Laporan Praktikum Antaraksi Obat Dengan Tubuh
Laporan Praktikum Antaraksi Obat Dengan Tubuh
Laporan Praktikum Antaraksi Obat Dengan Tubuh
FA2241
Praktikum 1
Antaraksi Obat dengan Tubuh
Kelompok 2
11619006 Fakhri Dhiya Hidayat
11619013 Maureen Stefani Valentina
11619020 Alfina Mithwa Anisa
11619028 Muhammad Ricko Nugroho
11619035 Safira Santosa
11619042 Edwin Evryandi Gultom
3.1.Pembahasan
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari tentang interaksi obat dengan
tubuh. Interaksi ini terbagi menjadi farmakodinamik yaitu efek obat terhadap tubuh
serta farmakokinetik. Faktor yang memengaruhi efek obat terhadap tubuh terbagi
menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal berasal dari luar tubuh
penerima obat yakni lingkungan di sekitarnya serta makanan yang dikonsumsi. Faktor
internal berasal dari dalam tubuh yaitu usia, jenis kelamin, fungsi organ, bobot tubuh
dan luas permukaan tubuh, genetik, spesies, rute administrasi obat, toleransi, dan faktor
psikologis (Tripathi, 2013).
Salah satu faktor yang memengaruhi efek dari obat adalah jenis kelamin. Jenis
kelamin berdasarkan organ reproduksi dan fungsinya terbagi menjadi pria dan wanita.
Keduanya memiliki perbedaan dalam farmakokinetik dan farmakodinamik obat,
sehingga respon obat yang dihasilkan juga berbeda. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan fisiologis seperti berat tubuh, panjang, luas permukaan tubuh, cairan total
tubuh, serta perbedaan cairan ekstraseluler dan intraseluler.
Wanita memiliki total cairan tubuh yang lebih sedikit daripada pria. Hal itu
menyebabkan konsentrasi obat bebas di dalam tubuh dengan pemberian dosis yang
sama pada pria dan wanita akan lebih tinggi pada wanita. Selain itu, eliminasi obat dari
dalam tubuh wanita lebih lambat. Hal itu berkaitan dengan perbedaan farmakokinetik,
serta menyebabkan efek samping pada wanita akan lebih tinggi, meskipun penelitian
ini masih belum terbukti jelas. Selain itu, pemberian obat pada wanita perlu
memerhatikan mestruasi, kehamilan, serta laktasi (Tripathi, 2013).
Sejumlah besar obat tidak langsung berikatan dengan efektor, tetapi berikatan
dengan makromolekul khusus yang bertugas mengontrol efektor. Makromolekul yang
dimaksud disebut reseptor. Interaksi antara obat dan reseptor terbagi menjadi agonist,
inverse agonist, antagonist, serta partial agonist. Agonist berarti obat bekerja sebagai
agen yang mengaktifkan reseptor untuk menghasilkan efek yang mirip dengan molekul
sinyal fisiologis. Inverse agonist berati obat bekerja sebagai agen yang mengaktifkan
reseptor untuk menghasilkan efek berlawanan dengan agonist. Antagonist berarti obat
bekerja sebagai agen yang mencegah kerja agonist pada reseptor atau respon
berikutnya, tetapi tidak memiliki efeknya sendiri. Sedangkan partial agonist berarti
agen yang mengaktivasi reseptor untuk menghasilkan efek submaksimal atau sebagian
tetapi berlawanan dengan aksi full agonist (Tripathi, 2013).
Pada percobaan ini, dilakukan pemberian obat diazepam pada mencit jantan dan
mencit betina dengan dosis yang sama. Diazepam adalah obat golongan benzodiazepine
yang digunakan sebagai ansiolitik, obat penenang, obat tidur, antikonvulsan, dan
relaksan otot. Benzodiazepin bekerja dengan mengikat reseptor benzodiazepin (BDZ)
di berbagai wilayah otak dan sumsum tulang belakang. Ikatan ini meningkatkan efek
penghambatan asam gamma-aminobutytic acid (GABA). GABA berfungsi termasuk
dalam keterlibatan SSP dalam induksi tidur dan juga dalam pengendalian hipnosis,
memori, kecemasan, dan epilepsi.
Pemberian diazepam pada sampel 12 mencit jantan dan betina memberikan
hasil sebagai berikut:
t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances (Onset)
Jantan Betina
Mean 71.06333333 411
Variance 2524.456067 76616
Observations 6 6
Hypothesized Mean Difference 0
df 5
t Stat -2.95988176
P(T<=t) one-tail 0.015761599
t Critical one-tail 2.015048373
P(T<=t) two-tail 0.031523198
t Critical two-tail 2.570581836
Jantan Betina
Mean 39.61 44.82783333
Variance 145.2605 0.177848167
Observations 5 6
Hypothesized Mean Difference 0
df 4
t Stat -0.967564663
P(T<=t) one-tail 0.194026524
t Critical one-tail 2.131846786
P(T<=t) two-tail 0.388053048
t Critical two-tail 2.776445105
Efektifitas obat dapat diubah dengan cara mengontrol pada masing-masing fase
farmakokinetik. Pada absorpsi, efektifitas dapat ditingkatkan dengan memilih rute
administrasi obat yang tepat. Pada distribusi, juga dapat ditingkatkan tetapi ini beresiko
untuk menyebarkan obat lokal secara sistemik. Pada metabolisme jika ada kesalahan
obat akan menjadi toksik. Pada ekskresi, jika pada organ-organ eksresi memiliki
kendala maka residu obat akan berkumpul disitu dan mengurangi efektifisitas obat.
Anestetik lokal bekerja dengan cara menyebabkan blokade yang reversibel atas
konduksi sepanjang serat saraf. Efek toksik yang dikaitkan dengan anestetik lokal
biasanya dihasilkan oleh kadar plasma yang sangat tinggi; pemberian tunggal lidokain
topikal biasanya tidak menimbulkan efek samping sistemik. Efek pada awalnya
meliputi perasaan mabuk dan tak bisa berpikir dengan jelas diikuti dengan sedasi,
paraestesia di sekitar mulut, dan kedutan (twitching). Kebanyakan anestetik lokal,
kecuali kokain, menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Penambahan vasokonstriksi
seperti adrenalin mengurangi aliran darah setempat, menurunkan kecepatan absorbsi
anestetik lokal, dan memperpanjang efek lokalnya (BPOM.toksisitas anestetik lokal).
Pada pasien yang mengidap penyakit ginjal kronis akan ada perubahan dosis
obat karena fungsi ginjal yang menurun. Dikhawatirkan obat tidak bisa disekresi
dengan benar oleh ginjal karna ada gangguan. Dengan menggunakan persamaan
Cockroft-Gault atau the Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) untuk
memperkirakan klirens kreatinin (CrCl) dapat membantu mendapatkan dosis yang tepat
untuk obat-obat yang diekskresikan melalui ginjal (Munar MY, et al.). Karena pasien-
pasien lanjut usia cenderung mengalami penurunan fungsi ginjal, mempertimbangkan
faktor klirens kreatinin sangat penting saat menentukan dosis obat yang dieliminasi
melalui ginjal. Kerusakan ginjal dapat memengaruhi klirens metabolit obat aktif,
berpotensi menyebabkan akumulasi (Doogue MP, et al.).
Pada obat yang metabolisme utamanya melalui hati, farmakokinetika harus
diperhitungkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Ketika meresepkan obat yang
eliminasi utama melalui hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati, adalah sangat
mungkin untuk melakukan penurunan dosis pemeliharaan dari dosis normal.
Menurunkan dosis normal dan memperpanjang interval dosis, atau memodifikasi
keduanya. Metoda aktual yang digunakan untuk menurunkan dosis pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan normal adalah dengan membandingkan beberapa rute
pemberian obat dengan beberapa bentuk sediaan (Bauer, 2008).
Berdasarkan efek yang ditimbulkan, obat digolongkan menjadi dua, yakni
sistemik dan lokal. Obat sistemik bekerja dengan masuk ke dalam peredaran darah,
sementara obat lokal bekerja dengan hanya mempengaruhi bagian tertentu yang dituju
oleh obat itu. Obat lokal dapat diberikan melalui saluran pernapasan, lensa mata,
vagina, dan rektum, berbeda dengan obat topikal yang terbatas di area permukaan kulit
atau bagian luar tubuh saja, meski termasuk obat lokal. Obat yang bekerja secara lokal
memiliki beberapa persyaratan seperti tidak boleh terdistribusi sistemik, tidak merusak
jaringan tubuh, dan lain-lain. Faktor yang memengaruhi efek obat lokal yakni sediaan
obat, rute pemberian obat, dan kondisi patologis pasien, khususnya di daerah yang
ditargetkan obat. Selain itu, dosis obat juga berpengaruh terhadap intensitas obat yang
bekerja secara lokal. Jika pemberian obat anestesi lokal melebihi dosis maksimum,
maka akan timbul gejala toksik seperti gelisah, frekuensi nadi dan tekanan darah
meningkat, mual dan muntah, hingga dapat menyebabkan kejang. Tindakan
penanganannya yakni jika terjadi kejang pada pasien, baringkan pasien di lantai lalu
dimasukkan rubber wedge ke dalam mulutnya dengan posisi di antara gigi untuk
mencegah tongue biting, kemudian pasien segera diberi oksigen dan asisten diminta
untuk menghubungi ambulans atau mencari pertolongan serta jangan diberikan obat
analgetik.
Pada percobaan kali ini, dilakukan percobaan yang melibatkan obat lokal
dengan jaringan kulit dan membran mukosa. Ada empat percobaan yang dilakukan,
yakni efek menggugurkan bulu, efek fenol, efek korosif, dan efek astringen. Pada
percobaan untuk mengetahui efek menggugurkan bulu, prosedur dilakukan seperti yang
tercantum dalam bab metode. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 5 di Lampiran.
Berdasarkan hasil percobaan, dapat dilihat jika Veet cream memiliki kemampuan yang
lebih kuat dalam menggugurkan bulu ketimbang NaOH 20%. Selain Veet cream dan
NaOH 20%, senyawa yang dapat menggugurkan bulu juga yakni asam sulfat dan asam
klorida. Senyawa-senyawa ini bersifat korosif. Namun, obat yang bersifat korosif
mungkin saja bekerja tanpa menghilangkan bulu, tetapi kemungkinannya hanya sedikit
sekali sebab mekanisme obat penggugur bulu ini bekerja dengan cara memecah ikatan
disulfida pada keratin kulit yang menyebabkan bulu menjadi mudah rusak dan gugur.
Hal ini dikarenakan bulu atau rambut merupakan struktur protein yang kompleks. Efek
pemecahan ikatan disulfida ini juga menimbulkan bau yang menyengat.
Pada percobaan untuk mengetahui efek fenol, prosedur dilakukan seperti yang
tercantum dalam bab metode. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 6 di Lampiran.
Berdasarkan hasil percobaan, dapat dilihat jika efek fenol dalam etanol lebih kuat
dibanding larutan fenol yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan koefisien partisi
larutan dan permeabilitas kulit sehingga mempengaruhi perembesan fenol ke dalam
jaringan kulit.
Pada percobaan untuk mengetahui efek korosif, prosedur dilakukan seperti yang
tercantum dalam bab metode. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 7 di Lampiran.
Berdasarkan hasil percobaan, setiap cairan dapat menimbulkan efek yang berbeda
dalam aspek perubahan warna usus, kerusakan membran mukosa, ukuran usus, ataupun
ketebalan usus. Hal ini disebabkan senyawa yang menimbulkan efek korosif bekerja
dengan cara mengendapkan protein melalui reaksi oksidasi sehingga membran mukosa
menjadi rusak.
Pada percobaan untuk mengetahui efek astringen, prosedur dilakukan seperti
yang tercantum dalam bab metode. Larutan yang dipakai pada percobaan kali ini adalah
teh. Data percobaan dapat dilihat pada Tabel 8 di Lampiran. Berdasarkan hasil
percobaan, efek yang ditimbulkan oleh larutan teh yakni munculnya rasa kebas pada
mulut dan terasa agak pahit. Hal ini disebabkan karena tanin merupakan komponen zat
organik yang sangat kompleks, terdiri dari senyawa fenolik yang cenderung bersifat
asam, mudah teroksidasi, dan dapat membentuk polimer Selain itu, tanin bekerja
dengan cara mengkoagulasikan protein sehingga permeabilitas sel pada kulit dan
membran mukosa menjadi turun.
3.2.Perhitungan Dosis
Pada studi kasus yang diberikan tentang pengaruh berat dan luas permukaan,
seorang anak berumur 3 tahun, BB 12kg, dan TB 78 cm, mengalami demam dan akan
diberikan ibuprofen. Tersedia ibuprofen dengan dosis 400mg. Untuk menghitung dosis
anak tersebut, maka dapat dihitung salah satunya berdasarkan luas permukaan.
𝑆 = 𝑊 0,425 × 𝐻 0,725 × 0,007184
𝑆 = 120,425 × 780,725 × 0,007184 = 0,486 𝑚2
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑎𝑘 0,486
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑎𝑛𝑎𝑘 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎 × 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎 = × 400 = 112,4 mg
1,73
Perhitungan dosis anak tersebut dapat dihitung juga dengan menggunakan rumus Clark yang
berdasarkan berat badan anak tersebut. Diketahui berat badan nya adalah (12kg = 26,455 lb).
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑙𝑏) 26,455
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑎𝑛𝑎𝑘 = × 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎 = × 400 = 70,5 mg
150 150
Dengan demikian, didapat dosis ibuprofen untuk AC yaitu 112,4 mg apabila berdasarkan luas
permukaan badan dan 70,5 mg apabila berdasarkan berat badan.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Variasi biologis dan kelamin terhadap diazepam pada mencit hanya berpengaruh pada
onset dan tidak berpengaruh pada durasi kerja obat.
B. Pada percobaan toleransi, hanya mencit ketiga yang menunjukkan adanya toleransi
terhadap pemberian diazepam karena onsetnya semakin tinggi dan durasi kerja obat
semakin kecil.
C. Efek antagonis antara CoCl2 dan Ca-EDTA terhadap tikus terjadi pada tikus yang hanya
diinjeksikan CoCl2 dan ditandai dengan meningkatnya laju pernapasan dan detak
jantung. Pada tikus yang diinjeksikan Ca-EDTA sebelum CoCl2, tidak menunjukkan
adanya perubahan perilaku. Sedangkan pada tikus yang diinjeksikan Ca-EDTA setelah
CoCl2, mengalami keracunan CoCl2 yang menurun secara signifikan hingga kondisinya
kembali normal.
D. Efek toksisitas anestetika lokal biasanya dihasilkan oleh kadar plasma yang sangat
tinggi dan yang teramati adalah timbulnya perasaan mabuk dan tak bisa berpikir dengan
jelas diikuti dengan sedasi, paraestesia di sekitar mulut, dan kedutan (twitching).
E. Efek Veet cream dalam proses pengguruan bulu pada kulit tikus adalah terpecahnya
ikatan disulfida pada keratin kulit, sedangkan efek NaOH tidak sekuat efek Veet cream
karena NaOJ hanya merusak bagian permukaan kulit yang ditumbuhi oleh bulu.
F. Efek senyawa korosif terhadap usus tikus adalah rusaknya membrn mukosa usus
dengan cara pengendapan protein.
G. Efek dari fenol dengan etanol yang memiliki efek maksimum terhadap kulit jari
dipengaruhi oleh perbedaan koefisien partisi larutan dan permeabilitas kulit sehingga
mempengaruhi perembesan fenol ke dalam jaringan kulit.
H. Efek senyawa astringen adalah munculnya rasa kebas pada mulut akibat koagulasi
protein yang menurunkan permeabilitas sel pada kulit dan membran mukosa serta terasa
agak pahit.
I. Berdasarkan perhitungan dosis ibuprofen yang dibutuhkan untuk anak berusia 3 tahun
dari ketiga rumus, maka hasil perhitungan diperoleh dari penurunan rumus Clark yaitu
sebesar 70,5 mg.
DAFTAR PUSTAKA
Anestetik Lokal. (2015). Retrieved March 11, 2021, from Pusat Informasi Obat Nasional
BPOM RI: pionas.pom.go.id
Diazepam. (2005, June 13). Retrieved March 11, 2021, from Drugbank: go.drugbank.com
Soldin, O. P., & Mattison, D. R. (2009). Sex differences in pharmacokinetics and
pharmacodynamics. Clinical pharmacokinetics, 48(3), 143-157. Retrieved from
https://doi.org/10.2165/00003088-200948030-00001
Tripathi, K. (2013). Essentials of Medical Pharmacology (7th ed.). New Delhi, India: Jaypee
Brothers Medical Publishers.
Yulianto, A. Nurul. (2017). Bahan Ajar Kesehatan Lingkungan: Toksikologi lingkungan.
Kementrian kesehatan Republik Indonesia.
Baspalov, Anton.(May 2016). Drug Tolerence : A known Unknown In Translation
Neuroscience. Trends in Pharmacological Sciences, May 2016, Vol. 37, No. 5
Noviani, Nita dan Nurilawati, Vitri. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi.
Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Nuryati. 2017. Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK): Farmakologi.
Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Sukandar, dkk. 2021. Penuntun Praktikum Farmakologi I: FA2241. Laboratorium
farmakologi dan Toksikologi Sekolah Farmasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Siegel, Shepard.2005. Drug Tolerance, Drug Addiction, and Drug Anticipation. McMaster
University, Hamilton, Ontario, Canada
LAMPIRAN
Tabel 1. Variasi biologi dan kelamin
Keterangan : Tanda (-) artinya tidak ada efek, tanda (*) artinya data tidak diperoleh karena
mencit mati
Catatan :
• Respon dari pemberian diazepam adalah hewan mengalami efek sedative yang
digambarkan dengan tidak adanya righting reflex.
• Dosis mengikuti data (abaikan dosis yang ada di modul)