Septinamegaria Revisi 1
Septinamegaria Revisi 1
Septinamegaria Revisi 1
NO Lampiran
1 Surat Permohonan 51
2 Surat Persetujuan menjadi responden 52
3 Kuesioner karakteristik Responden 53
4 Kuesioner Pengetahuan Perawat tentang patient safety 54
5. Kuesioner Penerapan patient safety 58
6 Jadwal Penelitian 61
xi
BAB I
PENDAHULUAN
xi
yang paling sering digunakan adalah dengan skala bromage score. Jika
nilai bromage score kurang dari sama dengan 2 maka pasien dapat pindah
ke ruangan. Skala pengukuran ini untuk mengukur kemampuan pasien
untuk menggerakkan ekstermitas bawah.
2
termasuk juga menggerakkan badan seperti miring ke kiri atau ke kanan
(Zetri, 2016). Bromage score 2 dapat dicapai dengan Range Of Motion
(ROM). Zulkarnain, M., Flora, R., & Andrianti, S. (2018) menyatakan
bahwa latihan fisik sangat berperan penting dalam sistem molekuler, salah
satu Latihan fisik pada pasien post operasi adalah range of motion secara
pasif.
3
berbagai komplikasi yang mungkin muncul serta melancarkan aliran darah
ke perifer. Tindakan mandiri lainnya yang dapat dilakukan oleh penata
anestesi untuk membantu melancarkan sirkulasi aliran darah adalah elevasi
kaki. Elevasi kaki adalah tindakan meninggikan posisi kaki dan
merupakan salah satu tindakan yang dianjurkan untuk mempercepat aliran
balik darah dan terjadinya peningkatan volume darah ke jantung sehingga
sirkulasi menjadi lancar (Potter & Perry, 2015).
4
dengan judul pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah terhadap
percepatan Bromage Score pada pasien post operasi anestesi spinal di
Rumah sakit Bhayangkara lampung
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah
terhadap percepatan Bromage Score pada pasien post operasi anestesi
spinal di Rumah Sakit Bhayangkara Lampung.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Mendeskripsikan karakteristik pasien Rs.Bhayangkara lampung.
b. Mendeskripsikan nilai Bromage Score pada pasien post operasi
anestesi sebelum dan setelah dilakukan latihan Rom pasif
bawah .di RS.Bhayangkara lampung
c. Menganalisis pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah terhadap
bromage score pada pasien post operasi anestesi spinal di
Rs.Bhayangkara lampung.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit. Sebagai kontribusi untuk menginformasikan
khususnya ruang operasi Rs.Bhayangkara lampung untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
keperawatan dan memberikan gambaran yang lebih konkrit dapat
dijadikan sumber pijakan atau input bagi tenaga profesi keperawatan
dalam mengelola pasien post operasi di ruang pulih sadar.
5
2. Bagi Instansi diharapkan dapat menjadi referensi untuk menambah
ilmu pengetahuan.
3. Bagi Tenaga Kesehatan. Sebagai masukan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan pada pasien post operasi.
E. Keaslian Penelitian
1. Faktor penyebab terlambatnya pindah (Delayed Discharged) Pasien
Pasca Operasi Elektif di Ruang Pulih Bedah Pusat Terpadu RS.Advand
2. Pengaruh Pengaturan Posisi Terhadap Lama Pemulihan keadaan
Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Pringsewu
Keaslian Penelitian
No Nama Peneliti & Tahun Judul
1. Melati (2015) faktor penyebab terlambatnya pindah
(Delayed Discharged) Pasien Pasca
Operasi Elektif di Ruang Pulih Bedah
Pusat Terpadu RS.Advand
Desain Penelitian & Varibel Kuantitatatif
Penelitian Variabel Indepen : Pasif Bawah Bromage
Score
Variabel Dependen: Anestesi Spinal
6
(47,9%).signifikan antara pengaruh posisi
terhadap pemulihan
Perbedaan Persamaan
Menggunakan metode kuantitataif
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
8
3. Dalam latihan ROM umur, diagnosa, tanda vital, serta faktor tirah
baring adalah hal yang harus di perhatikan
4. ROM dapat diberikan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih
khusunya pemberian ROM di lakukan oleh fisioterapi
5. Bagian-bagian yang dapat diberikan latihan ROM adalah leher,
jari, tangan, siku, bahu, tumit dan pergelangan kaki.
9
Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien
dengan bantuan perawat setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan pasif
adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan
mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan
rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien
dengan paralisis ekstremitas total (Suratun, dkk, 2014). Rentang gerak
pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian
dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien
2. Bromage Score
a. Pengertian Bromage Score
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca
anestesi. Gerakan merupakan kemampuan sesorang untuk
10
menggerakkan bagian tubuhnya secara bebas dengan menggunakan
koordinasi sistem saraf dan muskuloskletal. Pengukuran blok motorik
yang paling sering digunakan adalah dengan skala bromage score. Jika
nilai bromage score kurang dari sama dengan 2 maka pasien dapat
pindah ke ruangan. Skala pengukuran ini untuk mengukur kemampuan
pasien untuk menggerakkan ekstermitas bawah. Penelitian Nuriyadi
(2012),
Bromage score adalah suatu cara menilai perkembangan
pergerakan kaki pada pasien pasca operasi spinal anestesi dengan hasil
penelitian ada perbedaan lama waktu pencapaian bromage score dengan
anestesi bupivacain 0,5% 20 mg memerlukan waktu pencapaian
bromage score 2 pada menit ke 190-235, dan bupivacain 0,5% 15 mg
pada menit ke 155-195 pada pasien sectio saecaria di RSUD Muntilan
Menurut Basuki (2014) bahwa hal yang terjadi setelah obat
dimasukkan yang pertama dipengaruhi adalah saraf simpatis dan
parasimpatis diikuti dengan saraf dingin, panas, raba, dan tekan dalam.
Sedangkan yang terakhir adalah serabut motoris, rasa getar (vibrator
sense) dan proprioseptif. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi
dengan urutan yang sebaliknya yaitu fungsi motoris yang akan kembali
pulih. Lamanya anestesi tergantung pada kecepatan obat meninggalkan
cairan serebrospinal Gerakan otot kaki pasien pasca spinal anestesi
umumnya dipenngaruhi oleh :
1. Jenis Obat
Obat anestesi lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang
cepat, durasi kerja dan juga tinggi blokade dapat diperkirakan
sehingga dapat disesuaikan dengan lama operasi, tidak
neurotoksik, serta pemulihan blokade motorik pasca operasi yang
cepat sehingga mobilisasi dapat lebih cepat dilakukan (Nainggolan,
2014). Anestesi spinal bila jenis obat lebih besar dari CSF
(hiperbarik) menyebabkan cairan hiperbarik cenderung kebawah
karena gravitasi bumi, sehingga akan mempengaruhi pergerakan
11
ekstermitas bawah setelah pasien sadar dari anestesi. Sebaliknya
jika lebih kecil (hipobarik) maka obat akan berada di area
penyuntikan tersebut.
2. Usia
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.
Menurut penelitian Fitra (2018) bahwa ada hubungan antara usia
dengan waktu pencapaian bromage score. Pada usia lanjut akan
terjadi peningkatan-peningkatan sensitifitas terhadap obat anestesi
bila ini terjadi maka akan memperlambat metabolisme dan pulih
sadar pasca anestesi akan tertunda. Meningkatnya usia
menyebabkan kapasitas klien untuk beradaptasi dengan stress
pembedahan terhambat karena mundurnya beberapa fungsi tubuh
tertentu.
Fitria (2018) responden yang diikutkan dengan umur 18-45
tahun lebih cepat dalam mencapai bromage score. Hal ini berkaitan
dengan semakin tua usia maka semakin turunnya fungsi tubuh
tertentu seperti menurunnya fungsi ginjal dan metabolisme hati,
meningkatnya risiko lemak air dan berkurangnya sirkulasi darah,
sehingga metabolisme obat menjadi turun. Menurut Harahap
(2014), pasien lanjut usia (lansia) termasuk ke dalam golongan usia
ekstrim. Sehingga bertambahnya usia, volume dari ruang spinal
dan epidural akan berkurang. Adapun orang dewasa muda lebih
cepat pulih dari efek anestesi karena fungsi organ yang optimal
terhadap obat anestesi.
12
Menurut penelitian Triyono (2017) dalam penelitiannya tentang
hubungan status fisik ASA dengan waktu pencapaian bromage
score 2 pada pasien spinal anestesi di ruang pemulihan RSUD
Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang didapatkan waktu
pencapaian skala bromage score 2 pada pasien ASA I adalah
184,75 menit dan responden pasien ASA II 207 menit.
4. Berat Badan
Durasi aksi obat anestesi lokal secara umum berhubungan
dengan larutan lemak. Hal ini karena obat anestesi menumpuk atau
tertimbun di jaringan lemak yang selanjutnya dilepaskan dalam
waktu yang lama yang biasa terjadi pada pasien dengan IMT
obesitas. Selain itu akan meningkatkan protein, terutama asam
glikoprotein dan lebih sedikit dengan albumin sebagai pengaruh
langsungnya yaitu terjadi eliminasi memanjang (Subiyantoro,
2014). Menurut Maldini (2013) para ahli telah menganjurkan
pertimbangan “dosis rendah” pada pasien gemuk.
3. Anestesi Spinal
13
a. Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal/subarachnoid block adalah teknik anestesi
regional dengan menyuntikkan obat analgetik okal ke dalam ruang
subarachnoid di daerah antara vertebrae L2- L3 / L3 - L4 (obat lebih
mudah menyebar menyebar ke kranial) atau L4-5 (obat lebih
cenderung berkumpul di kaudal) (Wulandari, 2017). Obat yang
dimasukkan ke dalam ruang subarachnoid akan memblok impuls
sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan
posterior yang melewati cairan serebrospinal. Penyebaran agen
anestetik dan tingkat anestesia bergantung pada jumlah cairan yang
disuntikkan, kecepatan obat tersebut disuntikkan, posisi pasien
setelah penyuntikan, dan berat jenis agen. Jika berat jenis agen lebih
besar dari berat jenis cairan serebrospinal (CSS), agen akan bergerak
ke posisi dependen spasium subarakhnoid; jika berat jenis agen
anestetik lebih kecil dari CSS, maka anestetik akan bergerak
menjauhi bagian dependen (Brunner & Sudarth, 2013)
Spinal anestesi atau ubarachniod Blok (SAB) adalah salah satu
teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan
analgesia setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka.
Untuk dapat memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok
simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui
neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada spinal
anestesi dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi
yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk
mendapatkan blockade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke
atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara lain posisi pasien
selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat
(Gwinnutt, 2014).
b. Anatomi Fisiologi Lumbal Vertebra
14
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis
merupakan salah satu faktor keberhasilan tindakan anetesi spinal. Di
samping itu, pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam
cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga
keamanan tindakan anestesi spinal. Tulang belakang memiliki 5
segmen lumbal, vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling
penting dalam spinal anestesi, karena sebagian besar penusukan pada
spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Pada saat berbaring daerah
tertinggi adalah L3, sedangkan daerah terendah adalah T5 (Morgan,
2013). Medulla spinalis dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu
duramater, arakhnoid dan piameter yang membentuk tiga ruangan :
ruang epidural, ruang subdural, dan ruang subarachnoid. Ruang
subarachnoid terdiri dari trebekel, saraf spinalis dan cairan
serebrospinal (Mangku, 2010). Otak dan korda spinalis dikelilingi
oleh cairan serebrospinal (LCS) dalam ruang subarachnoid yang
sekaligus melindunginya dari trauma akibat gerakan tiba-tiba.
Sebagian besar hingga 90% LCS diproduksi dari darah dalam plexus
choroids diventrikelateral III dan IV dengan kecepatan 0,3 – 0,4
ml/menit dan diabsorpsi kembali kedalam darah oleh granulasi
arakhnoid. Volume cairan serebrospinal yang dibentuk setiap hari
sekitar 150 cc. Jika cairan berkurang (misalnya karena lumbal
pungsi) dapat diproduksi lagi untuk menggantikan kehilangan
tersebut (Salinas, 2014). Suplai darah pada korda spinalis dan akar
saraf berasal dari sebuah arteri spinalis anterior dan pasangan arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior dan posterior menerima
tambahan aliran darah dari arteri interkostalis di toraks dan arteri
lumbar di abdomen (Morgan, 2013).
Pada tulang belakang terdapat serabut-serabut saraf yang
menghubungkan antara otak dan organ-organ dibawahnya. Jika
dilakukan pada bagian-bagian tertentu pada medulla spinalis maka
akan terjadi bloakde pada saraf organ-organ dibawahnya (Salinas,
15
2015). Berikut saraf-saraf yang di blok saat dilakukan spinal anestesi
menurut Morgan (2013) :
1. Saraf Spinal
Nervus lumbal bawah, sakral dan koksigea bersama-sama
dengan fillum terminale membentuk kauda equine, dibagian
bawah berakhirnya medulla spinalis. Pada bagian ini anestesi
spinal dilakukan karena jarum spinal tidak akan merusak medulla
spinalis karena saraf-saraf yang membentuk kauda equine dapat
bergerak bebas dalam LCS. Didalam ruang subarachnoid, saraf
spinalis terbagi menjadi serabut-serabut saraf yang lebih kecil
dan dibungkus hanya dengan sebuah lapisan piameter. Ini
berbeda dengan yang di ruang epidural, yang berupa gabungan
saraf besar dengan banyak jaringan penghubung didalam maupun
diluar sarafnya. Hal ini menunjukkan perlunya dosis anestesi
yang lebih besar pada epidural daripada spinal anestesi
2. Saraf Somatik
Saraf somatik mengatur semua gerakan sadar, seperti
berjalan, berbicara, dan lain-lain. Semua aktivitas tubuh diatur
pada dasarnya melalui jaringan saraf dengan menghubungkan
serabut saraf, yang berasal dari sistem saraf pusat dan membuat
sistem saraf perifer. Ada tiga jenis serabut saraf; saraf sensorik,
saraf motorik, dan saraf penghubung. Saraf ini diperbolehkan
untuk mentransfer impuls sensorik dan motorik dalam sistem
saraf. Spinal anestesi dapat mem secara luas, baik pada saraf
motorik dan sensorik ekstremitas bawah. Sehingga menyebabkan
parathesia dan relaksasi otot rangka yang bersifat reversible serta
menimbulkan efek analgesia yang kuat.
3. Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis memiliki ganglion yang terletak di
sepanjang tulang belakang yang menempel pada sumsum tulang
belakang, sehingga memilki serabut pra-ganglion pendek dan
16
serabut post ganglion yang panjang. Serabut pra-ganglion adalah
serabut saraf yang yang menuju ganglion dan serabut saraf yang
keluar dari ganglion disebut serabut post-ganglion.
4. Saraf Parasimpatis
Saraf afferent dan efferent dari sistem saraf parasimpatis
berjalan melalui nervus kranial atau nervus sakralis ke 2, 3, 4.
Nervus vagus merupakan saraf kranial paling penting yang
membawa saraf efferent parasimpatis. Saraf parasimpatis terletak
di kraniosakral sehingga dengan adanya vertebra lumbal saraf
parasimpatis tidak ikut ter. Selama proses spinal anestesi, saraf
parasimpatis memiliki peranan dominan sehingga haemodinamik
pasien cenderung menurun dan perlu diperhatikan.
17
pungsi L2-L3 atau L3-L4 obat cenderung menyebar ke
kranial
g. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik dan hipobarik
h. Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang
sama didapat batas analgesia yang lebih tinggi
i. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya
larutan analgesik sudah menetap sehingga batas analgesia
tidak dapat diubah dengan posisi pasien
2. Penyebaran Anestesi Lokal di Tulang Belakang
faktor utama dalam penyebaran anestesi lokal adalah
karakteristik fisik cerebro spinal fluid (CSF) dan sifat cairan
anestesi lokal (hiperbarik, hipobarik atau isobarik) yang
disuntikkan, teknik yang digunakan serta gambaran umum pasien.
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan sensitas dapat di
golongkan menjadi tiga golongan menurut Gwinnutt (2013), yaitu :
a. Hyperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis
obat lebih besar daripada berat jenis cairan serebrospinal,
sehingga dapat terjadi perpindahn obat ke dasar akibat gaya
gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar-benar hiperbarik pada
semua pasien maka baritas paling rendah harus 1,0015 gr/ml
pada suhu 370 C. Contoh : buvipakain 0,5%
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis
obat lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal sehingga
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Densitas
cairan serebrospinal pada suhu 370 C adalah 1,003 gr/ml. Perlu
diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat
yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi
pasien yang lainnya. Contoh : terakain, dibukain
c. Isobarik
18
Obat anestesi isobarik bila densitasnya sama dengan
densitas cairan serebrospinal pada suhu 370 C sehingga obat
akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Tetapi karena terdapat variari densitas cairan serebrospinal,
maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika
densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999 – 1,001
gr/ml. Contoh : levobupikain 0,5 %
3. Indikasi Spinal Anestesi
Menurut Majid (2015), indikasi spinal anestesi dapat
digolongkan sebagai berikut :
a. Bedah tungkai bawah, panggul dan perineum
b. Tindakan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, rektum
c. Bedah fraktur tulang panggul
d. Bedah obstetrik – ginekologi
e. Bedah pediatrik dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan
anestesi umum
4. Kontraindikasi Spinal Anestesi
Kontraindikasi spinal anestesi menurut Majid (2015) adalah
sebagai berikut :
a. Kontraindikasi mutlak :
1. Hipovolemia berat (syok)
2. Infeksi kulit pada tempat lumbal pungsi (bakteremia)
3. Koagulopati
4. Peningkatan tekanan cranial
b. Kontraindikasi absolute :
1. Neuropati
2. Prior spine surgery
3. Nyeri punggung
4. Penggunaan obat-obatan preoperasi golongan OAINS
5. Pasien dengan haemodinamik tidak stabil
5. Pengaruh Spinal Anestesi pada Tubuh
19
Respon spinal anestesi ditentukan oleh pengaruhnya pada saraf
afferent dan efferent somatik dan visceral. Saraf somatik berhubungan
dengan persarafan sensorik dan motorik, sedangkan saraf visceral
berhubungan dengan sistem saraf otonom Berikut sistem dalam tubuh
yang terpengaruh ketika dilakukan spinal anestesi menurut Latief
(2019):
a. Sistem Kardiovaskuler
Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung
dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan
dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah
yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak
segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan
darah.
b. Sistem Respirasi
Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah
blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat
pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang
terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat
terjadi apnea
c. Sistem Gastrointestinal
Serabut-serabut simpatis pada intestinum (T5 – L1) bersifat
inhibitor terhadap usus, menurunkan peristaltik, tidak ada efek
terhadap oesofagus, memelihara tonus sphincter dan menentang
aksi nervus vagus. simpatis (T5 – L1) yang disebabkan anestesi
spinal menyebabkan kontraksi usus halus meningkat karena tonus
vagus dominan.
d. Sistem Genitourinari
Spinal anestesi menurunkan 5-100% GFR, saraf yang
menyebabkan kandung kemih atonia mengakibatkan volume urin
yang banyak. Blokade simpatis afferent (T5 – L1) berakibat dalam
20
peningkatan tonus sphincter yang menyebabkan retensi urin.
Retensi urin post spinal anestesi mungkin secara moderat
diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonom kecil
dan paralisisnya terlambat lebih lama daripada serabut-serabut
sensoris dan motoris yang lebih besar. Kateter urin harus dipasang
jika anestesi dilakukan dalam waktu lama (Morgan,2013)
e. Sistem Endokrin
Spinal anestesi tidak merubah fungsi endokrin atau aktifitas
metabolik saat operasi, kecuali peningkatan sedikit gula atau
penurunan katekolamin. tiap jalur afferent dan efferent atau
keduanya, bertanggungjawab terhadap penghambatan perubahan
endokrin dan metabolik oleh stress operasi. Selain mempengaruhi
kelima sistem tersebut, spinal anestesi juga mempengarui sistem
muskoloskeletal, spinal anestesi menyebabkan parathesia hingga
relaksasi otot-otot ekstremitas bawah akibat adanya
motorik/somatik. Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan
menghilangkan tonus otot rangka. Blok sensoris menghambat
stimulus nyeri somatik atau visceral, sedangkan blok motorik
menyebabkan relaksasi otot. Efek anestesi lokal pada serabut saraf
bervariasi tergantung dari ukuran serabut saraf tersebut dan apakah
serabut tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat
(Morgan, 2013).
f. Penanganan
Penanganan yang dilakukan pasca spinal anestesi menurut
Majid (2012) adalah posisi berbaring terlentang (tirah baring)
selama 24 jam, hidrasi adekuat, hindari mengejan, dan bila ketiga
cara tersebut tidak berhasil, berikan epidural blood patch yakni
penyuntikan darah pasien sendiri 5-19 ml ke dalam ruang epidural.
Sedangkan menurut Morgan (2013) cara yang bisa dilakukan
21
antara lain mobilisasi dini setelah tirah baring 24 jam dan diet
TKTP.
B. Kerangka Teori
Langkah –Langkah
Bromage score
1. Fleksi dan ekstensi lutut dan
pinggul dengan cara 1. Jenis Obat
menganggakat kaki dan 2. Usia
bengkokkan lutut 3. Status Fisik
2. Abduksi dan adduksi kaki 4. Berat Badan
dengan cara menggerakkan 5. Konsep
ke samping kiri dan samping Tindakan
kanan menjauh dari pasien Spinal
3. Rotasi pinggul internal dan
ektrenal (Nainggolan, 2014,
4. Fleksi dan ektensi jari-jari Harahap (2014)
kaki Pramono (2015)
5. Intervensi dan eversi telapak Maldini (2013)
kaki
Helmi (2013)
Keterangan : ( diteliti )
(Tidak diteliti)
22
C. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Range Of Motion (ROM) Variabel Dependen
Pasif Bromage score
Variabel Moderator
Pasien Post Operasi
D. Hipotesis
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
1. Tempat :
2. Waktu Penelitian :
Waktu yang digunakan peneliti untuk penelitian ini dilaksanakan sejak
tanggal dikeluarkannya ijin penelitian dalam kurun waktu kurang lebih 2
(dua) bulan, 1 bulan pengumpulan data dan 1 bulan pengolahan data yang
meliputi penyajian dalam bentuk skripsi dan proses bimbingan berlangsung.
24
C. Populasi dan Sample
1. Populasi
Menurut Handayani (2020), populasi adalah totalitas dari setiap
elemen yang akan diteliti yang memiliki ciri sama, bisa berupa individu
dari suatu kelompok, peristiwa, atau sesuatu yang akan diteliti. Populasi
dalam penelitian ini 20 pasien yang telah dilakukan tindakan anestesi
2. Sampel
Penelitian terhadap populasi dengan jumlah yang besar namun
terkendala, waktu dan sebagainya, maka dapat dilakukan pengambilan
sampel. Seperti yang dijelaskan oleh Sugiyono (2017) Sampel adalah
bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang
ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu,
maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambi dari populasi
sebagai berikut :
Pasien Tidak Latihan ROM Pasif Pasien Tidak Latihan ROM Pasif
10 10
1. Teknik Sampling
Tehnik sampling adalah cara yang digunakan peneliti dalam
menentukan sampel. Tehnik sampling yang dipakai dalam penelitian ini
adalah purposive sampling yaitu tehnik penetapan sampel dengan cara
memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki
peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat
25
mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam,
2017)
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
objek atau kegiatan yang memepunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2019) :
26
Tabel 3.2. Definisi Oprasional
27
F. Instrumen Penelitian
28
bawah kearah atas.
c. Kembalikan ke posisi semula dan ulangi sebanyak 8 kali.
29
15. Latihan adduksi dan abduksi pangkal paha
a. Perawat mengangkat kaki klien dengan tinggi 8 cm.
b. Angkat kaki klien kearah samping menjauhi tubuh.
c. Lakukan gerakan abduksi dengan mengangkat kaki dan
arahkan mendekati tubuh. d. Ulangi sampai 8 kali.
3. Lembar Observasi
Lembar observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah check
list. Checklist atau daftar cek adalah pedoman di dalam observasi yang berisi
aspek-aspek yang dapat diamati, observer atau pengamat memberi tanda
centang atau cek untuk menentukan ada atau tidaknya sesuatu berdasarkan
pengamatannya (Sanjaya, 2013)
30
latihan ROM Pasif dengan benar 2. Selimut yang
menutupi bagian tubuh yang
akan digerakkan diatur dengan
benar 3. Pakaian yang
menyebabkan hambatan
pergerakan diatur dengan benar
4. Jari-jari tangan klien
digerakkan dengan benar
(fleksi, ekstensi, hiperekstensi)
5. Pergelangan tangan klien
digerakkan dengan benar (fleksi
ke depan, ekstensi, fleksi ke
belakang atau hiperekstensi) 6.
Siku klien digerakkan dengan
teknik yang benar (fleksi,
ekstensi) 7. Lengan bawah
klien digerakkan dengan teknk
yang benar (pronasi, supinasi)
8. Bahu klien digerakkan
dengan teknik yang benar
(fleksi, ektensi, abduksi,
adduksi, rotasi) 9. Jari-jari kaki
klien digerakkan dengan teknik
yang benar 10. Kaki klien
digerakkan dengan teknik yang
benar (inversi, eversi) 11.
Pergelangan kaki klien
digerakkan dengan teknik yang
benar (fleksi ke belakang,
ekstensi, fleksi ke depan) 12.
Lutu klien digerakkan dengan
teknik yang benar (fleksi dan
ekstensi)
5 Melakukan evaluasi dan 1. Vital sign diukur dengan
tidak lanjut benar 2. Anamnesa respon
selama dan setelah latihan
dilakukan dengan benar 3.
Upaya tindak lanjut (kontrak
waktu latihan berikutnya
dirumuskan dengan benar) 4.
Salam terapeutik dan
mengakhiri tindakan diucapkan
dengan sopan
6 Melakukan pencatatan 1. Tindakan, bagian tubuh yang
dalam dokumentasi dilatih, dan respon pasien saat
keperawatan dan setelah tindakan dicatat
dengan lengkap dan jelas sesuai
prinsip dokumentasi 2. Waktu,
paraf, dan nama jelas
dicantumkan dengan benar
31
Karakteristik Presentase Kekuatan Penilaian
Normal
1. Persiapan
32
e) Memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur
penelitian yang akan dilaksanakan kepada responden.
f) Meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi
responden setelah menyetujui sebagai partisipan dalam penelitian yang
akan dilakukan.
g) Melakukan telaah hasil kuesioner untuk mendapatkan data peneltian.
Memeriksa dan mengoreksi kembali data yang didapat apabila ada
kekurangan dari kelengkapan data.
1. Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2018; 161) uji normalitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam satu model regresi linier ada korelasi antara
kesalahan pengganggu atau residual memiliki distribusi normal Uji
normalitas bertujuan untuk menguji apakah distribusi variabel terikat
untuk setiap nilai variabel bebas tertentu berdistribusi normal atau tidak.
Model regresi yang baik adalah model regresi yang memiliki distribusi
normal atau mendekati normal, sehingga layak dilakukan pengujian
secara statistik. Pengujian normalitas data menggunakan Test of
Normality Kolmogorov-Smirnov
33
Analisis Regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Analisis Regresi Linear Berganda. Analisis Regresi Linear Berganda
digunakan untuk megukur pengaruh antara lebih dari satu variabel
prediktor (variabel bebas) terhadap variabel terikat. Analisis regresi linear
berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel
independen (X1) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk
mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan dependen
apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif atau
negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai
variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Data ini
bersifat rasio.
Y = α + β1X1 + e
Dimana ,
Y = Bromage Score
α = Nilai Konstanta
X1 = ROM Pasif
β1, = Koefisien Regresi Variabel X1
e = Error
34
2. 2. Jika signifikansi F > 0,05, maka H0 diterima yaitu model
persamaan ini tidak layak
4. Uji Hipotesis
A. Uji t
Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Uji Parsial
(Uji t). Ghozali (2018; 88) Uji t digunakan untuk menguji pengaruh
masing-masing variabel independen yang digunakan dalam penelitian
ini terhadap variabel dependen secara parsial. Menurut Sugiyono
(2018; 223) Uji t merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah, yaitu yang menanyakan hubungan antara dua variabel atau
lebih. Rancangan pengujian hipotesis digunakan untuk mengetahui
korelasi dari kedua variabel yang diteliti. Dalam Uji t untuk menguji
pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat,
maka digunakan kriteria sebagai berikut:
a. H0 : β1 = 0 ; Latihan Extriminasi Bawah ROM Pasif tidak
berpengaruh Terhadap Bromage score pada pasien post oprasi di
Rs.Bhayangkara lampung
b. H1 : β1 ≠ 0 ; artinya ; Latihan Extriminasi Bawah ROM Pasif
berpengaruh Terhadap Bromage score pada pasien post operasi di
Rs.Bhayangkara lampung
35
I. Jalanya Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dari pengumpulan data di Rumah Sakit
Bhayangkara Lampung dengan prosedur sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
a. Pembagian tema dan pencarian kasus
Pada tahap ini peneliti melakukan pencarian kasus yang sesuai dengan
tema dari berbagai referensi penelitian terdahulu.
d. Ujian Proposal
Peneliti melaksanakan ujian proposal sesuai jadwal yang telah ditentukan
dan memaparkan proposal dihadapan tim penguji.
2. Tahapan Penelitian
a. Pengurusan Perizinan
36
Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian dari institusi kepada
pihak Rumah Sakit Bhayangkara Lampung.
b. Melakukan Penelitian
c. Tahap Penyelsaian
J. Etika Penelitian
Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk
setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak
yang diteliti (subjek peneliti) dan masyarakat yang akan memperoleh
dampak hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2018) Tujuan etika
penelitian memperhatikan dan mendahulukan hak-hak responden
(Notoatmodjo, 2018)
37
1) Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Responden harus mendapatkan hak dan informasi tentang tujuan
penelitian yang akan dilakukan. Peneliti juga harus memberikan
kebebasan kepada responden untuk memberikan informasi atau tidak
memberikan informasi. Untuk menghormati harkat dan martabat
responden, peneliti harus mempersiapkan formulir persetujuan (inform
concent).
38
K. Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data secara manual menurit Notoatmodjo,
2018 adalah :
a. Editing
Editing adalah pemeriksaan kelengkapan data yang diperoleh atau
dikumpulkan melalui kuesioner. Jika ternyata masih ada data atau
informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan
wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan (drop out).
b. Coding
Coding adalah kegiatan setelah data diteliti makan selanjutnya
diberikan kode dengan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan sehingga memudahkan peneliti dalam
memasukan data ke dalam komputer.
c. Entry
Entry data adalah mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode
atau kartu kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.
d. Cleaning
Yang membersihkan data yang merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah dimasukan apakah ada kesalahan atau tidak
dalam penelitian ini menghilangkan data yang tidak sesuai dan tidak
diperlukan oleh peneliti.
39
DAFTAR PUSTAKA
40