Makalah Jenis Dan Cara Peningkatan Mutu Gizi Pangan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

2.

1 Fortifikasi
2.1.1 Definisi dan Tujuan Fortifikasi
Fortifikasi adalah sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan
mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan
masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan. (WHO, 2006).

Fortifikasi pangan umumnya digunakan untuk mengatasi masalah gizi mikro pada
jangka menengah dan panjang. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat
konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Peran
pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan defisiensi, dengan demikian
menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan
kerugian sosio ekonomis. (Azhar, 2012).

2.1.2 Syarat Fortifikasi


Prihananto (2004), berpendapat: ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
fortifikasi pangan yaitu:
1. Pangan merupakan makanan yang sering dan banyak dikonsumsi penduduk termasuk
penduduk miskin.
2. Pangan hasil fortifikasi, sifat organoleptiknya tidak berubah dari sifat aslinya.
3. Pangan yang difortifikasi aman untuk dikonsumsi dan ada jaminan terhadap
kemungkinan efek samping negative.
4. Pangan yang difortifikasi, diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas
jumlahnya.
5. Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan yang
digunakan.
6. Harus ada sistem monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi.
7. Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah dan swasta.
8. Perlu mekanisme untuk melakukan evaluasi perkembangan fortifikasi.
9. Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target.
10. Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan.
2.1.3 Teknik-Teknik Fortifikasi
1. Dry Mixing

Teknik dry mixing atau pencampuran kering adalah salah satu teknik
fortifikasi seluruh bahan, baik fortifikan maupun bahan makanan yang difortifikasi
dicampur seluruhnya dalam keadaan kering. Teknik ini digunakan untuk fortifikasi
bahan makanan berbentuk bubuk seperti tepung-tepungan. serealia, susu bubuk, dan
minuman bubuk.

2. Hot Extrusion

Prinsip kerja metode hot extrusion adalah menggunakan suhu dan tekanan
tinggi pada bahan makanan yang difortifikasi. Suhu yang digunakan berkisar antara
70-100 derajat celcius dengan tekanan <110 Psi. penelitian yang dilakukan dengan
metode ini adalah fortifikasi mineral pada beras, gandum, atau produk serealia
lainnya. Tepung beras mula-mula dicampur dengan fortifikan, air, bahan pengikat,
dan bahan penstabil hingga membentuk suatu adonan. Adonan kemudian dilewatkan
di mesin press (mesin penekan, ed.) bersuhu tinggi yang juga akan memotong adonan
menjadi butiran-butiran kecil berbentuk nasi atau serealia. Penggunaan suhu tinggi
menyebabkan butiran-butiran yang dihasilkan memiliki hasil yang hampir sama
dengan beras pada umumnya, yaitu mengilap, transparan, serta memiliki konsistensi
dan rasa yang hampir sama dengan butir beras asli. Metode ini lebih cocok untuk
program fortifikasi berskala besar karena biaya yang dikeluarkan cenderung lebih
besar dibandingkan dengan metode fortifikasi lainnya. Fortifikasi dengan metode
ekstrusi memiliki keunggulan mampu menjaga kandungan mikronutrien dibandingan
metode lain seperti coating atau dusting (Wieringa, dkk., 2014) apalagi dengan
kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering mencuci beras sebelum dimasak.

Contoh-contoh produk hot extrusion adalah sebagai berikut:

a. Mikroenkapsulasi
Enkapsulasi adalah suatu jenis teknik pelapisan atau pembungkusan suatu
material (inti) menggunakan substansi yang lain (lapisan pembungkus) berupa
material polimer untuk melindungi material yang ada di bagian dalamnya. Teknik
ini disebut mikroenkapsulasi apabila ukuran partikel yang dienkapsulasi kurang
dari 500 mikron. Material inti yang dienkapsulasi dapat berupa material padat,
cair, maupun gas. Material inti tersebut umumnya merupakan suatu senyawa aktif
yang perlu dilindungi dari reaksi langsung dengan lingkungan luarnya atau perlu
diisolasi hingga kondisi material inti siap untu dilepaskan dari lapisan
pembungkusnya.
Teknik enkapsulasi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
a) Memudahkan pencampuran molekul-molekul mudah rusak seperti
antioksidan, mineral, vitamin, asam-asam lemak, dan probiotik ke dalam
makanan.
b) Mencegah degradasi material inti dengan cara mengurangi adanya reaksi
langsung dengan lingkungan di luarnya.
c) Memudahkan dalam mengendalikan sifat fisik material inti.
d) Material inti yang telah dienkapsulasi dapat dikendalikan waktu rilisnya dari
lapisan pembungkusnya.
e) Memungkinkan adanya penambahan beberapa senyawa aktif pada suatu
makanan tanpa adanya reaksi satu sama lain dari senyawa-senyawa tersebut.

Kaitannya dengan fortifikasi bahan makanan, teknik mikroenkapsulasi


juga dianggap sebagai salah satu metode yang efektif. khususnya pada fortifikasi
ganda. Beberapa fortifikan seperti mineral, vitamin, atau bahan-bahan lainnya
yang difortifikasi bersama-sama dalam satu makanan dapat saling berinteraksi dan
memunculkan efek, baik yang menguntungkan maupun yang tidak. Dengan
mengenkapsulasi masing- masing fortifikan maka efek samping dari reaksi
antarfortifikan tersebut sintesis maupun alami, bergantung material inti dan
karakteristik hasil mikrokapsul yang diinginkan.dapat diminimalisasi.

b. Bahan Dasar Lapisan Pembungkus

Bahan dasar pembungkus material inti dalam teknik mikroenkapsulasi


pada dasarnya dapat dibuat dari berbagai jenis polimer.

c. Teknik-teknik dalam Proses Mikroenkapsulasi


a) Spray-drying
b) Spray-cooling atau spray-chilling
c) Freeze-drying
d) Fluidized bed coating

3. Cold Extrusion

Proses cold-extrusion hampir sama dengan hot extrusion. Perbedaannya


terletak pada suhu yang digunakan, yakni dibawah 70 derajat celcius. Teknik ini juga
lebih banyak digunakan untuk fortifikasi beras. Adonan yang terdiri atas tepung
beras, fortifikan, dan air dilewatkan pada alat penggiling yang juga akan memotong
adonan menjadi partikel-partikel berukuran kecil menyerupai beras. Karena tidak
menggunakan suhu yang tinggi, maka beras yang dihasilkan belum matang, tidak
mengilap, dan penampakannya tidak terlalu mirip dengan butiran beras asli. Negara
yang menggunakan teknik ini untuk memfortifikasi beras diantaranya adalah Amerika
Serikat, Filipina, dan Costa Rica.

4. Dusting

Teknik fortifikasi ini juga biasa digunakan untuk fortifikasi beras. Serbuk
fortifikan akan ditaburkan pada butiran-butiran beras. Serbuk tersebut kemudian akan
melekat pada permukaan beras karena adanya gaya elektrostatik antara beras dan
partikel fortifikan. Negara yang telah menggunakan teknik ini adalah Amerika
Serikat. Beras yang difortifikasi dengan teknik ini sebaiknya tidak dicuci sebelum
dimasak atau tidak dimasak dengan air yang terlalu banyak karena. dikhawatirkan
mineral yang ada di permukaan beras akan hilang. Hal inilah yang membuat teknik
fortifikasi tidak cocok digunakan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
yang sebagian besar masyarakatnya selalu mencuci beras terlebih dahulu sebelum
dimasak.

5. Teknik yang Melibatkan Proses Kimiawi


a. Coacervation
Coacervation adalah proses pemisahan dua fase cair dalam sebuah koloid.
b. Cocrystallization
Teknik ini merupakan teknik popular untuk menggabungkan komponen aroma
dengan sirop sukrosa melalui kristalisasi spontan di bawah suhu >120 derajat
celcius dan kelembapan rendah (95-97 derajat Brix). Karena kemudahan dalam
prosesnya, teknik ini memiliki peluang untuk digunakan secara lebih luas di
masa mendatang.

2.1.4 Produk Fortifikasi


Fortifikasi terdiri dari 2 jenis, yaitu:
1. Wajib (Mandatory), yaitu penambahan zat gizi pada produk pangan yang diwajibkan
oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang atau peraturan pemerintah. Fortifikasi
ini dilakukan atas dasar masalah defisiensi gizi pada masyarakat sehingga bertujuan
untuk mengatasi permasalahan tersebut dan meningkatkan status gizi masyarakat.
Contoh:
a. Penambahan iodium pada garam.
b. Penambahan Fe, Zn, asam folat, vitamin B1, dan B2 pada tepung terigu.
c. Penambahan vitamin A pada minyak goreng sawit.
2. Sukarela (Voluntary), yaitu penambahan zat gizi pada produk pangan yang dilakukan
atas keinginan produsen dengan tujuan meningkatkan nilai tambah produk pangan.
Contoh:
a. Penambahan vitamin A pada margarin.
b. Penambahan vitamin dan mineral pada susu formula dan snack.

Program fortifikasi pangan yang dilakukan di seluruh dunia meliputi:

1. Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk
mengatasi problem kekuranganvitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan
vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi denganvitamin A adalah strategi jangka
panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Vitamin yang larut dalam
lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil
solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapatdisatukan/digabungkan
dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan kepangan.
Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan
vitamin Apalmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol atau karoten (sebagai beta-
karoten dan beta-apo-8’ karotenal)dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan
ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan
monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi oleh vitamin A.(Siagian,
2003).

Tidak semua bahan makanan dapat difortifikasi dengan vitamin A. Beberapa


jenis bahan makanan sehari-hari yang dapat difortifikasi dengan vitamin A, adalah :
Minyak Goreng, Tepung Terigu, Gula, Margarin/Mentega dan Susu. Untuk Indonesia
dengan alasan tertentu saat ini, Pemerintah mengatur hanya minyak goreng sawit
(MGS) yang dianjurkan untuk difortifikasi dengan vitamin A. Direncanakan mulai
tahun 2018 Pemerintah mengharuskan atau mewajibkan semua minyak goreng sawit
(MGS) difortifikasi dengan vitamin A. Karena sebagian terbesar rumah tangga
Indonesia menggunakan MGS dalam makanan sehari-hari, termasuk rumah tangga
miskin. Dengan adanya kewajiban MGS difortifikasi dengan vitamin A maka hampir
semua rumah tangga termasuk keluarga miskin, yang jarang terjangkau makanan ber-
vitamin A tetapi menggunakan minyak goreng sawit untuk memasak, akan dapat
menikmati makanan ber-vitamin A tanpa harus menambah uang belanja. Selain
keluarga miskin, fortifikasi MGS dengan vitamin A juga akan menambah asupan
vitamin A pada keluarga mampu tetapi jarang makan sayur dan buah karena tidak
suka atau tidak tahu peran pentingnya.

2. Fortifikasi Vitamin D
Fortifikasi kalsium biasanya dilakukan pada kategori olahan produk seperti
susu formula, susu pertumbuhan, sereal (Holick konsu dan Chen, 2008) dan minuman
lainnya seperti susu kedelai. Jenis kalsium yang sering ditambahkan adalah kalsium
susu, kalsium karbonat, kalsium fosfat dan kalsium laktat (Hurrell, 1999). Fortifikasi
vitamin D biasanya dilakukan pada kategori produk seperti susu dan sereal, mentega,
margarin (Calvo et al. 2004) karena vitamin D merupakan vitamin yang larut lemak.
Jenis vitamin D yang sering ditambahkan adalah vitamin D2 dan rendal vitamin D3
dengan jumlah sedikitnya 20-25 µg/hari (Holick dan Chen, 2008).

3. Fortifikasi Asam Folat Dalam Tepung


Susu beras fortifikasi mengandung vitamin, mineral, dan asam lemak tak
jenuh yang sangat baik bagi kesehatan. Defisiensi asam folat merupakan fokus
permasalahan gizi yang terjadi di Indonesia. Dengan kandungan asam folat yang
sangat tinggi yaitu 599 µg yang mencukupi 150% AKG (angka kecukupan gizi)
dalam tiap penyajian (250 mL), susu beras fortifikasi sangat baik sebagai sumber
nutrisi ibu hamil dan menyusui serta nutrisi bagi balita.  Asam folat tidak dapat
dibentuk oleh tubuh oleh karena itu diperlukan asupan yang berasal dari makanan
atau suplemen dari luar tubuh. Asam folat berperan dalam pembentukan sel-sel otak,
meningkatkan fungsi sistem syaraf, mencegah anemia pada ibu hamil, mencegah
cacat lahir, berperan dalam pembentukan sel darah merah dan pertumbuhan anak,
memperlambat penuaan dini dan lain sebagainya.

Asam folat atau folacin dan vitamin B12 termasuk dalam kelompok vitamin
yang larut dalam air, merupakan bagian dari grup vitamin B-kompleks. Asam folat
dan vitamin B12 tidak dapat dibentuk oleh tubuh tapi berasal dari makanan atau
suplemen dari luar tubuh. Asam folat memiliki berbagai peran penting bagi tubuh,
terutama dalam pembentukan DNA dan pembentukan sel-sel baru. Asam folat
bekerja dengan bantuan vitamin B12 untuk membentuk hemoglobin pada sel darah
merah dan membantu pembentukan asam amino hemosistein menjadi metionin. Asam
folat mudah rusak akibat pemanasan, proses memasak, dan cahaya.

4. Fortifikasi Yodium Dalam Garam


Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu
sebabnya, penganekaragamanmakanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di
daerah dengan tipe tanah denganmenggunakan pangan yang sama tidak dapat
meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupunkomunitas. Diantara strategi-
strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalahfortifikasi
pangan dengan Yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium
dalam diesyang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti,
susu, gula, dan air tela dicobaIodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang
diterima di kebanyakan negara di dunia sebabgaram digunakan secara luas dan
serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalahsederhana dan tidak
mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium
Iodat(KID3). Iodat lebih stabil dalam ‘impure salt ‘ pada penyerapan dan kondisi
lingkungan (kelembaban)yang buruk penambahan tidak menambah warna,
penambahan dan rasa garam. Negara-negara yangdengan program iodisasi garam
yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akanprevalensi
GAKI. (Siagian, 2003).

Di Indonesia iodium ditambahkan dalam garam sebagai zat aditif atau


suplemen dalam bentuk kalium yodat (KIO3) berupa larutan pada lapisan tipis garam,
sehingga diperoleh campuran merata. Garam beriodium dibutuhkan tubuh untuk
membuat hormon yang mengatur pertumbuhan dan kecerdasan. Fortifikasi yodium ini
menjadi penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mencegah
stunting (kondisi gagal tumbuh kembang pada balita). Selain itu, hal ini juga untuk
meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk garam dalam negeri.

5. Fortifikasi Zat Besi


Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi
gizi besi, fortifikasi zat gizi besidipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi
termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi
yang terbesar, dan menjamin pendekatanjangka panjang (Cook and Reuser, 1983).
Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan.
Inilahkeuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran
produk-produk yangdiperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat
besi, yaitu mereka yang rentan defisiezat besi, merupakan strategi yang aman dan
efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989).Pilihan pendekatan
ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977).
Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa
besi yang dapatditerima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus
diperhatikan bahwa wanita hamilmembutuhkan zat besi sangat besar selama akhir
trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapaiortifikan yang umum digunakan untuk
fortifikasi besi seperti besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besiammonium sulfat, dan
lain-lain. (Siagian, 2003).

Fortifikasi zat besi biasanya dalam susu, tepung jagung, kacang-kacangan,


millet mutiara, dan tepung terigu. Tingginya konsumsi tepung terigu untuk
masyarakat menengah ke bawah menjadi pertimbangan positif bagi Kementerian
Kesehatan untuk melakukan fortifikasi terhadap tepung terigu terutama zat besi. hal
ini dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih mengalami mal
nutrisi zat besi yang menyebabkan penyakit anemia. Fortifikasi zat besi dibakukan
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 3751:2009 yang sifatnya sukarela atau
bahkan menjadi wajib yang amsih dalam kajian kebijakan. Dengan demikian harapan
mengurangi malnutrisi bagi masyarakat menengah ke bawah menjadi tercapai.
2.2 Suplementasi
2.2.1 Definisi dan Tujuan Suplementasi
Suplementasi adalah peningkatan nilai gizi pada makanan dengan cara
penambahan bahan makanan lain kedalam bahan makanan utama suatu makanan dengan
tujuan agar zat gizi terpenuhi dan saling melengkapi (Teti, 2011).

Suplementasi pangan bertujuan untuk menambah konsumsi pangan seharihari


yang kurang yang diakibatan oleh berbagai hal seperti kurangnya pengertian, lemahnya
ekonomi, dan sebagainya. Penanganan defisiensi zat besi melalui suplementasi tablet besi
merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan kadar zat besi dalam jangka
pendek. Suplementasi biasanya ditujukan pada golongan yang rawan mengalami
defisiensi besi seperti ibu hamil dan ibu menyusui. Di Indonesia, pemerintah melakukan
program suplementasi gratis pada ibu hamil melalui Puskesmas dan Posyandu, dengan
menggunakan tablet besi folat (mengandung 60 mg elemental besi dan 0,25 mg asam
folat).

2.2.2 Syarat Suplementasi


Suplementasi harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan tertentu. Untuk
tujuan meningkatkan nilai gizi suatu bahan makanan, persyaratan yang harus dipenuhi
antara lain sebagai berikut : (Shofiyannida,2007)
1. Zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan cita rasa pada makanan.
2. Zat gizi tersebut harus stabil selama penyimpanan.
3. Zat gizi tersebut tidak menyebabkan saling merugikan atau menimbulkan efek
samping antar zat gizi lain yang terkandung dalam bahan makanan.
4. Produk
c. Suplementasi tepung tinggi kandungan protein merupakan solusi yang efektif
untuk penanggulangan masalah KEP. Tepung dengan kandungan protein tinggi
yaitu tepung ikan-tempe digunakan sebagai suplemen pada pembuatan biskuit ubi
kayu. Biskuit sebagai pangan pembawa zat gizi karena sudah sangat dikenal serta
dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat.
d. Cerelac merupakan produk suplementasi antara serealia dengan sayuran. Bubur
Cerelac digunkan untuk bayi usia >6 bulan sebagai MP-ASI. Bubur Cerelac
diperkaya dengan kandungan CHE (Carbohydrate Hydrolysed Enzimatically)
untuk menghidrolisa karbohidrat secara alami, DHA, Probiotik, Zat Besi, dan
Vitamin A dan C.
2.3 Enrichment
2.3.1 Definisi dan Tujuan Enrichment
Enrichment (memperkaya): penambahan zat gizi spesifik kedalam pangan dalam
jumlah tertentu yang awalnya terdapat dalam jumlah sedikit dalam bahan. Pengkayaan
penting dilakukan untuk mencukup kan kadar gizi tertentu dari suatu pangan alami yang
sangat dibutuhkan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat
gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Penambahan nutrien ke
dalam produk makanan untuk mengatasi defisiensi alamiah. Misalnya fortifikasi tepung
keteladengan vitamin B kompleks, besi, dan kalsium. Fortifikasi sinonim dengan
“pengayaan” atau enrichment dan lebih berimplikasi ke penambahan substansial
dibanding istilah suplementasi (Makfoeld et al, 2002).

Enrichment (pengkayaan) biasanya mengacu kepada penambahan suatu atau


lebih zat gizi pada pangan asal pada taraf yang diterapkan dalam standar internasional.

Tujuan dari dasar semua program-program fortifikasi, suplementasi, enrichment


dan komplementasi adalah untuk menjamin bahwa zat gizi mikro yang dibutuhkan
tersedia dan dikonsumsi dalam jumlah cukup oleh penduduk ( terutama penduduk yang
rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro tersebut ) . Strategi strategi yang digunakan
harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi
yang tersedia. Kombinasi beberapa interferensi mencakup promosi pemberian ASI
modifikasi makanan ( misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan meningkatkan
konsumsi pangan).

2.3.2 Syarat Enrichment

Grain type or coated grain enrichment dapat dilakukan dengan melakukan


spraying larutan premix vitamin dan mineral ke dalam beras yang ditempatkan dalam
silinder berputar, diikuti dengan pengeringan menggunakan udara panas, penambahan
bahan tidak larut air, penambahan zat besi, dan penambahan kedua dari bahan tidak larut
air (Koswara, 2009).

2.3.3 Cara Pengolahan


Metode enrichment yang menyangkut penambahan zat-zat gizi ke produk hasil
penggilingan. Dalam teknik ini terdapat dua kelompok enrichment "jenis tepung" dan
"jenis biji utuh". Dalam enrichment jenis tepung, campuran vitamin dan mineral
berbentuk tepung dalam jumlah 1, 0.5 atau 0.25 oz. per 100 lbs of rice (aw/w ratio of
1:1600, 1:3200 atau 1:6400) ditambahkan ke dalam beras giling. Penambahan premiks
dilakukan segera setelah penggilingan karena adanya panas dan uap air dalam permukaan
beras akan mempermudah pelekatan tepung vitamin dan mineral.

Pada metode kedua, campuran vitamin dan mineral bentuk tepung ditambahkan
ke dalam beras giling, kemudian diikuti dengan proses coating menggunakan bahan tidak
larut air. Kemudian sebanyak 0,5% beras yang telah difortifikasi tersebut dicampurkan ke
beras yang tidak difortifikasi sehingga jumlahnya standar beras fortifikasi. Di Amerika
Serikat misalnya, standar beras fortifikasi adalah 2,0-4,0 mg tiamin dan 13-26 mg zat besi
per 100 lb beras (Koswara, 2009)

2.3.4 Contoh Produk


1. Beras Gold
2. Enrichment Artemia dengan emulsi lipid
3. Enrichment antioksidan untuk beras merah artificial dengan ekstrak pewarna merah
alami Rhoeo Discolor L. Her.
2.4 Komplementasi
2.4.1 Definisi Komplementasi
Komplementasi adalah suatu upaya melengkapi zat gizi yang terdapat pada bahan
makanan yang mengandung defisiensi akan zat gizi tertentu.

Komplementasi adalah, upaya melengkapi zat gizi yang terdapat pada bahan
makanan yang mengandung defisiensi akan zat gizi tertentu. Protein adalah mikronutrien
yang mengandung asam amino esensial yang memiliki fungsi sebagai pertumbuhan,
perkembangan, neurotransmitter serta sebagai sumber energi. Asam amino esensial itu
meliputi lisin, metionin, treonin, triptofan, isoleusin, leusin, fenilalanin, tirosin, valin,
histidin dan sistein. Umumnya lima asam amino yang sering defisit dalam makanan pada
anak – anak adalah lisin, metionin, sistein, treonin, triptofan (WHO, 2002).

Komplementasi adalah pencampuran 2 atau lebih bahan makanan sehingga


kekurangan zat gizi pada bahan makanan dilengkapi dari bahan makanan lain yang
ditambahkan Berbeda dengan jenis nutrifikasi lain yang dilakukan dengan teknologi
penambahan zat gizi tertentu, komplementasi merupakan pencampuran dua atau lebih
bahan makanan sehingga melengkapi kekurangan zat gizi pada makanan.

2.4.2 Tujuan Komplementasi

Sesuai dengan definisi, komplementasi itu adalah penggabungan dua jenis bahan
yang bertujuan untuk memenuhi atau melengkapi zat gizi pada makanan. Zat yang paling
sering untuk dilibatkan dalam proses komplementasi adalah protein yang khususnya
berasal dari pangan nabati. Hal ini bertujuan untuk melengkapi konsumsi asam amino
pada pangan nabati sehingga kualitasnya dapat menyamai asam amino pada protein
hewani.

2.4.3 Contoh Produk


Biji nangka dan biji saga sebagai bahan baku pembuatan tempe komplementasi

Tempe adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu,
berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-
abuan. Tempe merupakan sumber makanan yang baik gizinya karena memiliki
kandungan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh

Biji nangka belum termanfaatkan secara optimal padahal dapat diolah sebagai
bahan baku pembuatan tempe. Hayati (2009) telah mengolah biji nangka menjadi tempe
dengan kadar protein sebesar 6,85% namun hasil ini masih dibawah SNI tempe 01-3144-
1992 yaitu minimal 20%. Oleh karena itu kandungan protein tempe biji nangka perlu
ditingkatkan dengan penambahan sumber lain yaitu biji saga. Anggraini (2008)
menyebutkan biji saga memiliki kandungan protein 48,2% sehingga cocok untuk
dikomplementasikan atau melengkapi protein tempe. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi mutu tempe komplementasi dari biji nangka dan biji saga.

Teknik/langkah-langkah pembuatan:

1. Persiapan biji nangka untuk bahan baku pembuatan tempe pada penelitian ini
mengacu pada Hayati (2009) dengan sedikit modifikasi. Biji nangka dibersihkan dan
dijemur hingga kering. Setelah itu direbus selama 15 menit kemudian dikupas
kulitnya lalu dipotong-potong hingga ukurannya sebesar kedelai. Biji nangka
direndam selama 24 jam kemudian direndam dalam air panas selama 10 menit. Biji
nangka ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu 30ºC.
2. Persiapan biji saga mengacu pada Haryoko dan Kurnianto (2010) dengan sedikit
modifikasi. Biji saga dibersihkan dari kotoran, kemudian direbus selama 40 menit
untuk menghilangkan kandungan saponin. Biji saga selanjutnya direndam selama 24
jam untuk mempermudah melepaskan kulit arinya. Setelah itu, biji saga direndam
dalam air panas selama 10 menit kemudian didinginkan\
3. Biji nangka dan biji saga dicampur sesuai perlakuan dan diinokulasikan dengan laru
tempe 1% kemudian diaduk hingga rata selanjutnya dibungkus dengan plastik yang
telah dilubangi dan diinkubasi selama 36 jam.

Didapatkan hasil

1. Kadar Air
Kadar air tempe yang dihasilkan masih sesuai dengan standar mutu tempe
(SNI 01-3144-1992) yaitu maksimal 65%. Semakin banyak jumlah biji saga yang
digunakan akan mengakibatkan menurunnya kadar air yang terkandung pada tempe
yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan kandungan air biji saga yang jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan biji nangka. Anggraini (2008) menyatakan bahwa biji
saga mengandung air 9,1%. Hasil analisis di laboratorium mendapatkan kadar air biji
saga utuh 8,7%, biji saga rebus 11,3% dan biji saga yang direndam 13,9 %.
Sebaliknya semakin banyak jumlah biji nangka yang digunakan akan mengakibatkan
semakin meningkatnya kadar air tempe. Kadar air biji nangka utuh sebesar 57,5%.
2. Kadar Abu
Kadar abu yang dihasilkan masih memenuhi standar mutu tempe (SNI 01-
3144-1992) yaitu maksimal 1,5%. Semakin banyak jumlah biji saga yang digunakan
maka akan meningkatkan kadar abu tempe. Berdasarkan hasil analisis, kadar abu biji
nangka utuh sebesar 1,89% sedangkan pada biji saga utuh 5,26% dan kedelai utuh
5,13%. Fermentasi juga dapat mempengaruhi kandungan mineral pada tempe.
Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat
menjadi fosfor dan inositol (Sarwono, 2005).
3. Kadar Protein
Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung
dalam protein tersebut. Suatu protein yang dapat menyediakan asam-asam amino
essensial yang menyamai kebutuhan tubuh manusia memiliki mutu yang tinggi. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa rasio biji nangka dan biji saga berpengaruh
nyata terhadap kadar protein tempe. kadar protein tempe yang dihasilkan berkisar dari
23,57%–30,55%. Kadar protein yang dihasilkan memenuhi standar mutu tempe (SNI
01-3144-1992) yaitu min 20% Semakin banyak jumlah biji saga maka kadar protein
tempe yang dihasilkan akan semakin tinggi. Biji saga mempunyai kandungan protein
sebesar 48,2% (Anggraini, 2008) dan biji nangka 4,2% (Fairus, dkk., 2010).
Kandungan protein kedelai dari beberapa varietas yang dilepas oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian berkisar 34,0%-44,3% (Anonim, 2008). Then (1992)
menyatakan bahwa kadar protein tempe tergantung pada jumlah kandungan protein
pada bahan asal
4. Kadar lemak
Menurut Winarno (2008) lemak berperan penting sebagai sumber energi yang
lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein, memperbaiki citarasa dan
juga sebagai pelarut vitamin A, D, E dan K. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa rasio biji nangka dan biji saga berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tempe.
a kadar lemak tempe yang dihasilkan berkisar dari 4,74%–6,53%. Kadar lemak pada
tempe 100% kedelai lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar lemak tempe
komplementasi biji nangka dan biji saga. Kandungan lemak biji saga utuh sebesar
22,6% (Anggraini, 2008) sementara biji nangka hanya 0,1% (Fairus, dkk., 2010) dan
kandungan lemak dalam biji kedelai utuh sebesar 16,0%-20,8% (Anonim, 2008).
Kadar lemak yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan standar mutu tempe
yaitu minimum 10% (SNI 01-3144-1992). Walaupun secara kuantitas kandungan
lemak tempe komplementasi lebih rendah dibandingkan standar mutu tempe kedelai,
tetapi secara kualitas diasumsikan bahwa kandungan lemak tempe cukup baik
terutama bagi yang sedang melakukan diet dan penderita obesitas.

Jadi, Komplementasi biji nangka dan biji saga mempengaruhi kadar air, kadar
abu, kadar protein, kadar lemak dan mutu organoleptik tempe yaitu warna, aroma, rasa
dan penilaian keseluruhan. Tempe komplementasi yang dihasilkan secara umum masih
memenuhi standar mutu tempe (SNI 01-3144-1992) kecuali kadar lemak. Hasil evaluasi
mutu tempe menunjukkan perlakuan NS4 (biji nangka 60 : biji saga 40) menghasilkan
tempe dengan kualitas terbaik dan telah memenuhi standar SNI.

Anda mungkin juga menyukai