Laporan Kasus: Vini Tien Hajjar Dwianti

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

TUBERCULOSIS PARU

Disusun Oleh :
Vini Tien Hajjar Dwianti

Pembimbing :
dr. Muhammad Syaifullah Sp.P

dr. Roza Septiana Putri

Internsip Stase IGD


RSUD PASAR REBO Jakarta Timur
Periode Mei 2022 - November 2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Vini Tien Hajjar Dwianti

Judul Laporan Kasus : Tuberculosis Paru

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Laporan Kasus Pasien pada program Internsip

Bagian Stase IGD RSUD PASAR REBO Jakarta.

Jakarta, Oktober 2022

Mengetahui, Pembimbing

dr. Muhammad Syaifullah Sp.P dr. Roza Septiana Putri

2
BAB I
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny. S
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Umur : 43 tahun (07-03-1976)
• Alamat : Jakarta Timur
• No. RM : 2021-888894
• Tanggal Masuk : 02 September 2022 ( 15.03:20 )
• Ruang Rawat : Ruang Melati

2. ANAMNESIS
Autoanamnesa

Keluhan utama : Sesak


Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan menggunakan


Ambulance Gawat Darurat, rujukan dari RSUD Ciracas. Dengan
keluhan sesak sejak 1 hari SMRS, sesak dirasa semakin memberat.
Sesak muncul tiba-tiba saat sedang istirahat. Demam disangkal,
Batuk berdarah selama lebih dari 3 minggu, batuk berdarah 2 kali,
penurunan berat badan 2 kilogram dalam satu bulan, keringat malam
hari disangkal, penurunan nafsu makan dalam 1 bulan terakhir,
lemas. Konsumsi FDC sejak 12 agustus 2022. Tahun 2017 pernah
terkena TB Paru dan melakukan pengobatan selama 6 bulan hingga
tuntas.

3
Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat Diabetes Melitus (-)

2. Riwayat Hipertensi (+)

3. Riwayat Asma Bronkhial

4. Riwayat pengobatan TB Paru tahun 2017

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
GCS : 15

Tanda Vital
Tekanan Darah : 103/72 mmHg
Nadi : 105 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,2 °C
SpO2 : 99%

Pemeriksaan Kepala dan Leher


Kepala : Normocephal,
Mata. : Anemis (-), Ikterus (-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya
+/+
Bibir : Sianosis (-)
Leher. : JVP Tidak Meningkat

Pemeriksaan Thoraks

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan


Palpasi : Massa tumor (-), Nyeri tekan (-), Vocal fremitus simetris normal
Perkusi : Paru kiri Sonor , Paru kanan Sonor
Auskultasi : Bunyi Pernapasan Vesikuler,
Bunyi tambahan : Ronchi (+/+), Wheezing (-/-)

4
Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : Apeks jantung tidak tampak


Palpasi : Apeks jantung tidak teraba,
Auskultasi : Bunyi jantung SI/II reguler, murmur (-),
gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas


Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)

Pemeriksaan Ekstremitas

Extremitas hangat Edema -/-/-/-


4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. EKG

Interpretasi:

• Irama : Reguler

• frekuensi : 96 x/menit

• Axis : Normoaxis

• P-R interval : 0,14 s

5
• QRS : 0,06 s

• Kesimpulan : Normal sinus rhytm

3. Laboratorium Darah 02/09/2022 15.40


Jenis Pemeriksaan Hasil
Hematologi rutin
Hemoglobin 13.5 g/dL
Hematokrit 39 %
Eritrosit 4.7 juta/µL
Leukosit 10.98 10’3/µL
Trombosit 264 ribu/µL
Hitung Jenis
Basofil 0 %
Eosinofil 5 %
Neutrofil Batang 0 %
Neutrofil Segmen 68 %
Limfosit 21 %
Monosit 6 %
LUC 0 %
Limfosit Absolut 2306 /µL
Neutrofil Limfosit Ratio 3.24
Kimia Klinik
SGOT 19 U/L
SGPT 15 U/L
Ureum Darah 19 mg/dL
Kreatinin Darah 1.37 mg/dL
eGFR 44.7 mL/min/1.73 m’2
GDS 99 mg/dL
Elektrolit

6
Na 141 mmol/L
K 3.3 mmol/L
Cl 102 mmol/L

4. Rontgen Thorax (di RSU ciracas tanggal 2/9/2022)


-
Interpretasi :
Trachea tampak baik
CTR<50%
Bentuk dan letak jantung normal
Corakan vaskuler paru tampak meningkat
Tampak bercak pada perihilar bilateral dan paracardial kanan yang
bertambah dibandingkan sebelumnya
Diafragma kanan dan kiri tampak normal
Sinus costoprenicus kanan dan kiri lancip
Tulang dan jaringan lunak ekstrapulmo yang tervisualisasi tampak
baik

Kesan :
Jantung tak membesar
Gambaran Bronchopneumonia dengan infiltrate bertambah DD TB
Paru

7
5. Pemeriksaan dahak TCM

TEST RESULTS :
MTB DETECTED VERY LOW

5. DIAGNOSIS
TB paru on OAT Minggu ke 3
AKI
Hipokalemia

8
6. TERAPI AWAL di RSUD Ciracas

IVFD RA 500cc/ 12 jam


Metilprednisolon 62,5mg IV
Inhalasi Combivent 1 resp ( 3 kali)
Levofloxasin 1x750mg IV
Inj Omeprazole 2x40 mg
O2 nasal 1/r
OAT lanjut

7. TERAPI LANJUTAN

2022-09-02 S / sesak berkurang Jawaban konsulen :


18.06 O/ kes : CM GCS : 15 Terapi Lanjut
TD : 102/70 HR : 115 Tambah Viccilin
RR : 22 SpO2 : 99 3x1 vial IV
Mata : CA-/- SI -/- Cek HTL 2 hari
Th : ves +/+ rh -/- lagi
whez -/- Cek albumin hari
BJ I&II reg, gal- mur- ini
Abd : soepel BU + Konsul dengan PD
Ext : akral hangat ya dg AKI dan
CRT <2s hypokalemia
A/
TB on OAT minggu
ke 3
AKI
Hipokalemia

P/ konsul SpP
Dokter konsulen : dr.
Muhammad
Syaifullah Sp.P
2022-09-02 S / sesak berkurang Jawaban konsulen :
21:56 O/ kes : CM GCS : 15 Ksr 1x1

9
TD : 102/70 HR : 115
RR : 22 SpO2 : 99
Mata : CA-/- SI -/-
Th : ves +/+ rh -/-
whez -/-
BJ I&II reg, gal- mur-
Abd : soepel BU +
Ext : akral hangat
CRT <2s
A/
TB on OAT minggu
ke 3
AKI
Hipokalemia

P/ konsul SpPD
Dokter konsulen : dr.
Ferliyani Sp.PD

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim
paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti
pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.

3.2 Etiologi dan transmisi TB


Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB:
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii.
M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling
sering ditemukan, dan menular antar manusia melalui rute udara. Tidak
ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan M.TB. Namun, M.
bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan melakukan
penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan limfe
orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi
tersebut. Angka kejadian infeksi M.bovis pada manusia sudah mengalami
penurunan signifikan di negara berkembang, hal ini dikarenakan proses
pasteurisasi susu dan telah diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis
yang efektif pada ternak. Infeksi terhadap organisme lain relatif jarang
ditemukan.
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika
seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara.
Percik renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur

11
pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya
induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi
terhadap lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik, yang
merupakan partikel k dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat
infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena
ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan
mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan
replikasi.
Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi.
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.

Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis
yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil.
Kasus yang paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil
pemeriksaan sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling
infeksius. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat
tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak
infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru. Individu dengan
TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi
mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melalukan transmisi ke
organisme lain.
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan
minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam
waktu yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh
tuberkel basili dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih
lama di dalam keadaan yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang

12
lama dengan orang terinfeksi meningkatkan risiko penularan. Apabila
terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut berkembang menjadi
penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada
individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan
berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan
menjadi penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah
terinfeksi dan setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling
tinggi terdapat pada dua tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana
setengah dari kasus terjadi. Kelompok dengan risiko tertinggi terinfeksi
adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia. Orang dengan
kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif
dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal. 50- 60%
orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit
TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana
sistem imun mengalami penekanan seperti pada kasus silikosis,
diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang.

3.3 Faktor risiko TB


Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :
1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang.
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
infeksius.
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh:

13
lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan

3.4 Patogenesis
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan
trakea-bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau
alveolus, di mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh
makrofag alveolus yang kemudian akan memproduksi sebuah respon
nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi
bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya.
Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini,
basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag. Tuberkel bakteri akan
tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam sekali di dalam
makrofag. endotoksin ataupun eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi
imun segera pada host yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus
tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang
merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun
seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test.
Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk
berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi
respon imun.
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar
melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran
darah dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui
memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan
limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria.
Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan
otak, di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang
pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat
berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler

14
spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya.
1. TB Primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.
Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering
diartikan sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia
berapapun pada individu yang belum pernah terpapar M.TB
sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan
menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian
bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili
kemudian mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk
mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid yang
dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi
di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap
kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus infeksi dan
memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut
sebagai Ghon focus.
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui
jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks
(Ghon) primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal
nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk
suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk
menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini
mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan
replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan
jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag
yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host
adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”.
Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan
hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam

15
beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat
perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari sistem
limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan
penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer progresif pada
parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus primer, sehingga
dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran nekrosis
kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis
yang serupa dengan TB post primer.
2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode
laten yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi
primer. Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena
reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai
kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi
ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali
oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam
sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi
primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi
penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada
orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan gambaran
limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-
primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga
melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer
adalah ditemukannya kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan
paru yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan hasil yang
positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal.

16
3.5 Manifestasi Klinis
Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat
menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:

1. Batuk berdahak
2. Batuk berdahak dapat bercampur darah
3. Dapat disertai nyeri dada
4. Sesak napas

Dengan gejala lain meliputi :

1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari

3.6 Klasifikasi dan tipe pasien TB


Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai
terduga TB).
Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang terbukti
positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji bakteriologi adalah
sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
1) Pasien TB paru BTA positif
2) Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
4) Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

17
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien
TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis.
Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan
pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya
dianjurkan pada pasien dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung diagnosis TB
2. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal: pada kasus
meningitis TB, TB milier, pasien dengan HIV positif, perikarditis TB dan
TB adrenal.

18
Klasifikasi TB
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan
berdasarkan :

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :


a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat
lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru harus
diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru
dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila
memakai obat program).

19
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut :
c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan
dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi
atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan OAT
1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan
berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya karena


terdapat risiko resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya

20
dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat menggunakan tercepat
yang telah disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif atau LPA (Hain test dan
genoscholar) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian OAT.

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Berdasarkan hasil


uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari :
1. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
2. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
3. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid
(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
4. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).
5. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin
baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain
yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua
bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti
resistan terhadap rifampisin.

21
4. Klasifikasi berdasarkan status HIV

1. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis


atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil tes HIV-positif,
baik yang dilakukan pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti
bahwa pasien telah terdaftar di register HIV (register pra ART atau register
ART).
2. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis
atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negatif untuk tes
HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini
diketahui HIV positif di kemudian hari harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.
3. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan
tidak memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila
pasien ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.

Menentukan dan menuliskan status HIV sangat penting dilakukan untuk mengambil
keputusan pengobatan, pemantauan dan menilai kinerja program. Dalam kartu
berobat dan register TB, WHO mencantumkan tanggal pemeriksaan HIV, kapan
dimulainya terapi profilaksis kotrimoksazol, dan kapan dimulainya terapi
antiretroviral.

22
3.7 Diagnosis Tuberkulosis
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk
mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada
pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain),
pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik
cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO.
Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui sistem
pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada daerah dengan
laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB BTA
positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif.
WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal
terhadap rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien berikut:
1. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Hal ini dikarenakan TB
resistan obat banyak ditemukan terutama pada pasien yang memiliki
riwayat gagal pengobatan sebelumnya.
2. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya mereka
yang tinggal di daerah dengan prevalensi TB resistan obat yang tinggi.
3. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan obat.
4. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.
5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir
fase intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA pada bulan
berikutnya.

Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan dengan 2 metode :


1. Metode konvensional uji kepekaan obat
Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan menggunakan 2 macam
medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair
MGIT (Mycobacterium growth indicator tube). Biakan M.TB pada
media cair memerlukan waktu yang singkat minimal 2 minggu, lebih
cepat dibandingkan biakan pada medium padat yang memerlukan waktu

23
28-42 hari.
2. Metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molekular cepat)
Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA M.TB saat ini
merupakan metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di
Indonesia. Metode molekuler dapat mendeteksi M.TB dan
membedakannya dengan Non-Tuberculous Mycobacteria (NTM).
Selain itu metode molekuler dapat mendeteksi mutasi pada gen yang
berperan dalam mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2.
WHO merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi
resistan rifampisin. Resistan obat antituberkulosis lini 2
direkomendasikan untuk menggunakan second line line probe assay
(SL-LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap obat
antituberkulosis injeksi dan obat antituberkulosis golongan
fluorokuinolon. Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen
pengkode resistensi OAT lainnya saat ini dapat dilakukan dengan
metode sekuensing, yang tidak dapat diterapkan secara rutin karena
memerlukan peralatan mahal dan keahlian khusus dalam
menganalisisnya. WHO telah merekomendasi pemeriksaan molekular
line probe assay (LPA) dan TCM, langsung pada spesimen sputum.

Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan gen pengkode


resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam waktu 2 (dua) jam.
Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode konvensional masih
digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan TCM tidak dapat
menyingkirkan metode biakan dan uji kepekaan konvensional yang diperlukan
untuk menegakkan diagnosis definitif TB, terutama pada pasien dengan
pemeriksaan mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT untuk
mengetahui resistensi OAT selain rifampisin. Pada kondisi tidak berhasil
mendapatkan sputum secara ekspektorasi spontan maka dapat dilakukan tindakan
induksi sputum atau prosedur invasif seperti bronkoskopi atau torakoskopi.
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis

24
maupun terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan
lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll.

3.8 Pengobatan TB Paru


1. Tujuan pengobatan TB adalah :
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktivitas pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB

25
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat
2. Prinsip Pengobatan TB :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien
untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(pengawas menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3. Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien
baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap
lanjutan selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap
hari.

26
4. Panduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru
Paduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru
Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali:
1. Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten isoniazid
ATAU
2. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien
kasus baru seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat yang
sama dengan kasus sumber. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji
kepekaan obat sejak awal pengobatan dan sementara menunggu
hasil uji kepekaan obat maka paduan obat yang berdasarkan uji

27
kepekaan obat kasus sumber sebaiknya dimulai.

Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji kepekaan OAT
pada awal pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode cepat atau
rapid test (TCM, LPA lini 1 dan 2), dan metode konvensional baik metode padat
(LJ), atau metode cair (MGIT) .

Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan obat berdasarkan uji
molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan
untuk menentukan paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan
uji kepekaan obat konvensional dengan media cair atau padat yang baru dapat

28
menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka daerah tersebut
sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I sambil menunggu hasil uji
kepekaan obat.

Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat pengobatan
diberikan OAT kategori 1 sambil dilakukan pengiriman bahan untuk biakan dan uji
kepekaan

5. Pemantauan respon pengobatan


Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapinya. Pemantauan
reguler akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana
reaksi obat yang tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga
kesehatan sebaiknya diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap
atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya
pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT

29
disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respon pengobatan TB paru
dipantau dengan sputum BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi
seluruh obat yang diberikan, respons terhadap pemeriksaan bakteriologis,
resistensi obat dan reaksi yang tidak diinginkan untuk setiap pasien pada
kartu berobat TB.WHO merekomendasi pemeriksaan sputum BTA pada
akhir fase intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini
pertama baik kasus baru maupun pengobatan ulang. Pemeriksaan sputum
BTA dilakukan pada akhir bulan kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan
akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang.
Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan sputum BTA negatif.
Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal
berikut ini:
1. Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang
buruk.
2. Kualitas OAT yang buruk.
3. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
4. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman
yang banyak
5. Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau
respons terapi.
6. Penyebab TB pada pasien adalah M. tuberculosis resistan obat yang
tidak memberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama.
Pada kasus yang tidak konversi disarankan mengirimkan sputum ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang mempunyai TCM atau biakan.

30
Bila hasil sputum BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan
menandakan pengobatan gagal dan perlu dilakukan diagnosis cepat TB MDR sesuai
alur diagnosis TB MDR. Pada pencatatan, kartu TB 01 ditutup dan hasil pengobatan
dinyatakan “Gagal”. Pengobatan selanjutnya dinyatakan sebagai tipe pasien
“Pengobatan setelah gagal”. Bila seorang pasien didapatkan TB dengan galur
resistan obat maka pengobatan dinyatakan “Gagal” kapanpun waktunya.

Pada pasien dengan sputum BTA negatif di awal pengobatan dan tetap negatif pada
akhir bulan kedua pengobatan, maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih
lanjut. Pemantauan klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat
berguna.

31
6. Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat
pengobatan
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir fase
intensif, maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Bila
BTA sputum positif pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan (bulan
kedelapan), maka pengobatan dinyatakan gagal dan lakukan pemeriksaan
TCM, biakan dan uji kepekaan. Hasil pengobatan ditetapkan berdasarkan
hasil pemeriksaan yang dilakukan pada akhir pengobatan,

32
7. Efek samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa


mengalami efek samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat
mengalami efek samping yang signifikan sehingga mengganggu
pekerjaannya sehari-hari. Penting dilakukannya pemantauan gejala klinis
pasien selama pengobatan sehingga efek tidak diinginkan tersebut dapat
dideteksi segera dan ditata laksana dengan tepat.
Neuropati perifer menunjukkan gejala kebas atau rasa seperti terbakar pada
tangan atau kaki. Hal ini sering terjadi pada perempuan hamil, orang dengan

33
HIV, kasus penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati
kronik, dan gagal ginjal. Pada pasien seperti ini sebaiknya diberikan
pengobatan pencegahandengan piridoksin 25 mg/hari diberikan bersama
dengan OAT.
Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek mayor
dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT minor sebaiknya
melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada pasien yang
mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab
sebaiknya dihentikan pemberiannya.
Tata laksana efek samping dapat dilihat pada Tabel 3.4. Efek samping dibagi
atas 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan ringan. Bila terjadi efek
samping yang masuk ke dalam klasifikasi berat, maka OAT dihentikan
segera dan pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.

34
35
8. Pengawasan dan ketaatan pasien dalam pengobatan OAT
Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai
kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus resistan obat.
Pada “Stop TB Strategy” mengawasi dan mendukung pasien untuk minum
OAT merupakan landasan DOTS dan membantu pencapaian target
keberhasilan pengobatan 85%. Kesembuhan pasien dapat dicapai hanya bila
pasien dan petugas pelayanan kesehatan bekerjasama dengan baik dan
didukung oleh penyedia jasa kesehatan dan masyarakat.
Pengobatan dengan pengawasan membantu pasien untuk minum OAT

36
secara teratur dan lengkap. Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS) merupakan metode pengawasan yang direkomendasikan oleh
WHO dan merupakan paket pendukung yang dapat menjawab kebutuhan
pasien. Pengawas menelan obat (PMO) harus mengamati setiap asupan obat
bahwa OAT yang ditelan oleh pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan tepat
interval, disamping itu PMO sebaiknya adalah orang yang telah dilatih,
dapat diterima baik dan dipilih bersama dengan pasien. Pengawasan dan
komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan akan memberikan
kesempatan lebih banyak untuk edukasi, identifikasi dan solusi masalah-
masalah selama pengobatan TB. Directly observed treatment short course
sebaiknya diterapkan secara fleksibel dengan adaptasi terhadap keadaan
sehingga nyaman bagi pasien.

9. Pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB


Pencatatan dan pelaporan adalah komponen penting dalam program
nasional TB, hal ini dilakukan agar bisa didapatkannya data yang kemudian
dapat diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan serta kemudian
disebarluaskan. Data yang dikumpulkan harus merupakan data yang akurat,
lengkap dan tepat waktu sehingga memudahkan proses pengolahan dan
analisis data. Data program TB diperoleh dari pencatatan yang dilakukan di
semua sarana pelayanan kesehatan dengan satu sistem baku yang sesuai
dengan program TB, yang mencakup TB sensitif dan TB RO.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad S. Pathogenesis, Immunology, and Diagnosis of


LatentMycobacterium tuberculosisInfection. Clinical and Developmental
Immunology 2011; 2011: 1-17.
2. Babalik A, Arda H, Bakirci N, Agca S, Oruc K, Kiziltas S, et al.
Management of and risk factors related to hepatotoxicity during
3. Blumberg HM, Burman WJ, Chaisson RE, et al. American Thoracic
Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases
Society of America: treatment of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med
2003; 167: 603-62.
4. Coker R. Tuberculosis, non-compliance and detention for the public health.
Journal of Medical Ethics 2000; 26: 157-9
5. Dheda K, Schwander SK, Zhu B, et al. The immunology of tuberculosis:
from bench to bedside. Respirology 2010; 15: 433-50.
6. Druszczynska M, Kowalewicz+Kulbat M, Fol M, et al. Latent M.
tuberculosis Infection – Pathogenesis, Diagnosis, Treatment and Prevention
Strategies. Polish Journal of Microbiology 2012; Vol 61: p.3 - 10.
7. Erawatyningsih E, Purwanta and Subekti H. Factors affecting incompliance
with medication among lung tuberculosis patients. Berita Kedokteran
Masyarakat 2009; 25: 117-23.
8. Fernández--Villar A, Gorís A, Otero M, Chouciño N, Vázquez R, Muñoz
MJ, dkk. Conservation of Protein Purified Derivatives RT 23 Tuberculin.
Arch Bronconeumol. 2004:40:301--3.
9. Getahun H, Campion EW, Matteelli A, et al. Latent Mycobacterium
tuberculosis Infection. New England Journal of Medicine 2015; 372: 2127-
35.
10. Indonesia PDP. Pedoman Diagnosis dan Tata laksana tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2011.
11. Indonesia PDP. Pedoman Tata laksana TB Laten. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, 2016.
12. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Management
of Tuberculosis: A Guide to the Essentials of Good Clinical Practice. 6th
edition ed. Paris, France: International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease, 2010.
13. Kandala V, Kalagani Y, Kondapalli NR, et al. Directly observed treatment
short course in immunocompetent patients of tuberculous cervical
lymphadenopathy treated in revised national tuberculosis control
programme. Lung India 2012; 29: 109-13.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, peraturan menteri kesehatan
republik indonesia nomor 4 tahun 2019 tentang standar teknis pemenuhan
mutu pelayanan dasar pada standar pelayanan minimal bidang kesehatan,
Jakarta 2019
15. Kementerian Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Indonesia. Panduan tata
laksana TB sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk dokter praktik swasta
(DPS). Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2011.

38
16. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia no. 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan tuberkulosis. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI, 2016.
17. Kementerian Kesehatan RI. Terobosan menuju akses universal: Strategi
pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI, 2010.
18. Kumar P, Sen MK, Chauhan DS, et al. Assessment of the N-PCR assay in
diagnosis of pleural tuberculosis: detection of M. tuberculosis in pleural
fluid and sputum collected in tandem. PLoS One 2010; 5: e10220

39

Anda mungkin juga menyukai