Hirarki Dalam Matematika

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 53

1.

Hirarki dalam matematika


Hirarki bisa didefinisikan bagi badan pengatahuan matematika
dengan keseluruhan struktur. Baik ini merupakan struktur aksiomatik,
berdasarkan aksioma dan aturan interferensi, atau struktur definisional,
berdasarkan istilah primitif dan selanjutnya istilah yang didefinisikan lalu
hirarki yang dapat didefinisikan. Tanda primitif dari hirarki (aksioma atau
istilah primitif) terdiri dari level terendah (0). Sekarang ekspresi E lainnya
dalam struktur bisa dicapai dalam beberapa jumlah minimum n dari
aplikasi aturan (aturan interferensi atau definisi) dari tanda level 0. Jumlah
n ini mendefinisikan level tanda E dalam hirarki. Sehingga setiap tanda
ditunjuk pada level unik dalam hirarki. Sehingga badan pengetahuan
matematika bisa menjadi bentuk hirarkis resmi yang menetapkan sistem
atau struktur matematika tunggal, yang dihubungkan oleh hubungan
inferensial atau definisional. Hubungan inferensial adalah yang paling tepat
untuk dipertimbangkan, karena menunjukkan hubungan justificatory antara
dalil dan rumus matematika, yang memberikan struktur teori aksiomatik
deduktif.
Dengan menggunakan perbedaan antara level formal, informal dan
tulisan sosial dari matematika, kita melihat bahwa untuk teori matematika
formal yang tepat, hirarki bisa didefinisikan. Sebagai kenyataan
penyelidikan matematis informal, hal ini mungkin tidak mungkin
dilakukan. Untuk dasar aksiomatik mungkin tidak akan ditetapkan
sepenuhnya, dan hubungan logis antara dalil matematika informal mungkin
tidak dibuat dengan meyakinkan. Maka berikut ini kita akan fokus hanya
pada teori matematika formal, atau teori matematika informal yang siap
untuk diformalkan. Sebaliknya untuk kondisi penciptaan hirarki mungkin
tidak akuntansi terpenuhi.
Sekarang kita siap memperhatikan dua pertanyaan. Pertama: apakah
semua struktur hirarkis pengetahuan matematika ada? Kita telah melihat
bahwa untuk semua teori matematika formal, dengan sekumpulan aksioma
tetap, maka ada struktur hirarkis, pilihan aksioma, bersamaan dengan
spesifikasi aturan interferensi dan latar belakang bahasa formal,
menentukan teori matematika hirarkis. Namun, matematika dibentuk oleh
banyak teori yang berbeda, kebanyakan memiliki formulasi aksiomatik
yang berbeda. Aksiomatik menetapkan teori misalnya, memiliki sejumlah
aksiomatisasi yang cukup berbeda seperti teori Zermelo-Fraenkel dan Teori
Godel-Bernays-von-Neuman (Kneebone, 1963). Di luar itu, banyak ahli
matematika selanjutnya mengubah teori himpunan aksiomatik yang mereka
pelajari dengan menambahkan aksioma lanjut (Jech, 1971; Maddy, 1984)
Akibatnya, tidak ada keseluruhan struktur bagi matematika formal,
karena ini terbentuk dari banyak sekali teori yang berbeda dan
pembentukan teori, semuanya dengan struktur dan hirarkinya sendiri.
Selanjutnya, sebenarnya setiap satu dari teori aksioma ini tidaklah lengkap,
menurut Godel (1931). Maka ada kebenaran teori yang tidak memiliki
tempat dalam hirarki deduktif. Seperti yang kita tahu dalam bab
sebelumnya, usaha yang dilakukan oleh beberapa ahli matematika hebat
dari abad ini untuk menciptakan pengetahuan matematika dalam sistem
fondasi tunggal dimana logicist, formalist atau intuitionist, semuanya gagal.
Sehingga hasil dari meta-matematika mendorong kita untuk memahami
bahwa matematika dibentuk oleh teori keserberagaman yang berbeda,
dimana hal ini tidak bisa diturunkan pada sistem tunggal, dan tidak ada dari
teori ini yang cukup untuk menangkap semua kebenaran bahkan dalam
domain aplikasi yang terbatas.
Hal ini diikuti oleh pertanyaan mengenai keberadaan seluruh hirarki
matematika yang harus dijawab dalam bentuk negatif. Ini tidak bisa ditarik
kembali. Namun kita harus mempertimbangkan pertanyaan yang lebih
lemah. Apakah struktur matematika informal yang luas dan komprehensif
ada, bahkan jika tidak berhasil memenuhi kriteria ketat yang diperlukan
untuk memberikan struktur ambigu pada matematika? Struktur ini bisa
ditemukan dalam elemen Bourbaki (Kneebone, 1963). Bourbaki
memberikan penjelasan matematika sistematik, dimulai dengan
menetapkan teori, dan mengembangkan satu setelah muncul teori murni,
matematika struktural. Meskipun struktur Bourbaki yang tidak bisa
dikatakan lengkap (dalam pengertian informal), karena meninggalkan
aspek computasional dan rekursif dari matematika, maka hal ini
menunjukkan kodifikasi informal dari porsi substansial matematika.
Apakah hal ini memberikan jawaban positif pada pertanyaan lemah? Jika
kita mengatakan iya, maka keberatan berikut harus dipikirkan:
porsi signifikan dari pengetahuan matematis diabaikan;
sistem tidak begitu baik secara formal yang memungkinkan hirarki tetap
dari pengetahuan matematis dihasilkan;
sistem keseluruhan tergantung pada asumsi teori klasik sebagai fondasi
matematika;
seluruh sistem terikat dalam hal budaya, mencerminkan strukturalisme
abad pertengahan duapuluh.
Maka hanya dalam bentuk yang sangat lemah kita bisa menyatakan bahwa
ada seluruh struktur pada bagian signifikan dari matematika.
Pertanyaan kedua adalah sebagai berikut. Dengan asumsi bahwa ada
struktur keseluruhan pada pengetahuan matematika, apakah ini merupakan
struktur tetap dan unik dimana hirarki bisa didasarkan? Pertanyaan ini
memiliki dua bagian. Pertama terkait dengan keunikan struktur
matematika. Kita telah melihat bahwa bagian kedua ini tidak dapat
dipertahankan. Bahkan jika struktur yang diberikan oleh Bourbaki diakui
sebagai struktur yang unik, informal dan tidak memadai bagi definisi
hirarki yang tepat. Maka dalam pegertian yang tegas, kita bisa mengakui
bahwa tidak ada hirarki unik pada matematika.
Namun mari kita kembali pada keunikan struktur matematika.
Keunikan ini tergantung pada persetujuan seperti pada fondasi matematika,
Bourbaki mengasumsikan serangkaian fondasi teoritis. Dengan
mengabaikan perbedaan antara teori bisakah teori yang memberikan
keunikan menyetujui dasar bagi matematika? Pertanyaan ini harus dijawab
dalam bentuk negatif. Kita telah melihat bahwa Foundationist mengklaim
bahwa matematika berada dalam kegagalan fondasi yang unik. Paling tidak
dua alternatif pada fondasi teoritis dalam matematika ada. Pertama, telah
diklaim bahwa Teori Kategori bisa memberikan dasar alternatif
matematika, dalam tempat teori himpunan (Lawvere, 1966). Klaim ini
belum sepenuhnya dibenarkan, namun meski demikian ini merupakan
tantangan bagi keunikan fondasi teoritik himpunan. Ada cabang teori
kategori (teori Topos) yang kedua-duanya logika intuisi dan klasik dapat
diturunkan (Bell, 1981). Karena teori himpunan dapat ditunjukkan dalam
logika klasik urutan pertama, maka bisa diturunkan untuk teori kategori.
Kedua, logika intuisionis memberikan fondasi bagi matematika.
Meskipun tidak semua matematika bisa ditunjukkan dalam kaitannya
dengan basis ini, sebagian besar dari program telah direalisasikan untuk
analisis, oleh Bishop (1967) dan yang lainnya. Oleh karena itu logika
intuisionist mengakomodir matematika combinatioral, tidak seperti
fondasi teoriti himpunan dari matematika klasik. Sehingga dalam basis dua
argumen ini, klaim bahwa ada struktur unik pada matematika disangkal.
Kenyataannya, sejarah matematika mengajarkan pada kita pelajaran
yang berlawanan. Dalam keseluruhan perkembangan perubahan
matematika melalui restrukturisasi fundamental dari konsep matematika,
teori dan pengetahuan (Lakatos, 1976). Sehingga meskipun struktur
memainkan peran sentral dalm pengatyran pengetahuan matematika,
mereka merupakan struktur ganda yang membentuk, membubarkan dan
mereformasi sejalannya waktu. Tidak ada dasar untuk mengasumsikan
bahwa proses ini mungkin akan berhenti, atau dengan asumsi bahwa teori
alternatif dan reformulasi akan melelahkan. Pandangan semacam ini
sangatlah penting bagi konstruktivisme sosial, dan bagi filosofi matematika
lain yang mengakui dasar historisnya. Sehingga benar bahwa pada satu
waktu matematika bisa digambarkan dengan struktur hirarkis tunggal yang
unik, serta kapanpun ketika struktur menunjukkan perubahan dan
berkembang.
Dalam menyangkal klaim bahwa matematika memiliki struktur
hirarkis yang unik, perhatian telah dibatasi pada logika, yang merupakan
struktur teori matematika deduktif. Seperti yang sudah kita lihat hirarki
bisa didefinisikan dengan cara lain, khususnya sebagai hirarki istilah dan
definisi. Ketika hal ini tidak begitu signifikan dalam matematika sebagai
struktur deduktif, argumen yang sama bisa diubah pada bidang ini. Untuk
struktur deduktif dari sebarang teori yang membawa hirarki definisi, dan
hampir seperti banyak struktur definisional yang ada sebagai sesuatu yang
deduktif. Sehingga tidak ada hirarki yang unik dari definisi. Hirarki global
sedang digunakan dalam matematika. Dalam teori individu atau domain
beberapa hirarki tentunya hal ini tidak ada, seperti derajat Turing (tidak
bisa dipecahkan) dalam teori rekursi (Bell dan Machover, 1977). Namun
hal ini tidak memiliki struktur bahkan dalam pecahan signifikan dari
pengetahuan matematika. Maka bisa dinyatakan dengan tegas bahwa
matematika tidak memiliki seluruh struktur hirarkis, dan tentunya bukanlah
sesuatu yang unik, bahkan ketika klaim diinterpretasikan dengan baik dan
bebas.
Apakah matematika merupakan rangkaian komponen pengetahuan diskret?
Ada asumsi lebih jauh terkait dengan sifat dan struktur pengetahuan
matematis yang layak mendapat pemeriksaan karena impor pendidikannya.
Ini merupakan asumsi bahwa matematika dapat dianalisa dalam komponen
pengetahuan diskret, jumlah (atau sekumpulan lebih) yang tidak terstruktur
dari menunjukkan disiplin. Asumsi ini menunjukkan bahwa dalil
matematika sifatnya tidak tergantung makna dan signifikansi.
Dengan membedakan masalah formal, informal dan tulisan sosial
matematika merupakan bukti bahwa klaim ini paling baik dibuat untuk
matematika formal. Untuk dua domain yang mengisyaratkan konteks
makna, akan dikemukakan berikut ini. Karena struktur merupakan salah
satu karakteristik pengetahuan matematika, klaim ini bisa juga berada
dalam asumsi yang tidak dibenarkan dimana ada struktur yang unik pada
matematika. Hal ini mungkin diperlukan sehingga ketika molekul
pengetahuan diskret digabungkan kembali, akan muncul hasil yang tetap
dan sebelumnya ditetapkan secara keseluruhan (badan pengetahuan
matematika). Kita telah mengatur asumsi kedua di atas. Namun, perkiraan
bahwa dalil matematika tidak tergantung pada makna dan signifikansi juga
tidak berhasil. Pertama, tanda matematis formal mendapatkan
signifikansinya dari teori aksiomatik atau sistem formal dimana mereka
terjadi. Tanpa konteks ini mereka akan kehilangan beberapa
signifikansinya, dan struktur ditentukan oleh teori akan gagal.
Kedua, ekspresi matematika formal secara eksplisit mendapat makna
semantiknya dari interpretasi atau kelas dari interpretasi yang dimaksud
terkait dengan teori dan bahasa formal. Semantik ini merupakan bagian
standard dari logika formal Sejak Tarski (1936). Gagasan ini telah
diperluas pada perlakuan teori ilmiah formal oleh Sneed (1971), yang
menambahkan kelas interpretasi yang dimaksud pada struktur teori
formala. Sehingga pemisahan tanda matematika dalam bagian diskret atau
yang terisolasi menolak sebagian besar dari signifikansinya dan semua
makna semantiknya. Tanda ini akhirnya memiliki klaim kecil yang
dianggap sebagai komponen molekular dari pengetahuan matematika.
Bahkan lebih dari yang di atas, ekspresi dari tulisan matematika
informal memiliki makna implisit yang dikaitkan dengan keseluruhan latar
belakang teori dan konteks. Bagi aturan dan makna yang mengatur tanda
ini tidak memiliki ketentuan formal yang jelas, namun tergantung lebih
pada aturan penggunaan implisit (Wittgenstein, 1953). Model semantik dari
bahasa formal dan informal menggambarkan konteks utterance (Barwise
dan Perry, 1982). Baik ditunjukkan dalam bahasa formal maupun informal,
tanda matematika tidak bisa dianggap sebagai makna yang berdiri bebas,
dan tidak tergantung. Sehingga matematika tidak bisa ditunjukkan sebagai
serangkaian molekular dalil, dalam hal ini tidak menunjukkan hubungan
struktural antara dalil, dan kehilangan makna konteks dependen mereka.
A. Implikasi Pendidikan
Fakta bahwa disiplin matematika tidak memiliki struktur hirarkis unik dan
tidak bisa ditunjukkan sebagai kumpulan dalil molekular, memiliki
implikasi pendidikan. Namun, pertama hubungan antara disiplin
matematika dan isi kurikulum matematika harus dipertimbangkan.
Hubungan antara matematika dan kurikulum
Dua hubungan alternatif adalah mungkin. (1) Kurikulum matematika harus
merupakan seleksi representatif dari disiplin matematika, sekalipun dipilih
dan dibentuk sehingga dapat diperoleh untuk pelajar. (2) Kurikulum
matematika merupakan entitas independen, yang tidak perlu menunjukkan
disiplin matematika. Sebagian besar teoretikus kurikulum menolak
kemungkinan kedua, mengemukakan kasus umum dimana kurikulum
harus menunjukkan pengetahuan dan proses penelitian disiplin subjek
(Stenhoyse, 1975; Schwab, 1975; Hirst dan Peters, 1970). Bentuk kasus 2
adalah sindiran yang efektif dari Benjamin (1971).
Studi perubahan kurikulum telah mendokumentasikan bagaimana
perkembangan dalam matematika memberikan peningkatan melalui
tekanan yang digunakan oleh ahli matematika pada perubahan dalam
kurikulum matematika sekolah yang menunjukkan peningkatan ini
(Cooper, 1985); Howson, 1981). Lebih umum, dalam pendidikan
matematika diterima bahwa isi kurikulum harus menunjukkan sifat disiplin
matematika. Penerimaan ini sifatnya implisit atau eksplisit, seperti dalam
Thwaites (1979), Confrey (1981) dan Robitaille dan Dirks:
konstruksi kurikulum matematika….(dihasilkan dari) sejumlah
faktor yang berjalan dalam badan matematika untuk memilih dan
menyusun kembali isi untuk menjadi lebih tepat bagi kurikulum sekolah.
(Robitaille dan Dirks, 1982, hal. 3)
Seminar internasional mengenai pendidikan matematika secara eksplit
mempertimbangkan kemungkinan bahwa ‘matematika nyata’ tidak akan
membentuk dasar kurikulum matematika bagi setiap orang (sebagian besar
akan hanya mempelajari ‘matematika yang berguna’) Namun, hal ini
berlawanan dengan tiga pilihan lain yang diperhatikan, termasuk
pandangan yang paling banyak diterima yang berbeda tetapi kurikulum
yang representatif diperlukan (Howson dan Wilson, 1986)
Dari kelima ideologi yang dibedakan dalam buku ini, semuanya
kecuali pelatih industrial menyokong dengan kuat kasus 1. Sebagai
konsekuensi dari survey singkat ini, bisa dikatakan bahwa prinsip bahwa
kurikulum matematika harus merupakan seleksi representatif dari disiplin
matematika yang menunjukkan konsensus ahli.
Jika kurikulum matematika digunakan untuk menunjukkan disiplin
matematika, maka seharusnya tidak menunjukkan matematika yang
memiliki struktur hirarkis yang tetap dan unik. Ada struktur ganda dalam
satu teori, dan tidak ada struktur atau hirarki yang bisa dikatakan paling
baik. Sehingga kurikulum matematika harus memungkinkan cara
penyusunan pengetahuan matematika yang berbeda. Selanjutnya,
kurikulum matematika seharusnya tidak menawarkan koleksi dalil terpisah
sebagai konstitusi matematika. Bagi komponen matematika disusun dan
dihubungkan, dan harus ditunjukkan dalam kurikulum matematika.
Implikasi pendidikan ini memungkinkan kita untuk mengkritik
kurikulum nasional dalam matematika pada dasar epistimologis. Untuk
kurikulum matematika ditunjukkan sebagai hirarki unik dari empat belas
topik (target pencapaian) pada level 10 (Departemen pendidikan dan ilmu
pengetahuan, 1989). Selanjutnya, pada tiap level, topik ditampilkan oleh
sejumlah dalil atau proses, dan penguasaan disiplin matematika dipahami
untuk menghasilkan penguasaan komponen berbeda ini. Sehingga
kurikulum nasional salah dalam menggambarkan matematika, berlawanan
dengan prinsip kurikulum yang diterima. Hal ini mewujudkan hirarki
dimana ini tidak dibenarkan dalam istilah sifat matematika, serta
menunjukkan pengetahuan matematika sebagai rangkaian fakta dan
keterampilan diskret.
Pembelaan yang mungkin muncul adalah bahwa kurikulum
matematika bisa gagal menunjukkan disiplin matematika guna memenuhi
tujuan psikologis, seperti menunjukkan hirarki psikologis matematika.

2. Hirarki dalam Belajar Matematika

A. Pandangan bahwa Belajar Matematika Sifatnya Hirarkis


Seringkali diklaim bahwa belajar matematika sifatnya hirarkis, berarti
bahwa ada item pengetahuan dan keterampilan yang memerlukan prasyarat
untuk belajar item pengetahuan matematika. Pandangan semacam ini
diwujudkan dalam teori Piaget tentang perkembangan intelektual. Piaget
menyatakan rangkaian empat tahap (sensori motor, pre-operasional,
operasional konkrit, operasi formal) yang membentuk hirarki
perkembangan. Pelajar harus menguasai operasi pada satu tahap sebelum
dia siap berpikir dan menjalankan level selanjutnya. Namun aspek hirarki
yang kaku dari teori Piaget telah dikritisi (Brown dan Desforges, 1979).
Sehingga piaget menciptakan istilah ‘decalage’ untuk menggambarkan
kompetensi hirarki yang melampaui (transgressing)
Psikolog lain yang menyatakan bahwa belajar sifatnya hirarkis
adalah Gagne. Dia mengemukakan bahwa topik hanya bisa dipelajari
ketika hirarki prasyaratnya telah dipelajari.
Topik pada (item pengetahuan) pada level tertentu dalam hirarki
harus didukung oleh satu atau lebih topik pada level selanjutnya yang lebih
rendah….setiap orang tidak akan mampu belajar topik tertentu jika dia
gagal mencapai topik bawahnya yang mendukung.
(Gagne, 1977, hal 166-7)
Gagne menyatakan bahwa dalam pengujian empirik, tidak ada dari
topiknya, hirarki muncul lebih dari 3 persen dari hal yang berlawanan.
Sehingga dua psikolog representatif yang berpengaruh dari tradisi
perkembangan dan behaviorist telah membuat penelitian spesial tentang
matematika. Dalam pendidikan matematika, ada penelitian empirik yang
mempunyai pokok isi untuk menemukan hirarki belajar dalam matematika.
Proyek Inggris yang berpengaruh, Concept in Secondary Mathematics and
Science, mengajukan sejumlah pemahaman hirarki dalam beberapa area
pemikiran matematika (Hart, 1981). Penelitian ini menawarkan delapan
level hirarkis dalam tiap topik yang diteliti.
Teori dan karya empirik merupakan pilihan kecil dari penelitian yang
berkaitan dengan identifikasi hirarki dalam belajar matematika. Penelitian
semacam ini, bisa dipasangkan dengan pandangan sifat matematika dari
para absolutist-foundationist, telah mengarahkan pada kepercayaan yang
luas bahwa belajar matematika mengikuti urutan hirarki. Sebagai contoh,
pandangan ini disebutkan dalam laporan Cockroft.
Matematika merupakan subjek yang sulit untuk diajarkan dan
dipelajari. Salah satu alasan mengapa demikian adalah matematika
merupakan subjek hirarkis…kemampuan untuk memulai karya baru sangat
sering tergantung pada pemahaman yang memadai dari satu atau lebih
karya, yang sudah ada sebelumnya.
(Cockroft, 1982, hal 67, penekanan asli)
Pandangan hirarkis dari belajar matematika memiliki ekspresi yang paling
baik dalam kurikulum nasional dalam matematika, seperti yang sudah kita
lihat (Departemen Pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1989). Ini merupakan
spesifikasi hirarkis yang pasti dari kurikulum matematika pada level
sepuluh, menetapkan dasar yang diperlukan untuk studi matematika dari
semua anak (dalam English dan Welsh state school) dari usia 5 hingga 16
tahun.
B. Kritik Pandangan Hirarkis Belajar Matematika
Pandangan hirarkis belajar matematika berada dalam dua asumsi. Pertama,
selama belajar, konsep dan keterampilan diperlukan. Sehingga menurut
beberapa pengalaman belajar sebelumnya seorang pelajar akan kekurangan
konsep dan keterampilan, dan setelah pengalaman belajar yang tepat dan
berhasil, pelajar akan memiliki atau mendapat konsep dan keterampilan.
Kedua, kemahiran konsep dan keterampilan matematika tergantung pada
kepemilikan konsep dan keterampilan sebelumnya. Hubungan
ketergantungan ini berada diantara konsep dan keterampilan yang
memberikan struktur pada hirarki belajar. Sehingga untuk mempelajari
konsep level n+1, pelajar harus sudah mendapat konsep yang tepat dari
level n (namun tidak perlu semua level). Akibatnya, berdasarkan
pandangan ini, pengetahuan matematika diatur secara unik dalam jumlah
level diskret. Tiap dari dua asumsi ini sifatnya problematik dan terbuka
pada kritik.
Hubungan ketergantungan hirarkis antar konsep
Satu asumsi bahwa ada hubungan hirarkis yang pasti dari ketergantungan
antara konsep dan keterampilan, yang menghasilkan hirarki yang unik dari
konsep dan keterampilan, dua kritik utama bisa dinaikkan melawan asumsi
ini. Pertama, hal ini mengisyaratkan bahwa konsep atau keterampilan
merupakan entitas yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh pelajar, ini
merupakan asumsi kedua, dikritik berikut ini. Namun tanpa asumsi ini
tidak bisa diklaim bahwa konsep level n+ 1, tergantung pada kepemilikan
konsep level n. Karena untuk membuat klaim ini bisa mengklaim bahwa
pelajar memiliki atau tidak memiliki konsep atau level n atau n +1.
Kritik yang lebih substantif adalah bahwa keunikan hirarki belajar
tidak ditetapkan secara teoritis atau empirik. Resnick dan Ford (1984)
menyimpulkan peninjauan penelitian mereka pada hirarki belajar dengan
peringatan bahwa mereka harus digunakan dengan perhatian, dan komentar
Gagne tahun 1968 yang tetap valid: hirarki belajar…tidak bisa mewakili
rute unik atau yang paling efisien untuk tiap pelajar. (Hal 57).
Sejumlah penelitian yang membandingkan efek instruksi yang
mengikuti urutan konsep yang berbeda dari hirarki yang diajukan (Philips
dan Kane, 1973) atau pengetahuan pelajar yang sesuai pada hirarki belajar
dalam cara yang halus (Denvir dan Brown, 1986) mengkonfirmasi bahwa
tidak ada hirarki yang paling baik menggambarkan urutan atau struktur
kemahiran pengetahuan setiap pelajar. Meskipun banyak penulis
melaporkan efektivitas dari hirarki belajar untuk urutan instruksi (Bell,
1983; Horon dan Lynn, 1980), faktanya adalah strategi alternatif yang sama
efektif seperti “advance organizer, ‘pertanyaan tambahan’ dan ‘deep and
principle’ merintangi asumsi hirarki mereka (Begle, 1979; Bell, 1983;
Dessart, 1981). Sehingga pengajaran ini tidak memberitahu kita bagaimana
pengetahuan pelajar terbentuk.
Pandangan kognitif ilmuan dan psikolog yang banyak digunakan
adalah organisasi (dan sifat) pengetahuan pelajar adalah idiosinkratik,
sehingga ini tidak bisa digolongkan pada hirarki tetap tunggal. Sehingga
konsep pelajar atau struktur konseptual telah diistilahkan ‘konsepsi
alternatif’ atau ‘kerangka alternatif’ (Easley, 1984; Gilbert dan Watts,
1983; Pfundt dan Duit, 1988) Ketika perbedaan ini berada dalam skala
mikro, maka pikiran bahwa pemahaman pelajar melampaui topik
matematika bisa dipenuhi dalam semua hirarki matematika juga ditolak
(Ruthven, 1986, 1987; Noss, 1989)
Konsep sebagai entitas yang diperlukan
Asumsi yang tersisa terkait sifat konsep dan keterampilan matematika,
namun perlakuan konsep sendiri cukup untuk menciptakan argumen. Istilah
konsep memiliki dua makna psikologis. Pengertian sempitnya adalah
atribut atau rangkaian objek. Hal ini bisa didefinisikan secara intensif,
dengan mendefinisikan sifat atau secara ekstensif, dalam kaitannya dengan
keanggotaan rangkaian. Konsep dalam pengertian ini memungkinkan
adanya diskriminasi antara objek tersebut yang berada di bawahnya, dan
yang tidak. Konsep dalam pengertian ini sederhana, dan merupakan objek
mental yang bersatu. Pengertian yang lebih luas dari konsep adalah struktur
konseptual, terdiri dari sejumlah konsep (dalam pengertian sempit) bersama
dengan hubungan antara mereka (Bell, 1983). Struktur konseptual juga
disebut skema atau konsep dengan interioritas (Skemp, 1979). Hampir
semua hal tersebut merujuk pada konsep dalam psikologi matematis,
seperti konsep nilai tempat, atau bahkan konsep sepuluh, memiliki
pengertian yang lebih luas dari struktur konseptual, karena komponen
cabang bisa dibedakan dalam tiap konsep.
Dengan adanya perbedaan ini, tiga keberatan utama bisa muncul
melawan asumsi dimana konsep semuanya diperoleh seketika, atau dimiliki
atau kurang bagi pelajar. Pertama, sebagian besar konsep faktanya
menggabungkan struktur konseptual, merupakan bukti bahwa konstruksi
mereka harus merupakan proses pertumbuhan yang luas. Dalam pandangan
interkoneksi yang kompleks antara konsep, kemahiran konsep bisa
bertahan lama.
Kedua, kepemilikan konsep pelajar hanya bisa diwujudkan secara
langsung, melalui penggunaannya, karena struktur mental merupakan
entitas teoritis yang tidak bisa secara langsung diamati. Namun penggunaan
konsep oleh pelajar harus berada dalam beberapa konteks, sehingga konsep
dihubungkan dengan konteks penggunaan. Untuk meringkas ‘esensi’
konsep dari konteks penggunaan, dan klaim bahwa esensi ini menunjukkan
konsep bersifat presumptive. Pemikiran akhir-akhir ini dalam poin
psikologi pada sifat pengertian kontekstual (Brown, 1989; Lave, 1988;
Solomon, 1989; Walkerdine, 1988). Ada badan penelitian substansial yang
menunjukkan penggunaan konsep atau keterampilan matematika oleh
pelajar dalam konteks berbeda yang sangat bermacam-macam (Carraher,
1988; Evans, 1988a). Sehingga pemahaman konsep pelajar berkembang
sesuai tingkat konteks penggunaan yang dikuasai, menggali gagasan
dimana kemahiran merupakan proses.
Ketiga, gagasan bahwa konsep secara unik merupakan entitas
objektif yang bisa dispesifikasi sifatnya terbuka bagi kritik filosofis dan
psikologis, seperti ditunjukkan dalam Bab 4 dan 5. Hal ini diterima secara
luas bahwa individu membentuk makna personal. (Novak, 1987). Untuk
mengklaim bahwa individu berbeda memiliki konsep yang sama, tidak
dikatakan bahwa beberapa entitas objektif yang sama, walaupun abstrak,
dimiliki oleh keduanya. Hal ini menunjukkan entitas teoritis hipotetis yang
murni. Klaim semacam ni hanya merupakan facon de parler, berarti bahwa
dua kinerja individu bisa dibandingkan. Karena mendapat konsep
merupakan proses mempengaruhi konstruksi personal idiosinkratik, hal ini
tidak lagi valid untuk mengklaim bahwa pelajar memiliki atau tidak
memiliki konsep tertentu.
Secara keseluruhan, kita melihat bahwa klaim bahwa belajar
matematika mengikuti hirarki belajar yang unik tidak bisa dipertahankan.
Konstruksi konsep individual dan hubungannya adalah personal dan
idiosinkratik, bahkan jika hasil membagi kompetensi. Vergnaud
menuliskan:
Hirarki kompetensi matematika tidak mengikuti urutan total organisasi,
seperti teori dugaan ketidakberuntungan tahap-tahap, namun lebih satu
berurutan parsial: situasi dan masalah yang dikuasai siswa secara progresif,
prosedur dan representasi simbolik yang mereka gunakan, dari usia 2
hingga 3 hingga dewasa dan pelatihan profesional, lebih baik dijelaskan
oleh skema urutan parsial dimana seseorang menemukan kompetensi yang
tidak mengandalkan satu sama lain, meskipun mereka semua memerlukan
serangkaian kompetensi yang lebih primitif dan mungkin semua
dibutuhkan untuk rangkaian yang lebih kompleks.
Vergnaud (1983, hal 4)
Konsekuensi untuk Kurikulum Nasional dalam Matematika
Pembahasan ini memiliki konsekuensi untuk kerangka kurikulum hirarkis,
dan juga untuk Kurikulum Nasional dalam matematika (Departemen
Pendidikan dan Ilmu pengetahuan). Paling penting, tidak ada justifikasi
psikologis untuk memaksakan struktur hirarkis yang unik dan pasti pada
kurikulum matematika bagi semua anak dari usia 5 hingga 16. Hasil
empirik yang dilaporkan di atas sebagian besar fokus pada porsi kecil dari
kurikulum matematika dan usia yang dibatasi serta tingkat pencapaian.
Bahkan dalam batasan ini, dugaan bahwa hirarki tunggal secara akurat
menunjukkan matematika secara psikologis yang harus ditolak. Di luar itu,
kita telah melihat bahwa ada alasan teoritis kuat mengapa hirarki tetap
tidak bisa menjelaskan belajar siswa. Dipasangkan dengan penolakan
epistimologis sebelumnya, hasil merupakan hukuman (kondemnasi) dari
kerangka dalam prinsip tanpa penelitian detail dari isinya.
Hal ini juga penting memperhatikan bahwa sebenarnya semua
argumen yang digunakan dalam kritik ini bisa diubah pada area kurikulum
lainnya, karena referensi detail pada isi kurikulum nasional belum dibuat.
Ketika detail isi dari kurikulum nasional dalam bidang Matematika
dibawa dalam diskusi, maka mungkin akan ada pembenaran yang bisa
diantisipasi. Yaitu, meskipun kurikulum tidak memiliki keharusan
epistimologis atau psikologis, namun mungkin mencerminkan pengetahuan
yang ada mengenai prestasi anak secara keseluruhan dalam bidang
matematika.
Ada sejumlah pengetahuan substansial yang bisa diperoleh dari
prestasi berskala besar yang diuji di Inggris dan negara-negara lain, seperti
dalam Assessment of Performance Unit (1985), Hart (1981), Keys dan
Foxman (1989), Carpenter (1981), Lindquist (1989) dan Lapointe (1989),
Robitaille dan Garden (1989) serta Travers dan Westbury (1989). Informasi
semacam ini tak bisa diacuhakan sebagai produk budaya, yang
mencerminkan hasil kurikula matematika yang dimediasi oleh struktur
institusional sekolah dan sistem penilaian. Meskipun demikian hal ini
memberikan garis dasar, sekalipun pragmatis terhadap kurikulum
matematika hirarkis yang bisa divalidasi. Informasi tidak perlu benar-benar
memaksa kurikulum yang baru, karena mungkin ada alasan yang masuk
akal kenapa mengubah aspek dari praktek terdahulu. Namun dengan hal
yang memberatkan ini, perkembangan kurikulum berskala besar harus
paling tidak mengandung pemeriksaan area kesepakatan dan ketidak-
sepakatan dengan penelitian empirik, serta membenarkan dan
mengantisipasi deviasi yang besar.
Kurikulum nasional dalam bidang matematika telah mengabaikan isu
semacam ini, dan tidak mencerminkan pengetahuan yang ada. Keohane dan
Hart (1989) dan Hart (1989) menunjukkan bahwa level tunggal dari
kurikulum yang terencana termasuk isi dimana ada banyak fasilitas yang
berbeda-beda. Level empat termasuk dalam program studi untuk anak
berusia 8-16 tahun. Dalam studi terhadap sampel yang besar dari anak
berusia 11 tahu (Hart, 1981), ada tingkat fasilitas yang tersebar dari 2
persen hingga 95 persen dalam item yang sesuai dengan level pernyataan
pencapaian empat.
Tidak hanya kurikulum nasional bidang matematika saja yang
kurang seimbang, namun juga hasil penelitian empirik. The Mathematics
Working Group yang pimpin oleh ketua D Graham, tidak memperhatikan
masalah ini.
Kelompok tidak diharapkan untuk mengadakan penelitian
berdasarkan rekomendasi dengan mabuk air, namun diharapkan untuk
menunjukan praktek yang baik dalam cara yang pragmatis.
(Nash, 1988, hal 1)
Hal ini menggambarkan fakta bahwa tidak ada usaha yang dilakukan untuk
mengembangkan kurikulum nasional dalam basis penelitian, semuanya
dibiarkan berjalan secara empirik. Bahkan hal ini dilakukan secara bersama
oleh sebuah komite, yang bekerja sebagai tiga sub komite, dalam beberapa
minggu. Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan kurangnya validitas
epistimologis atau psikologis, dalam asumsi hirakisnya. Dengan status
yang ada, dan sumber daya yang tersedia, akan semakin lalai terhadap
originator (pemerintah).

3. Hirarki Kemampuan Matematis


A. Pandangan Hirarakis Kemampuan Matematis
Intelegensi umum oleh para psikolog dianggap sebagai kekuatan mental
tetap yang dibawa sejak lahir, seperti kutipan yang disampaikan oleh
Schonell berikut.
Intelgensi umum bisa diartikan sebagai kekuatan mental yang dibawa sejak
lahir yang sedikit berubah dalam tingkatannya karena lingkungan meskipun
perwujudan dan arahnya ditentukan oleh pengalaman.
(Tansley dan Gulliford, 1960, hal. 24)
Meskipun tersebar luas, pandangan ini tidak disetujui oleh semua psikolog
modern (Pigeon, 1977). Namun, karena kemampuan matematika telah
diidentifikasi sebagai faktor utama dari intelegensi umum (Wrigley, 1958),
mungkin hal ini juga berkontribusi pada persepsi bahwa kemampuan
matematika dari seseorang sifatnya tetap dan kekal. Dalam analisis yang
tajam Ruthven (1987) menyatakan bahwa persepsi ini sudah menyebar
luas, dan umumnya dipandang oleh guru dan lainnya sebagai penyebab
utama adanya level pencapaian yang berbeda dalam bidang matematika.
Dia menggunakan istilah “ability stereotyping” untuk kecenderungan guru
yang mempunyai persesi stabil akan kemampuan siswanya dengan harapan
akan pencapaian/prestasi mereka, meskipun dalam menghadapi bukti yang
berlawanan.
Pengaruhnya, siswa menjadi subjek yang membentuk stereotip
dimana guru mengkarakterisasi mereka dalam istilah yang ringkas, dengan
penilaian global akan kemampuan kognitif dan mempunyai harapan yang
terlalu menggeneralkan siswanya.
(Ruthven, 1987, hal. 252)
Satu akibat dari adanya stereotyping kemampuan adalah, dalam kasus
ekstrim, perbedaan dalam kinerja yang diamati dalam tugas tertentu
dianggap sebagai indikasi “kemampuan matematika dari seorang pelajar”.
Contoh yang terkenal dalam kasus ini adalah “perbedaan tujuh tahun”
(seven year difference) oleh Cockroft (1982). Hal ini akan dibahas setelah
karakterisasi pencapaian numerik pada anak-anak rata-rata, “di bawah rata-
rata” dan (secara implisit) “di atas rata-rata”
Ada “perbedaan tujuh tahun” dalam mencapai pemahaman nilai
tempat yang cukup untuk menuliskan angka yang 1 lebih dari 6399.
Dengan hal ini maksud kita meskipun anak rata-rata mengerjakan tugas ini
pada usia 11 bukan usia 10 tahun, ada beberapa anak berusia 14 tahun yang
tidak bisa melakukannya dan beberapa usia 7 tahun yang bisa.
(Cockroft, 1982, hal 100)
Kutipan ini menunjukkan bahwa kinerja anak secara individu dalam item
tertentu dalam waktu tertentu yang berhubungan, dan bahkan dianggap
sebagai indikator dari keseluruhan konstruksi “kemampuan matematis”.
Perkiraan dari konstruksi kemampuan matematika global anak yang gigih,
akan meningkatkan level pencapaian yang kekal, hal ini dibenarkan oleh
kutipan berikut ini.
Bahkan jika level pencapaian bisa ditingkatkan, maka tingkat
pencapaian kemungkinan akan tetap sebaik yang sekarang, atau mungkin
akan semakin baik karena ukuran yang memungkinkan semua siswa untuk
belajar matematika yang lebih berhasil akan memberikan keuntungan bagi
pencapaian yang lebih tinggi, dan mungkin lebih dari mereka yang hanya
bisa mencapai tingkat yang lebih rendah.
(Cockroft,1982, hal. 101)
Dalam hal anak yang pencapaian rendahnya dalam bidang matematika
dikaitkan dengan kemampuan umum yang rendah, maka pelajaran
matematika perlu secara khusus dirancang guna membentuk jaringan
sederhana yang dikaitkan dengan ide dan aplikasi mereka.
(Cockroft, 1982 hal 98)
Secara keseluruhan, ada asumsi yang menyebar, yang terbukti secara jelas
dalam Coskroft (1982), dimana ada hirarki linear pasti dari kemampuan
matematika dari yang paling tidak bisa hingga yang paling bisa (atau secara
matematis sangat bisa); setiap anak bisa ditempatkan dalam hirarki ini, dan
beberapa anak menggantikan posisinya selama masa sekolah.
Satu hasil penting dari adanya stereotip persepsi dan harapan akan siswa
adalah adopsi sasaran yang terbatas untuk pendidikan matematis dari siswa
yang mencapai lebih rendah. Ruthven memberikan bukti seperti ini, dan
menyimpulkan bahwa:
Penekanan aktivitas repetitive, dalam belajar instrumental, dan dalam
perhitungan-menunjukkan persepsi stereotip dari kemampuan kognitif
siswa yang kurang berhasil dan sasaran kurikulum yang tepat bagi mereka,
baik sebagai pelajar maupun sebagai anggota masyarakat.
(Ruthven, 1987, hal 250)
B. Kritik terhadap Pandangan Hirarkis Kemampuan Matematis
Ruthven (1987) memberikan krtik yang tajam atas stereotip kemampuan,
dan berpendapat sebaliknya, dimana konsistensi pencapaian matematika
siswa kurang dari yang diperkirakan, berbeda-beda dalam topik dan
waktunya. Di sisi lain, harapan guru dan stereotip menjadi pemenuhan diri
dan pembedaan kurikulum dalam matematika yang bisa membuat
permintaan kognitif yang tinggi dan rendah dari pencapaian siswa yang
tinggi dan rendah, yang memperburuk perbedaan yang ada. Kritik ini bisa
didukung oleh dua pandangan teoritis: sosiologis dan psikologis.
Argumen sosiologis yang menolak pandangan hirarakis tentang
kemampuan dalam matematika berasal dari teori labelling. Kaitan yang
kuat antara latar belakang sosial dan kinerja pendidikan dari hampir semua
jenis merupakan yang paling lama dibangun dan merupakan hasil yang
paling didukung dalam penelitian sosial dan pendidikan (Departemen
pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Secara khusus, ada bukti yang
luas di Inggris mengenai hubungan kesempatan hidup berpendidikan dan
kelas sosial (Meighan, 1986). Mungkin penjelasan teori yang paling
mendapat banyak dukungan dari efek ini didasarkan pada teori labeling,
menurut Becker (1963), dan lain-lain. Segi utama dari pemberian label
seseorang sebagai orang yang mencapai kemampuan matematika rendah,
misalnya seringnya pemenuhan diri. Sehingga kemampuan yang tersebar
luas dalam pengajaran matematika, meskipun hanya terkait dengan ukuran
pencapaian, telah memiliki pengaruh pemberian label dengan dasar
kemampuan, dan akhirnya akan mempengaruhi prestasi dalam bidang
matematika, dan menjadi pemenuhan diri (Meighan, 1986; Ruthven, 1987)
Dasar teoritis kedua untuk menolak pandangan kemampuan hirarkis
adalah psikologis. Ada tradisi dalam psikologi Soviet yang menolak
gagasan kemampuan tetap, dan menghubungkan perkembangan psikologis
dengan pengalaman sosial. Perkembangan ini dipercepat secara politis pada
tahun 1936 ketika Soviet melarang penggunaan uji mental, yang
menghentikan penelitian pada perbedaan individu dalam hal kemampuan
(Kilpatrick dan Wirszup, 1976). Kontributor yang berkembang dalam
tradisi ini adalah Vygotsky (1962), yang menyatakan bahwa bahasa dan
pemikiran berkembang bersama-sama, dan bahwa kemampuan pelajar bisa
diperluas, melalui interaksi sosial, melampaui “zone of proximal
development”. Interaksi perkembangan personal dan konteks sosial serta
sasaran melalui aktivitas menjadi dasar dari Activity Theory (teori aktivitas)
oleh Leont’ev (1978) dan lainnya. Dalam keseluruhan tradisi ini, psikolog
Krutetskii (1976) telah mengembangkan konsep kemampuan matematis
yang sifatnya lebih tidak tetap dan tidak begitu hirarkis dibandingkan
dengan yang dibahas sebelumnya. Pertama dia menawarkan kritik tentang
pandangan yang relatif tetap pada kemampuan matematika yang berakar
dari tradisi psikometrik dalam psikologi. Lalu dia menawarkan teori
kemampuan matematikanya sendiri yang didasarkan pada proses mental
yang dikembangkan oleh individu yang digunakan dalam memecahkan
masalah matematika. Dia mengakui perbedaan individu dalam pencapaian
matematika, namun memberikan bobot yang besar pada pengalaman yang
berkembang dan formatif dari pelajar dalam menyadari potensi
matematikanya.
Tentu saja, potensi ini sifatnya tidak konstan dan bisa diubah. Guru
seharusnya tidak memasukkan gagasan dalam dirinya bahwa kinerja anak
berbeda-beda-dalam matematika katakanlah- ini merupakan refleksi level
kemampuan. Kemampuan bukanlah takdir namun ini dibentuk dan
dikembangkan melalui instruksi, praktek dan penguasaan aktivitas.
Sehingga kita membicarakan keharusan untuk membentuk,
mengembangkan, mengolah dan meningkatkan kemampuan anak, dan kita
tidak bisa memprediksi secara pasti seberapa jauh perkembangan ini bisa
terjadi.
(Krutetskii, 1976, hal 4)
Tradisi psikologis Soviet memiliki dampak yang meingkat dalam
pendidikan matematika (Christiansen dan Walther, 1986; Crawford, 1989;
Mellin-Olsen, 1987). Diakui bahwa level kognitif respon siswa dalam
matematika ditentukan tidak hanya oleh kemampuan siswa, namun juga
keterampilan dimana guru mampu melibatkan siswanya dalam aktivitas
matematika. Hal ini memerlukan perkembangan pendekatan ilmu
pendidikan dalam matematika yang sifatnya sensitif dan berkaitan dengan
sasaran serta budaya siswa. Siswa yang diberi label “kurang mampu dalam
matematika” bisa secara cepat meningkatkan level kinerjanya ketika
mereka terlibat secara sosial dan budaya dalam aktivitas terkait matematika
(Mellin-Olsen, 1987)
Konfirmasi empirik lain dalam ketidak-stabilan kemampuan bisa
ditemukan dalam fenomena idiot savant. Disini, orang yang diberi label
“tidak berpendidikan” bisa menunjukkan level tinggi yang sangat
mengagumkan dalam domian dimana mereka menjadi terlibat (Howe,
1987)
Secara keseluruhan, ada dasar teori yang kuat (dan empirik) tentang
penolakan terhadap pandangan hirarkis tentang kemampuan matematis, dan
menghubungkan hal ini lebih pada perkembangan sosial, yang muncul dari
tradisi Soviet. Dipasangkan dengan argumen sosiologis, hal ini meliputi
kasus yang bertentangan dengan pandangan hirarkis tentang kemampuan
dalam matematika.
C. Pandangan Hirarkis dari Kemampuan dalam Kurikulum Nasional
Pandangan hirakis mengenai kemampuan matematika merupakan bukti
dalam publikasi yang berkaitan dengan kurikulum nasional. The Task
Group on Assessment and Testing dibentuk untuk mengembangkan tes
bagi “semua usia dan kemampuan” (Departemen pendidikan dan Ilmu
pengetahuan, 1987a, hal 26) dan istilah referensi yang termasuk adalah
pemberian nasehat dalam penilaian untuk meningkatkan belajar melampaui
kemampuan’ (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b).
Sekretaris negara untuk pendidikan (K Baker) menulis pada ketua (P
Black) mengenai kemampuan dan pembedaan sebagai berikut.
Saya meminta siswa untuk bekerja berkelompok (termasuk
matematika) untuk merekomendasikan target pengetahuan, keterampilan
dan pemahaman dimana siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda harus
secara normal diperkirakan mencapai poin usia empat; namun sejauh
mungkin menghindari pembentukan target yang secara kualitatif berbeda-
dalam kaitannya dengan wilayah pengetahuan, keterampilan atau
pemahaman-bagi anak dari kemampuan yang berbeda.
(Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1988b, Appendix B)
Laporan akhir dari kelompok kerja matematika (Departemen pendidikan
dan ilmu pengetahuan, 1988) juga mengunakan bahasa stereotip
kemampuan. Surat pengantar untuk sekretaris negara berisi bahwa proposal
yang tertera adalah “sesuai untuk anak-anak dalam segala usia dan
kemampuan, termasuk anak dengan kebutuhan pendidikan khusus (hal vi).
Contoh selanjutnya diambil secara acak dari laporan yang meliputi: guru
dari murid yang sangat pandai…akan perlu …merujuk pada program B
guna memperluas kerja dari siswanya yang paling mampu’ (hal 63). Akan
ada waktu dimana anak yang paling pandaipun memerlukan usaha’ (hal
68)’beberapa anak yang paling tidak mampu 10 persennya mengalami
kesulitan, misalnya level 1 pada usia 7 dan level 2 pada usia 11’ (hal 83)
Kutipan ini dengan tegas menyatakan bahwa pandangan pejabat
(pemerintah) dan yang muncul dalam publikasi kelompok kerja matematika
adalah hirarki kemampuan matematika, dimana individu bisa diberi posisi
yang tetap atau relatif stabil.
Selanjutnya, kurikulum nasional dalam matematika menghasilkan
batasan pengalaman kurikulum bagi siswa dengan pencapaian rendah
dalam matematika. Seperti yang ditunjukkan oleh kerangka kurikulum dan
penilaian untuk kurikulum nasional (Gambar 11.1). hasil yang diterima
adalah kurikulum tunggal dalam matematika untuk semua siswa, mereka
dengan “kemampuan rendah” hingga yang lebih rendah, memiliki level
yang lebih sederhana.
Figure 1 1. 1: The Curriculum and Assessmen Framework of the National
Curriculum (Adapted from Department ofEducation and Science, 1988b)

Hasil dari asumsi ini dalam kurikulum nasional dalam bidang


matematika kemungkinan akan memperburuk dan melebihi-lebihkan
perbedaan individu dalam kinerja. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini
hampir pasti menjadi pemenuhan diri, penolakan sukses dalam matematika
untuk sejumlah besar siswa sekolah.
Tentu saja stereotip kemampuan dalam matematika tidak hanya didasarkan
pada perbedaan pencapaian yang diamati. Ada bukti yang tidak bisa
disangkal bahwa faktor kelas (baik itu etnik dan gender) memainkan peran
yang sangat besar dalam pemberian label ini (Meighan, 1986). Stereotip
kemampuan yang dibangun dalam kurikulum nasional bidang matematika
mengasumsikan bahwa setiap anak bisa ditempatkan dalam posisi “hirarki
kemampuan matematika, dan beberapa akan menggantikan posisi selama
tahun sekolah. Akibatnya, kelas pekerja, anak perempuan dan anak berkulit
gelap kemungkinan besar akan ditempatkan dalam kelas yang lebih rendah
dalam hiraki, sesuai dengan harapan stereotip. Ini adalah segi anti-
egalitarian lain dari kurikulum nasional, yang akan menentukan “tingkatan
sosial” yang pasti dan hirarkis dari pencapaian siswa.
4. Hirarki Sosial
A. Akar-akar dari Hirarki Sosial
Hirarki sosial memiliki sejarah yang panjang, kembali pada Hebrew dan
Yunani kuno. Dalam Hebrew Old Testment sebuah hirarki implisit
menempatkan Tuhan ditempat palig atas, diikuti oleh malaikat, lalu nabi di
bumi seperti musa, diikuti oleh kepala suku, manusia lalu anak-anak dan
wanita. Di bawah mereka adalah hantu dan akhirnya Lucifer atau Satan
dirinya sendiri. Hirarki semacam ini secara linear mengurutkan manusia,
dan memperluas urutan tersebut baik ke atas maupun ke bawah batas atau
“poin ideal”, analog bagi geometri proyektif. Nilai sangat dihubungkan
dengan hirarki, semakin tinggi, semakin baik, dengan yang paling ekstrim
dikaitkan dengan tuhan dan setan. Nilai ini memiliki fungsi pembenaran,
berfungsi untuk mengesahkan praktek otoritas dan kekuatan oleh superior
dalam nferior pada hirarki. Hak ketuhanan raja merupakan contoh dari
justifikasi kekuatan ini.
Dalam bab 7 pandangan ini dari sumber yang berganti-ganti, pandangan
Aristoteles mengenai alam yang disatukan dalam waktu pertengahan untuk
membangkitakan The Great Chain of being (Lovejoy, 1936). Sumber
penting lainnya dari tradisi ini adalah divisi manusia dalam tiga jenis
bertingkat, yang diisitilahkan dengan emas, perak dan perunggu (Plato,
1941). Hal ini bernilai signifikan karena hubungannya dengan pendidikan,
dimana kurikula yang berbeda dianggap tepat untuk tiga jenis, diperoleh
dari kebutuhan yang berbeda dalam hidup. Ini merupakan sumber tema
yang akan dilihat terus dalam bagian ini. Kita juga akan memperhatikan
bahwa perbedaan Yunani antara kerja tangan dan kerja dengan otak,
membangkitkan assosiasi antara pengetahuan murni dan kelas yang lebih
hebat (dalam pengamatan)
Hasil modern yang tergabung dalam tradisi ini secara luas diterima
sebagai model masyarakat pyramidal hirarkis, dengan kekuatan yang
berpusat pada puncaknya, disahkan dan diperkuat, jika tidak direproduksi
oleh budaya dan nilai yang terkait. Model masyarakat ini dipandang oleh
banyak orang sebagai keadaan alami, seperti yang dicontohkan oleh
manusia dan kelompok binatang di alam liar. Akar biologis ini ditolak
dengan keras oleh analisis ulang feminist dalam hal sejarah dan
antropologi, yang memandang hirarki piramida sebagai kaitan dengan
dominasi pria dalam masyarakat, dan menolak klaim bahwa hal ini bersifat
universal (Fisher, 1979). Pandangan masyarakat hirarkis mungkin
dipandang sebagai bagian dari budaya yang mempertahankan struktur
masyarakat yang ada, dan karenanya kelas menengah ke atas/pria
mendominasi. Identifikasi hirarki pyramidal sebagai struktur alami
masyarakat merupakan contoh “contoh pikiran keliru dari naturalistic”,
asumsi yang salah tentang apa masalahnya, seharusnya seperti apa, harus
diwaspadai.
Ketika struktur kekuatan masyarakat secara fisik mengancam,
kekuatan perlu dijaga. Namun yang lebih penting adalah dampak yang
dirasakan dalam nilai dan budaya terkait. Menurut Douglas (1966),
kelompok sosial memiliki batasan “kelompok”, membedakan anggota dari
luar, dan batasan jaringan, membedakan sektor berbeda atau strata dalam
kelompok. Dalam ancaman, menurut Douglas, kelompok menjadi fokus
pada kemurnian dalam budayanya, dan dengan kelompok yang kuat dan
batasan jaringan. Dalam pandangan ini, kemurnian dikaitakan dengn
budaya kelas dominan, menjadi intensif seperti ketegasan definisi batasan,
termasuk gradasi internal dalam hirarki.
B. Pendidikan dan Reproduksi Hirarki Sosial
Mungkin teoretikus paling berpengaruh dalam struktur masyarakat adalah
Karl Marx (1967). Dia berpendapat bahwa kondisi material dan hubungan
produksi mempunyai kekuatan penentu atas struktur dan hubungan dalam
masyarakat. Khususnya, masyarakat memiliki dasar ekonomi dan
infrastruktur, dimana dalam “contoh terakhir” menentukan dua level
superstrukturnya, hukum dan negara bagian dan ideologi terkait. Negara
bagian, melalui “aparatur negara yang bersifat menekan” (kebijakan,
penjara, tentara, dan lain sebagainya) bertahan dan mereproduksi produksi
industrial dalam modal dan kelas dominan.
Namun tulisan ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara yang
berkaitan dengan pemaksaan kekuatan dalam masa dan masyarakat secara
umum. Ada pandangan yang “kuat” bahwa kondisi sosial sangat
determinatif sifatnya, dan bahwa manusia dipenjarakan tanpa kunci dari
teori Marx yang digunakan untuk menembus kesadaran dan tekanan yang
salah. Ada juga posisi determinist yang lebih lembut, dimana kemanusiaan
mampu memberikan reaksi, dan dimanapun mampu menciptakan
perubahan sosial (Simon, 1976). Pebedaan yang bisa dibedakan
digambarkan oleh Giroux (1983) antara tradisi “strukturalis” dan
“kulturalist’ dalam teori neo-Marxist, yang menekankan pentingnya
struktur sosial dan ekonomi, atau budaya dan hubungannya dengan agen
manusia.
Determinisme Keras
Teoretikus modern yang sangat berpengaruh dalam tradisi ini adalah
Althusser (1971). Dia berpendapat bahwa sebagai tambahan pada “aparatur
negara yang menindas” reproduksi sosial tergantung pada “aparatur negara
ideologis”, yang meliputi pendidikan, agama, hormat pada hukum, politik,
dan budaya, dan bahwa tidak ada kelas yang bisa menjaga kekuasaan tanpa
memperluas hegemoni atau dominasi budaya atas area tertentu. Pendidikan
merupakan “aparatur negara ideologis” paling kuat dalam mereproduksi
hubungan, yang menanamkan penerimaan tenaga kerja dan kondisi
kehidupan massa.
Bourdieu dan Passeron (1977) mengajukan teori sekolah dan
reproduksi masyarakat yang sesuai dengan kategori ini. Alam kaitannya
dengan budaya linguistik (lebih umumnya adalah “modal budaya”
khususnya penting dalam menentukan hasil pendidikan sosial, dalam
kaitannya dengan keanggotaan kelas. Mereka menyebutnya “symbolic
violence” dominasi budaya dari kelas pekerja yang menutupi reproduksi
sosial.
Perkembangan thesis deterministik keras yang berpengaruh yang
memainkan peran ideologi adalah Bowles dan Gintis.
Hubungan terkini antara pendidikan dan ekonomi dipastikan tidak
melalui isi pendidikan namun melalui bentuknya: hubungan sosial dari
pertemuan yang terkait pendidikan. Pendidikan mempersiapkan siswa
untuk menjadi pekerja melalui penyesuaian antara hubungan produksi
sosial dan hubungan pendidikan sosial. Seperti layaknya divisi tenaga kerja
dalam perusahaan kapitalis, sistem pendidikan menilai hirarki otoritas dan
kontrol dengan baik dimana kompetisi bukan kooperasi mengatur
hubungan antara partisipan….urutan hirarkis dari sistem sekolah
disesuaikan dengan persiapan siswa untuk posisi masa depan mereka dalam
hirarki produksi, membatasi perkembangan kapasitas yang melibatkan
latihan timbal balik dan partisipasi demokratik dan memperkuat
ketidaksamaan sosial dengan mengesahkan tugas siswa pada tempat yang
tidak sama dalam hirarki sosial.
(Gintis dan Bowles, 1980, hal 52-53)
Sehebat apapun argumen ini, mereka dipengaruhi dua kesalahan utama.
Pertama, sifatnya terlalu deterministik dalam membelenggu pendidikan
pada kondisi produksi. Dalam hal ini, mereka tidak membiarkan adanya
eksploitasi kekuatan berlawanan dalam kerja sistem, serta lembaga manusia
atau resistansi didalamnya (Giroux, 1983). Kedua, khususnya dalam kasus
Bowles dan Gintis (1976), mereka menolak sifat pengetahuan, yang sudah
kita lihat sebelumnya, berkaitan dengan ideologi dan kelas, dan tidak bisa
diabaikan.
Determnisme Lembut
Banyak dari pandangan yang diperlihatkan di atas tetap valid untuk
pandangan reproduksi deterministik yang lebih lembut yang diperlihatkan
disini. Namun, di luar determinisme struktural Gramski (1971) berpendapat
bahwa dominasi masyarakat oleh satu kelas memerlukan hegemoni budaya.
Ini merupakan dominasi budaya dengan pembenaran satu kelas
membingungkan serta memaksakan kekuasaan dan prestisenya hegemoni
seperti ini memenuhi “pengertian umum” dari massa, dan karenanya
mengamankan izin dan persekongkolan yang tidak diketahui oleh mereka.
Williams (1976) membangun konsep hegemoni, namun memberikan
opini bahwa ada bentuk alternatif dan oposisi kehidupan dan budaya sosial
yang mungkin menggabungkan alternatif atau bahkan bentuk yang
berlawanan. Hal ini menjelaskan poin penting dan yang lebih umum yang
dibuat oleh William, terkait dengan keserberagaman ideologi dan budaya.
Ini semua terlalu mudah untuk jatuh dalam perangkap yang bergerak dari
hegemoni pada pandangan yang sederhana dan statis dari budaya. William
menekankan kompleksitasnya dan dinamikanya
Giroux (1983) mengakui sifat kompleks dari budaya. Dia
menyatakan bahwa dalam budaya sekolah ada perlawanan yang lebih dari
skedar respon pada kurikulum authoritarian, dan mencerminkan agenda
alternatif. Dia berpendapat berdampingan dengan Freire dan pendidik
publik lainnya dimana melalui pendidikan kritis, siswa bisa dibebaskan dari
kekuatan reproduktif pada kerja di sekolah.
Secara keseluruhan, menurut pengelompokan kedua ini, kekuatan
yang cenderung mereproduksi struktur hirarkis dari masyarakat diakui,
seperti pentingnya budaya, ideologi dan pengetahuan. Namun hal ini
dipandang memiliki peran ganda, sebagai arti penting dari dominasi dan
juga makna bagi emansipasi. Sejumlah penulis telah menerapkan satu atau
bentuk lain dari ide di atas pada pendidikan matematika, seperri Cooper
(1989), Mellin-Olsen (1987), Noss (1989, 1989a) dan lainnya dalam Noss
(1990). Noss dan Cooper menyimpulkan bahwa ini merupakan bentuk isi
pendidikan matematika (misalnya kurikulum tersembunyi) yang membawa
tujuan sosialnya.
Cooper berpendapat bahwa hegemoni sekolah mempraktekkan
kekuasaan negatif atas guru sekolah yang utama yang mengikat mereka
pada otoritas tradisional dan pendekatan rutin pada matematika, dan pada
kurikula yang berbeda yang berfungsi untuk menciptakan ulang hirarki
sosial. Elemen-elemen dari kebenaran lingkaran penjelasan ini, dan
memberikan pandangan yang berharga seperti bagaimana tekanan budaya
mengikuti rantai kekuasaan dalam hirarki sekolah. Namun demikian, hal ini
terlalu sederhana dalam tingkat keyakinan dan ideologi guru dan kelompok
dengan tekanan sosial.
Noss menunjukkan kasus yang hebat untuk thesis deterministik yang
lemah dalam pendidikan matematika, dan mengidentifikasi kurikulum
nasional dalam matematika yang berfungsi sebagai fungsi reproduktif yang
sangat anti pendidikan (Noss, 1989, hal 1). Dia berpendapat bahwa ada
kontradiksi dalam sistem yang memungkinkannya untuk berfungsi untuk
tujuan pendidikan. Secara khusus, prioritas rendah disesuaikan dengan isi
matematika, dalam pandangannya hal ini bisa dieksploitasi guna
memperkuat pendidikan demokratis. Namun dia tidak mengakui bahwa
struktur hirarkis dari isi kurikulum bertugas menciptakan ulang sebuah
stratifikasi masyarakat yang hirarkis, seperti yang akan dikemukakan
berikut. (Meskipun dalam Noss, 1989a, disarankan bahwa kurikulum
kemampuan dasar dalam matematika untuk memberikan keterampilan
tenaga kerja mengenai eksploitasi keuangan.)
Mellin-Olsen (1987) mengakui keberadaan tenaga reproduktif dalam
pendidikan matematika dan masyarakat, dan membangunnya dalam
gambaran teoritis juga dalam psikologi sosial, antropologi dan psikologi.
Dia menekankan, mengikuti Giddens (1979) bahwa individu menciptakan
ideologi serta hidup dengan ideologi tersebut. Secara khusus, dia
mengidentifikasi resistansi pada hegemoni dengan produksi ideologi
alternatif dalam hal aktivitas. Dia berpendapat bahwa memperkuat
pendidikan matematika harus memahami kesempatan ini: pendidikan
matematika yang penting harus memberikan alat untuk berpikir bagi para
pelajar untuk terlibat dalam aktivitas yang menantang ideologi implisit dari
sekolah.
Penilaian singkat tidak bisa membenarkan teori Millen-Olsen,
memberikan dukungan argumen dan menghubungkannya dengan praktek.
Nmaun, bisa dikatakan bahwa hal ini terbagi dalam dua area kelemahan
yang sebelumnya teridentifikasi dalam penilaian reproduksi sosial.
Pertama, hal ini tidak membedakan ideologi dan kepentingan kelompok
sosial pada kerja kurikulum matematika. Ini mungkin terlihat tidak begitu
penting untuk argumen umum yang diberikan oleh Millen-Olsen, namun
hal ini sebenarnya diperlukan sebelum ideologi implisit sekolah bisa
ditantang. Kedua, Hal ini tidak menggali elemen ideologi, dan di atas
semua itu, tidak mempertimbangkan pandangan sifat matematika, yang
sifatnya sangat penting bagi pendidikan matematika, berdasarkan
pernyataan dalam buku ini.
Secara keseluruhan, ada dukungan yang luas untuk pernyataan
bahwa pendidikan membantu mereproduksi struktur masyarakat hirarkis,
berfungsi dalam masalah kekayaan dan privilege. Namun, pernyataan ini
perlu dipahami agar tahu kompleksitas hubungan dalam masyarakat, dan
yang mengubah karakter deterministik dari bentukan asli. Pernyataan
reproduksi yang diubah ini tergantung pada ideologi, sehingga ini tepat
untuk menggali hubungannya dengan model ideologi pendidikan buku ini.
Pelatih industrial
Dalam hal lingkungan sosial massa, pelatih industrial secara langsung
bersifat reproduktif. Karena itu, pelatihan sosial massa melalui matematika
merupakan bagian persiapan untuk kehidupan tenaga kerja yang patuh.
Latihan, hafalan, praktek, demarkasi dualistik antara yang benar dan yang
salah, serta otoritas hirarkis yang tegas dari guru akan membantu
menanamkan perkiraan dan nilai yang tepat untuk mendisiplinkan pekerja
masa depan untuk peran dalam masyarakat, sedangkan strata yang lebih
tinggi dari masyarakat masa depan tidak begitu diatur. Pelatihan level
rendah juga memastikan bahwa masa menjadi tenaga kerja yang murah
(Noss, 1989a). Sasaran inti dari kelompok ini diperoleh dari banyak
kelompok yang lebih baik dan ideologinya melibatkan penjagaan kelompok
sosial asli mereka dalam tempat mereka.

Humanist Lama
Humanist lama fokus pada perkembangan kemampuan serta bakat
matematika dan penanaman nilai matematika murni. Hal ini mempermudah
pemeliharaan dan reproduksi badan ahli matematika, yang menunjukkan
porsi profesional, elit kelas menengah, dengan budaya kelas menengah
yang murni. Hal ini bisa dilihat dari divisi antara kerja dengan tangan dan
dengan otak, dan budaya concomittent serta pembedaan kelas (Restivo,
1985). Kelompok ini mempunyai tradisi yang lebih kuat atas isi kurikulum
matematika, menjadikannya bergerak dari atas ke bawah (top down)
melayani kepentingan kelompok bukan “dari bawah ke atas” melayani
kepentingan semua. Dengan fokus pada kebutuhan para elit, dan
keberlangsungannya, maka ideologi ini berusaha mereproduksi struktur
kelas masyarakat.
Dua kelompok ini fokus pada pemeliharaan kelompok dan
batasannya. Humanist lama merupakan bagian dari kelompok profesional
dari kelas menengah dengan kekuasaan ekonomi serta politik, dan dengan
budaya yang kemurniaanya berfungsi untuk mendefinisikan dan
mempertahankan batas kelompok. Douglas (1966) telah berpendapat secara
umum bahwa kemurnian berfungsi untuk mempertahankan batas kelompok
dalam hal ini, dengan dasar kerja antropologis yang luas. Tujuan dan
ideologi yang paling murni dari kelompok ini sesuai dengan pola ini.
Pelatih industrial yang ditujukan bagi pendidikan matematika bukanlah
yang paling murni, dan juga berfungsi untuk menjaga batas kelompok
disekitar masa, dan karenanya mereka memiliki batas kelompok sendiri.
Hal ini terlihat tidak konsisten dalam kemurnian moral dalam tradisi Judeo-
Christian (kebersihan berada disamping ketuhanan, ‘dosa asli’), berlawanan
dengan kemurnian epistimologis dari humanist lama. Sehingga, konsepsi
kemurnian budaya Douglas (dan isinya) sebagai respon pada ancaman
batas kelompok juga diaplikasikan disini.
Pragmatists teknologis
Pragmatis teknologis tidak begitu memperhatikan penjagaan batas kelas,
dan karenanya tidak begitu reproduktif. Masyarakat dipandang sebagai
dasar pada kekayaan dan kemajuan, dengan mengikuti inovasi dan
kemajuan teknologi. Pendidikan matematika merupakan bagian dari
keseluruhan pelatihan atas populasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan,
dan tujuan sosial yang jelas bersifat meritokratik. Gerakan sosial dalam
dasar pencapaian teknologi merupakan bagian dari pandangan ini, karena
industri dan sektor lainnya terus meluas dan memerlukan karyawan yang
terlatih dalam bidang teknologi. Namun, stratifikasi sosial dengan dasar
kelas yang ada tidak dipertanyakan, dan akibatnya berbagai faktor dan
perkiraan berfungsi untuk mereproduksi divisi dan stratifikasi sosial.
Pendidik progresif
Pendidik progresif ditujukan untuk matematika fokus pada perwujudan dan
pemenuhan manusia melalui matematika sebagai arti dari ekspresi diri dan
pengembangan personal. Penekanan dari pandangan ini sangatlah
individualistik. Sedangkan hal ini diarahkan untuk kemajuan individu
dalam sejumlah cara, tidak menempatkan mereka dalam matriks sosial,
serta tidak mengetahui konflik pada kerja dalam masyarakat yang menggali
efficacy dari pendidikan yang progresif. Sehingga meskipun pandangan
bersifat progresif, namun tidak begitu menggali kekuatan reproduktif pada
kerja di masyarakat dan sekolah. Faktor seperti sumber daya sekolah dan
guru yang tidak sama memberikan stereotip pada siswa tidak menantang.
Secara sosial, pendidik progresif memperhatikan masalah perbaikan
kondisi individu, bukan pada perubahan sosial untuk memberikan kondisi
emansipasi.
Dari dua ideologi ini, yaitu bahwa pendidik progresif merupakan
yang paling banyak digunakan untuk mengembangkan dan memperkuat
individu, dan memudahkan kemajuan sosial yang bersifat meritokratik
merupakan ide yang lebih progresif diantara dua yang ada. Selain itu, dua
pandangan buta terhadap konteks sosial dan dampaknya pada kemajuan
sosial. Keduanya tekait dengan pencapaian serta usaha keras individu,
bertentangan dengan latar belakang hirarki sosial. Tidak ada pandangan
yang mempertanyakan fakta dimana sektor yang berbeda disosialkan untuk
memiliki harapan pendidikan, dan menerima bentuk pendidikan yang
berbeda sesuai dengan kelas asalnya. Atau tidak juga mengakui bahwa
akhirnya kurikulum yang tersembunyi cenderung mereproduksi stratifikasi
karyawan dan kekayaan. Seperti yang disampaikan Millen-Olsen (1981),
kelas pekerja dan siswa kelas menengah berharap serta dikondisikan untuk
belajar matematika secara instrumental atau relasional.
Hanya satu dari dua pandangan meritokratik ini yang memiliki
ideologi paling murni. Ini merupakan pandangan pendidik progresif, yang
menekankan kreativitas dan berpusat pada anak, berlawanan dengan
kegunaan. Romantisisme dan fokus pada maslah murni dari anak-anak,
memberikan kelompok yang mndefinisikan ideologi, melindungi posisi
kelas menengah dari pendidik profesional. Hal ini juga berfungsi untuk
menaikkan pendidik progresif dalam peran pengasuhan yang mempunyai
hak istimewa dan hubungannya dengan anak dan secara analog dalam
masyarakat, sebagai profesional kelas menengah. Sehingga kemurnian dari
ideologi ini bisa dilihat, Douglas untuk mengamankan batas dan minat
kelompok.

Pendidik publik
Pendidik publik fokus pada penguatan pelajar, melalui matematika,
menjadi otonom, warga negara penting dalam masyarakat demokratis.
Kurikulum bagi pendidik matematika publik ditujukan untuk menjadi
emancipatory melalui integrasi guru dan diskusi publik tentang matematika
dalam konteks sosial dan politiknya, melalui kebebasan siswa untuk
bertanya dan menantang asumsi tentang matematika, masyarakat, dan
tempat mereka, serta penguatan mereka melalui matematika pada
pemahaman dan kontrol yang lebih baik dari situasi hidup mereka.
Pandangan ini sepenuhnya mengakui dampak konteks sosial dalam
pendidikan dan memandang pendidikan sebagai makna pencapaian
kebenaran sosial. Ada perhatian terhadap alokasi sumber daya yang tidak
sama dan kesempatan kehidupan dalam pendidikan, dan perhatian pada
perlawanan rasisme, seksisme dan rintangan lain pada kesempatan yang
sama. Dari kelima ideologi, hanya ini saja yang merupakan pandangan
perubahan sosial, mengakui ketidakadilan dari masyarakat kita yang
terstratifikasi dan hirakis, dan berusaha menghancurkan siklus dengan
mereproduksi atau menciptakan ulang melalui pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai