Makalah Jenis Dan Cara Peningkatan Mutu Gizi Pangan
Makalah Jenis Dan Cara Peningkatan Mutu Gizi Pangan
Makalah Jenis Dan Cara Peningkatan Mutu Gizi Pangan
1 Fortifikasi
2.1.1 Definisi dan Tujuan Fortifikasi
Fortifikasi adalah sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan
mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan
masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan. (WHO, 2006).
Fortifikasi pangan umumnya digunakan untuk mengatasi masalah gizi mikro pada
jangka menengah dan panjang. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat
konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Peran
pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan defisiensi, dengan demikian
menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan
kerugian sosio ekonomis. (Azhar, 2012).
Teknik dry mixing atau pencampuran kering adalah salah satu teknik
fortifikasi seluruh bahan, baik fortifikan maupun bahan makanan yang difortifikasi
dicampur seluruhnya dalam keadaan kering. Teknik ini digunakan untuk fortifikasi
bahan makanan berbentuk bubuk seperti tepung-tepungan. serealia, susu bubuk, dan
minuman bubuk.
2. Hot Extrusion
Prinsip kerja metode hot extrusion adalah menggunakan suhu dan tekanan
tinggi pada bahan makanan yang difortifikasi. Suhu yang digunakan berkisar antara
70-100 derajat celcius dengan tekanan <110 Psi. penelitian yang dilakukan dengan
metode ini adalah fortifikasi mineral pada beras, gandum, atau produk serealia
lainnya. Tepung beras mula-mula dicampur dengan fortifikan, air, bahan pengikat,
dan bahan penstabil hingga membentuk suatu adonan. Adonan kemudian dilewatkan
di mesin press (mesin penekan, ed.) bersuhu tinggi yang juga akan memotong adonan
menjadi butiran-butiran kecil berbentuk nasi atau serealia. Penggunaan suhu tinggi
menyebabkan butiran-butiran yang dihasilkan memiliki hasil yang hampir sama
dengan beras pada umumnya, yaitu mengilap, transparan, serta memiliki konsistensi
dan rasa yang hampir sama dengan butir beras asli. Metode ini lebih cocok untuk
program fortifikasi berskala besar karena biaya yang dikeluarkan cenderung lebih
besar dibandingkan dengan metode fortifikasi lainnya. Fortifikasi dengan metode
ekstrusi memiliki keunggulan mampu menjaga kandungan mikronutrien dibandingan
metode lain seperti coating atau dusting (Wieringa, dkk., 2014) apalagi dengan
kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering mencuci beras sebelum dimasak.
a. Mikroenkapsulasi
Enkapsulasi adalah suatu jenis teknik pelapisan atau pembungkusan suatu
material (inti) menggunakan substansi yang lain (lapisan pembungkus) berupa
material polimer untuk melindungi material yang ada di bagian dalamnya. Teknik
ini disebut mikroenkapsulasi apabila ukuran partikel yang dienkapsulasi kurang
dari 500 mikron. Material inti yang dienkapsulasi dapat berupa material padat,
cair, maupun gas. Material inti tersebut umumnya merupakan suatu senyawa aktif
yang perlu dilindungi dari reaksi langsung dengan lingkungan luarnya atau perlu
diisolasi hingga kondisi material inti siap untu dilepaskan dari lapisan
pembungkusnya.
Teknik enkapsulasi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
a) Memudahkan pencampuran molekul-molekul mudah rusak seperti
antioksidan, mineral, vitamin, asam-asam lemak, dan probiotik ke dalam
makanan.
b) Mencegah degradasi material inti dengan cara mengurangi adanya reaksi
langsung dengan lingkungan di luarnya.
c) Memudahkan dalam mengendalikan sifat fisik material inti.
d) Material inti yang telah dienkapsulasi dapat dikendalikan waktu rilisnya dari
lapisan pembungkusnya.
e) Memungkinkan adanya penambahan beberapa senyawa aktif pada suatu
makanan tanpa adanya reaksi satu sama lain dari senyawa-senyawa tersebut.
3. Cold Extrusion
4. Dusting
Teknik fortifikasi ini juga biasa digunakan untuk fortifikasi beras. Serbuk
fortifikan akan ditaburkan pada butiran-butiran beras. Serbuk tersebut kemudian akan
melekat pada permukaan beras karena adanya gaya elektrostatik antara beras dan
partikel fortifikan. Negara yang telah menggunakan teknik ini adalah Amerika
Serikat. Beras yang difortifikasi dengan teknik ini sebaiknya tidak dicuci sebelum
dimasak atau tidak dimasak dengan air yang terlalu banyak karena. dikhawatirkan
mineral yang ada di permukaan beras akan hilang. Hal inilah yang membuat teknik
fortifikasi tidak cocok digunakan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
yang sebagian besar masyarakatnya selalu mencuci beras terlebih dahulu sebelum
dimasak.
1. Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk
mengatasi problem kekuranganvitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan
vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi denganvitamin A adalah strategi jangka
panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Vitamin yang larut dalam
lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil
solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapatdisatukan/digabungkan
dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan kepangan.
Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan
vitamin Apalmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol atau karoten (sebagai beta-
karoten dan beta-apo-8’ karotenal)dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan
ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan
monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi oleh vitamin A.(Siagian,
2003).
2. Fortifikasi Vitamin D
Fortifikasi kalsium biasanya dilakukan pada kategori olahan produk seperti
susu formula, susu pertumbuhan, sereal (Holick konsu dan Chen, 2008) dan minuman
lainnya seperti susu kedelai. Jenis kalsium yang sering ditambahkan adalah kalsium
susu, kalsium karbonat, kalsium fosfat dan kalsium laktat (Hurrell, 1999). Fortifikasi
vitamin D biasanya dilakukan pada kategori produk seperti susu dan sereal, mentega,
margarin (Calvo et al. 2004) karena vitamin D merupakan vitamin yang larut lemak.
Jenis vitamin D yang sering ditambahkan adalah vitamin D2 dan rendal vitamin D3
dengan jumlah sedikitnya 20-25 µg/hari (Holick dan Chen, 2008).
Asam folat atau folacin dan vitamin B12 termasuk dalam kelompok vitamin
yang larut dalam air, merupakan bagian dari grup vitamin B-kompleks. Asam folat
dan vitamin B12 tidak dapat dibentuk oleh tubuh tapi berasal dari makanan atau
suplemen dari luar tubuh. Asam folat memiliki berbagai peran penting bagi tubuh,
terutama dalam pembentukan DNA dan pembentukan sel-sel baru. Asam folat
bekerja dengan bantuan vitamin B12 untuk membentuk hemoglobin pada sel darah
merah dan membantu pembentukan asam amino hemosistein menjadi metionin. Asam
folat mudah rusak akibat pemanasan, proses memasak, dan cahaya.
Pada metode kedua, campuran vitamin dan mineral bentuk tepung ditambahkan
ke dalam beras giling, kemudian diikuti dengan proses coating menggunakan bahan tidak
larut air. Kemudian sebanyak 0,5% beras yang telah difortifikasi tersebut dicampurkan ke
beras yang tidak difortifikasi sehingga jumlahnya standar beras fortifikasi. Di Amerika
Serikat misalnya, standar beras fortifikasi adalah 2,0-4,0 mg tiamin dan 13-26 mg zat besi
per 100 lb beras (Koswara, 2009)
Komplementasi adalah, upaya melengkapi zat gizi yang terdapat pada bahan
makanan yang mengandung defisiensi akan zat gizi tertentu. Protein adalah mikronutrien
yang mengandung asam amino esensial yang memiliki fungsi sebagai pertumbuhan,
perkembangan, neurotransmitter serta sebagai sumber energi. Asam amino esensial itu
meliputi lisin, metionin, treonin, triptofan, isoleusin, leusin, fenilalanin, tirosin, valin,
histidin dan sistein. Umumnya lima asam amino yang sering defisit dalam makanan pada
anak – anak adalah lisin, metionin, sistein, treonin, triptofan (WHO, 2002).
Sesuai dengan definisi, komplementasi itu adalah penggabungan dua jenis bahan
yang bertujuan untuk memenuhi atau melengkapi zat gizi pada makanan. Zat yang paling
sering untuk dilibatkan dalam proses komplementasi adalah protein yang khususnya
berasal dari pangan nabati. Hal ini bertujuan untuk melengkapi konsumsi asam amino
pada pangan nabati sehingga kualitasnya dapat menyamai asam amino pada protein
hewani.
Tempe adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu,
berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-
abuan. Tempe merupakan sumber makanan yang baik gizinya karena memiliki
kandungan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
Biji nangka belum termanfaatkan secara optimal padahal dapat diolah sebagai
bahan baku pembuatan tempe. Hayati (2009) telah mengolah biji nangka menjadi tempe
dengan kadar protein sebesar 6,85% namun hasil ini masih dibawah SNI tempe 01-3144-
1992 yaitu minimal 20%. Oleh karena itu kandungan protein tempe biji nangka perlu
ditingkatkan dengan penambahan sumber lain yaitu biji saga. Anggraini (2008)
menyebutkan biji saga memiliki kandungan protein 48,2% sehingga cocok untuk
dikomplementasikan atau melengkapi protein tempe. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi mutu tempe komplementasi dari biji nangka dan biji saga.
Teknik/langkah-langkah pembuatan:
1. Persiapan biji nangka untuk bahan baku pembuatan tempe pada penelitian ini
mengacu pada Hayati (2009) dengan sedikit modifikasi. Biji nangka dibersihkan dan
dijemur hingga kering. Setelah itu direbus selama 15 menit kemudian dikupas
kulitnya lalu dipotong-potong hingga ukurannya sebesar kedelai. Biji nangka
direndam selama 24 jam kemudian direndam dalam air panas selama 10 menit. Biji
nangka ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu 30ºC.
2. Persiapan biji saga mengacu pada Haryoko dan Kurnianto (2010) dengan sedikit
modifikasi. Biji saga dibersihkan dari kotoran, kemudian direbus selama 40 menit
untuk menghilangkan kandungan saponin. Biji saga selanjutnya direndam selama 24
jam untuk mempermudah melepaskan kulit arinya. Setelah itu, biji saga direndam
dalam air panas selama 10 menit kemudian didinginkan\
3. Biji nangka dan biji saga dicampur sesuai perlakuan dan diinokulasikan dengan laru
tempe 1% kemudian diaduk hingga rata selanjutnya dibungkus dengan plastik yang
telah dilubangi dan diinkubasi selama 36 jam.
Didapatkan hasil
1. Kadar Air
Kadar air tempe yang dihasilkan masih sesuai dengan standar mutu tempe
(SNI 01-3144-1992) yaitu maksimal 65%. Semakin banyak jumlah biji saga yang
digunakan akan mengakibatkan menurunnya kadar air yang terkandung pada tempe
yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan kandungan air biji saga yang jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan biji nangka. Anggraini (2008) menyatakan bahwa biji
saga mengandung air 9,1%. Hasil analisis di laboratorium mendapatkan kadar air biji
saga utuh 8,7%, biji saga rebus 11,3% dan biji saga yang direndam 13,9 %.
Sebaliknya semakin banyak jumlah biji nangka yang digunakan akan mengakibatkan
semakin meningkatnya kadar air tempe. Kadar air biji nangka utuh sebesar 57,5%.
2. Kadar Abu
Kadar abu yang dihasilkan masih memenuhi standar mutu tempe (SNI 01-
3144-1992) yaitu maksimal 1,5%. Semakin banyak jumlah biji saga yang digunakan
maka akan meningkatkan kadar abu tempe. Berdasarkan hasil analisis, kadar abu biji
nangka utuh sebesar 1,89% sedangkan pada biji saga utuh 5,26% dan kedelai utuh
5,13%. Fermentasi juga dapat mempengaruhi kandungan mineral pada tempe.
Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat
menjadi fosfor dan inositol (Sarwono, 2005).
3. Kadar Protein
Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung
dalam protein tersebut. Suatu protein yang dapat menyediakan asam-asam amino
essensial yang menyamai kebutuhan tubuh manusia memiliki mutu yang tinggi. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa rasio biji nangka dan biji saga berpengaruh
nyata terhadap kadar protein tempe. kadar protein tempe yang dihasilkan berkisar dari
23,57%–30,55%. Kadar protein yang dihasilkan memenuhi standar mutu tempe (SNI
01-3144-1992) yaitu min 20% Semakin banyak jumlah biji saga maka kadar protein
tempe yang dihasilkan akan semakin tinggi. Biji saga mempunyai kandungan protein
sebesar 48,2% (Anggraini, 2008) dan biji nangka 4,2% (Fairus, dkk., 2010).
Kandungan protein kedelai dari beberapa varietas yang dilepas oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian berkisar 34,0%-44,3% (Anonim, 2008). Then (1992)
menyatakan bahwa kadar protein tempe tergantung pada jumlah kandungan protein
pada bahan asal
4. Kadar lemak
Menurut Winarno (2008) lemak berperan penting sebagai sumber energi yang
lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein, memperbaiki citarasa dan
juga sebagai pelarut vitamin A, D, E dan K. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa rasio biji nangka dan biji saga berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tempe.
a kadar lemak tempe yang dihasilkan berkisar dari 4,74%–6,53%. Kadar lemak pada
tempe 100% kedelai lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar lemak tempe
komplementasi biji nangka dan biji saga. Kandungan lemak biji saga utuh sebesar
22,6% (Anggraini, 2008) sementara biji nangka hanya 0,1% (Fairus, dkk., 2010) dan
kandungan lemak dalam biji kedelai utuh sebesar 16,0%-20,8% (Anonim, 2008).
Kadar lemak yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan standar mutu tempe
yaitu minimum 10% (SNI 01-3144-1992). Walaupun secara kuantitas kandungan
lemak tempe komplementasi lebih rendah dibandingkan standar mutu tempe kedelai,
tetapi secara kualitas diasumsikan bahwa kandungan lemak tempe cukup baik
terutama bagi yang sedang melakukan diet dan penderita obesitas.
Jadi, Komplementasi biji nangka dan biji saga mempengaruhi kadar air, kadar
abu, kadar protein, kadar lemak dan mutu organoleptik tempe yaitu warna, aroma, rasa
dan penilaian keseluruhan. Tempe komplementasi yang dihasilkan secara umum masih
memenuhi standar mutu tempe (SNI 01-3144-1992) kecuali kadar lemak. Hasil evaluasi
mutu tempe menunjukkan perlakuan NS4 (biji nangka 60 : biji saga 40) menghasilkan
tempe dengan kualitas terbaik dan telah memenuhi standar SNI.