jantan 3 21 76 45
Jantan 1 25 37.38 18.05
3 Jantan 2 20 118 45
Jantan 3 25 135
Betina 1 21 780 45
5 Betina 2 24 723 45
Betina 3 24 257 45
Betina 1 22 290 45
7 Betina 2 23 328 45
Betina 3 24 88 43.967

Tabel 2. Toleransi yang diperoleh


Mencit Kontrol (NaCl 0,9%)
Hari ke- I II III
Onset Durasi Onset Durasi Onset Durasi
0 - - - - - -
1 - - - - - -
2 - - - - - -
3 - - - - - -

Mencit Uji (Diazepam 20 mg/Kg)


Hari ke- IV V VI
Onset Durasi Onset Durasi Onset Durasi
0 2’ 1.05’ 3’ 55’ 2’ 1.18’
1 5’ 31’ 5’ 29’ 5’ 28’
2 40’’ 1.04’ 1’ 42’’ 15’ - -
3 * * - - - -

Keterangan : Tanda (-) artinya tidak ada efek, tanda (*) artinya data tidak diperoleh karena
mencit mati

Tabel 3. Antagonisme Obat


Hewan Sebelum Penyuntikan-1 Penyuntikan 2 Keterangan
penyuntikan
Tikus I (BB = Laju napas, Larutan CoCl2 - Tikus
284 detak jantung Laju napas mengalami
gram) normal, tikus meningkat, gejala
dapat berjalan telinga keracunan
dengan baik, berwarna namun tidak
telinga merah, hidung mati.
berwarna merah berair, abdomen
muda menyentuh
lantai dan
cenderung diam

Tikus II Laju napas, Larutan CoCl2 Larutan Ca- Tikus


( BB = 303 detak jantung 5’: gejala EDTA mengalami
gram) normal, tikus keracunan Setelah 20 gejala
dapat berjalan mulai timbul, menit keracunan dan
dengan baik, telinga administrasi, kembali normal
telinga berwarna perilaku tikus setelah
berwarna merah merah, kembali normal pemberian Ca-
muda abdomen EDTA
menyentuh
lantai dan
cenderung diam
Tikus III (BB = Laju napas, Larutan Ca- Larutan CoCl2 Tidak terjadi
341 detak jantung EDTA Tikus tidak perubahan
gram) normal, tikus Perilaku tikus menunjukkan perilaku pada
dapat berjalan normal gejala tikus
dengan baik, keracunan
telinga
berwarna
merah muda

Tabel 4. Dosis Obat dan Respon


Dosis Bobot Respon
yang mencit (kehilang
digunaka Log dosis (Kg) an Status % kerja
Kelompok n righting (hidup/ma obat
(mg/kgBB reflex) ti)
)
1 NaCl 0.9% - Tidak Ada Hidup 0

0.025 Tidak Ada Hidup 0


0.023 Tidak Ada Hidup 0
2 Diazepam 0.641
4.375 0.027 Tidak Ada Hidup 0
mg/kg
BB
Diazepam 0.025 Ada Hidup
8.75 0.022 Tidak Ada Hidup
3 mg/kgB 0.942 0.022 Tidak Ada Hidup 33,33%
B
Diazepam 0.025 Ada Hidup
17.5 0.022 Ada Hidup
4 mg/kgB 1.243 0.023 Tidak Ada Hidup 66.70%
B
Diazepam 0.025 Ada Hidup 100
35 0.026 Ada Hidup 100
5 mg/kgB 1,544 0.024 Ada Hidup 100
B
Diazepam 0.023 Ada Hidup 100
70 0.023 Ada Hidup 100
6 mg/kgB 1.845 0.025 Ada Hidup 100
B
Diazepam 0.026 Ada Mati 100
140 0.026 Ada Mati 100
7 mg/kgB 2.146 0.027 Ada Mati 100
B

Catatan :
• Respon dari pemberian diazepam adalah hewan mengalami efek sedative yang
digambarkan dengan tidak adanya righting reflex.
• Dosis mengikuti data (abaikan dosis yang ada di modul)

Tabel 5. Efek Menggugurkan Bulu


Zat Aktif
Veet Cream (Kalium NaOH 20% Kesimpulan
Tioglikolat)

Veet cream memiliki


Gambar 2. Efek setelah kemampuan untuk
Gambar 1. Efek setelah menggugurkan bulu lebih
diberikan NaOH 20%
diberikan veet cream kuat dibandingkan dengan
Bulu tikus yang telah NaOH 20%.
Bulu tikus yang telah diolesi
diteteskan NaOH 20% gugur
veet cream hampir semua
dari dagingnya, tetapi tidak
gugur dari dagingnya.
sebanyak veet cream.
Tabel 6. Efek Fenol
Jenis Fenol Keterangan Kesimpulan
Fenol dalam etanol Kulit menjadi gabas dan warna kulit Fenol dalam etanol > air >
menjadi putih disertai dengan gliserin > minyak
mengkerutnya kulit
Fenol dalam air Kulit menjadi gabas dan warna kulit
menjadi putih namun tidak lebih
putih dari etanol
Fenol dalam gliserin Kulit menjadi gabas tetapi tidak
separah air dan etanol, namun terasa
sedikit sakit
Fenol dalam minyak Kulit tidak gabas dan terasa sedikit
sakit

Tabel 7. Efek Korosif


Gambar Keterangan
a. HgCl2 5%: warna menjadi pucat,
membran mukosa rusak, dan
diameter usus mengecil
b. Fenol 5%: warna sedikit memucat
dan usus mengerut
c. NaOH 10%: warna sedikit memerah
pucat, membran mukosa rusak, usus
menipis dan mengerut
d. H2SO4 pekat: warna sangat pucat,
usus menggembung, dan membran
mukosa sangat rusak
e. HCl pekat: warna sangat pucat
Gambar 3. Efek korosif oleh berbagai kehitaman, usus mengerut, dan
pelarut membran mukosa sangat rusak
f. AgNO3: warna merah sedikit
kehitaman dan usus mengerut

Tabel 8. Efek Astringen


No. Larutan Pengamatan
1. Teh (mengandung tanin) Kebas dan agak pahit

Anda mungkin juga menyukai