201735hk-S2bab-Ii
201735hk-S2bab-Ii
201735hk-S2bab-Ii
Nahdhatul Ulama -biasa disingkat dengan NU- merupakan salah satu ormas
“bangkit” merupakan sebuah gerakan dari sisi bawah menuju ke atas. Hal ini
tidak instan. Pergulatan panjang dari para pendirinya seperti KH. Hasyim Asy’ari3
Indonesia, merupakan latar belakang berdirinya NU. Sejarah itu dimulai sejak
1
Sam’ani Sya’roni, “Corak Pemikiran Hukum Islam Nahdhatul Ulama (NU),” Jurnal
Hukum Islam (JHI), Volume 8, Nomor 1, Juni 2010, hal. 79.
2
Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzali (Ed.), Nahdlatul Ulama; Dinamika Ideologi dan
Politik Kenegaraan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hal. 95.
3
Ulama yang dikenal sebagai pribadi sederhana ini bernama Muhammad Hasyim Asy’ari
ibn ’Abdul Wahid ibn ’Abd al-Halim, selanjutnya disebut Hasyim Asy’ari. Beliau dilahirkan di
Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, tanggal 24 Zhulqa’dah 1287 H (14 Februari 1871 M). Lihat,
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hal. 113.
4
Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzali (Ed.), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan
Politik Kenegaraan, Op. Cit, hal. xi.
26
27
kepulangan KH. Wahhab Hasbullah dan Kiyai Mas Mansur dari Makkah setelah
Sewaktu di Hijaz, Kiyai Wahhab mengikuti dinamika politik tanah air dan
Sebagai orang pergerakan, Kiyai Wahhab mengerti bahwa tidak hanya dibutuhkan
pengetahuan dan fondasi pemikiran, akan tetapi juga strategi organisasi dan
pesantren. Kiyai Wahhab mengerti bahwa peta pergerakan pada masa awal sudah
berada pada rel yang benar, akan tetapi masih penuh dengan gesekan kepentingan
antar organisasi. Sebelum NU berdiri secara resmi, telah ada Budi Oetomo,
Kiyai Hasyim Asy’ari, tidak lantas disetujui untuk membentuk sebuah organisasi.
selama dua tahun, sejak 1924 hingga 1926. Kiyai Wahhab menggerakkan teman
sebelumnya telah satu visi perjuangan. Bahkan, jaringan ulama Jawa yang
5
Ibid, hal. 29-30.
28
menjadi tulang punggung Islam Nusantara, juga turut menjadi bagian dari
menguasai ilmu Ushul Fiqih, strategi pergerakan dan diplomasi. Sementara, Kiyai
Bisri Syansurie berpegang pada dalil-dalil fiqih yang ketat, dengan kepentingan
Bisri berfungsi sebagai rem, sementara Kiyai Hasyim Asy’ari memegang kemudi
organisasi untuk menfungsikan gas dan rem pada waktu yang tepat.7
Oktober 1945 dan segenap perjuangan kebangsaan yang dipraktikkan para Kiyai
bangsa, membela NKRI. Inilah kiprah dari kiyai dan santri dari komunitas
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal.
25.
7
Ibid, hal. 26-27.
29
Nusantara menjadi tawaran atas referensi keislaman bagi kaum Muslim di dunia.8
pada tahun 1914, kemudian Taswirul Afkar yang berarti “Representasi gagasan-
muslimin ketika itu. Himpunan para ulama inilah yang disebut sebagai pelopor
lain, NU lahir dari rahim realitas aktual pada saat itu, baik realitas ke-Islam-an
tidak terlepas dari kondisi keterjajahan Indonesia oleh Belanda pada saat itu.
wilayah yang mayoritas beragama Islam. Penyebaran paham tersebut, tentu saja
8
Abdurrahman Wahid, Mustofa Bisri, dkk, Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh hingga
Paham Kebangsaan, (Jakarta: Teraju Indonesia-Mizan, 2015), hal. 62-63.
9
M. Ali Haidar, NU dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta
Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 45.
10
Masing-masing dari organisasi masyarakat di atas memiliki corak yang berbeda-beda.
Misalnya, Budi Utomo (BU) yang berdiri pada tahun 1908 sebagai organisasi yang konsentrasi
pada pendidikan dan budaya serta pelopor awal munculnya organisasi-organisasi di Indonesia,
Sarekat Islam (SI) tahun 1912 sebagai organisasi pelopor kelompok saudagar Islam di Indonesia,
Muhammadiyyah pada tahun 1912 sebagai organisasi sosial keagamaan yang menawarkan bentuk
pembaruan dalam Islam, Persatuan Islam (PERSIS) pada tahun 1913, dan al-Irsyad pada tahun
1915. Adapun NU berdiri pada tahun1926 merupakan organisasi sosial keagamaan kaum
tradisionalis dalam mempertahankan tradisi dan budaya Islam. Karena itu, lahirnya NU adalah
karena kebutuhan para kiyai dan santri terhadap legitimasi legal formal.
30
dari paham anti tradisi dan mazhab ini, pada tanggal 31 Januari 1926, ulama sepuh
tradisi, pluralitas budaya dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Dalam
batas akhir kepunahan atas nama modernitas. Kepatriotan yang bersifat kultural
tersebut perlu ditegaskan, karena kelahiran NU sejak awal berdirinya tidak pernah
masa lalu, sehingga akulturasi inilah melahirkan Islam yang ramah terhadap nilai
Nusantara.12
11
Masngudin dan Rukmini Dahlan, Pola Hubungan Antar Golongan Nahdlatul Ulama
dengan Muhammadiyah (Studi Kasus di Pasuruan), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Sosial
Nasional, 2000), hal. 11.
12
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Op. Cit, hal. 25.
31
dengan kemunculan penguasa Wahhabi di Arab Saudi pada awal abad ke-20 yang
makam Nabi Muhammad Saw dan simbol-simbol keterkaitan Islam dengan masa
lalu dihancurkan atas nama bid’ah yang pada akhirnya berdampak diskriminasi
serta tidak memberikan ruang hidup bagi mazhab lainnya. Seperti yang tercatat
dalam sejarah, di mana para kiyai membentuk komite Hijaz13 dari utusan kalangan
pesantren dan ternyata mampu mengatasinya dengan cara menemui dan berbicara
langsung dengan Raja Ibnu Saud. Komite tersebut dicatat dalam sejarah sebagai
embrio yang kemudian cikal bakal lahirnya NU pada tanggal 31 Januari 1926.14
dihormati seperti keluarga, guru, wali, begitu juga dengan pahala bacaan do’a-
13
Pembentukan Komite Hijaz pada dasarnya dipicu oleh kekecewaan kaum tradisionalis
saat suara mereka tidak terwakili untuk menghadiri Muktamar Dunia Islam 1924 di Arab Saudi, di
mana pada saat itu yang mendominasi adalah para penganut paham Wahhabi. Akhirnya kaum
tradisionalis sepakat untuk membentuk sebuah komite yang disebut dengan Komite Hijaz dan pada
tanggal 31 Januari 1926 mengirim mereka ke Hijaz. Tanggal ini juga sekaligus menandai
berdirinya organisasi Nahdhatul Ulama. Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembal ke
Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 15-16.
14
Abdurrahman Wahid, Mustofa Bisri, dkk, Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh hingga
Paham Kebangsaan, Op. Cit, hal. 62-63.
32
orang yang sudah meninggal, dan sebagainya sebagai kegiatan bid’ah dan tidak
memperluas jaringannya sampai ke wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang
merupakan basis ulama tradisional, hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi para
ulama dan kiyai, maka untuk menahan gerakan Islam reformis dari
mempertahankan tradisi dan budaya Islam,16 suatu hal yang justru mendapat
Saudi.
Senada dengan hal di atas, Mahrus Irsam menyebutkan bahwa organisasi ini
internal dan eksternal. Pertama, dari sisi internal adalah adanya keperluan yang
penguasa baru di Saudi Arabia yang dipegang oleh Dinasti Su’ud dari kaum
Jama’ah.17
faktor lain bagi berdirinya NU. Menurutnya, NU pada hakikatnya muncul sebagai
domestik Indonesia maupun di luar negeri, khususnya di tanah Arab. Argumen ini
kebudayaan dan politik Indonesia itu sendiri, lebih khusus lagi saat Belanda
adalah wadah para ulama yang tetap ingin mempertahankan pelaksanaan ajaran
agama dengan berpegang teguh pada salah satu mazhab Ahlussunnah wa al-
Jama’ah, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali (Pasal 2, Anggaran Dasar
adalah mazhab Syafi’i dan orientasi pada fiqih (hukum Islam) mazhab ini tampak
17
Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hal. 5-
6.
18
Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Obor, 1987), hal. 26.
34
kental sekali. Hal itu tidak lepas karena basis organisasi ini, yakni pesantren, yang
kitab yang ditulis oleh ulama mazhab Syafi’i. Sebagai organisasi keagamaan, NU
berusaha agar semua sikap dan tingkah laku warganya sejalan dengan agama
Islam.19
Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Melalui paham
ini, NU mengakomodasi berbagai budaya dan tradisi lokal yang tumbuh dalam
yang liberal. Kedua, tawazun, seimbang antara pendekatan dalil akal (‘aqli)
dengan dalil dari al-Qur’an (naqli). Ketiga, i’tidal (lurus), dan keempat, tasamuh
(toleran).20
Kedua, dalam bidang fiqih cenderung mengikuti empat mazhab yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Ketiga, dalam bidang tasawwuf lebih cenderung pada
atau “orang-orang NU” berarti orang-orang yang secara teologi mengikuti paham
19
Masngudin dan Rukmini Dahlan, Pola Hubungan Antar Golongan Nahdlatul Ulama
dengan Muhammadiyah (Studi Kasus di Pasuruan), Op. Cit, hal. 11.
20
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di
Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gusdur, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 102.
35
organisasi politik yaitu Sarekat Dagang Islam Indonesia yang lebih dikenal
kemudian dengan Sarekat Islam (SI) dan berubah menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) ketika sudah terlibat politik lebih jauh. Kedua, organisasi sosial,
merupakan seseorang yang terinspirasi oleh para pemikir dan pembaru dalam
Islam, yaitu melalui kitab-kitab yang dikarang oleh Muhammad Abduh, al-
Afgani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah yang mungkin semakin membuka
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah yang mendapat perhatian khususnya saat
itu. Tercatat, beliau pernah dua kali melakukan perjalanan ke Makkah, yaitu tahun
21
Sam’ani Syaroni, “Corak Pemikiran Hukum Islam Nahdhatul Ulama (NU),” Op. Cit, hal.
80.
22
Ibid, hal. 82.
23
Hasbullah (Ed.), Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Persada, 1996), hal.
115. Kehadiran kelompok pembaharu ini bersama dengan pemikiran-pemikiran yang dipengaruhi
oleh gerakan pembaharuan di Arab seperti disinggung sekilas di atas tentu saja membawa ekses
tersendiri, khususnya mengakibatkan terjadinya benturan dengan kaum tradisionalis yang banyak
berpegang pada model keagamaan sebelumnya.
36
Dahlan melihat situasi dan keadaan umat Islam yang mengalami berbagai
kemunduran yang disebab oleh kebekuan dalam berfikir seperti; tahayul, bid’ah,
dan khurafat. Berdasarkan alasan itu, maka Kiyai Ahmad Dahlan mempunyai
Sama halnya dengan KH. Ahmad Dahlan, para pendiri NU seperti KH.
Hasyim Asy’ari, Kiyai Abdul Wahhab Chasbullah, Kiyai Mas Mansyur, dan
Makkah pada tahun 1893.25 Berdasarkan ilustrasi tersebut, KH. Hasyim Asy’ari
ternyata lebih awal belajar ke Makkah dari pada KH. Ahmad Dahlan. Meskipun
demikian, KH. Hasyim Asy’ari dan para kiyai lainnya tidak membuat mereka
menjaga erat tradisi dan budaya tradisional Islam di Indonesia. Karena itu,
24
Maman Abdul Majid Binfas, dkk., “Tapak Persamaan Asal Usul Gerakan
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia,” Tinta Artikulasi Membina Ummah
1(1), 2015, hal. 167.
25
Ibid, hal. 167.
26
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relas-relasi Kuasa, Op. Cit, hal. 17-18.
37
dirumusan pada tahun 1929 lalu, kemudian baru disahkan oleh pemerintah
setahun setelahnya, yaitu pada tahun 1930. Dalam Anggaran Dasar tersebut, NU
mazhab.
organisasinya.
Nahdhatul Ulama (NU) adalah wadah yang sudah dirancang sejak awal
27
Ibid, hal. 23-24.
38
fathers NU dalam hal fiqih tidak hanya mengakui, merujuk, dan mengamalkan
paham mazhab Syafi’i, tetapi juga mau membuka diri kepada tiga mazhab
utama yang lainnya. Padahal kita tahu bahwa di antara ke empat mazhab
28
Luqman Hakim, dan Muhammad, NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat,
(Tulungagung: Yayasan pondok PETA, 1994), hal. 37-38.
29
Pertama, tawassuth (moderat) yaitu tidak condong ke ekstrem kanan yang fundamentalis-radikal
maupun ekstrem kiri yang liberal. Kedua, tawazun, seimbang antara pendekatan dalil akal (‘aqli)
dengan dalil dari al-Qur’an (naqli). Ketiga, i’tidal (lurus), dan keempat, tasamuh (toleran).
30
Luqman Hakim, dan Muhammad, NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, Op. Cit, hal.
41.
39
(Gusdur)—yang tidak lain adalah cucu dari KH. Hasyim Asy’ari. Kehadiran
internasional untuk meneliti sosok dan kiprah pemikiran Gusdur. Salah satu
31
Dalam penelitian Greag Barton yang mengkaji pemikiran neo modernis Nurcholis
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terdapat uraian
menarik ketika mengeksplorasi pengalaman gagasan pluralisme yang diusung oleh GusDur,
sebagai representasi tokoh NU. Secara implisit, penelitian ini mengungkap gagasan pluralisme
yang diusung oleh Gusdur, pada tiga dimensi, pertama, pluralisme di level pemikiran (plural in
mind). Kedua, pluralisme di level perilaku (plural in attitude).Ketiga, pluralism di level tindakan
(plural in action). Pada level pemikiran, menurut Gusdur, pluralisme mengakar bukan hanya
dalam bagaimana seseorang bertindak tetapi dalam bagaimana seseorang berfikir. Maka, beberapa
pemikiran Gusdur yang tertuang dalam berbagai tulisan banyak mengeksplorasi berbagai ide yang
seringkali melampaui zamannya. Salah satu gagasannya bahwa pluralisme secara tegas diakui di
dalam kitab suci al-Qur’an dan secara tegas pula mendeklarasikan bahwa pluralisme masyarakat,
baik dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa dan sebagainya merupakan keharusan sejarah yang
menjadi kehendak Allah. Karena itu, upaya penyeragaman dan berbagai bentuk homogenisasi
yang lain, termasuk dalam hal pemahaman dan implementasi ajaran agama, merupakan sebuah
pemahaman yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an. Pembacaan yang komprehensif
tentang al-Qur’an tidak lepas dari wawasannya yang sangat luas, ditopang sumber bacaannya yang
membingkai khazanah klasik dan kontemporer, dan gaya artikulasi gagasan yang retoris-humoris.
Meskipun demikian, di balik kecerdasan Gusdur tersebut, selalu saja banyak kalangan yang tidak
menyukai pemikiran Gusdur dan melempar berbagai kecaman yang datang dari berbagai pihak
yang tentu saja memiliki cara pandang keagamaan yang cenderung eksklusif. Pada level perilaku,
Gusdur melibatkan diri dalam berbagai komunitas pro-demokrasi dan Hak Asasi Manusia serta
komunitaslintas agama.Kehadiran Gusdur di berbagi forum tersebut, menjadi teladan bagi banyak
kalangan agar tidak hanya membatasi pergaulan secara homogen, namun harus membuka diri
tehadap berbagai kalangan meskipun dalam prosesnya seringkali dihadang oleh berbagai
stigmatisasi dari berbagai beberapa kelompok ekstrem kanan yang radikal. Kemampuan Gusdur
dalam menjalin persahabatan dengan berpihak, baik kepada kelompok yang dipersepsikan sebagai
“musuh” oleh pihak-pihak tertentu, maupun pihak yang selama ini disubordinasi oleh sebuah
sistem yang berlaku dalam komunitas kecil maupun komunitas besar, semakin memposisikan
Gusdur sebagai figur yang mampu mempersonifikasi sifat kenabian dalam dirinya. Karena,
perlawanan Gusdur terhadap kelompok yang memusuhi bukan dengan cara refresif-reaksiner
melainkan dengan persuasive-akomodatif.
40
suatu cara istinbath hukum yang digunakan oleh ulama NU dalam kerja
jawabannya pada kitab-kitab fiqih dari mazhab yang empat dengan mengacu
dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain,
tertentu. Walaupun penerapan metode ini sudah berlangsung sejak lama, yakni
pertama kali dilaksanakan Bahtsul Masail tahun 1926, namun hal ini baru
yang empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh
berikut: yaitu, dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh satu kitab dan di
dalam urutan tersebut. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh satu
kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka dilakukan taqrir
32
Anshor Muhtadi, Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama; Melacak Dinamika Pemikiran
Mahzab Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: t.p, 2012), hal. 84-85.
41
saja, pendapat yang dipengangi oleh al-Rafi’i saja, pendapat yang di dukung
oleh mayoritas ulama, pendapat ulama yang terpandai, pendapat ulama yang
paling wara’. Kedua, metode ilhaqi. Apabila metode qauli tidak dapat
maka yang dilakukan adalah apa yang disebut dengan ilhaq al-masail bi
dengan pendapat yang sudah jadi. Sama dengan metode qauli, metode ini
secara operasional juga telah diterapkan sejak lama oleh para ulama NU
khususnya warga Nahdiyyin, walaupun baru secara implisit dan tanpa nama
sebagai metode ilhaqi. Namun secara resmi dan eksplisit metode ilhaqi baru
yang tidak ada qaul/wajh sama sekali, maka dilakukan dengan ilhaq al-masail
bi nazhariha secara jama’i oleh para ahlinya. Sedangkan prosedur ilhaq adalah
belum ada ketentuan hukumnya), mulhaq ‘alaihi, (sesuatu yang sudah ada
ketentuan hukumnya), wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan
dan persyaratan mirip qiyas. Oleh karenanya, metode ilhaqi dapat juga
dinamakan dengan metode qiyas versi NU. Sebenarnya ada perbedaan antara
qiyas dan ilhaq, yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang
yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab yang
mu’tabar. 33
sekali dalam kitab-kitab standar, baik qauli maupun wajh, dan tidak
istinbath secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para
karena tidak ada mulhaq bih dan wajh al-ilhaq. Istinbath dilakukan secara
fiqih.34
dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah-kaidah penetapan hukum yang telah
33
Ibid, hal. 85-86.
34
Ibid, hal. 86-87.
43
metode manhaji ini juga sudah diterapkan oleh para ulama NU terdahulu
walaupun tidak dengan istilah manhaji dan tidak pula diresmikan melalui
Masail yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab ataupun memberikan
suatu argumentasi detail, setelah tidak dapat dirujukan kepada teks suatu kitab
Qur’an lalu dalam hadis dan begitu seterusnya dan akhirnya sampailah pada
jawaban dari kaidah fiqih. Secara resmi metode ini baru dipopulerkan
Bandar Lampung tahun 1992. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Munas
Bandar Lampung adalah era kesadaran perlunya redefenisi dan reformasi arti
bermazhab. Era ini dapat dikatakan sebagai titik awal untuk bersikap lebih
Ada dua cara istinbath hukum yang dilakukan oleh Nahdhatul Ulama,
fiqhiyyah lebih didahulukan dari kaidah ushuliyyah yang secara umum telah
disepakati oleh para ulama sebagai metode istinbâth hukum, di samping itu
juga mengingat eksistensi kaidah fiqhiyyah yang sangat penting dalam studi
35
Ibid, hal. 88.
44
Islam, yang menjadi pilihan bagi para founding fathers NU di masa awal.
menganut mazhab Syafi’i secara kultural. Dengan demikian, apa yang dipilih
memang diperlukan.36
Bahtsul Masail Diniyah memutuskan bahwa pada masa sekarang wajib bagi
umat Islam mengikuti salah satu dari empat imam mazhab yang tersohor dan
pendapat atau hasil-hasil ijtihad ulama terdahulu (imam mazhab), yang telah
36
Imdadun Rahmat. (ed), Kritik Nalar Fiqih NU; Transpormasi Paradigma Bahtsul
Masail, (Jakarta: Mizan, 2002), hal. 235.
37
Sudarno Shobron, “Ragam Keagamaan Muhammadiyah dan NU (Nadlatul
Ulama); Modal Membangun Moral Bangsa”. Dalam Jurnal Tajdida: Pemikiran dan Gerakan
Muhammadiyah, Vol. 1, No. 2, hal. 20.
45
ormas yang eksklusif terhadap perbedaan dan keragaman. Justru keragaman dan
pun tampil menjadi ormas garda depan yang berwatak kebangsaan. Pergumulan
ditulis Ali Masykur Musa, sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan
(persaudaraan sebangsa).38
utamanya. NU melihat pandangan dua tokoh itu senapas dengan watak orang
moderat dan cenderung memilih “jalan damai.” Ini karena jalan tengah dirasa
senapas dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-
38
Ali Masykur Musa, Nasionalisme di Persimpangan; Pergumpulan NU dan Paham
Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 47-48.
46
adalah organisasi terbesar di Indonesia yang tampil dan mampu mengikuti arah
aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan termarjinalkan. Dalam ranah
teologi, NU menampilkan wajah Islam yang ramah terhadap budaya lokal, adat
sesungguhnya. Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu berakhir saat
Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang
sosial-ekonomi.40
mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah
dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak
39
Ibid, hal. 48.
40
Ibid, hal. 48-49.
47
Kewajiban untuk mengurangi atau menghindari segala bentuk risiko atau akibat
buruk juga merupakan salah satu tema sentral dalam tradisi ijtihad politik NU.
bentuk ekstremisme.41
Diusianya yang hampir mencapai satu abad ini, peran NU tentunya tidak
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai pilar dan pondasi
penopang keutuhan NKRI selama ini. Demikian pula dengan pancasila sebagai
keanekaragaman yang ada di bangsa ini hanya mungkin bisa dipersatukan lewat
ideologi Pancasila, bukan ideologi yang berdasarkan ras, agama, suku dan budaya
tertentu, apalagi dengan mengunakan ideologi yang sifatnya impor. Hal tersebut
menjadi penting, mengingat bangsa ini bukan hanya sekedar warisan dari
dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai pilar kebangsaan. 42
kebangsaan yang beragam. Cara pandang inilah yang kemudian menjadi salah-
karenanya, keislaman dan kebangsaan bagi NU adalah satu kesatuan yang utuh.
Islam tidak akan menemukan ruangnya tanpa kehadiran bangsa, demikian pula
sebaliknya, bangsa akan kehilangan harga diri jika tidak topan oleh nilai-nilai
Islam.43
Syafi’iyyah, Sukarejo pada tahun 1984 menjadi salah satu bukti keterbukaan NU
menerima Pancasila sebagai asas organisasi saat itu. Meski NU adalah ormas
organisasi, sama halnya merendahkan Islam sebagai agama, sebab apa bedanya
menurut kiyai sepuh NU ini, jauh lebih tinggi maqamnya ketimbang semua isme-
sama halnya mempersempit makna Islam itu sendiri, karena secara tidak sadar
politisasi agama atas nama Islam. Diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara,
Islam, juga keutuhan NKRI hanya bisa berdiri kokoh dengan ideologi tersebut.
pondasi bangsa.45 Oleh karena itu, tidak seharusnya Pancasila dijadikan sebagai
Meminjam istilah KH. A. Hasyim Muzadi, jika Pancasila yang selama ini menjadi
pondasi, kemudian diangkat menjadi salah satu bagian dari 4 pilar kebangsaan,
konlik disintegrasi dari dalam terutama dengan otonomi daerah, guna mengurangi
kesenjangan dan masalah ekonomi sosial lainnya yang berhujung pada konflik.
globalisasi adalah proses material dan sosial yang didefinisikan oleh berbagai
paket retoris yang berwujud idiologi pasar neoliberal yang memberikan norma,
ketegangan yang lahir dari latar belakang nasionalisme yang lahir dari paham
sekuler yang bertentangan dengan Islam. Wacana Khilafah Islamiyah adalah suatu
bentuk reaksi terhadap krisis dan respons atas proses dislokasi yang diakibatkan
oleh sistem sekuler Barat, namun derajat persepsi umat Islam di negeri-negeri
konfrontasi. Karena itu, wacana kekhalifahan Islam lebih tepat dipahami sebagai
Ideologi adalah refleksi dan dilahirkan oleh sejarah, diproduk dalam fikiran,
tidak bisa dijadikan landasan keimanan dan keyakinan dalam beragama. Tetapi
Ahlusunnah wal Jama’ah. Dengan kata lain, Islam akan berkembang di Indonesia,
sebelum Pancasila terumuskan sebagaimana adanya saat ini, warna Islam begitu
perdebatan ideologis, setelah akhirnya mengalami jalan buntu dan “dead lock”
terus berlanjut, karena justru munculnya ancaman ideologi itu sendiri. Situasi ini
baru selesai setelah dengan tegas disepakatinya bahwa Pancasila sebagai satu-
bangsa dan negara mencapai masyarakat adil dan makmur. Penerimaan atas
perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita seluruh
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang berpegang kepada moral yang tinggi di ciptakan tercapainya “Suatu keadilan
49
Mohamad Sobary, NU dan Keindonesiaan, (Jakarta: Gramedia, 2010), hal. 63.
50
Ibid, hal. 64.
52
mengakui negara dan Pancasila sah menurut Islam, maka peranan sebagai partai
politik menjadi tidak relevan lagi, apalagi NU sudah menyadari selama menjadi
sebagai warga masyarakat harus sesuai dengan Pancasila, dan ketika mengambil
sebuah kebijakan oleh elit politik juga bersandar atas Pancasila agar dampak yang
demi kesejahteraan rakyat. Jadi antara Pancasila dan agama berada di tengah-
tengah background bangsa Indonesia harus berjalan beriringan selaras dan serasi
51
Ibid, hal. 66.
53
atau kemerdekaan atas negara yang pada waktu itu dijajah oleh kolonial Belanda.
Seperti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, NU dalam lintasan sejarah secara
salah satunya Nahdhatul Wathan yang didirikan pada tahun 1916 oleh Kiyai
sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari, anti kolonialisme diajarkan
usul Nahdhathul Ulama. Akan tetapi, Nahdhatul Ulama secara implisit bertujuan
melawan Belanda. Empat tahun setelah berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-
mata pelajaran selesai. Bukan hanya itu, tapi buku-buku yang dilarang dipelajari
52
Laode Ida, NU Muda; Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: PSPK, 2004),
hal. 37.
54
bentuk negara Indonesia yang akan datang. Hal ini dipertegas dalam Muktamar
XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar terakhir pada masa
dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang pantas memimpin bangsa.
Shidiq.53
bentuk negara yang dimulai dari tahun 1920-an, akhirnya memuncak saat Jepang
menyerah pada bulan Agustus 1945. Sebenarnya bukan hanya bentuk negara yang
diperdebatkan, akan tetapi banyak hal lain yang diperdebatkan mengenai jati diri
negara ke depannya, antara lain; mengenai batas wilayah, bentuk negara, dan
Soekarno meletakan dasar negara dengan dasar 5 sila atau yang masyhur disebut
diskusi antara Soekarno, Kiyai Wahhab Chasbullah, Kiyai Masykur, dan Kahar
dari ajaran Islam. Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin
Islam tersebut lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama
dan banyak suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara. Pancasila
53
Ibid, hal. 38.
55
membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang yang akan membahas
kompromi antara kaum Islam dan nasionalis. Kiyai Wahid Hasyim sebagai
representasi dari golongan Islam tradisional atau NU, dalam rapat panitia tersebut
menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab. Tidak berhenti disitu
perpecahan. Dari NU sendiri yang diwakili oleh Wahid Hayim mengusulkan agar
agama negara adalah Islam, dengan jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat
iman dalam menjalin persaudaraan tersebut dan ini sekaligus merupakan entry
54
Ibid, hal. 39.
56
kebangsaan).55
puncak dari keseluruhan cita-cita bangsa ini yang berproses sejak zaman
UUD serta dirinci ke dalam batang tubuh UUD 1945 secara tuntas dan
Kedua, haruslah sesuai dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.
tata nilai dan tradisi bangsa ini. Karena itu dalam konteks ini, NU menyarankan
kepada bangsa ini agar kembali ke khittah Indonesia 1945, yaitu berusaha kembali
menentangnya harus segera dicegah, karena ini musuh negara. NU juga mendesak
agar dalam UUD itu ada pasal yang menegaskan bahwa Mukaddimah UUD 1945
yang telah ada itu sama sekali tidak boleh di ubah atau amandemen, karena
55
Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme; Tantangan dan Harapan Menjelang Satu
Abad, (Yogyakarta: Lkis, 2008), hal. 42.
56
Ibid, hal. 43-44.
57
mengingat NU saat ini tampil sebagai kekuatan Aswaja terbesar di dunia. Dengan
ditopang oleh bangsa dan negara yang kuat dan terhormat, perjuangan Aswaja NU
tumpuan bangsa lain di dunia. Tidak hanya dunia Muslim, dunia non-Muslim
terbukti selama ini sangat tergantung pada peran NU. Semua langkah stategis NU
1. Struktur Organisasi
57
Ibid, hal. 46.
58
a. Mustasyar (Penasihat)
(NUM). Pada wakt itu Muslimat masih menjadi bagian dari NU dan
Jawa Tengah, pada tanggal 26-29 Maret 1946, NUM disahkan menjadi
58
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundametalisme Islam,
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 38-54.
59
Islam yang bertaqwa kepada Allah Swt, berilmu, beramal, cakap dan
menurut ajaran Islam, baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari
bangsa yang taat beragama. (6) Bergerak secara aktif dalam lapangan
lembaga lain.
sejarah kelahiran Nahdhatul Ulama itu itu sendiri. Pada tahun 1924, di
latihan bela diri. Pada tahun 1930, Syubbanul Wathan melebur diri
muncul ide dari Muhammad Husaini, seorang tokoh ANU dari Surabaya
muda islam bertaqwa kepada Allah Swt, berbudi luhur, beramal, cakap,
dan bertanggung jawab serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. (2)
adil dan makmur yang merata serta diridlai Allah Swt. Untuk mencapai
berikut: (1) Menghimpun dan membina pemudi atau wanita muda Islam
Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru,
Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan IPNU meluas pada komunitas
remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003,
Nahdhatul Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan
64
Maret 1955 di Solo, Jawa Tengah. Salah seorang pendirinya adalah Ny.
1966, IPPNU melepaskan diri dari LP. Maarif dan menjadi salah satu
65
kaderisasi bangsa.
g. Pagar Nusa
h. Fatayat
4. Lajnah
(a) Lajnah Falakiyah, bertugas mengurusi masalah hisab dan ru’yah, serta
pengembangan ilmu falak (astronomi). (b) Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN),
5. Lembaga
Masjid.