TN Bali Barat Amudin - Extensi
TN Bali Barat Amudin - Extensi
TN Bali Barat Amudin - Extensi
AMUDIN
41205425117005
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
laporan Praktikum Pengelolaan kawasan konservasi.
Laporan ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan
kawasan konservasi. Adapun judul dari makalah ini adalah “Pengelolaan Kawasan
Perlindungan Laut untuk Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Bali Barat,
Indonesia”. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dosen mata Kuliah Pengelolaan kawasan konservasi yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan
dalam penulisan makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami
mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 3
1.3 Manfaat 3
BAB II. KONDISI UMUM KAWASAN 4
2.1 Deskripsi dan Potensi di Taman Nasional Bali Barat 7
2.1.1 Deskripsi 4
2.1.2 Potensi di Taman Nasional Bali Barat 7
2.1.2.1 Flora 8
2.1.2.2 Fauna 8
2.1.2.3 Biota Laut 9
2.2 Ekowisata di Pulau Bali 9
2.3 Model zonasi di Pulau Bali 11
BAB III. PENGELOLAAN EKOWISATA 13
3.1 Sistem Kelembagaan/Organisasi 13
3.2 Stakeholders 14
3.3 Manajemen 16
3.4 Permasalahan dan Solusi 17
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 23
4.1 Kesimpulan 23
4.2 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut
untuk Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Bali Barat, Indonesia adalah
1. Untuk mengetahui manajemen pengelolaan seperti
kelembagaan/organisasi yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata,
2. Untuk mengetahui model zonasi dan stakeholders yang terlibat,
3. Untuk mengetahui isu-isu yang sedang berkembang di lingkunga
masyarakat setempat.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut
untuk Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Bali Barat, Indonesia adalah untuk
melihat permasalahan yang terjadi dalam upaya konservasi dan upaya pendekatan
solusi dalam permasalahan yang terjadi.
BAB II
KONDISI UMUM KAWASAN
Taman Nasional Bali Barat mempunyai luas 19.002,89 ha. terdiri dari kawasan
terestrial seluas 15.587,89 ha. dan kawasan perairan selaus 3.415 ha dan sebagai
salah satu kawasan kawasan konservasi, pengelolaan Taman Nasional Bali Barat
(TNBB) ditujukan untuk :
1. Perlindungan populasi Jalak Bali beserta ekosistem lainnya seperti
ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai
dan ekosistem hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem
penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian,
keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unit-unit ekosistem yang
mantap dan mampu mendukung kehidupan secara optimal.
2. Pengawetan keragaman jenis flora dan fauna serta ekosistemnya ditujukan
untuk melindungi, memulihkan keaslian, mengembangkan populasi dan
keragaman genetik dalam kawasan TNBB dari gangguan manusia.
3. Pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
ditujukan untuk berbagai pemanfaatan seperti:
Sebagai laboratorium lapangan bagi peneliti untuk pengembangan
ilmu dan teknologi.
Sebagai tempat pendidikan untuk kepentingan meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat.
Obyek wisata akan pada zona khusus pemanfaatan yang dapat
dibangun fasilitas pariwisata.
Menunjang budidaya penangkaran jenis flora dan fauna dalam rangka
memenuhi kebutuhan protein, binatang kesayangan dan tumbuhan
obat-obatan.
8
2.1.2.1 Flora
Taman Nasional Bali Barat kaya akan potensi flora antara lain sawa kecik
(Manilkara kauki), Sonokeling (Dalbergia Latifolia), Bayur (Pterospermum
difersifolium), dan Cendana (Santalem Album). Susunan tipe Vegetasi meliputi
tipe Vegetasi hutan mangrove, Vegetasi hutan pantai, Vegetasi hutan musim,
Vegetasi hutan evergreen dan savana.
2.1.2.2 Fauna
Burung Jalak Bali (Laucapsar rothschildi) merupakan satwa endemik Pulau Bali
yang langka dan statusnya di lindungi. Pada saat ini Burung Jalak Bali di Taman
Nasional Bali Barat terdapat di habitat alaminya disemenanjung Prapat Agung dan
Sekitarnya serta di pusat penangkaran jalak Bali. Kegiatan penangkaran
dilaksanakan sebagai restocking jumlah individu guna mendukung program
pemulihan populasi Jalak Bali melalui pelepasan Burung hasil penangkaran ke
habitat alami. Beberapa mamalia besar yang terdapat di Taman Nasiona Bali
Barat yaitu Banteng (Bos Javanicus), Kijang (Muntiacus Muntjak), Kancil
(Tragulus Javanicus), Menjangan (Cervus Timorensis), Kucing liar (Felis 9
bengalensis), Keras abu-abu (Macaca Fascicularis) dan monyet hitam (Presbytis
Cristata), selain itu juga terdapat berbagai jenis reptil seperti penyuider
(Lepidochelys alivacease).
3.2 Stakeholders
Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau
masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki
hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun
komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki
karakteristik seperti yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan
terhadap perusahaan.
Jika diperhatikan secara seksama dari definisi diatas maka telah terjadi
perubahan mengenai siapa saja yang termasuk dalam pengertian stakeholder
perusahaan. Sekarang ini perusahaan sudah tidak memandang bahwa stakeholder
mereka hanya investor dan kreditor saja. Konsep yang mendasari mengenai siapa
saja yang termasuk dalam stakeholder perusahaan sekarang ini telah berkembang
mengikuti perubahan lingkungan bisnis dan kompleksnya aktivitas bisnis
perusahaan. Dengan menggunakan definisi diatas, pemerintah bisa saja dikatakan
sebagai stakeholder bagi perusahaan karena pemerintah mempunyai kepentingan
atas aktivitas perusahaan dan keberadaan perusahaan sebagai salah satu elemen
sistem sosial dalam sebuah negara oleh kerena itu, perusahaan tidak bisa
mengabaikan eksistensi pemerintah dalam melakukan operasinya. Terdapatnya
birokrasi yang mengatur jalanya perusahaan dalam sebuah negara yang harus
ditaati oleh perusahaan melaui kepatuhan terhadap peraturan pemerintah 15
menjadikan terciptanya sebuah hubungan antara perusahaan dengan pemerintah.
TNBB tentu tidak sendirian dalam menggerakkan aktivitas yang berkaitan
dengan pelestarian ini. ''Pelestarian TNBB bukan hanya tugas saya sendiri atau
150 pegawai yang ada. Semua ini tanggung jawab semua pihak dan kita saling
bekerja sama dengan stakeholder yang ada,'' ujar pria yang sudah 4,5 tahun
bertugas di TNBB ini.
Dia pun menuturkan program-program yang dimiliki TNBB yang
melibatkan stakeholder seperti LSM dan masyarakat. Contohnya, untuk program
perairan, TNBB bekerja sama dengan WWF. Program yang dikerjakan adalah
rehab terumbu karang, monitoring, penelitian perubahan cuaca dan membuat data
perkembangan. Kerja sama dengan WWF ini juga melahirkan LSM yang diberi
nama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Bali Barat. Mereka pun
saling bekerja sama dan saling melengkapi.
Kegiatan lain yang dilakukan forum ini adalah ikut terlibat dalam
pelestarian. Soedirun mengatakan, pihak desa adat yang berada dekat kawasan
sudah diminta memasukkan pelestarian hutan ke dalam awig-awig. Hal ini
dilakukan untuk mengamankan berbagai jenis flora, fauna dan biota laut yang
langka. Jika ini dirusak, nanti anak cucu tidak akan ada yang tahu namanya
kawasan hutan TNBB.
Pembinaan kepada masyarakat mengenai pentingnya hutan terus
dilakukan. Selain itu, berbagai langkah pengamanan pun diberikan. Misalnya, jika
terjadi kebakaran hutan, masyarakat bisa ikut menginformasikan bahkan ikut
upaya pemadaman.
Untuk peningkatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan juga sudah
dilakukan berbagai upaya. Termasuk ikut memelihara dan juga menjaga
kelestariannya. Masyarakat dikenalkan pada tiga strata tanaman. Pohon tinggi,
pohon sedang dan rumput atau palawija. Dari semua strata ini, mana saja yang
boleh dimanfaatkan secara ekonomis dan mana harus dilestarikan, juga sudah
dijelaskan.
Pengembangan kemitraan dangan Organisasi Pemerintah dan Non
Pemerintah (LSM) baik dalam maupun luar negeri dan masyarakat dengan
mengembangkan kemitraan dalam bentuk: Pembangunan sarana dan prasarana 16
pengelolaan, promosi penelitian, pendidikan wisata alam dan Publik awareness,
baik melalui jalur resmi maupun informal tentang fungsi, tujuan, dan manfaat
konservasi khususnya mengenai keberadaan Taman Nasional
Pembinaan daerah penyangga dititik beratkan pada peningkatan
keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata alam dan pemanfaatan
plasma nutfah untuk menunjang budidaya. Membina program bersama pemangku
kawasan hutan dan pesisir untuk dapat mengintegrasikan suatu ekosistem kawasan
sesuai fungsinya melalui managemen kolaborasi (Co-Management) sesuai otoritas
kewenangan dan tanggung jawab.
Pada saat ini di Taman Nasional Bali Barat terdapat 3 (Tiga) perusahaan
yang sudah mendapatkan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) yaitu : PT.
Shorea Barito Wisata dan PT. Trimbawan Swastama Sejati (Penyediaan Resort
dengan wisata alam sebagai atraksi wisata) , dan PT. Disthi Kumala Bahari
(Pengusahaan pariwisata alam dengan pengakaran mujtiara sebagai atraksi
wisata).
3.3 Manajemen
Dampak atau isu yang berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata
antara lain penguasaan ekonomi yang tidak seimbang, terbatasnya nilai tambah
lokal (local added value), minimnya keterlibatan masyarakat lokal, dampak
lingkungan pariwisata, terkikisnya kearifan sosial dan nilai budaya serta
meningkatkan biaya hidup dan beban bagi penduduk lokal (Hadi, 2007).
Alasan untuk membentuk pariwisata yang berkelanjutan menirut Rachel
Dodds (2005) adalah:
- Pariwisata dapat membantu mengurangi kemikemiskinan
- Kemungkinan imbalan jangka panjang dari berburu atau kehutanan
- Meningkatnya permintaan pembelajaran / pengalaman liburan
- Konservasi
- Pendidikan
Berbeda dengan pariwisata masal yang menitikberatkan pada kuantitas
pengunjung, ekowisata bersandar pada empat hal yaitu komunitas, pendidikan,
budaya, dan lingkungan. Empat hal yang harus berjalan secara seimbang tersebut 17
adalah
1. Komunitas setempat harus terlibat sejak penyusunan hingga evaluasi
wisata;
2. Wisata ini harus menjadi media belajar bagi turis maupun pengelolanya;
3. Budaya setempat harus diberi tempat agar tetap bertahan di tengah
derasnya budaya lain; serta
4. Kegiatan wisata ini harus memperhatikan kelestarian lingkungan.
Satu contoh adalah keterlibatan petani di masingmasing desa. Mereka
sendiri yang melakukan pemetaan, perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi.
Kalau ada turis berkunjung ke satu desa, maka warga lokal yang menjadi
pemandu, bukan karyawan agen perjalanan wisata. Demi menjaga lingkungan,
desa juga membatasi jumlah pengunjung yang datang. Tiap lokasi tidak boleh
menerima lebih dari 10 orang per hari. Tujuannya agar aktivitas pariwisata tidak
sampai merusak lingkungan yang dikunjungi.
Agar aktivitas pariwisata tidak membuat petani melupakan pertanian,
maka kegiatan turis ketika berkunjung ke desa adalah terlibat langsung dalam
kegiatan pertanian. Misalnya turis itu melihat proses produksi wine di Sibetan,
memetik kopi di Pelaga, atau memanen rumput laut di Nusa Ceningan. Peminat
ekowisata jauh lebih kecil dibanding jenis pariwisata masal lain. Tapi dua tahun
terakhir grafik jumlah pengunjung terus meningkat. Jumlah pengunjung ini
berbeda-beda di tiap desa. Misalnya di Sibetan, dalam kurun waktu enam bulan
hanya ada 18 pengunjung. Tapi di Pelaga mencapai 112 orang dalam kurun waktu
yang sama. Perbedaan jumlah pengunjung ini karena paket ekowisata
memungkinkan turis untuk memilih, datang ke satu desa, dua desa, atau seluruh
desa.
memberikan manfaat ekonomi secara langsung dan adil kepada masyarakat lokal
(host community) karena hanya sebagian kecil masyarakat lokal bekerja di sektor
pariwisata seperti; akomodasi, cafe dan restoran. Tetapi secara tidak langsung
masyarakat lokal telah mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat ini diperoleh
melalui Desa Dinas atau Desa Adat dimana mereka berada.
Tiket masuk obyek wisata di Desa Wisata Jatiluwih sebesar Rp. 5.000
(wisatawan asing) dan Rp. 2.000 (wisatawan lokal). Pendapatan Desa Wisata
Jatiluwih yang diperoleh dari hasil penjualan tiket masuk. Hasil penjualan tiket
tersebut dibagi lima yaitu: (1) untuk petugas pemungut tiket masuk, (2) untuk
pemerintah daerah Kabupaten Tabanan, (3) untuk Desa Adat Gunungsari, (4)
untuk Desa Adat Jatiluwih, dan (5) untuk Desa Dinas. Cara pembagian
pendapatan tersebut adalah: 20% dari total pendapatan perbulan diberikan kepada
petugas penjaga tiket masuk, sisanya yang sebesar 80% dijadikan 100% kembali
kemudian dibagi tiga yaitu untuk pemerintah daerah Kabupaten Tabanan, Desa
Adat Gunungsari, Desa Adat Jatiluwih dan Desa Dinas yang berturut-turut
mendapatkan bagian sebesar 15%, 26%, 24%, dan 35%. Pembagian tersebut
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan. Dalam pemungutan tiket
masuk, Desa Wisata Jatiluwih mengalami beberapa kendala seperti banyaknya
gerbang masuk yang menuju objek wisata, tidak semua pengunjung dikenakan
tiket masuk karena jalan yang melintas di objek wisata merupakan jalan umum
yang bisa dilewati oleh setiap orang tanpa harus membayar tiket masuk.
Ditemukan juga bahwa hanya sedikit usaha perekonomian masyarakat
lokal yang berhubungan langsung dengan industri pariwisata. Warung-warung
yang ada disekitar daerah objek wisata hanya diperuntukan untuk masyarakat
lokal dan wisatawan domestik dan bukan untuk wisatawan manca negara karena
warung-warung tersebut tidak memiliki standar internasional. Kebanyakan
masyarakat lokal masih tetap bergelut dalam bidang pertaninan yang merupakan
profesi yang telah ditekuni bertahun-tahun dan warisan nenek moyangnya.
Penghasilan dari hasil pertanian mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari saja. Sekarang ini, hasil pertanian sangat tidak sesuai dengan harapan
masyarakat lokal dan bahkan cendrung merugi apabila dihitung antara biaya yang
19
dikeluarkan oleh petani untuk mengolah lahannya dengan hasil penjualan hasil
pertaniannya.
Melihat kenyataan bahwa penghasilan yang diperoleh dari hasil pertanian
relatif kecil, maka sebagian masyarakat lokal telah mulai mengalihkan usahanya
ke bidang peternakan yaitu peternakan babi dan ayam petelur, bidang peternakan
ini dianggap lebih menguntungkan daripada bidang pertanian. Tetapi, peralihan
usaha masyarakat lokal dari pertanian ke peternakan akan mengakibatkan
berkurangnya lahan pertanian dan persawahan, dan juga akan mengakibatkan
adanya polusi khususnya polusi udara yang ditimbulkan oleh kotoran-kotoran
ternak yang dapat menggangu kenyamanan wisatawan yang berakhir pada
ancaman keberlanjutan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih.
b. Aspek Sosial-budaya
Kehidupan sosial-budaya masyarakat di Desa Wisata Jatiluwih masih sangat
kental, ini dibuktikan masih antosiasnya masyarakat lokal untuk melakukan
berbagai macam upacara keagamaan seperti; piodalan, pecaruan, pamungkahan
dan lain-lain. Dalam hal upacara keagamaan di pura, pelaksanaannya sepenuhnya
dilakukan oleh anggota (krama) desa adat dan biayanya diperoleh dari desa adat
setempat, sumbangan dari pengusaha jasa pariwisata yang beroperasi di kawasan
Desa Wisata Jatiluwih, dan pemerintah daerah Kabupaten Tabanan.
Masyarakat lokal sama sekali tidak mempermasalahkan apabila tempat
suci (pura) yang ada di kawasan wisata juga dijadikan objek wisata sejauh masih
memenuhi atau sesuai dengan peraturan (awig-awig) yang berlaku. Masyarakat
lokal sebenarnya tidak mengharapkan uang atau sumbangan atas dijadikannya
mereka sebagai pertunjukan wisata pada saat upacara keagamaan berlangsung.
Tetapi apabila ada wisatawan yang ingin menyumbang, sumbangan tersebut
dimasukan atau diterima oleh Desa Adat.
Kehidupan sosial warga masyarakat lokal berjalan dengan baik dan tidak
ada indikasi terjadinya konflik kepentingan antar warga. Namun ada sedikit
perdebatan antara perangkat Desa Adat dengan Desa Dinas tentang status
kepemilikan desa Wisata Jatiluwih.
Sampai sekarang porsi pembagian pendapatan yang diperoleh dari hasil
penjualan tiket masuk lebih banyak diberikan kepada Desa Dinas dibandingkan 20
dengan Desa Adat. Karena tak seorang warga lokalpun mengetahui tentang status
kepemilikan Desa Wisata Jatiluwih. Sehubungan dengan perdebatan tersebut,
dalam pertemuan antara perangkat Desa Dinas dan Desa Adat dan mahasiswa S2
Kajian Pariwisata Universitas Udayana pada hari Minggu tanggal 31 Oktober
2004 dijelaskanlah asal usul dari Desa Wisata Jatiluwih oleh dosen pembimbing
Bapak Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, Msc. yang kebetulan sebagai pencetus ide dari
Desa Wisata Jatiluwih. Sehingga dengan penjelasan ini diharapkan tidak terjadi
lagi perdebatan mengenai status kepemilikan Desa Wisata Jatiluwih.
Selain itu, pembangunan di dekat kawasan tempat suci dan daerah resapan
air dan penggunaan sumur-sumur bor oleh para investor menjadi keluhan para
masyarakat lokal karena dapat mengakibatkan tercemarnya kawasan suci dan
keringnya atau menyusutnya air sumur-sumur biasa disekitarnya.
Pada dasarnya masyarakat lokal menerima dengan baik dan merasa bangga
sehubungan dengan desanya dijadikan sebagai salah satu Desa Wisata di Bali.
Masyarakat berpendapat bahwa dengan dijadikannya sebagai Desa Wisata
setidaknya memberikan kontribusi kepada desanya walaupun secara langsung
mereka belum menikmatinya. Namun, pembangunan Desa Wisata juga
memberikan peluang kerja kepada beberapa masyarakat lokal yang berkompetensi
dalam bidang kepariwisataan.
Harapan utama masyarakat lokal adalah diadakannya upaya-upaya
pelestarian aset wisata sehingga tetap alami, asri dan mempunyai kekhasan yang
membedakan dengan objek-objek wisata lainnya. Dengan kekhasan ini diharapkan
mampu menarik wisatawan untuk mengunjungi objek wisata ini. Masyarakat lokal
juga mengharapkan perbaikan-perbaikan infrastuktur seperti jalan, tempat parkir,
penerangan jalan, pengadaan tempat-tempat sampah dan pembuatan jalur-jalur
trekking serta pembuatan Museum Subak sehingga masyarakat lokal bisa terlibat
langsung dan mempunyai peran yang lebih banyak dalam pembangunan Desa
Wisata Jatiluwih.
c. Aspek Lingkungan
Pembangunan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih tidak mengakibatkan dampak-
dampak negatif terhadap lingkungan dan penurunan kualitas tanah atau lahan 21
4.1 Kesimpulan
Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan pariwisata yang
memperhatikan usaha-usaha melestarikan seluruh kehidupan sosial-budaya
masyarakat lokal dan lingkungan hidup yang ada di daerah tujuan wisata serta
memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal secara berkelanjutan
sehingga ketiga aspek (ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan) dapat diwariskan
ke inter generasi dan antar generasi.
4.2 Saran
Meningkatan efektivitas pengamanan terutama berkaitan erat dengan aksesibilitas
Taman Nasional Bali Barat yang terbuka maka diperlukan sistem pengamanan
yang benar-benar efektif sesuai sarana dan prasarana yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Supyan dan Samadan, G., 2011. Efektifitas dan Efisiensi Konservasi Laut dalam
Sustainbility Sumberdaya Kelautan. Jurnal Mitra Bahari. Vol.5 No.2.
Mei-Agustus 2011.