LP - Chronic Kidney Disease - Ruang Seruni - Natasya Ningtias
LP - Chronic Kidney Disease - Ruang Seruni - Natasya Ningtias
LP - Chronic Kidney Disease - Ruang Seruni - Natasya Ningtias
Disusun sebagai salah satu tugas mengerakan Asuhan Keperawatan Praktik Klinik di RSUD
Dr Hardjono Ponorogo
Disusun oleh :
NATASYA NINGTIAS
P17250201017
Laporan Pendahuluan Klinik dengan judul Chronic Kidney Disease (CKD) yang telah
disusun oleh mahasiswa Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Prodi Diploma III
Keperawatan Ponorogo yang bernama Natasya Ningtias NIM P17250201017 sebagai salah
satu tugas praktikum yang telah diperiksa dan disetujui oleh :
KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Chronic kidney disease atau gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal
untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin dan Sari, 2011).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana
ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar
(insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme,
cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer,
2009) Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia berupa retensi urea dan
sampah lain dalam darah (Brunner & Suddarth, 2002).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal
kronik adalah suatu keadaan dimana ginjal mengalami kerusakan sehingga tidak
mampu lagi mengeluarkan sisa-sisa metabolisme yang ada di dalam tubuh dan
menyebabkan penumpukan urea dan sampah metabolisme lainnya serta
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Etiologi CKD
Menurut Muttaqin dan Sari (2011) kondisi klinis yang memungkinkan dapat
mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan di luar ginjal.
2) Dyslipidemia
3) SLE
5) Pre eklampsia
6) Obat-obatan
2. Patofisiologi
Apabila 75 % massa nefron sudah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban
solute untuk tiap nefron sangat tinggi sehingga keseimbangan glomerolus dan
tubulus tidak dapat dipertahankan. Terjadi ketidakseimbangan antara f iltrasi dan
reabsorpsi disertai dengan hilangnya kemampuan pemekatan urin. Perjalanan
gagal ginjal kronik dibagi menjadi 3 stadium, yaitu :
a. Stadium I
b. Stadium II
Tahap ini merupakan insufisiensi ginjal dimana lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak dan GFR (Glomerulus Filtration Rate) besarnya hanya 25
% dari normal. Kadar BUN mulai meningkat tergantung dari kadar protein
dalam diet. Kadar kreatinin serum juga mulai meningkat disertai dengan
nokturia dan poliuria sebagai akibat dari kegagalan.
c. Stadium III
Stadium ini merupakan stadium akhir dimana 90% dari massa nefron telah
hancur atau hanya tinggal 200.000 nefron saja yang masih utuh. GFR
(Glomerulus Filtration Rate) hanya 10% dari keadaan normal. Kreatinin serum
dan BUN akan meningkat. Klien akan mulai merasakan gejala yang lebih
parah karena ginjal tidak lagi dapat mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam tubuh. Urin menjadi isomotik dengan plasma dan pasien
menjadi oligurik dengan haluaran urin kurang dari 500cc/hari
b. Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami poliuria dan nokturia,
GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar creatinin serum dan BUN sedikit
meningkat diatas normal.
c. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, latergi,
anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai
koma), yang ditandai dengan
d. GFR kurang dari 5-10 ml/ menit, kadar serum kreatinin dan BUN meningkat
tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang komplek.
a. Konservatif
b. Dialysis
- peritoneal dialysis
c. Operasi
- Pengambilan batu
- Transplantasi ginjal
6. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai derajat dari komplikasi yang
terjadi.
b. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (batu a/ obstruksi)
Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan
tidak puasa.
c. IVP (Intra Vena Pielografi) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya : usia lanjut, DM, dan Nefropati Asam Urat.
d. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, antomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostat.
e. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, ekskresi ), serta sisa fungsi ginjal.
h. Pemeriksaan radilogi paru untuk mencari uremik lung; yang terkhir ini dianggap
sebagai bendungan.
k. Biopsi ginjal
- Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia.
Perbandingan ini berkurang : Ureum lebih kecil dari Kreatinin, pada diet
rendah protein, dan Tes Klirens Kreatinin yang menurun.
7. Komplikasi
- Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik
dan dialisis yang tidak adekuat.
- Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
reninangiotensin-aldosteron.
- Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.
- Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
PATHWAY
1. Pengkajian
a. Demografi
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD
dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai
peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja
dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak
menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/ zat logam dan
pola makan yang tidak sehat.
b. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan
traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya
CKD.
d. Pola eliminasi
e. Pemeriksaan fisik
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler
- Antropometri
- Kepala
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
- Dada
- Abdomen.
- Genital.
- Ekstremitas.
- Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat
/ uremia, dan terjadi perikarditis.
2. Diagnosa Keperawatan
Terapi Oksigen
Observasi:
1. Monitor kecepatan aliran oksigen
2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
4. Monitor integritas mukosa hidung
akibat pemasangan oksigen
Terapeutik:
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung
dan trakea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
1. Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di
rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
(D.0023) Hipovolemia Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia
keperawatan 3x24 jam diharapkan status
berhubungan dengan kehilangan Observasi:
cairan membaik dengan kriteria hasil :
cairan aktif 1. Kekuatan nadi meningkat 1. Periksa tanda dan gejala hypovolemia (mis.
2. Turgor kulit meningkat frekuensi nadi meningkat, nadi teraba
3. Frekuensi nadi lemah, tekanan darah menurun, tekanan
membaik N : 60 – 100 nadi menyempit, turgor kulit menurun,
x/menit membran mukosa, kering, volume urin
4. Tekanan darah membaik menurun, hematokrit meningkat, haus,
TD : 120-140/80-100 mmHg lemah)
5. Membrane mukosa membaik 2. Monitor intake dan output
6. Kadar Hb membaik cairan Terapeutik
1. Hitung kebutuhan cairan
2. Berikan posisi modified trendelenburg
3. Berikan asupan cairan oral
Edukasi
1. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
2. Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV isotons
(mis. Nacl, RL)
2. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis
(mis. glukosa 2,5%, Nacl 0,4%)
3. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis.
albumin, plasmanate)
4. Kolaborasi pemberian produk darah
(D.0142) Resiko infeksi Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi
keperawatan 3x24 jam glukosa derajat Observasi:
berhubungan dengan
infeksi menurun dengan kriteria hasil : 1. Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
ketidakadekuatan pertahanan 1. Demam menurun Terapeutik
2. Kemerahan menurun
tubuh 3. Nyeri menurun 1. Batasi jumlah pengunjung
4. Bengkak menurun 2. Berikan perawatan kulit pada daerah
5. Kadar sel darh putih membaik edema
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
4. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien berisiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara memeriksa luka
3. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, Jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Press.
Mediaction.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.